Anda di halaman 1dari 49

SKENARIO 2

TRAUMA PADA KEPALA


Perempuan berusia 25 tahun dibawa ke UGD RS dengan penurunan kesadaran setelah
tertabrak motor saat menyebrang jalan 2 jam yang lalu. Sesaat setelah ditabrak pasien
pingsan. Dalam perjalanan ke RS pasien sempat tersadar sekitar 10 menit, kemudian
mengeluh nyeri kepala, muntah, dan kembali tidak sadar. Keluar darah dari hidung dan
telinga.
Tanda Vital
Airway: terdengar bunyi snoring
Breathing: frekuensi nafas 10 x/menit
Circulation: tekanan darah 160/90 mmHg, frekuensi nadi 40x/menit
Regio Wajah
Terlihat adanya brill hematoma.
Trauma di daerah sepertiga tengah wajah, pada pemeriksaan terlihat adanya cerebrospinal
rhinorrhea, mobilitas dari maxilla, krepitasi dan maloklusi dari gigi.
Regio hidung
Inspeksi: adanya edema atau deformitas pada hidung tidak ada
Palpasi: terdapat krepitasi pada hidung
Pemeriksaan fisik menggunakan rinoskopi anterior: terdapat clotting, perdarahan aktif tidak
ada, tampak laserasi di septum dan konka inferior
Regio telinga
Liang telinga: lapang, terdapat laserasi, clotting (+), tidak terdapat perdarahan aktif dan
membrane timpani utuh
Status Neurologi
GCS E1 M1 V1, pupil: bulat, anisokor, diameter 5 mm/3 mm, RCL -/+, RCTL -/+, kesan
hemiparesis dekstra, reflex patologis Babinsky +/-

KATA SULIT
1. Maloklusi: sejenis malposisi dan kontak antara gigi maxilla dan mandibular sehingga
mengganggu gerakan mengunyah
2. Snoring: suara seperti mendengkur yang menandai adanya sumbatan jalan nafas
3. Brill hematoma: perdarahan di sekitar rongga orbita. Disebut juga raccoons eye
4. Cerebrospinal rinorrhea: cairan serebrospinal yang keluar dari saluran hidung dan
sinus
5. GCS: Glasglow Coma Scale. Skala untuk menilai tingkat kesadaran
6. Anisokor: ukuran pupil yang tidak sama
7. Hemiparesis: kelemahan pada salah satu sisi tubuh
8. Laserasi: luka robek yang tidak teratur
9. Refleks patologis Babinsky: dorsofleksi ibu jari kaki karena stimuli pada telapak kaki
PERTANYAAN
1. Mengapa keluar darah dari hidung dan telinga?
2. Mengapa pupil anisokor?
3. Mengapa terjadi Brill hematoma?
4. Apa tindakan pertama yang harus dilakukan?
5. Mengapa frekuensi napas menurun?
6. Mengapa tekanan darah meningkat tetapi nadi menurun?
7. Termasuk trauma kepala apakah yang terjadi pada pasien?
8. Apa penyebab hemiparesis dekstra?
9. Apa penyebab reflex patologis Babinsky positif?
10. Kenapa pasien mengalami kesadaraan sesaat?
11. Apa saja tanda-tanda trauma kepala?
12. Apa pemeriksaan pada kasus ini?
JAWABAN
1. Fraktur basis cranii akan menyebabkan pecahnya pembuluh darah sekitar sehingga
keluar darah dari hidung dan telinga
2. Adanya kelainan pada N.II karena kerusakan di mesensefalon
3. Fraktur basis cranii menyebabkan pembuluh darah disekitar orbita pecah, berbentuk
bulat karena perdarahan tidak bias keluar dari cavum orbita
4. Airway, breathing, circulation, kemudian resusitasi cairan lalu dilakukan CT Scan
kepala
5. Tonus otot menurun kemudian lidah jatuh dan menghambat jalur pernafasan
6. Gangguan sistem saraf otonom
7. Cedera kepala berat (GCS 3-8). Cedera kepala sedang (GCS 9-12) dan cedera kepala
ringan (GCS 13-15)
8. Fraktur basis cranii menyebabkan kerusakan saraf kemudian terjadi hemiparesis
9. Ada gangguan di traktus piramidalis
10. Trauma langsung menyebabkan penurunan kesadaran, kemudian terjadi perdarahan
intracranial yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial kemudian pasien
sadar dan muntah. Kemudian perdarahan yang terjadi di dalam menyebabkan
penurunan kesadaran
11. Nyeri kepala, muntah, penurunan kesadaran
12. CT Scan kepala

HIPOTESIS
Trauma pada kepala menyebabkan terjadinya fraktur basis cranii kemudian terjadilah
pecahnya pembuluh darah dan kelainan pada system saraf yang dapat menimbulkan
gejala-gejala seperti perdarahan, hemiparesis, penurunan kesadaran, mual, muntah, nyeri
kepala dan lain-lain. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik
(tanda-tanda vital, status neurologis), dan pemeriksaan penunjang (CT Scan). Terapi awal
yang dapat diberikan adalah Airway, Breathing, Circulation kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi cairan.

SASARAN BELAJAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Memahami dan Menjelaskan Trauma Kepala


Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Intracranial
Memahami dan Menjelaskan Fraktur Basis Cranii
Memahami dan Menjelaskan Trias Cushing
Memahami dan Menjelaskan Fraktur Le Fort
Memahami dan Menjelaskan Fraktur Os Nasal

1. Memahami dan Menjelaskan Trauma Kepala


1.1 Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain
Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan
atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik
(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
1.2 Etiologi
Trauma kepala oleh karena kekerasan tumpul
Trauma kepala oleh karena kekerasan tajam
Trauma kepala akibat tembakan
Trauma kepala oleh karena gerakan mendadak
1.3 Klasifikasi
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.
Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan: mekanisme,
beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
a. Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,
jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi
yang menyebabkan otak bergerak di dalam rongga kranial dan melakukan kontak
pada protuberas tulang tengkorak.
b. Cedera kepala tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara
spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar
15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan
tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau
sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma
atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan
nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan
nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.
Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari
Traumatic Brain Injury yaitu :

3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bone
window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur
dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan
lebih rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi
kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur
tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang
terjadi cukup berat.
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut :
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4 jenis
fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture,
compound fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut :
Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit
Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa depresi,
distorsi dan splintering
Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak
Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak. Selain
retak terdapat juga hematoma subdural (Duldner, 2008).
2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium / Konveksitas (kubah/atap tengkorak)
b. Basis cranii (dasar tengkorak)
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak telah menembus sampai kepada
duramater. (Anderson, Heitger, and Macleod, 2006).
b. Tertutup
Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak
atau utuh pada kepala setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009,
mengatakan trauma kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada
kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak.
6

4. Luka pada kepala:


Laserasi kulit kepala
Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang
memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering
terjadirobekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah
dan jaringan ikat longgar,
maka
perlukaan
yang
terjadi
dapat
mengakibatkanperdarahan yang cukup banyak.
Luka memar (kontusio)
Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh
darah(kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak
rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan.
Abrasi
Luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini tidak sampai pada
jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf
yang rusak.
Avulsi
Apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian masih
berhubungan dengan tulang kranial. Intak kulit pada kranial terlepas setelah
kecederaan.
b. Lesi Intra Kranial
1. Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi
yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan
mungkin mengalami amnesia retro/anterograd.
Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak
karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah
trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal,
atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini
dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak
berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan
adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering
terletak di area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh
robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan
ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak.
Biasanya kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk
dibandingkan perdarahan epidural.
4. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan
lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak.
Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi
perdarahan intra serebral yang membutuhkan tindakan operasi.

1.4 Patofisiologi
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan
disebut lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat gaya
kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut
dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis
adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa
akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan
intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di
antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan Sidharta, 2008).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr
dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan
iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak
otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah
cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon
dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel.
1.5 Manifestasi Klinis
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan
disebut lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat gaya
kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut
dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis
adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa
akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan
intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di
antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan Sidharta, 2008).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr
dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan
iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak
otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah
8

cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon
dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel.
1.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding
ANAMNESIS
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan : riwayat kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua
dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di
kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan
pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui
pasti urutan kejadiannya, jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran
lebih dahulu sebelum jatuh.
Anamnesis lebih rinci tentang:
Sifat kecelakaan.
Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.
Ada tidaknya benturan kepala langsung.
Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat
diperiksa.
Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak sebelum
terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui
kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya
tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang / turun
kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung / disorientasi (kesadaran berubah)
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS FUNGSI VITAL
Yang dinilai dalam status fungsi vital adalah:
a. Airway (jalan napas) dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila
perlu segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen.
Manipulasi leher harus berhati-hati bila ada riwayat / dugaan trauma servikal.
b. Breathing (pernapasan) dapat ditemukan adanya pernapasan Cheyne-Stokes,
Biot / hiperventilasi, atau pernapasan ataksik yang menggambarkan makin
buruknya tingkat kesadaran.
c. Circulation (nadi dan tekanan darah). Pemantauan dilakukan untuk menduga
adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma
thorax, trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah
yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal
peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh
hematoma epidural.
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
(1) Tingkat Kesadaran
Tingkat kesadaran dinilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini harus
dilakukan secara periodik untuk menilai perbaikan atau perburukan keadaan
pasien. Tingkat kesadaran tidak akan terganggu jika cedera hanya terbatas pada
satu hemisfer otak, tetapi menjadi progresif memburuk jika kedua hemisfer mulai
terlibat, atau jika ada proses patologis akibat penekanan atau cedera pada batang
otak.
9

Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien


menjadi :
GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat
GCS 9 13
: cedera kepala sedang
GCS > 13
: cedera kepala ringan
(2) Pupil dan Pergerakan Bola Mata, Termasuk Saraf Kranial
Penilaian pupil menunjukkan fungsi mesensefalon dan sangat penting pada cedera
kepala, karena :
Bagian kepala yang mengendaikan kesadaran seara antomis terletak
berdekatan dengan pusat yang mengatur reaksi pupil.
Saraf yang mengendalikan reaksi pupil relatif resisten terhadap gangguan
metabolik, sehingga bisa membedakan koma-metabolik atau koma struktural.
Reaksi okulosefalik (Dolls head eye phenomenon) dan reaksi terhadap tes kalori
(okulovestibuler) menunjukkan fungsi medla oblongata dan pons. Jangan
melakukan pemeriksaan okulosefalik jika cedera servikal beum dapat
disingkirkan. Reaksi okulovestibuler lebih superior daripada reaksi okulosefalik.
(3) Reaksi Motorik Berbagai Rangsang Dari Luar
Kekuatan rangsangan yang dibutuhkan untuk memicu reaksi dari penderita
(spontan, rangsangan suara, nyeri, atau tanpa respon) berbanding lurus dengan
dalamnya penurunan kesadaran.
(4) Reaksi Motorik Terbaik
Terbagi atas :
Gerakan bertujuan jelas
Kekuatan gerakan harus dinilai menjadi :
o +5 : kekuatan gerakan normal
10

o
o
o
o

+4 : kekuatan gerakan mendekati normal


+3 : mampu melawan gravitasi
+2 : dapat bergeser, tidak dapat melawan gravitasi
+1 : tampak gerakan otot, tapi belum bergeser
Gerakan bertujuan tidak adekuat
Postur fleksor
Postur ekstensor
Diffise muscle flaccidity

(5) Pola Pernapasan


Pernapasan merupakan suatu kegiatan sensorimotor terintegrasi dari keterlibatan
berbagai saraf yang terletak pada hampir semua tingkat otak dan bagian atas
spinal cord. Kerusakan pada berbagai tingkat pada SSP akan memberikan
gambaran pola pernapasan yang berbeda.
PEMERIKSAAN PENUNJANG:
1.
CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark/iskemia jangan
dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2.
MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3.
Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder
menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4.
EEG (Elektroencepalograf)
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5.
X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6.
BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7.
PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8.
CSF, Lumbal Pungsi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan untuk
mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan serebrospinal.
9. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrkranial
11. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran
1.7 Penatalaksanaan
Tatalaksana pasien dalam keadaan sadar (SKG=15)
11

-Simple Head Injury (SHI)


Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekalidan
tidak ada defisit neurologik, dan tidakada muntah. Tindakan hanya perawatanluka.
Pemeriksaan radiologik hanya atasindikasi.Umumnya pasien SHI boleh pulang
dengan nasihat dan keluarga diminta mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai
kesadaran menurun saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit
dibangunkan, pasien harus segera
dibawa kembali ke rumah sakit.
-Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma kranioserebral,
dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami
cedera kranioserebral ringan (CKR).
Tatalaksana pasien dengan penurunan kesadaran
-Cedera kepala ringan (SKG = 13-15)
Dilakukan pemeriksaan fisik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan
mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis.
Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma
intrakranial, misalnya riwayat lucid interval, nyeri kepala, muntah-muntah,
kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor, refleksi
patologis positif). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan.
-Cedera kepala sedang (SKG = 9-13)
Urutan tindakan:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), dan
sirkulasi(Circulation)
b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera organ
lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas lakukan
fiksasi leher dengan pemasangan kerah leher dan atau fiksasi tulang ekstremitas
bersangkutan
c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral lainnya.
-Cederakepalaberat (SKG 3-8)
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan
fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada
perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan
sama dengan cedera kranioserebral sedang dengan pengawasan lebih ketat dan
dirawat di ICU.
(Resiko Cedera Kepala)
RENDAH
MODERAT
Asimptomatis
Dizziness
Laserasi skalp
Abrasi skalp

Perubahan kesadaran
Sakit kepala progresif
Intoksikasi alkohol/obat
Riwayat tidak sesuai
perforasi tengkorak
depress
cedera wajah serius

TINGGI

Kesadaran rendah
Gejala fokal
Penurunan
kesadaran
fraktur
Cedera penetrasi
Fraktura depress

12

a) Primary Survey
(1) Airway
Membersihkan jalan nafas dengan memperhatikan kontrol servikal. Pasang
servikal collar untuk immobilisasi servikal sampai terbukti tidak ada cedera
servikal. Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada penderita koma.
(2) Breathing
Penderita diberikan ventilasi dengan oksigen 100 % sampai diperoleh hasil
pemeriksaan analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat
terhadap FiO2. Penggunaan pulse oksimeter sangat bermanfaat untuk memonitor
saturasi O2 (target > 98%).
(3) Circulation
Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat,
walaupun tidak selalu tampak jelas. Pada penderita yang hipotensi, harus segera
distabiisasi untuk mencapai euvolemia, segera lakukan pemberian cairan untuk
mengganti volume yang hilang dengan perbandigan 3:1 (300 ml RL/100 mL darah
yang hilang).
(4) Disability (Penilaian neurologis cepat)
Tingkat kesadaran cara AVPU / GCS :
A = alert.
V = respon terhadap rangsangan verbal.
P = respon terhadap rangsangan nyeri.
U = tidak ada respon.
Pupil :
1. Ukuran.
2. Reaksi cahaya.
(5) Exposure
Untuk mencari tanda-tanda trauma di tempat lain.
b) Secondary Survey
1. Cedera Kepala Ringan
(1) Riwayat :
Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan
Mekanisme cedera, waktu cedera, kesadaran setelah cedera, tingkat
kewaspadaan
Amnesia (Retrograde/antegrade), Sakit kepala (Ringan, sedang atau berat)
(2) Pemeriksaan Umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
(3) Pemeriksaan neurologis
(4) Radiografi tengkorak, servikal, dll sesuai indikasi
(5) Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urin
(6) CT-Scan
(7) Kriteria Rawat :
Amnesia post traumatika jelas (> 1jam )
Riwayat kehilangan kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran
Nyeri kepala sedang hingga berat
Intoksikasi alkohol atau obat
Fraktur tengkorak
Kebocoran CSS, Otorrhea, atau rinorrhea
Cedera penyerta yang jelas
Tidak punya orang serumah yang dapat bertanggung jawab
CT-Scan Abnormal atau tidak ada
13

Semua cedera tembus


(8) Kriteria pemulangan
Tidak memenuhi kriteria rawat
Diskusikan kemungkinan kembali kerumah sakit bila keadaan memburuk dan
berikan lembaran observasi
Jadwalkan untuk kontrol ulang (1 minggu)
2. Cedera Kepala Sedang
(1) Pemeriksan Awal :
(2) Sama dengan cedera kepala ringan tapi ditambah pemeriksaan darah
sederhana dan EKG
(3) Pemerksaan CT-Scan untuk semua kasus dirawat untuk observasi
(4) Setelah dirawat :
Pemeriksan neurologis periodik (tiap setengah jam)
CT-Scan ulang pada hari ke-3 atau lebih awal bila ada perburukan atau akan
dipulangkan
Bila kondisi membaik (90%), dipulangkan dan kontrol dipoliklinik biasanya 2
minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan bila perlu 1 tahun setelah cedera
Bila keadaan memburuk segera lakukan CT-Scan ulang dan penatalaksanaan
sesuai protokol cedera kepala berat
3. Cedera Kepala Berat
(1) Riwayat :
Usia, jenis, dan saat kecelakaan.
Penggunaan alkohol dan obat-obatan.
Perjalanan neurologis.
Perjalanan tanda-tanda vital.
Muntah, aspirasi, anoksia, kejang.
Riwayat peyakit sebelumnya, termasuk obat yang dipakai dan alergi.
(2)

(3)
(4)

(5)

(6)

Stabilisasi kardiopulmoner
Jalan napas, intubasi dini
Tekanan darah, normalkan segera dengan salin normal atau darah.
Kateter Folley, NGT.
Film diagnostik : Servikal, Abdomen, Perlvis, Tengkorak, dan Ekstremitas.
Pemeriksaan Umum
Tindakan emergensi untuk cedera yang menyertai
Trakeostomi
Tube dada
Stabilisasi leher : kolar kaku, tong Gardner-Wells, dan traksi
Parasentesis abdominal
Pemeriksaan neurologis
Kemampuan membuka mata
Respon motor
Respon verbal
Reflek pupil
Okulosefalik (dolls)
Okulovestibuler (kalorik)
Obat-obat terapeutik
Na Bikarbonat
Manitol
14

(7) Tes Diagnostik


CT-Scan
Ventrikulogram udara
Angiogram
c) Terapi Medikamentosa Cedera Otak
Tujuan utamanya adalah mencegah terjadinya kerusakan sekunder terhadap otak
yang telah mengalami cedera.
i) Cairan Intravena
Diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan
normovolemia. Jangan memberikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang
mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk
pada otak yang cedera. Karena itu, cairan yang dianjurkan adalah larutan garam
fisiologis atau Ringers Lactate.
ii) Hiperventilasi
Dilakukan dengan menurunkan PCO2 dan akan menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah otak. Sebaiknya dilakukan secara selektif dan hanya pada waktu
tertentu. Umumnya, PCO2 dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih, karena PCO2
< 30 mmHg akan menyebabkan vasokonstriksi serebri berat dan akhirnya iskemia
otak. Hiperventilasi dalam waktu singkat (25-30 mmHg) dapat diterima pada
keadaan deteriorasi neurologis akut.
iii) Manitol
Merupakan diuretik osmotik yang poten, digunakan untuk menurunkan TIK yang
meningkat. Sediaan yang tersedia adalah cairan dengan konsentrasi 20%. Dosis
yang diberikan adalah 1 g/kg BB intravena. Jangan diberikan pada pasien yang
hipotensi. Indikasinya adalah deteriorasi neurologis yang akut seperti terjadinya
dilatasi pupil, hemiparesis atau kehilangan kesadaran saat pasien observasi. Pada
keadaan ini, berikan bolus manitol dengan cepat (dalam 5 menit) dan penderita
langsung dibawa ke CT-Scan atau kamar operasi (bila sebab telah diketahui
dengan CT-Scan).
iv) Furosemid
Diberikan bersama manitol, dosis yang biasa diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB
diberikan secara intravena, tapi jangan diberikan pada pasien hipovolemik.
v) Steroid
Pemberiannya tidak dianjurkan karena menurut beberapa penelitian tidak
menunjukkan manfaat.
vi) Barbiturat
Bermanfaat menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain. Tapi
jangan diberikan pada keadaan hipotensi dan hipovolemi
vii) Antikonvulsan
Epilepsi pascatrauma kadang terjadi, diduga berkaitan dengan kejang awal yang
terjadi pada minggu pertama, perdarahan intrakranial, atau fraktur depresi.
Fenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Dosis dewasa awalnya
adalah 1 g intravena dengan kecepatan pemberian < 50 mg/menit dan dosis
pemeliharaannya adalah 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar
terapeutik serum. Pada pasien dengan kejang lama, diazepam atau lorazepam
digunakan digunakan sebagai tambahan sampai kejang berhenti.
d) Tatalaksana Bedah (Tidak berlaku bila mati batang otak)
Dilakukan bila ada :
Interval lucid (bila CT tak tersedia segera)
15

Herniasi unkal (pupil/motor tidak ekual)


Fraktura depress terbuka
Fraktura depress tertutup > 1 tabula/1 cm
Massa intrakranial dengan pergeseran garis tengah 5 mm
Massa ekstra aksial 5 mm, uni / bilateral
#5 & #6 (<5 mm), tapi mengalami perburukan/sisterna basal terkompres
Massa lobus temporal 30 ml

PEMBEDAHAN:
1. Lesi Kulit Kepala
Perdarahan dapat diatasi dengan penekanan, kauterisasi, atau ligasi pembuluh
darah. Penjahitan, pemasangan klips atau staples dapat dilakukan kemudian.
Inspeksi secara cermat dilakukan untuk menemukan adanya fraktur tengkorak
atau benda asing. Adanya LCS menunjukkan robekan Dura.
2. Fraktur Depresi Tengkorak
Fraktur ini mebutuhkan koreksi operatif bila tebal depresi lebih tebal dari
ketebalan tulang di sekitarnya. CT-Scan berguna untuk menentukan dalamnya
depresi tulang, ada-tidaknya perdarahan intrakranial atau kontusi.
3. Lesi Massa Intrakranial
Lesi harus dikeluarkan atau dirawat oleh seorang ahli bedah saraf. Tindakan
kraniotomi darurat dilakukan pada keadaan perdarahan intrakranial yang
membesar dengan cepat dan mengancam jiwa.
1.8 Komplikasi
A. Komplikasi bedah
-Hematoma Intrakranial
Dapat terjadi pada keadaan akut setelah cedera kepala atau delayed setelah
beberapa waktu. Keberhasilan pengobatan tergantung pada cepatnya diagnosis dan
operasi evakuasi sesegera mungkin.
-Hidrosefalus
Komunikan, timbul karena adanya gangguan penyerapan CSS pada rongga
subarachnoid terutama pada granulasi arachnoid. Gangguan timbul akibat adanya
darah dalam rongga subarachnoid yang mengganggu aliran dan penyerapan CSS.
Nonkomunikan, timbul akibat penekanan oleh efek massa perdarahan yang
terjadi, terhadap jalur aliran CSS dalam sistem ventrikel, sehingga aliran CSS
terbendung.
Diagnosisnya mutlak membutuhkan CT-Scan kepala, akan tampak pelebaran
sistem ventrikel, termasuk pelebaran temporal horn, dan adanya periventrikular
edema (terutama pada anterior horn). Jika terdiagnosis, maka harus dirujuk ke ahli
bedah saraf untuk operasi diversi CSS (VP-shunt).
-Subdural Hematoma Kronis
-Cedera kepala terbuka
-Kebocoran CSS
Terutama menyertai fraktur basis. Pada proses penyembuhan luka, umumnya
kebocoran tersebut akan berhenti. Jika robekan durameter terjepit pada garis
fraktur dan menyebabkan kebocoran terus-menerus, maka perlu tindakan operatif.
B. Komplikasi non bedah
-Kejang post traumatika

16

Merupakan tanda cedera kortikal yang dapat timbul, baik secara dini, maupun
lambat, dan biasanya terjadi karena cedera vertikal atau kerusakan pada lobus
frontal, temporal ataupun parietal.
-Infeksi pada cedera kepala umumnya disebabkan oleh kuman komensal yang
berada di kulit (scalp). Penggunaan antibiotika harus disesuaikan dengan dugaan
empiris kuman penyebab.
-Gangguan Keseimbangan cairan dan elektrolit
Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan aksis hipotalamus-hipofise, sehingga
produksi ADH berkurang, ditandai denganproduksi urin menjadi berlebihan
(dewasa > 250 cc/jam, anak > 3 cc/kgBB/jam), osmolaritas urin yang rendah (50150 Osm/L), berat jenis urin rendah (1.001-1,005), kadar natrium serum normal
atau meningkat, osmolaritas plasma meningkat, dengan fungsi adrenal yang
normal
-Gangguan Gastrointestinal
Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang simpatik yang
mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi erosi.
Anisipasinya adalah dengan pemberian obat antagonis H-2 reseptor dan inhibitor
pompa proton, seperti simetidin, ranitidin, dan omeprazole.
-Neurogenic Pulmonary Edema (NPE)
-Jarang terjadi, umumnya menyertai cedera kepala yang berat. Mekanismenya :
+Peningkatan TIK yang cepat atau cedera langsung pada hipotalamus
menyebabkan pelepasan rangsangan simpatik sehingga terjadi aliran darah yang
meningkat ke paru-paru dengan peningkatan PCWP (Pulmonary Capillary Wedge
Pressure) dan peningkatan permeabilitas kapiler di paru.
+Pelepasan katekolamin yang akan mempengaruhi endotel kapiler (peningkatan
permeabiitas alveolar)
Jangka panjang:
1. Kerusakan saraf kranial
a. Anosmia
Kerusakan nervus olfaktorius menyebabkan gangguan sesnsasi pembauan yang
jika total disebut anosmia, jika parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan
khusus bagi penderita anosmia.
b. Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus optikus, timbul segera setelah terjadi trauma. Disertai
hematoma disekitar mata, proptosis akibat perdarahan, dan edema dalam orbita.
Gejala berupa penurunan visus,skotoma, dilatasi pupil dengan reflek cahaya
negative. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera mengakibatkan kebutaan,
terjadi atrofi pupil yang difus, kebutaan bersifat irreversible.
c. Oftalmoplegi
Kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, disertai proptosis dan pupil yang
midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit ini, tapi bisa diusahakan
dengan latihan ortoptik dini.
d. Paresis fasialis
Gejala muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan pada lidah, hilangnya
kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut mencong, semuanya pada sisi yang
mengalami kerusakan.
e. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran yang berat biasanya disertai dengan vertigo dan
nystagmus karena ada hubungan erat antara koklea, vestibula dan saraf.
17

2. Disfagia
Kesulitan untuk memahami / memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit SSP.
Penderita disfagia membutuhkan perwatan yang lebih lama, rehabilitasi juga lebih
sulit karena masalah komunikasi. Pengobatan untuk disfagia hanya speech
therapy.
3. Hemiparesis
Manifestasi dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang
otak. Penyebab karena perdarahan otak, empyema subdural, dan herniasi
transtentorial.
4. Syndrome pasca cedera kepala
Kumpulan gejala yang kompleks, sering dijumpai pada penderita cedera kepala.
Gejala berupa nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan
konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidura dan gangguan
fungsi seksual.
5. Epilepsi
Epilepsi pasca trauma muncul dalam minggu pertama pasca trauma dan ada yang
muncul setelah 4 tahun pasca trauma.
1.9 Prognosis
Prognosis dari trauma kepala bergantung pada beberapa faktor. Usia lanjut
merupakan salah satu faktor prognosis. Semakin tua usia seseorang semakin tinggi
angka mortalitasnya. Selain skor GCS dan usia lanjut, faktor prognosis lain yaitu
ukuran dan respon pupil, munculnya hipoksia, pireksia dan tekanan intracranial
tinggi pada pemeriksaan pertama.
1.10 Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan
pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.
Upaya yang dilakukan yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya
kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang
terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan
memakai helm.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang
dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi.
Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat
pada kasus cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah
airway menjadi prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa kematian
karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah
airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan
mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri. Pada pasien
dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan
jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat
terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi
aliran udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya
yang mengancam airway.
18

2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)


Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah
membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan
membantu pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.
3. Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah
sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat.
Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infus dan bila perlu
dilanjutkan dengan pemberian transfusi
darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih
berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu
lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup.
Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita,
meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita.
Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas
perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
1. Rehabilitasi Fisik
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas
dan bawah tubuh.
b. Perlengkapan splint dan kaliper
c. Transplantasi tendon
2. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan
memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan
atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial
serta seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup.
3. Rehabilitasi Sosial
a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan
paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak
ketergantungan terhadap bantuan orang lain.
b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).
2. Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Intracranial
2.1 Definisi
Perdarahan intrakranial adalah perdarahan (patologis) yang terjadi di dalam
kranium, yang mungkin ekstradural, subdural, subaraknoid, atau serebral
(parenkimatosa)
2.2 Klasifikasi
Berdasarkan cedera kepala di area intrakranial.
Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan
cedera otak difus.
Cedera otak fokal yang meliputi :
Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang
potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural hematom
dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa
jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan
19

gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala,
muntah, kejang dan hemiparesis.
Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang
terjadi akut (6-3 hari).Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil
dipermukaan korteks cerebri.Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh
hemisfir otak.Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya
jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.
Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari
3 minggu setelah trauma.Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan
jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya
inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat
tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan
membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar
(durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan
pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi
atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang
dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik
likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural
bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara
lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA
(transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang
berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang
Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang
terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh
benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh
gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya
pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh
darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara
lain adanya penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi
oleh mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.
Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik
arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang
subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA).Luasnya PSA
menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan
burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh
darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.
Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011)
Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi
gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari
permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Maka cedera kepala difus
dikelompokkan menjadi :
Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI
Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang
menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut
proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer
20

(asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer


(komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena
gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan .
Kontsuio cerebri
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek
gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio
cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut
menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang
terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi
kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang
berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepala.
Edema cerebri
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala.Pada edema
cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat
pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema.Edema otak bilateral
lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya
renjatan hipovolemik.
Iskemia cerebri
Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau
terhenti.Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan
disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.
2.3 Patofisiologi
Perdarahan epidural :
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu
yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu
berhubungan dengan fraktur cranial linier.Pada kebanyakan pasien, perdarahan
terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya.Pembuluh darah
meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati lekukan minengeal
pada squama temporal.
Perdarahan subdural :
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau
laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan.Hal ini sangat berhubungan
dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa
dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari ketebalan hematom yamg
berhubungan dengan trauma otak.
2.4 Manifestasi Klinis
Perdarahan epidural :
- Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan
perkembangan
yang
merugikan
pada
kesadaran
dan
hemisphere
contralateral.Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan
ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.Sakit kepala yang sangat
sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari bagian dalam cranium, dan
biasanya progresif bila terdapat interval lucid.Interval lucid dapat terjadi pada
kerusakan parenkimal yang minimal.Interval ini menggambarkan waktu yang lalu
antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena trauma dan dimulainya
kekacauan pada diencephalic karena herniasi transtentorial.Panjang dari interval

21

lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal


dari arteri.
- Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek
pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai
penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral
peduncle pada permukaan tentorial.
- Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi
negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir,
kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami
pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi
yang merupakan tanda kematian.
Perdarahan subdural :
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala)
sampai penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak
begitu hebat deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa
atau lesi lainnya.Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari
peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil
edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit
neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga
tumor otak.
2.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Pemeriksaan penunjang
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting
dalam penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma.
Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan,
yang mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika
pembedahan akan dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan
pre-operatif dan intra-operatif.
Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan
yang signifikan pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi,
yang volume darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas
dengan sutura terbuka yang menyebabkan kehilangan darah yang
berarti.Perdarahan yang demikian mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik;
karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering terhadap level
hematokrit.
Pencitraan
Radiografi
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular
cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga mungkin
diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan
epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan fraktur
kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan kranium yang
lebih besar.
CT-scan

22

o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam


mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang ditempati
perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian dalam
kranium, khususnya pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau
bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan epidural
fossa posterior yang besar mendesak efek massa dan menghambat ventrikel
keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom
kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom
menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari
waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu
tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4
minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut
mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin
mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin
serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana
konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat
disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional.
Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan
mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital dapat
digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi
intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio serebral,
dan hematom intraserebral.

Perdarahan epidural

Perdarahan subdural

MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang
tepat untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun,
dapat diamati ketika meluas.
2.6 Penatalaksanaan
Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan (2)
pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda
yang memungkinkan. Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung meluas
dalam hal volume lebih cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan
pasien membutuhkan pengamatan yang sangat ketat jika diambil rute konservatif.
23

Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah


segera. Jika lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik,
mengamati pasien dengan pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal.
Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan
penilaian klinis,
Non-operatif
publikasi terbaru Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain
Injury merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan perdarahan
epidural < 30 ml, < 15 mm tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa defisit
neurologis fokal dan GCS > 8 dapat ditangani secara non-operatif. Scanning
follow-up dini harus digunakan untukmenilai meningkatnya ukuran hematom
nantinya sebelum terjadi perburukan. Terbentuknya perdarahan epidural terhambat
telah dilaporkan. Jika meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau pasien
memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka pembedahan harus
diindikasikan. Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan pada stadium
awal perdarahan epidural, khususnya ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis
telah diamati. Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan,
proses penyakit primer yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan
prinsip fundamental yang telah didiskusikan diatas.
Terapi Bedah
Berdasarkan pada Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury,
perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah,
tanpa mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika
perdarahan epidural memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran
dari garis tengah diatas 5 mm. Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural
seperti itu mengalami perburukan status kesadaran dan/atau memperlihatkan
tanda-tanda lateralisasi. Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan
pembedahan. Hematom temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah
pada herniasi uncal dan perburukan lebih cepat. Perdarahan epidural pada fossa
posterior yang sering berhubungan dengan gangguan sinus venosus lateralis,
sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang yang tersedia terbatas
dibandingkan dengan ruang supratentorial. Sebelum adanya CT-scan, pengeboran
eksplorasi burholes merupakan hal yang biasa, khususnya ketika pasien
memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan yang cepat. Saat ini,
dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan.
Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini :
Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi
intrakranial yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas
hemodinamik yang berat.
Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera sistemiknya.
Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin,
dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan.
Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari
terjadinya pengumpulan darah yamg baru.
- Trepanasi kraniotomi, evakuasi hematom
- Kraniotomi-evakuasi hematom
2.7 Komplikasi
Epidural
Hematom epidural dapat memberikan komplikasi :
24

1. Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun


tampilan ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat
bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan
intrakranial
2. Kompresi batang otak meninggal
Subdural
Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :
1. Hemiparese/hemiplegia.
2. Disfasia/afasia
3. Epilepsi.
4. Hidrosepalus.
5. Subdural empyema
Intraserebral
Intraserebral hematom dapat memberikan komplikasi berupa;
1. Oedem serebri, pembengkakan otak
2. Kompresi batang otak, meninggal
Prognosis
Epidural
1. Mortalitas 20% -30%
2. Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%
3. Sembuh tanpa defisit neurologik
4. Hidup dalam kondisi status vegetatif
Subdural
1. Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%
2. Pada sub dural hematom kronis :
- Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.
- Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.
3. Memahami dan Menjelaskan Fraktur Basis Cranii
3.1 Definisi
Tengkorak adalah kerangka tulang kepala. Tengkorak terdiri dari dua bagian yang
terpisah: tengkorak dan rahang bawah. Mandibula adalah rahang bawah atau
rahang, dan tempurung kepala adalah sisa tengkorak. Mandibula adalah satusatunya bagian dari tengkorak yang tidak bergabung dengan sutura.
Tengkorak bertanggung jawab untuk berbagai macam fungsi penting termasuk:
mendukung struktur wajah (seperti hidung dan mata), membentuk jarak antara
mata, membentuk posisi telinga untuk membantu otak menentukan arah dan jarak
suara dan menjaga serta membentuk rongga/cavitas otak.
Fraktur berarti bahwa telah ada kerusakan baik satu atau lebih tulang pada
tengkorak. Meskipun dalam hal ini sangat menyakitkan, ancaman yang lebih besar
adalah bahwa membran, pembuluh darah, dan bahkan otak, yang berada di dalam
tengkorak dapat terlindungi. Fragmen kecil dari tengkorak juga bisa pecah dan
menyebabkan kerusakan tambahan pada otak. Selain itu, energi yang dipakai
dalam benturan tengkorak bisa melukai jaringan otak.

25

Fraktur tulang tengkorak dapat diklasifikasikan dalam salah satu dari dua cara,
baik dengan jenis cedera yang diderita atau lokasi dari cederanya. Sebuah fraktur
tengkorak basilar terjadi di dasar tengkorak. Ini adalah cedera yang sangat jarang
terjadi hanya dalam 4% dari semua kasus fraktur. Fraktur ini pada dasarnya adalah
fraktur linear, atau retak garis lurus di dasar tengkorak. Patah tulang tengkorak
basilar bisa sangat berbahaya karena batang otak dapat terluka, yang antara lain
mengirimkan pesan dari otak ke sumsum tulang belakang. Jika otak atau batang
otak terluka maka kematian seringkali sangat mungkin terjadi.
3.2 Etiologi
Fraktur basis Cranii terjadi karena adanya trauma tumpul yang menyebabkan
kerusakan pada tulang dasar tengkorak. Ini sering dikaitkan dengan perdarahan di
sekitar mata (raccoon eyes) atau di belakang telinga (Battle sign). Garis fraktur
dapat meluas ke sinus wajah yang memungkinkan bakteri dari hidung dan mulut
untuk masuk keadalam dan kontak dengan otak, menyebabkan infeksi yang
potensial.
3.3 Klasifikasi

Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis Cranii. Terdapat 3
suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed.

26

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian


squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan
tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau
posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa Cranii
media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells.
Fraktur transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui
cochlea dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%).
Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan
transversal.
Fraktur condylar occipital (Posterior), adalah hasil dari trauma tumpul energi
tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada
ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan morfologi
dan mekanisme cedera.
Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi
dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil.
Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur
basioccipital lebih luas, fraktur tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil
karena ligament alar dan membrane tectorial tidak mengalami kerusakan
Tipe III adalah cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal
ini berpotensi menjadi fraktur tidak stabil.
3.4 Patofisiologi
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerahdaerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbital) . Fraktur basis
Cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari arah
mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala
(sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika
dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami
benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba
mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami
tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring
fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan tipe
vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau
ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau
mandibula.
3.5 Manifestasi Klinis
Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar
pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis Cranii fossa anterior
adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes).
Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada
kondisi patologis intrakranial.
27

Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran


dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 67 minggu. tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3
minggu disebabkan karena hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany.
Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari
keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin,
sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran
permanen (permanent neural hearing loss).
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius12.
Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe
III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis.
Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau
guadriplegia.
Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus
cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi
fonasi dan aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain
sign), superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius. ColletSicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus
cranial IX, X, XI, dan XII.
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis Craniii. Khusus di regio
temporal, kalvaria tipis tetapi dilapisi oleh otot temporalis. Basis Craniii berbentuk
tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses
akselerasi dan deselerasi. Lantai dasar rongga tengkorak dibagi atas 3 fossa yaitu:
fossa anterior tempat lobus frontalis, fossa media tempat lobus temporalis dan
fossa posterior adalah ruang untuk bagian bawah batang otak dan otak kecil
(serebelum).
Fraktur basis Craniii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak, fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada durameter yang
merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis Craniii berdasarkan letak
anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur
fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis Craniii dan
tulang kalvaria. Durameter daerah basis Cranii lebih tipis dibandingkan daerah
kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan
daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan
robekan durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal
yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis).
Tanda/gejala klinis fraktur tulang tengkorak antara lain:
1. Ekimosis periorbital (raccoon eyes sign) ditemukan jika frakturnya pada
bagian basis Craniii fossa anterior.
2. Ekimosis retroaurikuler (Battle sign), kebocoran cairan serebro spinal (CSS)
dari hidung (rhinorrhea) dan telinga (otorrhea) dimana keluarnya cairan otak
melalui telinga menunjukan terjadi fraktur pada petrous pyramid yang merusak
kanal auditory eksternal dan merobek membrane timpani mengakibatkan
bocornya cairan otak atau darah terkumpul disamping membrane timpani tidak
robek tanda ini ditemukan jika frakturnya pada bagian basis Craniii fossa media.
Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi/gangguan nervus Craniialis VII dan VIII
(parase otot wajah dan kehilangan pendengaran), yang dapat timbul segera atau
beberapa hari setelah trauma.

28

3.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
diagnostik. Selama pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat medis yang lengkap dan
mekanisme trauma. Trauma pada kepala dapat menyebabkan gangguan neurologis
dan mungkin memerlukan tindak lanjut medis yang lebih jauh. Alasan kecurigaan
adanya suatu fraktur cranium atau cedera penetrasi antara lain :
Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung
Keluar darah atau cairan jernih dari telinga
Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata (panda
eyes)
Adanya luka memar di belakang telinga (Battles sign)
Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi
Luka yang signifikan pada kulit kepala atau tulang tengkorak.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan darah
rutin, dan pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur terbuka
tulang tengkorak), pemeriksaan yang paling menunjang untuk diagnosa satu
fraktur adalah pemeriksaan radiologi.
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen
cranium dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus
tertentu seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CT-can dan dapat
dideteksi dengan foto polos maka CT-scan dianggap lebih menguntungkan
daripada foto Rontgen kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto polos x-ray dapat
memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi AP, lateral,
Townes view dan tangensial terhadap bagian yang mengalami benturan untuk
menunjukkan suatu fraktur depresi. Foto polos cranium dapat menunjukkan
adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik, atau pneumosefal. Foto polos
tulang belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur, pembengkakan jaringan
lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses osteolitik atau osteoblastik.
CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa
fraktur pada cranium. Potongan slice tipis pada bone windows hingga ketebalan 11,5 mm, dengan rekonstruksi sagital berguna dalam menilai cedera yang terjadi.
CT scan Helical sangat membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital,
tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.
MRI (Magnetic Resonance Angiography) : bernilai sebagai pemeriksaan
penunjang tambahan terutama untuk kecurigaan adanya cedera ligamentum dan
vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik diperiksa dengan menggunakan CT
scan. MRI memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT
scan.
c. Pemeriksaan Penunjang Lain
Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang dicurigai adanya
kebocoran CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas tissu akan menunjukkan
adanya suatu cincin jernih pada tissu yang telah basah diluar dari noda darah yang
kemudian disebut suatu halo atau ring sign. Suatu kebocoran CSF juga dapat
diketahui dengan menganalisa kadar glukosa dan mengukur tau-transferrin, suatu
polipeptida yang berperan dalam transport ion Fe.
Adapun pemeriksaan penunjamg untuk fraktur basis Craniii antara lain:
29

1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, fungsi
2. Pemeriksaan radiologi
a. Foto rontgen
b. CT-scan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
c. MRI (Magnetic Resonance Angiography)
d. Pemeriksaan arteriografi
Diagnosis Banding
Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung seperti
kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada tulang-tulang
yang membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II atau
III, dan fraktur dinding medial atau sekeliling orbital).
Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa diakibatkan
oleh :
Kongenital
Ablasi tumor atau hidrosefalus
Penyakit-penyakit kronis atau infeksi
Tindakan bedah
3.7 Penatalaksanaan
A. Penananganan Khusus
Penanganan khusus dari fraktur basis Cranii terutama untuk mengatasi komplikasi
yang timbul, meliputi : fistula cairan serebrospinal, infeksi, dan pneumocephalus
dengan fistula.
a) Fistula cairan serebrospinal:
Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang
extraarachnoid, duramater, atau jaringan epitel.Yang terlihat sebagai rinore dan
otore.Sebagian besar rinore dan otore baru terlihat satu minggu setelah terjadinya
trauma.Kebocoran cairan ini membaik satu minggu setelah dilakukan terapi
konservatif. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest
dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, dan melakukan aktivitas
berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid.
Rinore
Terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis anterior. CSS
mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital
dari tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang mela- lui klivus.
Kadang-kadang pada fraktura bagian petrosa tulang temporal, CSS mungkin
memasuki tuba Eustachian dan bila membran timpani intak, mengalir dari
hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada hampir 80 persen
kasus
Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi
kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup hidung dan melakukan
aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diureticdan steroid.
Dilakukan punksi lumbal secara serial dan pemasangan kateter sub-rachnoid
secara berkelanjutan. Disamping itu diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi.
Pendekatan pembedahan dapat secara intraCraniial, ekstraCraniial dan secara
bedah sinus endoskopi. Pendekatan intraCraniial yaitu dengan melakukan
Craniiotomi melalui daerah frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah
temporal (temporal media fossa craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital
posterior fossa craniotomi) tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik
30

ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan jaringan sekitarnya. Bila
dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi pasien
yang tidak dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian
teknik ini adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti
edema, hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat terjadi anosmia yang
permanen. Sering terjadi kebutaan terutama pada pembedahan didaerah fossa
Craniii anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama.
Pendekatan EkstraCraniial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus
endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior
dengan sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan
pendekatan eksternal etmoidektomi, trans-etmoidal sfenoidotomi, trans-septal
sfenoidotomi atau trans antral, tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan
teknik ini adalah memiliki lapangan pandang yang baik, angka kematian yang
rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik ini
adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang abnormal.
Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid.
Pendekatan bedah Sinus
endoskopi merupakan tehnik operasi yang lebih
disukai dengan angka
keberhasilan yang tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang rendah. Pada
fistel yang kecil (<3mm) dapat diperbaiki dengan free graftmukoperikondrial
yang diletakkan diatas fistel. Pada fistel yang besar (>3mm) digunakan graft dari
tulang rawan dan tulang yang diletakkan dibawah fistel dan dilapisi dengan flap
local atau free graft. Keuntungan teknik ini adalah lapangan pandang yang jelas
sehingga memberikan lokasi kebocoran yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan
dari kerusakan tulang tanpa memperbesar ukuran dan kerusakan dari tulang.
Disamping itu graft dapat ditempatkan lebih akurat pada kerusakannya.(1)
Otore
Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater dibawahnya serta
arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktura tulang petrosa
diklasifi- kasikan menjadi longitudinal dan transversal, berdasar hubungannya
terhadap aksis memanjang dari piramid petrosa; namun kebanyakan fraktura
adalah campuran. Pasien dengan fraktura longitudinal tampil dengan kehilangan
pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan
fraktura transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan
memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin,
kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal auditori. Paresis fasial tampil hingga
pada 50 persen pasien. Fraktura longitudinal empat hingga enam kali lebih sering
dibanding yang transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf
fasial. Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam seminggu.
Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4 persen, dibanding 17
persen pada rinore CSS. Pada kejadian jarang, dimana ia tidak berhenti,
diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi.(2)
Infeksi
Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii.Penyebab paling
sering dari meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S. Pneumoniae.Profilaksis
meningitis harus segera diberikan, mengingat tingginya angka morbiditas dan
mortalitas walaupun terapi antibiotic telah digunakan.Pemberian antibiotic tidak
perlu menunggu tes diagnostic.Karena pemberian antinbiotik yang terlambat
31

berkaitan erat dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi.Profilaksis


antibiotic
yang
diberikan
berupa
kombinasi
vancomycin
dan
ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat tingginya angka
resistensi antibiotic golongan penicillin, cloramfenikol, maupun meropenem.(3)
Pnemocephalus:
Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui
menings.Meningkatnya tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui
cranial cavity melalui defek pada duramater dan menjadi terperangkap.Tik yang
meningkat dapat memperbesar defek yang ada dan menekan otak dan udara yang
terperangkap. Terapi dapat berupa kombinasi dari: operasi untuk membebaskan
udara intracranial,serta memperbaiki defek yang ada, dan tredelenburg position.
(2)
Adapun penangannan umum dari trauma kepala sendiri, meliputi:
Penatalaksanaan :
1. Pengendalian Tekanan IntraCraniial
Manitol efektif untuk mengurangi edem serebral dan TIK. Selain karena efek
osmotik , manitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus
microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus manitol
tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0 g / kg
2. Mengontrol tekanan perfusi otak
Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg , baik dengan
mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP . Rehidrasi secara adekuat dan
mendukung
kardiovaskular dengan vasopressors dan inotropik untuk
meningkatkan MAP dan mempertahankan tekanan perfusi otak > 70 mmHg.
3. Mengontrol hematokrit
Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit. Viskositas darah meningkat
sebanding dengan semakin meningkatnya hematokrit dan tingkat optimal sekitar
35%. Aliran darah otak berkurang jika hematokrit meningkat lebih dari 50% dan
meningkat dengan tingkat hematokrit di bawah 30.
4. Obat obatan
Pemberian rutin obat sedasi, analgesik dan agen yang memblokir neuromuscular.
Propofol telah menjadi obat sedative pilihan. Fentanil dan morfin sering diberikan
untuk membatasi nyeri , memfasilitasi ventilasi mekanis dan mempotensiasi efek
sedasi. Obat yang memblokir neuromuscular mencegah peningkatan TIK yang
dihasilkan oleh batuk dan penegangan pada endotrachealtube.
5. Pengaturan suhu
Demam dapat memperberat defisit neurologis yang ada dan dapat memperburuk
kondisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat sebesar 6-9 % untuk
setiap kenaikan derajat Celcius. Tiap fase akut cedera kepala , hipertermia harus
diterapi karena akan memperburuk iskemik otak.
6. mengontrol bangkitan
Bangkitan terjadi terutama di mereka yang telah menderita hematoma ,
menembus cedera, termasuk patah tulang tengkorak dengan penetrasi dural ,
adanya tanda fokal neurologis dan sepsis. Antikonvulsan harus diberikan apabila
terjadi bangkitan.
7. Kontrol cairan
NaCl 0,9% , dengan osmolaritas 308 mosm / l, telah menjadi kristaloid pilihan
dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan 0,9 % saline membutuhkan
4 kali volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter hemodinamik . 8.
posisi kepala
32

Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-300 dapat menurunkan TIK dan
meningkatkan venous return ke jantung.
9. merujuk ke dokter bedah saraf
Rujukan ke seorang ahli bedah saraf:
GCS kurang dari atau sama dengan setelah resusitasi awal
Disorientasi yang berlangsung lebih 4 jam
penurunan skor GCS terutama respon motoric
tanda-tanda neurologis fokal progresif
kejang tanpa pemulihan penuh
cedera penetrasi
kebocoran cairan serebrospinal(4)
A Airway Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga diyakini
tidak ada cedera
B Breathing Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteri
C Circulation Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan secara rutin
tekanan darah pulsasi nadi, pemasangan IV line
D Dysfunction of CNS Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara rutin
E Exposure Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dari
depan dan belakang.
Setelah menyelesaikan resusitasi cardiovaskuler awal, dilakukan pemeriksaan fisis
menyeluruh pada pasien. Alat monitor tambahan dapat dipasang dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Nasogastric tube dapat dipasang kecuali pada pasien
dengan kecurigaan cedera nasal dan basis cranii, sehingga lebih aman jika
digunakan orogastric tube. Evaluasi untuk cedera cranium dan otak adalah
langkah berikut yang paling penting. Cedera kulit kepala yang atau trauma kapitis
yang sudah jelas memerlukan pemeriksaan dan tindakan dari bagian bedah saraf.
Tingkat kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS), fungsi pupil,
dan kelemahan ekstremitas.
Fraktur basis cranii sering terjadi pada pasien-pasien dengan trauma kapitis.
Fraktur ini menunjukkan adanya benturan yang kuat dan bisa tampak pada CT
scan. Jika tidak bergejala maka tidak diperlukan penanganan. Gejala dari fraktur
basis cranii seperti defisit neurologis (anosmia, paralisis fasialis) dan kebocoran
CSF (rhinorhea, otorrhea). Seringkali kebocoran CSF akan pulih dengan elevasi
kepala terhadap tempat tidur selama beberapa hari walaupun kadang memerlukan
drain lumbal atau tindakan bedah repair langsung. Belum ada bukti efektifitas
antibiotik mencegah meningitis pada pasien-pasien dengan kebocoran CSF.
Neuropati cranial traumatik umumnya ditindaki secara konservatif. Steroid dapat
membantu pada paralisis nervus fasialis.
Tindakan bedah tertunda dilakukan pada kasus frakur dengan inkongruensitas
tulang-tulang pendengaran akibat fraktur basis cranii longitudinal tulang temporal.
Mungkin diperlukan ossiculoplasty jika terjadi hilang pendengaran lebih dari 3
bulan apabila membran timpani tidak dapat sembuh sendiri. Indikasi lain adalah
kebocoran CSF persisten setelah mengalami fraktur basis cranii. Hal ini
memerlukan deteksi yang tepat mengenai lokasi kebocoran sebelum dilakukan
tindakan operasi.
3.8 Komplikasi
Risiko infeksi tidak tinggi, bahkan tanpa antibiotik, terutama yang disertai dengan
rhinorrhea. Facial palsy dan gangguan ossicular yang berhubungan dengan fraktur
basis cranii dibahas di bagian klinis. Namun, terutama, facial palsy yang terjadi
33

pada hari ke 2-3 pasca trauma adalah akibat sekunder untuk neurapraxia dari
nervus cranialis VII dan responsif terhadap steroid, dengan prognosis yang baik.
Onset facial palsy secara tiba-tiba pada saat bersamaan terjadinya fraktur biasanya
akibat skunder dari transeksi nervus, dengan prognosis buruk.
Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii. Fraktur
pada ujung pertosus os temporale mungkin melibatkan ganglion gasserian. Cedera
nervus cranialis VI yang terisolasi bukanlah akibat langsung dari fraktur, tapi
mungkin akibat skunder karena terjadinya ketegangan pada nervus. Nervus
kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat dalam fraktur condylar os oksipital,
seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam Vernet dan sindrom Collet-Sicard (vide
supra). Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis III, IV,dan
VI dan juga dapat mengganggu arteri karotis interna dan berpotensi menghasilkan
pembentukan pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan
struktur vena). Cedera carotid diduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur
berjalan melalui kanal karotid, dalam hal ini, CT-angiografi dianjurkan.
3.9 Prognosis
Pada frakur basis Cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama tanda
tanda vital dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan tindakan
sedini mungkin apabila ditemukan deficit neurologis serta diberikan profilaksis
antibiotic untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder, sedangkan pada fraktur
basis Cranii posterior, prognosis buruk dikarenakan fraktur pada fossa posterior
dapat mengakibatkan kompresi batang otak.
Walaupan fraktur pada cranium memiliki potensi resiko tinggi untuk cedera
nervus cranialis, pembuluh darah, dan cedera langsung pada otak, sebagian besar
jenis fraktur adalah jenis fraktur linear pada anak-anak dan tidak disertai dengan
hematom epidural. Sebagian besar fraktur, termasuk fraktur depresi tulang
cranium tidak memerlukan tindakan operasi.
4. Memahami dan Menjelaskan Trias Cushing
Trias cushing merupakan kumpulan gejala yang diakibatkan oleh meningkatnya
tekanan intrakranial.

Hipertensi

Bradikardi

Depresi pernapasan
Tekanan intrakranial pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah
cedera kepala, timbulnya edema memerlukan waktu 36 sampai 48 jam untuk
mencapai maksimum. Peningkatan tekanan intrakranial sampai 33 mmHg mengurangi
aliran darah otak secara bermakna. Iskemia yang timbul merangsang pusat motor, dan
tekanan darah sistemik meningkat, Rangsangan pada pusat inhibisi jantung
mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lambat. Mekanisme kompensasi
ini, dikenal sebagai refleks Cushing, membantu mempertahankan aliran darah otak.
Akan tetapi, menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi Co2 dan mengakibatkan
vasodilatasi otak yang membantu menaikkan tekananan intrakranial.
5. Memahami dan Menjelaskan Fraktur Le Fort

34

Fraktur maksila merupakan bagian dari trauma maxilofasial. Fraktur maxilofasial atau
fraktur wajah adalah putusnya kontinuitas tulang, tulang epifisis atau tulang rawan
sendi. Menurut Reksoprodjo (1995), fraktur adalah suatu keadaan dimana tulang
retak, pecah atau patah, baik tulang maupun tulang rawan. Bentuk dari patah tulang
bisa hanya retakan saja atau bisa juga sampai hancur berkeping-keping.
Fraktur maksila adalah kerusakan pada tulang maxilla yang seringkali terjadi akibat
adanya trauma, periodontitis maupun neoplasia.
Secara anatomis maksila atau rahang atas merupakan tulang berpasangan. Maksila
memiliki sepasang rongga berupa sinus maksilaris, ke atas berhubungan dengan
tulang frontal dan tulang nasal, ke lateral dengan tulang zygoma dan inferior medial
pada prosesus frontalis maksila. Maksila merupakan tulang yang tipis, pada bagian
lateral lebih tebal dan padat, pada bagian ini disangga olehzygomatimaksilari(Stack &
Ruggiero, 2006).
Maxila dibentuk oleh tulang maksila dan palatum, merupakan tulang terbesar setelah
mandibula (Moe, 2013). Masing-masing maxila mempunyai bagian :
1.
Corpus : Yang berbentuk pyramid dengan empat permukaan dinding.

Facies orbitalis yang ikut membentuk dasar kavum orbita.

Facies nasalis yang ikut membentuk dinding lateral cavum nasi.

Facies infra temporalis yang menghadappostero-lateral.

Facies anterior.
2.
Processus : Terdiri dari empat, yaitu :

Processus frontalisyang bersendi pada os frontal, nasal dan lakrimalis.

Processus zygomaticus yang bersendi pada os zygomatikus.

Processus alveolaris yang ditempati akar gigi.

Processus palatinus yang memisahkan cavum nasi dengan cavum oris.


Penyebab fraktur fasiomaksila adalah trauma, misalnya yangdiakibatkan oleh
kecelakaan lalu lintas,jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, cederaolahraga,
kecelakaan akibat peperangan, dan tindakan kekerasan (Fonseca &Walker, 2005)
sertafraktur patologis. Penyebab fraktur terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas
(Bailey,1992). Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya perhatianterhadap keselamatan
jiwa pada saat berkendaraan, seperti tidak menggunakan pelindung kepala/
helm,kecepatan dan rendahnya kesadaran tentang etika berlalu-lintas (Devadiga
&Prasad, 2007).
Klasifikasi fraktur maxila dikembangkan pertama kali oleh Rene Le Fort (18691951), ahli bedah dari Lilie, dan Martin Wassmun (1892-1956), ahli bedah mulut dan
maksilofasial dari Berlin (Budiharja & Rahmat, 2012) dengan melaporkan penelitian
pada jenazah yang mengalami trauma tumpul pada wajah. Disimpulkan terdapat pola
prediksi fraktur berdasarkan kekuatan dan arah trauma (Thornton,Talavera&Garza,
2006). Dibagi kedalam 3 tipe yaitu :
35

1.
Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I terjadi di atas level gigi yang menyentuh palatum, meliputi
keseluruhan prosesus alveolar dari maksila, kubah palatum dan prosesus pterigoid.
Fraktur membentang secara horizontal menyeberangibasis sinus maksila (Fraioli,
2008). Dengan demikian dindingmaksilari transversal bawah akan bergeserterhadap
tulang wajah lainnya maupun cranium (Hopper Richard A, 2006).
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggalatau bergabung dengan
fraktur - fraktur Le Fort II dan III. Fraktur Le Fort I inisering disebut sebagai fraktur
transmaksilari/ Guerin.
(Budiharja & Rahmat, 2012)
2.
Fraktur Le Fort II
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secaraklinis mirip dengan fraktur
hidung. Bila fraktur horizontal biasanyaberkaitan dengan tipisnya dinding sinus,
fraktur
pyramidalmelibatkan
sutura-sutura.
Sutura
zigomatimaksilaris
dannasofrontalis merupakan sutura yang sering terkenaSeperti pada fraktur Le Fort I,
bergeraknya lengkung rahangatas, bisa merupakan suatu keluhan atau ditemukan
saatpemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibandingfraktur Le Fort I,
begitu juga dengan gangguan oklusinya, tidak separah padaLe Fort I.
(Baumann, Troulis &Kaban, 2004)
3.
Fraktur Le Fort III (craniofacial disjunction).
Fraktur jenis ini merupakan cedera yang terparah. Bagian tengah wajah benar-benar
terpisah dari tempatperlekatannya yakni basis kranii (Fraioli, 2008). Fraktur ini
biasanya disertai dengan cedera kranioserebral,di mana bagian yang terkena trauma
dan besarnya tekanan yang dihasilkandapat mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup
kuatuntuk mengakibatkan trauma intracranial (Suardi, 2012).
A.
Fraktur Le fort I
1.
Tidak terdapat edema wajah.
2.
Tidak ada ekimosis sirkumorbital dan subkonjungtiva.
3.
Maksila dapat turun kebawah atau kearah lateral.
4.
Pada intra orbital terjadi maloklusi dan ekimosis.
5.
Pada palpasi terlihat mobilitasmaxila.
B.
Fraktur Le Fort II dan III
1.
Terjadi ekimosis dan perdarahan subkonjungtiva
2.
Perdarahan hidung dan naso faring
3.
Pendataran atau pemanjangan profil muka
4.
Ada kemungkinan terjadi parestesi daerah infra orbita dan cerebrocranial fluid
rhinorrhea.
5.
Pada trauma yang berat bagian tengah wajah akan terdesak kearah
posteroinferior, sehingga palatum bertemu denganlidah, edema, perdarahan dan pada
akhirnya akan menyumbat jalan nafas.
Pemeriksaan klinis dilakukan berbeda pada masing-masing Le Fort :
I.
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua pemeriksaan
yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, dilakukan
dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edema pada
bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung
36

rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi
dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan
secara palpasi terdapat rasa nyeri.
II.
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua pemeriksaan
yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan
dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil
cenderung sama tinggi, ekimosis, dan edema periorbital. Sedangkan secara palpasi
terdapat tulang hidung bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah
kulit yang dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral,
pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat
adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika dibandingkan dengan fraktur Le Fort
I. Sedangkan secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan
selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah
anterolateral, foto wajah polos dan Computed Tomography (CT) scan.
III.
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra oral. Pada
pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi. Secara visualisasi
dapat terlihat pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral.
Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan mengakibatkan pergeseran
seluruh bagian atas wajah.Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan
dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT Scan.
Penatalaksanaan pada fraktur maksila tahap awal meliputi pembebasanjalan nafas,
kontrol pendarahan,penutupan luka pada soft tissue, dan menempatkan segmen tulang
yang fraktur sesuai denganposisinya melalui fiksasi intermaksilari (Fraioli, 2008).
Jika pada awal kejadian jalan nafas mengalami perdarahan dan obstruksi maka harus
segera dilakukan tindakan, kadang diperlukan tracheostomy, dilanjutkan dengan
reduksi dan fixasi jika memungkinkan.
Pada
fraktur
Le
Fort
I
dirawat
dengan
menggunakan
arch
bar,fiksasimaksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yangdidapatkan dari
pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen frakturmengalami impaksi, maka
dilakukan pengungkitan denganmenggunakan tang pengungkit, atau secara tidak
langsung denganmenggunakan tekanan pada splint/arch bar.
(Fraioli, 2008)
Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa denganfraktur Le Fort I. Hanya
perbedaannya adalah perlu dilakukanperawatan fraktur nasal dan dasar orbita juga.
Fraktur nasal biasanyadireduksi dengan menggunakan molding digital dan splinting.
(Baumann, Troulis& Kaban, 2004)
Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat denganmenggunakan arch bar, fiksasi
maksilomandibular, pengawatanlangsung bilateral, atau pemasangan pelat pada
suturazigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada prosessuszigomatikus
ossis frontalis.
(Fitriana dan Syamsudin, 2013)
Manajemen pasca operasi terdiri dariperawatan secara umum pada pasien seperti
kebesihan gigi dan mulut, nutrisi yang cukup, danantibiotik selama periode
perioperasi.
6. Memahami dan Menjelaskan Fraktur Os Nasal
6.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar daripada yang
37

diabsorpsinya. Fraktur tulang hidung adalah setiap retakan atau patah yang terjadi
pada bagian tulang di organ hidung.
6.2 Etiologi
Penyebab dari fraktur tulang hidung berkaitan dengan trauma langsung pada
hidung atau muka. Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung.
Penyebab utama dari trauma dapat berupa :
Cedera saat olahraga
Akibat perkelahian
Kecelaaan lalu lintas
Terjatuh
Masalah kelahiran
Kadang dapat iatrogenic
6.3 Patofisiologi
Tulang hidung dan kartilago rentan untuk mengalami fraktur karena hidung
letaknya menonjol dan merupakan bagian sentral dari wajah, sehingga kurang
kuat menghadapi tekanan dari luar. Pola fraktur yang diketahui beragam
tergantung pada kuatnya objek yang menghantam dan kerasnya tulang. Seperti
dengan fraktur wajah yang lain, pasien muda cenderung mengalami fraktur
kominunitiva septum nasal dibandingkan dengan pasien dewasa yang kebanyakan
frakturnya lebih kompleks.
Daerah terlemah dari hidung adalah kerangka kartilago dan pertemuan antara
kartilago lateral bagian atas dengan tulang dan kartilago septum pada krista
maksilaris. Daerah terlemah merupakan tempat yang tersering mengalami fraktur
atau dislokasi pada fraktur nasal.3
Kekuatan yang besar dari berbagai arah akan menyebabkan tulang hidung remuk
yang ditandai dengan deformitas bentuk C pada septum nasal. Deformitas bentuk
C biasanya dimulai di bagian bawah dorsum nasal dan meluas ke posterior dan
inferior sekitar lamina perpendikularis os ethmoid dan berakhir di lengkung
anterior pada kartilago septum kira-kira 1 cm di atas krista maksilaris.
Kebanyakan deviasi akibat fraktur nasal meliputi juga fraktur pada kartilago
septum nasal.
Fraktur nasal lateral merupakan yang paling sering dijumpai pada fraktur nasal.
Fraktur nasal lateral akan menyebabkan penekanan pada hidung ipsilateral yang
biasanya meliputi setengah tulang hidung bagian bawah, prosesus nasi maksilaris
dan bagian tepi piriformis. Trauma lain yang sering dihubungkan dengan fraktur
nasal adalah fraktur frontalis, ethmoid dan tulang lakrimalis, fraktur nasoorbital
ethmoid; fraktur dinding orbita; fraktur lamina kribriformis; fraktur sinus frontalis
dan fraktur maksila Le Fort I, II, dan III.
6.4 Klasifikasi
Fraktur hidung dapat dibedakan menurut :
1. Lokasi : tulang nasal (os nasale), septum nasi, ala nasi, dan tulang rawan
triangularis.
2. Arah datangnya trauma :
- Dari lateral : kekuatan terbatas dapat menyebabkan fraktur impresi dari salah
satu tulang nasal. Pukulan lebih besar mematahkan kedua belah tulang nasal dan
septum nasi dengan akibat terjadi deviasi yang tampak dari luar.

38

- Dari frontal : cederanya bisa terbatas hanya sampai bagian distal hidung atau
kedua tulang nasal bisa patah dengan akibat tulang hidung jadi pesek dan melebar.
Bahkan kerangka hidung luar dapat terdesak ke dalam dengan akibat cedera pada
kompleks etmoid.
- Datang dari arah kaudal : relatif jarang.
Jenis fraktur nasal meliputi :
1. fraktur nasal sederhana,
2. fraktur pada prosessus frontalis maksila,
3. fraktur nasal dengan pergeseran kartilago nasi,
4. fraktur dengan keluarnya kartilago septum dari sulkusnya di vomer,
5. fraktur kominutiva pada vomer, dan
6. fraktur pada tulang ethmoid sehingga CSS mengalir dari hidung.
+Fraktur hidung sederhana
Jika hanya terjadi fraktur tulang hidung saja dapat dilakukan reposisi fraktur
dengan analgesia lokal. Akan tetapi pada anak-anak atau orang dewasa yang tidak
kooperatif tindakan reposisi dilakukan dalam keadaan narkose umum.
Analgesia lokal dapat dilakukan dengan pemasangan tampon lidokain 1-2% yang
dicampur dengan epinefrin 1: 1000. Tampon kapas yang berisi obat analgesia
lokal ini dipasang masing-masing 3 buah pada setiap lubang hidung. Tampon
pertama diletakkan pada meatus superior tepat di bawah tulang hidung, tampon
kedua diletakkan di antara konka media dan septum dan bagian distal dari tampon
tersebut terletak dalam foramen sfenopalatina. Tampon ketiga ditempatkan antara
konka inferior dan septum nasi. Ketiga tampon tersebut dipertahankan selama 10
menit. Kadang kadang diperlukan penambahan penyemprotan oxymethazoline
spray beberapa kali, melalui rinoskopi anterior untuk memperoleh efek anestesi
dan efek vasokonstriksi yang baik.

+Fraktur nasal kominunitiva


Fraktur nasal dengan fragmentasi tulang hidung ditandai dengan batang hidung
nampak rata (pesek); tulang hidung mungkin dinaikkan ke posisi yang aman tetapi
beberapa fragmen tulang tetap hilang.Bidai digunakan untuk memindahkan
fragmen tulang ke posisi yang sebenarnya. Untuk tujuan tersebut beberapa kasa
vaselin dimasukkan ke dalam lubang hidung.
+Fraktur tulang hidung terbuka
Fraktur tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari tulang hidung
tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum rongga
39

hidung. Kerusakan atau kelainan pada kulit dari hidung diusahakan untuk
diperbaiki atau direkonstruksi pada saat tindakan.
+Fraktur tulang nasoorbitoetmoid kompleks
Jika nasal piramid rusak karena tekanan atau pukulan dengan beban berat akan
menimbulkan fraktur hebat pada tulang hidung, lakrimal, etmoid, maksila dan
frontal. Tulang hidung bersambungan dengan prossesus frontalis os maksila dan
prossesus nasalis os frontal. Bagian dari nasal piramid yang terletak antara dua
bola mata akanterdorong ke belakang. Terjadilah fraktur nasoetmoid, fraktur
nasomaksila dan fraktur nasoorbita.Fraktur ini dapat menimbulkan komplikasi
atau sekuele di kemudian hari. Komplikasi yang terjadi tersebut ialah:
A. Komplikasi neurologik :
1. Robeknya duramater
2. Keluarnya cairan serebrospinal dengan kemungkinan timbulnya meningitis
3. Pneumoensefal
4. Laserasi otak
5. Avulsi dari nervus olfaktorius
6. Hematoma epidural atau subdural
7. Kontusio otak dan nekrosis jaringan otak
B. Komplikasi pada mata :
1. Telekantus traumatika
2. Hematoma pada mata
3. Kerusakan nervus optikus yang mungkin menyebabkan kebutaan
4. Epifora
5. Ptosis
6. Kerusakan bola mata
C. Komplikasi pada hidung :
1. Perubahan bentuk hidung
2. Obstruksi rongga hidung yang disebabkan oleh fraktur,dislokasi, atau
hematoma pada septum
3. Gangguan penciuman (hiposmia atau anosmia)
4. Epistakis posterior yang hebat yang disebabkan karena robeknya arteri
etmoidalis
5. Kerusakan duktus nasofrontalis dengan menimbulkan sinusitis frontal atau
mukokel
Pada keadaan terjadinya trauma hidung seperti tersebut di atas, jika terdapat
kehilangan kesadaran mungkin terjadi kerusakan pada susunan saraf otak
sehingga memerlukan bantuan seorang ahli bedah saraf otak.Konsultasi kepada
seorang ahli mata diperlukan untuk mengevaluasi kemungkinan terdapatnya
kelainan pada mata. Pemeriksaan penunjang radiologic berupa CT scan (axial dan
koronal) diperlukan pada kasus ini.1
Kavum nasi dan lasernasi harus dibersihkan dan diperiksa kemungkinan
terjadinya fistul cairan serebro spinal.Integritas tendon kantus media harus
dievaluasi, untuk ini diperlukan konsultasi dengan ahli mata.Klasifikasi
nasoorbitetmoid kompleks tipe I mengenai satu sisi noncommunited fragmen
sentral tanpa robeknya tendo kantus media. Tipe II, mengenai fragmen sentral
tanpa robeknya tendo kantus media. Tipe III mengenai kerusakan fragmen sentral
berat dengan robeknya tendo kantus media.

40

Seorang ahli bedah maksilofasial harus mengenal organ yang rusak pada daerah
tersebut untuk melakukan tindakan rekonstruksi dengan cara menyambung tulang
yang patah sehingga mendapatkan hasil yang memuaskan. Fraktur
nasoorbitetmoid kompleks ini seringkali tidak dapat diperbaiki dengan cara
sederhana menggunakan tampon hidung atau fiksasi dari luar. Apabila terjadi
kerusakan duktus naso-lakrimalis akan menyebabkan air mata selalu keluar.
Tindakan ini memerlukan penanganan yang lebih hati-hati dan teliti.Rekonstruksi
dilakukan dengan menggunakan kawat (stainless steel) atau plate & screw. Pada
fraktur tersebut di atas, memerlukan tindakan rekonstruksi kantus media.
6.5 Manifestasi Klinis
Tanda yang mendukung terjadinya fraktur tulang hidung dapat berupa :
a) Depresi atau pergeseran tulang tulang hidung.
b) Terasa lembut saat menyentuh hidung.
c) Adanya pembengkakan pada hidung atau muka.
d) Memar pada hidung atau di bawah kelopak mata (black eye).
e) Deformitas hidung.
f) Keluarnya darah dari lubang hidung (epistaksis).
g) Saat menyentuh hidung terasa krepitasi.
h) Rasa nyeri dan kesulitan bernapas dari lubang hidung.
Tanda-tanda berikut merupakan saat dimana sebaiknya meminta pertolongan
dokter meliputi:
- Nyeri dan pembengkakan tidak menghilang 3x24 jam
- Hidung terlihat miring atau melengkung
- Sulit bernapas melalui hidung meskipun reaksi peradangan telah mereda
- Terjadi demam
- Perdarahan hidung berulang
Tanda-tanda berikut dimana sebaiknya meminta pertolongan ke unit gawat darurat
:
- Perdarahan yang berlangsung lebih dari beberapa menit pada satu atau kedua
lubang hidung
- Keluar cairan berwarna bening dari lubang hidung
- Cedera lain pada tubuh dan muka
- Kehilangan kesadaran
- Sakit kepala yang hebat
- Muntah yang berulang
- Penurunan indra penglihatan
- Nyeri pada leher
- Rasa kebas, baal,atau lemah pada lengan.
6.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis fraktur tulang hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan
pemeriksaan hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya
ditandai dengan pembengkakan mukosa hidung terdapatnya bekuan dan
kemungkinan ada robekan pada mukosa septum, hematoma septum, dislokasi atau
deviasi pada septum.

41

Pemeriksaan penunjang berupa foto os nasal, foto sinusparanasal posisi Water dan
bila perlu dapat dilakukan pemindaian dengan CT scan. CT scan berguna untuk
melihat fraktur hidung dan kemungkinan terdapatnya fraktur penyerta lainnya.
Pasien harus selalu diperiksa terhadap adanya hematoma septum akibat fraktur,
bilamana tidak terdeteksi. Dan tidak dirawat dapat berlanjut menjadi abses,
dimana terjadi resorpsi kartilago septum dan deformitas hidung pelana ( saddle
nose ) yang berat.
a. Anamnesis
Rentang waktu antara trauma dan konsultasi dengan dokter sangatlah penting
untuk penatalaksanaan pasien.Sangatlah penting untuk menentukan waktu trauma
dan menentukan arah dan besarnya kekuatan dari benturan.Sebagai contoh,
trauma dari arah frontal bisa menekan dorsum nasal, dan menyebabkan fraktur
nasal. Pada kebanyakan pasien yang mengalami trauma akibat olahraga, trauma
nasal yang terjadi berulang dan terus menerus, dan deformitas hidung akan
menyebabkan sulit menilai antara trauma lama dan trauma baru sehingga akan
mempengaruhi terapi yang diberikan. Informasi mengenai keluhan hidung
sebelumnya dan bentuk hidung sebelumnya juga sangat berguna. Keluhan utama
yang sering dijumpai adalah epistaksis, deformitas hidung, obstruksi hidung dan
anosmia.
b. Pemeriksaan fisik
Kebanyakan fraktur nasal adalah pelengkap trauma seperti trauma akibat
dihantam atau terdorong.Sepanjang penilaian awal dokter harus menjamin bahwa
jalan napas pasien aman dan ventilasi terbuka dengan sewajarnya.Fraktur nasal
sering dihubungkan dengan trauma pada kepala dan leher yang bisa
mempengaruhi patennya trakea.Fraktur nasal ditandai dengan laserasi pada
hidung, epistaksis akibat robeknya membran mukosa. Jaringan lunak hidung akan
nampak ekimosis dan udem yang terjadi dalam waktu singkat beberapa jam
setelah trauma dan cenderung nampak di bawah tulang hidung dan kemudian
menyebar ke kelopak mata atas dan bawah.
Deformitas hidung seperti deviasi septum atau depresi dorsum nasal yang sangat
khas, deformitas yang terjadi sebelum trauma sering menyebabkan kekeliruan
pada trauma baru. Pemeriksaan yang teliti pada septum nasal sangatlah penting
untuk menentukan antara deviasi septum dan hematom septi, yang merupakan
indikasi absolut untuk drainase bedah segera.Sangatlah penting untuk memastikan
diagnosa pasien dengan fraktur, terutama yang meliputi tulang ethmoid. Fraktur
tulang ethmoid biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur nasal fragmental berat
dengan tulang piramid hidung telah terdorong ke belakang ke dalam labirin
ethmoid, disertai remuk dan melebar, menghasilkan telekantus, sering dengan
rusaknya ligamen kantus medial, apparatus lakrimalis dan lamina kribriformis,
yang menyebabkan rhinorrhea cerebrospinalis.
Pada pemeriksaan fisis dengan palpasi ditemukan krepitasi akibat emfisema
subkutan, teraba lekukan tulang hidung dan tulang menjadi irregular.Pada pasien
dengan hematom septi tampak area berwarna putih mengkilat atau ungu yang
nampak berubah-ubah pada satu atau kedua sisi septum nasal. Keterlambatan
dalam mengidentifikasi dan penanganan akan menyebabkan deformitas bentuk
pelana, yang membutuhkan penanganan bedah segera. Pemeriksaan dalam harus
didukung dengan pencahayaan, anestesi, dan semprot hidung vasokonstriktor.
42

Spekulum hidung dan lampu kepala akan memperluas lapangan pandang. Pada
pemeriksaan dalam akan nampak bekuan darah dan/atau deformitas septum nasal.

b. Pemeriksaan radiologis
Jika tidak dicurigai adanya fraktur nasal komplikasi, radiografi jarang
diindikasikan.Karena pada kenyataannya kurang sensitif dan spesifik, sehingga
hanya diindikasikan jika ditemukan keraguan dalam mendiagnosa.Radiografi
tidak mampu untuk mengidentifikasi kelainan pada kartilago dan ahli klinis sering
salah dalam menginterpretasikan sutura normal sebagi fraktur yang disertai
dengan pemindahan posisi.Bagaimanapun, ketika ditemukan gejala klinis seperti
rhinorrhea cerebrospinalis, gangguan pergerakan ekstraokular atau maloklusi.CTscan dapat diindikasikan untuk menilai fraktur wajah atau mandibular.

6.7 Penatalaksanaan
Tujuan Penangananan Fraktur Hidung :
a. Mengembalikan penampilan secara memuaskan
b. Mengembalikan patensi jalan nafas hidung
c. Menempatkan kembali septum pada garis tengah
d. Menjaga keutuhan rongga hidung
e. Mencegah sumbatan setelah operasi, perforasi septum, retraksi kolumela,
perubahan bentuk punggung hidung
f. Mencegah gangguan pertumbuhan hidung
+Konservatif
Penatalaksanaan fraktur nasal berdasarkan atas gejala klinis, perubahan fungsional
dan bentuk hidung, oleh karena itu pemeriksaan fisik dengan dekongestan nasal
dibutuhkan. Dekongestan berguna untuk mengurangi pembengkakan mukosa.
Pasien dengan perdarahan hebat, biasanya dikontrol dengan pemberian
vasokonstriktor topikal. Jika tidak berhasil bebat kasa tipis, kateterisasi balon, atau
prosedur lain dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah jarang dilakukan. Bebat
kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol perdarahan setelah
vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama 2-5 hari sampai
43

perdarahan berhenti. Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya dan
kepala sedikit ditinggikan untuk mengurangi pembengkakan. Antibiotik diberikan
untuk mengurangi resiko infeksi, komplikasi dan kematian. Analgetik berperan
simptomatis untuk mengurangi nyeri dan memberikan rasa nyaman pada pasien.
Fraktur nasal merupakan fraktur wajah yang tersering dijumpai. Jika dibiarkan
tanpa dikoreksi, akan menyebabkan perubahan struktur hidung dan jaringan lunak
sehingga akan terjadi perubahan bentuk dan fungsi. Karena itu, ketepatan waktu
terapi akan menurunkan resiko kematian pasien dengan fraktur nasal. Terdapat
banyak silang pendapat mengenai kapan seharusnya penatalaksanaan
dilakukan.Penatalaksanaan terbaik seharusnya dilakukan segera setelah fraktur
terjadi, sebelum terjadi pembengkakan pada hidung.Sayangnya, jarang pasien
dievaluasi secara cepat. Pembengkakan pada jaringan lunak dapat mengaburkan
apakah patah yang terjadi ringan atau berat dan membuat tindakan reduksi
tertutup menjadi sulit dilakukan.Sebab dari itu pasien dievaluasi setelah 3-4 hari
berikutnya. Tindakan reduksi tertutup dilakukan 7-10 hari setelahnya dapat
dilakukan dengan anestesi lokal. Jika tindakan ditunda setelah 7-10 hari maka
akan terjadi kalsifikasi.
Setelah memastikan bahwa saluran napas dalam kondisi baik, pernapasan optimal
dan keadaan pasien cenderung stabil, dokter baru melakukan penatalaksaan
terhadap fraktur. Penatalaksanaan dimulai dari cedera luar pada jaringan lunak.
Jika terjadi luka terbuka dan kemungkinan kontaminasi dari benda asing, maka
irigasi diperlukan.Tindakan pembersihan (debridement) juga dapat dilakukan.
Namun pada tindakan debridement harus diperhatikan dengan bijak agar tidak
terlalu banyak bagian yang dibuang karena lapisan kulit diperlukan untuk melapisi
kartilago yang terbuka.
+Operatif
Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang,
penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan.
Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan reduksi dengan
fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung.
A. Teknik reduksi tertutup
Reduksi tertutup adalah tindakan yang dianjurkan pada fraktur hidung akut yang
sederhana dan unilateral.Teknik ini merupakan satu teknik pengobatan yang
digunakan untuk mengurangi fraktur nasal yang baru terjadi.Namun, pada kasus
tertentu tindakan reduksi terbuka di ruang operasi kadang diperlukan. Penggunaan
analgesia lokal yang baik, dapat memberikan hasil yang sempurna pada tindakan
reduksi fraktur tulang hidung. Jika tindakan reduksi tidak sempurna maka fraktur
tulang hidung tetap saja pada posisi yang tidak normal. Tindakan reduksi ini
dikerjakan 1-2 jam sesudah trauma, dimana pada waktu tersebut edema yang
terjadi mungkin sangat sedikit. Namun demikian tindakan reduksi secara lokal
masih dapat dilakukan sampai 14 hari sesudah trauma. Setelah waktu tersebut
tindakan reduksi mungkin sulit dikerjakan karena sudah terbentuk proses
kalsifikasi pada tulang hidung sehingga perlu dilakukan tindakan rinoplasti
estetomi.
Alat-alat yang dipakai pada tindakan reduksi adalah :
1. Elevator tumpul yang lurus (Boies Nasal Fracture Elevator)
2. Cunam Asch
3. Cunam Walsham
44

4. Spekulum hidung pendek dan panjang (Killian)


5. Pinset bayonet.

Deformitas hidung yang minimal akibat fraktur dapat direposisi dengan tindakan
yang sederhana.Reposisi dilakukan dengan cunam Walsham. Pada penggunaan
cunam Walsham ini, satu sisinya dimasukkan ke dalam kavum nasi sedangkan sisi
yang lain di luar hidung dia atas kulit yang diproteksi dengan selang karet.
Tindakan manipulasi dilakukan dengan kontrol palpasi jari.
Jika terdapat deviasi piramid hidung karena dislokasi karena dislokasi tulang
hidung, cunam Asch digunakan dengan cara memasukkan masing-masing sisi
(blade) ke dalam kedua rongga hidung sambil menekan septum dengan kedua sisi
forsep. Sesudah fraktur dikembalikan pada posisi semula dilakukan pemasangan
tampon di dalam rongga hidung. Tampon yang dipasang dapat ditambah dengan
antibiotika.
Perdarahan yang timbul selama tindakan akan berhenti, sesudah pemasangan
tampon pada kedua rongga hidung. Fiksasi luar (gips) dilakukan dengan
menggunakan beberapa lapis gips yang dibentuk dari huruf T dan dipertahankan
hingga 10-14 hari.
Langkahlangkah pada tindakan reduksi tertutup :
1. Memindahkan kedua prosesus nasofrontalis. Forceps Walshams digunakan
untuk memindahkan kedua prosesus nasalis keluar maksila dan menggunakan
tenaga yang terkontrol untuk menghindari gerakan menghentak yang tiba-tiba.
2. Perpindahan posisi tulang hidung. Septum kemudian dipegang dengan forceps
Asch yang diletakkan di belakang dorsum nasi. Forceps ini diciptakan sama
prinsipnya dengan forceps walshams, tetapi forcep Asch mempunyai mata pisau
yang dapat memegang septum yang mana bagian mata pisau tersebut terpisah dari
pegangan utama bagian bawah dengan ukuran lebih besar dan lekukan berguna
untuk menghindari terjadinya kompresi dan kerusakan kolumela yang hebat dan
lebih luas.
3. Manipulasi septum nasal. Forceps Asch kemudian digunakan lagi untuk
meluruskan septum nasal.
4. Membentuk piramid hidung. Dokter ahli bedah seharusnya mampu untuk
mendorong hidung sampai mencapai posisi yang tidak seharusnya dan adanya
sumbatan/kegagalan mengindikasikan kesalahan posisi dan pergerakan tidak
sempurna dan harus diulang.Prosesus nasofrontalis didorong ke dalam dan tulang
hidung akhirnya dapat terbentuk dengan bantuan jari-jari tangan.
5. Kemungkinan pemindahan akhir septum. Dokter ahli bedah harus berhati-hati
dalam menilai bagian anterior hidung dan harus mengecek posisi dari septum
nasal. Jika memuaskan, dokter harus mereduksi terbuka fraktur septum melalui
septoplasti atau reseksi mukosa yang sangat terbatas.
45

6. Kemungkinan laserasi sutura kutaneus. Jika tipe fraktur adalah tipe patah
tulang riuk, maka dibutuhkan laserasi sutura pada kulit yang terbuka. Pertamatama, luka harus dibuka. Sangatlah penting untuk membuang semua benda asing
yang berada pada luka seperti pecahan kaca, kotoran atau batu kerikil.Hidung
membutuhkan suplai darah yang cukup dan oleh karena itu sedikit atau banyak
debridemen sangat dibutuhkan. Penutupan pertama terlihat kebanyakan luka
sekitar 36 jam dan sutura nasalis menutup sekitar 3-4 mm. Kadang luka kecil
superfisial dapat menutup dengan plester adhesive (steristrips).

B. Teknik reduksi terbuka


Fraktur nasal reduksi terbuka cenderung tidak memberikan keuntungan.Pada
daerah dimana fraktur berada sangat beresiko mengalami infeksi sampai ke dalam
tulang.Masalah pada hidung menjadi kecil karena hidung mempunyai banyak
suplai aliran darah bahkan pada masa sebelum adanya antibiotik, komplikasi
infeksi setelah fraktur nasal dan rhinoplasti sangat jarang terjadi.
Teknik reduksi terbuka diindikasikan untuk :
1. Ketika operasi telah ditunda selama lebih dari 3 minggu setelah trauma.
2. Fraktur nasal berat yang meluas sampai ethmoid. Disini, sangat nyata adanya
fragmentasi tulang sering dengan kerusakan ligamentum kantus medial dan
46

apparatus lakrimalis. Reposisi dan perbaikan hanya mungkin dengan reduksi


terbuka, dan sayangnya hal ini harus segera dilakukan.
3. Reduksi terbuka juga dapat dilakukan pada kasus dimana teknik manipulasi
reduksi tertutup telah dilakukan dan gagal. Pada teknik reduksi terbuka
harusdilakukan insisi pada interkartilago. Gunting Knapp disisipkan di antara
insisi interkartilago dan lapisan kulit beserta jaringan subkutan yang terpisah dari
permukaan luar dari kartilago lateral atas, dengan melalui kombinasi antara
gerakan memperluas dan memotong.
6.8 Komplikasi
A) Hematom septi
Merupakan komplikasi yang sering dan serius dari trauma nasal.Septum hematom
ditandai dengan adanya akumulasi darah pada ruang subperikondrial. Ruangan ini
akan menekan kartilago di bawahnya, dan mengakibatkan nekrosis septum
irreversible. Deformitas bentuk pelana dapat berkembang dari jaringan lunak yang
hilang.Prosedur yang harus dilakukan adalah drainase segera setelah ditemukan
disertai dengan pemberian antibiotik setelah drainase.

Penanganan hematom septum berupa :


- insisi dan drainase hematoma,
- pemasangan drain sementara,
- pemasangan balutan intranasal untuk menekan mukosa septum
- dan memperkecil kemungkinan terjadinya hematom ulang
- dimulainya terapi antibiotik untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
bahaya infeksi.
B) Fraktur dinding orbita
Fraktur pada dinding orbita dan lantai orbita akibat pukulan dapat terjadi.Gejala
klinis yang muncul adalah disfungsi otot ekstraokuler.
C) Fraktur septum nasal
Sekitar 70% fraktur nasal dihubungkan dengan fraktur septum nasal. Trauma pada
hidung bagian bawah akan menyebabkan fraktur septum nasal tanpa adanya
kerusakan tulang hidung. Teknik yang dilakukan adalah teknik manipulasi reduksi
tertutup dengan menggunakan forceps Asch.
D) Fraktur lamina kribriformis

47

Merupakan predisposisi pengeluaran cairan cerebrospinalis, yang


menyebabkan komplikasi berupa meningitis, encephalitis dan abses otak.

akan

6.9 Prognosis
Kebanyakan fraktur nasal tanpa disertai dengan perpindahan posisi akan sembuh
tanpa adanya kelainan kosmetik dan fungsional. Dengan teknik reduksi terbuka
dan tertutup akan mengurangi kelainan kosmetik dan fungsional pada 70 %
pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1. Adam T.R et al. Nasal and Septal Fractures. Diunduh dari :
2. http: //emedicine.medscape.com/article/878595. April 2014.
American College of Surgeons, 1997,

Advance Trauma Life Suport. United States of

America: Firs Impression


Anonymus. Fraktur nasal. Di unduh dari: http://ilmubedah.info/definisi-anatomi-diagnosispenatalaksanaan-fraktur-nasal.april 2014.
Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia Press of Yogyakarta
Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com
Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
Corry

J.K.

Management

of

Acute

Nasal

Fractures.

Diunduh

dari:

www.aafp.org/afp/2004/1001/p1315.html. April 2014.


Efiaty A S, Nurbaiti I, Jenny B, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok
Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Cetakan ke-1. Jakarta: FKUI;2007.h.118-122,199-202.
Elizabeth A B. Broken Nose. Diunduh dari : http://www.emedicinehealth.com/broken
nose/article em.htm. April 2014.
48

George L Adams. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT. Fraktur Hidung. Edisi ke-6. Cetakan ke3. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC;1997.h.513.
Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC
Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra Utara:
USU Press.
Lalwani AK. Current Diagnosis dan Treatment : Otolaryngology Head and Neck Surgery.
Edisi ke-2. USA; McGraw-Hill Medical;2007.Chapter 11.
Mayo Clinic Staff. Broken Nose. Diunduh dari: http//www.mayoclinic.com/health/brokennose. April 2014.
Samual J.H. Nasal Fracture. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/84829overview. April 2014.

49

Anda mungkin juga menyukai