Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1

Latar belakang
Skizofrenia secara harfiah bukan berarti jiwa yang terpisah (schizein= terpisah;

phrenia= jiwa), tetapi orang dengan skizofrenia dapat melihat dunia dengan cara yang berbeda
dari orang di sekitar mereka. Mereka bisa mendengar/ melihat/ merasakan hal yang tidak dialami
oleh orang lain (halusinasi), misalnya mendengar suara (yang cenderung menjadi halusinasi yang
paling umum). Mereka memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan dalam hal yang tidak benar
(delusi), misalnya bahwa orang membaca pikiran mereka, mengendalikan pikiran mereka atau
berencana menyakiti mereka. Ketika dunia mereka tampak menyimpang akibat adanya
halusinasi dan delusi, orang dengan skizofrenia dapat merasa takut, cemas dan bingung. Mereka
bisa menjadi begitu kacau sehingga mereka dapat merasa takut sendiri dan juga dapat membuat
orang di sekitar mereka takut.
Skizofrenia terjadi di seluruh dunia. Penyakit ini mempengaruhi sekitar 1% orang semasa
hidup mereka dan angka penyakit sangat mirip dari negara ke negara. Berdasarkan data yang
dikeluarkan World Health Organization (WHO), penderita gangguan psikis dengan diagnosis
skizofrenia telah menjangkiti kurang lebih 24 juta jiwa di seluruh dunia (WHO, 2010). Dari
jumlah 24 juta jiwa tersebut, di Indonesia tercatat sebanyak 1.928.663 juta jiwa dengan
skizofrenia. Meskipun skizofrenia hanya menjangkiti sedikit bagian dari populasi, menurut
WHO skizofrenia merupakan kelainan psikis yang menempati peringkat kedua dalam penyakit
yang menyebabkan beban paling besar setelah penyakit jantung. Beban yang ditimbulkan
skizofrenia terutama dirasakan oleh pihak keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan
skizofrenia.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Agar mahasiswa-mahasiswi mampu memahami asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan psikiatrik : Skizofrenia
1.2.2 Tujuan khusus
1. Agar mahasiswa/I mampu memahami konsep medis asuhan keperawatan pada klien
dengan gangguan psikiatrik : Skizofrenia

2. Agar mahasiswa/I mampu memahami konsep keperawatan asuhan keperawatan pada


klien dengan gangguan psikiatrik : Skizofrenia

BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1

Konsep Medis
2.1.1. Defenisi
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik

mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku
seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara,
walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock, 2003).
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama dalam pikiran,
emosi, dan perilaku, pikiran yang terganggu, dimana berbagai pemikiran tidak salaing
berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru afek yang datar atau tidak sesuai,
dan berbagai gangguan aktifitas motorik yang bizzare (perilaku aneh), pasien skizofrenia
menarik diri dari orang lain dan kenyataan, sering kali masuk ke dalam kehidupan fantasi yang
penuh delusi dan halusinasi ( Konsten & Ziedonis. 1997, dalam Davison 2010).
2.1.2. Klasifikasi
a) Skizofrenia paranoid
Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah mulai 30 tahun.Permulaanya mungkin
subakut, tetapi mungkin juga akut. Kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat
digolongkan schizoid. Mereka mudah tersinggung, suka menyendiri, agak congkak dan kurang
percaya pada orang lain.
b)

Skizofrenia hebefrenik
Permulaanya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada masa remaja

atau antara 15 25 tahun. Gejala yang mencolok adalah gangguan proses berpikir, gangguan
kemauan dan adanya depersonalisasi atau double personality. Gangguan psikomotor seperti
mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada skizofrenia
heberfrenik, waham dan halusinasinya banyak sekali.

Skizofrenia katatonik

c)

Timbulnya pertama kali antara usia 15 sampai 30 tahun, dan biasanya akut serta
sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor
katatonik.
d) Skizofrenia simplex

Sering timbul pertama kali pada masa pubertas.Gejala utama pada jenis simplex
adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya sukar
ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali ditemukan.
e) Skizofrenia residual

Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat sedikitnya satu
episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala berkembang kea rah gejala negative yang lebih
menonjol. Gejala negative terdiri dari kelambatan psikomotor, penurunan aktivitas, penumpukan
afek, pasif dan tidak ada inisiatif, kemiskinan pembicaraan, ekspresi nonverbal yang menurun,
serta buruknya perawatan diri dan fungsi sosial (Davison, 2010).
2.1.3. Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab skizofrenia,
antara lain :
a) Faktor Genetik
Menurut Maramis (1995), faktor keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal
ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia terutama
anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara
kandung 7 15%; bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 16%;
bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40 68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2
-15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 86%.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut quantitative
trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang
berlokasi di tempat-tempat yang berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan
mengapa ada gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari
ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia semakin tinggi dengan
semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang memiliki penyakit ini (Durand & Barlow,
2007).
b) Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang disebut
neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-neuron berkomunikasi satu

sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter
dopamine yang berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang
abnormal terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine yang
berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa neurotransmitter lain seperti serotonin
dan norepinephrine tampaknya juga memainkan peranan (Durand, 2007).
c) Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama semakin
kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang tua-anak yang patogenik,
serta interaksi yang patogenik dalam keluarga (Wiraminaradja & Sutardjo, 2005).
Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga mempengaruhi
penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic mother kadang-kadang digunakan
untuk mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang
diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-anaknya (Durand & Barlow, 2007).
Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam Baihaqi et al, 2005), keluarga pada masa kanakkanak memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian. Orangtua terkadang
bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk berkembang, ada
kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi
bimbingan dan anjuran yang dibutuhkannya.
2.1.4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis, dan terapi
psikososial.
a) Terapi Biologis
Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi dengan
menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan bagian otak. Terapi
dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala skizofrenia. Obat yang
digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat
tersebut termasuk kelompok obat phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol).
Obat ini disebut obat penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan
kelesuan, tetapi tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi
(orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi penderita skizofrenia
yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan (Durand, 2007).

Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock pada penatalaksanaan


terapi biologis. Pada akhir 1930-an, electroconvulsive therapy (ECT) diperkenalkan sebagai
penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan
masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada
berbagai gangguan jiwa, termasuk skizofrenia.
Menurut Fink dan Sackeim (1996) antusiasme awal terhadap ECT semakin memudar
karena metode ini kemudian diketahui tidak menguntungkan bagi sebagian besar penderita
skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih dilakukan hingga saat ini. Sebelum prosedur
ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat
menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke
tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan
pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai
serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik (Durand, 2007).
Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak Moniz (1935, dalam
Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses operasi primitif dengan
cara membuang stone of madness atau disebut dengan batu gila yang dianggap menjadi
penyebab perilaku yang terganggu. Menurut Moniz, cara ini cukup berhasil dalam proses
penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi,
pada tahun 1950-an cara ini ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan
kognitifnya, otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.
b) Terapi Psikososial
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasi pengobatan di
dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan. Secara
historis, sejumlah penanganan psikososial telah diberikan pada pasien skizofrenia, yang
mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini merupakan akibat masalah adaptasi
terhadap dunia karena berbagai pengalaman yang dialami di usia dini. Pada terapi psikosial
terdapat dua bagian yaitu terapi kelompok dan terapi keluarga (Durand, 2007). Terapi kelompok
merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan
saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai pemberi arah di
dalamnya. Para peserta terapi saling memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang

dialami. Peserta diposisikan pada situasi sosial yang mendorong peserta untuk berkomunikasi,
sehingga dapat memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan berkomunikasi.
Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok. Terapi ini
digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal bersama
keluarganya. Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapan-ungkapan emosi yang bisa
mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali.
Dalam hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan
perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan untuk
memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang
keadaan penderita dan cara-cara untuk menghadapinya. Dari beberapa penelitian, seperti yang
dilakukan oleh Fallon (Davison, et al., 1994; Rathus, et al., 1991) ternyata campur tangan
keluarga sangat membantu dalam proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah
kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual.
2.1.5. Pengkajian keperawatan
a) Identitas
Sering ditemukan pada usia dini atau muncul pertama kali pada masa pubertas.
b) Keluhan Utama
Keluhan utama yang menyebabkan pasien dibawa ke rumah sakit biasanya akibat adanya
kumunduran kemauan dan kedangkalan emosi.
c) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi sangat erat terkait dengan faktor etiologi yakni keturunan, endokrin,
metabolisme, susunan syaraf pusat, kelemahan ego.
d) Psikososial
1) Genogram
Orang tua penderita skizofrenia, salah satu kemungkinan anaknya 7-16 % skizofrenia,
bila keduanya menderita 40-68 %, saudara tiri kemungkinan 0,9-1,8 %, saudara
kembar 2-15 %, saudara kandung 7-15 %.
2) Konsep Diri
Kemunduran kemauan dan kedangkalan emosi yang mengenai pasien akan
mempengaruhi konsep diri pasien.
3) Hubungan Sosial
Klien cenderung menarik diri dari lingkungan pergaulan, suka melamun, berdiam diri.
4) Spiritual
Aktifitas spiritual menurun seiring dengan kemunduran kemauan.
5) Status Mental
6) Penampilan Diri

Pasien tampak lesu, tak bergairah, rambut acak-acakan, kancing baju tidak tepat,
resliting tak terkunci, baju tak diganti, baju terbalik sebagai manifestasi kemunduran
kemauan pasien.
7) Pembicaraan
Nada suara rendah, lambat, kurang bicara, apatis.
8) Aktifitas Motorik
Kegiatan yang dilakukan tidak bervariatif, kecenderungan mempertahankan pada satu
posisi yang dibuatnya sendiri (katalepsia).
9) Emosi
Emosi dangkal
10) Afek
Dangkal, tak ada ekspresi roman muka.
11) Interaksi Selama Wawancara
Cenderung tidak kooperatif, kontak mata kurang, tidak mau menatap lawan bicara,
diam.
12) Persepsi
Tidak terdapat halusinasi atau waham.
13) Proses Berfikir
Gangguan proses berfikir jarang ditemukan.
14) Kesadaran
Kesadaran berubah, kemampuan mengadakan hubungan dengan dan pembatasan
dengan dunia luar dan dirinya sendiri sudah terganggu pada taraf tidak sesuai dengan
kenyataan (secara kualitatif).
15) Memori
Tidak ditemukan gangguan spesifik, orientasi tempat, waktu, orang baik.
16) Kemampuan penilaian
Tidak dapat mengambil keputusan, tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan, selalu
memberikan alasan meskipun alasan tidak jelas atau tidak tepat.
17) Tilik diri
Tak ada yang khas.
18) Kebutuhan Sehari-hari
Pada permulaan penderita kurang memperhatikan diri dan keluarganya, makin
mundur dalam pekerjaan akibat kemunduran kemauan. Minat untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri sangat menurun dalam hal makan, BAB/BAK, mandi,
berpakaian, intirahat tidur.
2.1.6. Diagnose keperawatan
a. Halusinasi pendengaran
b. Resiko mencederai diri, orang lain, dan lingkungan
c. Menarik diri
d. Harga Diri Rendah

e. Koping individu tidak efektif (Carpenito, 2006).


2.1.7. Strategi pelaksanaan
1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik :
a) Sapa pasien dengan ramah, baik verbal maupun non verbal.
b) Perkenalkan nama lengkap, nama panggilan dan tujuan perawat berkenalan.
c) Tanyakan nama lengkap pasien dan nama panggilan yang disukai pasien.
d) Buat kontrak yang jelas.
e) Tunjukkan sikap yang jujur dan menepati janji setiap kali interaksi.
f) Tunjukkan sikap empati dan menerima apa adanya.
g) Beri perhatian kepada pasien dan memperhatikan kebutuhan dasar pasien.
h) Tanyakan perasaan pasien dan masalah yang dihadapi.
2. Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap.
3. Tanyakan apa yang didengar dari halusinasinya.
4. Tanyakan kapan halusinasinya datang.
5. Tanyakan isi halusinasinya.
6. Bantu pasien mengenal halusinasinya
a. Jika menemukan pasien sedang halusinasi, tanyakan apakah ada suara yang
didengar.
b. Jika pasien menjawab ada, lanjutkan apa yang dikatakan.
c. Katakan bahwa perawat percaya pasien mendengar suara itu, namun perawat
sendiri tidak mendengarnya (dengan nada bersahabat, tanpa menuduh atau
menghakimi).
d. Katakan bahwa pasien lain juga yang seperti pasien.
e. Katakan bahwa perawat akan membantu pasien.
7. Diskusikan dengan pasien:
a. Situasi yang menimbulkan atau tidak menimbulkan halusinasi.
b. Waktu, frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang, sore dan, malam atau jika
sendiri, jengkel atau sedih).
c. Diskusikan dengan pasien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi
(marah/takut, sedih, senang) beri kesempatan mengungkapkan perasaan
8. Bantu pasien menghardik halusinasi
a. Dengan cara menghardik, katakana saya tidak mau dengar kamu (pada saat
halusinasi terjadi).
9. Temui orang lain (perawat, teman atau anggota keluarga) untuk bercakap-cakap atau
mengatakan halusinasi yang didengar.
10. Membuat jadwal kegiatan sehari-hari.
11. Meminta keluarga, teman atau perawat untuk menyapa pasien jika terlihat berbicara
sendiri, melamun atau kegiatan yang tidak terkontrol.
12. Bantu pasien untuk memilih dan melatih cara memutus halusinasi secara bertahap.
13. Beri kesempatan untuk melakukan cara yang dilatih. Evaluasi hasilnya dan beri
pujian jika berhasil.
14. Anjurkan pasien mengikuti TAK, jenis orientasi realita, atau stimulasi persepsi

15. Anjurkan pasien untuk member tahu keluarga jika mengalami halusinasi.
16. Diskusikan dengan keluarga (pada saat keluarga berkunjung atau kunjungan rumah)

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J., 2006, Rencana asuhan dan pendokumentasian keperawatan (Edisi 2), Alih
Bahasa Monica Ester, Jakarta : EGC

Davison, G.C & Neale J.M. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Durand, V. M, Barlow, D.H. 2007. Essentials of Abnormal Psychology. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press
Sadock ,Benjamin james dan Sadock, Virginia Alcott. 2003. Gangguan ansietas. Dalam :
Kaplan & Sadock buku ajar psikiatri klinis. Ed Ke- 2. Jakarta: EGC

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN PSIKIATRI :


SKIZOFRENIA

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 1
1.
2.
3.
4.
5.

Alberrista
Amnes
Devi
Ika
Stefani

PROGRAM STUDI NERS TAHAP AKADEMIK


STIKES ST. ELISABETH MEDAN
2016

Anda mungkin juga menyukai