Anda di halaman 1dari 7

Liberalisasi Pangan Makin Subur

Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Universitas Brawijaya, Malang


Senin, 7 November 2011

JAKARTA (Suara Karya): Indonesia dinilai sulit mencapai target swasembada untuk menjaga
ketahanan pangan. Salah satunya terlihat dari minimnya dukungan politik ekonomi
pemerintah yang tertuang dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang
memang tidak mendukung tercapainya target kemandirian pangan tersebut.
"Pemerintah lebih banyak menyantuni petani asing dan lebih memprioritaskan
pemberlakuan liberalisasi pangan. Seluruh kebijakan semuanya mengarah dan
menguntungkan pihak asing, sementara dukungan terhadap sektor pertanian di
dalam negeri, termasuk untuk petani, dalam tataran yang minim," kata guru besar
Universitas Brawijaya, Malang, Ahmad Erani Yustika kepada Suara Karya di Jakarta,
Minggu (6/11).
Kondisi ini, menurut dia, diperparah dengan kerap terjadinya kesenjangan antara
masalah yang dihadapi pemerintah dan implementasi kebijakan yang diterapkan di
lapangan. Misalnya terkait adanya indikasi krisis pangan. Seharusnya pemerintah
melakukan proteksi dan meningkatkan produksi pangan di dalam negeri yang
didukung oleh anggaran serta fasilitas lainnya.
"Tetapi, hal ini malah tidak dilakukan pemerintah yang justru mengedepankan
pengadaan serta pasokan untuk stok pangan dari impor. Jadi, sebenarnya sikap
pemerintah terhadap sektor pertanian, khususnya untuk mewujudkan kemandirian
pangan, justru terkesan aneh," tutur Erani.
Seharusnya, lanjutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan
pembenahan di sektor pertanian dalam negeri terlebih dahulu, terutama untuk
memperkuat ketahanan pangan nasional, sebelum memberikan imbauan ke negaranegara anggota G-20 dalam mengantisipasi krisis pangan.
"Negara maju sudah melakukan proteksi terhadap sektor pertanian tanaman pangan
mereka, tetapi Pemerintah Indonesia malah meliberalisasikannya. Krisis pangan di
dunia sudah diantisipasi negara-negara maju, namun Indonesia sendiri kebijakannya
belum jelas," ujarnya.
Di lain pihak, pengamat ekonomi UGM Masyhuri mengatakan, pemerintah seakan
ingin lepas tangan atas tanggung jawab terkait masalah pasokan dan stok pangan
utama untuk masyarakat. Hal ini terlihat dari rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang Pangan yang mengindikasikan adanya pengalihan wewenang secara
berlebihan dalam pengelolaan pangan kepada pemerintah daerah. Padahal, dengan
konsep desentralisasi pangan yang membabi buta, maka tujuan untuk memperkuat
ketahanan pangan justru dikhawatirkan tidak akan tercapai.
"Saya tidak setuju jika urusan pangan 100 persen diserahkan ke daerah. Yang
terjadi, liberalisasi pangan justru makin subur. Padahal tujuan pengelolaan pangan
agar tidak terbawa arus liberalisasi," kata guru besar ekonomi pertanian/agrobisnis
Universitas Gadjah Mada ini.
Menurut dia, pengelolaan pangan yang diserahkan ke masing-masing daerah akan
membuka pintu liberalisasi karena aspek kelembagaan dan manajemen yang masih
lemah.
"Daerah yang surplus komoditas pangan utama akan cenderung membuat harga
panen petani tidak menarik. Akhirnya daerah tersebut akan mengurangi produksi
pangan utama dan beralih ke komoditas yang memiliki nilai jual tinggi, sementara

daerah yang defisit pangan bakal makin terjepit karena terus bergantung pada
impor," ucapnya.
Seperti diketahui, Presiden SBY, dalam jumpa pers di Bandara Halim Perdanakusmah
Jakarta, Sabtu (5/11), sekembalinya dari pertemuan G-20, meminta negara-negara
anggota G-20 mewaspadai terjadinya krisis pangan. Apalagi dengan jumlah
penduduk dunia saat ini yang mencapai 7 miliar orang, maka kekhawatiran akan
pasokan dan stok pangan pun meningkat.
"Saya mengangkat isu yang menjadi kepentingan Indonesia dan ASEAN, khususnya
ketahanan pangan dan perekonomaian. Lima hari lalu, penduduk dunia mencapai 7
miliar. Ini membutuhkan pangan yang lebih besar dengan kualitas yang lebih baik
dari kelompok menengah," katanya.
Menurut SBY, situasi perubahan iklim yang menyebabkan munculnya gagal panen
membuat isu ketahanan pangan menjadi penting bagi dunia. Jika tidak segera
diatasi, maka ketegangan sosial bisa terjadi. "Karena itu, saya menyeru kepada G-20
untuk tingkatkan kerja sama serta dijadikan prioritas sekarang dan ke depan. Bukan
hanya G-20, melainkan lintas regional, misalnya ASEAN dan Eropa," ucap SBY.
Saat ini gejolak harga pangan terus terjadi, dan ini harus jadi perhatian penuh.
ASEAN sudah membuat kerja sama ketahanan pangan dengan menggandeng China,
Jepang, dan Korea Selatan. "Saya sampaikan, dan ini (ketahanan pangan) menjadi
respons yang disepakati. Ketahanan pangan ini memang sangat penting," tuturnya.
(Bayu

Politik >>
03-11-2011 10:24
JAKARTA, PESATNEWS- Kritik tentang isi RUU Pangan makin deras mengalir dari kampus.
Kali ini disuarakan guru besar Ekonomi Pertanian/Agribisnis Universitas Gajah Mada (UGM)
Masyhuri.
Sang profesor dengan tegas menyatakan keberatannya terhadap konten RUU Pangan, yang
mengindikasikan pengalihan wewenang dalam mengelola pangan kepada pemerintah daerah.
Saya tidak setuju jika urusan pangan 100 persen diserahkan ke daerah, tegasnya di Jakarta,
Rabu (2/11) malam.
Masalahnya, dengan konsep desentralisasi pangan membabi buta, maka tujuan untuk memperkuat
ketahanan pangan malah tidak tercapai. Yang terjadi justru makin suburnya liberalisasi pangan.
Maksudnya supaya pengelolaan pangan tidak terbawa arus liberalisasi, eh malah semakin liberal,
ungkap Masyhuri.
Alasannya, pengelolaan pangan yang diserahkan ke masing-masing daerah akan membuka pintu
liberalisasi lantaran manajemen daerah yang lemah. APBD dan kemampuan investasi yang
terbatas membuat produksi komoditas pangan di daerah menjadi tidak profitable.

Daerah yang surplus komoditas pangan utama akan cenderung membuat harga tidak menarik.
Akhirnya daerah tersebut akan mengurangi produksi pangan utama dan beralih ke komoditas yang
memiliki nilai jual tinggi. Sementara
daerah yang defisit pangan bakal
semakin terjepit, karena terus
bergantung pada impor, ungkapnya

Pangan Diliberalisasi
| Kamis, 10 November 2011 | 02:20 WIB
|

Share:
Jakarta, Kompas - DPR membuka ruang lebar bagi liberalisasi pangan. Hal ini terwujud dalam
Rancangan Undang-Undang tentang Pangan yang selesai disusun dan sekarang berada di tangan
pemerintah. Peran Perum Bulog dalam pengadaan pangan secara sistematis direduksi.
Pemerintah daerah diberi kebebasan mengimpor pangan.
RUU Pangan juga tidak mewajibkan pemerintah pusat/daerah melalui Perum Bulog membeli
gabah/beras petani saat panen raya. Sebaliknya, pemerintah pusat/ daerah justru harus
mendorong swasta (pedagang) untuk mengelola cadangan pangan.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor Hermanto Siregar saat dihubungi, Rabu
(9/11) di Bogor, Jawa Barat, mengatakan, pangan bukan semata komoditas yang memiliki
dimensi ekonomi, tetapi juga politik dan sosial.
Karena sifatnya yang sangat strategis, kebijakan pengelolaan pangan harus di tingkat nasional,
tegas Hermanto.
Apalagi secara institusi, pemerintah daerah tidak memiliki SDM dan kapasitas untuk mengelola
pangan sepenuhnya. Kalau dijalankan akan chaos, kacau, katanya.
Bustanul Arifin, Guru Besar Universitas Lampung dan dosen pascasarjana IPB, mengatakan,
RUU Pangan memicu disintegrasi bangsa. Karena pemerintah daerah mendapat kebebasan penuh
dalam merancang, mengelola, termasuk melakukan ekspor-impor pangan.
Petani terlibas
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir mengatakan, dengan RUU Pangan
itu Indonesia mengarah pada liberalisasi pangan. Siapa kuat dia menang, hukum rimba
berlaku, katanya.
Dalam situsi seperti ini, petani kecil akan semakin tergilas. Mereka tidak punya posisi tawar di
hadapan pedagang. Apalagi, tidak ada kewajiban lagi bagi Perum Bulog untuk membeli
gabah/beras petani saat panen raya.
Membedah RUU pangan yang disusun DPR RI itu, dalam poin menimbang RUU Pangan huruf
(e), mengkritisi UU No 7/1996 tentang Pangan yang bersifat umum dan memihak industri
pangan. Di sisi lain, dalam pasal-pasal RUU Pangan justru menunjukkan keberpihakan DPR
pada liberalisasi pangan pokok.
Bab III menunjukkan, tidak ada kewajiban bagi pemerintah pusat/daerah untuk merencanakan
pangan dalam merancang penyelenggaraan pangan nasional. Justru memberi kebebasan daerah
melakukan ekspor-impor pangan.

Pasal 30 Ayat (2) tidak mewajibkan pemerintah pusat/daerah membeli pangan pokok seperti
beras petani saat panen raya untuk cadangan pangan, termasuk tidak ada kewajiban menugasi
Bulog. Sebaliknya, pedagang diberi keleluasaan mengelola cadangan pangan.
Winarno mengatakan, tidak adanya kewajiban pemerintah membeli gabah/beras saat panen
melalui Perum Bulog akan memukul petani. Ada harga pembelian pemerintah saja petani ditekan
pedagang.
Bila kebebasan diberikan ke daerah, daerah surplus akan ekspor, daerah defisit dan miskin terus
kekurangan pangan. Di sisi lain, pemerintah pusat tidak punya kewenangan, katanya.
Sekalipun penyusutan lahan pangan terus terjadi dengan laju konversi lahan pertanian ke
nonpertanian mencapai 110.000 hektar per tahun, penanganan alih fungsi lahan tidak menjadi
prioritas dalam RUU Pangan.(MAS)
Share
Tweet

HKTI kecam RUU sarat liberalisasi pangan


Online: Jum'at, 11 November 2011 | 06:27 wib ET

Berita Terkait

HKTI ingin putus mata rantai penindas petani


Dana insentif gagal panen rawan diselewengkan
Pembebasan BM impor pangan dinilai tidak strategis
HKTI prihatin daging impor semakin melimpah
Berupaya mewujudkan petani sejahtera dan makmur

SURABAYA, kabarbisnis.com: Himpunan Kerukunan Tani Indonesia(HKTI) mengecam dan


mengutuk disusunnya Rancangan Undang-Undang (RUU) pangan yang dinilai sarat dengan
nuansa liberalisasi pangan.
Sebab, kebijakan tersebut akan membawa Indonesia masuk pada perangkap ketergantunagn
pangan terhadap negara lain. Kalau hal ini sampai terjadi, maka akan menjadi ancaman bagi
ketahanan pangan nasional.

"HKTI mengutuk dengan keras penyusunan RUU yang sarat dengan nilai liberalisasi pangan. Ini
bukan kebodohan, tapi sindikat kejahatan yang terorganisir di kalangan orang cerdas dan
intelektual yang dimanfaatkan oleh segelintir pengusaha kaya yang menginginkan terjadinya arus
pangan yang tidak terkondisikan," tegas Ketua Bidang Penyuluhan Dewan Pimpinan Pusat
(DPP) HKTI, Arum Sabil ketika dikonfirmasi kabarbisnis.com, Surabaya, Jumat (11/11/2011).
Jika sampai Indonesia masuk pada perangkap ketergantungan pangan, lanjutnya, maka
pemerintah tidak akan bisa berbuat apa-apa, terlebih tentang harga. Harga pangan dalam negeri
sepenuhnya akan mengikuti harga dunia yang sarat distorsi karena harga yang terbentuk besar
kemungkinan terjadi politik dumping.
Ini terlihat dari harga yang terbentuk yang cenderung sangat murah. Pada akhirnya, pangan
dalam negeri akan kalah bersaing karena harga lebih tinggi. Artinya, akan ada berpuluh juta
petani dan buruh tani yang mati dilumbung sendiri.
"Harusnya pemerintah, terlebih Dewan Pimpinan Rakyat (DPR) yang terhormat itu mampu
menjaga sumber pangan dalam negeri dengan cara mati-matian melindungi sektor pertanian
sekaligus petaninya dari gempuran luar negeri melalui pemberlakuan tarif barier, tidak malah
membuka kran impor seluas-luasnya hanya untuk kepentingan segelintir orang," tutur laki-laki
yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI)
tersebut.
Pemerintah harusnya tidak mempermudah berbagai komoditas pangan impor masuk Indonesia
melalui berbagai aturan yang dikeluarkan. Upaya pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri
tidak dengan impor akan tetapi dengan melakukan revitalisasi sektor pertanian.
"Dengan berupaya mencari dan mengembangakan varietas atau bibit unggul, perbaikan irigasi
yang menjadi urat nadi pertanian dan memperbaiki tata niaga pertanian," terangnya.
Seperti diketahui, saat ini DPR RI telah menyelesaikan draf RUU pangan yang dinilai akan
membuka ruang lebar bagi liberalisasi pangan. Sebab dalam beberapa klausul di RUU tersebut
menerangkan tidak adanya kewajiban bagi pemerintah pusat ataupun daerah untuk
merencanakan pangan dalam merancang penyelenggaraan pangan nasional namun justru
memberikan keleluasaan pada daerah untuk melakukan importase komoditas pangan.
Selain itu, klausul yang cukup penting juga untuk dikritisi dalam RUU tersebut adalah tidak
adanya kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk membeli pangan pokok seperti beras
petani saat panen raya untuk cadangan pangan, termasuk tidak ada kewajiban menugasi Bulog
untuk menyerap beras petani. Sebaliknya pedagang diberi keleluasaan mengelolah cadangan
pangan.kbc6

Sarat Liberalisasi, RUU Pangan Perlu Dikaji

Surabaya - Rancangan Undang-Undang (RUU) Pangan yang sarat dengan nilai liberalisasi pangan terus
menuai protes. Para pemangku kebijakan di wilayah Jawa Timur (Jatim) menilai RUU tersebut adalah
kebijakan gegabah yang harus dihentikan dan harus dibicarakan lagi lebih dalam dengan semua pihak.
"Harus dihentikan dan harusdibicarakan lagi dengan berbagai pihak, dengan kalangan akademisi,
pemerintah daerah dan seluruh pelaku pertanian di Indonesia. Karena ini menyangkut kedaulatan pangan
nasional," tegas Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Jatim, Budi Setiawan di
Surabaya, Jumat (11/11/2011).
Menurut Budi, pangan adalah persoalan yang sangat krusial dan tidak boleh dianggap remeh. Dan
kedaulatan pangan adalah sendi bangsa yang harus dijaga. Dalam hal ini, peran pemerintah sangat
penting dan sangat dibutuhkan.
"Pangan jangan dilepas begitu saja. Dan negara harus bisa mengendalikan pangan nasional. Negara
tidak boleh membiarkan petani kecil kalah oleh gempuran impor dari berbagai negara. Karena soal
pangan tidak hanya persoalan ekonomi akan tetapi juga ketahanan politik, sosial dan budaya," katanya.
Terlebih bagi Jatim yang notabenenya sebagai provinsi agro, bisa dipastikan akan sangat merugikan.
Ekspor pangan Jatim ke luar pulau akan menurun ketika komoditas pangan impor berkeliaran di pasar
dalam negeri.
Selain itu, lanjutnya, Nilai Tukar Petani ((NTP) akan turun dan kemiskinan akan bertambah banyak.
Sebab sektor pertanian adalah sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar. Di Jatim misalnya, jumlah
tenaga kerja di sektor pertanian per September mencapai sekitar 7,520 juta dari total 19,406 juta jumlah
tenaga kerja diJatim yang bekerja dis eluruh sektor. sb

Anda mungkin juga menyukai