Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang Masalah


Pendidikan formal seperti sekolah merupakan salah satu media untuk

mengantarkan anak agar menjadi orang yang pintar, berbudi dan berpekerti karena anak
diajarkan untuk membaca, menulis, maupun bersosialisasi dengan lingkungan dan teman
sebaya. Namun manakala pendidikan atau sekolah bukanlah hal yang penting bagi
sebagian orang tua dan anak-anak seperti di pulau Sumba tentu akan mempengaruhi
penyediaan Sumber Daya Manusia di masa mendatang.
Laporan United Nation Development Program (UNDP) peringkat Indonesia pada
tahun 2010 IPM (Indeks Pengembangan Manusia) Indonesia berada di peringkat 108,
dan pada tahun 2011 melorot ke peringkat 124 dari 139 negara.1 Hal ini sebagai salah
satu akibat dari rendahnya Sumber Daya Manusia di Indonesia. Sementara itu melihat
presentase pendidikan sekolah dasar di Indonesia yang dikeluarkan oleh Pusat Statistik
Pendidikan Kementrian Pendidikan Nasional2 tahun 2008/2009 diketahui bahwa di
Indonesia ada 144.228 sekolah dasar yang terbagi atas 131.490 sekolah negeri dan
12.738 sekolah swasta dengan jumlah siswa 26.984.824 serta hanya menghasilkan
3.872.972 (14%) lulusan dan 954.797 (3,5 %) siswa mengulang. Hal ini menunjukkan
bahwa dengan jumlah populasi siswa sekolah dasar yang begitu banyak hanya
menghasilkan lulusan yang sedikit yang diakibatkan oleh kurangnya tenaga guru,
fasilitas sekolah seperti buku pelajaran, keadaan bangunan sekolah yang rusak, bangku
maupun meja yang minim dan rusak, kondisi sosial ekonomi keluarga siswa yang
kebanyakan miskin sehingga banyak siswa yang tidak sampai menamatkan sekolah
karena disuruh bekerja membantu orang tua mencari nafkah dan jarak sekolah dari
rumah yang cukup jauh (khusus di daerah pedalaman) sehingga berakibat pada masalah
efektifitas, efisiensi, dan standarisasi pengajaran.3

http://edukasi.kompas.com/read/2011/11/04/17175426/Indeks.Pembangunan.Manusia.Indonesia.Meni
ngkat, diunduh tanggal 29 Maret 2012 pukul 15.11 WIB.
2

http://www.psp.kemdiknas.go.id/?page=publikasi, diunduh tanggal 7 Maret 2012 pukul 13.33 WIB.

http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/20/masalah-pendidikan-di-indonesia-sebuah-tinjauan-awal/diunduh
tanggal 29 Maret 2012 pukul 14.59 WIB.

Di tahun ajaran 2009/2010 jumlah sekolah dasar 143.252 yang terbagi atas
130.563 sekolah negeri dan 12.689 sekolah swasta dengan jumlah siswa 27.328.601.
Jumlah lulusan 3.943.696 (14,4%) dan jumlah siswa mengulang 966.974 (3,5%) atau
mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Namun peningkatan ini juga tidak
berarti bahwa pendidikan di Indonesia sudah baik dan merata karena dimana-mana
khususnya di daerah terpencil masih terdapat sekolah yang minim fasilitas dan kualitas
guru sehingga mengakibatkan rendahnya indeks pengembangan manusia. Dibawah
ditampilkan data jumlah sekolah dasar dan jumlah siswa yang terbagi dalam delapan
kategori wilayah.
Tabel 1.1
Data Sekolah dan Jumlah siswa
No

Wilayah

Jumlah

Jumlah

Jumlah

Persentase

Sekolah

Siswa

Lulusan

Kelulusan

Peringkat

Jawa

68100

2378600

2073997

87,2%

Sumatera

33062

1145547

971624

84.8 %

Sulawesi

15581

418163

319389

76.4 %

Kalimantan

11487

317430

234271

73.8%

Maluku

2704

432031

65858

15.2 %

Bali

5285

988718

145065

14.7%

Nusa Tenggara

4357

796671

93669

11.8%

2676

448964

48823

10.9%

Timur
8

Papua

Sumber: Pusat Statistik, Pendidikan Kementrian Pendidikan Nasional, 2009

Melihat jumlah sekolah, jumlah siswa dan jumlah lulusan dari setiap wilayah
yang ada di Indonesia, ada perbedaan jumlah sekolah, jumlah siswa dan jumlah
lulusan antara siswa yang tinggal di daerah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Nusa Tenggara Timur, Bali, Maluku dan Papua. Jumlah sekolah dan jumlah siswa
yang ada di wilayah Jawa lebih banyak daripada di wilayah lainnya di Indonesia yang
sebagian anak-anak susah untuk mendapat sekolah yang memadai.

Walaupun jumlah sekolah yang ada di wilayah Papua paling sedikit dari
wilayah lainnya namun di Nusa Tenggara Timur khususnya di Kabupaten Sumba
Barat terdapat persepsi siswa yang keliru tentang pendidikan. Selain kondisi wilayah
yang berbukit-bukit, masyarakat Sumba Barat juga sangat dipengaruhi oleh faktorfaktor sosial, ekonomi dan psikologis karena mata pencaharian masyarakat Sumba
Barat sebagian besar (71,45 persen)4 adalah petani tradisional yang tingkat pendidikan
rata-ratanya adalah Sekolah Menengah Pertama, dengan latar belakang pendidikan
yang bisa dikatakan rendah sehingga kebanyakan masyarakat di Sumba Barat
mempunyai pemikiran bahwa sekolah merupakan hal yang tidak begitu penting bagi
mereka.
SDN Balikalebu merupakan salah satu sekolah dasar yang ada di kabupaten
Sumba Barat kecamatan Kota Waikabubak. Walaupun berada dalam wilayah
kecamatan Kota namun letak SDN Balikalebu berada di pinggiran kota Waikabubak.
Orang tua siswa SDN Balikalebu sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani
tradisional yang masih tinggal di daerah perkampungan adat.
Hasil wawancara dengan Maria Awang sebagai kepala sekolah SDN
Balikalebu diketahui jumlah siswa-siswi SDN Balikalebu tahun ajaran 2011-2012
yaitu 333 orang (siswa laki-laki 170 orang dan siswi perempuan 163 orang). Jumlah
ketidakhadiran siswa di setiap kelas setiap hari kurang lebih 10-15 siswa dari 24-30
orang siswa per kelas. Dibandingkan dengan sekolah lain yang ada di Sumba Barat,
jumlah ketidakhadiran siswa di SDN Balikalebu lebih banyak dari sekolah lainnya 5.
Melihat kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa tingkat kesadaran siswa untuk ke
sekolah sangat minim.
Para siswa tidak hadir di sekolah dengan alasan yang beragam diantaranya bila
musim tanam padi tiba maka anak-anak banyak yang ikut membantu orang tua
mereka menanam padi sebagai buruh upahan karena menurut mereka membantu
orang tua mencari nafkah lebih penting daripada sekolah.

Data Sakernas 2009, Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumba Barat.

Data Statistik Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (PPO) Kab. Sumba Barat tahun 2010-2011

Alasan lainnya adalah karena mereka harus menjaga rumah di saat orang tua mereka
pergi mencari nafkah atau hanya sekedar mengunjungi keluarga serta bila diadakan
pesta adat6 di kampung mereka atau kampung tetangga maka mereka lebih memilih
untuk melihat pesta adat daripada pergi ke sekolah. Oleh karena itu penulis ingin
melihat perbedaan kognitif dan afektif siswa SDN Balikalebu setelah diberikan
tontonan atau treatment film Denias Senandung Di Atas Awan. Film ini insipratif dan
cocok digunakan sebagai media pendidikan yang dapat memotivasi anak-anak di SDN
Balikalebu karena kondisi sosial (upacara yang dilakukan dan tinggal di suatu
perkampungan yang mengikat berdasarkan hubungan kekerabatan), kondisi psikologis
dan bahasa dalam film Denias Senandung Di Atas Awan memiliki banyak kesamaan
dengan kondisi di Kabupaten Sumba Barat sehingga penerima pesan (anak-anak) di
SDN Balikalebu dapat lebih memahami karena ada kesamaan-kesamaan seperti di
atas. Peneliti ingin melihat kognisi dan afeksi siswa karena proses belajar terjadi pada
kognisi, afeksi dan psikomotorik. Namun dalam penelitian ini lebih di fokuskan pada
kognisi dan afeksi siswa.
Menurut Peransi (2005:29) film sebagai bentuk komunikasi massa, dimana
penyampaian pesan ditransfer dari unsur visual (motion picture) dan unsur audio.
Kedua unsur ini dipadukan menjadi satu bentuk informasi yang bisa bersifat hiburan,
komersial, sosial, dokumentasi, maupun propaganda. Sebagai karya seni, film terbukti
mempunyai kemampuan kreatif dan kesanggupan untuk menciptakan suatu realitas
rekaan sebagai bandingan terhadap realitas sesungguhnya. Menurut Mulyana
(2008:52) film dapat mempengaruhi budaya. Pendidikan di Indonesia banyak
dipengaruhi oleh sistem budaya, oleh karena itu melalui film pendidikan yang
mendidik diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai konstruktif untuk memperbaharui
nilai destruktif seperti malas, boros, hedonis, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab
dan percaya tahayul.
Di dalam film aspek yang paling penting adalah bagaimana pesan-pesan yang
akan

disampaikan

dikemas

dalam

bentuk

adegan-adegan

yang

saling

berkesinambungan dan menyatu membentuk suatu cerita. Jika cerita film tidak dapat
dimengerti oleh khalayak maka dapat dikatakan komunikasi tidak tersampaikan
dengan baik.

Pesta adat di kabupaten Sumba Barat diadakan hampir setiap minggu pada bulan Maret-Oktober

Visualisasi dalam komunikasi pendidikan merupakan alat belajar yang cukup


efektif untuk mempengaruhi kognisi dan afeksi siswa (Yusup, 1990:67). Dwyer
(dalam Yusup, 1990:70) mengatakan bahwa pada umumnya orang mampu mengingat
10% dari apa yang dibaca, 20% dari apa yang didengarnya, 30% dari apa yang
dilihatnya dan 50% dari apa yang dilihat dan didengarnya.
Pengaruh media yang juga merupakan efek film dapat dibedakan ke dalam
tingkatan individu, kelompok atau organisasi, institusi sosial, keseluruhan masyarakat,
dan budaya (McQuail, 2000:423). McQuail (2000:424) membedakan jenis-jenis
perubahan yang dipengaruhi media adalah sebagai berikut: media menyebabkan
perubahan yang disengaja, media dapat menyebabkan perubahan yang tidak
disengaja, media dapat menyebabkan perubahan minor (bentuk atau intensitas), media
dapat memfasilitasi perubahan (sengaja ataupun tidak), memperkuat yang sudah ada
(tanpa perubahan), dan mencegah perubahan.
Dari batasan ini juga dapat dikemukakan bahwa pengaruh media pada individu
terjadi melalui persepsi yang mengandung komponen kognitif, komponen afektif, dan
juga komponen konatif. Sikap seseorang pada suatu obyek sikap merupakan
manifestasi dari konstelasi ketiga komponen tersebut yang saling berinteraksi untuk
memahami, merasakan dan berperilaku terhadap obyek sikap. Ketiga komponen itu
saling berinterelasi dan konsisten satu dengan lainnya. Jadi, terdapat pengorganisasian
secara internal diantara ketiga komponen tersebut. Namun dalam penelitian ini hanya
dibatasi pada pengaruh persepsi pada efek kognitif dan afektif karena menurut
Rahmad (1989:249) persepsi dapat memberikan pengaruh secara langsung kognitif
komunikan terhadap suatu hal; sedangkan efek afektif merupakan gabungan persepsi
dan kognisi yang bekerja membentuk sikap dalam diri komunikan mengenai
rangsangan yang diterimanya.
Beberapa efek film terhadap audience terlihat bahwa film mampu mengubah
kognitif seseorang. Dari penelitian yang sudah dilakukan oleh Nina Aniela (2011:72)
perubahan tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara setelah menonton film Temple
Grandin. Orang tua yang sebelumnya memiliki informasi yang kurang tentang anak
autis menjadi lebih tahu tentang autis. Orang tua yang sebelumnya hanya mencoba
pasrah dengan keadaan dan masa depan anaknya, menjadi lebih yakin akan masa
depan anak yang lebih baik setelah menonton film Temple Grandin.

Efek film terhadap kognitif orang tua, tidak terjadi pada tahap informasi saja, tetapi
sampai kepada sikap orang tua dalam memperbaharui pola asuh. Perubahan atau efek
film terlihat dari empat proses perantara internal yang digunakan dalam pendekatan
belajar-pesan yaitu perhatian, pemahaman, penerimaan dan retensi. Informasi yang
diterima oleh informan disimpan dalam benaknya, sehingga menghasilkan sebuah
sikap. Penyimpanan informasi tersebut dinamakan retensi. Retensi informan berubah
setelah menonton film, mereka disadarkan melalui informasi yang baru didapatnya.
Informan sadar bahwa peranan orang tua dalam tumbuh kembang anak sangat
dibutuhkan.
Penelitian lainnya yaitu Pengaruh Film My Name Is Khan Terhadap
pengetahuan dan sikap Mahasiswa Ekstensi FISIP USU yang dilakukan oleh Ardini
Dwi Cahyanti (2010:76) dengan menggunakan teori pengetahuan, sikap dan teori uses
and gratification diketahui pengaruh film My Name Is Khan terhadap pengetahuan
dan sikap mahasiswa hanya tersosialisasi sebatas kerangka kognitif pemikiran para
responden, sedangkan penelitian yang meneliti tentang efek film terhadap afeksi
adalah penelitian yang dilakukan oleh Ratih Tri Lutvia Rahmawati (2008:93) tentang
Pengaruh Terpaan Film The Day After Tomorrow terhadap kesadaran lingkungan
diketahui hasilnya bahwa film The Day After Tomorrow mempengaruhi kesadaran
lingkungan sebesar 41,3% dengan menggunakan model A-I-D-D-A, dikemukakan
oleh Wilbur Schraam yaitu Attention (perhatian), Interest (menarik), Desire (hasrat),
Decision (keputusan), Action (tindakan).
Untuk meneliti pengaruh film terhadap perbedaan kognitif dan afektif dalam
penelitian ini akan digunakan teori belajar taksonomi Bloom dan Krathwoh yang
biasa digunakan untuk meningkatkan tujuan belajar yaitu upaya pengembangan
seluruh kepribadian individu baik segi fisik maupun psikis (Yusup, 1990:12). Belajar
yang dimaksud adalah belajar untuk mengenal dunia sosial di luar lingkungan
individu melalui film agar dapat memberikan efek positif dalam diri siswa yang akan
menjadi responden dalam penelitian ini. Bloom membagi ranah kognitif atas enam
sub ranah yang tersusun secara hierarkis mulai dari kemampuan yang paling rendah
sampai yang paling tinggi, yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis,
sintesis, dan evaluasi. Rincian ranah afektif dari krathwoh yaitu menerima,
menanggapi, menghargai, mengorganisasikan dan karakterisasi dengan suatu nilai
(Sukmadinata, 2009:180).
6

Perbedaan teori Bloom dengan penelitian efek media yang biasa digunakan
dalam penelitian komunikasi pada umumnya karena film dalam penelitian ini
digunakan sebagai media pendidikan untuk mengukur hasil belajar siswa tentang
minat ke sekolah. Dalam komunikasi pendidikan, film banyak digunakan sebagai
media untuk menimbulkan perubahan-perubahan agar menghasilkan sumber daya
manusia yang berpendidikan. Perubahan ini bertumpu pada tiga domain yaitu
kognitif, afektif dan psikomotorik sesuai dengan taksonomi Bloom (Yusup, 1990:22).
Di Indonesia sejak tahun 2001 sampai tahun 2007 para cineas tanah air telah
beberapa kali membuat film anak-anak dengan tema pendidikan di antaranya film
Jhosua Oh Jhosua yang mengisahkan Jojo (Joshua Suherman) dan Jejen (Mega
Utami), adalah dua anak jalanan yang harus mencari uang sepulang sekolah. Menurut
penulis film ini tidak terlalu fokus pada bagaimana perjuangan Jojo untuk sekolah
melainkan lebih ditekankan suasana keseharian Jojo dan Jejen serta film ini juga
hanya merupakan fiksi atau rekaan sehingga film ini hanya menampilkan fantasi di
benak penonton.
Pada tahun 2007 film Laskar Pelangi yang bercerita tentang kehidupan 10
anak dari keluarga miskin yang bersekolah (SD dan SMP) di sebuah sekolah
Muhammadiyah di Belitung yang penuh dengan keterbatasan. Mereka bersekolah dan
belajar pada kelas yang sama dari kelas 1 SD sampai kelas 3 SMP, dan menyebut diri
mereka sebagai Laskar Pelangi. Keterbatasan yang ada bukan membuat mereka putus
asa, tetapi malah membuat mereka terpacu untuk dapat melakukan sesuatu yang lebih
baik.
Namun alasan penulis memilih film Denias Senandung Di Atas Awan yang di
buat pada tahun 2006 karena kondisi sosial (upacara yang dilakukan dan tinggal di
suatu perkampungan yang mengikat berdasarkan hubungan kekerabatan), psikologis
dan bahasa dalam film Denias memiliki banyak kesamaan dengan kondisi di
kabupaten Sumba Barat sehingga penerima pesan (anak-anak) di SDN Balikalebu
dapat lebih memahami karena ada kesamaan-kesamaan seperti di atas.
Efek yang mungkin disebabkan oleh Film Denias Senandung Di Atas Awan
terhadap siswa SDN Balikalebu adalah mereka dapat mengetahui bahwa di tempat
lain ada anak yang kesulitan untuk bersekolah namun dengan segala keterbatasannya
Denias berusaha untuk mengapai cita-citanya.

Efek lainnya adalah mereka mampu merasakan, mengunggah perasaan mereka


terhadap hambatan-hambatan dan kegigihan Denias untuk mendapat pendidikan yang
lebih layak.
Film Denias Senandung Di Atas Awan merupakan salah satu film pendidikan
yang mengusung tema seputar perjuangan seorang anak petani pedalaman Arwanop di
Papua yang tak kenal kata menyerah untuk bisa mengenyam pendidikan di bangku
sekolah. Berbekal semangat ingin belajarnya yang tinggi Denias pun berusaha untuk
mendapat pendidikan di daerah Timika yang mempunyai sarana dan prasarana yang
lebih memadai. Menurut Indri (2011:3) Denias adalah sosok anak yang mempunyai
watak khas, dia begitu tangguh mempertahankan pendidikannya dan mencerminkan
kegigihan, kesederhanaan, dan keberanian yang berkembang dalam pergolakan ini.
Film Denias Senandung Di Atas Awan ini merupakan media persuasif untuk
mempengaruhi penonton khususnya siswa sekolah dasar agar mempengaruhi efek
kognisi dan afeksi untuk mempunyai semangat ke sekolah. Ada beberapa adegan
yang bisa menjadi titik acuan peneliti dalam melihat persepsi siswa SDN Balikalebu
setelah menonton film Denias Senandung Di atas Awan .

1.2. Rumusan Masalah


Adakah perbedaan kognitif dan afektif pada siswa SDN Balikalebu akibat
penayangan film Denias Senandung Di Atas Awan tentang semangat bersekolah?

1.3. Tujuan
Penulis ingin melihat perbedaan kognitif dan afektif siswa SDN Balikalebu yang
akibat film Denias Senandung Di Atas Awan tentang semangat bersekolah.

1.4.Manfaat
a. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah
Penelitian mengenai ilmu komunikasi pendidikan, terutama kajian-kajian media
tentang film untuk mendukung proses belajar mengajar di sekolah terutama pada
sekolah dasar.

b. Secara metodologis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukanmasukan dalam mengembangkan penelitian dengan metode eksperimen.
8

1.5.

Batasan Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada akibat film terhadap kognisi dan afeksi berdasarkan teori
belajar yang dikembangkan oleh Bloom.

Anda mungkin juga menyukai