PENDAHULUAN
Stroke adalah gangguan fungsi otak, baik fokal maupun global (menyeluruh), yang
berlangsung cepat, berlangsung lebih dari 24 jam atau sampai menyebabkan kematian, tanpa
penyebab lain selain gangguan vaskuler. Stroke menempati urutan kedua sebagai penyebab
kecacatan di negara maju dan penyebab kematian di dunia setelah penyakit jantung iskemik
dimana lebih dari dua pertiga penderita stroke di dunia berasal dari negara berkembang
seperti Indonesia. Menurut WHO, 15 juta orang di dunia mengalami stroke setiap tahunnya.
Dan dari 15 juta orang tersebut, 5 juta orang meninggal dan 5 juta orang lagi mengalami
kecacatan permanen dan menjadi beban bagi keluarganya. 1 Prevalensi stroke di Indonesia
mencapai angka 8,3 per 1.000 penduduk dimana daerah yang memiliki prevalensi stroke
tertinggi adalah Nanggroe Aceh Darussalam (16,6 per 1.000 penduduk) dan yang terendah
adalah Papua (3,8 per 1.000 penduduk).2 Diantara jenis stroke yang ada, stroke iskemik
paling banyak terjadi yaitu sekitar 80% sementara 20% sisanya merupakan jenis stroke
hemoragik.3 Meskipun demikian, angka kematian akibat stroke hemoragik baik pendarahan
intraserebral maupun subarachnoid tinggi yaitu sekitar 40-50%. Hipertensi kronis yang tidak
terkontrol menjadi penyebab paling banyak stroke hemoragik disamping aneurisma dan
malformasi pembuluh darah.3 Menurut beberapa studi, pegobatan hipertensi menjadi faktor
terpenting dalam menurunkan insidens stroke.3
Dampak dari serangan stroke sangat bergantung pada lokasi dan luasnya kerusakan,
dan juga usia serta status kesehatan sebelum stroke.3 Dan sekitar 10-16% penderita stroke
memiliki risiko untuk mengalami serangan ulang, dan risiko kematian akibat stroke menjadi
dua kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Dampak psikologis juga dapat terjadi
dimana rasa cemas, stres, sedih, dan perubahan psikologis tidak dapat dihindari yang akan
menjadi depresi.3 Semakin tingginya angka kejadian dan kematian stroke serta mengingat
dampak yang disebabkan stroke, maka paper ini dibuat untuk menambah wawasan untuk
tenaga kesehatan tentang stroke terlebih stroke hemoragik yang disebabkan oleh hipertensi
kronik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Arteriosus Willisi) yang memungkinkan kelanjutan perfusi jaringan otak bahkan jika salah
satu pembuluh darah besar mengalami stenosis dan oklusi. Sirkulus Willisi tersusun dalam
bentuk poligonal mengelilingi kiasma optika dan kelenjar pituitary. Sirkulus ini
mengubungkan sirkulasi anterior dan posterior melalui sebuah arteri komunikan anterior dan
sepasang arteri komunikan posterior. Sirkulus willisi adalah salah satu contoh sirkulasi
kolateral, namun beberapa pembuluh darah tidak memiliki kolateral (kapsula interna dan
ganglia basalia) sehingga rentan mengalami stroke.5 Sirkulus Arteriosus Willisi dapat dilihat
pada gambar 2.1
menjadi arteriserebral posterior (PCA) . Arteri ini mengelilingi dienchepalon dan berjalan ke
belakang, diatas tentorium serebelum. Arteri ini menyuplai lobus oksipital dan permukaan
inferior dari lobus temporal. Arteri perforator posterior berasal dari arteri serebral posterior
dan arteri komunikans posterior. Arteri ini menyuplai bagian ventral diensefalon dan bagian
dari hipotalamus dan subtalamus.5 Arteri perforator dari sirkulasi posterior dapat dilihat pada
gambar 2.3
semiliquid dengan edema disekitarnya. Setelah beberapa hari, kosistensi hematoma berubah
dan warnanya menjadi cokat serta edema menyusut. Setelah beberapa bulan hingga tahun,
penampakan patologi tergantung ukuran hematoma, hematoma dapat menjadi lubang.
Pendarahan yang kecil dapat diserap kembali secara lengkap dan meninggalkan bekas berupa
jaringan parut linear.10 Secara mikroskopis, pada fase akut, PIS berisi sel darah merah yang
mengalami ekstravasSecara mikroskopis, pada fase akut, PIS berisi sel darah merah yang
mengalami ekstravasasi tanpa proses inflamasi. Kemudian eritrosit mulai lisis dan tampak
neutrofil. Kejadian ini dikuti dengan infiltrasi makrofag yang berperan utama dalam
fagositasi produk darah dan jaringan yang nekrotik. Perubahan warna coklat yang tampak
secara makroskopis terjadi akibat adanya 2 pigmen yang berasal dari hemoglobin, yaitu
haemosiderin dan haemaoidin. Pada saat akhir akan terjadi proliferasi dari astrosit yang
mengandung haemosiderin menandakan aktivitas fagositosisnya.9
Gambar 2.4 Lokasi pendarahan pada stroke hemoragik pada hipertensi kronik12
2.3. Gejala Stroke Hemoragik
2.3.1. Perdarahan Sub Dural
Gejala-gejala perdarahan sub dural adalah nyeri kepala progresif, ketajaman
penglihatan mundur akibat edema papil yang terjadi, tanda-tanda defisiensi neorologik daerah
otak yang tertekan.12
6
Batang otak adalah bagian otak yang masih tersisa setelah hemisfer serebri dan
serebelum diangkat. Medula oblongota, pons dan otak tengah merupakan bagian bawah atau
bagian infratentorium batang otak. Kerusakan pada batang otak akan mengakibatkan
gangguan berupa nyeri, suhu, rasa kecap, pendengaran, rasa raba, raba diskriminatif, dan
apresiasi bentuk, berat dan tekstur.12
2.4.5 Serebelum
Serebelum terbagi menjadi tiga bagian, yaitu archiserebelum berfungsi untuk
mempertahankan agar seseorang berorientasi terhadap ruangan. Kerusakan pada daerah ini
akan mengakibatkan ataxia tubuh, limbung dan terhuyung-huyung. Paleoserebelum,
mengendalikan otot-otot antigravitas dari tubuh, apabila mengalami kerusakan akan
menyebabkan peningkatan refleks regangan pada otot-otot penyokong. Neoserebelum,
berfungsi sebagai pengerem pada gerakan dibawah kemauan, terutama yang memerlukan
pengawasan dan penghentian, serta gerakan halus dari tangan. Kerusakan pada neoserebelum
akan mengakibatkan dysmetria intenton tremor dan ketidakmampuan untuk melakukan
gerakan mengubah-ubah yang cepat. 12
2.5 Diagnosis Stroke Hemoragik
Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia mengemukakan bahwa
diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.12
2.5.1. Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan pada penderita sendiri, keluarga yang mengerti tentang
penyakit yang diderita. Anamnesis dilakukan dengan mengetahui riwayat perjalanan
penyakit, misalnya waktu kejadian, penyakit lain yang diderita, faktor- faktor risiko yang
menyertai stroke. 12
2.5.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain : pemeriksaan fisik umum (yaitu
pemeriksaan tingkat kesadaran, suhu, denyut nadi, anemia, paru dan jantung), pemeriksaan
neurologis dan neurovaskuler. 12
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
8
a. Pemeriksaan neovaskular
Pemeriksaan palpasi dan auskultasi untuk pemeriksaan denyut arteri dan cabangcabangnya yang menuju kepala maupun bagian tubuh lainnya, pemeriksaan bising nadi di
daerah kranial dan servikal, pemeriksaan sensitivitas refleks sinus karotis, pengukuran
tekanan darah pada kedua sisi. Pemeriksaan juga dapat berupa oftalmoskopi untuk
pemeriksaan pembuluh darah retina, serta oftalmodinamometri untuk pemeriksaan tekanan
arteri oftalmika.13
b. Pungsi Lumbal
Pada kasus-kasus yang meragukan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan CT
serebrral atau MRI masih dikerjakan pungsi lumbal untuk melihat perubahan warna
(santokrom) atau terdapatnya darah dalam likuor serebrospinal. Warna santokrom timbul 4-6
jam setelah pendarahan dan dapat berlangsung selama 15-30 hari. 13
c. Computerized Tomography Scan (CT Scan)
Sebelum dikenal pemeriksaan CT serebral, diagnosis stroke hanya berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan klinis, termasuk pungsi lumbal. Pada kasus-kasus yang
meragukan, pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan tambahan, seperti misalnya
angiografi,
skintigrafi,
eko-ensefalografi,
maupun
intraserebral dapat terlihat pada gambaran CT Scan dalam waktu 3 jam setelah serangan, dan
densitasnya perlahan-lahan menurun setelah 1-2 minggu, serta menjadi isodens kembali
dalam waktu 2-3 minggu pada hematoma yang kecil dan 1-2 bulan pada hematoma yang
lebih besar bila penderita tidak meninggal. 13
d. Magnetic Resonance Imaging
Jika pada CT scan mempergunakan sinar-x maka pada MRI justru menggunakan
penyinaran frekuensi tinggi di dalam ruangan lapangan magnit. Kelebihan MRI dibandingkan
CT scan yaitu dapat menemukan lesi-lesi kecil di daerah yang mana dengan CT scan justru
menunjukkan resolusi rendah, dan juga dapat menemukan hematoma intraserebral yang
dengan CT scan sudah menjadi isodens. Kekurangan MRI justru tidak membedakan dengan
cepat antara perdarahan intraserebral dan infark serebri segera setelah serangan stroke. 13
2.5.4. Siriraj Stroke Score
Siriraj Stroke Score = (2,5 x Derajat Kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x sakit kepala) +
(0,1 x tekanan darah diastol) (3 x ateroma) 12. Apabila skor yang didapatkan < 1 maka
diagnosisnya stroke non perdarahan dan apabila didapatkan skor 1 maka diagnosisnya
stroke perdarahan. 12,13
Gejala Klinis
Sadar
Apatis
Koma
Iya
Tidak
Iya
Tidak
Nilai
0
1
2
1
0
1
0
Iya
Tidak
Iya
Tidak
Iya
Tidak
1
0
1
0
1
0
10
lama, faktor risiko yang dipunyai, faktor risiko tersebut terkontrol apa tidak, dan obat-obat
apa saja yang biasa diminum. Kemudian pasien dirujuk ke rumah sakit terdekat, jika ada
pertimbangan kondisi medis maka dokter harus mendapingi sampai rumah sakit. Penanganan
di rumah sakit meliputi tindakan medis emergency hingga penanganan di unit stroke.16
2.6.2 Manajemen pertama di Unit Gawat Darurat
Manajemen kedaruratan terhadap pasien stroke akut meliputi tiga proses secara
paralel, yaitu; (1) manajemen terhadap kondisi mengancam yang dapat menyebabkan
terjadinya perburukan maupun komplikasi pada fase akut, (2) evaluasi medik maupun
neurologik dengan peralatan neuroimaging terkini, dan (3) manajemen terhadap strokenya itu
sendiri dengan pemberian terapi primer.16
Pemeriksaan awal yang harus dilakukan di ruang rawat darurat adalah pemeriksaan
fungsi pernafasan, tekanan darah, fungsi jantung, dan pemeriksaan analisa gas darah. Secara
simultan dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan darah rutin, kimia darah,
pemeriksaan koagulasi darah serta pemeriksaan fungsi hematologi yang lain, dan bersamaan
dengan tindakan tersebut pasien dipasang infus intravena dengan cairan elektrolit standar
hingga diganti dengan cairan lainnya sesuai dengan hasil pemeriksaan kimia darah, dan
selanjutnya pasien dilakukan pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG). Selanjutnya pasien
dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala atau MRI untuk mendapatkan kepastian diagnosis
berdasarkan jenis patologisnya.16,17 Mortalitas juga dapat diprediksi dengan CT-Scan yaitu
dengan menghitung besar dan pertumbuhan hematoma. Semakin besar hematoma maka
semakin tinggi mortalitasnya.
12
2-6 jam. Penggunaan diuretika dapat menekan produksi CSF namum menggangu
keseimbangan cairan, asam-basa, dan elektrolit. Asetozalamiddiberikan dalam dosis
750-1000 mg/hari dalam dosis terbagi yang dapat dikombinasikan dengan furosemide
20-60 mg i.v setiap 4-6 jam. Efek manitol juga akan diperkuat oleh furosemide jika
diberikan bersama-sama.8
2. Breathing
Jalan nafas harus selalu bebas dari hambatan seperti lendir, cairan yang dimuntahkan,
lidah yang jatuh, atau benda asing lainnya. Pipa orofaring dapat dipasang untuk
mencegah tersumbatnya jalan nafas karena lidah yang jatuh. Pembersihan jalan nafas
dengan suction dapat juga dilakukan saat banyak lendir yang menyumbat jalan nafas.
Analisa gas darah dapat dilakukan untuk menentukan kualitas pernafasan. Dengan
pemberian oksigen, PaO2 dipertahankan sebesar 80-100 mmHg. Jika ventilasi tidak
adekuat, maka penderita dapat dibantu dengan alat bantu nafas jika fasilitas
memungkinkan.8,17,18
3. Blood
Penderita hipertensi kronis lebih tahan terhadap tekanan darah yang relatif tinggi
daripada tekanan darah yang rendah. Untuk itu penurunan tekanan darah harus
dikerjakan dengan hati-hati. Prinsipnya tekanan darah diturunkan sedikit dibawah
tekanan darah tekanan darah sebelum stroke pada stroke hemoragik. Sedangkan pada
stroke non hemoragik tekanan darah diturunkan sampai sedikit diatas tekanan darah
sebelum stroke. Pada pasien dengan pendarahan intraserebral sering muncul reflex
Cushing dimana terjadi hipertensi akut yang bertujuan untuk mempertahankan
cerebral blood flow. Pada pasien seperti ini, tekanan darah diturunkan sampai tekanan
darah premorbid atau sebanyak 15-20% bila tekanan sistolik >200 atau MAP >150
dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu
dengan
pemantauan tekanan darah setiap 5 menit. Hipotensi juga dapat terjadi pada stroke
akut yang berhubungan dengan buruknya keluaran neurologis terutama bila sistol
<100 atau diastole <70. Untuk itu hipotensi harus diatasi dan dicari penyebabnya,
terutama diseksi aorta, hypovolemia, perdarahan, dan penurunan cardiac output
karena iskemia miokardial atau aritmia. Obat vassopresor dalam bentuk infus dapat
diberikan yang diberikan dengan dosis awal kecil dan dipertahankan pada tekanan
darah optimal yaitu tekanan sistolik berkisar 140 mmHg.8,18
14
4. Bowel
Kebutuhan cairan, nutrisi, dan elektrolit harus terpenuhi pada pasien stroke. Pada
dasarnya jika fungsi saluran pencernaan masih baik, maka saluran pencernaan harus
digunakan. Untuk itu pemberian nutrisi enteral melalui NGT dapat dilakukan pada
pasien tidak sadar. Kebutuhan kalori juga harus tercukupi untuk menjamin
metabolisme otak pasien serta mencegah malnutrisi. Bila penderita tidak dapat
defekasi dalam 2-3 hari maka pemberian gliserin atau enema dapat diberikan.
Pencegahan dan pengobatan tukak lambung dapat dilakukan dengan pemberian
antagonis H2 parenteral, sukralfat, atau inhibitor pompa proton.8,16,18
5. Bladder
Pemasangan kateter dapat dilakukan untuk memantau jumlah produksi urin baik
untuk keperluan resusitasi maupun saat memasukkan obat seperti manitol maupun
furosemide. Pemasangan kateter juga dilakukan saat terjadi retensi urin.16,17
Terapi khusus
Pertumbuhan hematoma merupakan faktor prediktif dari mortalitas stroke hemoragik.
Dari beberapa pustaka dan penelitian, penggunaan recombinant activated factor VII hanya
terbukti mengurangi hematoma tetapi tidak mengurangi angka kematian. 17 Penggunaan asam
tranexamat hanya untuk pendarahan intraserebral (ICH) yang spontan. 16 Pemberian
neuroprotektor dapat diberikan pada perdarahan intraserebral kacuali yang bersifat
vasodilator. Tindakan bedah hanya dilakukan dengan mempertimbangkan usia dan letak
perdarahan lesi yaitu pada pasien yang memburuk karena perdarahan serebelum dengan
diameter lebih dari 3 cm3, perdarahan lobar di atas 60 cc dengan tanda-tanda peninggian
tekanan intrakranial akut,, dan ancaman herniasi. Hidrosefalus akut akibat perdarahan
intraventrikel atau serebelum dapat dilakukan dilakukan pemasangan VP-shunting. Pada
perdarahan subarakhnoid dapat diberikan Kalsium antagonis (nimodipine) maupun tindakan
bedah (aneurisma, AVM) dengan ligasi, embolisasi, ekstirpasi,.16
2.6.4 Restorasi-Rehabilitasi
Meskipun dengan terapi agresif, angka kematian stroke hemoragik tinggi yaitu sekitar 40%
dan angka kematian setelah 30 hari sebesar 50-60%. Pasien yang dapat selamat seringkali
15
juga terkena komplikasi seperti spastisitas, kontraktur, nyeri bahu maupun nyeri sentral post
stroke, inkontinensia urin maupun feses, perubahan perilaku, dan depresi pasca stroke. Orang
dengan stroke juga mempunya risiko untuk terjadi stroke berulang sebesar 43%. Untuk itu
perubahan gaya hidup sangat diperlukan. Pengontrolan tekanan darah sebagai salah satu
faktor risiko utama stroke dapat dilakukan dengan obat-obat anti hipertensi. Meskipun semua
obat antihipertensi dapat digunakan, ACE inhibitor baik monoterapi atau kombinasi dengan
diuretik adalah pilihan terbaik menurut bukti yang ada. Perubahan pola hidup lain seperti
berhenti merokok, pengaturan diit dan mengurangi obesitas, mengurangi alcohol, dan
menghentikan gaya hidup sedantari harus dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya
stroke berulang. Untuk mencapai target ini, pasien juga harus diberikan penjelasan dan
pengertian supaya ikut aktif dan tetap semangat dalam menjalani hari pasca stroke. 18
Pengenalan secara dini rehabilitasi pada pasien stroke akut dapat meningkatkan prognosis
fungsional. Usia lanjut bukan merupakan alasan untuk tidak dilakukan program rehabilitasi.
Program rehabilitasi secara dini merupakan tindakan yang strategis untuk beberapa kondisi
pada pasien stroke akut, misalnya disfagia, dan imobilitas, risiko jatuh, cedera pada kulit,
nyeri, cedera bahu dan depresi.18
16
BAB III
SIMPULAN
Stroke adalah gangguan fungsi otak, baik fokal maupun global (menyeluruh), yang
berlangsung cepat, berlangsung lebih dari 24 jam atau sampai menyebabkan kematian, tanpa
penyebab lain selain gangguan vaskuler. Stroke dapat dibagi menjadi dua yaitu stroke
iskemik dengan kejadian sekitar 80% dan stroke hemoragik dengan angka kejadian 20%.
Meskipun lebih sedikit, angka kematian stroke hemoragik lebih tinggi daripada stroke non
iskemik. Menurut beberapa studi, hipertensi merupakan salah satu kunci utama dalam
pengendalian angka kejadian stroke. Hal ini dapat dijelaskan karena pada hipertensi kronik,
terjadi perubahan patologis pada pembuluh darah besar/sedang dan pembuluh darah kecil
intrakranial. Perubahan patologis ini akan membuat dinding pembuluh darah menjadi rapuh
dan meningkatkan resiko stroke hemoragik. Lokasi tersering stroke hemoragik adalah
hemisfer serebri, ganglion basalis, batang otak, dan serebelum. Gejala-gejala defisit
neurologis yang terjadi pada stroke hemoragik sesuai dengan lokasi, luas, dan keparahan
stroke itu sendiri. Untuk itu anamnesis serta pemeriksaan fisik dan neurologi yang tepat dan
cepat menjadi hal yang penting. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan lab dan
konfirmasi CT-scan juga perlu dilakukan. Manajemen stroke akut secara prinsip adalah (1)
untuk meminimalkan jumlah sel yang mengalami kerusakan melalui perbaikan jaringan
pneumbra dan pencegahan terjadinya perdarahan lebih lanjut pada perdarahan intraserebral,
(2) untuk mencegah secara dini terjadinya komplikasi neurologik maupun komplikasi medik,
dan (3) untuk mempercepat perbaikan fungsi neurologis secara keseluruhan. Manajen stroke
17
juga sangat tergantung dan berpacu dengan waktu. Untuk itu penegagkan diagnosis harus
dilakukan dengan cepat dan tepat karena terapi khusus antara stroke non hemoragik dan
hemoragik merupakan hal yang dapat memperberat satu dengan yang lain. Terapi umum
untuk stroke yaitu manajemen ABC dan 5B. Angka kematian dan kecacatan yang tinggi
membuat fase restorasi dan rehabilitasi penting dilakukan, begitu juga dengan pencegahan
sekunder.
DAFTAR PUSTAKA
1. Truelsen et al. The Global Burden of Cerebrovascular Disease. WHO: Global Burden
of Disease 2000; 2007
2. Departemen Kesehatan RI. Situasi Kesehatan Jantung. Kemenkes RI; 2014
3. Sacco et al. An Updated Definition of Stroke for the 21st Century. AHA: Stroke; 2013
4. Moore K., Agur A.M.R., dan Dalley A.F. Moores Essential Clinical Anatomy. 5 th
edition. Wolters Kluwer. 2016. H505-507
5. Baehr M., dan Frotscher M. Duus' Topical Diagnosis in Neurology: Anatomy,
Physiology, Signs, Symptoms. 4th completely revised edition. Thieme. 2005. h418437. h517
6. Xi G, Keep RF, Hoff JT. Mechanisms of brain injury after intracerebral haemorrhage.
Lancet Neurol 2006;5:53-63.
7. Shah Q.A. dan Qureshi AI. Acute Hypetension In Intracerebral Hemorrhage :
Phatophysiology And Management. European Neurological Disease. 2006: 86-92
8. Nuartha BN. Beberapa aspek diagnostic dan penatalaksanaan stroke akut.
Laboratorium Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar. 1994
9. McCarron MO, Cohen NR, Nicoll JAR. Parenchymal brain hemorrhage. In-Pathology
& GeneticsCerebrovascular Diseases. 2005 ISN, Basel, Switzerland, pp 294-300.
10. Qureshi AI, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneous
intracerebral hemorrhage. N Engl J Med 2001;344(19):1450-60.
18
11. Sutherland GR, Auer RN. Primary intracerebral hemorrhage. J Clin Neurosci
2006;13:511-17.
12. Gage BF, van Walraven C, Pearce L, Hart RG, Koudstaal PJ, Boode BS, Petersen P,
2008. Selecting patients with atrial fibrilation for anticoagulation: stroke risk
stratification in patients taking aspirin. Circulation, 110;16:2287-92.
13. Adrian J.G & Louis R. C . 2013. Stroke Esensial Edisi kedua, Jakarta: PT Indeks.
14. Goldstein, L.B. et al., 2001. Primary prevention of ischemic stroke: A statement for
healthcare professionals from the Stroke Council of the American Heart Association.
Stroke; a journal of cerebral circulation, 32(1), pp.28099.
15. Ariesen, M.J. et al., 2003. Risk factors for intracerebral hemorrhage in the general
population: a systematic review. Stroke; a journal of cerebral circulation, 34(8),
pp.20605.
16. Setyopranoto, Ismail. 2009. Stroke. Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UGM.
17. Stroke Foundation. Clinical Guidelines for Stroke Management 2010. National Stroke
Foundation; 2010
18. Guideline Stroke, Tahun 2011. 2011. Kelompok Studi Stroke PERDOSSI. Jakarta.
19