Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

DEMAM THYPOID
A. PENGERTIAN
Demam typoid (typus abdominalis, Typoid fever) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh Salmonella Typhi atau Salmonella Paratyphi A,B, atau C. Penyakit ini
mempunyai tanda-tanda khas berupa perjalanan yang cepat berlangsung lebih kurang 3
minggu disertai dengan demam, toksemia, gejala-gejala perut, pembesaran limpa dan
erusi kulit, Soedarto (1996).
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi hebat yang diawali di selaput lendir usus
dan jika tidak diobati secara progresif menyerbu jaringan di seluruh tubuh, Tambayong
(2000).
Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang
biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari,
gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
Penyebarannya melalui lima F yaitu : Feses (tinja), Flies (lalat), Food (makanan), Finger
(jari tangan) dan Fomites (muntah), Wulandari (2008).
B. ETIOLOGI
Demam typhoid timbul akibat dari infeksi oleh bakteri golongan Salmonella (S.
typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B dan S. paratyphi C) yaitu salmonella thyposa basil
gram negatif yang memasuki tubuh penderita melalui saluran pencernaan. Sumber utama
yang terinfeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab
penyakit,baik ketika ia sedang sakit atau sedang dalam masa penyembuhan.Pada masa
penyembuhan, penderita pada masih mengandung Salmonella spp didalam kandung
empedu atau di dalam ginjal. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak akan menjadi
karier sementara, sedang 2 % yang lain akan menjadi karier yang menahun.Sebagian
besar dari karier tersebut merupakan karier intestinal (intestinal type) sedang yang lain
termasuk urinary type. Kekambuhan yang yang ringan pada karier demam
tifoid,terutama pada karier jenis intestinal,sukar diketahui karena gejala dan keluhannya
tidak jelas.
Penyebab penyakit typhoid fever secara umum adalah sebagai berikut :
1. Makanan dan minuman yang terkontaminasi, serta pada alat tidur yang kotor
2. Terjadinya penetrasi ke dalam mukosa usus halus dan dengan cepat masuk ke aliran
limfe, kelenjar limfe dan aliran darah
3. Kelainan inflamasi setempat hanya sedikit, yang menyerangkan mengapa gejalagejala intestinal sedikit pada stadium ini
4. Maka inkubasi berbanding terbalik dengan jumlah kuman yang masuk (5 sampai 10 hari)
5. Bila dinding usus terserang secara progresif, menjadi tipis dan mudah terjadi perforasi.

Erny, S.Kep / 07.13

Typhoid fever merupakan salah satu bakterimia yang disertai peradangan yang
menyeluruh dan toksemia yang dalam. Berbagai macam organ mengalami kelainan
misalnya sistem hematopoietik yang berbentuk darah, limfiod usus kecil, kelenjar limfa
abdomen, limfe dan sumsum tulang.
C. PATOFISIOLOGI
Penularan Salmonella Thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal
dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly
(lalat), dan melalui Feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman Salmonella
Thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat,
dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat.
Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan
dan makanan yang tercemar kuman Salmonella Thypi masuk ke tubuh orang yang sehat
melalui mulut. Setelah kuman masuk ke dalam mulut ketika orang makan dan minum,
makanan masuk ke lambung dan bercampur dengan HCl. Sebagian kuman dimusnahkan
oleh asam lambung dan sebagian masuk ke usus halus yang mencapai jaringan limfoid
plaque di ilium terminalis yang mengalami hipertropi. Jika bakteri masuk bersama-sama
cairan, maka terjadi pengenceran asam lambung yang mengurangi daya hambat terhadap
mikroorganisme penyebab penyakit.
Daya hambat asam lambung ini juga akan menurun pada waktu terjadi pengosongan
lambung, sehingga ba=kteri akan lebih leluasa masuk ke dalam usus penderita,
memperbanyak diri dengan cepat, kemudian memasuki saluran limfe dan akhirnya
mencapai aliran darah. Kuman Salmonella thyposa kemudian menembus ke lamina
propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga
mengalami hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini Salmonella typhi
masuk aliran darah melalui ductus thorasicus. Kuman-kuman Salmonella typhi lain
mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus.

Salmonella typhi bersarang di

plaque payeri, limfa, hati dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial. Demam
disebabkan karena Salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan
pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Adapun reaksi kuman
terhadap tubuh manusia melakukan aktifitas terbesar pada sistem retikuloendotelial dan
empedu dimana organ yang lebih dahulu diserang adalah usus.
Pada hakikatnya aktifitas dari kuman Salmonella typhi dibagi menjadi 4 (empat)
tingkatan:
1. Tingkat I

Erny, S.Kep / 07.13

Merupakan masa inkubasi 10 14 hari, pada tingkat ini terjadi proliferasi dari
susunan retikuloendotelial yang mempunyai sel mononukleus dimana sitoplasma
yang mengandung eritrosit akan bereaksi dengan jaringan nekrotik atau kuman
sampai membentuk sel yang dinamakan sel Typhoid. Akibat fagositosis tersebut
jaringan limfoid akan melebar mengakibatkan pelebaran pembuluh darah, sehingga
susunan retikuloendotelial yang terdapat pada sumsum tulang belakang dan
hemopoesis menjadi rusak akibatnya pembentukan leukosit menurun. Pada tingkat
ini, bercak payeri, limphonoduli akibat hyperemi dan hiperplasi tampak
membengkak dan menonjol ke atas permukaan selaput lendir.
2. Tingkat II
Terjadi nekrosis jaringan lympoid yang membengkak dan mengeras seperti kerak.
Oleh sebab itu tingkat ini disebut tingkat keropeng karena bentuknya seperti
keropeng yang berwarna kuning kelabu.
3. Tingkat III
Keropeng yang terdiri dari jaringan nekrosis dilepaskan sampai terbentuk tukak
(ulkus) pada bercak tadi. Tukak tersebut lonjong memanjang menurut poros usus.
Tepi tukak jelas dan menebal, ada yang dangkal, ada yang dalam sampai dasarnya
menembus sub serosa bahkan sampai ke lapisan otot sehingga terjadi perforasi yang
menyebabkan peritonitis dan syok.
4. Tingkat IV
Disebut tingkat resolusi (pembersihan atau penyembuhan) jika tidak ada
perforasi.
D. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Wulandari (2008), tanda dan gejala yang timbul pada penyakit typhoid
fever adalah demam (biasanya menurun pada pagi hari dan meningka=t pada sore hari),
mulut berbau tidak sedap, lidah kotor, penurunan nafsu makan. Sedangkan tanda dan
gejala penyakit typhoid fever secara umum adalah sebagai berikut :
1. Demam Gejala timbul selama masa inkubasi sekitar dua minggu. Pada minggu
pertama suhu berangsur naik dan febris bersifat remitten atau panas hanya pada
waktu sore dan malam hari. Gejala panas tidak akan turun dengan antipiretik, tidak
menggigil, tidak berkeringat, kadang-kadang disertai dengan epistaksis.
Panas atau febris pada Thypoid abdominalis mempunyai beberapa stadium yaitu :
Stadium incremasi (Minggu I)
yaitu masa menaiknya suhu badan (masa inkubasi 10 14 hari). Pada minggu
ini keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya,
yaitu demam, nyeri kepala, pusing, obstipasi/diare, perasaan tidak enak perut,
batuk dan kadang-kadang epistaksis.

Erny, S.Kep / 07.13

Pada akhir minggu pertama biasa timbul bintik-bintik merah sebesar jarum
pentul, bila ditekan hilang. Biasanya timbul setelah dada bagian bawah, daerah
abdomen bagian atas dan menjalar kedaerah perut, bintik merah ini disebut
Rosevia atau rosesport, bintik ini belum dikatahui belum jelas sebabnya dan
biasanya rosevia di Indonesia jarang ditemukan.
Stadium acme (Minggu ke-2 dan ke-3)
yaitu masa memuncaknya penyakit atau panas menetap yang disebut febris
kontinue. Pada stadium ini suhuberkisar antara 40 41C. Sedangkan nadi
relatif bradikardi, lidah yang kas kotor ditengah-tengah, tepi dan ujung merah,
lidah bila dikeluarkan tremor. Timbul hepatomigali, splenomegali dan
meteorismus. Gangguan kesadaran yaitu klien gelisah, apatis, somnolen,
delirium atau psikose, stupor, koma.
Stadium deternasi (Minggu ke-4)
yaitu masa penurunan panas suhu berangsur-angsur turun, nafsu makan mulai
ada, badan merasa enak. Pada akhir minggu ke empat, yang disebut rekofalesent
yaitu yang disebut masa penyembuhan. Pada minggu ini keadaan umum pasien
baik, badan sudah segar dan kuat, nafsu makan baik.
Stadium impihibov atau disebut masa sangsi (Antara minggu ke-3 dan ke-4).
Biasanya terjadi penurunan suhu yang krisis dan terjadi kenaikan nadi, bila
ditemukan gejala ini harus hati-hati menandakan adanya timbul komplikasi
seperti pendarahan.
2. Tanda dan Gejala pada sistem Gastro Intestinal
a. Bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor dan berselaput putih, hyperemi.
b. Perut kembung, nyeri tekan
c. Limfa membesar, lunak dan nyeri pada saat penekanan
d. Pertama kali pasien mengalami diare, kemudian konstipasi atau sebaliknya
e. Tanda-tanda dehidrasi
f. Tanda-tanda perdarahan dan tanda-tanda shock
3. Leukopeni
4. Penurunan tingkat kesadaran
Dapat terjadi penurunan kesadaran dari ringan sampai berat, pada umumnya apatis
sampai samnolen bahkan dapat terjadi koma. Penurunan kesadaran ini disebabkan
karena panas tubuh yang tinggi.
5. Bradikardi
Peningkatan suhu tidak disertai dengan peningkatan= nadi dimana seharusnya setiap
kenaikan suhu 1oC diikuti dengan kenaikan nadi 10 15 x/menit, sedangkan pada
penderita ini kenaikan nadi lebih rendah dari kenaikan suhu.
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Erny, S.Kep / 07.13

Darah tepi Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif pada permulaan sakit.
Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan.
1. Pemeriksaan Leukosit
Walaupun pada kebanyakan demam typoid terdapat leucopenia dan limfositosis
relatif , namun pada demam typoid saat sediaan darah tepi diperiksa dijumpai dalam
batas normal malahan kadang-kadang terdapat leukositosis, oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosis demam typoid.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi kembali kenormal setelah sembuhnya
demam typoid. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan pembatasan
pengobatan.=
3. Darah untuk kultur (biakan empedu) dan widal.
Biakan empedu untuk menemukan Salmonella thypii dan pemeriksaan widal
merupakan pemeriksaan yang dapat menentukan diagnosis typhoid fever secara
pasti. Pemeriksaan ini perlu dikerjakan pada waktu masuk dan setiap minggu
berikutnya, (diperlukan darah sebanyak 5 cc untuk kultur atau widal).
a. Biakan empedu
Basil Salmonella thypi dapat ditemukan dalam darah pasien pada minggu
pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan feses, dan
mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh karena itu, pemeriksaan
yang positif dari contoh darah digunakan untuk menegakkan diagnosis,
sedangkan untuk pemeriksaan negatif dari contoh urin dan feses dua kali
berturut-turut digunakan untuk menentukan apakah pasien telah benar sembuh
dan tidak menjadi pembawa kuman (karier).
b. Pemeriksaan Widal
Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum pasien thypoid
dicampur dengan suspensi antigen Salmonella typhii. Pemeriksaan yang positif
ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan mengencerkan serum, maka
kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk membuat diagnosis yang diperlukan ialah
titer zat anti terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau
menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk membuat diagnosis. Titer
tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan pasien. Titer
terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis karena dapat tetap tinggi
setelah mendapat imunisasi atau bila pasien telah lama sembuh. Pemeriksaan
widal tidak selalu positif walaupun pasien sungguh-sungguh menderita typhoid

Erny, S.Kep / 07.13

fever (disebut negatif semu).


Sebaliknya titer dapat positif semu karena keadaan sebagai berikut :
1) Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal, karena infeksi
basil coli patogen pada usus.
2) Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali pusat.
3) Terdapatnya infeksi silang dengan rickettsia (weil felix).
4) Akibat imunisasi secara alamiah, karena masuknya basil peroral pada
keadaan infeksi subklinis.
Perlu diketahui bahwa ada jenis dari demam typhoid yang mempunyai gejala
hampir sama, hanya dengan demam biasanya tidak terlalu tinggi (lebih ringan)
ialah terdapat pada paratifoid A, B, C, untuk menemukan kuman penyebab perlu
pemeriksaan darah seperti pasien typhoid biasa.
F. PENATA LAKSANAAN
1. Diet
a. Cukup kalori dan tinggi protein
b. Pada keadaan akut klien diberikan bubur saring, setelah bebas panas dapat
diberikan bubur kasar, dan akhirnya diberikan nasi sesuai tingkat kesembuhan.
Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat
dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan
serat kasar) dapat diberikan secara aman.
c. Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan
intensif dengan nutrisi parenteral total
2. Obat
Sampai saat ini masih menganut Trilogi penatalaksanaan demam thypoid, yaitu :
a. Kloramphenikol : dosis hari pertama 4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500 mg,
diberikan selama demam berkanjut sampai 2 hari bebas demam, kemudian
dosis diturunkan menjadi 4 x 250 mg selama 5 hari kemudian. Penelitian
terakhir (Nelwan, dkk. di RSUP Persahabatan), penggunaan kloramphenikol
masih memperlihatkan hasil penurunan suhu 4 hari, sama seperti obat obat
terbaru dari jenis kuinolon.
b. Ampisilin/Amoksisilin : dosis 50 15- mg/Kg/BB/hari, diberikan selama 2
minggu.
c. Kotrimoksasol : 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametosazol-80
mg trimetropim), diberikan selama dua minggu.
3. Istirahat
Bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Klien harus tirah
baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14
hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan kondisi.

Erny, S.Kep / 07.13

Klien dengan kondisi kesadaran menurun perlu diubah posisinya setiap 2 jam untuk
mencegah dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu
perhatian karena kadang kadang terjadi obstipasi dan retensi urine.
4. Perawatan sehari hari
Dalam perawatan selalu dijaga personal hygiene, kebersihan tempat tidur, pakaian,
dan peralatan yang digunakan oleh klien.
G. KOMPLIKASI
Dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Komplikasi intestinal
a. Perdarahan usus
b. Perforasi usus
c. Ileus paral==itik
2. Komplikasi ekstraintertinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan, sepsis),
miokarditis, trombosis, dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia dan / atau koagulasi
c.
d.
e.
f.
g.

intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.


Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis
Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis.
Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonetritis, dan perinefritis.
Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan arthritis.
Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineulitis

perifer, sindrom Guillain-Barre, psikosis, dan sindrom katatonia.


Selain menyerang usus penyakit ini juga menyerang bagian lain seperti :
1. Limfa sebagai akibat proliferasi susunan retikuloendotel dan hiperplasi, sel pulpa
merah akan membesar (splenomegali) hati juga membesar (hepatomegali).
2. Kandung empedu terserang karena kuman hidup dan masuk ke dalam kandung
empedu sehingga menyebabkan kolesistitis.
3. Pada ginjal menyebabkan degenerasi bengkak keruh, sehingga sel tubulus
mengandung kuman, tubulus rusak dan glomerulus filtrasinya terhambat.
4. Toxemia akan terjadi dan mengakibatkan perubahan pada otot seperti degenerasi
hyalin pada dinding otot perut, diafragma dan otot betis.
Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Dasar data pengkajian klien :
1) Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah. Insomnia, tidak tidur
semalaman karena diare. Merasa gelisah dan ansietas. Pembatasan
aktivitas/kerja s/d efek proses penyakit.
2) Sirkulasi
Tanda : Takhikardi (respon terhadap demam, dehidrasi, proses imflamasi dan nyeri).
Kemerahan, area ekimosis (kekurangan vitamin K). Hipotensi termasuk

Erny, S.Kep / 07.13

postural. Kulit/membran mukosa : turgor buruk, kering, lidah pecah-pe=cah


(dehidrasi/malnutrisi).
3) Integritas Ego
Gejala : Ansiet=as, ketakutan, emosi kesal, mis. Perasaan tidak berdaya/tidak ada
harapan=. Faktor stress akut/kronis mis. Hubungan dengan
keluarga/pekerjaan, pengobatan yang mahal. Faktor budaya peningkatan
prevalensi.
Tanda : Menolak, perhatian menyempit, depresi.
4) E l i m i n a s i
Gejala : Tekstur feces bervariasi dari bentuk lunak sampai bau atau berair. Episode
diare berdarah tidak dapat diperkirakan, hilang timbul, sering tidak dapat
dikontrol, perasaan dorongan/kram (tenesmus). Defakasi
berdarah/pus/mukosa dengan atau tanpa keluar feces. Peradarahan perektal.
Tanda : Menurunnya bising usus, tidak ada peristaltik atau adanya peristaltik yang
dapat dilihat. Haemoroid, oliguria.
5) Makanan/Cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah. Penurunan BB. Tidak toleran terhadap
diet/sensitive mis. Buah segar/sayur, produk susu, makanan berlemak.
Tanda : Penurunan lemak subkutan/massa otot. Kelemahan, tonus otot dan turgor
kulit buruk. Membran mukosa pucat, luka, inflamasi rongga mulut.
6) Higiene
Tanda : Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri. Stomatitis menunjukkan
kekurangan vitamin. Bau badan.
7) Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri/nyeri tekan pada kuadran kanan bawah (mungkin hilang dengan
defakasi). Titik nyeri berpindah, nyeri tekan, nyeri mata, foofobia.
Tanda : Nyeri tekan abdomen/distensi.
8) Keamanan
Gejala :
Anemia hemolitik, vaskulitis, arthritis, peningkatan suhu (eksaserbasi
akut), penglihatan kabur. Alergi terhadap makanan/produk susu.
Tanda : Lesi kulit mungkin ada, ankilosa spondilitis, uveitis, konjungtivitis/iritis.
9) Interaksi Sosial
Gejala : Masalah hubungan/peran s/d kondisi, ketidakmampuan aktif dalam sosial.
10) Penyuluhan Pembelajaran
Gejala : Riwayat keluarga berpenyakit Diare.
B. Diagnosa Keperawatan, Tujuan dan Rasionalisasi
1) Diare b/d imflamasi, iritasi dan malabsorpsi usus, adanya toksin dan penyempitan

segemental usus ditandai dengan :


Peningkatan bunyi usus/peristaltik.
Defakasi sering dan berair (fase akut)
Perubahan warna feses.
Nyeri abdomen tiba-tiba, kram.
Tujuan :
Erny, S.Kep / 07.13

Klien akan melaporkan penurunan frekuensi defakasi, konsistensi kembali normal.


Klien akan mampumengidentifikasi/menghindari faktor pemberat.
Intervensi :
1. Observasi dan catat ferkuensi defakasi, karekteristik, jumlah dan faktor pencetus.
R/ : Membantu membedakan penyakit individu dan mengkaji beratnya
episode.
2. Tingkatkan tirah baring, berikan alat-alat disamping tempat tidur.
R/ : Istirahat menurunkan motalitas usus juga menurunkan laju metabolisme
bila infeksi atau perdarahan sebagai komplikasi. Defakasi tiba-tiba dapat
terjadi tanpa tanda dan dapat tidak terkontrol, peningkatan resiko
inkontinensia/jatuh bila alat-alat tidak dalam jangkauan tangan.
3. Buang feses dengan cepat dan berikan pengharum ruangan.
R/ : Menurunkan bau tak sedap untuk menghindari rasa malu klien.
4. Identifikasi makanan/cairan yang mencetuskan diare.
R/ : Menghindari iritan dan meningkatkan istirahat usus.
5. Observasi demam, takhikardi, lethargi, leukositosis/leukopeni, penurunan
protein serum, ansietas dan kelesuan.
R/ : Tanda toksik megakolon atau perforasi dan peritonitis akan terjadi/telah
terjadi memerlukan intervensi medik segera.
6. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian :
Antikolinergik.
R/ : Menurunkan motalitas/peristaltik GI dan menurunkan sekresi digestif
-

untuk menghilangkan kram dan diare.


Steroid
R/ : Diberikan untuk menurunkan proses inflamasi.
Antasida
R/ : Menurunkan iritasi gaster, mencegah inflamasi dan menurunkan resiko

infeksi pada kolitis.


Antibiotik
R/ : Mengobati infeksi supuratif lokal.
7. Bantu/siapkan intervensi bedah.
R/ : Mungkin perlu bila perforasi atau obstruksi usus terjadi atau penyakit tidak
berespon terhadap pengobatan medik.
2) Resiko kurang volume cairan b/d Kehilangan banyak melalui rute normal (diare
berat, muntah), status hipermetabolik dan pemasukan terbatas.
Tujuan :
Klien akan menampakkan volume cairan adekuat / mempertahankan cairan adekuat
dibuktikan oleh membran mukosa lembab, turgor kulit baik dan pengisian kapiler
baik, TTV stabil, keseimbangan masukan dan haluaran dengan urine normal dalam
konsentrasi / jumlah.
Intervensi :
1. Awasi masukan dan haluaran urine, karakter dan jumlah feces, perkirakan IWL
dan hitung SWL.
Erny, S.Kep / 07.13

R/ : Memberikan informasi tentang keseimbangan cairan, fungsi ginjal dan


kontrol penyakit usus juga merupakan pedoman untuk penggantian cairan.
2. Observasi TTV.
R/ : Hipotensi (termasuk postural), takikardi, demam dapat menunjukkan respon
terhadap dan/atau efek kehilangan cairan.
3. Observasi adanya kulit kering berlebihan dan membran mukosa, penurunan
turgor kulit, prngisisan kapiler lambat.
R/ : Menunjukkan kehilangan cairan berlebihan/dehidrasi.
4. Ukur BB tiap hari.
R/ : Indikator cairan dan status nutrisi.
5. Pertahankan pembatasan peroral, tirah baring dan hindari kerja.
R/ : Kolon diistirahatkan untuk penyembuhan dan untuk menurunkan
kehilangan cairan usus.
6. Catat kelemahan otot umum dan disritmia jantung
R/ : Kehilangan cairan berlebihan dapat menyebabkan ketidak seimbangan
elektrolit. Gangguan minor pada kadar serum dapat mengakibatkan adanya
dan/atau gejala ancaman hidup.
7. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian :
- Cairan parenteral, transfusi darah sesuai indikasi.
R/ : Mempertahankan istirahat usus akan memerlukan penggantian cairan
untuk memperbaiki kehilangan/anemia.
Anti diare.
R/ : Menurunkan kehilangan cairan dari usus.
- Antiemetik
R/ : Digunakan untuk mengontrol mual/muntah pada eksaserbasi akut.
- Antipiretik
R/ : Mengontrol demam. Menurunkan IWL.
- Elektrolit tambahan
R/ : Mengganti kehilangan cairan melalui oral dan diare.
3) Konstipasi b/d masukan cairan buruk, diet rendah serat dan kurang latihan,
-

inflamasi, iritasi, ditandai dengan : tidak ada feses.


Tujuan :
Klien akan menampakkan/melaporkan kembali pola fungsi usus yang normal.
Intervensi :
1. Observasi bising usus.
R/ : Kembalinya fungsi GI mungkin terlambat oleh inflamasi intraperitoneal,
obat-obatan. Adanya bunyi abnormal menunjukkan adanya komplikasi.
2. Amati adanya keluhan nyeri abdomen.
R/ : Mungkin berhubungan adanya distensi gas atau terjadinya komplikasi.
3. Observasi gerakan usus. Amati feses, konsistensi, warna dan jumlah.
R/ : Indikator kembalinya fungsi GI, mengidentifikasi ketepatan intervensi.
4. Anjurkan makanan/cairan yang tidak mengiritasi bila masukan oral diberikan.
R/ : Menurunkan risiko iritasi mukosa.

Erny, S.Kep / 07.13

5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian pelunak feses, supositoria


gliserin sesuai indikasi.
R/ : Mungkin perlu untuk merangsang peristaltik dengan perlahan/evaluasi
feses.
4) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ganguan absorbsi nutrien, status

hipermetabolik, secara medik masukan dibatasi ditandai dengan :


Penurunan BB, penurunan lemak subkutan/massa otot, tonus otot buruk.
Bunyi usus hiperaktif.
Konjungtiva dan membran mukosa pucat.
Menolak untuk makan.
Tujuan :
Klien akan menunjukkan/menampakkan BB stabil atau peningkatan BB sesuai
sasaran dan tidak ada tanda-tanda malnutrisi.
Intervensi :
1. Timbang BB setiap hari atau sesuai indikasi.
R/ : Memberikan informasi tentang kebutuhan diet/keefektifan terapi.
2. Dorong tirah baring dan/atau pembatasan aktifitas selama fase sakit akut.
R/ : Menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah penurunan kalori dan
simpanan energi.
3. Anjurkan istirahat sebelum makan.
R/ : Menenangkan peristaltik dan meningkatkan energi untuk makan.
4. Berikan kebersihan mulut terutama sebelum makan.
R/ : Mulut yang bersih dapat meningkatkan rasa makanan.
5. Ciptakan lingkungan yang nyaman.
R/ : Lingkungan yang nyaman menurunkan stress dan lebih kondusif untuk
makan.
6. Batasi makanan yang dapat menyebabkan kram abdomen, flatus.
R/ : Mencegah serangan akut/eksaserbasi gejala.
7. Dorong klien untuk menyatakan perasaan masalah mulai makanan/diet.
R/ : Keragu-raguan untuk makan mungkin diakibatkan oleh takut makan akan
menyebabkan eksaserbasi gejala.
8. Kolaborasi dengan tim gizi/ahli diet sesuai indikasi, mis : cairan jernih berubah
menjadi makanan yang dihancurkan, rendah sisa, protein tinggi, tinggi kalori
dan rendah serat.
R/ : Memungkinkan saluran usus untuk mematikan kembali proses pencernaan.
Protein perlu untuk penyembuhan integritas jaringan. Rendah serat
menurunkan respon peristaltik terhadap makanan.
9. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian :
Preparat Besi.
R/ : Mencegah/mengobati anemi.
Vitamin B12

Erny, S.Kep / 07.13

R/ : Penggantian mengatasi depresi sumsum tulang karena proses inflamasi


lama, Meningkatkan produksi SDM/memperbaiki anemia.
Asam folat.
R/ : Kehilangan folat umum terjadi akibat penurunan masukan/absopsi.
Nutrisi parenteral total, terapi IV sesuai indikasi.
R/ : Program ini mengistirahatkan GI sementara memberikan nutrisi
penting.
5. Nyeri b/d Hiperperistaltik,diare lama, iritasi kulit/jaringan, ekskoriasi fisura

perirektal ditandai dengan :


Laporan nyeri abdomen kolik/kram/nyeri menyebar.
Perilaku distraksi, gelisah.
Ekspresi wajah meringis
Perhatian pada diri sendiri.
Tujuan :
Klien akan melaporkan nyeri hialng/terkontrol.
Klien akan menampakkan perilaku rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi :
1. Dorong klien untuk melaporkan nyeri yang dialami.
R/ : Mencoba untuk mentoleransi nyeri daripada meminta analgesik.
2. Observasi laporan kram abdomen atau nyeri, catat lokasi, lamanya, intensitas
(skala 0 10), selidiki dan laporkan perubahan karakteristik nyeri.
R/ : Nyeri sebelum defakasi sering terjadi dengan tiba-tiba dimana dapat berat
dan terus menerus. Perubahan pada karakterisik nyeri dapat menunjukkan
penyebaran penyakit/terjadinya komplikasi.
3. Amati adanya petunjuk nonverbal , selidiki perbedaan petunjuk verbal dan
nonverbal.
R/ : Bahasa tubuh/petunjuk nonverbal dapat secara psikologis dan fisiologis
dapat digunakan pada hubungan petunjuk verbal untuk untuk
mengidentifikasi luas/beratnya masalah.
4. Kaji ulang faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya/menghilangnya nyeri.
R/ : Dapat menunjukkan dengan tepat pencetus atau faktor pemberat atau
mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
5. Berikan tindakan nyaman seperti pijatan punggung, ubah posisi dan aktifitas
senggang.
R/ : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan
meningkatkan kemampuan koping.
6. Observasi/catat adanya distensi abdomen dan TTV.
R/ : Dapat menunjukkan terjadinya obstruksi usus karena inflamasi, edema
dan jaringan parut.
7. Kolaborasi dengan timgizi/ahli diet dalam melakukan modifikasi diet dengan
memberikan cairan dan meningkatkan makanan padat sesuai toleransi.
R/ : Istirahat usus penuh dapat menurunkan nyeri/kram.
8. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian :
Erny, S.Kep / 07.13

Analgesik
R/ : Nyeri bervariasi dari ringan sampai berat dan perlu penanganan untuk

6.

memudahkan istirahat secara adekuat dan prose penyembuhan.


Antikolinergik
R/ : Menghilangkan spasme saluran GI dan berlanjutnya nyeri kolik.
Anodin supp.
R/ : Merilekskan otot rectal dan menurunkan nyeri spasme.
Cemas b/d Faktor psikologi/rangsang simpatis (proses inflamasi), ancaman,
konsep diri, ancaman terhadap perubahan/perubahan status kesehatan dan

status sosioekonomi ditandai dengan :


Eksaserbasi penyakit tahap akut.
Peningkatan ketegangan, distress, ketakutan.
Menunjukkan masalah tentang perubahan hidup.
Perhatian pada diri sendiri.
Tujuan :
Klien akan menampakkan perilaku rileks dan melaporkan penurunan kecemasan

sampai tingkat mudah ditangani.


Klien akan menyatakan kesadaran perasaan kecemasan dan cara sehat
menerimanya.

Intervensi :
1. Amati petunjuk perilaku mis : gelisah, peka rangsang, menolak, kurang kontak
mata, perilaku menarik perhatian.
R/ : Indikator derajat kecemasan/stress. Hal ini dap terjadi akibat gejala fisik
kondisi juga reaksi lain.
2. Dorong klien untuk mengeksplorasi perasaan dan berikan umpan balik.
R/ : Membuat hubungan teraupetik. Membantu klien/orang terdekat dalam
mengidentifikasi masalah yang menyebabkan stress. Klien dengan diare
berat/konstipasi dapat ragu-ragu untuk meminta bantuan karena takut
terhadap staf.
3. Berikan informasi nyata/akurat tentang apa yang dilakukan mis : tirah baring,
pembatasan masukan peroral dan posedur.
R/ : Keterlibatan klien dalam perencanaan perawatan memberikan rasa kontrol
dan membantu menurunkan kecemasan.
4. Berikan lingkungan tenang dan istirahat.
R/ : Memindahkan klien dari stress luar meningkatkan relaksasi dan
membantu menurunkan kecemasan.
5. Dorong klien/orang terdekat untuk menyatakan perhatian, perilaku perhatian.
R/ : Tindakan dukungan dapat membantu klien merasa stress berkurang,
memungkinkan energi dapat ditujukan pada penyembuhan/perbaikan.

Erny, S.Kep / 07.13

6. Bantu klien untuk mengidentifikasi/memerlukan perilaku koping yang


digunakan pada masa lalu.
R/ : Perilaku yang berhasil dapat dikuatkan pada penerimaan masalah/stress
saat ini, meningktkan rasa kontrol diri klien.
7. Bantu klien belajar mekanisme koping baru mis : teknik mengatasi stress,
keterampilan organisasi.
R/ : Belajar cara baru untuk mengatasi masalah dapat membantu dalam
menurunkan stress dan kecemasan, meningkatkan kontrol penyakit.
8. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian sedatif sesuai indikasi.
R/ : Dapat digunakan untuk menurunkan ansietas dan memudahkan istirahat.
7. Kurang pengetahun (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis dan
kebutuhan pengobatan b/d kesalahaninterpretasi informasi, kurang mengingat

dan tidak mengenal sumber informai ditandai dengan :


Pertanyaan, meminta informasi, pernyataan salah konsep.
Tidak akurat mengikuti instruksi.
Terjadi komplikasi/eksaserbasi yang dapat dicegah.
Tujuan :
Klien akan menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan pengobatan.
Klien akan dapat mengidentifikasi situasi stress dan tindakan khusus untuk
menerimanya.
Klien akan berpartisipai dalam program pengobatan.
Klien akan melakukan perubahan pola hidup tertentu.
Intervensi :
1. Kaji persepsi klien tentang proses penyakit.
R/ : Membuat pengetahuan dasar dan memberikan kesadran kebutuhan belajar
individu.
2. Jelaskan tentang proses penyakit, penyebab/efek hubungan faktor yang
menimbulkan gejala dan mengidentifikasi cara menurunkan faktor penyebab.
Dorong klien untuk mengajukan pertanyaan.
R/ : Pengetahuan dasar yang akurat memberikan klien kesempatan untuk
membuat keputusan informasi/pilihan tentang masa depan dan kontrol
penyakit kronis. Meskipun kebanyakan klien tahu tentang proses
penyakitnya sendiri, merek dapat mengalami informai yang tertinggal atau
salah konsep.
3. Jelaskan tentang obat yang diberikan, tujuan, frekuensi, dosis dan kemungkinan
efek samping.
R/ : Meningkatkan pemahaman dan dapat meningkatkan kerjasama dalam
program.
4. Tekankan pentingnya perawatan kulit mis : teknik cuci tangan dengan baik dan
perawatan perineal yang baik.
R/ : Menurunkan penyebran bakteri dan risiko iritasi kulit/kerusakan, infeksi.

Erny, S.Kep / 07.13

5. Anjurkan menghentikan merokok.


R/ : Dapat meningkatkan motalitas usus, meningkatkan gejala.
C. Evaluasi
Asuhan keperawatan pada klien dengan masalah utama demam tifoid dikatakan
berhasil/efektif jika :
1. Klien mampu mengontrol diare/konstipasi melalui fungsi usus optimal/stabil.
2. Komplikasi minimal/dapat dicegah.
3. Stres mental/emosi minimal/dapat dicegah dengan menerima kondisi dengan
positif.
4. Klien mampu mengetahui/memahami/menyebutkan informasi tentang proses
penyakit, kebutuhan pengobatan dan aspek jangka panjang/potensial komplikasi
berulangnya penyakit.

DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer A,et.al (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Aesculapius,FKUI Jakarta
Dongoes M.E, (1999), Rencana asuhan Keperawatan : Pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien Edisi 8, EGC : Jakarta
Ranuh, Hariyono dan Soeyitno, dkk (2001), Buku Imunisasi Di Indonesia, ed.1 Satgas
Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.
Samsuridjal Djauzi dan Heru Sundaru (2003), Imunisasi Dewasa, FKUI, Jakarta.
Sjamsuhidayat (2005), Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi revisi. EGC, Jakarta.
Soegeng Soegijanto (2002), Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan. Salemba
Medika, Jakarta.

Erny, S.Kep / 07.13

Suriadi & Rita Yuliani (2001), Buku Peganga=n Praktek Klinik AsuhanKeperawatan pada
Anak, Edisi I. CV Sagung Seto, Jakarta
Suriadi, Skp, MSM; Yuliani, Rita, Skp, M.Psi, (2010), Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi
2, Sagung Seto : Jakarta

Erny, S.Kep / 07.13

Anda mungkin juga menyukai