Anda di halaman 1dari 6

Dakwah Kampus, Gambaran Besar dan Arahnya

ke Depan
Ibrohim Abdul Halim 29/06/16 | 13:44 Mimbar Kampus Belum ada komentar 587 Hits

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran,
atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Ilustrasi. (fatman.fi)
dakwatuna.com Kalau kita buka-buka lagi dokumen manhaj dakwah kampus, kita akan
menemukan dakwah kampus didefinisikan sebagai dakwah ammah dan harakah zhahirah dalam
lingkup perguruan tinggi. Dakwah ammah berarti dakwah secara umum, dalam arti tidak ada
kekhususan dalam aspek-aspek tertentuadapun munculnya beberapa aspek/bidang dalam dakwah
kampus adalah ikhtiar untuk mendefinisikan keumuman tersebut sekaligus kebutuhan dakwah di
kampus. Harakah zhahirah berarti gerakan yang terbuka, gamblang, terlihat, dan tampak di
permukaan. Definisi keterbukaan ini yang selalu mengalami dinamika, karena batasan-batasannya
cenderung merupakan ijtihad masing-masing qiyadah di masanya. Selain itu, dalam dokumen manhaj
kita juga akan menemukan bahwa medan dakwah kampus adalah lingkungan internal dan eksternal
yang berpengaruh terhadap dakwah kampus, meliputi personal, sarana, dan aturan main yang
berlaku.
Saya sendiri lebih suka menjelaskan dakwah kampus melalui penggambaran tiga elemen dalam fiqih
dakwah: mabadi/manhaj, washilah, dan ghayah. Atau dalam bahasa yang lebih umum: landasan,
sarana, dan tujuan. Landasan dakwah ini jelas, yaitu manhaj kenabian yang bersumber langsung dari
Al-Quran dan sunnah. Sementara itu, tujuan dakwah biasanya saya bagi dua: tujuan pribadi dan
tujuan gerakan. Tujuan pribadi berdakwah adalah keridhaan Allah swt dan surga-Nya yang telah
dijanjikan. Tujuan gerakan dakwah, mengutip tingkatan amal Imam Al-Banna, adalah Islam sebagai
ustadziatul alammenjadi soko guru bagi semesta alam. Di antara mabadi dan ghayah, terdapat
washilah yang menjadi penghubung antar keduanya. Jika landasan dan tujuan adalah sesuatu yang

baku, maka sarana sebagai jalannya tidak pernah baku; ia selalu dinamis dan sangat mungkin
mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Dalam tataran yang lebih kecil, yaitu kampus, apa yang kita sebut sebagai dakwah kampus adalah
sarana. Ia memiliki kaidah-kaidah dasar, yang paling utama adalah bersumberkan aqidah, fikrah, dan
minhaj Islam. Ia memiliki tujuan, yaitu suplai alumni yang berafiliasi kepada Islam dan optimalisasi
peran kampus dalam upaya mentransformasi masyarakat menuju masyarakat islami. Adapun bentuk
dari dakwah kampus itu sendiri sebagai sarana, ia bisa jadi berubah-ubah dan menyesuaikan dengan
kebutuhan zamannya. Dan saya kira, kita sendiri menyaksikan langsung, atau setidaknya
mendengarkan ceritanya langsung, bagaimana poros dakwah kampus perlahan-lahan bergerak.
Pada awalnya, dakwah kampus, atau istilah yang lebih tepat digunakan ketika itu adalah dakwah di
kampus, bermula dari liqa/mentoring. Liqa merupakan kegiatan rutin pekanan yang membahas topiktopik keislaman dan kondisi masing-masing binaan. Hanya saja, pada waktu itu pemerintah (orde
baru) sangat ketat dalam mengawasi aktivitas-aktivitas liqa, sehingga ia bergerak secara sembunyisembunyi. Tapi justru di bawah tekanan itulah terbentuk grup-grup liqa yang tangguh, yang siap
bergerak dan digerakkan. Di bawah tekanan itu kaderisasi berjalan cepat, dari hanya satu atau dua
grup liqaan, beranak pinak menjadi beberapa grup liqaan, bercucu-cicit hingga mencapai puluhan,
dan masih terus berkembang hingga sekarang.
Sejalan dengan kaderisasi yang merayap tapi cepat, syiar bergerak di atas permukaan. Yang paling
kita dengar barangkali adalah syiar hijab, terutama karena hijab adalah indikator syiar yang paling
gampang untuk dilihat. Muncul juga daurah-daurah yang tidak lagi tertutup dan berusaha merangkul
lebih banyak orang. Di waktu yang bersamaan, orde baru mulai tumbang, dan dengan demikian,
dakwah semakin berani menampakkan dirinya ke permukaan. Pada titik inilah dakwah mulai mencari
dan membentuk wadah formal, dan wadah formal itu hari ini kita kenal dengan Lembaga Dakwah.
Salam UI, misalnya, didirikan pada tanggal 28 Oktober 1998, tahun-tahun di mana tekanan
pemerintah terhadap dakwah kampus perlahan-lahan mulai hilang.
Lalu reformasi tiba. Kesadaran politik tiba-tiba memenuhi kepala kita, termasuk di kampus.
Sebenarnya tidak tiba-tiba juga, karena prosesnya sudah dimulai dari pertengahan atau bahkan awal
90an. Aktivis Dakwah Kampus mulai masuk ke lembaga-lembaga kemahasiswaan yang sudah ada
terutama yang strategis seperti lembaga eksekutif. Seiring berjalannya waktu, lahan sosial politik
mendapatkan perhatian yang lebih serius dari sebelumnya, dan urusan-urusan seperti pemetaan
serta kaderisasi sospol menjadi sesuatu yang sangat menyita perhatian kita. Di antara beberapa
dialektika dakwah kampus, bahkan ada yang melihat kesan bahwa sosial politik bagi dakwah kampus
sudah bergeser dari sebatas sarana menjadi tujuan. Namun, tetap tak bisa dipungkiri bahwa sosial
politik merupakan medan dakwah yang penting untuk digarap dan diperhatikan.
Rentetan pergerakan poros itu sebenarnya tidak saling meniadakan satu sama lain. Semua berjalan
bersama dengan porsinya masing-masing. Tapi barangkali kita bisa sepakat bahwa jika di tahun
80an kita bertanya kepada orang-orang, apa itu dakwah kampus, mereka yang paham akan
menjawab, dakwah kampus itu ya pengajiannya (liqa). Jika pertanyaan yang sama diajukan di tahun
90an, jawabannya adalah dakwah kampus itu ya syiarnya, atau mushallanya, atau lembaganya.

Setidaknya yang saya tahu, di tahun-tahun ini FSI FE, Lembaga Dakwah MII, dan menyusul
kemudian SALAM UI, berdiri. Jika pertanyaan yang sama diajukan awal tahun 2000, barangkali
hingga sekarang, apa yang terlintas di benak orang ketika disebutkan dakwah kampus, sebagian
mungkin akan menjawab dakwah kampus itu ya mentoringnya; sebagian lagi menjawab dakwah
kampus itu ya lembaganya; namun kita akan menemukan jawaban baru yang barangkali akan
banyak keluar dari mahasiswa yang memerhatikan dinamika kampus: dakwah kampus itu ya..
politiknya.
Terlepas dari semua itu, poin yang ingin saya sampaikan adalah bentuk dakwah kampus sebagai
sebuah sarana selalu mengalami perubahan yang berasal baik dari dinamika internal maupun
eksternal. Dinamika internal yang paling besar pengaruhnya adalah karakteristik generasi pengisi
dakwah kampus yang senantiasa mengalami perubahan. Dinamika eksternal yang berpengaruh
adalah kondisi mahasiswa secara umum, pergolakan kebijakan dan arah kampus, atau bahkan
pergolakan di tingkat nasional. Pertanyaan besarnya adalah, menghadapi serangkaian dinamika serta
latar sejarah itu, ke arah mana dakwah kampus ke depan bergerak?
Menurut saya, dakwah kampus ke depan akan bergerak ke arah keilmuan dan karakteristik karier
kehidupan masing-masing aktivitas dakwah kampus. Ia harus menjadi jembatan antara kehidupan
kampus dan kehidupan pasca kampus, karena hanya dengan cara itulah dakwah kampus tidak akan
ditinggalkan oleh objek dakwahnya, atau bahkan juga oleh para aktivisnya.
Setidaknya ada beberapa alasan. Pertama, mahasiswa sudah mampu berpikir lebih jauh ke depan,
atau dalam kata lain, visioner. Mereka sejak awal dibiasakan membangun peta hidupnya hingga 5
tahun, 10 tahun, atau bahkan 20 tahun yang akan datang. Peta hidup yang diturunkan dari tujuan
jangka panjang itulah yang kemudian menjadi pedoman selama kehidupan kampus: apa-apa saja
yang harus dilakukan selama di kampus, siapa saja yang harus dikenal, kemampuan apa yang harus
diambil, pengalaman seperti apa yang harus didapatkan, dan seterusnya. Sayangnya, sering kali
tidak ada dakwah kampus di dalamnya, kecuali mungkin bagi segelintir orang saja (berapa banyak
aktivis dakwah yang secara sadar menjadikan dakwah kampus sebagai satu langkah menuju cita-cita
jangka panjangnya?).
Akhirnya, dakwah kampus hanya menjadi sampingan, sekedar menggugurkan kewajiban, tidak enak
menolak amanah. Tapi barangkali mereka tidak bisa juga sepenuhnya disalahkan, karena alasannya
jelas: dakwah kampus tidak mengarahkan mereka menuju masa depan, bahkan (mungkin) sering kali
menghambat dan menyeret mereka untuk tetap berada di tempat. Fakta ini memang pahit, tidak
seharusnya aktivis dakwah kampus beranggapan seperti ini. Seharusnya setiap aktivis dakwah
kampus merasa bahwa jalan dakwah, sebagaimana persepsi yang coba dibangun oleh Ketua MS UI
19, adalah jalan cinta kita. Tapi karakteristik seperti itulah yang kita hadapi, suka atau tidak suka.
Sebaliknya, apa-apa yang mendukung karier pasca kampus, itulah yang menjadi fokus mahasiswa
dan menjadi jalan utama, seperti IPK, skripsi, berbagai perlombaan, konferensi, pembentukan bisnis,
keikutsertaan di organisasi ternama, asisten dosen/asisten lab, kegiatan sosial-masyarakat, dan
sebagainya.

Kedua, secara eksternal kita dihadapkan pada keterbukaan dunia (globalisasi) yang semakin
mengarah kepada keterbukaan lalu lintas barang maupun orang. Keterbukaan akses ini dilihat dari
segi manapun akan semakin mendorong mahasiswa untuk mempersiapkan karier pasca kampusnya
semenjak di bangku kuliah. Dilihat sebagai tantangan karena persaingan kerja akan semakin berat,
globalisasi membuat mahasiswa terinsentif untuk mempertebal portofolio mereka selama di kampus
dengan harapan itu bisa meningkatkan daya saing di pasar kerja. Jika dilihat sebagai peluang, maka
globalisasi mendorong mahasiswa untuk semakin banyak menatap ke luar negeri, mencari kegiatankegiatan di luar sebagai pengalaman, dan menjadikan lanjut kuliah di luar negeri sebagai salah satu
langkah mereka untuk mencapai cita-cita. Semua hal ini, jika dakwah kampus masih menggunakan
desain lama, akan semakin menjauhkan mahasiswa daripadanya.
Maka, dihadapkan dengan tren seperti itu, dakwah kampus harus segera menyesuaikan diri. Ia,
sebagai sebuah sarana, harus siap dengan perubahan zaman lalu cepat beradaptasi dengannya.
Dan saya lihat, desain dakwah kampus yang mengarah kepada akselerasi mahasiswa selama di
kampus agar siap menghadapi kehidupan pasca kampus merupakan desain terbaik yang bisa
diterapkan di zaman sekarang. Dakwah kampus nantinya berfungsi sebagai jembatan, atau bahkan
batu lompatan, sehingga dengan sendirinya orang-orang berdatangan dan bersemangat untuk ikut
serta. Sekalipun, sekali lagi, bukan berarti sektor-sektor lain menjadi tidak penting. Semuanya tetap
penting, hanya saja porosnya berubah. Perubahan poros itu tentu saja akan mengubah banyak hal,
terutama cara pandang kita dalam melihat sektor-sektor di dakwah kampus.
Sebenarnya, ide untuk membawa dakwah kampus ke arah sana bukanlah ide yang benar-benar baru.
Dalam Menuju Kemenangan Dakwah Kampus, Ahmad Atian (2010) mengedepankan bahwa salah
satu format dakwah kampus ke depan adalah dakwah prestatif. Artinya, dakwah kampus harus
menjadi rahim bagi karya-karya besar sekaligus basis prestasi. 3 tahun sebelumnya, Risalah
Manajemen Dakwah Kampus edisi revisi (2007) menempatkan dakwah akademik dan profesi sebagai
satu bab tersendiri, memperlihatkan betapa selama ini dakwah luput memperhatikan sektor tersebut,
dan pentingnya ia untuk menjadi arah masa depan dakwah kampus. Menariknya, ia diletakkan di bab
terakhir, berada setelah pembahasan panjang lebar mengenai kaderisasi dan manajemen SDM,
sistem organisasi, manajemen syiar, keuangan, dan jaringan Lembaga Dakwah Kampus. Beberapa
orang mungkin beranggapan bahwa peletakannya di bagian akhir menunjukkan kecilnya urgensi
sektor tersebut. Tapi menurut saya, ini menunjukkan bahwa pada akhirnya, setelah panjang lebar kita
bicara mengenai manajerial dakwah kampus, kita kelak akan segera bicara tentang dakwah kampus
dalam perspektif akademik dan profesi, atau dalam bahasa saya: dakwah kampus sebagai jembatan
antara kehidupan kampus dan kehidupan pasca kampus. Inilah masa depan. Dan ke arah sanalah
kita harus bergerak.
Awalnya saya ingin mengakhiri tulisan ini di sini. Tapi ternyata tidak.
Ada satu pertimbangan lain yang barangkali luput kita pikirkan, yaitu ke arah mana dunia ini akan
bergerak ke depan. Perlu menjadi catatan serius bahwa kita sekarang berada di akhir zaman. Jika
melihat pada periodisasi zaman yang disabdakan oleh Rasulullah, kita sedang berada di periode

keempat, yaitu periode raja yang zhalim/menindas. Periode ini pasti akan berlalu dan kita akan
memasuki babak baru, yang sebenarnya sudah pernah terjadi sebelumnya, yaitu kekhilafahan yang
tegak di atas manhaj kenabian. Proses pergeseran periode itu akan terjadi melalui beberapa
penaklukan (jihad fii sabilillah), di mana kaum muslimin nantinya berada di bahwa satu kepemimpinan
dengan satu orang pemimpinorang-orang akan menyebutnya Al-Mahdi. Adapun orang-orang
bathil akan berada di bawah penguasa-penguasa zhalim, dan puncaknya adalah kepemimpinan
Dajjal.
Jika kita baca hadits-hadits yang menunjukkan tanda-tanda kiamat kecil, dengan mudah kita
menemukan bahwa sebagian besar sudah terjadi sekarang. Jika kita baca hadits tentang tanda-tanda
sebelum kemunculan Imam Mahdi, itupun sebagian sudah terjadi. Jika kita baca hadits Tamim adDari misalnya, kita akan menemukan bahwa tanda-tanda kemunculan Dajjal sudah nyaris terjadi total
hari-hari ini. Maka sebenarnya kita harus sadar bahwa kita kini berada di ambang sebuah skenario
besar akhir zaman, yang kedatangannya tak bisa kita tolak sama sekali. Bisa jadi, berdasarkan
bacaan kita atas nubuwat yang disabdakan Nabi saw, huru-hara itu akan terjadi di generasi kita, atau
mungkin generasi setelah kita. Hanya Allah yang tahu.
Pertanyaan yang sering saya pikirkan adalah, seberapa penting karier akademik, bisnis, profesi, dst
nantinya di hadapan huru-hara akhir zaman? Apakah itu yang lebih penting ataukah iman dan amal?
Pertimbangan inilah yang seharusnya dimasukkan juga dalam menentukan arah gerak dakwah
kampus ke depannya. Di hadapan huru-hara akhir zaman, saya kira terlalu sempit rasanya jika
dakwah kampus hanya diarahkan untuk persiapan karier pasca kampus. Kita punya satu agenda
yang lebih besar, yaitu mempersiapkan umat agar siap tergabung dalam satu barisan kaum muslimin.
Agenda besar itu sepertinya tidak akan jadi prioritas jika kita hanya mengikuti tren dinamika internal
dan eksternal dakwah kampus, yaitu karier pasca kampus. Sudah seharusnya dakwah kampus
berinisiatif mengambil peran strategis yang lebih dari itu, yaitu melahirkan anak-anak muda terdidik
yang memiliki pemahaman Islam mendalam, dekat dengan Al-Quran dan sunnah, sehingga tidak
canggung dan kaget dengan badai fitnah di akhir zaman serta siap melalui prosesnya dengan berada
di barisan yang benar. Kalau kita perhatikan, peran strategis itu utamanya ada di bagian kaderisasi.
Maka, barangkali kita perlu juga menengok format lama. Kembali kepada ashalah dakwah,
yaitu tarbiyah.
Jangan terjebak untuk mengartikan tarbiyah dalam arti yang sempit, apalagi hanya sebatas politik.
Tarbiyah merupakan serangkaian proses pembinaan berkelanjutan seumur hidup, yang luas
jangkauannya, mulia jalannya, dan besar cita-citanya. Proses tarbiyah dalam konteks militansi untuk
dibina dan membina inilah yang mungkin perlahan-lahan mulai hilang dari jiwa para aktivis dakwah.
Liqa hanya dipandang sebagai sebuah kegiatan rutin menjemukan, sehingga dampaknya pun tidak
terasa hingga ke jiwa. Kesalahan pandang para aktivis dakwah terhadap ashalah dakwah yaitu
tarbiyah harus dibenahi. Selama ini kita beranggapan bahwa yang namanya aktivis dakwah sudah
pasti selesai dengan proses tarbiyahnya, sehingga bisa langsung mengisi peran-peran strategis dan
amal-amal jamai di kampus. Padahal jangan-jangan, objek dakwah tarbiyah yang paling urgen
adalah para aktivis dakwah itu sendiri. Berapa banyak aktivis dakwah, mungkin termasuk saya, yang
lemah pemahaman Islamnya, belum fasih tahsinnya, sedikit hafalan Quran dan haditsnya, rendah

standar yaumiyahnya, dan payah dalam istiqamahnya? Saya kira, poros kaderisasi dakwah kampus
perlu kembali diperkuat dan pembinaan harus kembali menjadi ruh dakwah kampus.
Maka, jika saya boleh menyimpulkan tulisan singkat ini, kira-kira kesimpulannya begini:
Dakwah kampus ke depan harus bergerak sebagai jembatan mahasiswa dari kehidupan kampus
menuju kehidupan pasca kampus. Kecenderungan mahasiswa untuk menata kariernya ke depan
dengan rapi harus kita wadahi, karena jika berhasil, kita akan menjadi gerakan kampus yang lebih
maju dari gerakan-gerakan lainnya. Kita harus memiliki pemetaan dan pendataan yang rapi terkait
jalan karier masing-masing aktivis dakwah kampus. Di saat yang bersamaan, karena kesadaran
bahwa kita sedang berada di tengah skenario akhir zaman, dakwah kampus harus menekankan
kembali pentingnya tarbiyah dan memastikan setiap aktivis dakwah bersetia di jalan pembinaannya
dengan baik. Cara kita dalam memandang tarbiyah harus dipersepsi ulang, dari sebatas kebutuhan
pengisi bahan bakar dakwah, menjadi cara untuk membangun generasi yang teguh di atas jalan
kebenaran. Dengan cara itu, insya Allah, dakwah kampus akan memiliki internal yang solid dan kuat,
serta ramah dan mendunia secara eksternal.
Saya kira itu garis besar dakwah kampus dan arahnya ke depan yang bisa saya tuangkan, terutama
berdasarkan sedikit pengalaman dan pengamatan di dakwah kampus Universitas Indonesia. Ini
hanya gambaran besar. Saya kira, jika berbicara teknis, lebih banyak lagi yang bisa kita diskusikan.
Tentu saya sadari pemikiran ini sangat mungkin mengandung kesalahan atau ketidaksesuaian.
Semoga Allahswt memaafkan segala khilaf dan senantiasa menunjukkan kita jalan yang benar.
Wallahu alam. Salam. (dakwatuna.com/hdn)

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2016/06/29/81132/dakwah-kampus-gambaran-besar-danarahnya-ke-depan/#ixzz4KD7TSJv3
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Anda mungkin juga menyukai