———————————————
Oleh : Ust.
Muafa
)Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin(
———————————————
Kaidah ini disebut sebagai kaidah fikih oleh banyak ulama, di antaranya As-Sayyid Al-Bakri
dalam I’anatu Ath-Tholibin, Al-Juwaini dalam Ghiyatsu Al-Umam fi Iltiyats Azh-Zhulam, Al-
Ghozzali dalam Al-Wasith, ‘Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowa’id Al-Kubro, ‘Ali As-
Subki dalam Al-Ibhaj, Abdul Wahhab As-Subki dalam Al-Asybah wa An-Nazhoir, Az-Zarkasyi
dalam Al-Mantsur fi Al-Qowa’id, Ibnu Al-Mulaqqin dalam Al-Asybah wa An-Nazhoir, Ibnu
Hajar Al-‘Asqolani dalam Fathu Al-Bari, As-Suyuthi dalam Al-Asybah wa An-Nazhoir,
Zakariyya Al-Anshori dalam Asna Al-Matholib, ‘Amiroh dalam Hasyiyahnya, Syihabuddin Ar-
Romli dalam Fatawanya, Al-Haitami dalam Tuhfatu Al-Muhtaj, Asy-Syirbini dalam Mughni Al-
Muhtaj, Syamsuddin Ar-Romli dalam Nihayatu Al-Muhtaj, Al-Qolyubi dalam Hasyiyahnya, Al-
Jamal dalam Hasyiyahnya, Al-Bujairimi dalam Hasyiyahnya, Muhammad Yasin Al-Fadani
dalam Al-Fawaid Al-Jinniyyah, Muhammad Shidqi Al-Ghozzi dalam Al-Wajiz fi Idhohi
.Qowa’idi Al-Fiqh Al-Kulliyyah, dan lain-lain
ْ Kata maisur
adalah bentuk mashdar yang memakai sighat isim maf’ul yang secara )ُ(ال َم ْيسُوْ ر
ْ komunikatif boleh kita terjemahkan “(sesuatu) yang mudah”. Kata ma’sur
juga bentuk )ُ(ال َم ْعسُوْ ر
mashdar yang memakai sighat isim maf’ul yang bisa kita terjemahkan “(sesuatu) yang sulit”.
Jadi secara harfiah, kaidah ini bermakna “Yang mudah tidak bisa gugur/digugurkan dengan yang
.”sulit
Sebuah perintah wajib, jika tidak bisa dilaksanakan secara sempurna, yakni hanya bisa
dilaksanakan sebagian saja karena kelemahan/ketidakmampuan, maka kewajiban itu tidak
menjadi gugur secara keseluruhan. Bagian yang sanggup dikerjakan tetap wajib dilaksanakan,
sementara bagian yang tidak dimampu dikerjakan tidak wajib dilaksanakan alias gugur
.kewajiban melaksanakannya
.Contoh-contoh praktis praktek kaidah ini adalah sebagai berikut
Ada muslim yang tidak mampu wudu dan tidak mampu tayamum karena tidak menemukan air
dan juga tidak menemukan tanah. Dalam kondisi ini, tidak boleh diputuskan: Kewajiban salat
gugur baginya. Yang benar: Salat tetap wajib baginya, yakni melakukan salat tanpa bersuci,
tanpa wudu dan tanpa tayamum. Alasannya, sebuah kewajiban, jika tidak bisa dilaksanakan
secara sempurna, maka tetap wajib melaksanakan mana yang bisa dan gugur kewajiban
melaksanakan yang sulit. Kewajiban yang bisa dilaksanakan tidak bisa digugurkan hanya karena
.ada bagian dari kewajiban itu yang sulit dilaksanakan
Contoh lain: Ada muslim yang lengannya terluka. Dia tidak mampu membasuh lengannya yang
terluka itu saat wudu karena bisa berbahaya untuk kesehatannya. Dalam kondisi ini, tidak bisa
dibenarkan diputuskan: Gugur kewajiban berwudu dan bisa langsung diganti tayamum.Yang
benar; Basuhlah lengan yang tidak luka dengan air saat berwudu, kemudian bagian yang luka
diperban untuk diusap air, setelah itu bertayamumlah untuk mengganti bagian luka yang tidak
.bisa diusap air
Contoh lain: Ada orang baru masuk Islam. Dia belum hafal Surah Al-Fatihah, padahal membaca
Al-Fatihah adalah wajib karena ia rukun salat. Dalam situasi ini tidak bisa diputuskan: Berarti
kewajiban salat untuk sementara gugur bagi mualaf tersebut. Yang benar: Salat tetap wajib
baginya dan dia dituntut membaca Al-Qur’an apapun yang ia hafal meski hanya satu ayat. Jika
.itu tidak mampu, maka dituntut membaca zikir pengganti tilawah
Contoh lain: Seorang muslim tidak bisa melenyapkan pabrik miras di lingkungannya karena
tidak punya kuasa. Dalam situasi ini tidak bisa disimpulkan: Berarti berarti gugur kewajiban nahi
mungkar mencegah orang mabuk di lingkungannya karena percuma juga mencegah orang mabuk
sementara induknya sendiri masih belum sanggup melenyapkannya. Ini keputusan keliru. Yang
benar, jika ada tetangganya mabuk dan dia mampu mencegahnya tanpa ada mudorot yang lebih
besar, maka wajib mencegahnya, meskipun belum mampu menghilangkan pabrik miras.
.Kewajiban menghilangkan pabrik miras selama belum mampu adalah gugur
Contoh lain; Ada seorang muslim yang tinggal di Darul Kufur dan dia dihalangi untuk
menjalankan kewajiban agama seperti haji atau salat jumat sementara dia juga tidak mampu
berhijrah. Dalam kondisi itu tidak boleh disimpulkan: Berarti gugur semua kewajiban agama
bagi dia. Yang benar: Dia wajib menjalankan semua kewajiban yang bisa dilakukan di negeri itu,
.sementara kewajiban yang ia tidak mampu gugur kewajibannya bagi dia
Demikianlah pengertian kaidah ini dan contoh-contoh penerapannya. Tampak dari contoh-contoh
di atas, sebagian besar kaidah ini dipraktekkan untuk pemecahan masalah-masalah yang terkait
.dengan hukum ibadah dan siyasah syar’iyyah (politik syar’i)
Kaidah ini kadang-kadang disebut dengan redaksi lain oleh sejumlah ulama. Di antara istilah lain
untuk kaidah ini adalah; Al-muta’adzdzir yasquthu i’tibaruhu wa al-mumkin yustash-habu fihi
at-taklif, al-maqdur ‘alaihi la yasquthu bisuquthi al-ma’juz ‘anhu, la wajiba ma’a ‘ajzin wala
haroma ma’a dhoruroh, dan lain-lain. Kaidah ini juga beraroma senada dengan kaidah-kaidah
semakna seperti prinsip taisir, rof’ul haroj, al-masyaqqoh tajlibu at-taisir, rukhshoh, dan
.semisalnya
: Secara implisit kaidah ini juga disebut Asy-Syafi’i dalam Al-Umm. Asy-Syafi’i berkata
ُ صلَّى َما اَل يَ ْق ِد ُر َعلَ ْي ِه َك َما ي ُِطي َ ض هَّللا ُ تَ َعالَى َعلَ ْي ِه ْ َ ُكلُّ َحا ٍل قَ َد َر ْال ُم
ق (األم َ صاَّل هَا َو َ صاَل ِة َك َما فَ َر ِ ْصلِّي فِيهَا َعلَى تَأ ِديَ ِة فَر
َّ ض ال
)100 /1( للشافعي
Artinya
Semua kondisi dimana orang yang salat mampu melaksanakan kewajiban salat dalam kondisi“
tersebut sebagaimana yang diwajibkan oleh Allah ta’ala kepadanya maka dia melakukan salat
seperti itu dan dia melakukan salat terkait yang ia tidak mampu sebagaimana ia mampu” (Al-
Umm, juz 1 hlm 100)
Ibnu Taimiyyah menyebut kaidah ini dalam Majmu’ Al-Fatawa dengan ungkapan sebagai
,berikut
/26( ْض فَإِنَّهُ ي ُْؤ َم ُر بِ َما يَ ْق ِد ُر َعلَ ْي ِه َو َما َع َجزَ َع ْنهُ يَ ْبقَى َساقِطًا (مجموع الفتاوى ِ ْض ْال َوا ِجبَا
ٍ ت ُدونَ بَع َ إ َذا أَ ْم َكنَ ْال َع ْب َد أَ ْن يَ ْف َع َل بَع
)188-187
Artinya
Jika seorang hamba mampu melakukan sebagian kewajiban tetapi tidak mampu melakukan “
sebagian yang lain, maka dia diperintahkan untuk melaksanakan yang ia mampu sementara yang
ia tidak mampu gugur kewajibannya” (Majmu’ Al-Fatawa juz 26 hlm 187-188)
Dalam pembahasan fikih dan Ushul fikih, mayoritas fukaha tidak membicarakan kaidah ini
dalam satu bab khusus sebagai satu kaidah spesifik, tetapi biasanya dibahas di bawah
.pembahasan al-masyaqqoh tajlibu at-taisir atau at-taisir warof’ul haroj
Adapun sumber dalil kaidah ini, maka itu didasarkan pada sejumlah ayat dan hadis Nabi
,Ayat-ayat yang menunjukkan kaidah ini adalah ayat-ayat berikut ini . ﷺ
Artinya
”Setiap jiwa tidak dibebani kecuali sebatas kemampuannya“
صالَ ِة ْال ُو ْسطَى َوقُو ُموا هَّلِل ِ قَانِتِينَ * فَإ ِ ْن ِخ ْفتُ ْم فَ ِر َجاالً أَوْ رُ ْكبَانًا فَإ ِ َذا أَ ِم ْنتُ ْم فَ ْاذ ُكرُوا هَّللا َ َك َما عَلَّ َم ُك ْم َما لَ ْم َّ ﴿ َحافِظُوا َعلَى ال
ِ صلَ َوا
َّ ت َوال
239 -238 :تَ ُكونُوا تَ ْعلَ ُمونَ ﴾ البقرة
Artinya
Peliharalah semua salat dan salat wustha. Dan laksanakanlah (salat) karena Allah dengan “
khusyuk. Jika kamu takut (ada bahaya), salatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan.
Kemudian apabila telah aman, maka ingatlah Allah (salatlah), sebagaimana Dia telah
”.mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui
16 :﴿ فَاتَّقُوا هَّللا َ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم َوا ْس َمعُوا َوأَ ِطيعُوا َوأَ ْنفِقُوا خَ ْيرًا أِل َ ْنفُ ِس ُك ْم ﴾ التغابن
Artinya
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; “
”dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu
Artinya
”Allah menginginkan kemudahan untuk kalian dan tidak menginginkan kesulitan untuk kalian “
Artinya
”Tidaklah Allah menjadikan kesulitan untuk kalian dalam agama“
Artinya
”dan Allah membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka“
ada sejumlah riwayat yang menunjukkan kaidah ini, , ﷺAdapun hadis-hadis Nabi
yakni perintah melaksanakan kewajiban semampu kita dan bahwa kelemahan melaksanakan
kewajiban tidak berarti menggugurkan kewajiban secara keseluruhan. Riwayat-riwayat tersebut
,adalah sebagai berikut
)94 /9( َوإِ َذا أَ َمرْ تُ ُك ْم بِأ َ ْم ٍر فَأْتُوا ِم ْنهُ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم» صحيح البخاري،ُفَإ ِ َذا نَهَ ْيتُ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء فَاجْ تَنِبُوه
Artinya
Jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan“
sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian.” (H.R.Al-Bukhari)
، َوأَب ِْشرُوا،اربُوا
ِ َ فَ َس ِّددُوا َوق،ُ َولَ ْن يُ َشا َّد ال ِّدينَ أَ َح ٌد إِاَّل َغلَبَه،ٌ «إِ َّن ال ِّدينَ يُ ْسر:صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل
َ َع ِن النَّبِ ِّي،َع َْن أَبِي هُ َر ْي َرة
)16 /1( َوا ْست َِعينُوا بِ ْال َغ ْد َو ِة َوالرَّوْ َح ِة َو َش ْي ٍء ِمنَ ال ُّد ْل َج ِة» صحيح البخاري
Artinya
bersabda: “Sesungguhnya agama itu mudah, ﷺDari Abu Hurairah bahwa Nabi“
dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan
sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira
dan minta tolonglah dengan Al Ghadwah (berangkat di awal pagi) dan Ar Ruhah (berangkat
setelah zhuhur) dan sesuatu dari Ad Duljah (berangkat di waktu malam” (H.R.Al-Bukhari)
ِّ«صل
َ :ال َّ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َع ِن ال
َ َ فَق،صالَ ِة َ ي ُ فَ َسأ َ ْل،ُاسير
َّ ِت النَّب ِ َت بِي بَ َو ْ َكان: قَا َل،ُض َي هَّللا ُ َع ْنه ِ صي ٍْن َر َ ع َْن ِع ْم َرانَ ْب ِن ُح
)48 /2( ب» صحيح البخاري ٍ فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ْستَ ِط ْع فَ َعلَى َج ْن، فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ْست َِط ْع فَقَا ِعدًا،قَائِ ًما
Artinya
Dari ‘Imrah bin Hushain radliallahu ‘anhu berkata: Suatu kali aku menderita sakit wasir lalu “
tentang cara shalat. Maka Beliau menjawab: ﷺaku tanyakan kepada Nabi
“Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup lakukanlah dengan duduk dan bila tidak
sanggup juga lakukanlah dengan berbaring pada salah satu sisi badan.” (H.R.Al-Bukhari)
فَإ ِ ْن لَ ْم، « َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه:ُصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُول ُ ضى َما َعلَ ْي ِه َس ِمع
َ ِْت َرسُو َل هللا َ َ أَ َّما هَ َذا فَقَ ْد ق:قَا َل أَبُو َس ِعي ٍد
)69 /1( صحيح مسلم.»ك أَضْ َعفُ اإْل ِ ي َما ِن َ ِ َو َذل، فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه،يَ ْست َِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه
Artinya
Abu Said berkata: “Sungguh, orang ini telah memutuskan (melakukan) sebagaimana yang“
pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda: “Barangsiapa di
antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya.
jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia
mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (H.R.Muslim)
فَقَا َل،ب ال َما َءِ ص ِ ُْت فَلَ ْم أُ إِنِّي أَجْ نَب: فَقَا َل،ب ِ َجا َء َر ُج ٌل ِإلَى ُع َم َر ْب ِن ال َخطَّا: قَا َل، ع َْن أَبِي ِه،ع َْن َس ِعي ِد ْب ِن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ْب ِن أَ ْبزَى
ت لِلنَّبِ ِّي ُ ْ فَ َذكَر،ْت ُ صلَّيَ َت ف ُ َوأَ َّما أَنَا فَتَ َم َّع ْك، ِّصلَ ُ فَأ َ َّما أَ ْنتَ فَلَ ْم ت، َ أَ َما ت َْذ ُك ُر أَنَّا ُكنَّا فِي َسفَ ٍر أَنَا َوأَ ْنت:ب
ِ َع َّما ُر بْنُ يَا ِس ٍر لِ ُع َم َر ْب ِن الخَطَّا
،ض َ ْصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِ َكفَّ ْي ِه األَر َ ب النَّبِ ُّي َ ض َرَ َك هَ َك َذا» ف َ «إِنَّ َما َكانَ يَ ْكفِي:صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َمَ فَقَا َل النَّبِ ُّي،صلّى هللا عليه وسلم
)75 /1( ثُ َّم َم َس َح بِ ِه َما َوجْ هَهُ َو َكفَّ ْي ِه (صحيح البخاري،َونَفَ َخ فِي ِه َما
Artinya
Dari Sa’id bin ‘Abdurrahman bin Abza dari Bapaknya berkata: Seorang laki-laki datang kepada “
Umar bin Al Khaththab dan berkata: “Aku mengalami junub tapi tidak mendapatkan air?” Maka
berkata lah ‘Ammar bin Yasir kepada ‘Umar bin Al Khaththab, “Tidak ingatkah ketika kita
dalam suatu perjalanan? Saat itu engkau tidak mengerjakan shalat sedangkan aku bergulingan di
atas tanah lalu shalat? Kemudian hal itu aku sampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebenarnya cukup kamu melakukan
begini.” Beliau lalu memukulkan telapak tangannya ke tanah dan meniupnya, lalu
mengusapkannya ke muka dan kedua telapak tangannya.” (H.R.Al-Bukhari)
فَ َر َّد،صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َ فَ َسلَّ َم َعلَى النَّبِ ِّي،صلَّى َ ِ أَ َّن َرسُو َل هَّللا:َع َْن أَبِي هُ َر ْي َرة
َ َ ف،ٌصلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َد َخ َل ال َم ْس ِج َد فَ َدخَ َل َر ُجل
«ارْ ِج ْع:ال َ َ فَق،صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم
َ فَ َسلَّ َم َعلَى النَّبِ ِّي، ثُ َّم َجا َء،صلَّى
َ صلِّي َك َما َ ُ فَ َر َج َع ي،»ِّصل َ َّ فَإِن،ِّصل
َ ُك لَ ْم ت َ َ «ارْ ِج ْع ف:ال َ ََوق
ْ
ثُ َّم ا ْق َرأ َما، ْصالَ ِة فَ َكبِّر ُ
َّ «إِ َذا قُ ْمتَ إِلَى ال: فَقَا َل، فَ َعلِّ ْمنِي،ُق َما أحْ ِسنُ َغ ْي َره ِّ ك بِال َح َ َ َوالَّ ِذي بَ َعث: فَقَا َل،صلِّ» ثَالَثًا َ َّ فَإِن،ِّصل
َ ُك لَ ْم ت َ َف
)152 /1( تَيَس ََّر َم َعكَ ِمنَ القُرْ آ ِن (صحيح البخاري
Artinya
masuk ke masjid, lalu ada juga seorang ﷺDari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah “
laki-laki masuk Masjid dan langsung shalat kemudian memberi salam kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau menjawab dan berkata kepadanya: “Kembalilah dan ulangi shalatmu
karena kamu belum shalat!” Maka orang itu mengulangi shalatnya seperti yang dilakukannya
pertama tadi kemudian datang menghadap kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
memberi salam. Namun Beliau kembali berkata: “Kembalilah dan ulangi shalatmu karena kamu
belum shalat!” Beliau memerintahkan orang ini sampai tiga kali hingga akhirnya laki-laki
tersebut berkata: “Demi Dzat yang mengutus Tuan dengan hak, aku tidak bisa melakukan yang
lebih baik dari itu. Maka ajarkanlah aku!” Beliau lantas berkata: “Jika kamu berdiri untuk shalat
maka mulailah dengan takbir, lalu bacalah apa yang mudah buatmu dari Al Qur’an” (H.R. Al-
Bukhari)
Pertama: Ada uzur riil seperti sakit, lemah, bahaya, terhalang dan semisalnya. Uzur itu harus
benar-benar ada dan riil. Tidak boleh masih berupa dugaan apalagi klaim
Kedua: Penerapan kaidah itu tidak boleh menghilanhkan maslahat yang lebih besar. Misalnya
mengusap perban luka saat wudu, malah membuat luka makin parah. Dalam kondisi ini berarti
perban tidak usah diusap dan cukup diganti tayamum
Ketiga: Bagian yang tidak bisa dilakukan tidak boleh memiliki badal. Jika ada badalnya, maka
tidak bisa dipraktekkan kaidah ini. Contoh: Ada orang tua renta yang tidak bisa haji, tapi punya
harta. Dalam kondisi ini, haji tetap wajib karena bisa menyediakan badal haji dengan hartanya.
Contoh lain: Ada orang tua renta yang tidak bisa puasa tapi sanggup bayar fidyah. Dalam kondisi
ini, ia wajib bayar fidyah. Contoh lain: Ada orang sakit yang tidak bisa pakai air, tapi bisa
tayamum. Dalam kondisi ini dia wajib bersuci dengan tayamum. Contoh lain: Ada muslim yang
tidak mampu membayar kafarat dengan membebaskan budak tapi dia bisa membayar kafarat
.dengan berpuasa. Dalam kondisi ini, dia wajib puasa
Keempat: Bagian yang bisa dilakukan adalah ‘ibadah maqshudah. Jika bukan ibadah maqshudah
maka ia menjadi gugur dan tidak wajib dilakukan. Contoh: Ada muslim yang bisa berpuasa
sampai zhuhur, tapi tidak mampu sampai maghrib. Dalam kondisi ini, berpuasa sampai zhuhur
gugur dan tidak wajib dilakukan karena bukan ibadah maqshudah, mengingat tidak ada syariat
puasa hanya sampai zuhur. Contoh lain: Ada muslim yang mampu membabaskan sebagian
budak untuk membayar kafarat karena bagiannya dalam budak tersebut hanya sebagian, tetapi
dia tidak bisa membebaskan penuh seorang budak penuh karena ada kepemilikan bersama
dengan sejumlah orang lain. Dalam kondisi ini gugur kewajiban membebaskan sebagian budak
.itu, karena membebaskan sebagian budak bukan ibadah maqshudah
Kelima: Bagian yang bisa dilakukan itu bukan kewajiban pengiring (accompanying obligations).
Jika ia kewajiban pengiring, bukan kewajiban inti/utama, maka status kewajibannya gugur.
Contoh; Ada muslim yang tidak bisa wukuf saat haji, tetapi bisa melempar jamroh dan bermalam
di Mina. Oleh karena dua kewajiban itu sifatnya lawahiq maka statusnya gugur dan tidak wajib
.dilakukan
Keenam: Bagian yang bisa dilakukan itu statusnya bukan wasilah semata. Jika ia hanya wasilah,
maka bagian tersebut gugur kewajiban melakukannya. Contoh: Ada muslim bisu. Dia tentu saja
tidak bisa membaca Al-Fatihah saat salat. Hanya saja, dia bisa menggerakkan lisan seolah-olah
membaca Al-Fatihah. Dalam hal ini kewajiban menggerakkan lisan gugur karena ia hanya
.wasilah
.Wallahua’lam
__________________
Syawal 1441 H 13
Zakat Fitri atau Fitrah? Idul Fitri atau Idul Fitrah?
Kata fithr ( )فطرbermakna membelah, muncul, menciptakan[1]. Zakat setelah Ramadhan selesai disebut
zakat al-fithri ()زكاة الفطر.
Kata fithr ini bila dibentuk menjadi kata lain, bisa menjadi ifthar ()إفطار, yang maknanya adalah makan
untuk berbuka puasa. Bisa diubah menjadi kata fathur ()فطور, yang artinya sarapan pagi. Sarapan pagi
juga merusak puasa. Maka dalam bahasa Inggris, sarapan disebut dengan breakfast, merusak puasa.
Dinamakan zakat fithr karena terkait dengan bentuk harta yang diberikan kepada mustahiknya, yaitu
berupa makanan.
Selain itu zakat ini dinamakan fithr juga karena terkait dengan hari lebaran yang bernama fithr. Kita di
Indonesia sering menyebutnya dengan Idul Fithr, yang artinya hari raya fithr.
Pada hari raya Idul Fithr itu kita diharamkan berpuasa, sebaliknya wajib berbuka atau memakan
makanan. Oleh karena itulah hari raya itu disebut dengan hari Idul Fithr.
Hampir semua hadits yang ada, menggunakan redaksi ( )زكاة الفطرbukan ()زكاة الفطرة.
Beberapa ulama ternyata memang ada yang menyebutkan bahwa asalnya dari fitrah, yang artinya suci
atau murni. Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) menyebutkan:
وقال بن قتيبة المراد بصدقة الفطر صدقة النفوس مأخوذة من الفطرة التي هي،وأضيفت الصدقة للفطر لكونها تجب بالفطر من رمضان
]3[. واألول أظهر،أصل الخلقة
Artinya: Kata shadaqah disandarkan kepada kata fithr karena wajibnya ketika sudah berbuka dan selesai
melaksanakan puasa Ramadhan. Ibnu Qutaibah menyebutkan bahwa maksud dari shadaqah fithr itu
shadaqah untuk membersihkan jiwa, yang diambil dari kata "al-fithrah" yang berarti suci dan murni
seperti awal penciptaan manusia. Tetapi pendapat yang pertama itu lebih benar.
سميت بذلك ألن وجوبها بدخول الفطر ويقال أيضا زكاة الفطرة بكسر الفاء والتاء في آخرها كأنها من الفطرة التي هي الخلقة المرادة
]4[.}بقوله تعالى {فطرة هللا التي فطر الناس عليها
Artinya: Disebut zakat fithri karena wajibnya karena masuk 'id al-fitr. Ada pula yang menyebut zakat
fitrah, dengan kasrahnya huruf fa' dan tambahan ta' di belakangnya. Berasal dari kata fitrah yang artinya
suci. Sebagaimana ayat: "(sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut
(fitrah) itu.
Imam an-Nawawi (w. 676 H) menyebutkan bahwa kata ( )فطرةitu merujuk kepada suatu benda yang
dikeluarkan, beliau menyebutkan:
ِي َل ْف َظ ٌة م َُولَّدَ ةٌ اَل َع َر ِبي ٌَّة َواَل ُم َعرَّ َب ٌة َب ْل اصْ طِ اَل ِحي ٌَّة ل ِْل ُف َق َها ِء َو َكأ َ َّن َها مِنْ ْالف ِْط َر ِة التى هي الخلقة
َ َو ُي َقا ُل ل ِْلم ُْخ َر ِج ف ِْط َرةٌ ِب َكسْ ِر ْال َفاء اَل َغ ْي ُر َوه
)103 /6( ] (المجموع شرح المهذب5[.أي زكاة الخلقة
Artinya: Benda yang dikeluarkan (untuk zakat fithri) itu disebut fithrah -dengan kasrah fa'nya- kata itu
adalah bentuk serapan, bukan asli arab atau bukan diarabkan. Kata itu adalah istilah dari pada ahli fiqih,
seolah zakat itu berasal dari fitrah yang bermakna asal penciptaan manusia, atau zakat asal penciptaan
manusia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indoneis daring, yang ada malahan zakat fitrah, bukan zakat fitri. Zakat –
fitrah: zakat yang wajib diberikan oleh setiap orang Islam setahun sekali (pada Idulfitri) berupa makanan
pokok sehari-hari (beras, jagung, dan sebagainya). Kata fitri1/fit·ri/ Ar a: 1 berhubungan dengan fitrah
(sifat asal); 2 berhubungan dengan berbuka puasa. Sedangkan fitrah1/fit·rah/ n sifat asal; kesucian;
bakat; pembawaan.
Jadi, yang paling pas dari sudut pandang riwayat hadits sebenarnya zakat fitri. Hampir semua hadits
yang ada, menggunakan redaksi ( )زكاة الفطرbukan ()زكاة الفطرة.
Tapi kalo disebut zakat fitrah yang tak salah, karena memang beberapa ulama menyebutkan asalnya bisa
dari fitrah. Ketika diserap menjadi bahasa Indonesia juga jadi zakat fitrah.
Nah, kalo idul fitri malah ga ada yang menyebut jadi idul fitrah.
Tentang zakat fitri ini, Saya menulis buku pdf yang boleh didownload, dibaca, disebarkan gratis. Klik
saja : https://www.rumahfiqih.com/pdf/x.php?id=553
Semoga bermanfaat.
Footnote :
[1] Ibnu Mandzur (w. 711 H), Lisan al-Arab, juz 5, hal. 55, Majma' al-Lughat al-Qahirah, al-Mu'jam al-
Wasith, juz 2, hal. 694
[2] Majma' al-Lughat al-Qahirah, al-Mu'jam al-Wasith, juz 2, hal. 694
[3] Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H), Fath al-Bari, juz 3, hal. 367
[4] Al-Khatib as-Syirbini (w. 977 H), al-Iqna fi Halli Alfadz Abi Syuja', juz 1, hal. 226
[5] Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w. 676 H), al-Majmu', juz 6, hal. 103
Trilogi Kitab Ushul Fikih Karya Abdul Hamid Hakim
___________________
» Pendahuluan «
Ushul fikih adalah salah satu pilar dalam keilmuan Islam klasik. Al-Ghazali, dalam al-Mustashfa (2000: 6),
membagi ilmu menjadi dua, yaitu ilmu aqliyah (rasional) – seperti pengobatan, hisab, dan teknik – dan
ilmu diniyah (agama) – seperti ilmu kalam, fikih, ushul fikih, hadis, dan tafsir.
Ilmu diniyah ia bagi lagi menjadi dua, yaitu ilmu kulli (general) — seperti ilmu kalam – dan juzi (parsial)
— termasuk tafsir, fikih dan ushul fikih. Ushul fikih adalah ilmu spesifik yang diperlukan untuk
memahami dalil-dalil syari, khususnya Alquran dan sunnah, serta bagaimana menggali dalil di saat
petunjuk dari kedua sumber itu tidak ditemukan secara eksplisit.
Kajian ushul fikih di kalangan penganut mazhab, yang non-mujtahid, lebih diorentasikan sebagai
pelengkap untuk memahami argumentasi hukum dalam karya-karya fikih klasik.
Sebaliknya, di kalangan pembaharu yang mengajak untuk kembali ke Alquran dan sunnah, ushul fikih
menjadi sangat penting. Arti penting ushul fikih terletak kepada dua aspek.
Pertama, ushul fikih menyediakan kaidah untuk memahami nash yang memudahkan ahli hukum untuk
melakukan kerja istinbath.
Kedua, ushul fikih adalah pertanggungjawaban metodologis yang membuat istinbath hukum oleh satu
ulama bisa diverifikasi oleh ulama lain berdasarkan perangkat metodologis yang jelas.
Pada awal abad ke-20, gerakan untuk kembali ke Alquran dan sunnah menguat akibat pengaruh
pembaharuan Islam.
Ada momentum semangat itu mengemuka di Indonesia ketika ulama Sambas, Syekh Muhammad
Basyumi Imran Imam Kerajaan Sambas, mengirimkan pertanyaan ke Majalah al-Manar, pimpinan Rasyid
Ridla tentang mengapa umat Islam mundur, sedangkan umat lain maju.
Pertanyaan itu dijawab oleh Syakib Arslan yang kemudian dibukukan dengan judul Limadza Taakhhara
al-Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum (Mengapa Umat Islam Mundur, Sedangkan Lain Lain Maju?).
Penjelasan Arslan cukup panjang dan ia memberikan beberapa tips kemajuan bagi umat Islam (Nuim
Hidayat, 2012), namun yang mendasar dalam kesimpulan Syakib Arslan adalah bahwa umat Islam
dahulu maju karena mengikuti Alquran, dan sebaliknya Barat maju karena meninggalkan agama.
Upaya untuk kembali kepada Alquran dan sunnah menuntut pemahaman mengenai cara berinteraksi
dengan Alquran dan sunnah. Ushul fikih dan ilmu tafsir adalah perangkat metodologis yang diperlukan
untuk kembali kepada Alquran dan sunnah.
Kepentingan ushul fikih adalah untuk memberikan landasan bagi penggalian hukum Islam.
Penulisan ushul fikih di kalangan ulama modern di Indonesia adalah bagian dari kebutuhan
pembelajaran agama. Ushul fikih bukanlah hal baru di Indonesia karena pesantren-pesantren
mengajarkan ushul fikih sejak lama.
Ada beberapa karya ushul fikih yang populer di kalangan pesantren seperti Jam al-Jawami karya Taj al-
Din al-Subki, al-Waraqat karya Abu Maali al-Juwaini, Ghayatul Wushul karya Zakariya al-Anshari, atau al-
Luma karya Abu Ishaq al-Syirazi.
Namun, karya-karya klasik tersebut dirasa memerlukan penyesuaian dengan kebutuhan pendidikan yang
berkembang di Indonesia.
Di antara karya ushul fikih yang populer di Indonesia adalah tulisan Abdul Hamid Hakim. Abdul Hamid
Hakim menulis trilogi ushul fikih, yaitu Mabadi Awaaliyah, al-Sullam, dan al-Bayan.
Ketiganya banyak dipakai di lembaga pendidikan Islam karena ditulis dengan cara yang praktis, mudah
dipahami, dan disertai dengan contoh-contoh aplikatif.
Ketiga karya itu ditulis untuk tingkatan belajar yang berbeda, dimana Mabadi Awwaliyah untuk level
paling dasar dan al-Bayan untuk level paling tinggi. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengenalkan secara
singkat karya Ushul fikih Abdul Hamid Hakim.
Abdul Hamid Hakim adalah ulama dari Sumatera Barat. Ia lahir di Tepi Danau Singkarak pada tahun
1893. Ayahnya seorang pedagang di kota Padang. Setamat dari Pendidikan Dasar di Padang, ia
melanjutkan studi Alquran di desanya sendiri.
Pada tahun 1908 ia pergi ke Sungayang, Batu Sangkar, untuk mempelajari ilmu-ilmu agama kepada Haji
Muhammad Thaib Umar, seorang tokoh pembaharu.
Pendidikan saat itu diselenggarakan di surau. Setelah dua tahun belajar di Sungayang, Abdul Hamid
Hakim melanjutkan studi ke Maninjau, yaitu kepada Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), ayah dari
HAMKA.
Saat Haji Rasul diminta membantu Abdullah Ahmad untuk mengelola Majalah al-Munir di Padang
Panjang, Abdul Hamid Hakim turut serta.
Haji Rasul juga diminta masyarakat untuk mengelola pendidikan di Surau Jembatan Besi, yang menjadi
cikal bakal Sumatera Thawalib, dan mengubah metode pendidikan di surau itu dengan sistem klasikal
(Nasrullah, 2016: 52 dan Rahmawati, 2016).
Saat Haji Rasul mendirikan Sumatera Thawalib tahun 1918, Hakim juga mengajar di sana. Ia menjabat
sebagai wakil kepala sekolah, mendampingi Haji Rasul. Hakim menjadi pejabat kepala sekolah pada
tahun 1922 dan pada tahun 1926 menjadi kepala sekolah menggantikan Haji Rasul. Ia juga mengajar di
Diniyah School milik Zainuddin Labai dan di Diniyah Puteri yang didirikan oleh Rahmah el-Yunusiyah, Ia
juga mengajar di Kulliyyatul Muballighin yang didirikan oleh Muhammadiyah di Padang Panjang
(Nasrullah, 2016: 54).
Abdul Hamid Hakim menjadi guru dari banyak tokoh agama dari Sumatera Barat. Di antara tokoh yang
menjadi muridnya adalah HAR Sutan Mansur (1895 — 1985), HAMKA (1908-1981), Zainal Abidin Ahmad
(1911-1983), Rasuna Said (1910-1962), Prof. Ali Hasyimi (1908-1997), dan Rahmah el-Yunusiyah (1900-
1969). Tercatat nama-nama lain yang pernah belajar kepada beliau, yaitu Prof. Mukhtar Yahya, K.H.
Zarkasyi (pendiri Pesantren Gontor), dan Prof. Amir Syarifudin (mantan Rektor IAIN Imam Bonjol dan
Ketua MUI Sumatera Barat).
Abdul Hamid Hakim tidak hanya menulis tentang ilmu ushul fikih. Ia juga menulis buku-buku tentang
fikih, yaitu al-Muin al-Mubin (4 jilid), Tahdzib al-Akhlaq (3 jilid), dan Syarah kitab Bidayah al-Mujtahid
dengan judul al-Hidayah ila Ma Yanbaghi min al-Ziyadah ala al-Hidayah, yang sayangnya tidak
terselesaikan (Nasrullah, 2016: 55).
Ia meninggal pada 13 Juli 1959 M. Jasa dan sumbangsih Hakim diakui luas, baik karena turut melahirkan
tokoh-tokoh besar maupun karena karya-karyanya.
Karya Abdul Hamid Hakim yang banyak beredar dan dipakai secara luas adalah Mabadi Awwaliyah, al-
Sullam, dan al-Bayan. Ketiganya disusun secara bertingkat dari yang paling mudah hingga yang paling
kompleks. Namun, penulisan ketiganya tidak dilakukan secara urut.
Pasca penulisan Mabadi Awwaliyah, Abdul Hamid Hakim menulis al-Bayan sebagai bagian kedua. Hakim
menemukan adanya lompatan pemikiran dari Mabadi ke al-Bayan sehingga ia perlu untuk menulis
bagian yang menjembatani keduanya, yaitu al-Sullam.
Mabadi Awwaliyah ditulis paling awal dan terbagi ke dalam dua bahagian (al-Qism). Bahagian pertama
berisi bahasan ushul fikih dan bahagian kedua bahasan kaidah fikih.
Bahasan ushul fikih dibagi menjadi mabhas-mabhas (Pembahasan), sebanyak tiga belas mabhas, dengan
didahului pengantar mengenai pengertian fikih, pengertian ushul fikih, pembagian ilmu, dan pembagian
hukum.
Mabhas pertama dimulai dengan amar dan diikuti dengan kaidah-kaidah bayaniyah (kaidah semantik
ushul fikih). Mabhas ke-9 dan ke-10 membahas mengenai perbuatan dan iqrar Nabi Muhammad,
sedangkan mabhas ke-11 dan ke-12 tentang Ijma dan Qiyas. Bagian akhir al-Qism ushul fikiqh ditutup
dengan pembahasan mengenai Ijtihad, Ittiba, dan Taqlid.
Kaidah-kaidah dalam Mabadi Awwaliyah menunjukkan kemiripan dengan kaidah-kaidah dalam al-
Waraqat pada beberapa bagian. Persamaan antara Mabadi Awwaliyah dengan al-Waraqat itu bisa
dilihat pada:
1. Struktur penulisan. Mabadi Awwaliyah dimulai dengan pembahasan mengenai fikih dan ilm dan
definisi ushul fikih, meski detailnya berbeda. Ada beberapa perbedaan antara Mabadi Awaaliyah dengan
Waraqat dalam pembahasan mengenai al-Kalam, al-Dzahir wa al-Muawwal, Taarudl al-Adillah, Tartib al-
Adillah, dan sifat al-Mufti wa al-Mustafti yang tidak dibahas dalam MabadiAwwaliyah. Sebaliknya al-
Mantuq dan al-Mafhum dibahas dalam Mabadi Awwaliyah.
2. Redaksi kaidah. Mabadi Awwaliyah menunjukkan beberapa kesamaan redaksi kaidah dengan al-
Waraqat, pada beberapa tempat, meski tidak seluruhnya. Bab al-Amm wa al-Khas, misalnya, definisi dan
pembagian amm menunjukkan kesamaan dengan al-Waraqat, namun definisi al-khas Meskipun
mengadopsi beberapa kaidah dari al-Waraqat, tetapi penjabaran dalam Mabadi Awaaliyah mengalami
perluasan dalam bahasan al-khas dan secara keseluruhan Mabawi Awwaliyah menyediakan contoh-
contoh aplikasi untuk setiap kaidah, yang tidak tersedia di al-Waqarat.
Al-Sullam disusun dengan struktur lengkap ushul fikih dan masih memasukkan bahasan mengenai
kaidah fikih.
Struktur ushul fikih menurut al-Ghazali, meliputi al-hukm (hukum), al-mutsmir (yang memberi buah) —
yaitu dalil-dalil, thuruq al-al-istitsmar cara memetik buah) — yang berisi kaidah-kaidah lughawiyah, dan
al-mustatsmir (pemetik buah) — atau mujtahid dan lawannya adalah muqallid. Sementara itu, al-Sullam
membahas ushul fikih dalam urutan: hukum, kaidah-kaidah lughawiyah (bayaniyyah), dalil hukum,
ijtihad–ittiba–taklid, dan tarjih.
Al-Bayan merupakan karya ushul fikih paling lengkap karya Abdul Hamid Hakim. Sebagaimana kedua
karyanya di muka, al-Bayan disusun dengan sistematika yang baik dan setiap pembahasan disertai
dengan contoh.
Kelebihan al-Bayan lainnya adalah dimasukkannya perbandingan kaidah ushul fikih, berikut
argumentasinya. Karya-karya fikih klasik, seperti al-Burhan karya al-Juwaini maupun al-Luma dan al-
Tabshirah telah mengandung aspek perbandingan kaidah ushul. Tetapi, karya-karya klasik ushul fikih
yang ditulis kalangan mutakallimin umumnya tidak disertasi contoh-contoh aplikatif.
Abdul Hamid Hakim mengakui bahwa ia banyak mengacu kepada Irsyad al-Fukhul karya al-Syaukani
dalam penulisan al-Bayan dan memujinya sebagai karya ushul fikih terbaik.
Namun, Irsyad al-Fukhul tidak disertai dengan contoh-contoh aplikatif, sebaliknya al-Bayan menyediakan
itu.
Pada pengantar Mabadi Awwaliyah, Abdul Hamid Hakim menjelaskan bahwa alasannya untuk menulis
kitab ushul fikih karena karya-karya ushul fikih yang beredar sulit dipahami ungkapannya dan tidak ada
contoh aplikasi kaidah.
Menurutnya, model penulisan demikian tidak banyak bermanfaat dan membuang-buang waktu. Atas
motivasi itulah, ia menulis karya yang bisa kita nikmati saat ini.
» Penutup «
Tiga karya Abdul Hamid Hakim menawarkan pendekatan yang baru dalam penulisan ushul fikih. Ia
menulis ushul fikih secara aplikatif, sistematis, dan berjenjang.
Metode penulisan secara berjenjang dalam ushul fikih bukanlah hal baru karena al-Juwaini dan Abu
Ishaq al-Syirazi juga menulis karya ushul fikih ke dalam dua kategori, yaitu ushul fikih dasar (al-Waraqat
dan al-Luma) dan ushul fikih level tinggi (al-Burhan dan al-Tabshirah).
Namun, Abdul Hamid Hakim melihat adanya celah yang perlu ia isi, yaitu tidak adanya contoh aplikatif
dalam karya-karya tersebut.
Trilogi ushul fikih di atas memudahkan bagi pelajar untuk mempelajari ushul fikih, mulai dari dasar
hingga tingkat yang lebih tinggi
Sayangnya, semangat mempelajari ushul fikih sangat kurang saat ini, bahkan di kalangan pembaharu
yang mengajak untuk kembali ke Alquran dan sunnah.
Kondisi itu memprihatinkan karena rawan melahirkan istinbath yang kurang hati-hati jika tidak ada
kaidah yang menjadi panduan.
Ada baiknya, karya-karya ushul fikih Abdul Hamid Hakim diajarkan di PUTM atau pesantren-pesantren
untuk membekali santri dengan dasar-dasar istinbath.
Abdul Hamid Hakim telah menyumbangkan karya bagi anak bangsa, tinggal apakah anak bangsa mau
untuk untuk memanfaatkannya atau tidak.
Daftar Pustaka :
• Abdul Hamid Hakim. . Mabadi Awwaliyah. Jakarta: Maktabah al-Saadiyah Putera
• Abdul Hamid Hakim. . Al-Bayan. Jakarta dan Padang Panjang: Maktabah al-Saadiyah Putera.
• Abdul Hamid Hakim. . Al-Sullam. Jakarta: Maktabah al-Saadiyah Putera.
• Abu Hamid al-Ghazali. 2000. Al-Mustashfa fi Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah
• Abu Ishaq al-Syirazi. 1985. Al-Luma fi Usul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah
• Abu Ishaq al-Syirazi. 2003. Al-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah
• Abu Maali al-Juwaini. 1996. Al-Waraqat. Riyadl: Dar al-Shamii
• Abu Maali al-Juwaini. 1997. Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh. Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
• Muhammad Ali al-Syaukani. , Irsyad al-Fukhul ila Tahqiq al-Haqq min Ilm al-Ushul. Surabaya: al-
Haramayn.
• Nasrullah.2016. “Rekonstruksi Obyektif dan Subyektif dalam Pemikiran Islam: Studi Penafsiran Abdul
Hamid Hakim tentang Ahli KItab .” Jurnal Syahadah. Vol. IV, No. 1, April
• Nuim Hidayat. 2012. “Mengapa Kaum Muslimin Mundur?” https://insists.id/mengapa-kaum-muslimin-
mundur-2/ Unduh 6 Mei jam 08.30
• Rahmawati. 2016. “Sejarah Ushul Fikih Masuk Indonesia.” Jurnal al-Syirah
Penulis :
Ahwan Fanan
Perempuan Haid Boleh Puasa?
(Bantahan Terhadap Artikel https://ibtimes.id/perempuan-haid-boleh-puasa)
____________________
Perkara agama memang seksi untuk diperbincangkan. Perkara menarik yang semua orang seolah boleh
urun rembug tanpa melihat background yang berbicara. Mungkin ini yang membuat Harun Nasution
(yang seingat penulis) pernah mengatakan kurang lebih “kalau NU-Muhammadiyah bisa bersatu, maka
selesai setengah permasalahan negara ini”.
Tentu beliau tidak bermaksud menyatakan bahwa NU-Muhammadiyah merupakan sumber setengah
masalah di negara ini, tapi jika dilihat orang-orang yang berkomentar mengenai agama seenaknya,
barangkali memang setengah masalah Indonesia ini memang disebabkan pekara agama yang
dikomentari oleh orang yang bukan ahlinya. Ah tapi, biarlah, toh sibuk bahas masalah agama, lebih baik
daripada harus sibuk masalah hutang dan cicilan motor.
Mengenai pendapat wanita haidh dan nifas boleh berpuasa, sependek pembacaan penulis, pendapat ini
bukan hanya tidak masyhur (mainstream), tapi memang tidak pernah ada yang berpendapat seperti ini
sebelum ini.
Kalau dilihat menurut pendapat madzhab, bisa dikatakan bahwa hal ini sudah menjadi consensus ulama
(ijma’), dimana wanita haidh dan nifas tidak sah puasanya.[1] Bahkan dikatakan salah satu puasa yang
haram adalah puasanya wanita yang haidh dan nifas.[2] Begitu juga menurut Muhammadiyah dalam
HPT yang menyatakan bahwa bila kamu (wanita) sedang datang bulan atau sedang nifas, maka
berbukalah dan gantilah puasa pada hari lainya.[3] Kownsekwensi dari hukum haram adalah, wajib
ditinggalkan, dan jika dilakukan maka mendapatkan dosa.
Artinya :
”Ditanyakan lagi, “Ya Rasulullah, apa maksudnya wanita kurang agamanya?” “Bukankah bila si wanita
haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa?”, jawab beliau “bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan
tidak pula puasa?”,(Muttafaqun ‘alaih)
و حدثنا عبد بن حميد أخبرنا عبد الرزاق أخبرنا معمر عن عاصم عن معاذة قالت سألت عائشة فقلت ما بال الحائض تقضي الصوم وال
تقضي الصالة فقالت أحرورية أنت قلت لست بحرورية ولكني أسأل قالت كان يصيبنا ذلك فنؤمر بقضاء الصوم وال نؤمر بقضاء الصالة
Artinya :
Dan telah menceritakan kepada kami Abd bin Humaid telah mengabarkan kepada kami Abdurrazzaq
telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Ashim dari Mu’adzah dia berkata: “Saya bertanya kepada
Aisyah seraya berkata: ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’
shalat? ‘ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan
Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka
kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.”
Hadis tersebut jelas, menceritakan bahwa wanita haidh “diperintahkan untuk qadha”. Dari hadis
tersebut juga terlihat bahwa shigah yang digunakan bukan “dipersilahkan untuk qadha’”, atau yang
semisal yang bisa mendatangkan makna ganda. Lafaz ini juga bisa dilihat dengan kaidah ushul fikih yang
menyatakan bahwa lafaz perintah, mendatangkan konswekensi wajib. Artinya, orang haidh dan nifas
wajib qadha’.
Dalil kedua, adalah ijma’. Dimana sependek pembacaan penulis, wacana wanita haidh boleh berpuasa,
itu menyalahi consensus sahabat dan para ulama setelahnya.
» Orang haidh adalah orang sakit, sedangkan orang sakit boleh berpuasa dan juga boleh tidak. «
Salah satu logika yang berwacana membolehkan wanita haidh atau nifas untuk berpuasa adalah logika di
atas. Menurut penulis disini terdapat beberapa cacat logika :
1. Ayat al-Baqarah yang dijadikan sebagai dalil merupakan ayat dengan klasfikasi pemberian rukhsah
puasa bagi yang sakit maupun musafir, dimana hadis tentang wajibnya qadha’ untuk wanita haid dan
nifas berada dalam klasifikasi syarat sahnya puasa.
2. Memaksakan untuk memasukan wanita haid dan nifas ke dalam klasifikasi “orang sakit”, akan
memasukan orang gila juga dalam klasifikasi yang sama (yaitu orang sakit), artinya orang gila boleh
berpuasa, dan jika tidak berpuasa maka wajib qadha’. Padahal orang gila juga mempunyai “hadis
sendiri” sebagaimana wanita haid dan nifas, yang menyatakan bahwa orang gila tidak wajib berpuasa.
3. Jika pendapat bahwa wanita haidh dianggap sebagai orang sakit yang kesimpulanya mereka boleh
puasa/ membatalkan adalah pendapat yang benar, maka seharusnya ‘Aisyah sebagai salah satu wanita
paling alim di zamanya pasti sudah melakukan dan meriwayatkan hal tersebut.
Ini merupakan hadis yang selalu diagungkan bagi mereka yang mencoba mendobrak aturan fikih yang
mapan. Padahal jika ditilik dari bunyi teks hadisnya saja, hadis tersebut berbunyi:
فله أجر واحدY وإذا حكم فاجتهد فأخطأ،إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران
“Apabila seorang hakim menghukumi kemudian dia berijtihad dan ijtihadnya benar maka baginya dua
pahala. Dan apabila dia menghukumi kemudian dia berijtihad dan ijtihadnya salah maka baginya satu
pahala”. (HR.Bukhari dan Muslim)
Hadis tersebut menjelaskan dengan redaksi “jika seorang hakim menghukumi”. Maka tidak semua orang
berijtihad lalu bisa mendapatkan status “salah dapat 1”. Contoh mudah misalnya, seorang dokter ahli
bedah yang melakukan operasi sesuai prosedur, jikapun gagal dia akan tetap mendapat gaji, dan jika
berhasil, maka dia akan mendapatkan dua hal, gaji dan apresiasi. Lain halnya ketika buruh bangunan
melakukan operasi pada pasien, maka jangankan ketika gagal, jikapun operasinya berhasil, bisa jadi dia
akan dipenjara.
Artinya, orang yang berijtihad untuk yang bukan bidangnya, jangankan ketika gagal, ketika berhasilpun
bisa jadi justru mendapat dosa. Maka, status “jika salah mendapat 1 pahala” merupakan status yang
HANYA dimiliki oleh orang yang berijtihad dibidangnya masing-masing.
Kekhawatiran mengenai wanita yang haidh/ nifas yang tidak bisa memaksimalkan ibadah Ramadhan
sebenarnya adalah kekhawatiran yang kurang berdasar. Kenapa? Status wanita haidh/ nifas yang
meninggalkan ibadah karena ketaatan kepada Allah justru menjadi poin tersendiri. Mereka tetap
mendapatkan pahala shalat, puasa, dan keutamaan Ramadhan, meskipun hanya glundang-glundung
rebahan di rumah. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Nah ini yang menjadi masalah. Karena pada dasarnya ibadah bukan permasalahan kita puas atau tidak.
Ibadah kita berbasis pada premis “menjalankan perintahnya dan menjauhi laranganya”. Dalam hal ini,
Syeikh Ali Jumah, pernah perkataan Imam Ghazali:
“Ada seseorang yang sakit, secara medis harusnya ia wajib membatalkan puasa karena sakitnya, namun
ia bersikukuh ingin tetap berpuasa, hingga akhirnya ia meninggal dunia. Di akhirat, ia menemui
Tuhannya dalam keadaan tidak berpuasa! Ya, ia meninggal dalam keadaan maksiat karena tidak taat
pada Rabb-Nya.” Wallahu a’lam.
Footnote :
[1] Wahbah Zuhaili, mausu’ah fiqhiyah wa Qadhaya Mu’ashirah, Jilid 2: 551. Mausu’ah Kuwaityah Jilid
28:21
[2] Wahbah Zuhaili, mausu’ah fiqhiyah wa Qadhaya Mu’ashirah, Jilid 2: 514
[3] Himpunan Putusan Tarji, hal 172.
Penulis :
Alda Yudha
Status Faqihun Nafsi Bagi Ulama Penentang Qiyas
Faqihun Nafsi merupakan salah satu kriteria berijtihad yang wajib dipenuhi oleh ulama yg mengaku
dirinya mujtahid. Faqihun Nafsi berarti ia mempunyai pemikiran dan pemahaman yg sangat tajam atas
maksud yg diungkapkan dari teks-teks syariat.
Kriteria ini ditetapkan karena orang yg tidak memiliki sifat ini, tidak mampu melakukan istinbath dan
istidlal, yang mana hal ini merupakan tujuan pokok dari ijtihad. Terkait persyaratan ini Imam Ghozali
berpandangan, jika dalam permasalahan yg belum pernah didengarnya, seorang faqih tidak
berpendapat sebagaimana hal nya dia berpendapat dalam permasalahan yg sudah pernah didengarnya,
maka dia bukan termasuk faqih. Artinya, seorang faqih harus memiliki ide yg orisinal.
Terkait dengan kriteria ini, apakah ulama yg bersifat faqihun nafsi statusnya tercabut gara-gara
pengingkarannya terhadap qiyas, ulama memiliki beberapa pandangan. Pendapat Ashah mengatakan
bahwa pengingkaran ulama terhadap qiyas tidak mempengaruhi statusnya sebagai faqihun nafsi.
Pendapat yg dinyatakan Imam Haromain dan Qadhi Abu Bakar, bahwa keingkaran terhadap qiyas dapat
mengeluarkan seseorang dari status faqihun nafsi. Sedang Imam Ibnu Sholah mentafshil, bila keingkaran
tsb ditujukan kepada qiyas jali, maka dapat mempengaruhi status faqihun nafsi, karena dengan
demikian nampak sekali kejumudannya. Berbeda hal nya jika dia mengingkari qiyas khofi, maka
pengingkarannya masih ditolerir.
Pembahasan tentang inkarul qiyas ini menjadi penting, karena menjadi bekal dalam menilai
penyimpangan mazhab Dzahiriyah dari mainstream ijma', akankah berpengaruh pada terbentuknya ijma
?. Wallaahu A'lam
Nah dimasa dulu ulama membedakan antara “ faqih” dan “ hafidzul fiqh atau naqilu fiqh”. Yang
pertama karena telah sampai pada derajat ijtihad, adapun yang kedua hanya sebatas mengerti dan
hafal masalah fiqh yang terhimpun dalam sebuah kitab.
Nah, seperti kita- kita ini, sepertinya masih di level kedua.
Abu Fadhlullah
Menuntut ilmu syar'i seperti fikih, tafsir, dan sebagainya adalah lebih utama dari sholat sunnah, sebab
pahala sholat sunnah hanya dirasakan oleh orang yg melakukannya saja, sedangkan pahala menuntut
ilmu syar'i tidak terhenti pada amalan menuntut ilmu itu sendiri, melainkan merembet dan meluas serta
manfaatnya dapat dirasakan orang banyak. Dengan ilmu, amalan yg kita perbuat jelas ada tuntunan dan
referensinya.
Alangkah banyaknya pahala yg diterima oleh Sahabat Nabi karena ilmu yg mereka peroleh itu, kemudian
diambil manfaatnya oleh generasi demi generasi sampai kita sekarang ini.