BAB VI
METODOLOGI PELAKSANAAN
Bab VI - 1
Agar tingkat standar kualitas perencanaan tertentu sesuai persyaratan dapat dicapai,
maka panduan atau Manual Perencanaan Jembatan (Bridge Design Manual) BMS
92 harus menjadi pegangan dalam menetapkan :
a.
Metodologi Perencanaan
b.
Pemilihan dan Perencanaan Struktur Jalan dan Jembatan
c.
Perencanaan Elemen Struktur Jalan dan Jembatan
d.
Perencanaan Pondasi, Dinding Penahan Tanah dan Slope Protection
e.
Dan lain sebagainya
6.2. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN
Masalah yang timbul di Kutai Timur dapat diidentifikasi sebagai berikut :
a.
Adanya kebutuhan sarana transportasi untuk memperlancar pertumbuhan
perekonomian masyarakat Kabupaten Kutai Timur
b.
Pertumbuhan perekenomian masyarakat di Kutai Tiimur terhadap
perkembangan wilayah di sekitarnya secara makro.
6.3. RUMUSAN PERMASALAHAN
Rumusan masalah dalam Studi Kelayakan Coastal Road Sangatta di Kecamatan
Sandaran adalah :
a.
Bagaimana upaya secara teknis Studi Kelayakan Coastal Road Sangatta di
Kecamatan Sandaran yang disesuaikan dengan kondisi wilayah rencana dapat
memenuhi kekuatan dan stabilitas struktur, mudah dalam pemeliharaan, estetis
serta meminimalisir dampak lingkungan pada tingkat yang wajar dan
cenderung zero.
b.
Bagaimana Studi Kelayakan Coastal Road Sangatta di Kabupaten Kutai Timur
ini ekonomis keawetan dan kelayakan jangka panjang untuk 5 tahun hingga 20
tahun kedepan.
6.4. PENDEKATAN MASALAH
Diperlukan pendekatan dari berbagai disiplin (multi interdisiplin) dalam
memecahkan permasalahan dalam rangka melaksanakan tugas pekerjaan Studi
Kelayakan Coastal Road Sangatta di Kabupaten Kutai Timur. Pendekatan yang
dilakukan yaitu pendekatan yang holistik dari aspek teknis, geologi, geomorfologi,
hydrologi, topografi, agronomi, landscaping dan sosial ekonomi.
6.5. PENDEKATAN UMUM
6.5.1.
Penerapan Teknologi
Penerapan teknologi akan dilakukan dengan pertimbangan yang teliti dan
seksama, pendekatan tehnik dengan menggunakan teknologi yang tepat
guna yang berwawasan lingkungan dan teknologi padat karya yang
berwawasan sosial-ekonomi, diharapkan akan dapat menunjang perluasan
lapangan kerja produktif dan pertambahan nilai yang berimbang dan
berkelanjutan.
Bab VI - 2
6.5.2.
Metodologi Dasar
Metodologi dasar deskriptif analitis akan digunakan dalam pelaksanaan
pekerjaan ini, metodologi dasar ini bertujuan untuk memecahkan
permasalahan yang ada terutama masalah topografi, geologi, hidrologi, yang
berhubungan dengan standar Studi Kelayakan Coastal Road Sangatta.
6.5.3.
6.5.4.
Survey Pendahuluan
Survey Pendahuan atau Reconnaissance Survey adalah survey yang
dilakukan pada awal pekerjaan di lokasi pekerjaan, yang bertujuan untuk
Bab VI - 4
Survey Geometrik
Kegiatan yang dilakukan pada Survey pendahuluan adalah :
1). Mengidentifikasi/memperkirakan secara tepat penerapan desain
geometrik (alinyemen horisontal dan vertikal) berdasarkan
pengalaman dan keahlian yang harus dikuasai sepenuhnya oleh
Highway Engineer yang melaksanakan pekerjaan ini dengan
melakukan pengukuran-pengukuran secara sederhana dan benar
(jarak, azimut dan kemiringan dengan helling meter) dan
membuat sketsa desain alinyemen horizontal maupun vertikal
secara khusus untuk lokasi-lokasi yang dianggap sulit, untuk
memastikan trase yang dipilih akan dapat memenuhi persyaratan
geometrik yang dibuktikan dengan sketsa horizontal dan
penampang memanjang rencana trase jalan.
2). Mengidentifikasi / memperkirakan secara tepat penerapan
desain geometrik (Alinemen horizontal dan vertikal)
berdasarkan pengalaman dan keahlian yang harus dikuasai
sepenuhnya oleh Team Leader, Highway Engineer yang
melaksanakan pekerjaan ini dengan melakukan pengukuranpengukuran secara sederhana dan benar (jarak, azimut,
kemiringan dengan helling meter) dam membuat sketsa desain
Alinemen horizontal maupun vertikal secara khusus, sehingga
dapat memenuhi persyaratan geometrik yang dibuktikan dengan
sketsa horizontan dan penampang memanjang jalan.
3). Didalam penarikan perkiraan desain alinemen horizontal dan
vertikal harus sudah diperhitungkan dengan cermat sesuai
dengan kebutuhan perencanaan untuk lokasi-lokasi : galian /
timbunan, bangunan pelengkap jalan, gorong-gorong dan
jembatan (oprit jembatan), persimpangan yang bisa terlihat
dengan dibuatnya sketsa-sketsa serta tabelaris di lapangan dari
identifikasi kondisi lapangan secara stasioning dari awal s/d
akhir proyek yang nantinya akan diasistentikan dan
mendapatkan persetujuan dari team asistensi recon
4). Semua kegiatan ini harus sudah dikonfirmasikan sewaktu
mengambil keputusan dalam pemilihan lokasi jembatan dengan
anggota team yang saling terkait dalam pekerjaan ini.
Bab VI - 5
5).
6).
b.
Survey Topografi
Kegiatan yang dilakukan oleh Geodetic Engineer dan Surveyor pada
survey pendahuluan adalah :
1). Menentukan awal dan akhir pengukuran serta pemasangan patok
beton Bench Mark di awal dan akhir Pelaksanaan.
2). Mengamati kondisi topografi.
3). Mencatat daerah - daerah yang akan dilakukan pengukuran
khusus serta morfologi dan lokasi yang perlu dilakukan
perpanjangan koridor.
4). Membuat rencana kerja untuk Survey detail pengukuran.
5). Menyarankan posisi patok Benchmark pada lokasi/titik yang
akan dijadikan referensi.
c.
Bab VI - 6
e.
f.
Bab VI - 7
3).
4).
5).
6).
6.6.2.
g.
Survey Hidrologi/Hidrolika
Kegiatan yang dilakukan pada Survey Hidrologi/Hidrolika adalah :
1). Mengumpulkan data curah hujan.
2). Menganalisa luas daerah tangkapan (catchment area).
3). Mengamati kondisi terain pada daerah tangkapan sehubungan
dengan dengan bentuk dan kemiringan yang akan
mempengaruhi pola aliran.
4). Mengamati tata guna lahan.
5). Menginventarisasi bangunan drainase existing.
6). Melakukan pemotretan pada lokasi-lokasi penting.
7). Membuat rencana kerja untuk Survey detail.
8). Mengamati karakter aliran sungai / morfologi yang mungkin
berpengaruh terhadap konstruksi dan saran-saran yang
diperlukan untuk menjadi pertimbangan dalam perencanaan
berikutnya.
h.
Survey Lingkungan
Kegiatan yang dilakukan pada Survey dampak lingkungan adalah :
1). Inventarisasi terhadap zona lingkungan awal yang bertujuan
untuk mengidentifikasi komponen lingkungan yang sensitif,
yang meliputi:
2). Aspek Fisik, kimia dan biologi.
3). Aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat.
4). Pencatatan lokasi bangunan bersejarah, kuburan, fasilitas umum
dsb.
5). Pengambilan contoh air.
6). Pengamatan kondisi.
7). Foto dokumentasi yang diperlukan sehubungan dengan analisa.
8). Membuat rencana kerja untuk Survey detail.
i.
Foto Dokumentasi
1). Foto asli, perlu dilakukan sebagai bukti nyata kondisi lokasi
jembatan
2). Pengambilan medan yang difoto disarankan minimal 4 arah (dua
memanjang dan dua melintang)
Bab VI - 8
b.
Bab VI - 9
3).
4).
5).
6).
7).
8).
b).
c).
d).
e).
6.6.3.
Bab VI - 12
2).
f.
g.
h.
i.
j.
k.
6.6.4.
Survey Hidrologi
Survey hidrologi lengkap digunakan untuk melengkapi parameter-parameter
desain jembatan yang dalam hal ini jembatan yang dimaksud adalah
Bab VI - 13
jembatan diatas lalu lintas sungai atau saluran air, untuk ini pengumpulan
data untuk analisa hihrologi perlu diperhatikan sebagai berikut :
a.
Karakteristik daerah aliran (Catchment Area) dari setiap gejala aliran
yang harus dipelajari dengan cermat dari peta topografi maupun
pemeriksaan langsung di tempat yang meliputi data curah hujan, tata
guna lahan, jenis permukaan tanah, kemiringan dan lain-lain.
b.
Karakteristik sungai yang meliputi :
1). Kecepatan aliran dan gejala arah
2). Debit dan daerah pengaruh banjir
3). Tinggi air banjir, air rendah dan air normal
4). Lokasi penggerusan (scouring) serta jenis/sifat erosi maupun
pengendapan
5). Kondisi aliran permukaan pada saat banjir
c.
Analisa hidrologi yang diperlukan untuk jembatan yang melintas
sungai. Sebelum tahap perhitungan/perencanaan hidrolika dari alur
sungai, dalam hal ini untuk mendntukan hal-hal sbb. :
1). Debit banjir dalam alur sungai jembatan atau debit maksimum
sungai selama periode ulang banjir rencana yang sesuai.
2). Perkiraan tinggi maksimum muka air banjir yang mungkin
terjadi dan semua karakteristiknya.
3). Kedalaman air (air banjir, air rendah dan air normal)
d.
Untuk menentukan elevasi tinggi muka jembatan diperlukan suatu
perkiraan tinggi maksimum banjir yang mungkin terjadi, ditetapkan
dan diperhitungkan dengan periode ulang banjir rencana atau dalam
kurun waktu rencana sebagai berikut :
1). Untuk jembatan panjang / besar (konstruksi khusus)
diperhitungkan dengan periode ulang 100 tahunan.
2). Untuk jembatan biasa / tetap termasuk gorong-gorong
diperhitungkan dengan periode ulang 50 tahunan.
3). Untuk jembatan sementara, perlintasan saluran air dan jembatan
yang melintas di atasnya diperhitungkan dengan periode ulang
25 tahunan.
4). Untuk keperluan analisa hidrologi ditetapkan dengan periode
ulang 50 tahunan.
5). Untuk perhitungan scouring berdasarkan jenis tanah dasar
sungai dan debit serta kecepatan aliran arus sungai.
6). Dalam menentukan besar debit banjir maksimum dalam kurun
waktu rencana tersebut, dipakai pendekatan berdasarkan analisa
frekwensi dari suatu data curah hujan lebat. Di sini perlu ditinjau
hubungan/korelasi antara curah hujan dan aliran sungai.
7). Metode untuk menentukan besar debit banjir tersebut
diklasifikasikan 3 cara yaitu :
a). Cara statistik/kemungkinan-kemungkinan
3) Bersifat teoritis dan dalam peramalan debit banjir
berdasarkan data-data banjir masa lalu.
Bab VI - 14
e.
f.
6.6.5.
Tujuan
Survey lalu lintas bertujuan untuk mendapatkan data lalu lintas yang
terbaru untuk keperluan perencanaan, sedangkan data lalu lintas
sebelumnya dapat diperoleh dari laporan hasil perhitungan lalu lintas
Bina Marga. Survey lalu lintas dan survey beban gander dilakukan
untuk melengkapi pekerjaan pada program khusus A1 dan A3.
b.
Lingkup Pekerjaan
Survey lalu lintas kegiatan-kegiatan meliputi :
1). Perhitungan lalu lintas pada setiap ruas jalan masing-masing
selama 16 jam atau 40 jam
2). Mengumpulkan data lalulintas terdahulu pada Dinas Bina marga
setempat, sekurang-kurangnya 5 tahun terakhir
3). Membuat analisa lalu lintas, tingkat pertumbuhan lalu lintas dan
proyeksinya untuk 10 tahun mendatang.
Bab VI - 15
Bab VI - 16
Bab VI - 17
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997
Dimana :
VJR
=
VLRH =
K
=
F
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997.
Bab VI - 18
e.
Kecepatan Rencana
Volume jam perencanaan (VJR) adalah volume lalu lintas per jam
yang dipergunakan sebagai dasar perencanaan (Sony Sulaksono,
2001). Volume ini harus mencerminkan keadaan lalu lintas
sebenarnya tetapi biasanya tidak sama dengan volume terbesar atau
arus tersibuk yang akan melewatinya, perencanaan berdasarkan
volume terbesar ini akan mengahasilkan konstruksi yang boros yang
hanya akan berguna pada arus maksimum dan ini terjadi dalam kurun
waktu singkat dalam sehari.
Volume lalu lintas untuk perencanaan geometrik umumnya ditetapkan
dalam Satuan Mobil Penumpang (SMP) sehingga masing masing
jenis kendaraan yang diperkirakan yang akan melewati jalan rencana
harus dikonversikan kedalam satuan tersebut dengan dikalikan nilai
ekivalensi mobil penumpang (emp). Besarnya faktor ekivalensi
tersebut, dalam perencanaan geometrik jalan antar kota ditentukan
pada tabel di bawah ini:
Tabel 6.2. Ekivalen Mobil Penumpang (emp)
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997
Dimana :
VJR
=
VLRH =
K
=
F
Bab VI - 19
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga 1997
f.
Kecepatan Rencana
Kecepatan adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh
kendaraan dibagi waktu tempuh, biasanya dinyatakan dalam km/jam.
Kecepatan Rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan
perencanaan setiap bagian jalan raya seperti tikungan, kemiringan
jalan, jarak pandang dan lain- lain (Sukirman, 1994).
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kecepatan rencana adalah
keadaan terrain apakah datar, berbukit atau gunung. Untuk
menghemat biaya tentu saja perencanaan jalan sepantasnya
disesuaikan dengan keadaan medan. Suatu jalan yang ada di daerah
datar tentu saja memiliki design speed yang lebih tinggi dibandingkan
pada daerah pegunungan atau daerah perbukitan.
Adapun faktor - faktor yang mempengaruhi kecepatan rencana antara
lain:
a) Topografi ( Medan )
Untuk perencanaan geometrik jalan raya, keadaan medan
memberikan batasan kecepatan terhadap kecepatan rencana sesuai
dengan medan perencanaan ( datar, berbukit, dan gunung ).
b) Sifat dan tingkat penggunaan daerah
Kecepatan rencana untuk jalan - jalan arteri lebih tinggi
dibandingkan jalan kolektor.Untuk kondisi medan yang sulit,
kecepatan rencana suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan
Bab VI - 20
Bab VI - 22
Bab VI - 23
Bab VI - 24
Lajur
Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang,
dibatasi oleh marka lajur jalan, memiliki lebar yang cukup
untuk dilewati suatu kendaraan bermotor sesuai kendaraan
rencana. Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan
kendaraan rencana (Jotin Khisty, 2003).
Lebar Lajur Lalu Lintas
Lebar lajur lalu lintas merupakan bagian yang paling
menentukan lebar melintang jalan secara keseluruhan
(Sukirman, 1994). Besarnya lebar lajur lalu lintas hanya
dapat ditentukan dengan pengamatan langsung dilapangan
karena :
a. Lintasan kendaraan yang satu tidak mungkin akan
dapat diikuti oleh lintasan kendaraan lain dengan tepat.
b. Lajur lalu lintas mungkin tepat sama degan lebar
kendaraan maksimum. Untuk keamanan dan
kenyamanan setiap pengemudi membutuhkan ruang
gerak antara kendaraan.
Bab VI - 25
c.
Bahu Jalan
Bahu jalan atau tepian jalan adalah bagian jalan yang terletak
di antara tepi jalan lalu lintas dengan tepi saluran, parit, kreb
atau lereng tepi (Clarkson H.Oglesby,1999). AASHTO
menetapkan agar bahu jalan yang dapat digunakan harus
dilapisi perkerasan atau permukaan lainyang cukup kuat
untuk dilalui kendaraan dan menyarankan bahwa apabila
jalur jalan dan bahu jalan dilapisi dengan bahan aspal, warna
dan teksturnya harus dibedakan Bahu jalan berfungsi
sebagai:
1. Tempat berhenti sementara kendaraan
2. Menghindarkan diri dari saat-saat darurat sehingga
dapat mencegah terjadinya kecelakaan
3. Memberikan sokongan pada konstruksi perkerasan
jalan dari arah samping agar tidak mudah terkikis
4. Ruang pembantu pada waktu mengadakan pekerjaan
parbaikan atau pemeliharaan jalan (Bina Marga, 1997).
Jenis Bahu Jalan
Berdasarkan tipe perkerasannya, bahu jalan dapat dibedakan
atas :
a. Bahu yang tidak diperkeras, yaitu bahu yang hanya
dibuat dari material perkerasan jalan tanpa bahan
pengikat, bahu ini dipergunakan untuk daerah daerah
yang tidak begitu penting, dimana kendaraan yang
berhenti dan mempergunakan bahu tidak begitu banyak
jumlahnya.
b. Bahu yang diperkeras, yaitu bahu yang dibuat dengan
mempergunakan bahan pengikat sehingga lapisan
tersebut lebih kedap air dari pada bahu yang tidak
diperkeras. Bahu dipergunakan untuk jalan jalan
dimana kendaraan yang akan berhenti dan memakai
bagian tersebut besar jumlahnya
Lebar Bahu Jalan
Besarnya lebar bahu jalan dipengaruhi oleh :
a. Fungsi jalan; jalan arteri direncanakan untuk kecepatan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan jalan lokal.
Dengan demikian jalan arteri membutuhkan kebebasan
samping, keamanan, dan kenyamanan yang lebih besar,
atau menuntut lebar bahu yang lebih besar dari jalan
lokal.
Bab VI - 27
Bab VI - 28
Median
Median adalah bagian bangunan jalan yang secara fisik
memisahkan dua jalur lalu lintas yang berlawanan arah
(Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, 2004).
Fungsi median adalah untuk:
a) Memisahkan dua aliran lalu lintas yang berlawanan
arah
b) Ruang lapak tunggu penyeberang jalan
c) Penempatan fasilitas jalan
d) Tempat prasarana kerja sementara
e) Penghijauan
f) Tempat berhenti darurat (jika cukup luas)
g) Cadangan lajur (jika cukup luas)
h) Mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan dari arah
yang berlawanan
Median dapat dibedakan atas :
a) Median direndahkan, terdiri atas jalur tepian dan
bangunan pemisah jalur yang direndahkan.
b) Median ditinggikan, terdiri atas jalur tepian dan
bangunan pemisah jalur yang ditinggikan.
Lebar minimum median terdiri atas jalur tepian selebar 0,250,50 meter dan bangunan
pemisah jalur, ditetapkan dapat dilihat dalam tabel di bawah
ini.
Tabel 6.7. Lebar Minimum Median
Bab VI - 29
Bab VI - 30
2) Jarak Pandang
Jarak pandang adalah jarak dimana pengemudi dapat melihat
benda yang menghalanginya, baik yang bergerak maupun yang
tidak bergerak dalam batas mana pengemudi dapat melihat dan
menguasai kendaraan pada satu jalur lalu lintas. Jarak pandang
bebas ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : jarak pandang
henti dan jarak pandang mendahului (Sony Sulaksono, 2001).
Jarak Pandang Henti ( JPH )
Jarak pandang henti (JPH) adalah jarak yang diperlukan
untuk menghentikan kendaraan bila ada suatu halangan di
tengah jalan (Sony Sulaksono, 2001).
Tabel 6.9. Lebar Minimum Median
Bab VI - 31
Dimana :
R = Jari jari tikungan (m)
Jh = Jarak pandang henti (m)
Lt = Panjang tikungan (m)
Bab VI - 32
Bab VI - 33
Dimana :
R = Jari jari tikungan (m)
Jh = Jarak pandang henti (m)
Lt = Panjang tikungan (m)
Bab VI - 35
C. Persyaratan Alinemen
a. Alinemen Vertikal
Alinemen vertikal adalah proyeksi dari sumbu jalan pada suatu bidang
vertikal yang melalui sumbu jalan tersebut.Alinemen vertikal terdiri
atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung vertikal (Sukirman,
1994). Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat
berupa landai positif (tanjakan), atau landai negatif (turunan), atau
landai nol (datar).
Landai Maksimum
Landai Maksimum adalah landai vertikal maksimum dimana truk
dengan muatan penuh masih mampu bergerak dengan penurunan
kecepatan tidak lebih dari setengah kecepatan awal tanpa
penurunan gigi rendah (Sony Sulaksono, 2001) seperti pada tabel
di bawah ini:
Tabel 6.14 Kelandaian maksimum yang diizinkan
Panjang Kritis
Panjang kritis adalah panjang landai maksimum yang harus
disediakan agar kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya
sedemikian rupa sehingga penurunan kecepatan tidak lebih dari
kecepatan rencana (Sony Sulaksono, 2001).Lama perjalanan
tersebut tidak boleh lebih dari satu menit
Tabel 6.15 Kelandaian maksimum yang diizinkan
Lengkung Vertikal
Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang
mengalami perubahan kelandaian dengan tujuan mengurangi
goncangan akibat perubahan kelandaian dan menyediakan jarak
pandang henti. Lengkung vertikal terdiri atas lengkung vertikal
cembung dan lengkung vertikal cekung (Sony Sulaksono, 2001).
Bab VI - 36
Dimana:
LV =
A =
S =
Y =
Bab VI - 37
b. Alinemen Horizontal
Alinemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang
horizontal. Alinemen horizontal dikenal juga dengan nama situasi
jalan atau trase jalan, yang terdiri dari garis-garis lurus yang
dihubungkan dengan garis-garis lengkung. Garis lengkung tersebut
dapat terdiri dari busur lingkaran ditambah busur peralihan, busur
peralihan saja atau busur lingkaran saja (Sukirman, 1994). Alinemen
horizontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung (disebut juga
tikungan). Perencanaan geometrik pada bagian lengkung dimaksudkan
untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan
yang berjalan pada kecepatan VR.
Jari - Jari Tikungan
Jari-jari tikungan adalah nilai yang membatasi besar
kelengkungan untuk kecepatan rencana tertentu dan ditentukan
dari besar superelevasi maksimum dan faktor gesekan samping
maksimum yanag dipilih untuk desain ( AASHTO 2001).
Bagian yang sangat kritis pada alinemen horizontal adalah bagian
tikungan karena terdapat gaya yang akan melemparkan kendaraan
keluar dari tikungan (gaya sentrifugal), hal tersebut harus
diimbangi oleh komponen berat kendaraan yang diakibatkan oleh
superelevasi dari jalan dan oleh gesekan samping (side friction)
antara ban dan permukaan jalan. Hubungan antara kecepatan (V),
jari-jari tikungan (R), kemiringan melintang/ superelevasi (e) dan
gaya gesek samping antara ban dan permukaan jalan (f) didapat
dari hukum mekanika F = m.a (Hukum Newton II).Gaya
sentrifugal saat kendaraan bergerak di tikungan dengan
persamaan
Dimana
G = berat kendaraan dan
g = percepatan gravitasi.
Bab VI - 38
Penurunan Rumus :
K = F max
FL + FR = K
( NR + NL ) f = m . a
Bab VI - 39
Bab VI - 40
Dengan :
e = Superelevasi
Bab VI - 42
Dengan :
e = superelevasi
Bab VI - 43
Bab VI - 44
Untuk tikungan yang jari-jarinya lebih kecil daripada hargaharga di atas bentuk tikungan harus dipakai spiral - circle
spiral atau spiral spiral.
Rumus-rumus untuk full circle menentukan T,L dan E adalah
sebagai berikut:
Sehingga diperoleh:
Bab VI - 45
Dengan:
P.I =
V =
R =
=
TC =
CT =
T =
L =
E =
Point of intersection
Kecepatan rencana (km/jam)
Jari-jari (m)
Sudut tangent (derajat)
Tangent circle
Circle tangent
Jarak antara TC dan PI (m)
Panjang bagian tikungan (m)
Jarak PI ke bentuk lengkung (m)
Bab VI - 46
Bab VI - 47
Superelevasi
Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang
berfungsim untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima
kendaraan pada saat berjalan melalui tikungan pada kecepatan
rencana (Clarkson H.Oglesby,1999).
Diagram superelevasi adalah suatu diagram yang dimaksudkan
sebagai cara untuk menggambarkan pencapaian kemiringan
melintang penuh (superelevasi).
Superelevasi maksimum yanag digunakan pada jalan raya
dipengaruhi oleh empat faktor antara lain : kondisi iklim (yaitu:
frekuensi dan jumlah salju dan es), kondisi medan (misalnya :
datar, bukit, atau pegunungan),jenis wilayah (yaitu:pedesaan atau
Perkotaan), dan frekuensi kendaraan yang bergerak sangat lambat
(AASHTO 2001).
Pada diagram superelevasi dapat kita bedakan antara diagram
kemiringan melintang untuk jalan raya tanpa median dan jalan
raya yang median. Pada jalan raya tanpa median, perubahan profil
melintang (superelevasi) dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu :
1. Mengambil sumbu jalan sebagai sumbu putar.
2. Mengambil tepi perkerasan sebelah dalam sebagai sumbu
putar.
Bab VI - 48
Bab VI - 49
Bab VI - 51
Bab VI - 52
Bab VI - 53
Bab VI - 54
Bab VI - 55
Bab VI - 56
Bab VI - 57
Bab VI - 58
Bab VI - 59
c. Koordinasi Alinemen
Alinemen vertikal, alinemen horizontal, dan potongan melintang jalan
adalah elemen elemen jalan sebagai keluaran perencanaan harus
dikoordinasikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk
jalan yang baik dalam arti memudahkan pengemudi mengemudikan
kendaraannya dengan aman dan nyaman. Bentuk kesatuan ketiga
elemen jalan tersebut diharapkan dapat memberikan kesan atau
petunjuk kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan dilalui di
depannya sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi lebih awal
Koordinasi alinemen vertikal dan alinemen horizontal harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
1. Alinemen horizontal sebaiknya berimpit dengan alinemen vertikal
dan secara ideal alinemen horizontal lebih panjang sedikit
melingkupi alinemen vertikal.
2. Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung
atau pada bagian atas lengkung vertikal cembung harus
dihindarkan.
3. Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan
panjang harus dihindarkan.
4. Dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal
harus dihindarkan.
5. Tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan
panjang harus dihindarkan (Sony Sulaksono, 2001).
Bab VI - 60
D. Perkerasan Jalan
a. Ruang Lingkup
Lingkup manual ini meliputi perencanaan perkerasan untuk jalan baru,
pelebaran jalan, dan rekonstruksi untuk perkerasan lentur dan
perkerasan kaku. Manual ini juga menjelaskan faktor faktor yang
perlu dipertimbangkan dalam pemilihan struktur perkerasan dan
ulasan mengenai masalah pelaksanaan
Manual ini merupakan pelengkap pedoman desain perkerasan Pd T01-2002-B dan Pd T- 14-2003, dengan penajaman pada aspek aspek
sebagai berikut:
a)
Penentuan umur rencana;
b)
Penerapan minimalisasi lifecycle cost;
c)
Pertimbangan kepraktisan pelaksanaan konstruksi;
d)
Penggunaan material yang efisien.
Penajaman pendekatan desain yang digunakan dalam melengkapi
pedoman desain perkerasan Pd T-01-2002-B dan Pd T-14-2003,
adalah pada hal hal berikut:
a)
umur rencana optimum yang ditentukan dari analisis life
cycle cost;
b)
koreksi terhadap faktor iklim yang mempengaruhi masa
pelayanan perkerasan;
c)
analisis beban sumbu secara menyeluruh;
d)
pengaruh temperatur;
e)
pengenalan struktur perkerasan cement treated base;
f)
pengenalan prosedur rinci untuk desain pondasi jalan;
g)
desain drainase;
h)
ketentuan analisis lapisan untuk Pd T-01-2002-B;
i)
penerapan pendekatan mekanistis;
j)
katalog desain.
Manual perencanaan perkerasan ini digunakan untuk menghasilkan
desain awal yang kemudian hasil tersebut diperiksa terhadap pedoman
desain perkerasan Pd T-01-2002- B,dan Software Desain Perencanaan
Jalan Perkerasan Lentur (SDPJL) untuk desain perkerasan lentur, dan
dengan Pd T-14-2003 untuk desain perkerasan kaku. Perubahan yang
dilakukan terhadap desain awal menggunakaan manual ini harus
dilakukan dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian.
b. Kebijakan Desain
Desain yang baik harus memenuhi kriteria - kriteria sebagai berikut:
Desain yang baik harus memenuhi kriteria - kriteria sebagai berikut:
Bab VI - 61
1.
Bab VI - 62
7.
8.
c.
Bab VI - 63
Lebar Jembatan
Lebar jembatan ditentukan berdasarkan dari aspek lalu lintas pada
jalan tersebut, setelah dilakukan analisa lalu lintas jalan tol, maka
didapatkan lebar lajur jalan, lebar lajur jalan tersebut nantinya
digunakan sebagai dasar perencanaan lebar jembatan.
b.
Panjang Jembatan
Panjang jembatan ditentukan dari kondisi geografis di daerah sekitar
jembatan.
c.
Tinggi Jembatan
Tinggi jembatan disesuaikan dengan elevasi rencana jalan dan elevasi
tanah dasar pada jembatan tersebut. Penetapan tinggi jembatan ini
juga mempertimbangkan kondisi topografi lokasi jembatan rencana
supaya tercapai efisiensi, efektifitas dan kelayakan konstruksi.
d.
Alinyemen Horizontal
Merupakan proyeksi sumbu jalan tegak lurus bidang horizontal yang
terdiri dari susunan lurus (tangen) dan garis lengkung (busur,
lingkaran, spiral). Bagian lengkung merupakan bagian yang perlu
mendapat perhatian, karena pada bagian tersebut dapat terjadi gaya
sentrifugal yang cenderung dapat melemparkan kendaraan keluar
Bab VI - 65
Superelevasi (e)
Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan
yang berfungsi mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima
kendaraan pada saat berjalan melalui tikungan pada kecepatan
rencana. Superelevasi maksimum sebaiknya seperti yang
dinyatakan sebagai berikut :
Jalan Tipe I superelevasi : 10 %
Jalan Tipe II superelevasi : 6%
2).
Jari-Jari Tikungan
Jari-jari tikungan minimum (Rmin) ditetapkan sebagai berikut :
Keterangan :
Rmin
= jari-jari tikungan minimum (m)
VR
= kecepatan rencana (km/jam)
emax
= superelevasi maksimum (%)
fmax
= koefisien gesek maksimum untuk perkerasan aspal
(f = 0,14 - 0,24)
Tabel 6.26. Panjang Jari-jari Minimum
No.
Kecepatan
Rencana VR
(km/jam)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
100
80
60
50
40
30
20
Jalan Tipe II
350
230
120
80
-
460
280
150
100
60
30
15
Kecepatan Rencana VR
(km/jam)
Jari-Jari Minimum
Disarankan Rmin (m)
1.
2.
3.
100
80
60
700
400
200
Bab VI - 66
4.
5.
6.
7.
50
40
30
20
150
100
65
30
3).
Jari-Jari Tikungan
Panjang as sebuah jalur jalan pada tikungan sebaiknya dua kali
panjang bagian peralihan.
Tabel 6.28. Panjang Tikungan Minimum
No.
Kecepatan
Rencana VR
(km/jam)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
100
80
60
50
40
30
20
Keadaan Terpaksa
600
500
350
300
250
175
140
170
140
100
80
70
50
40
4).
Lengkung Peralihan
Lengkung peralihan adalah lengkung transisi pada alinyemen
horizontal dan sebagai pengantar dari kondisi lurus ke lengkung
penuh secara berangsurangsur. Pada lengkung peralihan,
perubahan kecepatan dapat terjadi secara berangsur-angsur serta
memberikan kemungkinan untuk mengatur pencapaian
kemiringan (perubahan kemiringan melintang secara berangsurangsur).
Tabel 6.29. Panjang Minimum Lengkumg Peralihan
No.
Kecepatan Rencana VR
(km/jam)
Panjang Minimum
Lengkung Peralihan (m)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
100
80
60
50
40
30
20
85
70
50
40
35
25
20
Macam-macam
horizontal :
a).
tikungan
pada
perencanaan
alinyemen
Full Circle
Jenis tikungan ini dapat digunakan pada tikungan dengan
jari-jari besar dan sudut tangen () relatif kecil. Pada
umumnya tipe tikungan ini dipakai pada daerah dataran,
tetapi juga tergantung pada besarnya kecepatan rencana
dan radius tikungan.
Keterangan :
PI
= titik perpotongan tangen
Rc
= jari-jari lingkaran (m)
= sudut tangen ()
TC
= Tangen Circle
T
= jarak antara TC dan PI atau PI dan CT (m)
Lc
= panjang bagian lengkung circle
E
= jarak PI ke lengkung circle
Rumus yang digunakan :
Bab VI - 68
b).
Keterangan :
PI
= titik perpotongan tangen
TS
= titik perubahan dari tangen ke spiral
SC
= titik perubahan dari spiral ke circle
CS
= titik perubahan dari circle ke spiral
Rc
= jari-jari lengkung lingkaran
L
= panjang busur spiral dari TS ke suatu titik
sembarang
Lc
= panjang busur lingkaran
Ls
= panjang busur spiral
T
= panjang tangen utama
E
= panjang eksternal total dari PI ke tengah busur
lingkaran
TL
= panjang tangen panjang dari spiral
TK
= panjang tangen pendek dari spiral
S
= panjang tali busur spiral
Si
= panjang tali busur spiral dari TS ke titik
sembarang
Rc = jarak dari busur lingkaran tergeser terhadap
jarak tengah
Xm = jarak dari TS ke titik proyeksi pusat lingkaran
pada tangen
Bab VI - 69
s
si
d
Xc,Yc
=
=
=
=
i,Yi
c).
Bab VI - 70
Bab VI - 71
Pembebanan Jembatan
Perhitungan
pembebanan
jembatan
direncanakan
dengan
menggunakan aturan yang terdapat pada Peraturan Perencanaan
Teknik Jembatan 1992 (BMS/Bridge Manajemen System) bagian 2
tentang beban jembatan. Penggunaan pedoman ini dimaksudkan
untuk mencapai perencanaan ekonomis sesuai kondisi setempat,
tingkat keperluan, kemampuan pelaksanaan dan syarat teknis lainnya,
sehingga proses perencanaan menjadi efektif.
Pembebanan yang diperhitungkan dalam perencanaan struktur adalah
merupakan beban akibat berat sendiri, beban hidup, beban angin, dan
beban pekerja dari data lalu lintas terbesar + asumsi 20 th. ke depan +
beban gempa bila dianggap perlu.
1).
Beban Tetap
Adalah berat dari masing-masing bagian struktural dan elemenelemen nonstruktural. Masing-masing berat elemen ini harus
dianggap sebagai aksi yang tidak dipisahkan dan tidak boleh
menjadi bagian-bagian pada waktu menerapkan faktor beban
biasa dan yang terkurangi. Adapun beban tetap terdiri dari :
a). Berat sendiri
Beban mati merupakan berat bahan dan bagian jembatan
yang merupakan elemen struktural, ditambah dengan
elemen non struktural yang dianggap tetap.
b). Beban mati tambahan
Adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu beban
pada jembatan yang merupakan elemen non struktural, dan
mungkin umurnya berubah selama umur jembatan.
c). Pengaruh penyusutan dan rangka
Pengaruh ini harus diperhitungkan dalam perencanaan
jembatan-jembatan beton. Apabila penyusutan dan
rangkak bisa mengurangi pengaruh muatan lainnya, maka
harga dari rangkak dan penyusutan tersebut harus diambil
minimum (misalnya pada waktu transfer dari beton
prategang).
d). Pengaruh prategang
Prategangan harus diperhitungkan sebelum (selama
pelaksanaan) dan sesudah kehilangan dalam kombinasinya
dengan beban lain.
e). Tekanan tanah
Bagian bangunan jembatan yang menahan tanah harus
direncanakan dapat menahan tekanan tanah sesuai dengan
rumus-rumus yang ada.
Bab VI - 72
f).
2).
Bab VI - 73
Bab VI - 74
b).
Beban Truk T
Pembebanan truk T terdiri dari kendaraan truk semi
trailer yang mempunyai susunan dan berat as seperti
terlihat pada Gambar 6.7. Berat dari masing-masing as
disebarkan menjadi 2 beban merata sama besar yang
merupakan bidang kontak antara roda dengan permukaan
lantai. Jarak antara 2 as tersebut bisa diubah antara 4,0 m
sampai 9,0 m untuk mendapatkan pengaruh terbesar pada
arah memanjang jembatan.
c).
d).
e).
Bab VI - 75
f).
Gaya setrifugal
Untuk jembatan yang mempunyai lengkung horisontal
harus diperhitungkan adanya gaya sentrifugal akibat
pengaruh pembebanan lalu lintas untuk seluruh bagian
bangunan. Beban lalu lintas dianggap bergerak pada
kecepatan tiga perempat dari kecepatan rencana untuk
jalan. Gaya sentrifugal harus bekerja secara bersamaan
dengan pembebanan D atau T dengan pola yang sama
sepanjang jembatan. Fraksi beban dinamis jangan
ditambahkan dengan gaya sentrifugal tersebut. Gaya
sentrifugal dianggap bekerja pada permukaan lantai
dengan arah keluar secara radial dan harus sebanding
dengan pembebanan total pada suatu titik berdasarkan
rumus :
TTR =
g).
3).
0,006 ( V / r ) TT
Dimana :
TTR
= Gaya sentrifugal yang bekerja pada bagian
jembatan.
TT
= Pembebanan lalu lintas total yang bekerja pada
bagian yang sama.
V
= Kecepatan lalu lintas rencana ( km/jam ).
r
= Jari-jari lengkungan (m).
Beban tumbukan pada penyangga jembatan
Pilar yang mendukung jembatan yang melintas jalan raya,
jalan kereta api dan navigasi sungai harus direncanakan
mampu menahan beban tumbukan. Kalau tidak, bisa
direncanakan dan dipasang pelindung.
Aksi lingkungan
Aksi lingkungan adalah beban-beban akibat pengaruh
temperatur, angin, banjir, gempa, dan penyebab-penyebab
alamiah lainnya. Besarnya beban rencana yang diberikan dalam
tata cara ini didasarkan pada analisa statistik dari kejadiankejadian umum yang tercatat tanpa memperhitungkan hal
khusus yang mungkin akan memperbesar pengaruh setempat.
a). Penurunan
Jembatan harus direncanakan untuk bisa menahan
terjadinya penurunan yang diperkirakan, termasuk
perbedaan penurunan, sebagai aksi daya layan. Pengaruh
penurunan mungkin bisa dikurangi dengan adanya
rangkak dan interaksi pada struktur tanah.
b). Pengaruh temperatur
Pengaruh temperatur dibagi menjadi :
(1). Variasi pada temperatur jembatan rata-rata
Bab VI - 76
c).
Cw = 1,2
d).
Pengaruh Gempa
Pengaruh gempa rencana hanya ditinjau pada keadaan
batas ultimate.
(1). Beban horisontal statis ekwivalen
Untuk jembatan besar, rumit dan penting mungkin
diperlukan analisa dinamis. Beban rencana gempa
minimum diperoleh dari rumus berikut :
TEQ = Kh / Wr
dimana:
= C.S
Dan :
Bab VI - 77
dimana:
T
= Waktu getar dalam detik
g
= Percepatan gravitasi (m/dt2)
WTP = Berat total nominal bangunan atas
termasuk beban mati tambahan ditambah
setengah berat dari pilar (kN)
Kp
= Kekakuan gabungan sebagai gaya
horisontal
yang
diperlukan
untuk
menimbulkan satu satuan lendutan pada
bagian atas pilar (kN/m)
Catatan bahwa jembatan biasanya mempunyai waktu
getar yang berbeda pada arah memanjang dan
melintang sehingga beban rencana statis ekivalen
yang berbeda harus dihitung untuk masing-masing
arah.
(2). Ketentuan-ketentuan khusus untuk pilar tinggi
Apabila berat pilar lebih besar dari 20 % berat total
yang dipengaruhi oleh percepatan gempa, WT, maka
beban statis ekivalen arah horisontal pada pilar harus
disebarkan.
(3). Beban vertikal statis ekwivalen
Untuk perencanaan perletakan dan sambungan, gaya
gempa vertikal dihitung dengan menggunakan
Bab VI - 78
Aksi-aksi Lainnya
a). Gesekan pada perletakan
Bab VI - 79
b).
c).
d).
5).
Kombinasi Beban
a). Umum
Aksi rencana ditentukan dari aksi nominal yaitu
mengalikan aksi nominal dengan faktor beban yang
memadai. Seluruh pengaruh aksi rencana harus
mengambil faktor beban yang sama, apakah itu biasa atau
terkurangi.
b). Pengaruh Umur Rencana
Faktor beban untuk keadaan batas ultimate didasarkan
kepada umur rencana jembatan 50 tahun. Untuk jembatan
dengan umur rencana berbeda, faktor beban ultimate harus
diubah dengan menggunakan faktor pengali.
c). Kombinasi untuk Aksi Tetap
Seluruh aksi tetap untuk jembatan tertentu diharapkan
bekerja bersama-sama. Akan tetapi apabila aksi tetap
bekerja mengurangi pengaruh total, kombinasi beban
harus diperhitungkan dengan memperhitungkan adanya
pemindahkan aksi tersebut, apabila pemindahan tersebut
bisa diterima.
d). Perubahan Aksi Tetap terhadap Waktu
Bab VI - 80
e).
f).
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Kombinasi Beban
Daya Layan
Ultimate
2
3
4
5
6
1
2
3
4
o
x
o
o
x
x
o
o
o
o
o
o
o
x
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
Aksi
o
o
o
o
x
x
x
6).
= RWS
Bab VI - 81
Dimana :
S
= pengaruh aksi rencana, diberikan dari :
S
= S.S
Dimana :
S
= pengaruh aksi nominal
RWS = perlawanan atau kekuatan rencana diberikan dengan
rumus :
Dimana
S
= perlawanan atau kekuatan berdasarkan pada
tegangan kerja izin
ros
= tegangan berlebihan yang diperbolehkan diberikan.
b.
Bab VI - 82
b).
Bentuk
h/L
L (m)
1/20
15 - 50
1/8 - 1/11
30 - 100
Bentuk
h/L
L (m)
1/12 - 1/15
6 - 20
1/12 - 1/15
12 - 30
Bab VI - 83
c).
d).
Bentuk
h/L
L (m)
Gelagar I
1/6 - 1/17
6 - 20
Gelagar T
1/17,5
12 - 30
Bentuk
Gelagar komposit
h/L
L (m)
1/25 - 1/27
5 - 25
1.
2.
3.
4.
Alternatif
Baja
Keuntungan
Mutu bahan seragam
Mudah pemasangan
Mampu mencapai
yang panjang.
Kerugian
bentang
Beton
konvensional
Beton
prategang
Beton
komposit
Bab VI - 84
2).
c.
Bentuk
Tinggi (m)
Abutment tembok
penahan kantilever
<8
Abutment tembok
penahan kontrafort
6.8 - 20
Abutment tembok
penahan gravitasi
< 20
Abutment kolom
spill throught
6.8 - 20
Abutment balok
cap tiang sederhana
< 3.4
Bab VI - 86
2).
3).
4).
6.7.4.
b.
6.7.5.
Bab VI - 87
1).
b.
Situasi / Plan
Situasi / Plan di gambar diatas peta situasi dengan letak jembatan lama dan
baru pada daerah cukup lebar sehingga jelas kedudukan jembatan tersebut.
Digambar pada skala 1 : 500 yang berisi antara lain :
a.
Lokasi dan nomor titik kontrol horisontal dan vertikal
b.
Lokasi dan nomor potongan melintang
c.
Elemen-elemen lengkung horisontal
d.
Batas penguasaan (ROW) dan Penggunaannya.
e.
Semua data-data topografi yang penting (rumah, jalan lama, jenisjenis tanaman utania dan lain-lain)
f.
Patok-patok pengukuran.
6.8.2.
Potongan Memanjang
Digambar dibawah plan tersebut, dengan skala horizontal 1 : 500 dan
vertikal 1 : 100 yang berisi hal-hal sebagai berikut :
a.
Tinggi muka tanah asli dan tinggi nomor potongan melintang.
b.
Elemen-elemen data data lengkung vertkal dan horisontal.
c.
Elemen-elemen data jalan pendekat.
6.8.3.
Bab VI - 88
6.8.4.
Bangunan Jembatan
Plans serta potongan-potongan seperti pada butir 1, 2, 3 diatas :
a.
Denah, potongan memanjang dan melintang jembatan
b.
Detail bangunan bawah dan bangunan atas.
6.8.5.
6.8.6.
Bab VI - 89