Oleh:
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MATARAM
PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis1 adalah seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal
tentang Nabi Muhammad SAW, atau menurut yang lain adalah
segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik
berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan (taqrir)-nya.2
Hadis dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain AlQur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadis
merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Berbeda dengan Al-Quran yang semua ayat-ayatnya
diterima oleh para sahabat dari Rasulullah Nabi Muhammad SAW
secara mutawatir dan telah ditulis dan dikumpulkan sejak zaman
beliau masih hidup, baik fi as-suthur maupun fi ash-shudur, serta
dibukukan secara resmi sejak zaman khalifah pertama Abu Bakar
ash-Shiddiq (w. 13 H),3 sebagian besar hadis Nabi tidaklah
1 Penulisan kata atau istilah hadis (dalam tulisan arabnya )yang biasa
ditemukan diberbagai buku berbahasa Indonesia adalah hadis, dengan akhiran ts
untuk huruf . Namun dalam makalah ini penulis menggunakan huruf s untuk
huruf karena kebiasaan lidah kita menyebut hadis (menggunakan huruf s)
dalam berbahasa Indonesia.
2 Lihat H. Mudasir, Cet. 1, Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm.13-14
3 Lihat M. Syuhudi Ismail dalam tulisannya yang berjudul Kriteria Hadis Sahih: Kritik
Sanad dan Matan, menulis bahwa sekiranya seluruh periwayatan hadis Nabi sama
dengan periwayatan Al-Quran, yakni sama-sama mutawatir, niscaya istilah-istilah
shahih, hasan, dan dhaif untuk hadis tidak akan muncul. M. Syuhudi Islmail dalam
Yunahar Ilyas, Lc dan M. Masudi (Ed.), Cet. I., Pengembangan Pemikiran Terhadap
Hadis, (Yogyakarta: LPPI UMY, 1996), hlm. 3
34
riwayat
yang
ahad
yang
berkualitas
shahih
5 Ibid, hlm. 3
6 Ibid, hlm. vii. Secara historis, pemalsuan hadis belum pernah terjadi pada zaman
Nabi. Pemalsuan hadis mulai terjadi dan berkembang pada zaman Khalifah Ali bin Abi
Thalib (w. 40 H/661 M). Lihat pula M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1988) hlm. 90-91
7 Ibid, hlm. 3
34
sumber ajaran Islam itu menjadi tidak sama, yakni seluruh ayat
Al-Quran bertingkat qathi al-wurud, sedangkan untuk riwayat
hadis, ada yang qathi al-wurud dan ada yang zhanni al-wurud.
Riwayat yang qathi al-wurud terhindar dari kemungkinan salah,
sedang
yang
zhanni
al-wurud
terbuka
peluang
terjadinya
terhadap
otentitas
dan
validitas
hadis
rumusan-rumusan
yang
pasti
mengenai
kriteria
34
10
diperlukan
pengembangan
sejalan
dengan
34
jalannya
sanad
hadis,
sehingga
kita
dapat
menggunakan
metode
takhrij
hadis
ini.
Dengan
34
5. Dapat mengetahui serta memahami metode dan langkahlangkah kegiatan takhrij hadis.
34
BAB II
PEMBAHASAN
-
artinya keluar. Jika ditambah dengan
wazan
maka bentuk masdarnya adalah yang berarti
mengeluarkan.13 Mengeluarkan sesuatu dari suatu tempat
: . Beberapa sumber mengartikan kata kharaja (
)berarti tampak dari tempatnya atau keadaaannya, dan
terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj ()
berarti menampakkan dan memperlihatkannya. Kemudian kata
al-makhraj ( )yang artinya tempat keluar.14
Sedangkan menurut istilah Muhaddisin, takhrij diartikan
dalam beberapa pengertian di bawah ini:
1. Suatu keterangan bahwa hadis yang dinukilkan ke dalam
kitab susunannya itu terdapat dalam kitab lain yang telah
disebutkan nama penyusunnya. Misalnya, penyusun hadis
mengakhiri penulisan hadisnya dengan kata-kata
kitab
al-Jami
al-Shahih
al-Bukhari.
Bila
ia
14 Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis Oleh Syaikh Manna Al-Qaththan
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hlm. 189
34
hadis
sumber
berdasarkan
dengan
sumbernya
mengikutsertakan
atau
metode
Artinya: Takhrij adalah penunjukan terhadap tempat hadis di
dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanad dan
martabatnya sesuai dengan kebutuhan.15
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa takhrij hadis
meliputi kegiatan :
1. Periwayatan (penerimaan, perawatan, pentadwinan, dan
penyampaian) hadis.
2. Penukilan hadis dari kitab-kitab asal untuk dihimpun dalam
suatu kitab tertentu.
15 Ibid, hlm. 189. Lihat juga Thahhan, Mahmud Ath-, Ushul at-Takhrij wa Dirasah alAsanid, Riyadh: Maktabah al-Maarif, 1991, hlm. 32
34
dan
akhlak)
dengan
menerangkan
sanad-
sanadnya.
4. Membahas hadis-hadis sampai diketahui martabat kualitas
(maqbul-mardudnya).
Utang
Ranuwijaya
menyimpulkan
bahwa
dalam
sanad-sanadnya
dan
menunjukannya
pada
atau
.
2. Menentukan kualitas hadis menjadi sahih atau tidak.
Penilaian
ini
dilakukan
andaikata
diperlukan.
Artinya,
34
lengkap
matan
dan
matarantai
sanad
yang
bersangkutan.
Lebih jauh dapat dijelaskan bahwa takhrij ini adalah salah
satu
metode
yang
digunakan
para
peneliti
hadis
tatkala
matan
hadis
yang
memiliki
banyak
sanad
tetapi
34
hadis. Dapat dipahami pula latar belakang pernyataan Imam alNawawi (w. 676 H = 1277 M) bahwa hubungan hadis dengan
sanad ibarat hubungan hewan dengan kakinya. 19 Jadi penelitian
matan barulah bermanfaat bila sanad hadis yang bersangkutan
telah memenuhi syarat untuk hujjah. Bila sanadnya cacat (berat),
maka
matan
hadis
tidak
perlu
diteliti
sebab
tidak
akan
faktor
terhadap
utama
hadis
yang
(takhrij
menyebabkan
kegiatan
al-hadis) dilakukan
oleh
dalam
hubungannya
dengan
kegiatan
penelitian.
matarantai
sanadnya
sesuai
dengan
sumber
34
pencarian
seorang
peneliti
terhadap
semua
ada
mata
rantai sanad
Mengingat salah satu sanad hadis yang redaksinya bervariasi
itu dimungkinkan ada perawi lain yang sanadnya mendukung
pada sanad hadis yang sedang diteliti, maka sanad hadis
yang sedang diteliti tersebut mungkin kualitasnya dapat
dinaikkan
tingkatannya
oleh
sanad
perawi
yang
mendukungnya.
Dari dukungan tersebut, jika terdapat pada bagian perawi
tingkat pertama (yaitu tingkat sahabat) maka dukungan ini
dikenal dengan syahid. Jika dukungan itu terdapat pada
bagian perawi tingkat kedua atau ketiga (seperti pada
34
tingkatan
tabiin
atau
tabii
at-tabiin),
maka
disebut
sebagai muttabi.
Dengan demikian, kegiatan penelitian (takhrij) terhadap hadis
dapat dilaksanakan dengan baik jika seorang peneliti dapat
mengetahui semua asal-usul matarantai sanad dan matannya
dari sumber pengambilannya. Begitu juga jalur periwayatan
mana yang ada syahid dan muttabinya, sehingga kegiatan
penelitian (takhrij) dapat dengan mudah dilakukan secara
baik
dan
benar
dengan
menggunakan
metode
pentakhrijannya.
C. Sejarah Takhrij Hadis
1. Sejarah
Para sejarawan Islam secara berjamaah menyepakati
bahwa usaha pelestarian dan pengembangan hadis terbagi
dalam dua periode besar yaitu periode mutaqaddimin dan
periode mutaakhirin. Periode mutaqaddimin dibagi lagi
menjadi
beberapa
tahap/masa
yaitu,
masa
turunnya
34
hadis
dengan
menemui
sendiri
para
penghafalnya maka ulama mutaakhirin menukil dari kitabkitab susunan ulama mutaqaddimin. Masa inilah para
ulama mempergunakan system
Sehingga
bermunculan
kitab-kitab
mustadrak
dan
34
merupakan
salah
satu
contoh.
Sanad
hadis
riwayatnya
kepada
periwayat
yang
34
tersebut
masih
ditambah
lagi
dengan
Takhrij
generasi
pertama,
seperti
yang
oleh
karya
23 Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Makalah, MedanSumut, 1991, hlm.
34
Selanjutnya
Berikut
adalah
kitab-kitab
takhrij
yang
termasyhur.
a. Nashb ar-Rayah li Ahadis al-Hidayah karya Abdullah bin
Yusuf al-Zailai (w. 762 H).
Kitab ini mentakhrij hadis-hadis yang dijadikan oleh
al-Allamah Ali bin Abi Bakar al-Marghinani al-Hanafi
(w.593 H) dalam kitab al-Hidayah. Kitab ini merupakan
kitab
fikih
Hanafi,
sedangkan
kitab
takhrij
ini
karya
26 Manna Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al kautsar, 2008.
Hlm. 191
34
tertentu
yang
dapat
dijadikan
pegangan
atau
27 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001, hlm. 115
34
yang
dapat
dijadikan
pedoman
dalam
mentakhrij adalah:
a. Ushul al-Takhrij wa Dirasat Al-Asanid oleh Muhammad
Al-Tahhan,
b. Hushul al-Tafrij bi Ushul al-Takhrij oleh Ahmad ibn
Muhammad al-Siddiq al- Gharami,
c. Turuq Takhrij Hadis Rasulullah
SAW
karya
Abu
tujuannya,
mempunyai
banyak
sekali
34
melalui
kitab-kitab
yang
ditunjukinya.
Semakin
Dengan
status
riwayat
tersebut
shahih,
dhaif
dan
sebagainya.
d. Takhrij dapat memperjelas hukum hadis dengan banyaknya
riwayatnya. Terkadang kita dapatkan hadis yang dhaif
melalui suatu riwayat, namun dengan takhrij kemungkinan
kita akan mendapatkan riwayat lain yang shahih. Hadis
yang shahih itu akan mengangkat derajat hukum hadis
yang dhaif tersebut ke derajat yang lebih tinggi.
e. Dengan takhrij kita dapat memperoleh pendapat-pendapat
para ulama sekitar hukum hadis.
f. Takhrij dapat memperjelas perawi hadis yang samar.
Karena terkadang kita dapati perawi yang belum ada
kejelasan namanya, seperti Muhammad, Khalid dan lain-
34
dapat
menafikan
pemakaian
AN
dalam
sanadnya,
maka
periwayatan
yang
menghilangkan
kemungkinan
terjadinya
percampuran riwayat
j. Takhrij dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya.
Hal ini karenan kemungkinan saja ada perawi-perawi yang
mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang
lain maka nama perawi itu akan menjadi jelas.
k. Takhrij dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak
terdapat dalam satu sanad.
l. Takhrij dapat memperjelas arti kalimat yang asing yang
terdapat dalam satu sanad.
m. Takhrij dapat menghilangkan suatu syadz (kesendirian
riwayat yang menyalahi riwayat tsiqat) yang terdapat
dalam suatu hadis melalui perbandingan suatu riwayat.
n. Takhrij dapat membedakan hadis yang mudraj (yang
mengalami penyusupan sesuatu) dari yang lainnya.
34
o. Takhrij
dapat
mengungkapkan
keragu-raguan
dan
periwayatan
yang
34
Menurut riwayat Imam Abu Dawud :
Menurut riwayat Imam Ibnu Majah :
,
,
-
-
Dengan memperbandingkan ketiga riwayat di atas, maka
kita dapat mengetahui :
34
ingat
bahwa
ada
riwayat
Ibnu
Majah
yang
dari
Roja
bin
Haywah,
beliau
berkata
saya
34
secara
tersendiri.
Selama
kita
sudah
28 Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, 1994, Thuruq Takhrij
Hadits Rasulillah SAW, Semarang: Terjemahan, Dina Utama Semarang
29 Suyadi, M. Agus Sholahudin dan Agus., Ulumul Hadits, Bandung: CV. Pustaka Setia,
2011. Cet. II hlm. 191
34
dapat
ditunjukkan
merujuk
oleh
pada
kitab-kitab
sumber-sumber
al-atraf
tadi
yang
untuk
30 Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta: GP Press, 2008. hlm.
34
Ashrah
karya
Ibn
Hajar
Al
Asqalani,
dan
lain
mengetahui
memudahkan
untuk
nama
merujuk
sahabat
hadisnya.
dapat
Dan
adalah
karya
Al-Tabrani.
Juga
kitab
diperpendek.
Akan
tetapi,
kelemahan
dari
34
Untuk mengetahui lafadz lengkap dari penggalan matan
tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri
penggalan matan itu pada urutan awal matan yang
memuat penggalan matan yang dimaksud. Dalam kamus
yang
disusun
oleh
Muhammad
Fuad
Abdul
Baqi,
Artinya: Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw
bersabda, (Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu
bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi,
tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat
32 Ibid
34
terdapat
pertamanya
kelainan
sedikit
saja,
atau
maka
perbedaan
lafadz
akan
untuk
sulit
dapat
diperoleh
lebih
cepat.
Penggunaan
34
Dalam pencarian hadis di atas, pada dasrnya dapat
ditelusuri melalui kata-kata naha (
) ,
) taam(
) al-mutabariyaini (
yukal (
) . Akan tetapi
dari
sekian
kata
yang
dapat
dipergunakan,
lebih
karena
kata
tersebut
jarang
adanya.
34
dilakukan
dengan
mengikuti
langkah-langkah
sebagai berikut:
Langkah pertama, adalah menentukan kata kuncinya
yaitu kata yang akan dipergunakan sebagai alat untuk
mencari hadis. Sebaiknya kata kunci yang dipilih adalah
kata yang jarang dipakai, karena semakin
asing kata
Dan
berdasarkan
bentuk
dasar
tersebut
tersebut
hadis
turut
(tidak
lengkap).
dicantumkan
Mengiringi
kitab-kitab
yang
pencarian
hadis
dan
memungkinkan
34
tema
itu
pada
kitab-kitab
yang
disusun
Dibangun Islam atas lima pondasi yaitu : Kesaksian
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu
adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayarkan
zakat, berpuasa bulan Ramadhan, dan menunaikan
ibadah haji bagi yang mampu.
Hadis di atas mengandung beberapa tema yaitu iman,
tauhid, shalat, zakat, puasa dan haji. Berdasarkan tema-
34
ini
sangat
tergantung
kepada
pengenalan
34
34
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Takhrij Hadis adalah segala yang menunjukkan tempat
hadis pada sumber aslinya serta yang mengeluarkan hadis
tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika
diperlukan.
Al-Thahhan,
mendefinisikan
di
takhrij
dalam
hadis
kitabnya
adalah:
Ushul
al-Takhrij,
menunjukkan
atau
sanadnya
masing-masing,
kemudian
manakala
itu
dipergunakan
sebagai
argumen
34
singkat
takhrij
hadis
dapat
mengumpulkan
b)
c)
d)
e)
34
34
DAFTAR PUSTAKA
Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi,
Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah SAW , Semarang:
Terjemahan, Dina Utama Semarang, 1994
Mahmud ath-Thahhan, Ushul at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid yang
cetakan kelimanya diterbitkan pada tahun 1983
Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis Oleh Syaikh
Manna Al-Qaththan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008)
Mudasir, H., Cet. 1, Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia
Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
Syuhudi Ismail, M., Metodelogi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta:
Bulan Bintang, 1972
Thahhan, Mahmud ath, Ushul at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid,
Riyadh: Maktabah al-Maarif, 1991
al-Qaththan, Manna, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2008
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama,
2001
Suyadi, M. Agus Sholahudin dan Agus., Ulumul Hadits, Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2011. Cet. II
Yunahar Ilyas, Lc dan M. Masudi (Ed.), Cet. I., Pengembangan
Pemikiran Terhadap Hadis, Yogyakarta: LPPI UMY, 1996
34