Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

Dosen Pengampu
Ir. M. Rasyid Fadoli, M.Si

OLEH :
Dini Ardhana Reswari

135080300111094

Jodhy Rizkianda Putra

135080301111032

Yusuf Reyhan

145080301111002
KELAS :TO3

TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta karunia Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah PENDIDIKAN
PANCASILA dengan judul PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA ini dan tepat pada
waktunya.
Dalam menyusun makalah ini, penulis banyak memperoleh isi materi dari berbagai
sumber yang kami dapatkan dan juga jurnal yang relevan di dalamnya serta penulis ingin
menyampaikan

terimakasih

kepada

dosen

pengampu

mata

kuliah

PENDIDIKAN

PANCASILA kepada Bapak Ir. M. Rasyid Fadoli, M.Si yang telah membimbing penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan kepada para pembaca.

Malang, 26 Oktober 2016


Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................................. i
Daftar Isi............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................. 2
1.3 Tujuan.................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Etika..................................................................................................... 3
2.1.1 Pengertian Nilai, Norma Dan Moral............................................................... 3
2.1.2 Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praksis ........................................... 5
2.1.3 Aliran Aliran Besar Etika............................................................................. 6
2.2 Etika Pancasila....................................................................................................... 9
2.2.1 Makna Nilai-Nilai Setiap Pancasila................................................................ 11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................................................. 14
3.2 Saran...................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 15

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pancasila memiliki bermacam-macam fungsi dan kedudukan, antara lain sebagai
dasar negara, pandangan hidup bangsa, ideologi negara, jiwa dan kepribadian bangsa.
Pancasila juga sangat sarat akan nilai, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dan keadilan. Oleh karena itu, Pancasila secara normatif dapat dijadikan sebagai
suatu acuan atas tindakan baik, dan secara filosofis dapat dijadikan perspektif kajian atas
nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Sebagai suatu nilai yang terpisah satu
sama lain, nilai-nilai tersebut bersifat universal, dapat ditemukan di manapun dan kapanpun.
Namun, sebagai suatu kesatuan nilai yang utuh, nilai-nilai tersebut memberikan ciri khusus
pada ke-Indonesia-an karena merupakan komponen utuh yang terkristalisasi dalam
Pancasila. Meskipun para founding fathers mendapat pendidikan dari Barat, namun causa
materialis Pancasila digali dan bersumber dari agama, adat dan kebudayaan yang hidup di
Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila yang pada awalnya merupakan konsensus politik yang
memberi dasar bagi berdirinya negara Indonesia, berkembang menjadi konsensus moral
yang digunakan sebagai sistem etika yang digunakan untuk mengkaji moralitas bangsa
dalam konteks hubungan berbangsa dan bernegara.
Nilai, norma, dan moral adalah konsep-konsep yang saling berkaitan. Dalam
hubungannya dengan Pancasila maka ketiganya akan memberikan pemahaman yang saling
melengkapi sebagai sistem etika. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakekatnya
merupakan suatu nilai yang menjadi sumber dari segala penjabaran norma, baik norma
hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainnya.

Nilai-nilai tersebut dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praktis atau kehidupan
nyata dalam masyarakat, bangsa dan negara maka diwujudkan dalam norma-norma
yang kemudian menjadi pedoman. Norma-norma itu meliputi :
1.

Norma Moral
Yang

berkaitan

dengan

tingkah

laku

manusia

yang

dapat

diukur

dari

sudut baik maupun buruk, sopan atau tidak sopan, susila atau tidak susila.
2.

Norma Hukum
Suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu tempat dan
waktu tertentu dalam pengertian ini peraturan hukum. Dalam pengertian itulah Pancasila
berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Dengan demikian, Pancasila pada hakekatnya bukan merupakan suatu pedoman yang
langsung bersifat normatif ataupun praktis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika
yang merupakan sumber norma.

Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang dan bagaimana kita dan mengapa kita
mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang
bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral. Etika berkaitan dengan
masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan masalah- masalah yang berkaitan
dengan predikat nilai susila dan tidak susila, baik dan buruk.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan kondisi yang telah disebutkan sebelumnya, maka rumusan masalah
yang kan dibahas dalam makalah ini adalah mempelajari pengertian tentang etika,
pengertian nilai, norma dan moral, aliran-aliran etika, dan etika Pancasila.
2

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penyusunan makalah ini adalah
Setelah mempelajari Bab ini mahasiswa memahami tentang Pancasila sebagai etika dalam
kehidupanbermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Etika


Etika adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia
bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Etika merupakan suatu
pemikiran

kritis

dan

mendasar

tentang

ajaran-ajaran

dan

pandangan-pandangan

moral. Etika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti
suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggung jawab dengan berbagai
ajaran moral. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :
1) Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan
manusia.
2) Etika Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan
berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun
makhluk sosial (etika sosial).

Secara etimologis (asal kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang artinya watak
kesusilaan atau adat. Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari bahasa
Latin, mos yang jamaknya mores, yang juga berarti adat atau cara hidup. Meskipun kata
etika dan moral memiliki kesamaan arti, dalam pemakaian sehari-hari dua kata ini digunakan
secara berbeda. Moral atau moralitas digunakan untuk perbuatan yang sedang dinilai,
4

sedangkan etika digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada (Zubair, 1987: 13). Dalam
bahasa Arab, padanan kata etika adalah akhlak yang merupakan kata jamakkhuluk yang
berarti perangai, tingkah laku atau tabiat (Zakky, 2008: 20.)

2.1.1 Pengertian Nilai, Norma Dan Moral


A. Pengertian Nilai
Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk
memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang
atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakekatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada
suatu obyeknya. Dengan demikian, maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi
dibalik kenyataan-kenyataan lainnya.
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu
adalah suatu nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak
benar, baik atau tidak baik, dan seterusnya. Penilaian itu pastilah berhubungan dengan
unsur indrawi manusia sebagai subyek penilai, yaitu unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa
dan kepercayaan.
Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya batin dan
menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang
berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai
sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan
karya. Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada
enam macam, yaitu : nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan nilai
religi. Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan
5

kriteria, sehingga merupakan suatu keharusan, anjuran atau larangan, tidak dikehendaki
atau tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan
setiap manusia.Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu
keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.
B. Pengertian Moral
Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan, tabiat atau
kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah
laku dan perbuatan manusia.Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaedahkaedah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak
benar secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral.
Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang benar,
baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma
yang mengikat kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
C. Pengertian Norma
Kesadaran manusia yang membutuhkan hubungan yang ideal akan menumbuhkan
kepatuhan terhadap suatu peraturan atau norma. Hubungan ideal yang seimbang, serasi
dan selaras itu tercermin secara vertikal (Tuhan), horisontal (masyarakat) dan alamiah (alam
sekitarnya) Norma adalah perwujudan martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial,
moral dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh
tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma
agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum dan norma sosial. Norma memiliki
kekuatan untuk dipatuhi karena adanya sanksi.
D. Hubungan antara nilai, norma dan moral
Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap
terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak
digarisbawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi
6

yang kuat tumbuh dan berkembang. Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna
menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila dikonkritkan dan diformulakan menjadi lebih
obyektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari.
Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan
memperoleh integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh
moralitas yang mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral dan etika kadangkadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika dalam
pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
seseorang. Wewenang itu dipandang berada di tangan pihak yang memberikan ajaran
moral.

2.1.2 Nilai Dasar, Nilai Instrumental Dan Nilai Praksis


a. Nilai Dasar
Sekalipun nilai bersifat abstrak yang tidak dapat diamati melalui panca indra manusia,
tetapi dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan tingkah laku atau berbagai aspek
kehidupan manusia dalam prakteknya. Setiap nilai memiliki nilai dasar yaitu berupa hakekat,
esensi, intisari atau makna yang dalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar itu bersifat
universal karena menyangkut kenyataan obyektif dari segala sesuatu. Contohnya : hakekat
Tuhan, manusia, atau makhluk lainnya. Apabila nilai dasar itu berkaitan dengan hakekat
Tuhan maka nilai dasar itu bersifat mutlak karena Tuhan adalah kausa prima(penyebab
pertama). Segala sesuatu yang diciptakan berasal dari kehendak Tuhan. Bila nilai dasar itu
berkaitan dengan hakekat manusia maka nilai-nilai itu harus bersumber pada hakekat
kemanusiaan yang dijabarkan dalam norma hukum yang diistilahkan dengan hak dasar (hak
asasi manusia). Apabila nilai dasar itu berdasarkan kepada hakekat suatu benda (kuantitas,
aksi, ruang dan waktu) maka nilai dasar itu dapat juga disebut sebagai norma yang
direalisasikan dalam kehidupan yang praktis, namun nilai yang bersumber dari kebendaan
tidak boleh bertentangan dengan nilai dasar yang merupakan sumber penjabaran norma
itu. Nilai dasar yang menjadi sumber etika bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.
7

b. Nilai Instrumental
Nilai instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan dari nilai dasar. Nilai
dasar belum dapat bermakna sepenuhnya apabila belum memiliki formulasi serta parameter
atau ukuran yang jelas dan konkrit. Apabila nilai instrumental itu berkaitan dengan tingkah
laku manusia dalam kehidupan sehari-hari maka nilai itu akan menjadi norma moral. Namun
jika nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu organisasi atau negara, maka nilai
instrumental itu merupakan suatu arahan, kebijakan, atau strategi yang bersumber pada nilai
dasar sehingga dapat juga dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu
eksplisitasi dari nilai dasar. Dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai
instrumental dapat ditemukan dalam pasal-pasal undang-undang dasar yang merupakan
penjabaran Pancasila.

c. Nilai Praksis
Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam kehidupan yang
lebih nyata dengan demikian nilai praksis merupakan pelaksanaan secara nyata dari nilainilai dasar dan nilai-nilai instrumental. Oleh karena itu, nilai praksis dijiwai kedua nilai
tersebut di atas dan tidak bertentangan dengannya. Undang-undang organik adalah wujud
dari nilai praksis, dengan kata lain, semua perundang-undangan yang berada di bawah UUD
sampai kepada peraturan pelaksana yang dibuat oleh pemerintah.

2.1.3 Aliran Aliran Besar Etika


Dalam kajian etika dikenal tiga teori/aliran besar, yaitu deontologi, teleologi dan
keutamaan. Setiap aliran memiliki sudut pandang sendiri-sendiri dalam menilai apakah suatu
perbuatan dikatakan baik atau buruk.
A. Etika Deontologi
Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah
tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi tidak mempersoalkan
8

akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah ketika seseorang
melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya.
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Immanuel Kant (1734-1804). Kant menolak
akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan tersebut karena akibat tadi
tidak menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu tindakan
(Keraf, 2002: 9).
Kewajiban moral sebagai manifestasi dari hukum moral adalah sesuatu yang sudah
tertanam dalam setiap diri pribadi manusia yang bersifat universal. Manusia dalam dirinya
secara kategoris sudah dibekali pemahaman tentang suatu tindakan itu baik atau buruk, dan
keharusan untuk melakukan kebaikan dan tidak melakukan keburukan harus dilakukan
sebagai perintah tanpa syarat (imperatif kategoris).
Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya, merupakan tindakan tanpa
syarat yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena hasil atau adanya tujuantujuan tertentu yang akan diraih, namun karena secara moral setiap orang sudah memahami
bahwa

korupsi

adalah

tindakan

yang

dinilai

buruk

oleh

siapapun.

Etika deontologi menekankan bahwa kebijakan/tindakan harus didasari oleh motivasi dan
kemauan baik dari dalam diri, tanpa mengharapkan pamrih apapun dari tindakan yang
dilakukan (Kuswanjono, 2008: 7).
Ukuran kebaikan dalam etika deontologi adalah kewajiban, kemauan baik, kerja keras
dan otonomi bebas. Setiap tindakan dikatakan baik apabila dilaksanakan karena didasari
oleh kewajiban moral dan demi kewajiban moral itu. Tindakan itu baik bila didasari oleh
kemauan baik dan kerja keras dan sungguh-sungguh untuk melakukan perbuatan itu, dan
tindakan yang baik adalah didasarkan atas otonomi bebasnya tanpa ada paksaan dari luar.

B. Etika Teleologi
Pandangan etika teleologi berkebalikan dengan etika deontologi, yaitu bahwa baik buruk
suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi
membantu kesulitan etika deontologi ketika menjawab apabila dihadapkan pada situasi
9

konkrit ketika dihadapkan pada dua atau lebih kewajiban yang bertentangan satu dengan
yang lain. Jawaban yang diberikan oleh etika teleologi bersifat situasional yaitu memilih
mana yang membawa akibat baik meskipun harus melanggar kewajiban, nilai norma yang
lain.
Ketika bencana sedang terjadi situasi biasanya chaos. Dalam keadaan seperti ini maka
memenuhi kewajiban sering sulit dilakukan. Contoh sederhana kewajiban mengenakan helm
bagi pengendara motor tidak dapat dipenuhi karena lebih fokus pada satu tujuan yaitu
mencari keselamatan. Kewajiban membayar pajak dan hutang juga sulit dipenuhi karena
kehilangan seluruh harta benda.

Dalam

keadaan demikian etika teleologi perlu

dipertimbangkan yaitu demi akibat baik, beberapa kewajiban mendapat toleransi tidak
dipenuhi.
Persoalan yang kemudian muncul adalah akibat yang baik itu, baik menurut siapa?
Apakah baik menurut pelaku atau menurut orang lain? Atas pertanyaan ini, etika teleologi
dapat digolongkan menjadi dua, yaitu egoisme etis dan utilitarianisme
1. Egoisme etis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang
berakibat baik untuk pelakunya. Secara moral setiap orang dibenarkan mengejar
kebahagiaan untuk dirinya dan dianggap salah atau buruk apabila membiarkan
dirinya sengsara dan dirugikan.
2. Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung
bagaimana akibatnya terhadap banyak orang. Tindakan dikatakan baik apabila
mendatangkan kemanfaatan yang besar dan memberikan kemanfaatan bagi
sebanyak mungkin orang. Di dalam menentukan suatu tindakan yang dilematis
maka yang pertama adalah dilihat mana yang memiliki tingkat kerugian paling
kecil dan kedua dari kemanfaatan itu mana yang paling menguntungkan bagi
banyak orang, karena bisa jadi kemanfaatannya besar namun hanya dapat
dinikmati oleh sebagian kecil orang saja. Etika utilitarianisme ini tidak terpaku
pada nilai atau norma yang ada karena pandangan nilai dan norma sangat
mungkin memiliki keragaman. Namun setiap tindakan selalu dilihat apakah akibat
yang ditimbulkan akan memberikan manfaat bagi banyak orang atau tidak.
10

Kalau tindakan itu hanya akan menguntungkan sebagian kecil orang atau bahkan
merugikan maka harus dicari alternatif-alternatif tindakan yang lain. Etika utilitarianisme lebih
bersifat realistis, terbuka terhadap beragam alternatif tindakan dan berorientasi pada
kemanfaatan yang besar dan yang menguntungkan banyak orang. Utilitarians try to produce
maximum pleasure and minimum pain, counting their own pleasure and pain as no more or
less important than anyone elses (Wenz, 2001: 86).
Etika utilitarianisme ini menjawab pertanyaan etika egoisme, bahwa kemanfaatan
banyak oranglah yang lebih diutamakan. Kemanfaatan diri diperbolehkan sewajarnya,
karena kemanfaatan itu harus dibagi kepada yang lain. Utilitarianisme, meskipun demikian,
juga memiliki kekurangan. Sonny Keraf (2002: 19-21) mencatat ada enam kelemahan etika
ini, yaitu:
a) Karena alasan kemanfaatan untuk orang banyak berarti akan ada sebagian
masyarakat yang dirugikan, dan itu dibenarkan. Dengan demikian
utilitarianisme membenarkan adanya ketidakadilan terutama terhadap
minoritas.
b) Dalam kenyataan praktis, masyarakat lebih melihat kemanfaatan itu dari sisi
yang kuantitasmaterialistis, kurang memperhitungkan manfaat yang nonmaterial seperti kasih sayang, nama baik, hak dan lain-lain.
c) Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material yang tentu
terkait dengan masalah ekonomi, maka untuk atas nama ekonomi tersebut
hal-hal yang ideal seperti nasionalisme, martabat bangsa akan terabaikan,
misalnya atas nama memasukkan investor asing maka aset-aset negara
dijual kepada pihak asing, atau atas nama meningkatkan devisa
negara maka pengiriman TKW ditingkatkan. Hal yang menimbulkan problem
besar adalah ketika lingkungan dirusak atas nama untuk menyejahterakan
masyarakat.
d) Kemanfaatan yang dipandang oleh etika utilitarianisme sering dilihat dalam
jangka

pendek,

tidak

melihat

akibat

jangka

panjang.

Padahal,misalnya dalam persoalan lingkungan, kebijakan yang dilakukan


sekarang akan memberikan dampak negatif pada masa yang akan datang.
11

e) Karena etika utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan norma, tapi
lebih pada orientasi hasil, maka tindakan yang melanggar nilai dan norma
atas nama kemanfaatan yang besar, misalnya perjudian/prostitusi, dapat
f)

dibenarkan.
Etika utilitarianisme mengalami kesulitan menentukan mana yang lebih
diutamakan kemanfaatan yang besar namun dirasakan oleh sedikit
masyarakat atau kemanfaatan yang lebih banyak dirasakan banyak orang
meskipun kemanfaatannya kecil.

Menyadari kelemahan itu etika utilitarianisme membedakannya dalam dua tingkatan,


yaitu utilitarianisme aturan dan tindakan. Atas dasar ini, maka :
Pertama, setiap kebijakan dan tindakan harus dicek apakah bertentangan dengan nilai
dan norma atau tidak. Kalau bertentangan maka kebijakan dan tindakan tersebut harus
ditolak meskipun memiliki kemanfaatan yang besar.
Kedua, kemanfaatan harus dilihat tidak hanya yang bersifat fisik saja tetapi juga yang
non-fisik seperti kerusakan mental, moralitas, kerusakan lingkungan dan sebagainya.
Ketiga, terhadap masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal dan kompensasi
yang memadai untuk memperkecil kerugian material dan non-material.

C. Etika Keutamaan
Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga mendasarkan pada
penilaian

moral

pada

kewajiban

terhadap

hukum

moral

universal,

tetapi pada

pengembangan karakter moral pada diri setiap orang. Orang tidak hanya melakukan
tindakan yang baik, melainkan menjadi orang yang baik. Karakter moral ini dibangun dengan
cara meneladani perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh para tokoh besar.
Internalisasi ini dapat dibangun melalui cerita, sejarah yang di dalamnya mengandung nilainilai keutamaan agar dihayati dan ditiru oleh masyarakatnya. Kelemahan etika ini adalah
ketika terjadi dalam masyarakat yang majemuk, maka tokoh-tokoh yang dijadikan panutan
juga beragam sehingga konsep keutamaan menjadi sangat beragam pula, dan keadaan ini
dikhawatirkan akan menimbulkan benturan sosial.
12

Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan tidak
pada figur tokoh, tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri, sehingga
akan ditemukan prinsip-prinsip umum tentang karakter yang bermoral itu seperti apa.

2.2 Etika Pancasila


Etika Pancasila tidak memposisikan secara berbeda atau bertentangan dengan aliranaliran besar etika yang mendasarkan pada kewajiban, tujuan tindakan dan pengembangan
karakter moral, namun justru merangkum dari aliran-aliran besar tersebut. Etika Pancasila
adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai Pancasila, yaitu
nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan.Suatu perbuatan
dikatakan baik bukan hanya apabila tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, namun
juga sesuai dan mempertinggi nilai-nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai Pancasila meskipun
merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realitas sosial, keagamaan, maupun adat
kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya nilai-nilai Pancasila juga bersifat
universal dapat diterima oleh siapapun dan kapanpun. Etika Pancasila berbicara tentang
nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Nilai yang pertama adalah
Ketuhanan. Secara hirarkis nilai ini bisa dikatakan sebagai nilai yang tertinggi karena
menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini. Suatu
perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaedah dan hukum
Tuhan.Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap perbuatan yang
melanggar nilai, kaedah dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan hubungan antara
manusia maupun alam pasti akan berdampak buruk.Misalnya pelanggaran akan kaedah
Tuhan tentang menjalin hubungan kasih sayang antar sesama akan menghasilkan
konflik dan permusuhan. Pelanggaran kaedah Tuhan untuk melestarikan alam akan
menghasilkan bencana alam, dan lain-lain
Nilai yang kedua adalah Kemanusiaan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai
dengan

nilai-nilaiKemanusiaan.

Prinsip

pokok

dalam

nilai

KemanusiaanPancasila
13

adalah keadilan dan keadaban. Keadilanmensyaratkan keseimbangan antara lahir dan batin,
jasmani dan rohani, individu dan sosial, makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang
terikat hukum-hukum Tuhan. Keadaban mengindikasikan keunggulan manusia dibanding
dengan makhluk lain, yaitu hewan, tumbuhan, dan benda tak hidup. Karena itu perbuatan itu
dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep
keadilan dan keadaban.
Nilai yang ketiga adalah Persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat
memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan
perbuatan buruk, demikian pula sikap yang memecah belah persatuan. Sangat mungkin
seseorang seakan-akan mendasarkan perbuatannya atas nama agama (sila ke-1), namun
apabila perbuatan tersebut dapat memecah persatuan dan kesatuan maka menurut
pandangan etika Pancasila bukan merupakan perbuatan baik. Nilai yang keempat adalah
Kerakyatan. Dalam kaitan dengan kerakyatan ini terkandung nilai lain yang sangat penting
yaitu

nilai

hikmat/kebijaksanaan

dan

permusyawaratan.

Kata

hikmat/kebijaksanaan

berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan tertinggi.


Atas nama mencari kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah dibanding
mayoritas. Pelajaran yang sangat baik misalnya peristiwa penghapusan tujuh kata dalam sila
pertama Piagam Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata tersebut,
namun memperhatikan kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang secara argumentatif
dan realistis bisa diterima, maka pandangan minoritas dimenangkan atas pandangan
mayoritas. Dengan demikian, perbuatan belum tentu baik apabila disetujui/bermanfaat untuk
orang banyak, namun perbuatan itu baik jika atas dasar musyawarah yang didasarkan pada
konsep hikmah/kebijaksanaan.
Nilai yang kelima adalah Keadilan. Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, maka
kata tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai keadilan pada
sila kelima lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila
sesuai dengan prinsip keadilan masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995: 37), keadilan
14

merupakan kebajikan utama bagi setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan mengandaikan
sesama sebagai partner yang bebas dan sama derajatnya dengan orang lain.
Menilik nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka Pancasila dapat menjadi sistem
etika yang sangat kuat, nilai-nilai yang ada tidak hanya bersifat mendasar, namun juga
realistis dan aplikatif. Apabila dalam kajian aksiologi dikatakan bahwa keberadaan nilai
mendahului fakta, maka nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai ideal yang sudah ada
dalam cita-cita bangsa Indonesia yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan. Nilai-nilai
tersebut dalam istilah Notonagoro merupakan nilai yang bersifat abstrak umum dan
universal, yaitu nilai yang melingkupi realitas kemanusiaan di manapun, kapanpun dan
merupakan dasar bagi setiap tindakan dan munculnya nilai-nilai yang lain. Sebagai contoh,
nilai Ketuhanan akan menghasilkan nilai spiritualitas, ketaatan, dan toleransi. Nilai
Kemanusiaan,

menghasilkan

nilai

kesusilaan,

tolong

menolong,

penghargaan,

penghormatan, kerjasama, dan lain-lain. Nilai Persatuan menghasilkan nilai cinta tanah air,
pengorbanan dan

lain-lain.

Nilai

Kerakyatan

menghasilkan

nilai

menghargai

perbedaan, kesetaraan, dan lain-lain Nilai Keadilan menghasilkan nilai kepedulian,


kesejajaran ekonomi, kemajuan bersama dan lain-lain.
2.2.1

Makna Nilai-Nilai Setiap Pancasila

Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia merupakan
nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing silanya. Hal ini dikarenakan
apabila dilihat satu per satu dari masing-masing sila, dapat saja ditemukan dalam kehidupan
bangsa lain. Makna Pancasila terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu
kesatuan yang tidak dapat diputarbalikkan letak dan susunannya. Namun demikian, untuk
lebih memahami nilai-nilai yang terkandung dalam masing-masing sila Pancasila, maka
berikut ini kita uraikan :
1)

Ketuhanan Yang Maha Esa

15

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila
lainnya.

Dalam

sila

ini

terkandung

nilai

bahwa

negara

yang

didirikan

adalah

pengejawantahan tujuan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha esa.


Konsekuensi yang muncul kemudian adalah realisasi kemanusiaan terutama dalam
kaitannya dengan hak-hak dasar kemanusiaan (hak asasi manusia) bahwa setiap warga
negara memiliki kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan
keimanan dan kepercayaannya masing-masing. Hal itu telah dijamin dalam Pasal 29 UUD.
Di samping itu, di dalam negara Indonesia tidak boleh ada paham yang meniadakan atau
mengingkari adanya Tuhan (atheisme).

2)

Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

Kemanusian berasal dari kata manusia yaitu makhluk yang berbudaya dengan
memiliki potensi pikir, rasa, karsa dan cipta. Potensi itu yang mendudukkan manusia pada
tingkatan martabat yang tinggi yang menyadari nilai-nilai dan norma-norma. Kemanusiaan
terutama berarti hakekat dan sifat-sifat khas manusia sesuai dengan martabat. Adil berarti
wajar yaitu sepadan dan sesuai dengan hak dan kewajiban seseorang. Beradab sinonim
dengan sopan santun, berbudi luhur, dan susila, artinya, sikap hidup, keputusan dan
tindakan harus senantiasa berdasarkan pada nilai-nilai keluhuran budi, kesopanan, dan
kesusilaan. Dengan demikian, sila ini mempunyai makna kesadaran sikap dan perbuatan
yang didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan normanorma dan kesusilaan umumnya, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun
terhadap alam dan hewan.
Hakekat pengertian di atas sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 Alinea
Pertama :bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu,

penjajahan

di

atas

dunia

harus

dihapuskan,

karena

tidak

sesuai

dengan

16

perikemanusiaan dan perikeadilan .... Selanjutnya dapat dilihat penjabarannnya dalam


Batang Tubuh UUD.

3)

Persatuan Indonesia

Persatuan berasal dari kata satu artinya tidak terpecah-pecah. Persatuan


mengandung pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi
satu kebulatan. Persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini mencakup persatuan dalam arti
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Persatuan Indonesia ialah
persatuan bangsa yang mendiami seluruh wilayah Indonesia. Yang bersatu karena didorong
untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka
dan berdaulat. Persatuan Indonesia merupakan faktor yang dinamis dalam kehidupan
bangsa Indonesia dan bertujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta
mewujudkan perdamaian dunia yang abadi.
Persatuan Indonesia adalah perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang
dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, serta kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh
karena itu, paham kebangsaan Indonesia tidak sempit (chauvinistis), tetapi menghargai
bangsa lain. Nasionalisme Indonesia mengatasi paham golongan, suku bangsa serta
keturunan. Hal ini sesuai dengan alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi,
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.... Selanjutnya
dapat dilihat penjabarannya dalam Batang Tubuh UUD 1945.
4)

Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan

Perwakilan.

17

Kerakyatan berasal dari kata rakyat yaitu sekelompok manusia yang berdiam dalam
satu wilayah negara tertentu. Dengan sila ini berarti bahwa bangsa Indonesia menganut
sistem demokrasi yang menempatkan rakyat di posisi tertinggi dalam hirarki kekuasaan.
Hikmat kebijasanaan berarti penggunaan ratio atau pikiran yang sehat dengan selalu
mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan
dengan sadar, jujur dan bertanggung jawab serta didorong dengan itikad baik sesuai dengan
hati nurani. Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk
merumuskan atau memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak rakyat sehingga tercapai
keputusan yang bulat dan mufakat. Perwakilan adalah suatu sistem, dalam arti, tata cara
mengusahakan turut sertanya rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara melalui
lembaga perwakilan.
Dengan demikian sila ini mempunyai makna bahwa rakyat dalam melaksanakan
tugas kekuasaanya ikut dalam pengambilan keputusan. Sila ini merupakan sendi asas
kekeluargaan masyarakat sekaligus sebagai asas atau prinsip tata pemerintahan Indonesia
sebagaimana

dinyatakan

dalam

alinea

keempat

Pembukaan

UUD

1945

yang

berbunyi :...maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang berkedaulatan


rakyat ...

5)

Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang
kehidupan, baik materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia berarti untuk setiap
orang yang menjadi rakyat Indonesia.
Pengertian itu tidak sama dengan pengertian sosialistis atau komunalistis karena
keadilan sosial pada sila kelima mengandung makna pentingnya hubungan antara manusia
sebagai pribadi dan manusia sebagai bagian dari masyarakat. Konsekuensinya meliputi :
18

a)

Keadilan distributif yaitu suatu hubungan keadilan antara negara dan warganya

dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan
membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam
hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiaban.
b)

Keadilan legal yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap

negara, dalam masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam
bentuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara.
c)

Keadilan komutatif yaitu suatu hubungan keadilan antara warga atau dengan

lainnya secara timbal balik. Dengan demikian, dibutuhkan keseimbangan dan


keselarasan diantara keduanya sehingga tujuan harmonisasi akan dicapai. Hakekat
sila ini dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu :dan perjuangan
kemerdekaan kebangsaan Indonesia ... Negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur.

19

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang dan bagaimana kita dan mengapa kita
mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang
bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral. Etika berkaitan dengan
masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan masalah- masalah yang berkaitan
dengan predikat nilai susila dan tidak susila, baik dan buruk.
Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan
manusia. Nilai yang pertama adalah Ketuhanan. Secara hirarkis nilai ini bisa dikatakan
sebagai nilai yang tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai
kebaikan diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan
dengan nilai, kaedah dan hukum Tuhan.Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan
bahwa setiap perbuatan yang melanggar nilai, kaedah dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya
dengan hubungan antara manusia maupun alam pasti akan berdampak buruk.Misalnya
pelanggaran akan kaedah Tuhan tentang menjalin hubungan kasih sayang antar sesama
akan menghasilkan konflik dan permusuhan. Pelanggaran kaedah Tuhan untuk melestarikan
alam akan menghasilkan bencana alam, dan lain-lain
Nilai yang kedua adalah Kemanusiaan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai
dengan

nilai-nilaiKemanusiaan.

Prinsip

pokok

dalam

nilai

KemanusiaanPancasila

adalah keadilan dan keadaban. Keadilanmensyaratkan keseimbangan antara lahir dan batin,
jasmani dan rohani, individu dan sosial, makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang
20

terikat hukum-hukum Tuhan. Keadaban mengindikasikan keunggulan manusia dibanding


dengan makhluk lain, yaitu hewan, tumbuhan, dan benda tak hidup. Karena itu perbuatan itu
dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep
keadilan dan keadaban.
3.2 Saran
Sebagai generasi muda kita harus giat mempelajari ilmu tentang Etika Pancasila baik
yang bersumber dari buku ataupun sumber bacaan lain yang berkaitan dengan Etika
Pancasila untuk dapat menambah etika kita dalam bersosial masyarakat.

21

DAFTAR PUSTAKA

http://budisma1.blogspot.com/2011/07/pancasila-sebagai-sistem-etika.html Di Akses pada


tanggal 26 Oktober 2016 pukul 20.00 WIB

Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna (Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila), PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan dan


Keamanan, :http://www.harypr.com/

PSP UGM dan Yayasan TIFA, Pancasila Dasar Negara Kursus Presiden Soekarno tentang
Pancasila, Edisi ke 1, Cetakan ke 1, Aditya Media bekerjasama dengan Pusat Studi
Pancasila (PSP), Yogyakarta dan Yayasan TIFA Jakarta

22

Saksono. Ign. Gatut, 2007, Pancasila Soekarno (Ideologi Alternatif Terhadap Globalisasi dan
Syariat Islam), CV Urna Cipta Media Jaya

Syarbaini, Syahrial, 2012, Pendidikan Pancasila (Implementasi Nilai-Nilai Karakter Bangsa)


di Perguruan Tinggi, Ghalia Indonesia, Bogor.

Undang-Undang No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

23

Anda mungkin juga menyukai