2.1
Kajian Pustaka
Dalam subbab ini dilakukan penelusuran terhadap beberapa pustaka,
24
25
di
Kalimantan
Timur
dan
kubu
modernisme
yang
kurang
26
baru Dayak ini dimunculkan dalam tataran politik lokal. Para elite Dayak tersebut
merekonstruksi citra Dayak sebagai kelompok yang modern. Tentunya
rekonstruksi tersebut berkaitan dengan kepentingan-kepentingan politik mereka
sendiri, setidaknya dalam kerangka politik lokal. Di sini para elite Dayak yang
berusaha merekonstruksi citra modern Dayak melawan citra-citra dominan
(narasi besar) yang berlaku tentang masyarakat Dayak yang terbelakang dan
primitif.
Satu-satunya perbedaan adalah penegasan orang-orang Dayak baru
modernitas dapat berjalan beriringan (harmoni) dengan kebudayaan Dayak dan
bahwa modernitas tidak perlu menghilangkan kebudayaan itu. Seperti yang ditulis
Joel S. Kahn dalam pengantarnya bahwa penelitian Yekti berhasil menunjukkan
bagaimana konsep kedayakan berkembang sebagai bagian dari sebuah wacana
kolonial pada masyarakat primitif hingga menjadi sebuah diskursus yang hanya
termodifikasi dalam paham-paham pembangunan pada era orde baru.
Terkait dengan penelitian ini, yang dimaksud dengan keterpinggiran hakhak masyarakat Dayak atau dalam bahasa sehari-hari Dayak disebut yang punya
tanah menanam dipinggirkan (je tempun petak manana sare) dalam industri
pertanian modern di Kalimantan Tengah, yakni mereka termarginalkan, tidak
berdaya, posisi yang kalah, pasrah, dan terasing dalam lingkungan investasi,
khususnya dalam hak kepemilikan tanah.
Persamaan penelitian di atas dengan penelitian yang dilakukan saat ini,
yaitu sama merespons pada masyarakat Dayak tentang pengaruh dan dominasi
pemerintah dalam perubahan identitas di Indonesia, khususnya di Kalimantan.
27
dan
Pemicu
(2001)
menyoroti
kekerasan
struktural
dengan
menggunakan kerangka berpikir Galtung dan Gurr. Hasil kajian Masoed dkk.
(2001: 62) khususnya pada kasus kekerasan di Sanggau Ledo menyebutkan bahwa
kekerasan yang terjadi di Sanggau Ledo merupakan dinamika transformasi
masyarakat di Kalimantan Barat di tengah-tengah tekanan ekspansi kekuatankekuatan dari luar. Pada tingkat ekonomi, kekuatan itu muncul dalam bentuk
ekspansi kapital melalui berbagai sektor, khususnya sektor perkayuan. Pada
tingkat politik, kekerasan ini muncul sebagai akibat kekuatan-kekuatan eksternal
yang didukung oleh birokrasi pembangunan yang dirancang dari pusat yang
hampir tidak melibatkan partisipasi masyarakat lokal atau adat.
28
29
Antonio Gramsci dalam Negara dan Hegemoni (2003) oleh Nezar Patria
dan Andi Arief mengemukakan pemikiran tentang hegemoni dan hubungannya
dengan kekuasaan negara. Konsep hegemoni dan kekuasaan negara digunakan
sebagai acuan pemahaman konsep dan teori, khususnya konsep hegemoni yang
berawal dari dialektikis dikotomi akan adanya kekuatan (force) dan persetujuan
(consent). Menurut Gramsci, kelompok sosial akan memperoleh keunggulan atau
supremasi melalui dominasi atau paksaan dan kepemimpinan intelektual moral
(Patria dan Arif, 2003:119).
Kepemimpinan intelektual dan moral ini dikenal sebagai konsep
hegemoni yang sesungguhnya. Jadi, relevansi pandangan Gramsci terletak pada
hegemoni negara atau peraturan pemerintah dalam penguasaan lahan di
Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah.
Pascareformasi, fenomena menarik terjadi dengan sendirinya tulisantulisan tentang gerakan perlawanan sekelompok masyarakat terbuka untuk
dipublikasikan dengan terang-terangan tanpa adanya ketakutan terhadap penguasa
atau pemerintah pusat dan daerah. Umumnya tulisan itu menceritakan
perlawananan serta sengketa tanah dan wilayah adat dalam hak pengelolaan
sumber daya alam. Kelompok masyarakat adat selalu dikalahkan oleh kepentingan
kelompok yang lebih besar atau berkuasa. Dengan demikian kelompok minoritas
atau narasi kecil ini harus tersingkir atau tetap bertahan memperjuangkan
kepemilikan tersebut sebagai bentuk pengakuan keberadaan kelompoknya pada
suatu wilayah adat (Lahajir, 2001).
30
di
Kalimantan.
Perbedaannya,
penelitian
peneliti
tentang
keterpinggiran dan maniring hinting sebagai alat perlawanan akibat dari suatu
dominasi kekuasaan serta adanya kepemimpinan moral, nilai kearifan lokal
Dayak,
dan
intelektual
organik
menjadi
penggerak
perlawanan.
31
sangat penting untuk mendapat acuan tentang konsep dan teori penelitian. Di
samping itu, sekaligus sebagai pembuka wawasan dalam melakukan penelitian.
Berdasarkan beberapa kajian terhadap pustaka tersebut diketahui bahwa
kajian tentang masyarakat adat Dayak sudah pernah dilakukan oleh beberapa
peneliti dan sengketa/konflik hak-hak atas tanah adat dalam konteks pengutan
hukum adat dan identitas telah dilakukan di beberapa tempat di Kalimatan Timur
dan Barat, tetapi kajian-kajian tersebut sangat berbeda dengan apa yang penulis
teliti saat ini. Kajian terdahulu lebih menonjolkan perspektif hukum, identitas,
etnoekologi, konflik sosial. Namun, belum ada yang menyentuh gerakan
masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-hak atas tanah melalui kearifan
lokal, yaitu maniring hinting sebagai sebuah counter hegemoni, perlawanan
dengan roh terhadap modal kapital (PBS) dalam penguasaan lahan di Kalimantan
Tengah. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan saat ini berfokus pada persoalan
terkini yang terjadi, yaitu fenomena perlawanan masyarakat adat Dayak melalui
maniring hinting yang merupakan kearifan lokal yang dapat bermetamorfosis dan
bermaka membuka pintu musyawarah ke arah harmonisasi hukum positif dan adat
serta dapat menjadi pola penyelesaian konflik yang dapat mengakomodasi semua
kepentingan. Selain itu, penelitian ini dilakukan secara mendalam dengan sudut
pandangan berbeda, yakni multidisiplin, menggunakan pendekatan postruktural,
dan emansipatoris yang lebih berpihak kepada masyarakat adat yang menjadi ciri
penelitian ini. Oleh sebab itu, penelitian maniring hinting sebagai Gerakan
Kontra Hegemoni Masyarakat Dayak dalam Pemertahanan Hak-Hak atas Tanah di
Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah penting dilakukan.
32
Kajian-kajian yang telah dilakukan terdahulu tentu sangat relevan dan membantu
sebagai acuan yang lebih luas dan komprehensif dalam penelitian yang dilakukan
saat ini.
2.2
Konsep
Penelitian ini mengandung beberapa konsep penting untuk dijelaskan dan
Dayak
Kisah asal usul Dayak paling tidak bersumber pada dua hal, yakni dari
mulut ke mulut dan pandangan yang lebih rasional (Elmiyah, 2008:91) sebagai
hasil dari suatu penelitian. Pertama, asal usul Dayak diperoleh dari tetek tatum,
yaitu kesusastraan asli Kalimantan, yang dapat diartikan sebagai ratap tangis sejati
yang biasanya dilagukan (manasai) untuk mengisahkan keadaan Kalimantan
zaman bahari, zaman dewa-dewa, zaman kebesaran hingga kerajaan Islam (Riwut,
1958:172). Tetek tatum merupakan referensi dari mulut ke mulut, biasanya
dilantunkan orang tua kepada anak cucunya (Riwut, 1993:229--230). Dalam
kepercayaan orang Dayak (Kaharingan), selalu dikisahkan bahwa nenek moyang
mereka diturunkan dari Palangka Bulau oleh Ranying Hatala Langit disingkat
Ranyinng atau Hatala yang berarti Allah atau Tuhan. Nenek moyang yang
33
diturunkan adalah (1) di Tantan Puruk Pemantuan di hulu Sungai Kahayan dan
Barito; (2) di Tantang Luang Mangan Puruk Kaminting, yang terletak di sekitar
Gunung Raya; (3) di Tatah Tangkasing di hulu sungai melalui Kalimantan Barat;
dan (4) di Puruk Kambang Tanah Siang, di hulu Sungai Barito. Orang Dayak
kawin satu dengan yang lainnya yang kemudiaan berkembang menempati seluruh
Kalimantan. Sayang kisah ini tidak meninggalkan tulisan ataupun bekas-bekas
yang bisa membuktikannya.
Kedua, banyak penelitian tentang asal usul orang Dayak yang
mengemukakan bahwa nenek moyang orang Dayak berasal dari daerah Yunan
(Cina Selatan) yang datang karena terjadi over population di Cina sehingga
sebagian penduduknya ke luar untuk mencari daerah permukiman baru (Coomans,
1987:3)3 diperkirakan 200 tahun sebelum Masehi (Riwut, 1993) atau sekitar
3.000--1.500 sebelum Masehi (Amz, 1985). Kelompok ini kemudian oleh Paul
dan Fritz Sarasih dinamakan sebagai Proto Melayu yang tinggal di pedalaman
Kalimantan dan Deutero Melayu yang tinggal di pesisir pantai (Eliminah,
2003:92--94). Sementara Odop dan Lakon (2009:2, 7--8) serta Usop (1994)
menyatakan bahwa jauh sebelum masuknya Cina sudah ada yang namanya bangsa
Austronesia (sebuah bangsa hasil perkawinan silang antara ras mongoloid dengan
ras asli Kalimantan) datang ke pulau Kalimantan. Pedagang Cina baru masuk
pada abab keempat, padahal abab kesatu, setelah pedagang India masuk
membawa ajaran Hindu di tanah Kalimantan.
Coolman (1987:2) penduduk di Yunan pada waktu itu mengadakan perpindahan untuk mencari
tempat yang dapat memberikan kebebasan untuk mencari nafkah, khususnya untuk berladang dan
berburu.
34
Pada abad 14, pedagang Cina dipimpin Laksamana Cheng Ho, masuk dengan membawa ajaran
Islam, dan bagi orang Dayak yang tidak masuk Islam menyingkir ke hulu sungai dan pedalaman.
Karenanya muncul kategorisasi orang Dayak dan orang Melayu. Orang Dayak selalu
mengidentikkan dirinya sebagai bukan Islam, dan orang Dayak yang masuk Islam karena
perkawinan mengidentikkan dirinya Melayu (Pasti, 2003: 114--115).
35
wilayahnya disebut sebagai wilayah Dayak Besar.5 Oleh karena itu, orang Dayak
adalah merupakan nama dan sekaligus sebagai ciri identitas etnis6 dari suku
bangsa Proto Melayu (Melayu Tua atau Proto Malayid) yang diklaim sebagai
penduduk pribumi atau penduduk asli (indigenous people) Pulau Kalimantan,
termasuk Kalimantan Utara.
Istilah Dayak mula-mula digunakan oleh orang Deutro Melayu yang
kemudiaan ditulis oleh pengarang dan penerbit dari Inggris sebelum Perang Dunia
II tentang suku-suku Dayak di Kalimantan Utara, seperti Charles Brooke,
petualang kebangsaan Inggris yang datang untuk menguasai Sarawak pada tahun
1839 (Djuweng, 1992: 07--08). Istilah Dayak juga muncul dalam naskah-naskah
berbahasa Belanda yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari versi Dayak
(Petebang, 2001), seperti yang ditulis August Haderland, seorang sosiolog
Belanda. Sebutan Dayak sebagai satu kesatuan dari sub-subsuku Dayak yang ada
di Kalimantan, kemudiaan disepakati dalam rapat kepala-kepala adat Dayak
seluruh Kalimantan di Tumbang Anoi pada tahun 1894 (Usop, 1994:v--vii; dan
Ilon, 1987:107--109).
Meskipun istilah Dayak sering digunakan untuk menggambarkan suku
asli Kalimantan, sebenarnya tidaklah tepat karena ada ratusan suku yang
Suku Simpang yang semula bermukim di tepi pantai mudik sampai jauh ke hulu sungai Simpang
(Djuweng, 1994), demikian pula pada suku Dayak Maanyan di Kalimantan Tengah yang semula
bermukim di Kayu Tangi (dekat Banjarmasin) ke kawasan Siung Uhang (Widen, 1995).
6
Dalam bukunya yang berjudul Ehnic Group in Conflict (1985), Donald Horowitz menggunakan
istilah etnik untuk menunjukkan pada identitas kelompok yang sangat ekslusif (dan relatif berskala
besar) yang didasarkan atas ide kesamaan asal usul, keanggotaan yang berdasarkan kekerabatan
dan secara khusus menunjukkan kadar kekhasan budaya. Karenanya etnis selalu diterjemahkan
sebagai gabungan manusia yang mengucapkan satu bahasa dan mempunyai satu rasa identitas
komunitas yang khusus, tinggal di suatu wilayah geografis dengan ciri-ciri ekologi yang sama,
mempunyai pengalaman sejarah yang biasanya sama, biasanya saling berinteraksi secara intensif
dan dengan frekuensi yang tinggi (Clifton dalam Koentjaraningrat, 1990).
36
Coolman (1987:2) mengelompokkan penduduk daerah Kutai dalam dua kelompok besar; Halo
dan Daya. Halo adalah sebutan dari bahasa-bahasa Daya untuk penduduk pantai Kalimantan
Timur yang beragama Islam, sedangkan Daya adalah nama bagi penduduk lain di pedalaman
yang sudah tidak beragama Islam.
8
Di dalam Kesultanan Melayu, orang Dayak tidak dianggap sebagai anak negeri sehingga tidak
memiliki hak yang sama dengan mayoritas orang Melayu sehingga tidak boleh bekerja di
administrasi kesultanan; mengalami pelecehan sosial dari orang Melayu, yang akhirnya menjadi
penghalang berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial di luar kelompok mereka termasuk dalam
memperoleh pendidikan (Tanasaldy, 207:463--464). Orang Dayak menjadi pegawai pemerintah
harus mengubah dirinya menjadi Melayu atau memeluk agama Islam (Odop dan Lakon, 2009: 9).
37
lembut dan cinta damai dalam kehidupan sehari-harinya9 selalu diliputi dengan
rasa cemas karena selalu menjadi others atau berada di luar negara sehingga selalu
menjadi objek sasaran untuk melakukan modernisasi demi kepentingan
pembangunan.
Konstruksi tentang orang Dayak yang terkenal adalah budaya kayau
(head hunting) seharusnya telah berakhir melalui kesepakatan dalam rapat para
damang di Tumbang Anoi pada tahun 1894 (Usop, 1994:v--vii). Namun dalam
banyak perkara budaya ini masih sering digunakan orang Dayak untuk
mempertahankan dirinya. Misalnya, dalam konflik dengan etnis Madura yang
terjadi di Kalimantan Barat pada tahun 1999 dan Kalimantan Tengah pada tahun
2001, orang Dayak tampaknya kembali mempraktikkan budaya kayau.10 Identitas
seperti ini tentunya mengandung nuansa-nuansa negatif yang merupakan kerikilkerikil bagi kerukunan dan integrasi antara kelompok orang Dayak dan kelompok
pendatang. Namun, bagi orang Dayak Ngaju istilah Dayak menunjukkan kata
sifat sebagai suatu kekuatan. Dalam bahasa Sangen, Dayak berarti bakena yang
artinya gagah (bagi laki-laki) atau cantik (bagi perempuan) kata seorang tokoh
Dayak (Wawancara dilakukan dengan Usop, KMA di Palangka Raya pada 15 Juni
2009).
Suku bangsa Dayak terbagi menjadi berapa subsuku. Riwut (1958 &
1979); Hudson (1967); dan Ukur (1972) menyatakan bahwa paling sedikit 405
9
Pengamatan Victor King (1976), Michael Dove (1986), Coomans (1987), dan bahkan pengakuan
para perantau suku-suku lainnya yang setiap hari bersosialisasi dengan orang Dayak di bumi
Kalimantan, menunjukkan kontruksi yang berbeda dan menyatakan bahwa orang Dayak itu
umumnya bersifat jujur, memegang janji, sabar, bersahabat, dan konsisten mempertahankan harga
diri tetapi tidak cepat naik darah.
10
Penggunaan budaya kayau dalam konteks konflik antara etnis Dayak dan Madura masih
dipertayakan dan diperdebatkan.
38
Maniring Hinting
Suku bangsa Dayak sebagai masyarakat adat mempunyai hubungan yang
sangat erat dan dekat dengan lingkungan hidupnya. Mereka sering dipengaruhi
oleh alam pikiran religio magis. Kenyataan ini tidak mudah dipahami dan
dimengerti atau dipercayai oleh setiap orang. Sebaliknya, masyarakat Dayak
menganggap pengetahuan akan tanda-tanda atau simbol-simbol tertentu dalam
kehidupan mereka merupakan hal yang wajar walaupun sebenarnya tidak setiap
orang memiliki kepandaian untuk memahami dan menginterpretasi tanda-tanda
tersebut.
Nilai-nilai budaya masyarakat Dayak, Kalimantan Tengah bersumber
dari kepercayaan Kaharingan (berasal dari kata Haring yang artinya kehidupan
ada dengan sendirinya). Pada intinya Kaharingan ini percaya pada segala benda
dan makhluk yang memiliki roh (gana) dan hanya ada satu Tuhan, yaitu Ranying
Hatala Langit yang menciptakan segala isi alam semesta seperti tercantum dalam
39
tutur Balian: Inyaho hai mamparuguh tungkupah, kilat panjang mampa rinjet
ruang (Guntur/suara agung membuka kuasanya, kilat panjang menggerakkan
ruang/membelah-belah angkasa)
Asal usul penciptaan manusia dan alam semesta ini digambarkan dengan
simbol pohon kehidupan (batang garing/haring) yang di dalamnya terdapat
burung enggang (tingang) sebagai simbol penguasa dunia atas dan naga (tambun)
sebagai simbol penguasa dunia bawah. Sekarang ini simbol batang garing
dipahami oleh masyarakat Dayak sebagai keseimbangan hubungan manusia
dengan alam dan keseimbangan hubungan antarmanusia.
Dalam kehidupan sehari-hari umat Kaharingan percaya kepada makhlukmakhluk Ilahi yang berkuasa dan bertugas membantu keselamatan manusia,
memberikan rezeki dan menyebarkan penyakit, dan lain-lain yang tersebar di air
(sungai, danau, dan laut), gunung, hutan, tanaman, dan tempat-tempat tertentu.
Bagi pemeluk Kaharingan, makhluk-makhluk Ilahi itu sangat berpengaruh dalam
menentukan kehidupan manusia. Keberuntungan dan kemalangan hidup, bencana
alam, kecelakaan terjadi karena tindakan mereka walaupun penyebab munculnya
tindakan itu adalah perbuatan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, wujud tertinggi
dalam praktik kepercayaan Kaharingan adalah mematuhi adat, yaitu tidak
melanggar pantangan (pali) dan melaksanakan upacara ritual yang meliputi
upacara kehidupan (gawi belom), seperti mamapas lewu, manyanggar, pakanan
batu dan manajah antang dan upacara kematian (gawi matei) seperti upacara
tiwah.
40
adat,
akan
tetapi
dalam
hukum
positif
(BPN)
dalam
pemasangangan patok dari BPN harus disaksikan pejabat atau aparat yang
11
Balian adalah nyanyian disertai tetabuhan musik tradisional Dayak Ngaju dalam upacara tiwah.
Tiwah adalah upacara ritual penting kematian kedua (second burial) dalam agama Hindu
Kaharingan yang bertujuan untuk mengantarkan roh ke langit ketujuh atau surga.
41
mengetahui atau memiliki data siapa-siapa pemilik tanah yang berbatasan. Kantor
pertanahan tidak memiliki data pemilik tanah yang berbatasan bila tanah tersebut
belum terdaftar data pemilik tanah yang berbatasan dimiliki oleh Kepala Desa/
Kelurahan oleh karena itu pelaksanaan asas kontradiktur ini wajib disaksikan oleh
aparat desa/kelurahan. Seyogyanya patok tanda batas tidak diberi tulisan BPN
karena patok tersebut bukan dipasang oleh BPN dan bukan milik BPN.
Tradisi maniring hinting merupakan tradisi dalam konteks perlawanan
dan perjuangan hak-hak atas tanah masyarakat adat Dayak dari pengusaha atau
investor asing yang menanamkan modal dalam bentuk perkebunan besar yang
dalam praktiknya melakukan hal yang melanggar adat, tidak menaati adat, atau
melanggar kesepakatan atau pali. Orang yang melanggar pali disebut orang yang
hidup tidak beradat (belom dia bahadat). Oleh itu, maniring hinting menjadi salah
satu cara penanaman nilai-nilai dan norma-norma yang berfungsi memelihara
tertib sosial, penghukuman, dan pendisiplinan dalam kehidupan masyarakat
Dayak.
Maniring berartinya membentangkan/mengencangkan tali, hinting berarti
larangan/pantangan dalam bahasa Dayak menjadi maniring hinting penanda
larangan dengan membentangkan tali larangan. Akan tetapi, dalam konteks
perlawanan makna
maniring hinting
42
konteks ini menandakan bahwa di areal tanah yang ditandai dengan maniring
hinting terjadi pelanggaran kesepakatan dalam hal kepemilikan dan hak-hak atas
tanah tersebut. Di pihak lain simbol tali rotan dalam maniring hinting berarti
masih dimungkinkan adanya negosiasi dalam musyawarah atau kesepakatan
dalam menyelesaikan masalah sengketa tanah. Sesuai dengan tujuan maniring
hinting yang memangil gana atau roh-roh tanah dan tanaman yang sengaja
dilakukan untuk menjadi saksi sumpah mereka atau seperti peradilan roh bahwa
yang bersangkutan melaksanakan upacara/tradisi maniring hinting adalah
menyatakan benar-benar sang pemilik lahan atau areal tanah tersebut. Jikalau ada
yang berbohong, maka salah satu pihak yang bersengketa akan mengalami
kematian dan malapetaka yang akan dilakukan oleh roh-roh (spiritual violence)
tersebut kepada pihak yang memang sengaja melanggar, memutus, membongkar,
melanggar, dan menyerobot tanah tersebut.
Masyarakat adat mempunyai kekuasaan dan kekayaan sendiri. Wujud
kekuasaan dan kekayaan itu sendiri, antara lain hak atas wilayahnya sebagai
berikut.
1. Apabila melebihi kehidupan keseharian, harus dengan izin/kesepakatan
masyarakat (usaha yang umum dilakukan masyarakat dalam satu wilayah
tertentu) secara spontanitas. Contoh: menangkap ikan di sungai kecil
(luhak) atau ayap pada musim kemarau hendaklah secukupnya/tidak
berkelebihan.
2. Warga masyarakat bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi di
wilayahnya.
43
uang
pengakuan
(mesi
recognitie
retribusi)
kepada
sesuatu yang bersifat kebetulan dan muncul dari dirinya sendiri. Gerak sejarah
perkembangan masyarakat telah mencatat itu, yaitu dari fase pasar komunal dan
tertutup ke kapitalisme yang terbuka dan individual merupakan sebuah rangkaian
proses dialektis. Dialektika dirumuskan dengan sangat baik dalam ungkapan
bahasa Inggris yang berarti bahwa setiap tindakan negara atau penguasa (bukan
hanya dalam konteks politik, melainkan juga sosial, ekonomi, dan budaya) akan
selalu menimbulkan tanggapan dari masyarakat. Dalam bahasa Inggrisnya social
question, seperti yang diungkapkan oleh Francis Wahono (2005). Social question
merupakan ekspresi sebagai bentuk kegelisahan masyarakat, wujud aksi
perlawanan, baik yang halus maupun radikal, dan berbagai bentuk protes.
44
kontra
hegemoni
Gramscian
pada
dasarnya
bekerja
12
45
Gramsci did not use the currently popular concept of 'counterhegemony', but wrote of the 'war of position' and 'war of movement'
through which the working class and its allies would become capable of
building and enforcing a clear hegemony of their own which would
challenge the fundamental 'hegemonic principles' of capitalism, capital
accumulation based on exploitation and private property.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dipahami bahwa dengan membuat
hegemoni tandingan berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal, maniring hinting
memberikan pengaruh yang berbeda dengan gerakan yang bersifat radikal.
Maniring hinting mempunyai makna tambahan dari sekadar larangan dan portal
adat, tetapi membuka pintu musyawarah untuk mencari pola kerja sama atau
kemitraan dengan masyarakat adat setempat yang adil dan dapat menyejahterakan
mereka.
Gramsci (Strinati, 1995) memberikan dua cara agar kaum buruh dapat
menciptakan hegemoninya, yaitu melalui war of position (perang posisi) dan
war of movement (perang pergerakan). Perang posisi, yaitu sebuah proses
transformasi kultural yang menghancurkan dan menggantikan dengan posisi hegemonik
lain. Inilah yang disebut kontra hegemoni (Sugiono, 1999: 46). Untuk menghancurkan
46
adanya hubungan antara tanah dan orang atau orang-orang yang menggarapnya.
Pada tahap berikutnya baru muncul hak (yakni sesuatu yang merupakan pilihan
bagi si penyandang hak). Namun, bagi masyarakat Dayak hak tersebut tepatnya
berupa kewajiban karena bila hubungan antara tanah dan yang bersangkutan,
misalnya pemeliharan sempat terhenti dalam satuan waktu tertentu, maka
aksesnya terhadap tanah menjadi hilang meskipun sering kali bersifat sementara.
Sebaliknya, di dunia modern yang muncul lebih dahulu adalah hak (misalnya
diberikan hak untuk mengelola HPH selama 25 tahun), baru kemudian muncul
hubungan dengan tanahnya. Hubungan yang terjadi pada visi tradisional, seperti
telah disebutkan, yaitu lebih berupa kewajiban. Namun, pada dunia modern
justru dibelokkan menjadi hak (Atmajaya, 1998).
Cara pemindahtanganan hak atas tanah di dalam masyarakat Dayak
adalah melalui (1) jual beli (hajual hapili), (2) pewarisan, (3) pemberian
(panenga), (4) tukar-menukar (tangkiri ramu), (5) gadai (sanda, hasanda), dan (6)
perkawinan (petak palaku). Pemindahan hak atas tanah terjadi bilamana keluarga
tertentu sangat membutuhkan uang untuk keperluan yang mendesak, seperti biaya
sekolah anak di kota, biaya pengobatan, perkawinan, pesta upacara tiwah, dan
lain-lain.
47
48
Dayak karena tanah adat merupakan penunjang keberlangsungan hidup dan sarana
untuk meningkatkan kesejahteraan, baik yang bersifat sosial maupun ekonomis.
Sehubungan dengan itu, tanah adat sebagai bagian dari hak-hak adat, masyarakat
adat baik kolektif (ulayat) maupun perorangan, di Kalimantan Tengah perlu
diakui, dihormati, dan dihargai keberadaannya. Kebijakan pemerintah provinsi
dengan menetapkan Perda Provinsi Kalimantan Tengah No. 16/2008 tentang
Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah dan Pergub Kalimantan Tengah
No. 13/2009 Jo Pergub Provinsi Kalimantan Tengah No. 4/2012 tentang Tanah
Adat dan Hak-hak Adat di Atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah sangatlah
tepat untuk kondisi Kalimantan Tengah saat ini. Tanah adat yang diolah dan
dikuasai masyarakat adat selama ini, secara yuridis menjadi memiliki sandaran
hukum tertulis/positif.
Terkait dengan isu agraria yang menyangkut kontrol hukum positif atas
tanah lokal oleh negara tampaknya menjadi isu yang paling dibenci oleh
masyarakat adat karena pengambilan hak-hak lokal secara tidak sah (Greg
Acciaoli dalam Davidson, 2010: 339). Perwakilan masyarakat adat menolak
sepenuhnya penyataan tanah adat sebagai tanah negara ini jelas merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat.
2.2.5
49
2.
Tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah Kadamangan dan atau di wilayah desa/kelurahan yang dikuasai
berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun bukan hutan,
dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik perorangan maupun
milik bersama, yang keberadaannya diakui oleh Damang Kepala Adat.
3.
Tanah adat milik bersama adalah tanah warisan leluhur turun temurun
yang dikelola dan dimanfaatkan bersama-sama oleh para ahli waris
sebagai sebuah komunitas, dalam hal ini dapat disejajarkan maknanya
dengan hak ulayat.
4.
Tanah adat milik perorangan adalah tanah milik pribadi yang diperoleh
dari membuka hutan atau berladang, jual beli, hibah, warisan, dapat
berupa kebun atau tanah yang ada tanam tumbuhnya atau tanah kosong
belaka.
5.
Hak-hak adat di atas tanah adalah hak bersama atau hak perorangan
untuk mengelola, memungut, dan memanfaatkan sumber daya alam dan
atau hasil-hasilnya, baik di dalam maupun di atas tanah, yang berada di
dalam hutan di luar tanah adat.
6.
7.
Perdamaian
Adat
tingkat
kecamatan
yang
berwenang
50
Tengah
yang
terdiri
atas
himpunan
beberapa
Kerapatan Mantir Adat atau Kerapatan Let Adat adalah perangkat adat
pembantu damang atau gelar bagi anggota Kerapatan Mantir
Perdamaian Adat di tingkat Kecamatan dan anggota Kerapatan Mantir
Perdamaian Adat tingkat desa/kelurahan, berfungsi sebagai peradilan
adat yang berwenang membantu Damang Kepala Adat dalam
menegakkan hukum adat dayak di wilayahnya; Mantir/Let kecamatan
berjumlah tiga orang; Mantir/Let tiap desa/kelurahan berjumlah tiga
orang; Mantir/Let diangkat dan diberhentikan oleh keputusan
bupati/walikota.
51
Daerah
Provinsi
Kalimantan
Tengah
mengakui,
52
2.3
Landasan Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori khas kajian
budaya yang berpihak kepada narasi-narasi kecil dan kritis, yakni disiplin dan
hukum, kuasa dan pengetahuan dari Foucault, praksis atau praktik sosial dari
Bourdieu, serta teori hegemoni dan kontra hegemoni oleh Gramsci. Ketiga teori
itu dijadikan sebagai pisau analisis dalam memahami konflik, relasi, dan
pertarungan antara masyarakat lokal yang melakukan maniring hinting atau dalam
konteks
ini
kelompok
terdominasi/terhegemoni
oleh
masyarakat
pihak
yang
pengusaha
dan
terpinggirkan
atau
pemerintah
dalam
53
54
diibaratkan dua sisi mata uang satu kesatuan yang kemunculannya menuntut
kehadiran sisi lainnya. Demikian menurut Foucault bagaimana kekuasaan harus
dipahami:
...power must be understood in the first instance as the multiplicity of
force relations immanent in the sphere in which they operate and which
constitute their own organization; as the process which, through ceaseless
struggles and confrontations, transforms, strengthens, or reserves them;
as the support which these force relations find in one another, thus
forming a chain or a system, or on the contrary, the disjunctions and
contradictions which isolate them from one another; and lastly, as the
strategy in which they take effect, whose general design or institutional
crystalization is embodied in the state apparatus, in the formulation of the
law, in the various social hegemony."(Foucault, 1990: 92-93).
Dengan demikian, kekuasaan mesti dipahami sebagai bentuk relasi
kekuatan yang imanen dalam ruang di mana kekuasaan itu beroperasi. Kekuasaan
mesti dipahami sebagai sesuatu yang melanggengkan relasi kekuatan itu. Di sisi
lain kekuasaan membentuk rantai atau sistem dari relasi itu atau justru yang
mengisolasi mereka dari yang lain dari suatu relasi kekuatan. Oleh karena itu,
kekuasaan merupakan strategi di mana relasi kekuatan adalah efeknya.
Berbeda dengan konsep kekuasaan yang umum, yakni yang dimiliki oleh
pihak-pihak yang kuat terhadap yang lemah, kekuasaan bagi Foucault (2002a)
bukanlah merupakan suatu entitas atau kapasitas yang dapat dimiliki oleh satu
orang atau lembaga, tetapi dapat diibaratkan dengan sebuah jaringan yang tersebar
di mana-mana. Jadi kekuasaan tidak datang secara vertikal dari penguasa terhadap
yang ditindas, dari pemerintah ke rakyat, melainkan datang dari semua lapisan
masyarakat, dan ke segala arah.
55
56
Kuasa dan pengetahuan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Oleh
sebab itu, kuasa menemukan bentuknya dalam pengetahuan. Berbeda dengan
analisis Marxis yang masih menyisakan kebenaran dalam pengetahuan. Foucault
melangkah lebih jauh dari itu. Baginya setiap pengetahuan pasti mengandung
kuasa dan setiap kekuasaan produktif menghasilkan pengetahuan. Artinya, tidak
ada kebenaran bahkan dalam ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah sekalipun.
Biologi, ekonomi, komunikasi, juga banyak disiplin ilmu modern lainnya, dan
tidak lebih dari perwujudan kuasa yang fungsinya membentuk subjek. Klaim
ilmiah yang selama ini menjadi pembenaran akan sifat pengetahuan yang netral
bagi Foucault adalah strategi kuasa. Pengetahuan adalah cara bagaimana
kekuasaan memaksakan diri kepada subyek tanpa memberi kesan ia datang dari
subyek tertentu (Haryatmoko, 2003: 225).
Tesis yang menarik dari Foucault adalah hubungan antara pengetahuan
dan kekuasaan. Kuasa didefinisikan dalam istilah kepemilikan di mana
seseorang yang memiliki sumber kekuasaan tertentu. Kuasa tidak hanya dimiliki
tetapi juga dipraktikan dalam ruang lingkup di mana banyak proporsisi yang
secara strategis berkaitan satu dengan yang lain. Jadi, kuasa bekerja melalui
hubungan-hubungan, susunan-susunan, aturan-aturan, sistem regulasi di mana saja
ada manusia yang saling memiliki hubungan tertentu antara satu dengan yang
lainnya di dunia di situ lah kuasa sedang bekerja dan direproduksi. Hubunganhubungan itu, seperti hubungan sosial-ekonomi, hubungan-hubungan yang
menyangkut keluarga, seksualitas, media komunikasi, dinas pendidikan, adat,
ilmu pengetahuan, dan lain-lain.
57
58
59
2.3.2
maniring hinting berpusat pada pendisiplinan tubuh (tidak melanggar pali) dan
larangan. Jika dianalogikan pendekatan Foucault tentang disiplin dan hukuman,
secara khusus Foucault mencoba melihat hubungan antara power dan tubuh.
Secara umum Foucault melihat bahwa tubuh adalah objek utama dalam kegiatan
penghukuman, yaitu sebuah ilusi melihat bahwa hukuman merupakan sarana
untuk mengurangi kejahatan dan hal tersebut dapat berarti berat ataupun ringan.
Tubuh, bagi Foucault, secara langsung terlibat dalam bidang politik, artinya
hubungan kekuasaan terus-menerus berlangsung di atas tubuh. Lebih jauh, tubuh
dapat menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa dan sangat berguna hanya jika
tubuh tersebut menjadi produktif dan tunduk. Di sisi yang berbeda, power adalah
cara untuk menghasilkan pengetahuan. Tubuh sendiri dapat menjadi kunci bagi
pengetahuan. Mungkin ada pengetahuan dari tubuh yang tidak persis berlaku
seperti ilmu difungsikan dan penguasaan atasnya adalah kemampuan untuk
menaklukkan tubuh. Maksudnya bahwa pengetahuan dan penguasaan ini
merupakan apa yang dapat disebut sebagai teknologi politik tubuh.
Ketertundukan tubuh menjadi kata kunci penting. Ketertundukan sebagai
satu bentuk hukuman menjadi dimensi tersendiri yang dieksplorasi Foucault. Jika
sebelumnya eksekusi publik mengambil bentuk dan dimensi teatrikal, yang sering
kali memiliki ekses yang lebih luas ke publik, maka pergeseran domain beralih ke
sebuah institusi lain dalam konteks ini penelitian ini adalah ritual maniring hinting
meskipun dengan tujuan yang kurang lebih sama yaitu penjara. Penjara diawali
60
dengan bentuk yang berbeda dari tontonan publik. Dalam penjara hukuman
menjadi lebih lembut meskipun tidak melulu berdasarkan alasan kemanusiaan.
Gagasan kaum reformis untuk melembutkan bentuk hukuman sekaligus
membawa domain penghukuman dan kekuasaan kehakiman dari domain negara
ke bentuk kekuasaan publik. Dalam hal ini pergeseran pun berimbas pada
narapidana. Jika sebelumnya mereka adalah objek dari tindakan balas dendam atas
dosa yang dilakukan, maka dengan penjara, mereka beralih menjadi objek yang
terkontrol, yang dapat dipaksa untuk melakukan pekerjaan yang mencerminkan
kejahatan mereka sebagai bentuk bayaran13 atas pelanggaran dan dosa-dosa.
Dalam konteks ini barangkali penulis salah membaca bahwa para narapidana
menunjukkan sebuah ontologi, yaitu manusia sebagai mesin.
Bertens dalam Filsafat Barat Kontemporer Perancis (2000: 297--325)
mengulas pemikiran Michel Foucault yang menghubungkan pendisiplinan tubuh
dengan kekuasaan. Foucault menulis dalam bahasa Perancis Surveiller et Punir.
Naissan de la Proson (Menjaga dan Menghukum. Lahirnya Penjara) yang
menghubungkan pengawasan dan pendisiplinan yang terjadi dalam masyarakat
dipengaruhi mekanisme pengawas penjara. Foucault menyakini bahwa kuasa
bekerja melalui beberapa strategi, yaitu kuasa terdapat di mana-mana dan tidak
dapat dilokalisasi; kuasa tidak bersifat destruktif, tetapi bersifat produktif; kuasa
tidak bekerja secara represi, tetapi melalui regulasi, menjaga, dan menghubungkan
yang dapat diartikan sebagai disiplin (Bertens, 2001: 318--324).
13
Dalam budaya Dayak jika seseorang melanggar pali, akan dijatuhi hukuman denda adat (singer)
sesuai dengan adat setempat.
61
62
63
Individu harus disiplin dan siap menghadapi tugas yang akan diembannya setelah
tubuh dilatih melalui pranata sosial. Tubuh juga perlu dibagi-bagi. Tubuh yang
tidak melanggar adat dan tubuh yang melanggar pali, tubuh yang tidak beradat
maka tubuh itu diberikan hukuman (singer) yang setimpal dengan kesalahannya14.
Sebaliknya, tubuh yang taat kepada adat, maka perlu ditempatkan pada tingkat
yang tinggi. Tubuh mesti diatur berdasarkan sikap atau fungsi tubuh, dan
kekuatan tubuh itu karena tingkat kemampuan tubuh berbeda-beda. Pengetahuan
itu identik dengan kekuasaan.
Kekuasaan muncul bersandarkan pada sejumlah pengetahuan; begitu juga
pengetahuan melahirkan kekuasaan. Kekuasaan dan pengetahuan diibaratkan dua
sisi mata uang; satu kesatuan yang kemunculannya menuntut kehadiran sisi
lainnya. Demikian menurut Foucault bagaimana kekuasaan harus dipahami.
...power must be understood in the first instance as the multiplicity of
force relations immanent in the sphere in which they operate and which
constitute their own organization; as the process which, through ceaseless
struggles and confrontations, transforms, strengthens, or reserves them;
as the support which these force relations find in one another, thus
forming a chain or a system, or on the contrary, the disjunctions and
contradictions which isolate them from one another; and lastly, as the
strategy in which they take effect, whose general design or institutional
crystalization is embodied in the state apparatus, in the formulation of the
law, in the various social hegemony."(Foucault, 2002: 92--93).
Kekuasaan mesti dipahami sebagai bentuk relasi kekuatan yang imanen
dalam ruang di mana kekuasaan itu beroperasi. Kekuasaan mesti dipahami
sebagai sesuatu yang melanggengkan relasi kekuatan itu, yang membentuk rantai
14
Sebelum adanya Rapat Damai Tumbang Anoi 1894, jika seseorang yang tidak dapat membayar
denda adat (singer) akibat pelanggaran adat yang diperbuatnya, maka sebagai gantinya yang
bersangkutan dijadikan budak (jipen). Dalam masyarakat Dayak keturunan budak (utus jipen)
disebut keturunan rendah/budak/jipen (utus randah), sedangkan bagi golongan/kalangan yang taat
dan tidak melanggar adat disebut keturunan tinggi (utus gantung).
64
atau sistem dari relasi itu, atau justru yang mengisolasi mereka dari yang lain dari
suatu relasi kekuatan. Oleh karena itu, kekuasaan merupakan strategi di mana
relasi kekuatan adalah efeknya.
Seno Joko Suyono dalam buku Tubuh yang Rasis (2002: 397--418)
menguraikan secara kritis pemikiran Foucault tentang bukunya yang berjudul
Disipline dan Punish (1975). Tulisan Foucault ini banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Nietszche bahwa tubuh sebagai tempat menananmkan kekerasan,
manifestasi stigmata kekerasan. Tubuh dicetak, dibentuk, dikonstruksi berbagai
rezim yang melalui mekanisme kerja, aturan, nutrisi, dan etika (Suyono, 2002:
196). Disiplin dicirikan dengan adanya perhatian yang besar untuk mengoreksi
segala gerak-gerik natural dan alamiah agar termanipulasi dan terlatih menjadi
docility-utility, yakni tubuh yang berguna, bernilai ekonomis, dan dapat
menambah kepatuhan secara politis yang disebut sebagai a new political economy
to power to punish. Dalam pendekatan teori dicipline dan punish (kepatuhan dan
hukuman), Foucailt menjabarkan Politik Anatomi dan Modus Operandi Disiplin
yang digunakan tubuh melalui empat prosedur pengondisian, yaitu (1) distribusi
ruang, (2) tabulasi waktu (time table), (3) administrasi kumulatif, serta (4)
komposisi dan konfigurasi tenaga.
Pada distribusi ruang, individu digolongkan untuk melaksanakan disiplin
dengan menggunakankehadiran dan ketidakhadiran tubuh dalam tatapan mata
pengawas yang justru tak tampak tubuhnya (anonim, invisible) dalam konteks
penelitian ini roh (gana) yang dihadirkan dalam ritual maniring hinting
mengawasi dan memberikan hukuman kepada pihak-pihak yang tidak
65
terhadap
tubuh
dilakukan
dengan
mengklasifikasikan
kecekatan,
66
67
68
2.3.3
Teori Praktik
Pandangan Bourdieu mengenai kuasa simbolik juga dibaca dengan
69
70
71
atas ini pun dapat dijumpai dalam berbagai bentuk. Kita dapat melihat bagaimana
masyarakat adat di Nusantara dipaksa mematuhi peraturan tentang memperoleh
kepemilikan hak atas tanah. Selain itu, juga berbagai regulasi yang berkenaan
dengan
kekuasaan
negara
mengatur
pemberian
hak-hak
kepada
investor/pengusaha yang harus ditaati dan dipahami oleh kelompok kelas bawah.
Dengan kata lain, masyarakat adat dipaksa untuk menyesuaikan dan seragam
dengan hukum formal yang bersifat sentralistik layaknya kelas atas. Mereka
dipaksa menerima habitus kelas atas atau penguasa.
Implikasi dari cara pandang Pierre Bourdieu dalam Harker et al. (2005)
khususnya mengenai konstruksi praksis itu, maka simbol-simbol dan konsepsikonsepsi mengenai suatu kebudayaan dianggap sebagai sesuatu yang cair,
dinamis, variatif, dan sementara karena keberadaanya sangat tergantung pada
praksis para individu yang berada dalam konteks ruang sosial tertentu.
Kebudayaan dalam pengertian ini merupakan suatu konstruksi sosial bertalian erat
dengan kepentingan dan kekuasaan yang dimiliki oleh si aktor dalam hal ini
pemerintah dan pengusaha perkebunan. Kebudayaan dalam arti konteks semacam
ini menawarkan sejumlah konsepsi yang menjadi bahan pertimbangan si pelaku
dalam menentukan tindakannya dan menginterpretasikan suatu aturan sesuai
dengan konsepsi yang diyakininya dan dapat menguntungkan kepentingan dan
keberlangsungan usaha investasinya.
Lewat teori habitusnya, Bourdieu menunjukkan bagaimana relasi kuasa
terjadi dalam struktur masyarakat tertentu. Namun, lewat konsep habitus itu
terlihat bahwa realitas sosial tidaklah begitu sederhana seperti penjelasan lewat
72
73
Teori Hegemoni
Posisi yang tidak imbang dalam struktur pemerintahan dan sosial
74
memenangi kesadaran. pihak yang dikuasai oleh penguasa. Selain itu, pihak yang
dikuasai tidak hanya merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai serta norma
penguasa, tetapi memberikan kesepakatan atas subordinasi mereka. Inilah yang
disebut hegemoni atau menguasai kepemimpinan moral dan intelektual secara
konseptual.
Teori hegemoni dibangun atas premis yang menyatakan pentingnya ide
dan tidak mencukupinya kekuatan fisik dalam kontrol sosial politik (Sugiono,
1999: 31--34). Pentingnya ide dalam kontrol sosial politik memiliki arti agar yang
dikusai mematuhi penguasa, sedangkan yang dikuasai tidak hanya harus merasa
mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa. Lebih dari itu,
mereka harus memberikan persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang
dimaksudkan Gramsci dengan hegemoni atau dengan kata lain hegemoni dapat
diartikan menguasai dengan kepemimpinan moral dan intelektual. Di pihak lain,
penggunaan kekuatan hanya merupakan salah satu dari berbagai macam bentuk
kekuasaan. Stabilitas kekuasaan dapat terselenggara berkat inkorporasi kelompok
yang dikuasai terhadap ideologi, moral, dan kultur penguasa.
Pada dasarnya kepatuhan pada aturan dan perangkat hukum penguasa
dapat
disebabkan
oleh
tiga
hal,
yaitu
karena
takut,
terbiasa,
dan
75
pasar
yang
dilandasi
oleh
nilai-nilai
kapitalisme
berupaya
76
menyebabkan kelompok kelas atas ini mencari areal. Hal ini sejalan dengan era
otonomi daerah yang sedang giat-giatnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi
menjadikan semua itu berkolaborasi dengan mesra dalam menyebabkan gerakan
tandingan (counter movement) yang tidak cocok dan sejalan dengan prinsip pasar
pada masa-masa yang lalu. Oleh karena itu, teori ini relevan untuk menganalisis
perlawanan dalam pelaksanaan penguatan hukum adat dan kearifan lokal.
Dalam penelitian ini, teori hegemoni digunakan untuk memahami
kekuatan-kekuatan dominan yang melakukan hegemoni terhadap kelompokkelompok subordinat dalam pengelolaan dan pemberian hak atas tanah. Walaupun
perlawanan dengan maniring hinting dari masyarakat terhadap kebijakan
pemerintah, berbagai upaya konsensus atau kesepakatan terus dilakukan sampai
mendapatkan hasil yang disepakati dan dapat menampung semua kepentingan.
2.4.
Model Penelitian
Model penelitian kualitatif juga disebut metode postpositivistik karena
berlandaskan
filsafat
positivisme
yang
berkaidah
ilmiah,
yaitu
77
78
Gambar 2.1
Model Penelitian
Globalisasi
Keterpinggiran/Marginalisasi
Hak-Hak Masyarakat Dayak
di Kab Kotim, Prov Kalteng
Negara
-
Badan Pertanahan
Negara (BPN)
Pengusaha/Investor
- Perkebunan Besar
Swasta (PBS)
Gerakan Kontra
Hegemoni
Ritual Maniring
Hinting
Kontra Hegemoni
dalam
Pembertahanan
Hak-Hak atas Tanah
Masyarakat Dayak
Proses Pelaksanaan
ManiringHinting
Keterangan:
= saling pengaruh
= berpengaruh
= harapan/ideal
Makna Perlawanan
Maniring Hinting
dalam Masyarakat
Dayak
79
80
masyarakat adat
Dayak dengan ideologi dan kearifan lokal yang berbasis keharmonisan dan
keseimbangan terhadap alam yang dalam pemahaman masyarakat Dayak hutan
dan kosmos merupakan bagian dari diri manusia orang Dayak sebagai manifestasi
batang garing (pohon kehidupan) yang berisikan nilai menjaga hubungan
keseimbangan antara Tuhan, alam, manusia.
Untuk membongkar praktik pergulatan ideologi, pelaksanaan, dan makna
maniring hinting tersebut digunakan teori-teori postmodern, seperti teori praktik
sosial Bourdieu, teori kuasa dan pengetahuan Foucault, serta teori hegemoni
Gramsci. Oleh karena objek penelitian ini adalah masyarakat Dayak, maka
pembongkaran ritual maniring hinting dalam penelitian ini digunakan teori , teori
disiplin dan hukuman. Akan tetapi, teori disiplin dan hukuman Foucault dalam
penelitian ini berkaitan erat dan berhubungan langsung dengan teori-teori kritis
yang sudah disebutkan di atas. Dapat juga dikatakan bahwa teori disiplin dan
hukuman yang digunakan dalam memahami ritual maniring hinting sebagai
sebuah ritual untuk menghukum dan mendisilkan kelompok elite yang dominan
secara secara spritual dengan tanda/simbol lokal. Hal ini disebabkan oleh upaya
81
untuk membongkar secara kritis konteks ritual maniring hinting sebagai konta
hegemoni masyarakat Dayak dalam praktik perjungan dan mempertahankan hakhak atas tanah yang masih mencari pola dan berproses di dalam keadaan dan
situasi ketidakapastian undang-undang, peraturan, dan konsep yang jelas tentang
perlindungan terhadap masyarakat adat di nusantara khususnya masyarakat
Dayak.