Anda di halaman 1dari 89

Dokumen Usulan Teknik

BAB VI
METODOLOGI PELAKSANAAN

onsultan telah mengembangkan suatu metodologi, yang dirasa tepat untuk


dipergunakan dalam perencanaan teknis jembatan (Full Design) secara
menyeluruh, dan diharapkan memperoleh suatu hasil yang dapat dipertanggung
jawabkan dalam bentuk Dokumen tender dan laporan-laporan sebagaimana
tertuang dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) jembatan (Full Design) di Kabupaten Kutai
Kartanrgara.
Konsultan telah melihat aspek-aspek desain dan membaginya menjadi tahapan-tahapan
pekerjaan. Tahapan pertama dalam metodologi ini adalah Tahapan Persiapan yang
dilanjutkan dengan Tahapan Survey Lapangan. Tahapan selanjutnya atau tahap terakhir
adalah Tahap Desain yang terdiri dari konsep desain dan Final Desain. Pada Tahap terakhir
akan dilakukan pembuatan dokumen tender, perhitungan volume pekerjaan dan estimasi
biaya serta pembuatan laporan akhir.
6.1. TINJAUAN UMUM
Perencanaan jembatan dapat dilakukan menggunakan dua pendekatan dasar untuk
menjamin keamanan struktural yang diijinkan, yaitu Rencana Tegangan Kerja
(WSD) dan Rencana Keadaan Batas (Limit State). Struktur jembatan yang berfungsi
paling tepat untuk suatu lokasi tertentu adalah yang paling baik memenuhi pokokpokok perencanaan berikut ini :
a.
Kekuatan dan stabilitas struktur
b.
Kenyamanan bagi pengguna jalan dan jembatan
c.
Ekonomis
d.
Keawetan dan kelayakan jangka panjang
e.
Kemudahan pemeliharaan
f.
Estetika
g.
Dampak lingkungan pada tingkat yang wajar dan cenderung minimal
Untuk memenuhi pokok-pokok perencanaan tersebut, persyaratan dalam
perencanaan harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perencanaan Jalan
dan Jembatan sebagai berikut :
a.
Persyaratan umum perencanaan
b.
Persyaratan Analisa Struktur
c.
Persyaratan Perencanaan Pondasi
d.
Persyaratan Perencanaan Elemen Struktur Jembatan

Bab VI - 1

Dokumen Usulan Teknik

Agar tingkat standar kualitas perencanaan tertentu sesuai persyaratan dapat dicapai,
maka panduan atau Manual Perencanaan Jembatan (Bridge Design Manual) BMS
92 harus menjadi pegangan dalam menetapkan :
a.
Metodologi Perencanaan
b.
Pemilihan dan Perencanaan Struktur Jalan dan Jembatan
c.
Perencanaan Elemen Struktur Jalan dan Jembatan
d.
Perencanaan Pondasi, Dinding Penahan Tanah dan Slope Protection
e.
Dan lain sebagainya
6.2. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN
Masalah yang timbul di Kutai Timur dapat diidentifikasi sebagai berikut :
a.
Adanya kebutuhan sarana transportasi untuk memperlancar pertumbuhan
perekonomian masyarakat Kabupaten Kutai Timur
b.
Pertumbuhan perekenomian masyarakat di Kutai Tiimur terhadap
perkembangan wilayah di sekitarnya secara makro.
6.3. RUMUSAN PERMASALAHAN
Rumusan masalah dalam Studi Kelayakan Coastal Road Sangatta di Kecamatan
Sandaran adalah :
a.
Bagaimana upaya secara teknis Studi Kelayakan Coastal Road Sangatta di
Kecamatan Sandaran yang disesuaikan dengan kondisi wilayah rencana dapat
memenuhi kekuatan dan stabilitas struktur, mudah dalam pemeliharaan, estetis
serta meminimalisir dampak lingkungan pada tingkat yang wajar dan
cenderung zero.
b.
Bagaimana Studi Kelayakan Coastal Road Sangatta di Kabupaten Kutai Timur
ini ekonomis keawetan dan kelayakan jangka panjang untuk 5 tahun hingga 20
tahun kedepan.
6.4. PENDEKATAN MASALAH
Diperlukan pendekatan dari berbagai disiplin (multi interdisiplin) dalam
memecahkan permasalahan dalam rangka melaksanakan tugas pekerjaan Studi
Kelayakan Coastal Road Sangatta di Kabupaten Kutai Timur. Pendekatan yang
dilakukan yaitu pendekatan yang holistik dari aspek teknis, geologi, geomorfologi,
hydrologi, topografi, agronomi, landscaping dan sosial ekonomi.
6.5. PENDEKATAN UMUM
6.5.1.

Penerapan Teknologi
Penerapan teknologi akan dilakukan dengan pertimbangan yang teliti dan
seksama, pendekatan tehnik dengan menggunakan teknologi yang tepat
guna yang berwawasan lingkungan dan teknologi padat karya yang
berwawasan sosial-ekonomi, diharapkan akan dapat menunjang perluasan
lapangan kerja produktif dan pertambahan nilai yang berimbang dan
berkelanjutan.

Bab VI - 2

Dokumen Usulan Teknik

6.5.2.

Metodologi Dasar
Metodologi dasar deskriptif analitis akan digunakan dalam pelaksanaan
pekerjaan ini, metodologi dasar ini bertujuan untuk memecahkan
permasalahan yang ada terutama masalah topografi, geologi, hidrologi, yang
berhubungan dengan standar Studi Kelayakan Coastal Road Sangatta.

6.5.3.

Pengumpulan Data Primer


Pengumpulan data primer (survey lapangan) yang dilakukan adalah survey
topografi, survey geoteknik (mekanika tanah), survey hidrology dan suvey
sosial-ekonomi lingkungan. Pengumpulan data primer ini dimaksudkan
untuk memperoleh data fisik daerah lokasi pekerjaan Studi Kelayakan
Coastal Road Sangatta.

6.5.4.

Standar dan Peraturan Teknis


Standar dan peraturan teknis yang dipergunakan tim Konsultan dalam
pelaksanaan pekerjaan Studi Kelayakan Coastal Road Sangatta pada
dasarnya adalah menggunakan standar yang berlaku di Indonesia, antara
lain adalah.-sebagai berikut :
a.
Pedoman, Kriteria dan Standar yang dipakai untuk melaksanakan
pekerjaan ini adalah pedoman, kriteria dan standar yang berlaku di
Indonesia. Dalam penerapannya harus dipertimbangkan untung-rugi,
perubahan atau penggantian bangunan yang telah ada, kemudahan
sistim operasi dan pemeliharaan, tepat guna dan biaya konstruksi yang
paling menguntungkan.
b.
Sebagai pegangan dipakai pedoman, kriteria dan standar perencanaan
yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen
Pekerjaan Umum, cq. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Kutai
Timur.
c.
Apabila diperlukan perubahan pedoman, kriteria dan standar tersebut
di atas berdasarkan pertimbangan penyesuaian terhadap kondisi di
lapangan, kemudahan operasional dan pemeliharaan serta biaya yang
paling menguntungkan, perubahan tersebut akan dibahas untuk dapat
disetujui oleh direksi sebelum dibuat desainnya.
d.
Pedoman Teknis Bangunan Sederhana dan standar sejenis yang
berlaku di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum, dimana
penerapannya disesuaikan dengan keadaan lapangan.
Berikut dibawah ini disampaikan standar dan peraturan teknis yang umum
dipakai Konsultan dalam Perencanaan Teknis Jalan dan Jembatan Sembrang
di Kecamatan Sandaran, antara lain :
a.

Studi Kelayakan Coastal Road Sangatta mengacu kepada standart,


Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga.
Pemilihan jenis konstruksi bangunan atas maupun bangunan bawah
yang paling sesuai diusulkan oleh konsultan, untuk kemudian
mendapat persetujuan dari Direksi. Pada keadaan khusus Direksi
Bab VI - 3

Dokumen Usulan Teknik

dapat menetapkan sendiri jenis konstruksi atas maupun bangunan


bawah yang paling tepat. Dalam hal ini untuk melaksanakan kegiatan
perencanaan/desain konstruksi fisik berpedoman pada referensi
sebagai berikut :
1. Undang undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
2. Undang undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
3. Peraturan pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan.
4. Permen PU No. 19 Tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis
Jalan dan kriteriaPerencanaan Teknis Jalan.
5. Pedoman Pengukuran Topografi untuk pekerjaan Jalan dan
Jembatan No. 010/PW/2004 Tahun 2004.
6. Perencanaan Timbunan Jalan Pendekat Jembatan No. Pd.T-112003 Tahun 2003
7. Manual Perencanaan Bangunan Pengaman Gerusan Pantai untuk
Konstruksi Jalan dan Jembatan No. 002/PW/2004 Tahun 2004
8. Spesifikasi Pembangunan Jalan dan Jembatan Tahun 2005
9. Standar Gorong-gorong Persegi Beton Bertulang (Box Culvert)
Triple Tahun 1993
10. Standar bangunan Atas Gelagar Beton Bertulang Type T Klas A
dan B Tahun 1993
11. Standar Bangunan Atas Rangka Baja Bentang 40 s/d 60 m Klas
A Tahun 1993
12. Standar Bangunan Atas Girder Baja Bentang 20 s/d 30 m Klas A
Tahun 1993
13. Standar Bangunan Atas Girder Baja Bentang 20 s/d 30 m Klas B
Tahun 1993
14. Standar Bangunan Atas Rangka Baja Bentang 40 s/d 60 m Klas
B Tahun 1993
15. Perencanaan Timbunan Jalan Pendekat Jembatan No. Pd.T-112004-B Tahun 2004
16. Standar Rangka Baja Bangunan Atas Jembatan Klas A dan B
No. 07/BM/05 Tahun 2005
17. Standar Gorong-gorong Persegi Beton Bertulang (Box Culvert)
Single Tahun 1993
18. Manual Hidrolika untuk Jalan dan Jembatan No. 01/BM/05
Tahun 2005.
19. Pedoman Studi Kelayakan Proyek Jalan dan Jembatan No. Pd.
T-19-2005-B
6.6. METODOLOGI PELAKSANAAN PEKERJAAN
6.6.1.

Survey Pendahuluan
Survey Pendahuan atau Reconnaissance Survey adalah survey yang
dilakukan pada awal pekerjaan di lokasi pekerjaan, yang bertujuan untuk

Bab VI - 4

Dokumen Usulan Teknik

memperoleh data awal sebagai bagian penting bahan kajian kelayakan


teknis dan untuk bahan pekerjaan selanjutnya.
Survey ini diharapkan mampu memberikan saran dan bahan pertimbangan
terhadap survey detail lanjutan diantaranya, survey topografi, survey
geologi, dan geoteknik, suvey bahan quarry, suvey hidrologi / hidrolik, jenis
kontruksi serta metode pelaksanaan sehingga diperoleh suatu perencanaan
detail desain yang matang, semua kegiatan recon survey harus dibuatkan
laporan sebagai data awal perencanaan
Survey pendahuluan merupakan lanjutan dari hasil persiapan desain yang
sudah disetujui sebagai panduan pelaksanaa recon survey di lapangan yang
meliputi kegiatan :
a.

Survey Geometrik
Kegiatan yang dilakukan pada Survey pendahuluan adalah :
1). Mengidentifikasi/memperkirakan secara tepat penerapan desain
geometrik (alinyemen horisontal dan vertikal) berdasarkan
pengalaman dan keahlian yang harus dikuasai sepenuhnya oleh
Highway Engineer yang melaksanakan pekerjaan ini dengan
melakukan pengukuran-pengukuran secara sederhana dan benar
(jarak, azimut dan kemiringan dengan helling meter) dan
membuat sketsa desain alinyemen horizontal maupun vertikal
secara khusus untuk lokasi-lokasi yang dianggap sulit, untuk
memastikan trase yang dipilih akan dapat memenuhi persyaratan
geometrik yang dibuktikan dengan sketsa horizontal dan
penampang memanjang rencana trase jalan.
2). Mengidentifikasi / memperkirakan secara tepat penerapan
desain geometrik (Alinemen horizontal dan vertikal)
berdasarkan pengalaman dan keahlian yang harus dikuasai
sepenuhnya oleh Team Leader, Highway Engineer yang
melaksanakan pekerjaan ini dengan melakukan pengukuranpengukuran secara sederhana dan benar (jarak, azimut,
kemiringan dengan helling meter) dam membuat sketsa desain
Alinemen horizontal maupun vertikal secara khusus, sehingga
dapat memenuhi persyaratan geometrik yang dibuktikan dengan
sketsa horizontan dan penampang memanjang jalan.
3). Didalam penarikan perkiraan desain alinemen horizontal dan
vertikal harus sudah diperhitungkan dengan cermat sesuai
dengan kebutuhan perencanaan untuk lokasi-lokasi : galian /
timbunan, bangunan pelengkap jalan, gorong-gorong dan
jembatan (oprit jembatan), persimpangan yang bisa terlihat
dengan dibuatnya sketsa-sketsa serta tabelaris di lapangan dari
identifikasi kondisi lapangan secara stasioning dari awal s/d
akhir proyek yang nantinya akan diasistentikan dan
mendapatkan persetujuan dari team asistensi recon
4). Semua kegiatan ini harus sudah dikonfirmasikan sewaktu
mengambil keputusan dalam pemilihan lokasi jembatan dengan
anggota team yang saling terkait dalam pekerjaan ini.
Bab VI - 5

Dokumen Usulan Teknik

5).

6).

Di lapangan harus diberi/dibuat tanda-tanda berupa patok dan


tanda banjir, dengan diberi tanda bendera sepanjang daerah
rencana dengan interval 50 m untuk memudahkan tim
pengukuran, serta pembuatan foto-foto penting untuk pelaporan
dan panduan dalam melakukan Survey detail selanjutnya.
Dari hasil Survey recon ini, secara kasar harus sudah bisa
dihitung perkirakan volume pekerjaan yang akan timbul serta
bisa dibuatkan perkiraan rencana biaya secara sederhana dan
diharapkan dapat mendekati desain final.

b.

Survey Topografi
Kegiatan yang dilakukan oleh Geodetic Engineer dan Surveyor pada
survey pendahuluan adalah :
1). Menentukan awal dan akhir pengukuran serta pemasangan patok
beton Bench Mark di awal dan akhir Pelaksanaan.
2). Mengamati kondisi topografi.
3). Mencatat daerah - daerah yang akan dilakukan pengukuran
khusus serta morfologi dan lokasi yang perlu dilakukan
perpanjangan koridor.
4). Membuat rencana kerja untuk Survey detail pengukuran.
5). Menyarankan posisi patok Benchmark pada lokasi/titik yang
akan dijadikan referensi.

c.

Recon Bangunan Pelengkap Jalan


Kegiatan yang dilakukan oleh Higway Engineer pada survey
pendahuluan adalah :
1). Untuk perencanaan jalan baru dicatat data lokasi / Sta. ,
perkiraan lokasinya apa sudah sesuai dengan geometrik dengan
rencana jenis kontruksi, dimensi yang diperlukan.
2). Untuk lokasi yang sudah ada existing perlu dibuatkan
inventarisasinya dengan lengkap, antara lain Sta. , jenis
konstruksi, dimensi, kondisi serta mengusulkan penanganan
yang diperlukan, (Lihat format survey inventarisasi jembatan)
3). Untuk lokasi yang ada aliran airnya perlu dicatat tinggi air
normal, muka air banjir dan muka air banjir tertinggi pernah
terjadi serta adanya tanda-tanda / gejala-gejala erosi yang
dilengkapi dengan sket lokasi morfologi serta karakter aliran
sungai dan dilengkapi foto-foto jika diperlukan.
4). Mendiskusikan dengan team geometrik, geologi, amdal dan
hidrologi apakah data-data dan usul penempatan lokasi serta
usul perencanaan / penanganan sudah sesuai secara teknis.
5). Membuat sket dan kalau perlu foto-foto beserta catatan-catatan
khusus serta saran-saran yang sangat berguna dijadikan panduan
dalam pengambilan data untuk perencanaan pada waktu
melakukan survey detail nanti dan pengaruhnya terhadap
keamanan / kestabilan.

Bab VI - 6

Dokumen Usulan Teknik


d.

Survey Rencana Jembatan dan Gorong-Gorong


Kegiatan yang dilakukan pada Survey rencana jembatan adalah :
1). Menentukan dan memperkirakan total panjang, lebar, kelas
pembebanan jembatan, tipe konstruksi, dengan pertimbangan
terkait dengan LHR, estetika, lebar sungai, kedalaman dasar
sungai, profil sungai/ada tidaknya palung, kondisi arus dan arah
aliran, sifat-sifat sungai, scouring vertikal/horisontal, jenis
material bangunan atas yang tersedia dan paling efisien.
2). Menentukan dan memperkirakan ukuran dan bahan tipe
abutmen, pilar, fondasi, bangunan pengaman (bila diperlukan)
dengan mempertimbangkan lebar dan kedalaman sungai, sifat
tebing, sifat aliran, endapan / sedimentasi material, benda
hanyutan, scouring yang pernah terjadi.
3). Memperkirakan
elevasi
muka
jembatan
dengan
mempertimbangkan MAB (banjir), MAN (normal), MAR
(rendah) dan banjir terbesar yang pernah terjadi.
4). Menentukan dan memperkirakan posisi/letak lokasi jembatan
dengan mempertimbangan situasi dan kondisi sekitar lokasi,
profil sungai, arah arus/aliran sungai, scouring, segi ekonomi,
sosial, estetika yang terkait dengan alinyemen jalan, kecepatan
lalu lintas rencana, jembatan darurat, pembebanan tanah
timbunan dan quarry.
5). Dari hasil Survey recon ini secara kasar harus sudah bisa
dihitung perkiraan volume pekerjaan yang akan timbul serta bisa
dibuatkan perkiraan rencana biaya secara sederhana dan
diharapkan dapat mendekati desain final.

e.

Recon Survey Lalu Lintas


Kegiatan yang dilakukan oleh Traffic Engineer pada survey
pendahuluan adalah :
1). Menentukan lokasi (tempat) yang akan diambil data kendaraan,
baik untuk 40 jam, 24 jam, 12 jam, 6 jam dam 3 jam.
2). Mengamati kondisi jalan serta bangunan pelengkap lainnya.
3). Melakukan pemotretan pada lokasi-lokasi yang penting.
4). Membuat rencana kerja untuk team survey.

f.

Survey Geologi dan Geoteknik


Kegiatan yang dilakukan pada Survey pendahuluan geologi dan
geoteknik adalah :
1). Mengamati secara visual kondisi lapangan yang berkaitan
dengan karakteristik tanah dan batuan.
2). Mengamati perkiraan lokasi sumber material (quarry) sepanjang
lokasi pekerjaan.

Bab VI - 7

Dokumen Usulan Teknik

3).

4).
5).
6).

6.6.2.

Memberikan rekomendasi pada Higway Engineer dan Bridge


Engineer berkaitan dengan rencana trase jalan dan rencana
jembatan yang akan dipilih.
Melakukan pemotretan pada lokasi-lokasi khusus (rawan
longsor, dll).
Mencatat lokasi yang akan dilakukan pengeboran maupun lokasi
untuk test pit.
Membuat rencana kerja untuk tim Survey detail

g.

Survey Hidrologi/Hidrolika
Kegiatan yang dilakukan pada Survey Hidrologi/Hidrolika adalah :
1). Mengumpulkan data curah hujan.
2). Menganalisa luas daerah tangkapan (catchment area).
3). Mengamati kondisi terain pada daerah tangkapan sehubungan
dengan dengan bentuk dan kemiringan yang akan
mempengaruhi pola aliran.
4). Mengamati tata guna lahan.
5). Menginventarisasi bangunan drainase existing.
6). Melakukan pemotretan pada lokasi-lokasi penting.
7). Membuat rencana kerja untuk Survey detail.
8). Mengamati karakter aliran sungai / morfologi yang mungkin
berpengaruh terhadap konstruksi dan saran-saran yang
diperlukan untuk menjadi pertimbangan dalam perencanaan
berikutnya.

h.

Survey Lingkungan
Kegiatan yang dilakukan pada Survey dampak lingkungan adalah :
1). Inventarisasi terhadap zona lingkungan awal yang bertujuan
untuk mengidentifikasi komponen lingkungan yang sensitif,
yang meliputi:
2). Aspek Fisik, kimia dan biologi.
3). Aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat.
4). Pencatatan lokasi bangunan bersejarah, kuburan, fasilitas umum
dsb.
5). Pengambilan contoh air.
6). Pengamatan kondisi.
7). Foto dokumentasi yang diperlukan sehubungan dengan analisa.
8). Membuat rencana kerja untuk Survey detail.

i.

Foto Dokumentasi
1). Foto asli, perlu dilakukan sebagai bukti nyata kondisi lokasi
jembatan
2). Pengambilan medan yang difoto disarankan minimal 4 arah (dua
memanjang dan dua melintang)

Survey Pengukuran Topografi


Survey topografi dilakukan sepanjang lokasi as jalan pada jembatan yang
sesuai dengan rencana lokasi jembatan yang dikehendaki. Pertimbangan

Bab VI - 8

Dokumen Usulan Teknik

lokasi jembatan didasarkan rekomendasi dari Studi Kelayakan. Daerah


sekitar sungai yang perlu diukur meliputi :
200m pada kiri dan kanan sungai sepanjang jalan.
100m pada kiri dan kanan as jalan pada daerah sungai.
50m dari kiri dan kanan tepi sungai.
Kegiatan-kegiatan dan pengukuran topografi ini meliputi pekerjaan
perintisan, pekerjaan pengukuran, perhitungan dan penggambaran. Berikut
ini rincian dari kegiatan tersebut :
a.

Pekerjaan Perintisan untuk Pengukuran


1). Pekerjaan perintisan yang akan konsultan lakukan berupa
merintis dan membuka sebagian daerah yang akan diukur
sehingga pengukuran dapat berjalan lancar.
2). Peralatan yang dipakai untuk perintisan adalah gergaji mesin
atau sejenisnya, peralatan konvensiaonal (parang, kapak dan
sebagainya).
3). Perintisan akan diusahakan mengikuti koridor yang telah diplot
diatas peta topografi atas persetujuan Pengguna Jasa.

b.

Pekerjaan Pegukuran Topografi


Pekerjaan pengukuran topografi sedapat mungkin dilakukan di
sepanjang rencana as jalan (mengikuti koridor rintisan) dengan
mengadakan pengukuran-pengukuran tambahan pada daerah
persilangan dengan sungai dan jalan lain sehingga memungkinkan
diperoleh as jalan sesuai dengan standar yang ditentukan.
1). Pengukuran Titik Kontrol Horizontal
a). Pengukuran titik kontrol dilakukan dalam bentuk poligon
tertutup.
b). Sisi poligon atau jarak antara titik poligon maksimal 100
meter diukur dengan peges ukur (meteran).
c). Patok-patok untuk titik-titik poligon adalah patok kayu,
sedang patok-patok untuk titik ikat adalah dari beton.
d). Sudut-sudut poligon diukur dengan alat ukur Theodolit
jenis Wild-T2.
2). Titik-titik ikat (BM) harus diukur sudutnya dengan alat yang
sama dengan alat pengukuran poligon, jaraknya diukur dengan
pegas (meteran)/jarak langsung, ketelitian poligon adalah
sebagai berikut :
a). Kesalahan sudut yang diperbolehkan adalah 10 kali akar
jumlah titik poligon.
b). Kesalahan azimuth pengontrol tidak lebih dari 5.
c). Pengamatan matahari dilakukan pada titik awal kegiatan,
dan pada setiap jarak 5 km (kurang lebih 60 titik poligon)
pada titik akhir pengukuran.
d). Pengamatan matahari pada tiap titik dilakukan dalam 4
seri (4 biasa dan 4 luar biasa).

Bab VI - 9

Dokumen Usulan Teknik

3).

4).

5).

Pengukuran Titik Vertikal


a). Jenis alat yang digunakan untuk pengukuran ketinggian
adalah cukup dengan alat waterpass jenis NAK-2 atau
yang setingkat.
b). Untuk pengukuran ketinggian dilakukan dengan double
stand dengan perbedaan pembacaan maksimum 2 mm.
c). Rambu ukur yang dipakai harus dalam keadaan baik,
dalam arti pembagian skala jelas dan sama.
d). Setiap kali pengukuran dilakukan 3 (tiga) pembacaan,
benang atas, tengah dan bawah.
e). Benang Atas (BA), Benang Tengah (BT) dan Benang
Bawah (BB), mempunyai kontrol pembacaan : 2BT = BA
+ BB.
f). Ketelitian pengukuran tidak boleh melampaui 10 kali akar
D.
g). Referensi leveling menggunakan referensi koordinat
geografis.
Pengukuran Situasi
a). Pengukuran situasi dilakukan dengan system tachymetry
b). Ketelitian alat yang dipakai adalah 30 (sejenis dengan
Theodolit-TO)
c). Pengukuran situasi daerah sepanjang rencana jalan harus
mencakup semua keterangan-keterangan yang ada
didaerah sepanjang rencana jalan tersebut.
d). Untuk tempat tempat jembatan atau perpotongan dengan
jalan lain, pengukuran harus diperluas (lihat pengukuran
khusus).
e). Tempat-tempat sumber material jalan yang terdapat
disekitar jalur jalan perlu diberi tanda diatas peta dan
difoto (jenis dan lokasi material)
Pengukuran Penampang Melintang dan Memanjang
Pengukuran
penampang
memanjang
dan
melintang
dimaksudkan untuk menentukan volume penggalian dan
penimbunan.
a). Pengukuran Penampang Memanjang
Pengukuran penampang memanjang dilakukan
sepanjang sumbu rencana jalan.
Peralatan yang dipakai untuk pengukuran penampang
memanjang sama dengan yang dipakai untuk
pengukuran titik control vertical.
b). Pengukuran Penampang Melintang
Pengukuran penampang melintang pada daerah yang
datar dan landai akan dibuat setiap 50 meter dan pada
daerah-daerah tikungan, pegunungan setiap 25 meter.
Lebar pengukuran penampang melintang 25 meter
kekiri kanan as jalan (ROW) (lihat pengukuran khusus)
Bab VI - 10

Dokumen Usulan Teknik

6).

7).

8).

Khusus untuk perpotongan dengan sungai dilakukan


dengan ketentuan khusus (lihat pengukuran khusus)
Peralatan yang dipergunakan untuk pengukuran
penampang melintang sama dengan yang dipakai untuk
pengukuran situasi.
Pembuatan dan Pemasangan Patok
a). Patok-patok akan dibuat dengan ukuran 10 x 10 x 75 cm
dan dipasang pada 1 km dan pada perpotongan rencana
jalan dengan sungai ( 2 buah seberang menyebrang). Patok
beton tersebut akan ditanam kedalam tanah sepanjang
kurang lebih 65 cm (yang kelihatan diataas tanah kurang
lebih 10 cm).
b). Baik patok-patok beton maupun patok-patok polygon
diberi tanda BM dan nomor urut.
c). Untuk memudahkan pencarian patok, maka pada pohonpohon disekitar patok diberi cat atau tanda tertentu.
d). Baik patok-patok polygon maupun patok profil diberi
tanda cat kuning dengan tulisan hitam yang diletakkan
disebelah kiri kearah jalannya pengukuran.
e). Khusus untuk profil memanjang titik-titiknya yang terletak
disumbu jalan diberi paku dengan dilingkari cat kuning
sebagai tanda.
Pengukuran Khusus Jembatan
a). Pengukuran pada potongan pada rencana jalan dengan
sungai :
1) Koridor pengukuran kearah hulu dan hilir masingmasing 200 m dengan interval pengukuran penampang
melintang sungai sebesar 25 m.
2) Pada daerah posisi jembatan interval pengukuran
melintang dan memanjang dilakukan setiap 10 meter
(maks 15 m)
3) Koridor pengukuran searah trace jalan masing-masing
100 m dari kedua tepi sungai dengan interval
pengukuran penampang melinatng rencana trase jalan
sebesar 25 m.
b). Pengukuran dengan perpotongan jalan yang sudah ada.
1) Koridor pengukuran kesetiap arah kaki perpotongan
masing-masing 100 m dari perkiraan titik perpotongan
dengan interval pengukuran penampang melintang
sebesar 25 meter.
2) Pengukuran situasi lengkap menampilkan segala objek
yang dibentuk alam maupun manusia disekitar
persilangan tersebut.
Perhitungan dan Penggambaran
a). Perhitungan koordinat polygon utama didasarkan pada
titik-titik ikat yang dipergunakan.
Bab VI - 11

Dokumen Usulan Teknik

b).

c).

d).

e).

6.6.3.

Penggambaran titik- titik polygon akan didasarkan pada


hasil perhitungan koordinat, penggambaran titik-titik
polygon tersebut tidak boleh secara grafis.
Gambar ukur yang berupa gambar situasi akan digambar
pada kertas millimeter dengan skala 1 : 1.000 dan interval
kontur 1 m.
Ketinggian titik detail akan dicantumkan dalam gambar
ukur begitu begitu pula semua keterangan-keterangan
yang penting.
Titik ikat atau titik mati serta titik-titik baru akan
dimasukkan dalam gambar dengan diberi tanda khusus.
Ketinggian titik tersebut juga akan dicantumkan.

Survey Penyelidikan Geologi dan Mekanika Tanah


Pemetaan Geologi Teknik memakai peta dasar topografi dengan skala
maksimum 1 : 25.000. Penyelidikan geoteknik merupakan bagian dari
penyelidikan tanah yang mencakup seluruh penyelidikan lokasi kegiatan
berdasarkan klasifikasi jenis tanah yang didapat dari hasil tes dengan
mengadakan peninjauan kembali terhadap semua data tanah dan material
guna menentukan jenis/ tipe pondasi yang tepat dan sesuai tahapan
kegiatannya, sebagai berikut :
a.
Mengadakan penyelidikan tanah dan material di lokasi pelaksanaan
jembatan yang akan dibangun dengan menetapkan lokasi titik-titik bor
yang diperlukan langsung di lapangan.
b.
Melakukan penyelidikan kondisi permukaan air (sub-surface)
sehubungan dengan pondasi jembatan yang akan dibangun.
c.
Menyelidiki lokasi sumber material yang ada di sekitar lokasi
pelaksanaan, kemudian dituangkan dalam bentuk penggambaran peta
termasuk sarana lain yang ada seperti jalan pendekat/oprit, bangunan
pelengkap / pengaman dan lain sebagainya.
d.
Pekerjaan pengambilan contoh dengan pengeboran (umumnya
terhadap undisturbed sampling) dimaksudkan untuk tujuan
penyelidikan lebih lanjut di laboratorium untuk mendapatkan
informasi yang lebih teliti tentang parameter-parameter tanah dari
pengetesan Besaran Indeks (Index Properties) dan Besaran Struktural
Indeks (Engineering Properties).
e.
Penyelidikan tanah untuk desain jembatan yang umum dilaksanakan
di lingkungan Bina Marga dengan bentang > 60 m (relatif dari 25 m
s/d 60 m tergantung kondisi) digunakan bor-mesin (alat bor yang
digerakkan dengan mesin) di mana kapasitas kedalaman bor dapat
mencapai 40 m disertai alat split spoon sampler untuk Standar
Penetration Test ( SPT ) menurut AASHTO T 206-74. Sedangkan
untuk bentang < 60m (relatif dari 25 m s/d 60 m tergantung kondisi)
digunakan peralatan utama lapangan yang terdiri atas :
1). Alat sondir dengan bor tangan (digerakkan dengan tangan).

Bab VI - 12

Dokumen Usulan Teknik

2).

f.

g.
h.

i.
j.

k.

6.6.4.

Pengeboran harus dilakukan sampai kedalaman yang ditentukan


(bila tidak ditentukan lain) untuk mendapatkan letak lapisan
tanah dan jenis batuan beserta ukurannya dan harus mencapai
tanah keras/batu dan menembus sedalam kurang lebih 3.00 m.
3). Boring dan sampling harus dikerjakan dengan memakai
Manual Operated Auger dengan kapasitas hingga kedalaman
10 m.
4). Alat tes sondir type Gouda atau sejenisnya, antara lain Dutch
Cone Penetrometer yang memakai sistem metrik dan harus
dilengkapi dengan Friction Jacket Cone, kapasitas tegangan
konus minimum 250 kg/cm2 dan kedalamannya dapat mencapai
25 m.
Pada setiap jembatan, penyelidikan tanah yang dibutuhkan pada
masing-masing lokasi rencana pondasi harus sudah menetapkan
penggunaan jenis bor dan posisi lubang bor yang direncanakan serta
jumlah titik bor minimal satu titik boring, yaitu satu titik bor mesin
atau satu set bor tangan dan sondir, tergantung bentang rencana
jembatannya. Hal ini tergantung pada kondisi area (alam dan lokasi),
kepentingan stuktur dan tersedianya peralatan pengujian beserta
teknisinya.
SPT dilakukan pada interval kedalaman 1,50 m s/d 2,00 m untuk
diambil contohnya (undisturbed dan disturbed).
Mata bor harus mempunyai diameter yang cukup untuk mendapatkan
undisturbed sample yang diinginkan dengan baik, dapat digunakan
mata bor steel bit untuk tanah clay, silt dan mata bor jenis core barrel.
Digunakan casing (segera) bilamana tanah yang dibor cenderung
mudah runtuh.
Untuk menentukan besaran index dan structural properties dari
contoh-contoh tanah, baik yang terganggu (disturbed) maupun yang
asli (undisturbed) tersebut di atas dan contoh material (quarry), maka
pengujian di laboratorium dikerjakan berdasarkan spesifikasi SNI, SK
SNI, AASHTO, ASTM, BS dengan urutan terdepan sebagai prioritas
pertamanya.
Laporan penyelidikan tanah dan material harus pula berisi analisa dan
hasil daya dukung tanah serta rekomendasi jenis pondasi yang sesuai
dengan daya dukung tanah tersebut dan hasil bor log dituangkan
dalam bentuk tabel/formulir bor log dan form drilling log yang
dilengkapi dengan keterangan/data diantaranya tentang tipe bor yang
digunakan, kedalaman lapisan tanah, tinggi muka air tanah, grafik log,
uraian lithologi, jenis sample, nilai SPT, tekanan kekuatan (kg/cm 2),
liquid/ plastis limit, perhitungan pukulan (SPT) dan lain sebagainya.

Survey Hidrologi
Survey hidrologi lengkap digunakan untuk melengkapi parameter-parameter
desain jembatan yang dalam hal ini jembatan yang dimaksud adalah
Bab VI - 13

Dokumen Usulan Teknik

jembatan diatas lalu lintas sungai atau saluran air, untuk ini pengumpulan
data untuk analisa hihrologi perlu diperhatikan sebagai berikut :
a.
Karakteristik daerah aliran (Catchment Area) dari setiap gejala aliran
yang harus dipelajari dengan cermat dari peta topografi maupun
pemeriksaan langsung di tempat yang meliputi data curah hujan, tata
guna lahan, jenis permukaan tanah, kemiringan dan lain-lain.
b.
Karakteristik sungai yang meliputi :
1). Kecepatan aliran dan gejala arah
2). Debit dan daerah pengaruh banjir
3). Tinggi air banjir, air rendah dan air normal
4). Lokasi penggerusan (scouring) serta jenis/sifat erosi maupun
pengendapan
5). Kondisi aliran permukaan pada saat banjir
c.
Analisa hidrologi yang diperlukan untuk jembatan yang melintas
sungai. Sebelum tahap perhitungan/perencanaan hidrolika dari alur
sungai, dalam hal ini untuk mendntukan hal-hal sbb. :
1). Debit banjir dalam alur sungai jembatan atau debit maksimum
sungai selama periode ulang banjir rencana yang sesuai.
2). Perkiraan tinggi maksimum muka air banjir yang mungkin
terjadi dan semua karakteristiknya.
3). Kedalaman air (air banjir, air rendah dan air normal)
d.
Untuk menentukan elevasi tinggi muka jembatan diperlukan suatu
perkiraan tinggi maksimum banjir yang mungkin terjadi, ditetapkan
dan diperhitungkan dengan periode ulang banjir rencana atau dalam
kurun waktu rencana sebagai berikut :
1). Untuk jembatan panjang / besar (konstruksi khusus)
diperhitungkan dengan periode ulang 100 tahunan.
2). Untuk jembatan biasa / tetap termasuk gorong-gorong
diperhitungkan dengan periode ulang 50 tahunan.
3). Untuk jembatan sementara, perlintasan saluran air dan jembatan
yang melintas di atasnya diperhitungkan dengan periode ulang
25 tahunan.
4). Untuk keperluan analisa hidrologi ditetapkan dengan periode
ulang 50 tahunan.
5). Untuk perhitungan scouring berdasarkan jenis tanah dasar
sungai dan debit serta kecepatan aliran arus sungai.
6). Dalam menentukan besar debit banjir maksimum dalam kurun
waktu rencana tersebut, dipakai pendekatan berdasarkan analisa
frekwensi dari suatu data curah hujan lebat. Di sini perlu ditinjau
hubungan/korelasi antara curah hujan dan aliran sungai.
7). Metode untuk menentukan besar debit banjir tersebut
diklasifikasikan 3 cara yaitu :
a). Cara statistik/kemungkinan-kemungkinan
3) Bersifat teoritis dan dalam peramalan debit banjir
berdasarkan data-data banjir masa lalu.

Bab VI - 14

Dokumen Usulan Teknik

e.

f.

6.6.5.

4) Memerlukan waktu yang agak lama karena pengamatan


didasarkan dari suatu aliran sungai.
b). Cara hidrograf/sintetik
5) Cocok digunakan untuk daerah dengan aliran sungai s/d
luas 5000 km2
6) sedang untuk ukuran s/d 20000 km bisa digunakan
dengan membuat unit hidrograf untuk masingmasing
anak sungai yang kemudian diambil rata-ratanya.
7) Cara ini dianggap paling baik untuk perhitungan debit
c). Rumus empiris/metode rasional
8) Metode perhitungannya sangat sederhana dan praktis.
9) Digunakan jika tidak terdapat data yang cukup.
10) Umumnya dipakai di daerah dengan luas aliran s/d 25
km2 (di perkotaan).
Analisa drainase ditetapkan dengan kala ulang (return period) 25
tahun dan 50 tahun yang pemilihannya terlebih dulu dikonsultasikan
dengan pihak Pemberi Tugas.
Dari hasil Survey dan analisa yang dilakukan, antara lain dapat
ditentukan elevasi jembatan dan bangunan pengaman terhadap
gerusan, tumbukan air dan debris.

Survey Lalu Lintas


Survey lapangan juga akan dilakukan adalah survey lalu lintas yang
selanjutnya akan diuraikan sebagai berikut :
a.

Tujuan
Survey lalu lintas bertujuan untuk mendapatkan data lalu lintas yang
terbaru untuk keperluan perencanaan, sedangkan data lalu lintas
sebelumnya dapat diperoleh dari laporan hasil perhitungan lalu lintas
Bina Marga. Survey lalu lintas dan survey beban gander dilakukan
untuk melengkapi pekerjaan pada program khusus A1 dan A3.

b.

Lingkup Pekerjaan
Survey lalu lintas kegiatan-kegiatan meliputi :
1). Perhitungan lalu lintas pada setiap ruas jalan masing-masing
selama 16 jam atau 40 jam
2). Mengumpulkan data lalulintas terdahulu pada Dinas Bina marga
setempat, sekurang-kurangnya 5 tahun terakhir
3). Membuat analisa lalu lintas, tingkat pertumbuhan lalu lintas dan
proyeksinya untuk 10 tahun mendatang.

6.7. TAHAP ANALISA DATA DAN PERENCANAAN DESAIN


Setelah keseluruhan data terkumpul, maka pekerjaan tahap berikutnya adalah
menganalisa seluruh data survey untuk kemudian dielaborasi guna menyusunan
perencanaan desain jembatan, yang selengkapnya diuraikan berikut ini :

Bab VI - 15

Dokumen Usulan Teknik

6.7.1. Perencanaan Jalan


A. Perencanaan Geometrik Jalan Raya
a. Standarat Perencanaan
Standar perencanaan adalah ketentuan yang memberikan batasanbatasan dan metode perhitungan agar dihasilkan produk yang
memenuhi persyaratan. Standar perencanaan geometrik untuk ruas
jalan di Indonesia biasanya menggunakan . peraturan resmi yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga tentang perencanaan
geometrik jalan raya. Peraturan yang dipakai dalam studi ini adalah
Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga dengan terbitan
resmi No. 038 T/BM/1997 dan American Association of State
Highway and Transportation Officials. 2001 (AASHTO 2001)
b. Kendaraan Rencana
Kendaraan Rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius
putarnya dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Dilihat
dari bentuk, ukuran dan daya dari kendaraan kendaraan yang
menggunakan jalan, kendaraan - kendaraan tersebut dapat
dikelompokkan (Bina Marga, 1997).
Kendaraan yang akan digunakan sebagai dasar perencanaan geometrik
disesuaikan dengan fungsi jalan dan jenis kendaraan yang dominan
menggunakan jalan tersebut. Pertimbangan biaya juga tentu ikut
menentukan kendaraan yang dipilih sebagai perencanaan
Kendaraan Rencana dikelompokkan ke dalam 3 kategori antara lain:
1) Kendaraan Kecil, diwakili oleh mobil penumpang.
2) Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus
besar 2 as.
3) Kendaraan Besar, diwakili oleh truk semi-trailer.
c.

Volume Lalu Lintas Rencana


Volume lalu lintas menunjukkan jumlah kendaraan yang melintasi
satu titik pengamatan dalam satu satuan waktu (hari, jam, menit).
Volume lalu lintas yang tinggi membutuhkan lebar perkerasan jalan
lebih besar sehingga tercipta kenyamanan dan keamanan dalam
berlalu lintas. Sebaliknya jalan yang terlalu lebar untuk volume lalu
lintas rendah cenderung membahayakan karena pengemudi cenderung
mengemudikan kendaraannya pada kecepatan yang lebih tinggi
sedangkan kondisi jalan belum tentu memungkinkan. Disamping itu
juga mengakibatkan peningkatan biaya pembangunan jalan yang tidak
pada tempatnya/ tidak ekonomis (Sukirman, 1994).
Satuan volume lalu lintas yang umum dipergunakan sehubungan
dengan penentuan jumlah dan lebar jalur adalah:

Bab VI - 16

Dokumen Usulan Teknik

1. Lalu lintas harian rata-rata


Lalu lintas harian rata-rata adalah volume lalu lintas rata-rata
dalam satu hari (Sukirman,1994). Cara memperoleh data tersebut
dikenal dua jenis lalu lintas harian rata-rata, yaitu lalu lintas
harian rata-rata tahunan (LHRT) dan lalu lintas harian rata-rata.
LHRT adalah jumlah lalu lintas kendaraan rata-rata yang
melewati satu jalur jalan selama 24 jam dan diperoleh dari data
selama satu tahunan penuh

Sedangkan LHR adalah hasil bagi jumlah kendaraan yang


diperoleh selama pengamatan dengan lamanya pengamatan,

Data LHR ini cukup teliti jika :


1) Pengamatan dilakukan pada interval-interval waktu yang
cukup menggambarkan fluktuasi arus lalu lintas selama satu
tahun.
2) Hasil LHR yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari
perhitungan LHR beberapa kali
d. Volume Jam Perencanaan (VJR)
Volume jam perencanaan (VJR) adalah volume lalu lintas per jam
yang dipergunakan sebagai dasar perencanaan (Sony Sulaksono,
2001). Volume ini harus mencerminkan keadaan lalu lintas
sebenarnya tetapi biasanya tidak sama dengan volume terbesar atau
arus tersibuk yang akan melewatinya, perencanaan berdasarkan
volume terbesar ini akan mengahasilkan konstruksi yang boros yang
hanya akan berguna pada arus maksimum dan ini terjadi dalam kurun
waktu singkat dalam sehari.
Volume lalu lintas untuk perencanaan geometrik umumnya ditetapkan
dalam Satuan Mobil Penumpang (SMP) sehingga masing masing
jenis kendaraan yang diperkirakan yang akan melewati jalan rencana
harus dikonversikan kedalam satuan tersebut dengan dikalikan nilai
ekivalensi mobil penumpang (emp). Besarnya faktor ekivalensi
tersebut, dalam perencanaan geometrik jalan antar kota ditentukan
pada tabel di bawah ini:

Bab VI - 17

Dokumen Usulan Teknik

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997

Besarnya volume jam perencanaan ditentukan dengan persamaan:

Dimana :
VJR
=
VLRH =
K
=
F

Volume Jam Perencanaan (smp/jam)


Volume Lintas Harian Rata rata Tahunan (smp/jam)
Faktor K, faktor volume lalu lintas jam tersibuk dalam
setahun
Faktor variasi volume lalu lintas dalam satu jam
tersibuk (Peak Hour Faktor / PHF)

Faktor K dan F untuk jalan perkotaan biasanya mengambil nilai 0,1


dan 0,9 sedangkan untuk jalan antar kota disesuaikan dengan besarnya
VLHR seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel 6.1. Penentuan faktor-K dan faktor-F berdasarkan Volume
Lalu Lintas Harian Rata-rata

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.

Bab VI - 18

Dokumen Usulan Teknik

e.

Kecepatan Rencana
Volume jam perencanaan (VJR) adalah volume lalu lintas per jam
yang dipergunakan sebagai dasar perencanaan (Sony Sulaksono,
2001). Volume ini harus mencerminkan keadaan lalu lintas
sebenarnya tetapi biasanya tidak sama dengan volume terbesar atau
arus tersibuk yang akan melewatinya, perencanaan berdasarkan
volume terbesar ini akan mengahasilkan konstruksi yang boros yang
hanya akan berguna pada arus maksimum dan ini terjadi dalam kurun
waktu singkat dalam sehari.
Volume lalu lintas untuk perencanaan geometrik umumnya ditetapkan
dalam Satuan Mobil Penumpang (SMP) sehingga masing masing
jenis kendaraan yang diperkirakan yang akan melewati jalan rencana
harus dikonversikan kedalam satuan tersebut dengan dikalikan nilai
ekivalensi mobil penumpang (emp). Besarnya faktor ekivalensi
tersebut, dalam perencanaan geometrik jalan antar kota ditentukan
pada tabel di bawah ini:
Tabel 6.2. Ekivalen Mobil Penumpang (emp)

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997

Besarnya volume jam perencanaan ditentukan dengan persamaan:

Dimana :
VJR
=
VLRH =
K
=
F

Volume Jam Perencanaan (smp/jam)


Volume Lintas Harian Rata rata Tahunan (smp/jam)
Faktor K, faktor volume lalu lintas jam tersibuk dalam
setahun
Faktor variasi volume lalu lintas dalam satu jam
tersibuk (Peak Hour Faktor / PHF)

Bab VI - 19

Dokumen Usulan Teknik

Faktor K dan F untuk jalan perkotaan biasanya mengambil nilai 0,1


dan 0,9 sedangkan untuk jalan antar kota disesuaikan dengan
besarnya VLHR seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel 6.3. Penentuan faktor-K dan faktor-F berdasarkan Volume
Lalu Lintas Harian Rata-rata

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997

f.

Kecepatan Rencana
Kecepatan adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh
kendaraan dibagi waktu tempuh, biasanya dinyatakan dalam km/jam.
Kecepatan Rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan
perencanaan setiap bagian jalan raya seperti tikungan, kemiringan
jalan, jarak pandang dan lain- lain (Sukirman, 1994).
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kecepatan rencana adalah
keadaan terrain apakah datar, berbukit atau gunung. Untuk
menghemat biaya tentu saja perencanaan jalan sepantasnya
disesuaikan dengan keadaan medan. Suatu jalan yang ada di daerah
datar tentu saja memiliki design speed yang lebih tinggi dibandingkan
pada daerah pegunungan atau daerah perbukitan.
Adapun faktor - faktor yang mempengaruhi kecepatan rencana antara
lain:
a) Topografi ( Medan )
Untuk perencanaan geometrik jalan raya, keadaan medan
memberikan batasan kecepatan terhadap kecepatan rencana sesuai
dengan medan perencanaan ( datar, berbukit, dan gunung ).
b) Sifat dan tingkat penggunaan daerah
Kecepatan rencana untuk jalan - jalan arteri lebih tinggi
dibandingkan jalan kolektor.Untuk kondisi medan yang sulit,
kecepatan rencana suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan

Bab VI - 20

Dokumen Usulan Teknik

syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam (Bina


marga 1997).
Tabel 6.4. Kecepatan Rencana, VR, Sesuai Klasifikasi Fungsi dan
Kiasifikasi Medan Jalan

B. Elemen Perencanaan Geometrik Jalan


a. Penampang Melintang Jalan
Penampang melintang jalan adalah potongan suatu jalan secara
melintang tegak lurus sumbu jalan (Sukirman, 1994). Bagian-bagian
penampang melintang jalan yang terpenting dapat dibagi menjadi :
1. Jalur lalu lintas
2. Lajur
3. Bahu jalan
4. Selokan
5. Median
6. Fasilitas pejalan kaki
7. Lereng
Bagian-bagian penampang melintang jalan ini dan kedudukannya
pada penampang melintang terlihat seperti pada gambar 6.1

Gambar 6.1 Penampang Melintang Jalan


Bab VI - 21

Dokumen Usulan Teknik

a) DAMAJA (Daerah Manfaat Jalan)


DAMAJA (Daerah Manfaat Jalan) adalah daerah yang dibatasi
oleh batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua sisi
jalan, tinggi 5 meter di atas permukaan perkerasan pada sumbu
jalan, dan kedalaman ruang bebas 1,5 meter di bawah muka
jalan.
b) DAMIJA (Daerah Milik Jalan)
DAMIJA (Daerah Milik Jalan) adalah daerah yang dibatasi oleh
lebar yang sama dengan Damaja ditambah ambang pengaman
konstruksi jalan dengan tinggi 5 meter dan kedalaman 1.5 meter.
c) DAWASJA (Ruang Daerah Pengawasan Jalan)
DAWASJA (Ruang Daerah Pengawasan Jalan) adalah ruang
sepanjang jalan di luar DAMAJA yang dibatasi oleh tinggi dan
lebar tertentu, diukur dari sumbu jalan sebagai berikut:
Jalan arteri minimum 20 meter
Jalan kolektor minimum 15 meter
Jalan lokal minimum 10 meter
Untuk keselamatan pemakai jalan, DAWASJA di daerah
tikungan ditentukan oleh jarak pandang bebas

Gambar 6.2 Penampang Melintang Jalan Dengan Median

Gambar 6.3. Penampang Melintang Jalan Tanpa Median

Bab VI - 22

Dokumen Usulan Teknik

Jalur Lalu Lintas


Jalur lalu lintas adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan
yang diperuntukan untuk lalu lintas kendaraan (Sukirman
,1994).
Lebar jalur lalu lintas (travelled way = carriage way) adalah
saluran perkerasan jalan yang digunakan untuk lalu lintas
kendaraan yang terdiri dari beberapa jalur yaitu jalur lalu
lintas yang khusus diperuntukkan untuk di lewati oleh
kendaraan dalam satu arah. Pada jalur lalu lintas di jalan
lurus dibuat miring, hal ini diperuntukkan terutama untuk
kebutuhan drainase jalan dimana air yang jatuh di atas
permukaan jalan akan cepat mengalir ke saluran-saluran
pembuangan. Selain itu, kegunaan kemiringan melintang
jalur lalu lintas adalah untuk kebutuhan keseimbangan gaya
sentrifugal yang bekerja terutama pada tikungan
Batas jalur lalu lintas dapat berupa median, bahu, trotoar,
pulau jalan, dan Separator.
Jalur lalu lintas dapat terdiri atas beberapa lajur dengan type
anatara lain
- 1 jalur-2 lajur-2 arah (2/2 TB)
- 1 jalur-2 lajur-l arah (2/1 TB)
- 2 jalur-4 1ajur-2 arah (4/2 B)
- 2 jalur-n lajur-2 arah (n/2 B)
Keterangan:
TB = tidak terbagi
B
= terbagi

Gambar 6.4 Jalan 1 Jalur-2 Lajur-2 Arah (2/2 TB)

Bab VI - 23

Dokumen Usulan Teknik

Gambar 6.5 Jalan 1 Jalur-2 Lajur-l Arah (2/1 TB)

Gambar 6.6 Jalan 2 Jalur-4 Lajur-2 Arah (4/2 B)

Bab VI - 24

Dokumen Usulan Teknik

Tabel 6.5. Penentuan Lebar Jalur dan Bahu jalan

Lajur
Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang,
dibatasi oleh marka lajur jalan, memiliki lebar yang cukup
untuk dilewati suatu kendaraan bermotor sesuai kendaraan
rencana. Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan
kendaraan rencana (Jotin Khisty, 2003).
Lebar Lajur Lalu Lintas
Lebar lajur lalu lintas merupakan bagian yang paling
menentukan lebar melintang jalan secara keseluruhan
(Sukirman, 1994). Besarnya lebar lajur lalu lintas hanya
dapat ditentukan dengan pengamatan langsung dilapangan
karena :
a. Lintasan kendaraan yang satu tidak mungkin akan
dapat diikuti oleh lintasan kendaraan lain dengan tepat.
b. Lajur lalu lintas mungkin tepat sama degan lebar
kendaraan maksimum. Untuk keamanan dan
kenyamanan setiap pengemudi membutuhkan ruang
gerak antara kendaraan.

Bab VI - 25

Dokumen Usulan Teknik

c.

Lintasan kendaraan tidak mengkin dibuat tetap sejajar


sumbu lajur lalu lintas, karena selama bergerak akan
mengalami gaya gaya samping seperti tidak ratanya
permukaan, gaya sentritugal ditikungan, dan gaya angin
akibat kendaraan lain yang menyiap
Lebar lajur lalu lintas merupakan lebar kendaraan ditambah
dengan ruang bebas antara kendaraan yang besarnya sangat
ditentukan oleh keamanan dan kenyamanan yang diharapkan.
Pada jalan lokal (kecepatan rendah) lebar jalan minimum
5,50 m (2 x 2,75) cukup memadai untuk jalan 2 jalur dengan
2 arah Dengan pertimbangan biaya yang tersedia, lebar 5 m
pun masih diperkenankan.Jalan arteri yang direncanakan
untuk kecepatan tinggi, mempunyai lebar lajur lalu lintas
lebih besar dari 3,25 m sebaiknya 3,50 m.
Tabel 6.6. Penentuan Lebar Jalur dan Bahu jalan

Jumlah Lajur Lalu Lintas


Banyak lajur yang dibutuhkan sangat tergantung dari volume
lalu lintas yang akan memakai jalan tersebut dan tingkat
pelayanan jalan yang diharapkan.Empat lajur untuk satu arah
untuk pada jalan tunggal adalah patokan maksimum yang
diterima secara umum.Tetapi AASHTO 2001 memberikan
sebuah kemungkinan terdapatnya 16 lajur pada jalan 2 arah
terpisah.Kemiringan melintang jalur lalu lintas jalan lurus
diperuntukkan untuk kebutuhan drainase jalan (Jotin Khisty,
2003). Air yang jatuh di atas permukaan jalan supaya cepat
dialirkan ke saluran saluran pembuangan. Kemiringan
melintang jalan normal dapat dilihat pada gambar di bawah
ini:

Gambar 6.7 Kemiringan melintang jalan normal


Bab VI - 26

Dokumen Usulan Teknik

Bahu Jalan
Bahu jalan atau tepian jalan adalah bagian jalan yang terletak
di antara tepi jalan lalu lintas dengan tepi saluran, parit, kreb
atau lereng tepi (Clarkson H.Oglesby,1999). AASHTO
menetapkan agar bahu jalan yang dapat digunakan harus
dilapisi perkerasan atau permukaan lainyang cukup kuat
untuk dilalui kendaraan dan menyarankan bahwa apabila
jalur jalan dan bahu jalan dilapisi dengan bahan aspal, warna
dan teksturnya harus dibedakan Bahu jalan berfungsi
sebagai:
1. Tempat berhenti sementara kendaraan
2. Menghindarkan diri dari saat-saat darurat sehingga
dapat mencegah terjadinya kecelakaan
3. Memberikan sokongan pada konstruksi perkerasan
jalan dari arah samping agar tidak mudah terkikis
4. Ruang pembantu pada waktu mengadakan pekerjaan
parbaikan atau pemeliharaan jalan (Bina Marga, 1997).
Jenis Bahu Jalan
Berdasarkan tipe perkerasannya, bahu jalan dapat dibedakan
atas :
a. Bahu yang tidak diperkeras, yaitu bahu yang hanya
dibuat dari material perkerasan jalan tanpa bahan
pengikat, bahu ini dipergunakan untuk daerah daerah
yang tidak begitu penting, dimana kendaraan yang
berhenti dan mempergunakan bahu tidak begitu banyak
jumlahnya.
b. Bahu yang diperkeras, yaitu bahu yang dibuat dengan
mempergunakan bahan pengikat sehingga lapisan
tersebut lebih kedap air dari pada bahu yang tidak
diperkeras. Bahu dipergunakan untuk jalan jalan
dimana kendaraan yang akan berhenti dan memakai
bagian tersebut besar jumlahnya
Lebar Bahu Jalan
Besarnya lebar bahu jalan dipengaruhi oleh :
a. Fungsi jalan; jalan arteri direncanakan untuk kecepatan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan jalan lokal.
Dengan demikian jalan arteri membutuhkan kebebasan
samping, keamanan, dan kenyamanan yang lebih besar,
atau menuntut lebar bahu yang lebih besar dari jalan
lokal.

Bab VI - 27

Dokumen Usulan Teknik

b. Volume lalu lintas; volume lalu lintas yang tinggi


membutuhkan lebar bahu yang lebih besar
dibandingkan dengan volume lalu lintas yang lebih
rendah.
c. Kegiatan disekitar jalan.; Jalan yang melintasi daerah
perkotaan, pasar, sekolah, membutuhkan lebat bahu
jalan yang lebih besar dari pada jalan yang melintasi
daerah rural.
d. Ada atau tidaknya trotoar
e. Biaya yang tersedia; sehubungan dengan biaya
pembebasan tanah, dan biaya untuk konstruksi (Jotin
Kisty, 2003).
Lereng Melintang Bahu Jalan
Fungsi lereng melintang perkerasan jalan untuk mengalirkan
air hujan sangat ditentukan oleh kemiringan melintang bagian
samping jalur perkerasan itu sediri, yaitu kemiringan
melintang bahu jalan (Sukirman, 1994). Kemiringan
melintang bahu yang tidak baik ditambah pula dengan bahu
dari jenis tidak diperkeras akan menyebabkan turunnya daya
dukung lapisan perkerasan, lepasnya ikatan antara agregat
dan aspal yang akhirnya dapat memperpendek umur
pelayanan jalan. Untuk itu, haruslah dibuat kemiringan bahu
jalan yang sebesar besarnya tetapi aman dan nyaman bagi
pengemudi kendaraan. Kemiringan melintang jalur
perkerasan jalan, yang dapat bervariasi sampai 6 %
tergantung dari jenis permukaan bahu, intensitas hujan, dan
kemungkinan penggunaan bahu jalan. Kemiringan bahu jalan
normal antara 3 - 5%. dengan ketentuan seperti gambar di
bawah ini

Gambar 6.8 Bahu Jalan

Gambar 6.9 Kombinasi Bahu Dengan Trotoar

Bab VI - 28

Dokumen Usulan Teknik

Median
Median adalah bagian bangunan jalan yang secara fisik
memisahkan dua jalur lalu lintas yang berlawanan arah
(Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, 2004).
Fungsi median adalah untuk:
a) Memisahkan dua aliran lalu lintas yang berlawanan
arah
b) Ruang lapak tunggu penyeberang jalan
c) Penempatan fasilitas jalan
d) Tempat prasarana kerja sementara
e) Penghijauan
f) Tempat berhenti darurat (jika cukup luas)
g) Cadangan lajur (jika cukup luas)
h) Mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan dari arah
yang berlawanan
Median dapat dibedakan atas :
a) Median direndahkan, terdiri atas jalur tepian dan
bangunan pemisah jalur yang direndahkan.
b) Median ditinggikan, terdiri atas jalur tepian dan
bangunan pemisah jalur yang ditinggikan.
Lebar minimum median terdiri atas jalur tepian selebar 0,250,50 meter dan bangunan
pemisah jalur, ditetapkan dapat dilihat dalam tabel di bawah
ini.
Tabel 6.7. Lebar Minimum Median

Bab VI - 29

Dokumen Usulan Teknik

Gambar 6.10 Median Direndahkan

Gambar 6.11 Median Ditinggikan


Fasilitas Pejalan Kaki
Pejalan kaki adalah istilah dalam transportasi yang digunakan
untuk menjelaskan orang yang berjalan di lintasan pejalan
kaki baik dipinggir jalan, trotoar, lintasan khusus bagi pejalan
kaki ataupun menyeberang jalan. Untuk melindungi pejalan
kaki dalam berlalu lintas, pejalan kaki wajib berjalan pada
bagian jalan dan menyeberang pada tempat penyeberangan
yang telah disediakan bagi pejalan kaki.
Fasilitas pejalan kaki berfungsi memisahkan pejalan kaki dari
jalur lalu lintas kendaraan guna menjamin keselamatan
pejalan kaki dan kelancaran lalu lintas.Perlengkapan bagi
para pejalan kaki sebagaimana pada kendaraan bermotor
sangat penting terutama di daerah perkotaan dan untuk jalan
masuk ke atau keluar dari tempat tinggal (Clarkson
H.Oglesby,1999).

Bab VI - 30

Dokumen Usulan Teknik

b. Segmen/ Ruas Jalan


1) Panjang Bagian Lurus
Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan,
ditinjau dari segi kelelahan pengemudi, maka panjang
maksimum bagian jalan yang lurus harus ditempuh dalam waktu
tidak lebih dari 2,5 menit sesuai dengan tabel di bawah ini:
Tabel 6.8. Lebar Minimum Median

2) Jarak Pandang
Jarak pandang adalah jarak dimana pengemudi dapat melihat
benda yang menghalanginya, baik yang bergerak maupun yang
tidak bergerak dalam batas mana pengemudi dapat melihat dan
menguasai kendaraan pada satu jalur lalu lintas. Jarak pandang
bebas ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : jarak pandang
henti dan jarak pandang mendahului (Sony Sulaksono, 2001).
Jarak Pandang Henti ( JPH )
Jarak pandang henti (JPH) adalah jarak yang diperlukan
untuk menghentikan kendaraan bila ada suatu halangan di
tengah jalan (Sony Sulaksono, 2001).
Tabel 6.9. Lebar Minimum Median

Jarak Pandang Mendahului (JPM)


Jarak pandang mendahului (JPM) adalah jarak yang
memungkinkan suatu kendaraan mendahului kendaraan
lain di depannya dengan aman sampai kendaraan tersebut
kembali ke lajur semula (Bina Marga,1997).

Bab VI - 31

Dokumen Usulan Teknik

Tabel 6.10. Persyaratan Jarak Pandangan Mendahului

Daerah Bebas Samping di Tikungan


Pada saat mengemudikan kendaraan pada kecepatan
tertentu, ketersediaan jarak pandang yang baik sangat
dibutuhkan apalagi sewaktu kendaraan menikung atau
berbelok. Keadaan ini seringkali terganggu oleh gedunggedung (perumahan penduduk), pepohonan, hutan-hutan
kayu maupun perkebunan, tebing galian dan lain
sebagainya.Oleh karena itu perlu adanya daerah bebas
samping di tikungan untuk menjaga keamanan pemakai
jalan (Jotin Khisty,2003).
Daerah bebas samping di tikungan adalah ruang untuk
menjamin kebebasan pandang di tikungan sehingga jarak
pandangan henti (Jh) dipenuhi. Daerah bebas samping
dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pandangan di
tikungan dengan membebaskan objek-objek penghalang
sejauh E (m) diukur dari garis tengah lajur dalam sampai
objek penghalang pandangan sehingga persyaratan Jh
dipenuhi ( Bina Marga 1997).
Jarak ini diperlukan untuk memenuhi syarat jarak pandang
yang besarnya tergantung jari-jari (R), kecepatam rencana
(V) dan keadaan lapangan. Terdapat dua kemungkinan
keadaan, yaitu :
a) Jarak Pandang < Panjang Tikungan (Jh < Lt)

Dimana :
R = Jari jari tikungan (m)
Jh = Jarak pandang henti (m)
Lt = Panjang tikungan (m)

Bab VI - 32

Dokumen Usulan Teknik

Gambar 6.12. Jarak Pandang < Panjang Tikungan


(Jh < Lt)
Grafik 2.1 Jarak Penghalang (E), Dari Sumbu
Lajur Sebelah Dalam

Bab VI - 33

Dokumen Usulan Teknik

Tabel 6.11 berisi nilai E (m) untuk Jh<Lt, VR


(km/jam) dan Jh (m)

b) Jarak Pandang > Panjang Tikungan (Jh > Lt)

Dimana :
R = Jari jari tikungan (m)
Jh = Jarak pandang henti (m)
Lt = Panjang tikungan (m)

Gambar 6.13. Jarak Pandang > Panjang Tikungan


(Jh > Lt)
Bab VI - 34

Dokumen Usulan Teknik

Tabel 6.12 Berisi Nilai E (m) Untuk Jh>Lt, VR


(km/jam) dan Jh (m)

Tabel 6.13 Berisi nilai E (m) Untuk Jh>L, VR


(km/jam) dan Jh (m), Dimana Jh - Lt = 50 m

Bab VI - 35

Dokumen Usulan Teknik

C. Persyaratan Alinemen
a. Alinemen Vertikal
Alinemen vertikal adalah proyeksi dari sumbu jalan pada suatu bidang
vertikal yang melalui sumbu jalan tersebut.Alinemen vertikal terdiri
atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung vertikal (Sukirman,
1994). Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat
berupa landai positif (tanjakan), atau landai negatif (turunan), atau
landai nol (datar).
Landai Maksimum
Landai Maksimum adalah landai vertikal maksimum dimana truk
dengan muatan penuh masih mampu bergerak dengan penurunan
kecepatan tidak lebih dari setengah kecepatan awal tanpa
penurunan gigi rendah (Sony Sulaksono, 2001) seperti pada tabel
di bawah ini:
Tabel 6.14 Kelandaian maksimum yang diizinkan

Panjang Kritis
Panjang kritis adalah panjang landai maksimum yang harus
disediakan agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya
sedemikian rupa sehingga penurunan kecepatan tidak lebih dari
kecepatan rencana (Sony Sulaksono, 2001).Lama perjalanan
tersebut tidak boleh lebih dari satu menit
Tabel 6.15 Kelandaian maksimum yang diizinkan

Lengkung Vertikal
Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang
mengalami perubahan kelandaian dengan tujuan mengurangi
goncangan akibat perubahan kelandaian dan menyediakan jarak
pandang henti. Lengkung vertikal terdiri atas lengkung vertikal
cembung dan lengkung vertikal cekung (Sony Sulaksono, 2001).

Bab VI - 36

Dokumen Usulan Teknik

Panjang lengkung vertikal (LV) ditentukan dengan rumus sebagai


berikut:
a) Jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung
vertikal cembung.

b) Jika jarak pandang henti lebih bear dari panjang lengkung


vertikal cekung

Panjang minimum lengkung vertikal dapat ditentukan dengan


rumus :

Dimana:
LV =
A =
S =
Y =

Panjang lengkung vertikal (m)


Perbedaan grade (m)
arak pandang henti (m)
Faktor penampilan kenyamanan, didasarkan pada
tinggi obyek 10 cm
dan tinggi mata 120 cm.Nilai Y ini dapat diperoleh sesuai
tabel berikut:
Tabel 6.16 Penentuan Faktor Penampilan Kenyamanan, Y

Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai tabel


berikut didasarkan pada penampilan,kenyamanan dan jarak
pandang.

Bab VI - 37

Dokumen Usulan Teknik

Tabel 6.17 Panjang Minimum Lengkung Vertikal

b. Alinemen Horizontal
Alinemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang
horizontal. Alinemen horizontal dikenal juga dengan nama situasi
jalan atau trase jalan, yang terdiri dari garis-garis lurus yang
dihubungkan dengan garis-garis lengkung. Garis lengkung tersebut
dapat terdiri dari busur lingkaran ditambah busur peralihan, busur
peralihan saja atau busur lingkaran saja (Sukirman, 1994). Alinemen
horizontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung (disebut juga
tikungan). Perencanaan geometrik pada bagian lengkung dimaksudkan
untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan
yang berjalan pada kecepatan VR.
Jari - Jari Tikungan
Jari-jari tikungan adalah nilai yang membatasi besar
kelengkungan untuk kecepatan rencana tertentu dan ditentukan
dari besar superelevasi maksimum dan faktor gesekan samping
maksimum yanag dipilih untuk desain ( AASHTO 2001).
Bagian yang sangat kritis pada alinemen horizontal adalah bagian
tikungan karena terdapat gaya yang akan melemparkan kendaraan
keluar dari tikungan (gaya sentrifugal), hal tersebut harus
diimbangi oleh komponen berat kendaraan yang diakibatkan oleh
superelevasi dari jalan dan oleh gesekan samping (side friction)
antara ban dan permukaan jalan. Hubungan antara kecepatan (V),
jari-jari tikungan (R), kemiringan melintang/ superelevasi (e) dan
gaya gesek samping antara ban dan permukaan jalan (f) didapat
dari hukum mekanika F = m.a (Hukum Newton II).Gaya
sentrifugal saat kendaraan bergerak di tikungan dengan
persamaan

Dimana
G = berat kendaraan dan
g = percepatan gravitasi.
Bab VI - 38

Dokumen Usulan Teknik

Dalam hal ini terdapat tiga keadaan keseimbangan, yaitu:


1) Stadium I : Gaya sentrifugal diimbangi gesekan ban Vs
perkerasan.

Gambar 6.14 Gaya Sentrifugal Diimbangi Gesekan Ban Vs Perkerasan

Penurunan Rumus :
K = F max
FL + FR = K
( NR + NL ) f = m . a

Bab VI - 39

Dokumen Usulan Teknik

R dalam satuan meter maka:

2) Stadium II : Gaya sentrifugal diimbangi hanya dengan


kemiringan melintang jalan

Gambar 6.15 Gaya Sentrifugal Diimbangi Hanya Dengan Kemiringan


Melintang Jalan
Penurunan Rumus:
F max = K
G sin = K cos
G sin = m. a cos

Bab VI - 40

Dokumen Usulan Teknik

3) Stadium III : Gaya sentrifugal diimbangi dengan gaya gesek


dan kemiringan melintang jalan

Gambar 6.16 Gaya Sentrifugal Diimbangi Dengan Gaya Gesek Dan


Kemiringan Melintang Jalan
Penurunan Rumus:
F max = K
( FL + FR ) + G sin = K cos
Bab VI - 41

Dokumen Usulan Teknik


( NL + NR ) f + G sin = K cos
G cos . f + G sin = m . g cos

Dari ketiga keseimbangan di atas diperoleh kesimpulan


yaitu:
Pada stadium I : Rmin

Pada stadium II : Rmin

Pada stadium III : Rmin

Rumus dasar dari kendaraan yang melintasai tikungan


menurut bina marga adalah sbb:

Dengan :
e = Superelevasi

Bab VI - 42

Dokumen Usulan Teknik

f = Faktor gesekan samping


V = Kecepatan rencana (km/jam)
R = Jari-jari tikungan (m )
Grafik 6.2 Koefisien Gesekan Melintang Maksimum
Untuk Desain

Tabel 6.18 Rekomendasi AASHTO Untuk Koefisien


Gesekan Samping

AASHTO 2001 memberikan rumusan untuk batasan basar


jari jari minimum tersebut yaitu:

Dengan :
e = superelevasi

Bab VI - 43

Dokumen Usulan Teknik

f = faktor gesekan samping


V = kecepatan rencana (km/jam)
R = jari-jari tikungan (m)
Tabel 6.19 Panjang Jari-jari Minimum

Tabel 6.20 Jari-Jari Minimum Untuk Jalan Luar Kota,


Jalan Tol, Jalan Perkotaan Berdasarkan Nilai e dan f

Bab VI - 44

Dokumen Usulan Teknik

Menentukan Bentuk Tikungan


Berdasarkan jari-jari tikungan, maka tikungan atau disebut juga
lengkung horizontal dapat dibagi dalam 3 (tiga) bentuk yaitu:
1) Bentuk Tikungan Full Circle (FC)
Bentuk tikungan full circle disebut juga bentuk busur
lingkaran sederhana. Bentuk ini dipergunakan hanya pada
lengkung yang mempunyai radius besar dan besar sudut
tangent yang kecil. Adapun lengkung tikungan full circl
seperti gambar 6.17 dibawah ini. Di Indonesia penggunaan
bentuk full circle mempunyai batasan-batasan tertentu seperti
pada tabel 6.23 di bawah ini

Gambar 6.17 Lengkung Busur Lingkaran Sederhana


(Full Circle)
Tabel 6.21 Batasan-Batasan Dalam Bentuk Full Circle

Untuk tikungan yang jari-jarinya lebih kecil daripada hargaharga di atas bentuk tikungan harus dipakai spiral - circle
spiral atau spiral spiral.
Rumus-rumus untuk full circle menentukan T,L dan E adalah
sebagai berikut:

Sehingga diperoleh:

Bab VI - 45

Dokumen Usulan Teknik

Dengan:
P.I =
V =
R =
=
TC =
CT =
T =
L =
E =

Point of intersection
Kecepatan rencana (km/jam)
Jari-jari (m)
Sudut tangent (derajat)
Tangent circle
Circle tangent
Jarak antara TC dan PI (m)
Panjang bagian tikungan (m)
Jarak PI ke bentuk lengkung (m)

2) Bentuk Tikungan Spiral - Circle - Spiral (S-C-S)


Ketika kendraan memasuki atau meninggalkan lengkungan
horizontal melingkar, maka penambahan atau pengurangan
gaya sentrifugal tidak dapat tercapai langsung karena faktor
keselamatan dan kenyamanan.Dalam hal ini menyisipkan
lengkungan transisi antara tangen dan lengkungan melingkar
memerlukan pertimbangan (Jotin Khisty,2003).Lengkungan
transisi yang dirancang dengan baik mempunyai keuntungan
antara lain:
- Sebuah rute alamiah dan mudah diikuti oleh pengemudi
sehingga gaya
- sentrifugal meningkat atau berkurang secara bertahap
seiiring kendaraan
- memasuki dan meninggalkan lengkungan melingkar.
- Superelevasi dapat diatur sesuai keinginan dan lebih
mudah.
- Fleksibilitas dalam pelebaran lengkungan tajam.
- Tampilan jalan raya yang lebih baik.

Bab VI - 46

Dokumen Usulan Teknik

Lengkungan spiral merupakan peralihan dari bagian lurus ke


bagian circle. Panjang lengkung peralihan (spiral)
diperhitungkan dengan mempertimbangkan bahwa perubahan
gaya sentripugal dari nol (pada bagian lurus) sampai sebesar :

Menurut Bina Marga 1997 lengkungan spiral dapat


ditentukan dengan 3 rumus:
1. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal
2. Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung
peralihan
3. Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian
Bentuk tikungan Spiral - Circle - Spiral (S-C-S) dapat dilihat
pada gambar di bawah ini:

Gambar 6.18. Bentuk Tikungan Spiral - Circle Spiral (


SCS)
Jari-jari circle yang diambil harus sesuai dengan kecepatan
rencana yang ditentukan serta tidak mengakibatkan adanya
kemiringan tikungan yang melebihi harga maksimum.
Kemiringan tikungan maksimum menurut bina marga
dibedakan menjadi 2 (dua) bagian yaitu:
1. Untuk jalan antar kota, kemiringan tikungan
maksimumnya 10 %
2. Untuk jalan kota, kemiringan tikungan maksimumnya 8 %

Bab VI - 47

Dokumen Usulan Teknik


3) Bentuk Tikungan Spiral Spiral ( S-S)
Bentuk tikungan spiral-spiral disebut juga lengkung
horizontal berbentuk spiral adalah lengkung busur lingkaran
(circle) sehingga titik SC berimpit dengan. Titik CS. Panjang
besar lingkaran Lc = 0, dan = yang dipilih harus
sesuai sehingga Ls yang dibutuhkan lebih besar dari Ls yang
dihasilkan landai relatif minimum yang diisyaratkan

Gambar 6.19 Lengkung Spiral Spiral ( S-S)

Superelevasi
Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang
berfungsim untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima
kendaraan pada saat berjalan melalui tikungan pada kecepatan
rencana (Clarkson H.Oglesby,1999).
Diagram superelevasi adalah suatu diagram yang dimaksudkan
sebagai cara untuk menggambarkan pencapaian kemiringan
melintang penuh (superelevasi).
Superelevasi maksimum yanag digunakan pada jalan raya
dipengaruhi oleh empat faktor antara lain : kondisi iklim (yaitu:
frekuensi dan jumlah salju dan es), kondisi medan (misalnya :
datar, bukit, atau pegunungan),jenis wilayah (yaitu:pedesaan atau
Perkotaan), dan frekuensi kendaraan yang bergerak sangat lambat
(AASHTO 2001).
Pada diagram superelevasi dapat kita bedakan antara diagram
kemiringan melintang untuk jalan raya tanpa median dan jalan
raya yang median. Pada jalan raya tanpa median, perubahan profil
melintang (superelevasi) dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu :
1. Mengambil sumbu jalan sebagai sumbu putar.
2. Mengambil tepi perkerasan sebelah dalam sebagai sumbu
putar.

Bab VI - 48

Dokumen Usulan Teknik

3. Mengambil tepi perkerasan sebelah luar sebagai sumbu putar


Dari ketiga cara tersebut, yang sering dipakai di Indonesia adalah
cara pertama.

Gambar 6.20 As atau Sumbu Jalan Sebagai Sumbu Putar

Gambar 6.21 Tepi Perkerasan Sebelah Dalam Sebagai Sumbu Putar

Gambar 6.22 Tepi Perkerasan Sebelah Luar Sebagai Sumbu Putar


Untuk jalan raya dengan median (jalan raya terpisah) dalam
mencapai kemiringan tergantung dari lebar dan bentuk

Bab VI - 49

Dokumen Usulan Teknik

penampang melintang median serta dapat dilakukan dengan 3


cara yaitu :
1. Dengan mengambil sisi sisi sebelah dalam perkerasan
sebagai sebagai sumbu putar ( median tetap dibuat datar ).
2. Dengan mengambil sisi sisi sebelah luar dari jalur jalan
sebagai sumbu putar ( median ikut berputar)..
3. Dengan mengambil sumbu putar masing masing jalur
sendiri sendiri ( sumbu putar tersebut bisa as atau tepi
perkerasan tanpa memperhatikan median).
Dari ketiga cara tersebut yang sering digunakan adalah cara
ketiga.

Gambar 6.23 Mengambil Sisi Sisi Sebelah Dalam Perkerasan


Sebagai Sumbu Putar

Gambar 6.25 Mengambil Sumbu Putar Masing Masing


Jalur Sendiri Sendiri
AASHTO 2001 memberikan batasan superelevasi maksimum
pada jalan luar kota adalah 0,10.Bila kemungkinan terjadi hujan
es dan salju, harga maksimum ini berkurang menjadi 0,08. Pada
daerah perkotaan harga maksimumnya hanya 0,06 atau bahkan
Bab VI - 50

Dokumen Usulan Teknik

0,04 sedangkan bina marga memberikan batasan superelevasi


maksimum untuk jalan luar kota sebesar 10 % dan jalan kota
sebesar 8 %.
Tabel 6.22 Kemiringan Melintang Maksimum (e max)
4%

Bab VI - 51

Dokumen Usulan Teknik

Tabel 6.23 Kemiringan Melintang Maksimum (e max)


6%

Tabel 6.24 Kemiringan Melintang Maksimum (e max)


10 %

Bab VI - 52

Dokumen Usulan Teknik

Tabel 6.25 Kemiringan Melintang Maksimum (e max)


12 %

Grafik 6.3 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi


Maksimum 4 %

Bab VI - 53

Dokumen Usulan Teknik

Grafik 6.4 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi


Maksimum 6 %

Grafik 6.5 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi


Maksimum 8 %

Bab VI - 54

Dokumen Usulan Teknik

Grafik 6.6 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi Maksimum


10 %

Grafik 6.7 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi Maksimum


10 %

Pada tikungan dengan bentuk circle (full circle) perubahan


kemiringan melintang dilakukan diluar lengkung lingkaran. Di
tikungan ini kita kenal lengkung peralihan fiktif (Ls) dimana
perubahan kemiringan dilakukan sejauh 2 3 Ls dari titik awal
TC pada garis (jalan) lurus dan kemiringan melintang
maksimum dimulai

Bab VI - 55

Dokumen Usulan Teknik


sejauh 1 3 Ls dari titik awal CT ke dalam lingkaran
Gambar diagram superelevasi dari masing masing bentuk
tikungan dapat dlihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 6.26 Diagram Superelevasi Untuk Full Circle

Bab VI - 56

Dokumen Usulan Teknik

Gambar 6.27 Diagram Superelevasi Untuk Spiral Circle Spiral

Gambar 6.28 Diagram Superelevasi Untuk Spiral Spiral

Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan


Pelebaran perkerasan pada tikungan direncanakan untuk
menghindari kendaraan yang bergerak dari jalan lurus menuju ke
tikungan tidak mengalami off tracking (keluar jalur) tepatnya
lintasan roda belakang pada saat membelok (Clarkson
H.Oglesby,1999).
Pelebaran pada tikungan dimaksudkan untuk mempertahankan
konsistensi geometrik jalan agar kondisi operasional lalu lintas di
tikungan sama dengan dibagian lurus. Pada jalan dua lajur
sebaiknya terdapat pelebaran jalan,terutama pada tikungan tajam
karena hal-hal sebaga berikut:

Bab VI - 57

Dokumen Usulan Teknik

1. Kecenderungan pengemudi terlempar keluar dari tepi


perkerasan.
2. Meningkatnya lebar efektif kendaraan karena ban depan dan
belakang tidak melintasi satu garis.
3. Pertambahan lebar karena posisi kendaraan yang miring
terhadap as jalan ( Mannering, 1990).
Pelebaran jalan di tikungan menurut bina marga
mempertimbangkan
1. Kesulitan pengemudi untuk menempatkan kendaraan tetap
pada lajurnya.
2. Penambahan lebar (ruang) lajur yang dipakai saat kendaraan
melakukan gerakan melingkar. Dalam segala hal pelebaran
di tikungan harus memenuhi gerak perputaran kendaraan
rencana sedemikian sehingga proyeksi kendaraan tetap pada
lajurnya.
Tikungan Gabungan
Tikungan Gabungan adalah dua atau lebih tikungan yang
bersebelahan yang dapat dibedakan atas dua macam tikungan
sebagai berikut:
1. tikungan gabungan searah, yaitu gabungan dua atau lebih
tikungan dengan arah putaran yang sama tetapi dengan jari
jari yang berbeda.
2. tikungan gabungan balik arah, yaitu gabungan dua tikungan
dengan arah putaran yang berbeda (Bina Marga,1997).
Menurut Bina Marga, setiap tikungan gabungan balik arah harus
dilengkapi dengan bagian lurus di antara kedua tikungan tersebut
sepanjang paling tidak 30 m.
Menurut AASHTO 2001 pada tikungan gabungan untuk jalan
luar kota jari jari kelengkungan sebuah tikungan maksimal 50
% lebih besar dari tikungan berikutnya yang lebih tajam.Tetapi
lengkung gabungan dapat digunakan apabila dilengkapi dengan
lengkung spiral sehingga memungkinkan perubahan jari-jari
tikungan secara berangsur-angsur. Gambar dari tikungan
gabungan tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Bab VI - 58

Dokumen Usulan Teknik

Gambar 6.29 Tikungan Gabungan Searah

Gambar 6.30 Tikungan Gabungan Searah Dengan Sisipan


Bagian Lurus 20 m

Gambar 6.31 Tikungan Balik Arah

Bab VI - 59

Dokumen Usulan Teknik

Gambar 6.31 Tikungan Balik Arah Dengan Sisipan Bagian


Lurus 20 m

c. Koordinasi Alinemen
Alinemen vertikal, alinemen horizontal, dan potongan melintang jalan
adalah elemen elemen jalan sebagai keluaran perencanaan harus
dikoordinasikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk
jalan yang baik dalam arti memudahkan pengemudi mengemudikan
kendaraannya dengan aman dan nyaman. Bentuk kesatuan ketiga
elemen jalan tersebut diharapkan dapat memberikan kesan atau
petunjuk kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan dilalui di
depannya sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi lebih awal
Koordinasi alinemen vertikal dan alinemen horizontal harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
1. Alinemen horizontal sebaiknya berimpit dengan alinemen vertikal
dan secara ideal alinemen horizontal lebih panjang sedikit
melingkupi alinemen vertikal.
2. Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung
atau pada bagian atas lengkung vertikal cembung harus
dihindarkan.
3. Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan
panjang harus dihindarkan.
4. Dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal
harus dihindarkan.
5. Tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan
panjang harus dihindarkan (Sony Sulaksono, 2001).

Bab VI - 60

Dokumen Usulan Teknik

D. Perkerasan Jalan
a. Ruang Lingkup
Lingkup manual ini meliputi perencanaan perkerasan untuk jalan baru,
pelebaran jalan, dan rekonstruksi untuk perkerasan lentur dan
perkerasan kaku. Manual ini juga menjelaskan faktor faktor yang
perlu dipertimbangkan dalam pemilihan struktur perkerasan dan
ulasan mengenai masalah pelaksanaan
Manual ini merupakan pelengkap pedoman desain perkerasan Pd T01-2002-B dan Pd T- 14-2003, dengan penajaman pada aspek aspek
sebagai berikut:
a)
Penentuan umur rencana;
b)
Penerapan minimalisasi lifecycle cost;
c)
Pertimbangan kepraktisan pelaksanaan konstruksi;
d)
Penggunaan material yang efisien.
Penajaman pendekatan desain yang digunakan dalam melengkapi
pedoman desain perkerasan Pd T-01-2002-B dan Pd T-14-2003,
adalah pada hal hal berikut:
a)
umur rencana optimum yang ditentukan dari analisis life
cycle cost;
b)
koreksi terhadap faktor iklim yang mempengaruhi masa
pelayanan perkerasan;
c)
analisis beban sumbu secara menyeluruh;
d)
pengaruh temperatur;
e)
pengenalan struktur perkerasan cement treated base;
f)
pengenalan prosedur rinci untuk desain pondasi jalan;
g)
desain drainase;
h)
ketentuan analisis lapisan untuk Pd T-01-2002-B;
i)
penerapan pendekatan mekanistis;
j)
katalog desain.
Manual perencanaan perkerasan ini digunakan untuk menghasilkan
desain awal yang kemudian hasil tersebut diperiksa terhadap pedoman
desain perkerasan Pd T-01-2002- B,dan Software Desain Perencanaan
Jalan Perkerasan Lentur (SDPJL) untuk desain perkerasan lentur, dan
dengan Pd T-14-2003 untuk desain perkerasan kaku. Perubahan yang
dilakukan terhadap desain awal menggunakaan manual ini harus
dilakukan dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian.
b. Kebijakan Desain
Desain yang baik harus memenuhi kriteria - kriteria sebagai berikut:
Desain yang baik harus memenuhi kriteria - kriteria sebagai berikut:

Bab VI - 61

Dokumen Usulan Teknik

1.

menjamin tercapainya tingkat layanan jalan sepanjang umur


pelayanan jalan;
2. merupakan life cycle cost yang minimum;
3. mempertimbangkan kemudahan saat pelaksanaan dan
pemeliharaan;
4. menggunakan material yang efisien dan memanfaatkan
material lokal semaksimum mungkin;
4. mempertimbangkan faktor keselamatan pengguna jalan;
5. mempertimbangkan kelestarian lingkungan.
Kebijakan desain terkait dengan penggunaan manual ini adalah :
1. Perencana, Tim Supervisi dan Manajer Proyek harus
mengadopsi kebijakan tanpa toleransi untuk pekerjaan
konstruksi jalan yang tidak sesuai. Desain perkerasan harus
mengasumsikan kesesuaian dengan kualitas konstruksi yang
ditentukan.
2. Desain dan rehabilitasi perkerasan mengakomodasi beban
kendaraan aktual.
Pengendalian beban sumbu hanya dapat dipertimbangkan bila:
- terdapat prosedur yang jelas untuk mengendalikan beban
aktual dan jangka waktu
- implementasi yang telah disetujui oleh semua pemangku
kepentingan;
- telah ada tindakan awal implementasi kebijakan tersebut;
- adanya keyakinan bahwa kebikajan ini dapat dicapai.
3. Pemilihan solusi desain perkerasan didasarkan pada analisis
biaya umur pelayana yang terdiskon paling sedikit dan
pertimbangan sumber daya konstruksi.
4. Semua konstruksi baru, peningkatan dan rehabilitasi harus
menyediakan drainase permukaan dan bawah permukaan yang
dibutuhkan.
5. Lapisan pondasi berbutir untuk jalan nasional dan jalan
propinsi harus dapat terdrainase baik dengan bahu full depth
dengan draianse dari badan jalan atau dengan drainase bawah
permukaan yang berlokasi pada bagian tepi badan jalan.
6. Bahu berpenutup harus disiapkan jika :
- Gradien jalan lebih dari 4% (potensial terhadap gerusan)
- Pada area perkotaan
- Bersampingan dengan garis kerb
- Jalan dengan lalu lintas berat dengan proporsi kendaraan
roda dua cukup tinggi.

Bab VI - 62

Dokumen Usulan Teknik

7.

8.

c.

Bahu berpenutup harus didesain untuk menyediakan paling


tidak umur pelayanan 10% atau sama dengan badan jalan
tergantung pada penggunaan yan diharapkan.
Drainase permukaan komprehensif harus disediakan. Drainase
bawah permukaan dapat dipertimbangkan jika:
- Terdapat kerusakan pada perkerasan eksisting terkait
kadar air;
- Terdapat sumber air mengalir ke perkerasan, seperti
aliran air tanah dari galian atau saluran irigasi;
- Konstruksi kotak tanpa jalur drainase yang memadai dari
lapis perkerasan berbutir keluar dari badan jalan.
Separator geotekstil harus disediakan dibawah lapis penopang
atau lapis drainase langsung diatas tanah lunak (tanah rawa)
dengan CBR lapangan kurang dari 2% atau diatas tanah
gambut.

Jenis Struktur Perkerasan


Jenis struktur perkerasan yang diterapkan dalam desain struktur
perkerasan baru terdiri atas:
1. Struktur perkerasan pada permukaan tanah asli;
2. Struktur perkerasan pada timbunan;
3. Struktur perkerasan pada galian.

Struktur Perkerasan Lentur pada PermukaanTanah Asli (At Grade)

Bab VI - 63

Dokumen Usulan Teknik

Struktur Perkerasan Lentur pada Timbunan

Struktur Perkerasan Lentur pada Galian

Struktur Perkerasan Kaku pada PermukaanTanah Asli (At Grade)

Struktur Perkerasan Kaku Pada Timbunan


Bab VI - 64

Dokumen Usulan Teknik

Struktur Perkerasan Kaku Pada Galian


6.7.2.

Perencanaan Geometrik Jembatan


Perencanaan geometri merupakan bagian dari perencanaan jembatan yang
dititik beratkan pada pengaturan tata letak jembatan sehingga menghasilkan
jembatan yang aman, efisiensi pelayanan arus lalu lintas dan
memaksimalkan ratio tingkat penggunaan / biaya pelaksanaan.
Perencanaan geometri jembatan sangat berkaitan dengan perencanaan
geometri jalan yang dihubungkan oleh jembatan tersebut. Elemen-elemen
yang terdapat pada geometri jalan merupakan dasar dari perencanaan
geometri jembatan. Adapun elemen dari aspek geometrik adalah sebagai
berikut :
a.

Lebar Jembatan
Lebar jembatan ditentukan berdasarkan dari aspek lalu lintas pada
jalan tersebut, setelah dilakukan analisa lalu lintas jalan tol, maka
didapatkan lebar lajur jalan, lebar lajur jalan tersebut nantinya
digunakan sebagai dasar perencanaan lebar jembatan.

b.

Panjang Jembatan
Panjang jembatan ditentukan dari kondisi geografis di daerah sekitar
jembatan.

c.

Tinggi Jembatan
Tinggi jembatan disesuaikan dengan elevasi rencana jalan dan elevasi
tanah dasar pada jembatan tersebut. Penetapan tinggi jembatan ini
juga mempertimbangkan kondisi topografi lokasi jembatan rencana
supaya tercapai efisiensi, efektifitas dan kelayakan konstruksi.

d.

Alinyemen Horizontal
Merupakan proyeksi sumbu jalan tegak lurus bidang horizontal yang
terdiri dari susunan lurus (tangen) dan garis lengkung (busur,
lingkaran, spiral). Bagian lengkung merupakan bagian yang perlu
mendapat perhatian, karena pada bagian tersebut dapat terjadi gaya
sentrifugal yang cenderung dapat melemparkan kendaraan keluar

Bab VI - 65

Dokumen Usulan Teknik

jalan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan tikungan


pada alinyemen horizontal adalah :
1).

Superelevasi (e)
Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan
yang berfungsi mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima
kendaraan pada saat berjalan melalui tikungan pada kecepatan
rencana. Superelevasi maksimum sebaiknya seperti yang
dinyatakan sebagai berikut :
Jalan Tipe I superelevasi : 10 %
Jalan Tipe II superelevasi : 6%

2).

Jari-Jari Tikungan
Jari-jari tikungan minimum (Rmin) ditetapkan sebagai berikut :

Keterangan :
Rmin
= jari-jari tikungan minimum (m)
VR
= kecepatan rencana (km/jam)
emax
= superelevasi maksimum (%)
fmax
= koefisien gesek maksimum untuk perkerasan aspal
(f = 0,14 - 0,24)
Tabel 6.26. Panjang Jari-jari Minimum
No.

Kecepatan
Rencana VR
(km/jam)

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

100
80
60
50
40
30
20

Jari-Jari Minimum Rmin (m)


Jalan Tipe I

Jalan Tipe II

350
230
120
80
-

460
280
150
100
60
30
15

Sumber : PGJAK, 1997

Tabel 6.27. Panjang Jari-jari Minimum Yang Disarankan


No.

Kecepatan Rencana VR
(km/jam)

Jari-Jari Minimum
Disarankan Rmin (m)

1.
2.
3.

100
80
60

700
400
200

Bab VI - 66

Dokumen Usulan Teknik

4.
5.
6.
7.

50
40
30
20

150
100
65
30

Sumber : PGJAK, 1997

3).

Jari-Jari Tikungan
Panjang as sebuah jalur jalan pada tikungan sebaiknya dua kali
panjang bagian peralihan.
Tabel 6.28. Panjang Tikungan Minimum
No.

Kecepatan
Rencana VR
(km/jam)

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

100
80
60
50
40
30
20

Panjang Tikungan Minimum (m)


Standar

Keadaan Terpaksa

600
500
350
300
250
175
140

170
140
100
80
70
50
40

Sumber : PGJAK, 1997

4).

Lengkung Peralihan
Lengkung peralihan adalah lengkung transisi pada alinyemen
horizontal dan sebagai pengantar dari kondisi lurus ke lengkung
penuh secara berangsurangsur. Pada lengkung peralihan,
perubahan kecepatan dapat terjadi secara berangsur-angsur serta
memberikan kemungkinan untuk mengatur pencapaian
kemiringan (perubahan kemiringan melintang secara berangsurangsur).
Tabel 6.29. Panjang Minimum Lengkumg Peralihan
No.

Kecepatan Rencana VR
(km/jam)

Panjang Minimum
Lengkung Peralihan (m)

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

100
80
60
50
40
30
20

85
70
50
40
35
25
20

Sumber : PGJAK, 1997


Bab VI - 67

Dokumen Usulan Teknik

Macam-macam
horizontal :
a).

tikungan

pada

perencanaan

alinyemen

Full Circle
Jenis tikungan ini dapat digunakan pada tikungan dengan
jari-jari besar dan sudut tangen () relatif kecil. Pada
umumnya tipe tikungan ini dipakai pada daerah dataran,
tetapi juga tergantung pada besarnya kecepatan rencana
dan radius tikungan.

Gambar 6.1. Lengkung Full Circle

Keterangan :
PI
= titik perpotongan tangen
Rc
= jari-jari lingkaran (m)

= sudut tangen ()
TC
= Tangen Circle
T
= jarak antara TC dan PI atau PI dan CT (m)
Lc
= panjang bagian lengkung circle
E
= jarak PI ke lengkung circle
Rumus yang digunakan :

Jenis tikungan ini dapat digunakan pada tikungan dengan


jari-jari besar dan sudut tangen () relatif kecil. Pada

Bab VI - 68

Dokumen Usulan Teknik

b).

umumnya tipe tikungan ini dipakai pada daerah dataran,


tetapi juga tergantung pada besarnya kecepatan rencana
dan radius tikungan.
Spiral - Circle - Spiral
Contoh gambar lengkung Spiral - Circle - Spiral dapat
dilihat pada Gambar di bawah :

Gambar 6.2. Lengkung Spiral-Circle-Spiral

Keterangan :
PI
= titik perpotongan tangen
TS
= titik perubahan dari tangen ke spiral
SC
= titik perubahan dari spiral ke circle
CS
= titik perubahan dari circle ke spiral
Rc
= jari-jari lengkung lingkaran
L
= panjang busur spiral dari TS ke suatu titik
sembarang
Lc
= panjang busur lingkaran
Ls
= panjang busur spiral
T
= panjang tangen utama
E
= panjang eksternal total dari PI ke tengah busur
lingkaran
TL
= panjang tangen panjang dari spiral
TK
= panjang tangen pendek dari spiral
S
= panjang tali busur spiral
Si
= panjang tali busur spiral dari TS ke titik
sembarang
Rc = jarak dari busur lingkaran tergeser terhadap
jarak tengah
Xm = jarak dari TS ke titik proyeksi pusat lingkaran
pada tangen

= sudut pertemuan antara tangen utama

Bab VI - 69

Dokumen Usulan Teknik

s
si
d
Xc,Yc

=
=
=
=

i,Yi

sudut pertemuan antara tangen lingkaran dan


sudut pusat lingkaran
sudut spiral
sudut spiral ke titik sembarang pada spiral
sudut antara tangen utama dengan tali busur
koordinat SC atau CS terhadap TS - PI atau PI
- TS
koordinat setiap titik pada spiral terhadap TS PI atau PI - TS

Rumus yang digunakan :

Pada tikungan jenis ini, dari arah tangen ke arah circle

c).

memiliki spiral yang merupakan transisi dari bagian luar


kebagian circle. Adanya lengkung spiral adalah lengkung
transisi pada alinyemen horizontal. Lengkung spiral
sebagai pengantar dari kondisi lurus ke lengkung penuh
secara berangsur-angsur. Pada bagian ini terjadi gaya
sentrifugal dari 0 sampai dengan maksimum ketika
kendaraan memasuki dan meninggalkan lengkung
tersebut. Untuk lengkung S-C-S sebaiknya Lc = 20 m.
Spiral-spiral
Contoh gambar lengkung Spiral-spiral dapat dilihat pada
Gambar di bawah :

Bab VI - 70

Dokumen Usulan Teknik

Gambar 6.3. Lengkung Spiral-spiral

Rumus yang digunakan :

Jenis tikungan Spiral-Spiral digunakan pada tikungan


tajam dengan sudut tangen () yang sangat besar. Pada
Spiral-Spiral, dimana Lc = 0, merupakan tikungan yang
kurang baik. Sebab tidak ada jarak tertentu dalam masa
tikungan yang sama miringnya. Pada lengkung yang
berbentuk Spiral-Spiral, prinsipnya hampir sama dengan
tipe Spiral-Circle-Spiral, hanya disini tidak digunakan
lengkung Circle, Lc = 0 hingga Lt = 2Ls.
6.7.3.

Perencanaan Konstruksi Jembatan


Dalam aspek konstruksi jembatan ini akan ditinjau mengenai pembebanan
jembatan, komponen utama jembatan, kondisi tanah dasar, dan perencanaan
perkerasan oprit. Komponen utama jembatan terdiri atas bangunan bawah
(substructure) dan bangunan atas (upper structure/super structure).
Bangunan bawah terdiri dari abutment atau pangkal jembatan, pilar dan
pondasi sedangkan bangunan atas terdiri dari lantai jembatan, gelagar atau
rangka utama, gelagar memanjang, gelagar melintang, diafragma,
pertambatan angin dan lain-lain. Selain itu, terdapat juga bangunan
pelengkap seperti tembok samping, tembok muka, dinding penahan tanah,
drainase jembatan dan lain-lain.

Bab VI - 71

Dokumen Usulan Teknik

Penggunaan trotoar tidak diperlukan, hal ini dikarenakan jalan yang


dihubungkan oleh jembatan ini merupakan jalan yang tidak memerlukan
sarana untuk pejalan kaki.
a.

Pembebanan Jembatan
Perhitungan
pembebanan
jembatan
direncanakan
dengan
menggunakan aturan yang terdapat pada Peraturan Perencanaan
Teknik Jembatan 1992 (BMS/Bridge Manajemen System) bagian 2
tentang beban jembatan. Penggunaan pedoman ini dimaksudkan
untuk mencapai perencanaan ekonomis sesuai kondisi setempat,
tingkat keperluan, kemampuan pelaksanaan dan syarat teknis lainnya,
sehingga proses perencanaan menjadi efektif.
Pembebanan yang diperhitungkan dalam perencanaan struktur adalah
merupakan beban akibat berat sendiri, beban hidup, beban angin, dan
beban pekerja dari data lalu lintas terbesar + asumsi 20 th. ke depan +
beban gempa bila dianggap perlu.
1).

Beban Tetap
Adalah berat dari masing-masing bagian struktural dan elemenelemen nonstruktural. Masing-masing berat elemen ini harus
dianggap sebagai aksi yang tidak dipisahkan dan tidak boleh
menjadi bagian-bagian pada waktu menerapkan faktor beban
biasa dan yang terkurangi. Adapun beban tetap terdiri dari :
a). Berat sendiri
Beban mati merupakan berat bahan dan bagian jembatan
yang merupakan elemen struktural, ditambah dengan
elemen non struktural yang dianggap tetap.
b). Beban mati tambahan
Adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu beban
pada jembatan yang merupakan elemen non struktural, dan
mungkin umurnya berubah selama umur jembatan.
c). Pengaruh penyusutan dan rangka
Pengaruh ini harus diperhitungkan dalam perencanaan
jembatan-jembatan beton. Apabila penyusutan dan
rangkak bisa mengurangi pengaruh muatan lainnya, maka
harga dari rangkak dan penyusutan tersebut harus diambil
minimum (misalnya pada waktu transfer dari beton
prategang).
d). Pengaruh prategang
Prategangan harus diperhitungkan sebelum (selama
pelaksanaan) dan sesudah kehilangan dalam kombinasinya
dengan beban lain.
e). Tekanan tanah
Bagian bangunan jembatan yang menahan tanah harus
direncanakan dapat menahan tekanan tanah sesuai dengan
rumus-rumus yang ada.
Bab VI - 72

Dokumen Usulan Teknik

f).

2).

Pengaruh tetap pelaksanaan


Pengaruh tetap pelaksanaan disebabkan oleh metode dan
urut-urutan pelaksanaan jembatan, biasanya mempunyai
kaitan dengan aksi-aksi lainnya seperti prapenegangan dan
berat sendiri, dan dalam hal ini pengaruh tetap harus
dikombinasikan dengan aksi-aksi tersebut dengan faktor
beban yang sesuai.

Beban Lalu Lintas


Beban lalu lintas adalah semua beban yang berasal dari berat
kendaraan-kendaraan bergerak yang dianggap bekerja pada
jembatan. Beban hidup pada jembatan ditinjau dalam dua
macam, yaitu beban T yang merupakan beban terpusat untuk
lantai kendaraan dan beban D yang merupakan beban jalur
untuk gelagar.
a). Beban Lajur D
Beban lajur D terdiri dari beban tersebar merata yang
digabung dengan beban garis, seperti terlihat dalam
Gambar 6.4. berikut :

Gambar 6.4. Beban Lajur D

Beban terbagi rata mempunyai intensitas q kPa, dimana


besarnya q tergantung pada panjang total (L) yang
dibebani seperti berikut :
Untuk L = 30 m ; q = 8,0 kPa
Untuk L > 30 m ; q = 8,0 ( 0,5 + ( 15 / L ) kPa
Hubungan dari perhitungan beban lajur D dapat dilihat
dalam Gambar 6.5. di bawah ini :

Bab VI - 73

Dokumen Usulan Teknik

Gambar 6.5. Beban D : Beban Tersebar Merata dan Bentang

Ketentuan penggunaan beban D dalam arah melintang


jembatan adalah sebagai berikut :
(1). Untuk jembatan dengan lebar lantai kendaraan sama
atau lebih kecil dari 5,50 meter, beban D
sepenuhnya (100 %) harus dibebankan pada seluruh
lebar jembatan.
(2). Untuk jembatan dengan lebar lantai kendaraan lebih
besar dari 5,50 meter, beban D sepenuhnya (100
%) dibebankan pada lebar jalur 5,50 meter sedang
lebar selebihnya dibebani hanya separuh beban D
(50 %).
Untuk lebih jelasnya, berikut Gambar 6.6. merupakan
penyebaran beban dalam arah melintang :

Gambar 6.6. Penyebaran Pembebanan pada Arah Melintang

Bab VI - 74

Dokumen Usulan Teknik

b).

Beban Truk T
Pembebanan truk T terdiri dari kendaraan truk semi
trailer yang mempunyai susunan dan berat as seperti
terlihat pada Gambar 6.7. Berat dari masing-masing as
disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang
merupakan bidang kontak antara roda dengan permukaan
lantai. Jarak antara 2 as tersebut bisa diubah antara 4,0 m
sampai 9,0 m untuk mendapatkan pengaruh terbesar pada
arah memanjang jembatan.

Gambar 6.7. Beban Truk T

c).

d).

e).

Pembebanan lalu lintas yang dikurangi


Dalam keadaan khusus dengan persetujuan instansi yang
berwenang, pembebanan D setelah dikurangi 70 % bisa
digunakan. Faktor pengurangan 70 % tidak boleh
digunakan untuk pembebanan truk T.
Faktor beban dinamis
Faktor Beban Dinamis (DLA/Dinamic Load Allowance)
merupakan
interaksi antara kendaraan yang bergerak dengan
jembatan. Besarnya DLA
tergantung pada frekuensi dasar dari suspensi kendaraan
(biasanya antara 2
sampai 5 Hz untuk kendaraan berat) dan frekuensi dari
getaran lentur
jembatan.
Gaya rem
Pengaruh percepatan dan pengereman dari lalu lintas harus
diperhitungkan sebagai gaya dalam arah memanjang, dan
dianggap bekerja pada lantai kendaraan.

Bab VI - 75

Dokumen Usulan Teknik

f).

Gaya setrifugal
Untuk jembatan yang mempunyai lengkung horisontal
harus diperhitungkan adanya gaya sentrifugal akibat
pengaruh pembebanan lalu lintas untuk seluruh bagian
bangunan. Beban lalu lintas dianggap bergerak pada
kecepatan tiga perempat dari kecepatan rencana untuk
jalan. Gaya sentrifugal harus bekerja secara bersamaan
dengan pembebanan D atau T dengan pola yang sama
sepanjang jembatan. Fraksi beban dinamis jangan
ditambahkan dengan gaya sentrifugal tersebut. Gaya
sentrifugal dianggap bekerja pada permukaan lantai
dengan arah keluar secara radial dan harus sebanding
dengan pembebanan total pada suatu titik berdasarkan
rumus :

TTR =

g).

3).

0,006 ( V / r ) TT

Dimana :
TTR
= Gaya sentrifugal yang bekerja pada bagian
jembatan.
TT
= Pembebanan lalu lintas total yang bekerja pada
bagian yang sama.
V
= Kecepatan lalu lintas rencana ( km/jam ).
r
= Jari-jari lengkungan (m).
Beban tumbukan pada penyangga jembatan
Pilar yang mendukung jembatan yang melintas jalan raya,
jalan kereta api dan navigasi sungai harus direncanakan
mampu menahan beban tumbukan. Kalau tidak, bisa
direncanakan dan dipasang pelindung.

Aksi lingkungan
Aksi lingkungan adalah beban-beban akibat pengaruh
temperatur, angin, banjir, gempa, dan penyebab-penyebab
alamiah lainnya. Besarnya beban rencana yang diberikan dalam
tata cara ini didasarkan pada analisa statistik dari kejadiankejadian umum yang tercatat tanpa memperhitungkan hal
khusus yang mungkin akan memperbesar pengaruh setempat.
a). Penurunan
Jembatan harus direncanakan untuk bisa menahan
terjadinya penurunan yang diperkirakan, termasuk
perbedaan penurunan, sebagai aksi daya layan. Pengaruh
penurunan mungkin bisa dikurangi dengan adanya
rangkak dan interaksi pada struktur tanah.
b). Pengaruh temperatur
Pengaruh temperatur dibagi menjadi :
(1). Variasi pada temperatur jembatan rata-rata

Bab VI - 76

Dokumen Usulan Teknik

c).

Variasi temperatur jembatan rata-rata digunakan


dalam menghitung pergerakan pada bearings dan
sambungan pelat lantai, dan untuk menghitung
beban akibat terjadinya pengekangan dari
pergerakan tersebut.
(2). Variasi temperatur di dalam bangunan atas jembatan
(perbedaan temperatur)
Variasi perbedaan temperatur disebabkan oleh
pemanasan langsung dari sinar matahari di waktu
siang pada permukaan lantai dan pelepasan kembali
radiasi dari seluruh permukaan jembatan di waktu
malam.
Beban angin
Gaya nominal ultimate dan daya layan jembatan akibat
angin tergantung kecepatan angin rencana sebagai
berikut :

TEW = 0,0006 CW (Vw)2 Ab


= kecepatan angin rata-rata (m/dt) untuk keadaan
batas yang ditinjau
CW = koefesien seret
Ab = luas koefisien bagian samping jembatan (m 2).
Angin harus dianggap secara merata pada seluruh
bangunan atas. Apabila suatu kendaraan sedang berada di
atas jembatan, beban garis merata tambahan arah
horisontal harus diterapkan pada permukaan lantai seperti
diberikan dengan rumus :
VW

TEW = 0,0012 CW (Vw)2


Dimana :

Cw = 1,2
d).

Pengaruh Gempa
Pengaruh gempa rencana hanya ditinjau pada keadaan
batas ultimate.
(1). Beban horisontal statis ekwivalen
Untuk jembatan besar, rumit dan penting mungkin
diperlukan analisa dinamis. Beban rencana gempa
minimum diperoleh dari rumus berikut :

TEQ = Kh / Wr
dimana:

= C.S

Dan :

Bab VI - 77

Dokumen Usulan Teknik


TEQ

= Gaya geser dasar total dalam arah yang


ditinjau
Kh
= Koefisien beban gempa horisontal
C
= Koefisien geser dasar untuk daerah,
waktu, dan kondisi setempat yang sesuai
I
= Faktor kepentingan
S
= Faktor tipe bangunan
WT
= Berat total nominal bangunan yang
mempengaruhi percepatan gempa,diambil
sebagai beban mati ditambah beban mati
tambahan (kN)
Waktu dasar getaran jembatan yang digunakan
untuk menghitung geser dasar harus dihitung dari
analisa yang meninjau seluruh elemen bangunan
yang memberikan kekakuan dan fleksibilitas dari
sistem pondasi.
Untuk bangunan yang mempunyai satu derajat
kebebasan yang sederhana, rumus berikut bisa
digunakan :

dimana:
T
= Waktu getar dalam detik
g
= Percepatan gravitasi (m/dt2)
WTP = Berat total nominal bangunan atas
termasuk beban mati tambahan ditambah
setengah berat dari pilar (kN)
Kp
= Kekakuan gabungan sebagai gaya
horisontal
yang
diperlukan
untuk
menimbulkan satu satuan lendutan pada
bagian atas pilar (kN/m)
Catatan bahwa jembatan biasanya mempunyai waktu
getar yang berbeda pada arah memanjang dan
melintang sehingga beban rencana statis ekivalen
yang berbeda harus dihitung untuk masing-masing
arah.
(2). Ketentuan-ketentuan khusus untuk pilar tinggi
Apabila berat pilar lebih besar dari 20 % berat total
yang dipengaruhi oleh percepatan gempa, WT, maka
beban statis ekivalen arah horisontal pada pilar harus
disebarkan.
(3). Beban vertikal statis ekwivalen
Untuk perencanaan perletakan dan sambungan, gaya
gempa vertikal dihitung dengan menggunakan

Bab VI - 78

Dokumen Usulan Teknik

percepatan vertikal (ke atas atau ke bawah) sebesar


0,1 g yang bekerja secara bersamaan dengan gaya
horisontal. Gaya ini jangan dikurangi oleh berat
sendiri jembatan dan bangunan pelengkapnya. Gaya
gempa vertikal bekerja pada bangunan berdasarkan
pembagian massa, dan pembagian gaya gempa
antara bangunan bawah dan bangunan atas harus
sebanding dengan kekakuan relatif dari perletakan
atau sambungannya.
(4). Tekanan tanah lateral akibat gempa
Dihitung dengan menggunakan faktor harga dari
sifat bahan, koefisien gempa horisontal (Kh), faktor
kepentingan (I), pengaruh dari percepatan tanah arah
vertikal bisa diabaikan. Tekanan tanah dinamis harus
dihitung dengan metode rasional yang telah diakui.
(5). Bagian tertanam dari jembatan
Bila bagian-bagian jembatan seperti pangkal
tertanam, faktor tipe bangunan (S) yang akan
digunakan dalam menghitung beban statis ekivalen
akibat massa bagian tertanam, harus ditentukan
sebagai berikut :
(a). Bila bagian tertanam dari struktur dapat
menahan
simpangan
horisontal
besar
(konsisten dengan gerakan gempa ) sebelum
runtuh, dan sisa struktur dapat mengikuti
simpangan tersebut, maka S untuk bagian
tertanam harus diambil sebesar 1,0.
(b). Bila bagian tertanam dari struktur tidak dapat
menahan simpangan horisontal besar, atau bila
sisa struktur tidak dapat mengikuti simpangan
tersebut, maka S untuk bagian tertanam harus
diambil sebesar 3,0.
(6). Tekanan air lateral akibat gempa
Gaya ini dianggap bekerja pada bangunan pada
kedalaman sama dengan setengah dari kedalaman air
rata-rata. Ketinggian permukaan air yang digunakan
untuk menentukan kedalaman air rata-rata harus
sesuai dengan :
(a). Untuk arus yang mengalir, ketinggian yang
diambil dalam perencanaan adalah melebihi
harga rata-rata enam bulan untuk setiap tahun.
(b). Untuk arus pasang, diambil ketinggian
permukaan air rata-rata.
4).

Aksi-aksi Lainnya
a). Gesekan pada perletakan

Bab VI - 79

Dokumen Usulan Teknik

b).

c).

d).

5).

Gaya akibat gesekan pada perletakan dihitung dengan


menggunakan beban tetap dan harga rata-rata dari
koefisien gesekan (atau kekakuan geser apabila
menggunakan perletakan elastomer).
Pengaruh getaran :
(1). Umum
Getaran yang diakibatkan oleh adanya kendaraan
yang lewat diatas jembatan merupakan keadaan
batas daya layan apabila tingkat getaran
menimbulkan bahaya dan ketidaknyamanan.
(2). Jembatan
Satu lajur lalu lintas rencana dengan pembebanan
beban lajur D, dengan faktor beban 1,0 harus
ditempatkan sepanjang bentang agar diperoleh
lendutan statis maksimum. Walaupun diijinkan
terjadi lendutan statis yang relatif besar akibat beban
hidup, perencanaan harus menjamin bahwa syaratsyarat untuk kelelahan bahan dipenuhi.
Beban pelaksanaan terdiri dari :
(1). Beban yang disebabkan oleh aktivitas pelaksanaan
itu sendiri.
(2). Aksi lingkungan yang mungkin timbul selama waktu
pelaksanaan.

Kombinasi Beban
a). Umum
Aksi rencana ditentukan dari aksi nominal yaitu
mengalikan aksi nominal dengan faktor beban yang
memadai. Seluruh pengaruh aksi rencana harus
mengambil faktor beban yang sama, apakah itu biasa atau
terkurangi.
b). Pengaruh Umur Rencana
Faktor beban untuk keadaan batas ultimate didasarkan
kepada umur rencana jembatan 50 tahun. Untuk jembatan
dengan umur rencana berbeda, faktor beban ultimate harus
diubah dengan menggunakan faktor pengali.
c). Kombinasi untuk Aksi Tetap
Seluruh aksi tetap untuk jembatan tertentu diharapkan
bekerja bersama-sama. Akan tetapi apabila aksi tetap
bekerja mengurangi pengaruh total, kombinasi beban
harus diperhitungkan dengan memperhitungkan adanya
pemindahkan aksi tersebut, apabila pemindahan tersebut
bisa diterima.
d). Perubahan Aksi Tetap terhadap Waktu

Bab VI - 80

Dokumen Usulan Teknik

e).

f).

Beberapa aksi tetap seperti beban mati tambahan,


penyusutan dan rangkak, pengaruh tegangan, dan
pengaruh penurunan bisa berubah perlahan-lahan
berdasarkan pada waktu.
Kombinasi pada Keadaan Batas Daya Layan
Terdiri dari jumlah pengaruh aksi tetap dan satu aksi
transient. Pada keadaan batas daya layan, lebih dari satu
aksi transient bisa terjadi secara bersamaan.
Kombinasi Pada Keadaan Batas Ultimate
Terdiri dari jumlah pengaruh aksi tetap dan satu aksi
transient. Pada keadaan batas ultimate, tidak diadakan aksi
transient lain untuk kombinasi dengan aksi gempa. Hanya
satu aksi pada tingkat daya layan yang dimasukkan pada
kombinasi pembebanan Kombinasi beban yang dipakai
bisa bermacam-macam seperti terlihat pada Tabel 6.5.

Tabel 6.30. Kombinasi Beban yang Lazim untuk Keadaan Batas


No.

1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Kombinasi Beban
Daya Layan
Ultimate
2
3
4
5
6
1
2
3
4

o
x
o
o

x
x

o
o

o
o

o
o

o
x
o
o

o
o

o
o

o
o

o
o

Aksi

Aksi Tetap : berat sendiri beban mati


tambahan
penyusutan,
rangkak
prategang pengaruh pelaksanaan tetap
tekanan tanah penurunan
Aksi Transien : beban lajur D, atau
beban truk T
Gaya rem, atau gaya sentrifugal
Beban pejalan kaki
Gesekan pada perletakan
Pengaruh temperatur
Aliran / hanyutan / tumbukan dan
hidrostatis / apung
Beban angin
Aksi lain: gempa
Beban tumbukan
Pengaruh getaran
Beban pelaksanaan

o
o
o

o
x

x
x

Sumber : BMS 1992


Keterangan :
x
= untuk kombinasi tertentu adalah memasukkan faktor daya layan dan beban ultimate secara penuh
o
= memasukkan harga yang sudah diturunkan

6).

Tegangan Kerja Rencana


Beban nominal bekerja pada jembatan dan satu faktor keamanan
digunakan untuk menghitung besarnya penurunan kekuatan atau
perlawanan dari komponen bangunan.
S

= RWS

Bab VI - 81

Dokumen Usulan Teknik

Dimana :
S
= pengaruh aksi rencana, diberikan dari :
S

= S.S

Dimana :
S
= pengaruh aksi nominal
RWS = perlawanan atau kekuatan rencana diberikan dengan
rumus :

Dimana
S
= perlawanan atau kekuatan berdasarkan pada
tegangan kerja izin
ros
= tegangan berlebihan yang diperbolehkan diberikan.
b.

Perencanaan Struktur Jembatan


1).

Struktur Atas (Upper Structure)


Perencanaan struktur atas jembatan direncanakan sesuai dengan
aturan-aturan yang ditentukan dalam Peraturan Perencanaan
Jembatan (Bridge Design Code) BMS 92 atau peraturan lain
yang relevan yang disetujui oleh pemberi tugas. Prinsip-prinsip
dasar untuk perencanaan struktur jembatan adalah Limit States
atau Rencana Keadaan Batas, dengan memperhatikan beberapa
faktor berikut ini :
a). Pembebanan pada struktur atas jembatan dihitung
berdasarkan kombinasi dari semua jenis beban yang secara
fisik akan bekerja pada komponen struktur jembatan.
b). Kekuatan struktur atas jembatan direncanakan berdasarkan
analisis struktur dan cara perhitungan gaya-gaya dalam
yang ditetapkan di dalam standar / peraturan yang disebut
diatas dan khususnya berhubungan dengan material yang
dipilih.
c). Deformability, lawan lendut dan lendutan dari struktur atas
jembatan dihitung dengan cermat, baik untuk jangka
pendek maupun jangka panjang agar tidak melampaui
nilai batas yang diijinkan oleh standar/peraturan yang
digunakan.
d). Umur layan jembatan direncanakan berdasakan perilaku
jangka panjang material dan kondisi lingkungan di lokasi
jembatan yang diaplikasikan pada rencana komponen
struktur jembatan khususnya selimut beton, permeabilitas
beton, atau tebal elemen baja, terhadap resiko korosi
ataupun potensi degradasi meterial.
Struktur atas merupakan bagian atas suatu jembatan yang
berfungsi untuk menampung beban-beban yang ditimbulkan

Bab VI - 82

Dokumen Usulan Teknik

oleh lalu lintas yang kemudian menyalurkannya ke bangunan


dibawahnya. Struktur atas jembatan terdiri dari :
a). Sandaran (Railling)
Sandaran merupakan pembatas pada pinggiran jembatan,
sehingga memberikan rasa aman bagi pengguna jembatan
yang melewatinya. Konstruksi sandaran terdiri dari :
(1). Tiang sandaran (Rail post)
(2). Sandaran (Hand Rail)
b). Pelat Lantai
Pelat lantai berfungsi sebagai penahan lapisan perkerasan
yang diasumsikan tertumpu pada dua sisi. Pembebanan
pelat lantai meliputi :
(1). Beban mati
(2). Beban hidup
c). Gelagar Jembatan
(1). Sitem Penegangan
(2). Tegangan yang diijinkan
Berikut disajikan gambar beberapa alternatif bangunan atas yang
nantinya dapat dipilih sesuai dengan analisa dan karakteristik
lokasi pekerjaan.
a).

Bangunan atas baja


Tabel 6.31. Alternatif Bangunan Atas Baja
Jenis

b).

Bentuk

h/L

L (m)

Gelagar I & pelat beton

1/20

15 - 50

Gelagar I & rangka baja

1/8 - 1/11

30 - 100

Bangunan atas bertulang


Tabel 6.32. Alternatif Bangunan Atas Bertulang
Jenis

Bentuk

h/L

L (m)

Gelagar beton konvensional

1/12 - 1/15

6 - 20

Gelagar beton box

1/12 - 1/15

12 - 30

Bab VI - 83

Dokumen Usulan Teknik

c).

Bangunan atas beton bertulang


Tabel 6.33. Alternatif Bangunan Atas Beton Prategang
Jenis

d).

Bentuk

h/L

L (m)

Gelagar I

1/6 - 1/17

6 - 20

Gelagar T

1/17,5

12 - 30

Bangunan atas beton prategang


Tabel 6.34. Alternatif Bangunan Atas Komposit
Jenis

Bentuk

Gelagar komposit

h/L

L (m)

1/25 - 1/27

5 - 25

Dari berbagai altenatif tipe bangunan atas jembatan tersebut

kemudian dilakukan analisa untuk memilih tipe bangunan atas


jembatan dengan kriteria pemilihan mempunyai bentang efektif
32 meter. Pertimbangannya adalah keuntungan dan kerugian
masing-masing tipe ditinjau dari pelaksanann, biaya, dan
pemeliharaan seperti diuraikan dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 6.35. Pertimbangan Alternatif Bangunan Atas
No.

1.

2.

3.

4.

Alternatif

Baja

Keuntungan
Mutu bahan seragam
Mudah pemasangan
Mampu mencapai
yang panjang.

Kerugian

bentang

Mudah korosi pada daerah


pantai
Biaya perawatan tinggi

Beton
konvensional

Proses pelaksanaan cor di


tempat sehingga pekerjaan
beton mudah.
Biaya pembuatan jauh lebih
murah.

Untuk bentang > 20 m


memerlukan dimensi besar,
sehingga berat sendiri menjadi
besar
Pemasangan perancah sulit
untuk sungai lebar
Memerlukan waktu lebih lama.

Beton
prategang

Proses pembuatan di pabrik


Tidak memerlukan perawatan
khusus
Baik untuk pantai karena tidak
korosif

Diperlukan alat berat


Diperlukan keahlian khusus
dalam pelaksanaan
Biaya yang relative mahal.

Beton
komposit

Pelaksanaan mudah karena


tidak memerlukan perancah.
Biaya relative lebih murah
Berat sendiri lebih kecil karena
penampang ramping.

Diperlukan alat berat.


Memerlukan biaya perawatan.

Bab VI - 84

Dokumen Usulan Teknik

2).

Struktur bawah jembatan


Struktur bangunan bawah direncanakan secara benar terhadap
aspek kekuatan dukung dan stabilitas, sebagai akibat beban
struktur atas dan tekanan tanah vertikal ataupun horisontal dan
harus mengikuti aturan-aturan yang ditentukan dalam Peraturan
Perencanaan Jembatan (Bridge Design Code) BMS 92, faktorfaktor yang perlu diperhatikan adalah :
a). Struktur bawah jembatan direncanakan untuk menanggung
beban struktur atas melalui komponen tumpuan, yang
sudah merupakan kombinasi terbesar dari semua beban
struktur atas, beserta beban-beban yang bekerja pada
struktur bawah yaitu: tekanan tanah lateral, gaya-gaya
akibat aliran air, tekanan air, gerusan, tumbukan serta
beban-beban sementara lainnya yang dapat bekerja pada
komponen struktur bawah.
b). Kekuatan struktur bawah ditentukan berdasarkan analisis
struktur dan cara perencanaan kekuatan yang ditetapkan di
dalam peraturan yang berhubungan dengan material yang
digunakan.
c). Perletakan jembatan direncanakan berdasarkan asumsi
yang diambil di dalam modelisasi struktur dengan
memperhatikan kekuatan dan kemampuan deformasi
komponen perletakan seperti karet elastomer yang
mengacu kepada SNI 03-4816-1998 Spesifikasi bantalan
karet untuk perletakan jembatan.
d). Deformasi yang potensial terjadi khususnya penurunan
diperhatikan di dalam perencanaan struktur bawah.
Penurunan harus diantisipasi dan dihitung dengan cara
analisis yang benar berdasarkan data geoteknik yang
akurat, dimana pengaruh dari potensial penurunan
diferensial dari struktur bawah, bila ada harus
diperhitungkan dalam perencanaan struktur atas.
e). Jika gerusan dapat mengakibatkan terkikisnya sebagian
tanah timbunan di atas atau di samping suatu bagian
struktur bawah jembatan maka pengaruh stabilitas dari
massa tanah harus diperhitungkan secara teliti.
f). Umur layan rencana struktur bawah direncanakan
berdasarkan perilaku jangka panjang material dan kondisi
lingkungan khususnya bila berada di bawah air yang
diaplikasikan pada rancangan komponen struktur bawah
khususnya selimut beton, permeabiitas beton atau tebal
elemen baja terhadap resiko korosi ataupun potensi
degradasi material.
Berikut adalah beberapa alternative pemilihan tipe abutment
yang mungkin dapat digunakan :
Bab VI - 85

Dokumen Usulan Teknik

Tabel 6.36. Alternatif Pemilihan Abutment


Jenis Abutmen

c.

Bentuk

Tinggi (m)

Abutment tembok
penahan kantilever

<8

Abutment tembok
penahan kontrafort

6.8 - 20

Abutment tembok
penahan gravitasi

< 20

Abutment kolom
spill throught

6.8 - 20

Abutment balok
cap tiang sederhana

< 3.4

Perencanaan pondasi jembatan


Struktur bangunan bawah harus direncanakan secara benar terhadap
aspek kekuatan dukung dan stabilitas, sebagai akibat beban struktur
atas dan beban struktur atas dan harus mengikuti aturan-aturan yang
ditentukan dalam Peraturan Perencanaan Jembatan (Bridge Design
Code) BMS 92, faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah :
1). Analisis dilakukan terpisah atau terintegrasi dengan analisis
struktur jembatan. Penggunaan paket software komersil,
dilakukan validasi terlebih dahulu dengan menggunakan contoh
dari text book dan dicek secara manual untuk mendapatkan
keyakinan.

Bab VI - 86

Dokumen Usulan Teknik

2).

3).

4).

6.7.4.

Perencanaan Jalan Pendekat


a.

b.
6.7.5.

Pondasi jembatan pada umumnya dapat dipilih dari jenis :


a). Pondasi dangkal/pondasi telapak
b). Pondasi caisson
c). Pondasi tiang pancang (jenis end bearing atau friction)
d). Pondasi Tiang Bor
e). Pondasi jenis lain yang dianggap sesuai
Penentuan jenis dan kedalaman pondasi dilakukan berdasarkan
kondisi lapisan tanah dan kebutuhan daya dukung untuk struktur
bawah serta batasan penurunan pondasi. Secara umum kondisi
dan kendala lapangan yang harus dipertimbangkan adalah
a). Pembebanan dari struktur jembatan
b). Daya dukung pondasi yang dibutuhkan
c). Daya dukung dan sifat kompresibilitas tanah atau batuan
d). Penurunan yang diijinkan dari struktur atas / bawah
jembatan
e). Tersedianya alat berat dan material pondasi
f). Stabilitas tanah yang mendukung pondasi
g). Kedalaman permukaan air tanah
h). Perilaku aliran air tanah
i).
Perilaku aliran air sungai serta potensi gerusan dan
sedimentasi
j).
Potensi penggalian atau pengerukan di kemudian hari
yang berdekatan dengan pondasi
Khususnya untuk penggunaan pondasi tiang, penentuan jenis
dan panjang tiang dilakukan berdasarkan kondisi lapangan di
lokasi rencana jembatan, khususnya kondisi planimetri serta
berdasarkan atas evaluasi yang cermat dari berbagai informasi
karakteristik tanah yang tersedia, perhitungan kapasitas statik
vertikal dan lateral.

Perencanaan jalan pendekat jembatan termasuk komponen pelat injak


harus memperhatikan kesinambungan ukuran dan ketinggian
jembatan. Apabila jalan pendekat dibuat dari tanah urugan maka harus
diperhatikan potensi penurunan jangka panjang dari lapisan tanah
pendukung / atau urugan tanah yang menjadi tumpuan perkerasan
jalan pendekat.
Potensi penurunan tanah dihitung secara cermat berdasarkan hasil
penyelidikan tanah.

Perencanaan Bangunan Pelengkap dan Pengaman


a.

Perencanaan komponen bangunan pelengkap dan pengaman dalam


pekerjaan perencanaan jembatan harus mengikuti aturan-aturan yang
ditentukan di dalam acuan :

Bab VI - 87

Dokumen Usulan Teknik

1).

b.

Undang-undang RI No.14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan


Angkutan Jalan
2). Pedoman marka jalan, Pd T-12-2004-B
Perencanaan komponen pelengkap dan pengaman jembatan meliputi :
1). Rambu dan marka pada jembatan
2). Pagar pengaman jembatan
3). Lampu penerangan pada jembatan
4). Struktur pengaman pada pilar jembatan terutama untuk
menghindari tumbukan langsung dengan pilar jembatan (seperti
fender pengaman atau sejenisnya)

6.8. TAHAP PENGGAMBARAN DETAIL (DETAIL DESIGN)


Sebelum melakukan final desain, Konsultan akan membuat terlebih dahulu konsep
perencanaan teknis (Draft Design) dari setiap detail perencanaan kemudian
mendiskusikannya kepada projeck officer untuk diminta persetujuanya. Draf design
tersebut akan digambar diatas kertas millimeter atau langsung diatas kertas setandart
sheet, dengajn standar sebagaimana ditetapkan pemberi tugas.
Adapun detail perencanaan teknis yang akan di buatkan konsep perencanaannya
antara lain :
6.8.1.

Situasi / Plan
Situasi / Plan di gambar diatas peta situasi dengan letak jembatan lama dan
baru pada daerah cukup lebar sehingga jelas kedudukan jembatan tersebut.
Digambar pada skala 1 : 500 yang berisi antara lain :
a.
Lokasi dan nomor titik kontrol horisontal dan vertikal
b.
Lokasi dan nomor potongan melintang
c.
Elemen-elemen lengkung horisontal
d.
Batas penguasaan (ROW) dan Penggunaannya.
e.
Semua data-data topografi yang penting (rumah, jalan lama, jenisjenis tanaman utania dan lain-lain)
f.
Patok-patok pengukuran.

6.8.2.

Potongan Memanjang
Digambar dibawah plan tersebut, dengan skala horizontal 1 : 500 dan
vertikal 1 : 100 yang berisi hal-hal sebagai berikut :
a.
Tinggi muka tanah asli dan tinggi nomor potongan melintang.
b.
Elemen-elemen data data lengkung vertkal dan horisontal.
c.
Elemen-elemen data jalan pendekat.

6.8.3.

Potongan Melintang (Cross Section)


Gambar potongan melintang dibuat menurut letak topografi sesuai dengan
keadaan lokasi yang ditentukan diatas kertas dengan skala horisontal 1 : 200
dan vertikal 1 : 20, stationing dilakukan pada jarak 0, 10,25,50,100,150,200
dan seterusnya dari kepala jembatan.

Bab VI - 88

Dokumen Usulan Teknik

6.8.4.

Bangunan Jembatan
Plans serta potongan-potongan seperti pada butir 1, 2, 3 diatas :
a.
Denah, potongan memanjang dan melintang jembatan
b.
Detail bangunan bawah dan bangunan atas.

6.8.5.

Kelengkapan-Kelengkapan Lainnya Berupa


Kelengkapan lainnya dalam hal ini adalah title sheet

6.8.6.

Gambar Perencanaan Akhir


Setelah Draft Design mendapat persetujuan dari pemberi tugas, maka
konsultan akan membuat gambar rencana jembatan selengkapnya. Final
design akan digambar diatas kertas standard sheet. Gambar perencanaan
akhir tersebut selengkapnya terdiri dari :
a.
Sampul luar (cover) dan sampul dalam
b.
Daftar isi
c.
Peta lokasi proyek
d.
Peta lokasi sumber bahan material.
e.
Daftar Simbol dan Singkatan.
f.
Daftar bangunan pelengkap dan volume
g.
Daftar rangkuman volume pekerjaan.

6.9. TAHAP PELAPORAN DISKUSI / PRESENTASI


Hasil dari keseluruhan pekerjaan akan dituangkan dalam bentuk laporan termasuk
perhitungan volume pekerjaan dan estimasi biaya pembangunannya. Jenis dan
volume laporan yang disusun konsultan akan dibahas tersendiri pada Bab XII pada
bagian lain dari Dokumen Usulan Teknis ini.

Bab VI - 89

Anda mungkin juga menyukai