Anda di halaman 1dari 73

Diktat

Ushul Fiqih
DILENGKAPI DENGAN UJI KOMPETENSI

Untuk Madrasah Aliyah


Prog. Keagamaan
KELAS XI

Untuk Kalangan Sendiri

Nama : . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . .
Disusun Oleh:
Kelas :................ .... Eko Suwandi, S.Ag.
NIS :.................... MAN Kotim 2023
.

i
KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah Pemilik alam semesta dan Penguasa Ilmu. Semoga Shalawat dan
Salam selalu tercurah kepada junjungan mulia Nabi Muhammad Shallallahu‘alaihi wa Sallam
beserta para sahabat dan keluarga Beliau, serta pengikut-pengikut beliau hingga akhir zaman.
Dengan senantiasa mengharap berkah dan hidayah Allah Ajja wa Jalla, dapatlah tersusun diktat
sederhana ini. Tulisan ini diberi judul “Diktat Ushul Fikih kelas XI Program Keagamaan”
dengan landasan materi diambil dari Perubahan KMA Nomor 138 tahun 2019 tentang Kurikulum
Madrasah Aliyah mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab. Diktat ini adalah
salinan buku saya berjudul Ushul Fikih; Pengantar Singkat tentang Sejarah, Objek dan Metode
Pendekatannya, yang di terbitkan oleh Klik Media, Lamongan tahun 2023 ini.
Oleh karena itu, diktat ini diharapkan dapat bermanfaat bagi siswa-siswi Madrasah Aliyah,
khususnya bagi Program Keagamaan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kotawaringin Timur
maupun siswa-siswi Madrasah Aliyah lain secara umum. Salah satu faktor pendorong hingga
disusunnya diktat ini adalah sulitnya menemukan buku-buku pelajaran Agama untuk Madrasah
Aliyah, dan khusus bagi Program Keagamaan. Maka harapan saya dengan adanya diktat ini akan
dapat menambah bahan dan referensi untuk mendalami materi Keagamaan dalam jurusan
dimaksud.
Saya menyadari bahwa diktat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu masukkan dan
saran amat diharapkan dari berbagai pihak, agar diktat ini dan tulisan-tulisan saya berikutnya
selain ini semakin baik lagi. Akhirnya atas bantuan dari berbagai pihak, untuk terselesaikannya
diktat ini, tak lupa penulis haturkan ribuan terima kasih.

Wabillahittaufiq wal hidayah.

17 Muharram 1445 H
Sampit,
4 Agustus 2023 M

[Penulis]

EKO SUWANDI, S.Ag.

i
DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii

BAB I MEMAHAMI KAIDAH AL FIQHIYAH AL QUBRA


Kaidah Pertama: Setiap Amalan Tergantung Kepada Niat 02
Kaidah Kedua: Keyakinan dan Keraguan pada Sebuah Amal 07
Kaidah Ketiga: Kesulitan Mendatangkan Kemudahan. 12
Kaidah Keempat: Kesulitan Mesti Dihilangkan 15
Kaidah Kelima: Adat Bisa Menjadi Sandaran Hukum 19
Rangkuman 22
Latihan Kompetensi 24

BAB II MEMAHAMI KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQIH


Kaidah Al Amar dan Ketentuannya 26
Kaidah An Nahi dan Contohnya 34
Kaidah Al ‘Amm 38
Kaidah Al Khass 41
Kaidah Lafadz Al Mujmal 42
Kaidah Lafadz Al Mubayyan 44
Kaidah Lafadz Mufassar 48
Kaidah Lafadz Al Muradhif 48
Kaidah Lafadz Al Musytarak 49
Kaidah Lafadz Al Muthlaq dan Al Muqayyad 51
Kaidah Lafadz Adz Dzahir 51
Kaidah Lafadz At Ta’wil 52
Kaidah Lafadz Al Manthuq 53
Kaidah Lafadz Al Mafhum 53
Uji Kompetensi 57

Daftar Pustaka

ii
BAB I
MEMAHAMI KAIDAH AL FIQHIYAH AL QUBRA

Tujuan Pembelajaran:
3.1. Mampu menjelaskan tentang kaidah pokok fiqih al-umuru bi maqashidiha;
3.2. Mampu menjelaskan tentang kaidah pokok fiqih al-yaqinu la yuzalu bi sy-syak;
3.3. Mampu menjelaskan tentang kaidah pokok fiqih al-masyaqqatu tajlibut- taysir;
3.4. Mampu menjelaskan tentang kaidah pokok fiqih adh-dhararu yuzal;
3.5. Mampu menjelaskan tentang kaidah pokok fiqih al- 'adatu muhakkamah;

Perubahan semua aspek dalam tatanan kehidupan manusia dengan perkembangan yang luar biasa
berdampak pada adanya pengaruh dalam interaksi sosial, tentu pengaruh ini juga mesti berdampak pada
cara pandang dan penyesuaian hukum. Termasuk juga hukum-hukum agama Islam. Namun alangkah
sulitnya jika hanya mengacu pada teks-teks ayat dan hadis yang bisa dimungkinkan tidak terdapat nash
yang pasti ke arah suatu masalah hukum tersebut. Maka untuk menjawab persoalan hukum Islam
tersebut para ulama kemudian bersepakat menggunakan kaidah (aturan/patokan/pola) yang dipakai
dalam melacak maksud suatu ayat atau hadis kemudian dipadankan dengan kondisi sekarang.
Aturan dalam kaidah ini dikenal dengan qawaid fiqhiyah (kaidah fikih). Ada banyak sekali kaidah
fikih yang dipakai dalam perumusan hukum. Namun dari sekian banyak kaidah tersebut, para ahli ushul
mengariskan lima kaidah yang menjadi kaidah pokok yang dikenal dengan Lima kaidah fikih yang
utama, al qawaid al fiqh al khamsah. Ada juga yang menamakannya dengan sebutan kaidah fikih yang
besar, al qawaid al fiqhiyah al qubra.
Dalam ushul fikih ada kaidah ushul fikih dan ada kaidah fikih. Kaidah ushuliyyah atau kaidah ushul
fikih adalah kaidah yang membahas seputar penggunaaan lafal atau bahasa. Dengan kaidah-kaidah
tersebut, seorang mujtahid dapat menyimpulkan makna dari sebuah lafal bahasa Arab. Adapun kaidah
fiqhiyyah (kaidah fikih) adalah kaidah yang merupakan kesimpulan dari banyak permasalahan fikih yang
memiliki hukum-hukum yang sama sehingga muncullah kaidah yang mewakili persamaan tersebut.
Sebagai gambaran, seorang ahli fikih dihadapkan dengan ratusan permasalahan fikih. Setelah dia
menelaahnya, dia mendapatkan adanya kesamaan di dalam semua permasalahan tersebut, kesamaan
itulah yang kemudian disimpulkan menjadi kaidah fikih.
Berdasarkan hal tersebut, kaidah ushul fikih lebih awal digunakan dari pada kaidah fikih. Karena
kaidah ushuliyyah digunakan untuk mengetahui kandungan makna sebuah lafal yang berujung pada
kesimpulan hukum. Lalu dari banyak hukum-hukum tersebut yang memiliki kesamaan makna atau
maksud, disimpulkanlah menjadi kaidah-kaidah fikih. Sehingga dari sisi urutan penggunaan, asalnya
kaidah ushul fikih diaplikasikan terlebih dahulu, meskipun dalam realitanya kaidah ushul fikih dan
kaidah fikih digunakan secara bersama-sama.

A. Kaidah Pertama: Setiap Amal Bergantung Kepada Niat


َ َ ُ
َ ‫األ ُم ْو ُر ِب ِم‬
‫ق ِص ِدها‬
“Segala perkara/perbuatan tergantung kepada niatnya.”
Kaidah ini menjadi penyandar bagi kita atas segala perkataan maupun perbuatan yang
dilakukan semua kembali pada maksud hati atau niat masing-masing. Setiap kata dan perbuatan
1
akan bernilai menjadi pahala atau tidak, bergantung kepada maksud hati dan tujuan seseorang
melakukannya. Dengan niat, bisa menjadi pembeda antara dua orang atau lebih ketika melakukan
suatu perbuatan sama tapi yang satu bernilai ibadah yang lain tidak atau yang satu mendapat sedikit
keberkahan namun satunya memperoleh keberkahan yang sangat banyak.
Kaidah tentang penetapan niat untuk setiap perbuatan ini memang telah tergaris tajam dari
beberapa ayat, diantaranya firman Allah:

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. al Bayyinah : 5)
Atau pada ayat lain Allah berfirman:

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah),
tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh
hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. al Baqarah : 225)
Diantara dalil lain kaidah ini adalah sabda Nabi:
ُُ ْ ُ ‫ور‬َ ‫ت ه ْج َرُت ُه إىل هللا‬ْ َ َ ْ ََ ََ ِّ ‫بالن َّيات وإ َّنما ل ُك‬
ِّ َ َ ‫َّإن‬
ِ ‫فهج َرته إىل‬
‫هللا‬ ِ ِ ‫ه‬
ِ ‫ول‬ ‫س‬ ِ ِ ‫ان‬ ‫ك‬ ‫ن‬ ‫م‬‫ف‬ ‫ى‬‫و‬ ‫ن‬ ‫ما‬ ‫امريء‬
ٍ ‫ل‬ ِ ِ ‫ال‬‫األعم‬ ‫ا‬ ‫م‬
َ َ َ ُ َُ ْ َ ُ َْ ُ ْ ُ َ ْ ُ ُ ُ َ ِْ ْ َ َ ْ َ ْ ُ َ
‫إليه‬
ِ ‫فهجرته إىل ما هاجر‬ ِ ‫ورسو ِل ِه ومن كانت ِهجرته ِلدنيا ي ِصيبها أو امر ٍأة ين ِكحها‬
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa
yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah
dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang
dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (Hr. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Niat diambil dari bahasa Arab an niyat yang merupakan jamak dari kata niyah. Secara bahasa
َ َ
ُ ‫ الق‬yang dimaknai dengan maksud atau diartikan juga dengan alasan bagi seseorang
berarti ‫ص‬
dalam melakukan suatu perbuataan. Niat juga bisa dimaknai al ‘azm karena dimaknai dengan
keinginan yang kuat. Imam an Nawawi menjelaskan bahwa “niat merupakan al qashdu berupa;
‘azimatul qalbi’ (keinginan dalam hati) dan juga bermakna ‘nawaka Allahu bi khairin’ (Allah
Subhanahu wa Taala bermaksud memberimu kebajikan).
Dari kupasan secara bahasa terdapat ketentuan (term) dalam pemaknaan niat sebagai berikut:
1. Niat adalah suatu keinginan yang kuat (al a’zm) serta juga bisa berarti tujuan (al qasdhu).
2. Niat juga memiliki makna sebagai kehendak seseorang pada sesuatu (al iradah).
3. Makna niat adalah ikhlas menghendaki sesuatu.
4. Niat merupakan suatu maksud terhadap suatu perbuatan dan keinginan hati.
Sebagai sesuatu yang wajib ada, niat memiliki syarat-syarat khusus untuk mendahului dan
melekat pada setiap amal. Sehingga seseorang dipandang tidak memiliki niat jika syarat tersebut
tidak ada pada perbuatannya. Syarat tersebut ialah: Pertama; beragama Islam. Hal ini karena niat
tidak bisa lepas dari setiap perbuatan yang bertujuan sebagai ibadah. Sementara setiap perbuatan
ibadah hanya diterima oleh Allah jika pelakunya adalah orang yang bersyahadat (Islam). Kedua;

2
tamyiz. Setiap yang diniatkan mestilah perkara yang sejalan dengan potensi akal seseorang untuk
bisa membedakan perkara baik dan buruk atau benar dan salah. Ketiga; faham terhadap perbuatan
yang diniati tersebut (al manwi). Sebab jika seseorang tidak tahu antara salat fardu dan sunat, maka
niatnya tidak sah sehingga salatnya juga demikian. dan Keempat; tidak ada unsur yang bertentangan
dengan niat (munafi’). Misalnya mengerjakan salat tetapi niatnya hanya untuk bermain-main saja.
1. Keutamaan Niat Terhadap Setiap Perbuatan.
a. Niat sebagai penentu ibadahnya tertuju kepada siapa;
1) Jika ikhlas beribadah karena Allah semata atau;
2) Syirik dengan beribadah karena riya, sum’ah, ‘ujub dan lainnya.
b. Niat sebagai pembeda;
1) Pembeda antara ibadah dan adat.
Misalnya seseorang yang mandi waktu pagi Jumat. Ini ada dua kemungkinan niatnya.
Apakah niatnya mandi junub (sunah mandi Jumat) untuk melaksanakan salat Jumat atau
mandi biasa sekedar untuk menyegarkan badannya. Yang pertama dia mendapatkan
pahala karena melakukan amalan sunah. Sedangkan yang kedua tidak mendapatkan
pahala karena hanya melakukan kebiasaan sehari-hari.
2) Pembeda antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya.
Seperti seseorang mengerjakan salat dua rakaat saat fajar yang sudah masuk waktu
Subuh. Maka ada beberapa kemungkinan dari salat yang dia laksanakan;
a) dia mengerjakan salat sunah tahiyyatul masjid;
b) salat sunah rawatib qabliyah Subuh (salat sunat fajar); atau
c) Itu menunaikan salat Subuhnya; atau
d) bisa juga kemungkinan lainnya yang kesemuanya tergantung pada niatnya.

Disamping itu, terkadang diantara amalan-amalan kita, ada yang tergolong sebagai
perbuatan ibadah disatu waktu tetapi dilain waktu dia hanyalah sekadar kebiasaan. Misalnya
seperti mandi yang telah dicontohkan sebelumnya. Kemudian juga terdapat amalan yang tidak
membutuhkan niat sebagai pembeda apakah itu ibadah atau sekedar kebiasaan, karena dari sisi
aktivitasnya memang merupakan sebuah ibadah secara mutlak. Seperti berzikir, membaca al
Quran, salat atau puasa. Amalan-amalan tersebut tersebut secara zatnya adalah ibadah, tidak
bisa berubah jenis menjadi kebiasaan hanya karena niat.
Ada pula jenis amalan khusus yang sudah sangat jelas dan bahkan tidak membutuhkan niat
sebagai pembeda antara jenis ibadah yang ini atau ibadah yang itu, karena tidak memiliki
kesamaan dengan ibadah yang lain. Ibadah-ibadah tersebut seperti ibadah haji, tidak ada amalan
lain yang mirip seperti haji tetapi bukan dengan niat haji. Demikian halnya berpuasa dibulan
Ramadan. Tidak ada kemungkinan puasa yang lain dibulan itu, atau dibulan lain yang dilakukan
selama 29 sampai 30 hari berturut-turut. Sehingga dia tidak perlu mempertegas niatnya akan
melakukan jenis ibadah tersebut. Namun merunut sebagian ulama, jika tetap menegaskan
dengan niat tidaklah menyalahi, karena fungsi niat dalam amalan di atas sebagai pembeda
apakah dia ikhlas atau tidak.
2. Tujuan Disyariatkannya Niat.
Menurut Imam asy Suyuti yang terpenting atas pensyariatan niat adalah untuk
membedakan antara ibadah dengan adat-kebiasaan. Disamping itu juga untuk mempertegas
kedudukan atas tingkatan-tingkatan sebuah ibadah, seperti antara wudhu dan gusl (mandi) yang
dapat diartikan sebagai tandhif (membersihkan diri), untuk tabarrud (menyegarkan tubuh) atau
sebagai ibadah.
3
Demikian juga, seperti menahan diri (imsak) dari segala perkara yang bisa membatalkan
puasa, dapat diartikan sebagai hamiyyah (kesehatan badan), berobat, atau karena memang
perbuatan pembatal itu memang sedang tidak diperlukan. Demikian juga, berdiam diri di masjid
bisa bermakna sebagai istirahat saja, itikaf atau menunggu sesuatu. Menyerahkan uang kepada
orang lain dapat berarti sebagai hibah, menyambungkan tali silaturahmi, pembayaran hutang
atau karena maksud-maksud duniawi dan dapat juga berarti mendekatkan diri kepada Allah
(taqarrub) seperti zakat, sadaqah dan kifarat. Menyembelih hewan dapat diisi dengan niat untuk
makanan sehari-hari dan juga dapat bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub)
karena telah mengalirkan darah (membunuh). Dalam hal ini niat disyariatkan untuk
membedakan antara yang taqarrub dengan yang bukan.
Setiap ibadah, seperti wudhu, gusl (mandi), salat dan saum (puasa) kadang-kadang bisa
merupanan satu perbuatan fardu, sebagai nazar atau amalan nafl (sunah). Melakukan tayamum
kadang-kadang dari hadas atau janabah padahal cara pelaksanaannya sama. Karena inilah, niat
disyariatkan untuk membedakan tingkatan-tingkatan ibadah.
Contoh penerapannya, seorang wanita yang dalam keadaan haid ketika ia membaca surat
al Fatihah jika dilihat niatnya memiliki keadaan seperti berikut:
a. Diniati untuk membaca al Qur’an, maka hukumnya haram.
b. Diniati sebagai dzikir, maka tidak haram.
c. Diniati untuk membaca al Qur’an dan dzikir, maka hukumnya juga haram.
d. Tidak diniati apa-apa, maka juga haram.
Dengan pemaparan di atas bisa kita difahami bahwa niat memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Sebagai pembeda antara ibadah dan adat kebiasaan.
b. Untuk membedakan kualitas setiap perbuatan sebagai kebaikan, kebiasaan atau kejahatan.
c. Niat sebagai penentu sah dan tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu, serta membedakan
amal yang wajib dari yang sunah.
Secara lebih mendalam lagi para fuqaha (ahli hukum Islam) merinci masalah niat ini baik
dalam bidang ibadah mahdah, seperti taharah (bersuci), wudhu, tayamum, mandi junub, salat,
qasar jamak, wajib, sunah, zakat, haji, saum ataupun didalam muamalah dalam arti luas atau
ibadah ghair mahdah, seperti pernikahan, talak, wakaf, jual beli, hibah, wasiat, sewa menyewa,
perwakilan, utang-piutang serta akad-akad lainnya.
Tidak semua perkara ibadah itu mewajibkan niat atas penunaiannya, seperti:
a. Semua perkara yang sudah pasti merupakan ibadah dan bukanlah adat, sehingga tidak
berpeluang bercampur dengan yang lain, dalam hal ini tidak diperlukan niat seperti iman
kepada Allah, makrifat, khauf, zikir dan membaca al Qur’an kecuali apabila membacanya
dalam rangka nazar.
b. Dalam perkara yang diharamkan, tidak diperlukan niat untuk meninggalkan perbuatan
tersebut. Seperti meninggalkan perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang
karena dengan tidak lagi melakukan perbuatan tersebut maksudnya sudah tercapai.
c. Batal atau selesai dari salat tidak diperlukan niat. Karena niat diperlukan saat akan
melakukan suatu perbuatan bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan.
Tujuan disyariatkannya niat dikalangan mazhab Hanafi disandarkan pada kaidah:
َ َ ََ َ
‫الن َي ِة‬
ِ ‫ال ثواب ِإال ِب‬
“Tidak ada pahala kecuali niat”.

4
Kaidah ini mereka letakkan kedalam al qawa’id al-kulliyah yang pertama sebelum al umur bi
maqashidiha.
Sedangkan dikalangan mazhab Maliki, kaidah tersebut menjadi cabang dari kaidah al umur
bimaqashidiha, seperti diungkapkan oleh Qadhi Abd Wahab al Baqdadi al Maliki. Tampaknya
pendapat mazhab Maliki ini bisa lebih diterima karena kaidah diatas asalnya:
َ َ َ َ َ َ َ ََ
‫الن َي ِة‬
ِ ‫الثواب وال ِعقاب ِإال ِبا‬
“Tidak ada pahala dan tidak ada siksa kecuali karena niatnya”.
3. Perkara Melafalkan Niat pada Ibadah Wajib.
Dalam perkara ini, terdapat ikhtilaf dikalangan ulama. Hukum melafalkan niat salat pada
saat menjelang takbiratul ihram adalah sunah menurut kesepakatan para pengikut mazhab imam
Syafi’i (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab imam Ahmad bin Hambal (Hambaliyah). Karena
dengan melafalkan niat sebelum takbiratul ihram dapat membantu untuk mengingatkan hati
sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan salatnya.
Menurut pengikut mazhab imam Malik (Malikiyah) dan pengikut imam Abu Hanifah
(Hanafiyah) bahwa melafalkan niat salat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali
bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut
penjelasan Malikiyah, bahwa melafalkan niat salat sebelum takbir menyalahi keutamaan
(khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat
sebelum salat adalah sunah. Sedangkan penjelasan Hanafiyah bahwa melafalkan niat salat
sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang
terkena penyakit was-was.
َ َ ُ
َ ‫ األ ُم ْو ُر ِب ِم‬sebagai berikut:
4. Kaidah terapan dari kaidah pokok ‫ق ِص ِدها‬
َ ‫لم َقاصد َو ْال َم َعان ل ْ َل َلفاظ َو‬
ْ‫الم َبان‬ ُ ‫َالع ر َب ُةف‬
َ ‫الع ُق ْودل‬
a. ِِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
“Pengertian yang diambil dari sesuatu tujuannya bukanlah semata-mata dari kata-kata
dan ungkapannya”
Contoh dari kaidah ini seperti jika seseorang mendonorkan darahnya yang kemudian dia
memperoleh sejumlah uang sebagai imbal jasa telah mendonorkan tersebut, maka perbuatan
tersebut tidak bisa dianggap sebagai aksi sosial, tetapi sudah masuk dalam kegiatan jual beli.
ِّ َّ َ َ َ َ
b. ‫اب ِإال ِبالن َي ِة‬‫الثو‬
“Tidaklah ada pahala kecuali dengan niat”
Contohnya seseorang yang tidak makan dan minum sejak terbit fajar hingga terbenam
matahari tidaklah mendapat pahala puasa kecuali ia menyertai perbuatan tersebut dengan
niat puasa sunah sebelum tergelincirnya matahari (masuk waktu Zuhur) pada hari tersebut.
ِّ َ َ َْ ََ َ َُ َ َ ُ
c. ‫ك ُّل َماكان له ا ْصل فَل َينت ِق ُل ع ْن أ ْص ِل ِه ِب ُم َج َّر ِد الن َي ِة‬
“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal karena semata-
mata niat.”
Misalnya seseorang yang berniat membayar hutang, tetapi sesaat setelah ia menyerahkan
pembayaran ia berubah niat menjadi untuk sedekah saja. Maka niat melunasi hutang itu
menjadi batal.
Contoh lain seseorang yang melakukan salat fardu. Namun kemudian saat sedang salat, ia
merubah niat menjadi salat tahyatul masjid. Ini menjadikan perbuatan asalnya menjadi batal.
َّ ََ ْ َّ ُ َ َ
d. ‫اصد الف ِظ عَل ِن َّي ِة الَل ِفظ‬
ِ ‫مق‬
“Maksud lafal itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya”

5
Contoh kaidah ini seseorang yang salat kemudian mengeraskan bacaannya agar orang-orang
mengetahui bahwa ia sedang salat. Dalam kasus ini salatnya menjadi batal.
Contoh lainnya seperti seorang majikan yang memanggil budaknya dengan seruan ‘Ya
hurrah’ (wahai yang dibebaskan), maka jika maksud panggilan itu untuk tujuan
membebaskannya, maka budak tersebut bebas dan merdeka.
ْ َ ْ ْ َ ََُ ْ ُ َ ُ ْ َ َ ُ َ َ ََ ْ َْ َ
e. ‫اف القل ِب‬ِِ ‫اللسان والقلب فالمعت ربم‬
ِ ‫لواختلف‬
“Apabila terjadi berbedaan antara yang diucapkan dengan apa yang ada dalam hati,
maka yang dijadikan pegangan adalah apa yang ada dalam hati.”
Misalnya seseorang yang berniat salat Zuhur, tetapi lafal niat yang ia ucapkan adalah salat
Asar, maka niat dalam hatinya yang diperhitungkan, yaitu salat Zuhur.
Kecuali seseorang yang mengucapkan ijab qabul, dimana niatnya menikahi si A, tetapi
ucapan menikahi si B. Ini menjadikan prosesi ijab qabul itu menjadi batal.
َ َ َ ْ ْ َ ُ ُ ْ ْ َ ُ َ َ ْ ُ َ َ َ ْ ُ ُ َ ُ ُّ َ َّ ُ َ َ َ
f. ‫اع َّي َن ُه َو َا ْخ َطأ َ ر‬
‫ض‬ ‫وماي ِجب التعرضله جملة واليشبط تع ِيينه تف ِصيل ِاذ‬
“Suatu amal yang (dalam niatnya) harus disebutkan secara garis besar dan tidak harus
terperinci, karena penyebutan yang rinci bila salah maka kesalahannya
membahayakan.”
Misalnya seseorang berniat salat jenazah atas niatnya menyalatkan jenazah laki-laki namun
pada kenyataannya sesaat kemudian diketahui jenazah itu perempuan. Atau contoh lain,
seorang yang berniat salat berjamaah dengan bermakmum kepada Umar sebagai imamnya.
Tetapi ternyata yang menjadi imam adalah Ali, maka salatnya tidak sah.
ُ َ َ َ ُ ُّ َ َّ ْ ُ َ َ ْ ُ َ َ
g. ‫ض فالخطأ ِف ْي ِه ُم ْب ِطل‬ ‫ومايشبط ِفي ِه التعر‬
“Suatu amal yang disyaratkan penjelasannya, maka kesalahannya membatalkan
perbuatan tersebut.”
Misalnya seseorang yang berniat ihram untuk umrah. Yang seharusnya sat itu ia sedang
ihram untuk berhaji. Maka batal ihramnya dan otomatis batal pula umrah atau hajinya.

Telusuri bersama teman-temanmu tentang persoalan berikut!


1. Dalam perkara niat mayoritas kita terdapat dua kelompok. Ada yang mesti
melafalkan sesaat sebelum perbuatan dan ada kelompok lain yang menyatakan
tidak dilafalkan. Bagaimana kamu memahami kedua persepsi ini?
2. Terkadang seseorang melafalkan niat untuk perbuatan A, ternyata ia kurang
konsentarasi sebab saat itu ia mesti menunaikan perbuatan B. Bagaimana
komentarmu atas kekhilafan ini?

B. Keyakinan dan Keraguan pada Sebuah Amal.


َ
‫ال ِبا لش ِك‬ ُ ْ ‫َا ْل َيق‬
ُ ‫ي َال ُي َز‬
ِ
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
Apa yang ada pada kaidah ini mengisyaratkan kepada kita bahwa banyak kemudahan dalam
menghadapi persoalan-persoalan hukum Islam. Sebab, terkadang suatu perkara yang kita yakini
ُ ْ َْ
terkadang masih teriring sesuatu yang kemudian membuat kita ragu-ragu. Kata ‫ ال َي ِقي‬secara bahasa
artinya mantapnya hati atas suatu perkara. Yakin juga dipahami sebagai pengenalan pada sesuatu

6
َ
yang tidak ada keraguan di dalamnya. Sementara kata ‫ ا لش ِك‬bermakna keraguan atau sesuatu yang
membingungkan. Artinya keraguan dan kebimbangan atas dua perkara yang tidak bisa dikuatkan
antara salah satu dari keduanya.
Maka kaidah di atas bisa kita fahami dari penjelasan Dr. Shalih bin Ghanim as Sadlan berikut,
“… setiap perkara yang diyakini telah terjadi, tidak bisa dihilangkan kecuali dengan dalil yang pasti
dan meyakinkan. Dengan kata lain, tidak bisa dihilangkan hanya dengan sebuah keraguan.
Demikian pula sebaliknya, suatu perkara yang diyakini belum terjadi maka tidak bisa dihukumi
telah terjadi kecuali dengan dalil yang meyakinkan pula.” (al Qawaid al Fiqhiyyah al Kubra; Dr.
Shalih bin Ghanim as Sadlan; h.101).
Keyakinan dan keragu-raguan terhadap suatu perbuatan (amal), memang telah banyak menjadi
pembahasan di dalam kitab-kitab fikih. Misal pada kasus seseorang yang sebelumnya berwudhu
dan sudah yakin suci dari hadas, setelah beberapa saat kemudian dia ragu, apakah wudhunya sudah
batal ataukah belum? Maka dengan patokan kaidah ini, dia tetaplah terhukum dalam keadaan suci.
Meski memang untuk ihtiyat (kehati-hatian), yang lebih utama adalah memperbarui wudhunya.
Permisalan yang lainnya pada kasus fikih jinayah. Jika ada seseorang yang menuduhkan orang
lain telah melakukan suatu kejahatan. Maka tuduhan tersebut tidak dapat diterima, hingga yang
menuduh bisa menghadirkan bukti yang sah dan menyakinkan bahwa orang tersebut telah benar-
benar melakukan kejahatan.
ُ ْ َْ َ
Karena itu makna ‫ ال َي ِقي‬dan ‫ ا لش ِك‬oleh para ahli dipandan sebagai sesuatu yang bertingkat
keadaannya, sebagai berikut:
ُ ْ َْ
1. Kata ‫ ال َي ِقي‬memiliki beberapa makna dan tingkat pemahamannya, berupa:
a. Disebut ‫ يقي‬jika mengetahui sesuatu dengan suara, karena secara logika yang bersangkutan
ada disekitar situ. Misal suara si A yang didengar meski kita tidak melihat orangnya;
b. Disebut ‫عي اليقي‬ jika kemudian setelah ia mendengar suara itu kemudian sepintas
َ
melihat sosoknya, maka kecil kemungkinan mendatang-kan keraguan (‫)ا لش ِك‬.
c. Disebut sebagai ‫ حق اليقي‬karena selain mendengar suaranya dan melihat suatu objeknya,
juga ditambah dengan memegang atau menyentuhnya secara langsung.
َ
2. Kata ‫ ِبا لش ِك‬juga memiliki beberapa tingkatan, yaitu:
a. Disebut ‫ الجهل‬karena ragunya seseorang muncul akibat ia tidak memiliki pengetahuan atau
benar-benar tidak tahu akan perkara itu.
b. Dinamakan dengan ‫ الوهم‬jika seseorang menjadi ragu akibat ia melakukan suatu perbuatan
dengan persangkaan, meski sangkaan itu masih lemah. Ia tahu akan suatu perkara tapi masih
belum mengerti perkara tersebut.
c. Dinamakan dengan ‫ الشك‬karena ia ragu akan suatu perkara tetapi rasa yakinnya juga
mengiringi cukup kuat dalam hal tersebut. Tahu akan perkara itu, pernah mengerjakannya
tetapi belum memiliki pengalaman atas perkara tersebut.
d. Tingkatan di atas ‫ الشك‬adalah ‫ الظن‬yaitu sesuatu yang dilakukan tetapi masih diiringi
perkara yang sifatnya dugaan kuat dalam berbuat. Pernah mengerjakan tetapi rasa percaya
dirinya mengakibatkan hadir rasa goyah yang kemudian dinamakan dengan ‫الظن‬.
1. Dasar pijakan kaidah dan pengertian yakin serta keraguan.
Penetapan kaidah tentang keyakinan dan keraguan ini tidak bisa dilepaskan dari isyarat
yang ada di dalam al Quran, hadis, ijma atau jumhur para ulama:

7
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka
akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”(QS. al An’am: 116)

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya


persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Yunus: 36)
Atau jika mencari dasar dari sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam:
ْ َ ْ َ َ َ ُ ْ َ َ ََ َْ ْ َ ُ ْ َ َ َ َ ََْ َ َ ْ ََ ْ َ ْ َ ْ ُ ُ َ َ َ َ َ َ
‫ش ءأم الفَل يخرجن ِمن المس ِج ِد‬ ِ ‫ِاذاوجد أحد كم ِ ِ َف بص ِْن ِه شيئا فآ شكل علي ِه اخرج ِمنه‬
ْ َْ ْ َ َ َ ْ َ َ َ
)‫حت يسمع صوتاأوي ِجد ِريحا (رواه مسلم عن رأن هريرة‬
“Apabila seseorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya. Kemudian dia ragu
apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut tidak boleh
keluar dari mesjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”. (Hr. Muslim
dari Abu Hurairah).
َ َ َ َ ْ َ
‫دع َم ُاي ِرْي ُبك ِإىل َماال ُي ِرْي ُبك‬
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak
meragukanmu”. (Hr. an Nasa’i dan at Tirmizi dari Hasan bin Ali).
Dari pijakan di dalam al Quran dan hadis telah ada isyarat bahwa kita dianjurkan untuk
meninggalkan persangkaan dan duga menduga terhadap suatu perkara, baik berkenaan dengan
ibadah juga dalam perkara muamalah. Atas pertimbangan ini sehingga para ulama sepakat
َ َ َُ ُ ْ َْ
ُ ‫ال َيقي اليز‬. Ini diantaranya disampaikan oleh al imam al
mengikut patokan kaidah ‫ال ِبا لش ِك‬ ِ
Qarafi dalam kitabnya, “dalam kaidah ini seluruh ulama sudah bersepakat dalam
mengamalkannya dan kita sepatutnya juga mempelajari dan mendalaminya.” (Al Furuq: Al
Qarafi: h. 111)
Dari pemaparan-pemaparan di atas, kita dapat memahami bahwa yang dimaksud dengan
yakin di sini adalah:
َّ َ َ َ َ َ َ ُ
‫ه َو َماكان ث ِابت ِابالنظرأواالد ِليل‬
ْ
“Sesuatu yang menjadi tetap karena penglihatan panca indra atau dengan adanya dalil”.
Adapula yang mengartikan yakin sebagai ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada
kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu dalam arti tidak ada keraguan lagi.
Sementara yang dimaksud dengan asy syak di sini adalah:
َ َ َ ُ َ َ
‫اب َوالخط ِاء د ْون ت ْر ِج ْي ِع ا َح ِر‬ َ َ ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ ُ ُ َ ْ َ ِّ َ َ ُ َ َ َ َ ُ
ِ ‫هوماكَان مبددابي الثبو ِت وعد ِمه مع تس ِاوى طرف ِرالصو‬
َ ‫اعَل‬ َ َ
‫االح ِر‬ ‫ِهم‬
“Suatu pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tentang kebenaran dan
kesalahan dengan kekuatan yang sama dalam arti tidak dapat ditarjihkan salah satunya”.
Ada pengecualian dari kaidah tersebut di atas, misalnya wanita yang sedang menstruasi
yang meragukan, apakah sudah berhenti atau belum. Maka ia wajib mandi besar untuk salat.
8
Contoh lain: baju seseorang terkena najis, tetapi ia tidak tahu bagian mana yang terkena najis
maka ia wajib mencuci baju seluruhnya. Sesungguhnya contoh-contoh di atas menunjukkan
kepada ihtiyat dalam melakukan ibadah yang secara tidak langsung merupakan pengecualian.
Mazhab Hanafi mengecualikan dari kaidah tersebut dengan menyebut 7 macam contoh.
Sedangkan mazhab Syafi’i menyebut 11 contoh. Sedangkan materi-materi fikih yang
َ َ َُ ُ ْ َْ
ُ ‫ال َيقي اليز‬, tidak kurang dari 314 masalah fikih.
terkandung dalam kaidah ‫ال ِبا لش ِك‬ ِ
Mazhab yang tidak mau bersandar kepada sesuatu yang meragukan adalah mazhab Maliki
dan sebagian ulama Syafi’iyah, karena mereka menerapkan konsep ihtiyat-nya. Memang dalam
ibadah memerlukan kepastian dan kepuasan batin hanya bisa dicapai dengan ihtiyat.
Tentang ‫ الشك‬atau keraguan ini barangkali perlu dikemukan di sini pendapat Ibnu Qayyim
al Jauziyah: “Perlu diketahui bahwa didalam syariat tidak ada sama sekali yang meragukan.
Sesungguhnya ‫ الشك‬itu datang kepada mukallaf (subyek hukum) karena kontradiksinya dua
indikator atau lebih, maka masalahnya menjadi meragukan baginya (mukallaf).
َ َ َُ ُ ْ َْ
ُ ‫ال َيقي اليز‬
2. Kaidah-kaidah penyerta dari kaidah ‫ال ِبا لش ِك‬ ِ
Dari kaidah asasi al yaqinu la yuzalu bi asy syak ini kemudian muncul kaidah-kaidah yang
lebih sempit ruang lingkupnya, misalnya:
ْ ْ َ ُ َُ ُ ْ َ
a. ‫ي ِمث ِل ِه‬
ِ ‫الي ِقي يزال ِبالي ِق‬
“Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang menyakinkan pula”.
Kita yakin sudah berwudhu, tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air kecil, maka
wudhu kita menjadi batal.
ْ َ َ ُ َ َ ْ ُ َ ْ َ َ َ َ َ َّ َ
b. ‫ي‬
‫ي اليرتفع ِإال ِبي ِق ن‬ِ ‫أن ماثبت ِبي ِق‬
“Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kacuali dengan keyakinan
lagi”.
Dalam keadaan thawaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran ke 5 atau ke 6.
Maka yang menyakinkan adalah jumlah yang ke 5, karena putaran yang ke 5 itulah yang
menyakinkan. Tetapi sebaliknya dalam perkara muamalah, ketika ragu telah memakan
jajanan sebanyak 3 atau 4 biji, maka yang diyakini adalah 4 biji yang harus dibayar.
ُ َ ُ ْ َ َ
c. ‫الذ َم ِة‬
ِ ‫اآلصل ب َراءة‬
“Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”.
Pada asalnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan
dengan hak Allah maupun dengan hak kepada sesama. Setelah dia lahir muncullah hak dan
kewajiban pada dirinya. Misalnya seseorang bebas dari tuntutan dan kewajiban sebagai
seorang pelajar madrasah sampai ia benar-benar masuk dan terdaftar di madrasah tersebut
sebagai salah satu siswa.
َ ُ َ َ َ ََ َ َ َ َ
d. ‫اآل ْص ُل بق ُاء َماكان عَل َماكان َمال ْم َيك ْن َم ُايغ ِ ُب ُه‬
“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang
mengubahnya”.
Misalnya seseorang memiliki air di sebuah bak, kemudian diragu memakainya untuk
berwudhu. Dalam hal ini ia dapat berpegang kepada ketentuan bahwa hukum asal air adalah
suci, sehingga ia boleh menggunakannya sampai ia mendapatkan bukti yakin bahwa air itu
tidak suci lagi.
e.
َ َ َ َ
‫العد ُم‬ ‫ات الع ِارض ِة‬
َ
ِ ‫الصف‬
ِ ‫ف‬ْ ‫َا َآل ْص ُل‬
ِِ
“Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada”.
9
Contoh kaidah ini misalnya si A berseteru dengan B karena si B menyatakan telah melunasi
hutangnya kepada A. Sementara si A menyatakan belum terjadi pelunasan tersebut. Maka
yang dikuatkan untuk dipakai adalah si B berhutang pada si A karena keduanya yakin terjadi
hutang piutang (hukum asal), sedang pelunasan (sifat yang datang belakangan) terjadi
perdebatan yang membuat keduanya tidak sepakat.
َ َ َْ َ ‫َا َآل ْص ُل إ َض َاف ُة‬
f. ‫الح ِاد ِث ِإ َلرأق َر ِب أوق ِات ِه‬ ِ
“Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat
kejadiannya”.
Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang
ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu
yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi, kecuali ada bukti lain yang
menyakinkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada waktu yang lebih jauh.
Contoh seseorang yang baru sembuh setelah mengalami keracunan makanan kembali bisa
beraktifitas seperti biasa. Ia menjalani itu selama beberapa minggu. Hingga kemudian ia
ditemukan meninggal di kamarnya. Maka meninggalnya orang tersebut bukan karena
keracunan tetapi karena suatu hal yang lain dan sebagainya.

َ ََ َ ُ ُ َ َ َْ َ َ
g. ‫احة َح َت َيد َل الد ِل ْي ُل عَل الت ْح ِرْي ِم‬ ‫اآل ْص ُل ِ ِف اآلش َي ِاء ِاإلب‬
“Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan
keharamnya”.
Contohnya apabila ada binatang tertentu yang belum ada dalil tegas tentang keharamannya,
maka hukumnya boleh dimakan.
ُ َ َ َ َ َ َ
h. ‫الح ِق ْيقة‬ ‫األ ْص ُل ِ ِف الكَل ِم‬
“Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya”.
Contoh kaidah ini seperti seseorang bersumpah tidak akan memakan daging sapi yang
dibelinya. Namun kemudian dia memakan daging dalam hajatan tetangganya. Ini tidak
masuk dalam katagori melanggar sumpah, sebab ia memakan daging sapi yang bukan dari
hasil membeli. Atau ia meminum susu sapi, juga bukan pelanggaran atas sumpahnya karena
ia hanya bersumpah dengan objek daging sapi, bukan mengkonsumsi susunya.
j. Qadhi Abd. al Wahab al Maliki menyebutkan dua kaidah lagi yang berhubungan dengan
َ َ َُ ُ ْ َْ
ُ ‫”ال َيقي اليز‬, yaitu:
kaidah, ” ‫ال ِبا لش ِك‬ ِ
َ َ ْ َ َ َ َ
‫ال ِع رْ َبة ِبالظ ِن ال ِذي َيظ َه ُرخط ُاء ُه‬
“Tidak dianggap (diakui) persangkaan yang jelas salahnya”.
Contoh penerapan kaidah ini seperti mendirikan Salat sementara pada waktu itu ternyata
waktu Salat belum masuk. Maka yang bersangkutan wajib mengulang Salatnya.
ُ َ َ َ
k. ‫ال ِع رْ َبة ِللت َوه ِم‬
“Tidak anggap (diakui) adanya wahm (kira-kira)”.
Bedanya zhann dan wahm adalah didalam zhann yang salah itu persangkaannya. Sedangkan
dalam wahm, yang salah itu zatnya. Contoh kaidah ini misalnya seseorang yang meninggal
dunia kemudian ahli warisnya membagi harta warisan almarhum. Tentu yang dibagi
hanyalah harta yang pasti milik almarhum, sementara yang meragukan (wahm) ditinggalkan
saja.

10
َ ََ َ ُ َ َ َ َ ََ
l. ‫َماثت َبت ِب َز َم نن ُي ْحك ُم َب َبق ِاء ِه َمال ْم َيق ْم الد ِل ْي ُل عَل ِخَل ِف ِه‬
“Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan
berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya”.
Contoh kaidah ini seperti seseorang yang Salat Ashar tanpa berwudhu karena ia yakin
wudhunya di waktu Dzuhur masih belum batal. Atau seseorang yang lama pergi merantau,
maka hartanya tidak boleh dibagi oleh ahli waris sampai benar ada bukti yang bersangkutan
meninggal dunia.

Jelaskan pengalamanmu berdasarkan kaidah-kaidah di atas!


1. Apa yang kamu lakukan jika pada suatu kala engkau mengalami keraguan akan
prosesi ibadahmu tersebut?
2. Darimanakan munculnya perasaan yakin dan hadirnya keragu-raguan pada
ibadah kita? Bagaimana mengatasinya?

C. Kesulitan Mendatangkan Kemudahan.


َ ُ ْ َ ُ َ َ َ
‫ب الت ْي ِس ْ ُب‬ ‫المشقة تج ِل‬
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
1. Dasar-dasar Nash Kaidah.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagi
kalian”. (QS. al Baqarah: 185).
Pada surat al Baqarah ayat 286 juga disebutkan:

“Allah tidak membebani seseorangmelainkan sesuai dengan kesanggupannya.”


Sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam:
َ َ ْ َ ََ َ ْ ُ ُ ْ ُ ُ ْ
)‫السمحة (رواه البخر‬ ‫الخفية‬
ِ ‫هللا‬
ِ ‫إىل‬ ‫الدي ِن‬
ِ ‫الدين يْساخب‬ ِ
“Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan
mudah”. (Hr. Bukhari dari Abu Hurairah).
Dalam ilmu fikih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada Tujuh
macam yaitu:
a. Sedang dalam perjalanan, misalnya boleh qasar salat, buka puasa dan tidak mengikut salat
Jumat.
b. Keadaan sakit, misalnya boleh tayamum ketika sulit memakai air atau salat fardhu sambil
duduk.
c. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya. Misalnya memakan
bangkai disaat tidak ditemukan makan lain yang halal.
d. Lupa, misalnya seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa membayar utang
tidak diberi sanksi tetapi bukan berpura-pura lupa.

11
e. Ketidaktahuan, misalnya orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian makan
makanan yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi.
f. Umum al Balwa, misalnya kebolehan bai al-salam (jual beli dengan uangnya dahulu,
barangnya belum ada). Kebolehan dokter melihat aurat kepada bukan mahramnya demi
untuk mengobati sekadar yang dibutuhkan dalam pengobatan.
g. Kekurangan mampuan bertindak hukum (an naqsh), misalnya anak kecil, orang gila, orang
dalam keadaan mabuk.
2. Klasifikasi Kesulitan.
Dr. Wahbah az Zuhaili membagi jenis kesulitan dalam 2 kategori, yaitu:
a. Kesulitan mu’tadah.
Kesulitan mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia masih mampu untuk
menemukan jalan penyelesaian dari masalahnya sehingga kesulitan jenis ini belum masuk
pada keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat menghilangkan taklif dan tidak
menyulitkan untuk melakukan ibadah. Misalnya seseorang kesulitan mencari pekerjaan, ia
dapat pekerjaan yang sangat berat. Namun beratnya pekerjaan tersebut bukan berarti
diperbolehkan keringanan dalam melakukan salat atau puasa dan sebagainya atau karena
kesulitan mencari ma’isah (mencari rejeki) itu menggugurkan hukum bekerja.
b. Kesulitan ghairu mu’tadah.
Kesulitan ghairu mu’tadah merupakan kesulitan yang tidak pada kebiasaan seperti
umumnya, dimana pada kondisi ini manusia tidak mampu memikul kesulitan itu. Dengan
kesulitan ini jika ia memaksan untuk melakukannya niscaya akan berpotensi untuk merusak
diri dan memberatkan kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan ini dapat diukur secara akal
oleh yang bersangkutan atau berdasarkan dari syariat sendiri serta kepentingan yang
dicapainya. Kesulitan dalam kondisi seperti ini membuka kebolehan menggunakan rukhsah.
3. Tingkatan Kesulitan dalam Ibadah.
Setidaknya ada 3 macam kesulitan yang mungkin dialami oleh setiap mukalaf sebagaimana
diuraikan oleh Wahbah az Zuhaili berikut:
a. Kesulitan azhimah.
Yaitu kesulitan yang berpotensi mengakibatkan rusaknya jiwa ataupun jasad manusia.
b. Kesulitan khafifah.
Yaitu kesulitan karena sebab yang ringan dan setiap orang dapat melewatinya dengan aman,
seperti dinginnya air pada musim dingin, rasa dahaga dan lapar kala puasa atau lelah dan
penat selesai tarawih.
c. Kesulitan mutawasithah.
Yaitu kesulitan yang tengah-tengah antara yang berat dan yang ringan. Berat ringannya
kesulitan tergantung pada kondisi mukallaf itu sendiri, sehingga pilihan rukhshah terkadang
boleh tetapi juga terkadang dilarang memilihnya.
4. Bentuk-bentuk Keringanan dalam Kesulitan.
Syekh Izzudin bin Abdis salam menyatakan bahwa bentuk-bentuk keringanan dalam
kesulitan itu ada 6 macam, yaitu:
a. Tahfitul isqath (meringankan dengan menggugurkan). Misalnya tidak ada kewajiban salat
bagi wanita yang sedang haid, tidak ada kemampuan biaya untuk pergi haji atau umrah atau
berjihad.
b. Tahfitul tanqish (meringankan dengan mengurangi). Seperti keringanan untuk mengqasar
salat yang 4 rakaat menjadi 2.
12
c. Tahfitul abdal (meringankan dengan mengganti).
Misalnya bertayamum sebagai pengganti wudhu, atau salat sambil duduk atau berbaring
ketika sakit.
d. Tahfitul taqdim (meringankan dengan mendahulukan waktunya). Seperti adanya kebolehan
salat dengan jamak taqdim bagi musafir, bolehnya membayar zakat sebelum akhir
Ramadhan.
e. Tahfitul ta’khir (meringankan dengan mengakhirkan waktu). Misalnya kebolehan salat
jamak takhir atau menunda puasa diluar Ramadhan bagi yang sedang musafir atau karena
sakit.
f. Tahfitul tarkhsih (meringankan dengan kemurahan). Seperti bolehnya menggunakan benda
najis atau khamr sebagai pengobatan.
g. Tahfitul taghyir (meringankan dengan merubah tuntunan). Misalnya tatacara salat fardu
dikala peperangan sedang berkecamuk.
5. Kaidah yang berkaitan dengan kaidah keringan dan contoh terapannya:
a. Kaidah pertama, kaidah longgar.
‫إذا ضاق األمر إتسع‬
“Suatu perkara apabila sempit maka diperluas”.
Maksudnya, jika muncul kesulitan dalam suatu perkara, maka perkara tersebut menjadi di
perlonggar dan diperluas. Makanya keringanan hukum akan bisa diperoleh jika disebabkan
adanya kondisi yang sulit dan sempit.
Contohnya seperti najis ma’fu (dimaafkan), jika najis yang mengenai tubuhnya itu sulit
dihindari, seperti musim lalat yang dalam kebiasaannya senang dibenda-benda najis, lalu
menempel tubuh.
b. Kaidah kedua, kaidah sempit.
‫إذا اتسع األمر ضاق‬
“Suatu perkara apabila luas maka dipersempit”
Contohnya seperti dalam kondisi berperang, orang boleh melakukan salat dengan cara
apapun, sekalipun dengan cara berlari akan tetapi jika peperangan sudah selesai maka ia
harus melakukannya sesuai dengan syarat dan rukunnya dan ia tidak boleh melakukan
gerakan yang banyak.
Kasus-kasus yang menjadi contoh kedua kaidah minor seperti itu, sama halnya dengan
pandangan Ibnu Abi Hurairah, yang mengatakan bahwa segala sesuatu, aku telah
meletakkan pada landasan kaidah minor (kaidah kondisional) berikut:
‫إذا ضاقت اتسعت وإذا اتسعت ضاقت‬
“Segala sesuatu jika keadaannya sempit (artinya pelaksanaanya sulit), maka ia menjadi
luas dan jika luas (dan mudah pelaksanaanya), maka hukumnya menjadi sempit.”
c. Kaidah ketiga, kaidah kebablasan.
‫كل ما تجاوز حده إنعكس إىل ضده‬
“Semua yang melampaui batas itu, hukumnya berbalik pada kebalikannya”.
Kaidah ini dibuat oleh imam al Ghazali akibat dari adanya dua kaidah di atas yang secara
lahiriyah bertentangan, sehingga dengan kaidah yang dibuatnya bisa dijadikan dasar untuk
mengkompromikan keduanya.

13
Contohnya Rasa manis atau asin itu memang enak, akan tetapi jika terlalu manis atau asin,
maka jadinya tidak menjadi enak. Pada saat tidak punya apa-apa, makan nasi dengan lauk
pauk ikan asin, sudah terasa enak, tetapi dalam kondisi banyak harta, makan nasi kasar
dengan lauk pauk sate kambing, gulai, rendang dan sebagainya, terasa kurang enak.
d. Kaidah keempat.
ْ ‫الب َد‬ َ َ َّ َ َ َ
َ ‫األ ْص ُل ُي َص ُار ِا َل‬
‫ال‬ ‫ِإذاتعذر‬
“Apabila tuntutan sebenarnya (asli) sukar dikerjakan maka (dibolehkan) berpindah
kepada penggantinya.”
Misalnya seseorang yang mencuri barang orang lain, maka ia wajib mengembalikan barang
tersebut. Jika telah rusak atau tidak diketahui lagi keberadaannya, maka ia mesti mengganti
harga barang tersebut.

e.
َ ‫ص َال ُت َن ُاط ب‬
‫الم َع ِص‬ َ ‫َا ُّلر ْخ‬
ِ
“Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan.”
Contoh penerapan kaidah ini seperti seseorang yang bepergian ke luar kota untuk
mengantarkan paket sabu-sabu. Maka tidak berlaku baginya rukhsah salat jamak dan qasar
atau berbuka jika puasa. Contoh lainnya buronan polisi karena kejahatan. Ia makan yang
diharamkan dipersembunyian dengan alasan tidak ada makanan halal yang bisa didapat,
tetap hukum makanan itu haram baginya.
َ َ ُ َ ْ َ َّ َ َ َ
f. ‫ال الكَل ِم ُي ْه َم ُل‬‫ِاذاتعز ِرإعم‬
”Apabila sulit mengamalkan (membuktikan) suatu perkataan, maka perkataan tersebut
ditinggalkan.”
Misalnya seseorang yang mengaku bahwa anak yang ditemukan itu adalah anaknya yang
hilang beberapa minggu sebelumnya. Tetapi pihak berwenang melakukan tes DNA untuk
memastikan dan ternyata hasilnya tidak memiliki kecocokan. Maka perkataan orang tersebut
tidak bisa dipakai sebagai bukti lagi.

Setelah mempelajari materi kaidah ketiga di atas, kita bisa memahami ada
7 macam kesulitan yang membuka peluang kemudahan bagi kita. Diantara
yang 7 itu, manakah yang pernah kamu alami?
Apa pendapatmu jika pada suatu ketika mendapati rekan dalam satu
perjalanan enggan mengambil rukhsah dalam ibadah padahal syarat
rukhsah memang sudah nyata adanya?

14
D. Kesulitan Mesti Dihilangkan.
َ َ
ُ ‫الض ُرُي َز‬
‫ال‬
“Kemudaratan harus dihilangkan”.
Sebagaimana dalam pemaparan Izzuddin Ibn Abd as Salam bahwa syariah Islam bertujuan
untuk mendatangkan kemaslahatan serta untuk mencegah dan menolak kemafsadatan. Kaidah
tersebut di atas menegaskan terwujudnya tujuan syariat ini yaitu untuk tercapainya maqashid al
syari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudaratan atau paling
tidak untuk meringankannya.
Al Laits mendefinisikan darurat secara bahasa sebagai suatu kebutuhan yang sangat mendesak
(syiddatul luzum), sesuatu yang tidak bisa untuk dihindari (la ghina ‘anhu), atau sesuatu yang
bersifat memaksa (al ja’anhu). Al Hamawy mendefinisikan arti darurat merupakan suatu keadaan
yang menjadi batas akhir hingga terbuka jalan terpaksa melakukan. Keadaan ini apabila tidak
ditempuh (meski terlarang) akan membawa akibat terancamnya jiwa.
Contoh-contoh berikut ini antara lain memunculkan kaidah di atas:
1. Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut
mengakibatkan kemudaratan atau kesulitan bagi banyak orang.
2. Adanya perbelakuan berbagai macam sanksi dalam fikih jinayah (hukum pidana Islam) juga
bertujuan untuk menghilangkan kemudaratan.
3. Adanya aturan al hajr (kepailitan) dalam sebuah transaksi muamalah, juga bertujuan untuk
menghilangkan kemudaratan.

1. Dasar-dasar Nash yang Berkaitan Dengan Kesulitan.


Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
َْ
ْ ‫اال‬ ُ ِ ‫َو َال ُت ْف‬
َ ‫ْس‬
‫ض‬
ِ ‫ر‬ ‫اف‬
ِ ‫و‬
“Dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan dibumi. “ (QS. al A’raf : 55).
Pada ayat yang lain disebutkan larangan memberikan kedaruratan dalam hal harta pusaka:
َ َ ْ َ ْ َ ْ َ َ ‫َ ْ َ َّ ُ َ ى‬
‫ج‬
َ‫ي ُمضار‬
َ ‫وص ِبها أ َو دينَ غ‬
َ ‫ِمن بع َِد و ِصيةَ ي‬
“Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris).” (QS. an Nisa: 12)
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
َ ِ ‫ض َر َو َال‬
‫ض َار‬ َ َ ‫َال‬
“…Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang
lain”. (Hr. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
َ
Tentang lafal ‫ض َر‬
َ dan ‫ض َار‬
َ ِ , para ulama berbeda pendapat. Ada yang menyebutnya sama
yaitu perkara yang mendatangkan kemudaratan. Pendapat yang membedakan-nya beralasan
dengan pemaknaan kedua kata tersebut:
َ
a. Lafal ‫ض َر‬
َ merupakan mudarat yang diakibatkan oleh perbuatan kita kepada orang lain. Kita
memang mendapat manfaat tetapi orang lain menerima akibat. Seperti kita membakar
sampah, tetapi asapnya justru memasuki rumah tetangga.
Sementara lafal ‫ض َار‬
َ ِ , kita tidak mendapat manfaat apapun dari perbuatan tetapi
mendatangkan mudarat bagi orang lain. Misal ketika berkendaraan, tanpa sengaja becek
mengenai pejalan kaki akibat kendaraan kita melintas disebelahnya.

15
b. َ َ juga bisa bermakna mendatangkan kemudaratan kepada orang lain sebagai balasan
‫ض َر‬
karena dia yang memulai. Sementara ‫ض َار‬
َ ِ juga sama membalas kemudaratan tetapi dengan
kemudaratan yang lebih besar.
2. Syarat Kedaruratan dalam Batasan Syariat.
a. Suatu perkara disebut darurat jika dengannya bisa menyelamatkan diri (hifz an nafs) dari
perkara yang menurut keyakinan kuat dapat membawa pada kerusakan tubuh atau lebih
parah lagi.
b. Tidak bisa disebut sebagai keadaan darurat jika berkaitan dengan perkara maksiat.
c. Jalan darurat dipilih karena itu merupakan satu-satunya jalan yang memungkinkan untuk
mengatasi permasalahan yang dihadapi saat itu.
d. Rukhsah hanya berlaku dalam keadaan memaksa atau agar terhindar dari kemungkinan
buruk yang bisa terjadi.
e. Kuat dugaan bahwa orang yang menempuh jalan darurat itu akan mendapat mudarat yang
lebih besar jika tidak mengambil jalan darurat tersebut.
f. Dapat memastikan jika mengambil jalan darurat tidak lantas melanggar hak orang lain atau
hal-hal yang secara qat’i dilarang oleh syariat.
g. Adanya kemungkinan bahwa mudharat yang ditimbulkan akibat meninggalkan perbuatan
yang dilarang akan lebih buruk dibanding dengan kerusakan jika melakukannya.
Wahbah az Zuhaili menegaskan bahwa tidak semua perkara yang bersifat darurat lantas
membuka kebolehan untuk melanggar syariat. Ada batasan-batasan yang wajib diperhitungkan
untuk mengambilnya, yaitu:
a. Sudah dirasakannya dampak dari darurat itu. Maka kedaruratan sudah pasti, bukan hanya
perkiraan yang masih diduga. Ini dapat dianalisa dari pengalaman yang pernah terjadi
sebelumnya.
b. Keterpaksaan itu memang benar-benar tidak membuka adanya pilihan lain kecuali
melanggar larangan.
c. Hendaknya pilihan terhadap perkara terlarang atau pembolehan (pada kondisi normal),
berdasarkan hujjah (alasan) pasti sehingga melakukan larangan.
d. Perbuatan darurat karena mengambil larangan wajib menjaga batasan yang dibenarkan
secara darurat berdasarkan pada alasan ulama dengan batasan paling rendah.
e. Dalam hal pengobatan, hendaknya pilihan larangan karena darurat hanya berlandaskan dari
hasil diagnosa dokter yang adil dan memiliki pemahaman tentang masalah agama maupun
ilmunya.
3. Macam-macam Kemudaratan.
Ada beberapa macam kemudaratan, yaitu:
a. Kemudaratan umum, yaitu kemudaratan yang biasa menimpa banyak orang dan kondisi ini
sulit dihindari. Seperti bisingnya kendaraan pada saat lalu lintas sibuk atau orang yang
membeli setumpuk durian, tidak menutup kemungkinan ada beberapa buah yang rusak.
b. Kemudaratan yang menimpa seseorang, tetapi ia merelakannya sehingga bisa menerima
kemudaratan tersebut. Seperti seorang wanita yang menerima lelaki buta, tuli dan bisu untuk
menikahinya, sehingga ia merasakan mudarat dari kondisi fisik suaminya itu. Jika ia dan
walinya ridha maka hal demikian tidak menjadi persoalan.

16
c. Kemudaratan atas perintah syariat, seperti penerapan hukum potong tangan (hudud) bagi
pencuri atau rajam bagi pezina muhsan. Kemudaratan yang ditimbulkan memang bertujuan
untuk mencegah kemudaratan yang lebih besar.
d. Kemudaratan yang dilarang ialah kemudaratan yang tidak termasuk dalam Tiga perkara di
atas.
4. Kaidah-kaidah yang Berkenaan dengan Kondisi Mudarat.
a. Kaidah pertama:
‫ات‬ َ ْ ُ ْ َ ْ ُ ْ ُ ُ َ ْ ُ َ ‫َا‬
ِ ‫ضورات ت ِبيح المحظور‬
“Kemudaratan-kemudaratan itu dapat memperbo-lehkan keharaman”.
Batasan kemudaratan adalah suatu hal yang mengancam kondisi seseorang yang terkait
dengan lima tujuan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,
memelihara keturunan dan memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta
benda.
Contoh kaidah ini seperti kebolehan merusak rumah orang lain dengan maksud untuk
menyelamatkan penghuninya dari kepungan api kala kebakaran atau mencegah meluasnya
kebakaran. Atau seorang dokter yang melihat aurat pasiennya untuk kepentingan
pengobatan.
Kaidah ini sejalan dengan maksud ayat 119 surat al An’am yaitu:
ُ ُ ْ َّ ْ ُ ْ َ َ َ َّ َ َّ ْ ُ َ َ َّ َ ْ َ َ ْ َ
َ‫ّل َما اضط ِر ْرت ْم‬
َ ‫م ِا‬
َ ‫م ما حر َم عليك‬ َ ‫ل لك‬َ ‫ِالي َِه وق َد فص‬
“… padahal Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya kepadamu,
kecuali jika kamu dalam keadaan terpaksa …”
b. Kaidah kedua:
َ َ َ َ َ َ َ ْ ُ َ
‫ات ُيقد ُر ِبقد ِرها‬
ِ
َ ‫للض‬
‫ور‬ ُ ‫ماأ ِبيع‬
“Apa yang dibolehkan karena darurat diukur sekadar kedaruratannya”.
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi
penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az Zuhaili
membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan 5 klasifikasi, yaitu:
1) Darurat, perkara terlarang yang dibolehkan karena terpaksa dan terbatas secara ketat.
2) Hajat, perkara yang jika tidak dipenuhi akan menyulitkan manusia atau bahkan
menimbulkan kerusakan. Dalam hal ini tidak diperkenankan pilihan kepada yang
terlarang.
3) Manfaat, perkara yang dilakukan manusia untuk mendatangkan kehidupan secara layak.
Perkara ini ditetapkan berdasarkan keadaannya dengan pertimbangan pasti
mendatangkan kemanfaatan secara umum.
4) Fudu, yaitu perkara yang hanya untuk berlebih-lebihan atau berfoya-foya dan
kebanggaan. Bahkan dengan ini bisa membuka peluang kemaksiatan yang lain.
5) Zaenah, ialah kepentingan manusia yang berkaitan dengan ketenangan atau suasana
yang indah dalam hidupnya.
َ َ َ َ َُ
Contoh kaidah ‫ات يقد ُر ِبقد ِرها‬
َ
َ ُ َ ُ
‫ َماأ ِب ْيع‬di atas seperti kebolehan dokter melihat aurat
ِ ‫للضور‬
pasiennya hanya sebatas yang dibutuhkan saja untuk pemeriksaan dan pengobatan. Atau
kebolehan makan daging haram sebatas mengganjal lapar saat itu saja dan bukan untuk
memuaskan hingga kenyang.
c. Kaidah ketiga:
17
َ ْ َ
‫َجاز ِل ُعذ نر َبط َل َب َز َو ِال ِه َما‬
“Apa yang diizinkan karena adanya udzur, maka keizinan itu hilang manakala udzurnya
hilang”.
Contoh kaidah ini seperti sahnya salat fardu sambil duduk atau berbaring karena sakit,
namun tidak berlaku bila yang bersangkutan sudah sehat. Atau bolehnya menjamak qasar
Salat bagi musafir akan tidak berlaku jika ia sudah di rumah kembali (mukim).
d. Kaidah keempat:
ْ ُ َ َ َْ
‫ال َم ْي ُس ْو ُرال ُي ْسقط ِبا ل َم ْع ُس ْو ِر‬
“Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan”.
Misalnya jika seseorang Salat dalam kondisi tidak sehat, ia berdiri di rakaat awal. Tetapi
merasa payah di rakaat setelahnya. Ini membolehkan ia menyelesaikan Salatnya sambil
duduk. Atau contoh lainnya jika seseorang menemukan kemungkaran dan ia tidak mampu
menghilangkannya, maka setidaknya ia berusaha mengurangi kemungkaran itu dalam batas
yang ia mampu.
e. Kaidah kelima:
َْ َ َ ْ َْ
‫ا ِال ضط َر ُارُي ْب ِط ُل َحق الغ ْ ِب‬
“Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain”.
Contoh kaidah ini seperti seseorang yang terpaksa berhutang karena perlu uang untuk
mengobati anaknya yang sakit. Tetapi setelah itu anaknya malah meninggal dunia. Dalam
keterpaksaan berhutang dan ditimpa musibah anak meninggal, tidak berarti hak orang untuk
dilunasi hutangnya menjadi hilang. Hutang tetap wajib untuk dilunasi.
f. Kaidah keenam:
َ ْ ْ ْ َ ُ َ َ ْ َ َ ََ َ َ ْ ْ َ َ َ َ ْ ُ َْ
‫ض َمف َسدة َو َم ْصل َحة ق ِد َم د ف ُع ال َمف َسد ِة‬‫اس ِدا ْوىل ِم ْن َجل رِت ال َم َص ِال ِع ف ِاذا تعار‬
ِ ‫درءالم‬
‫ف‬
َ
‫غا ِلبا‬
“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik mashlahah dan apabila
berlawanan antara yang mafsadah dan mashlahah maka yang didahulukan adalah
menolak mafsadahnya”.
Contoh penerapan kaidah ini seperti tetapnya larangan untuk tidak memproduksi dan
menjual minuman keras. Meski produksi dan penjualan tersebut mendatangkan keuntungan
dan membuka lapangan kerja, tetapi kerusakan akibat merebaknya khamr tentu harus
didahulukan.
g. Kaidah ketujuh:
ُ َ َُ ُ َ َ َ
َ َ ‫ال با‬
‫لض ِر‬ ِ ‫الضراليز‬
“Kemudaratan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudaratan yang lain”.
Seseorang bermaksud mendonorkan darahnya kepada orang lain, sedangkan ia memiliki
riwayat penyakit kekurangan sel darah merah. Atau terlarangnya mencuri makanan orang
lain yang memiliki kondisi sama kekurangan terhadap bahan makanan seperti pelaku.
h. Kaidah kedelapan:
ِّ َ ْ َ َ َ ‫ع َا ْع َظ ُم َها‬ َ ‫ِا َذ َات َع َار‬
ْ ِ ‫ض َم ْف َس َد َتان ُر ْو‬
‫ضر ِاب ْار ِتكا ِب الخف ِه َما‬ ِ ِ
“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar
mudaratnya dengan memilih yang lebih ringan mudaratnya”.

18
Contoh salat dengan pakaian seadanya karena memang tidak ada pakaian lain yang lebih
layak untuk menutup aurat, lebih diutamakan daripada meninggalkan salat. Contoh lainnya
dokter boleh membedah jenazah wanita hamil yang jika dengan tindakan itu bisa
menyelamatkan bayi yang masih berada dalam rahim jenazah tersebut.
i. Kaidah kesembilan:
ُ َ ‫َا ْل َحا َج ُة ْال ْعا َم ُة َاو ْال َخا َص ُة َت ْب ُل َم ْب َل َة‬
‫الض ْو َرِة‬ ِ ِ ِ
“Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempatnya darurat”.
Penerapan kaidah ini seperti terjadinya proses pembelajaran antara guru wanita kepada
siswa di ruang kelas atau guru pria kepada siswinya secara klasikal. Atau pada contoh yang
lain seperti membeberkan aib seseorang yang kerap licik dan suka menipu dalam berbisnis.
Menghibah jelas terlarang, tetapi dengan menyampaikan aib itu kepada yang lain maka
diharapkan akan mencegah meluaskan korban penipuan berikutnya.

Dari paparan itu, bisakah kamu membedakan tentang keadaan darurat dengan
keadaan bahaya yang biasa? Bagaimana kamu menghadapi dua perkara yang
sama-sama penting atau sama-sama berbahaya jika pada suatu saat terjadi
padamu?

E. Adat Bisa Menjadi Sandaran Hukum.


َ َُ َ
‫ا َلعا دة ُم َحك َمة‬
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diutus, adat kebiasaan sudah berlaku
dimasyarakat baik di dunia Arab maupun dibagian lain termasuk di Indonesia. Adat kebiasaan suatu
masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap baik oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai
tersebut diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran suatu masyarakat,
dengan meyakini penerapan adat akan membawa kebaikan, keberkahan atau bahkan dipandang
memberi perlindungan bagi mereka.
Memahami kondisi tersebut, Islam yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat dan segala
sendinya sangat memperhatikan pentingnya keberadaan adat istiadat dan tradisi suatu masyarakat.
Sebuah tradisi baik khusus atau umum dalam beberapa perkara bahkan dijadikan sebuah hujjah
untuk menetapkan hukum syariat Islam terutama oleh seorang hakim dalam sebuah pengadilan
selama belum ada dalil nash khusus yang melarang adat itu atau terdapat dalil umum tetapi belum
mampu mematahkan sebuah adat.
1. Dasar-dasar Nash Kaidah.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ْ ُ ُ َ َ
‫ش َوه َن ِبا ال َم ْع ُر ْو ِف‬ِ ‫وعا‬
“Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruf (baik)”. (QS. an Nisa: 19)

“Jadilah pemaaf, perintahlah (orang-orang) pada yang makruf, dan berpalinglah dari
orang-orang bodoh.” (QS. al A’raf: 199)

19
Lafal ‘urf pada ayat al Quran oleh para ulama difahami sebagai perbuatan yang dipandang baik
dan sudah lumrah sebagai suatu kebiasaan pada masyarakat.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
ْ َُ َ ُ َ ُ ْ ْ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ ْ َ ُ َ َ َْ
‫اس عل ْي ِه عَل ُحك ِم ال َم ْعق ْو ِل َوعاد ْوا ِال ْي ِه َم َرة َب ْعداخ َرى‬ ‫العادةما استمرالن‬
“Apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah”. (Hr. Ahmad dari Ibnu
Mas’ud).
2. Pengertian ‘Adah atau ‘Urf.
Jumhur ulama mengidentikkan antara term ‘adah dengan ’urf, keduanya mempunyai arti
yang sama. Namun sebagai fuqaha membedakannya. Al Jurjani misalnya mendefinisikan ‘adah
sebagai suatu (perbuatan) yang sudah biasa dilakukan manusia, karena logis dan dilakukan
secara terus menerus. Sedangkan ‘urf tidak hanya merupakan perkataan, tetapi juga perbuatan
atau juga meninggalkan sesuatu. Karena itu dalam terminologi bahasa Arab antara ‘urf dan ‘adah
tidak berbeda.
Misalnya penggunaan pendekatan dengan ‘urf/ ‘adah adalah memperhatikan kalender haid
bagi wanita, setiap bulan seseorang wanita mengalami menstruasi dan cara perhitungannya ada
yang menggunakan metode tamyiz dan ada juga metode ‘adah (yakni menganggap haid atas hari-
hari kebiasaan keluarnya darah tiap bulan). Bagi Imam Hanafi mewajibkan penggunaan metode
adah sedang Imam Syafi’i menguatkan metode tamyiz.
3. Syarat Diterimanya ‘Urf/‘Adah.
Menurut pengertian di atas, maka adah dapat diterima jika memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat.
b. Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang boleh dikata sudah mendarah
daging pada perilaku masyarakat.
c. Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al Qur’an maupun as Sunnah.
d. Tidak mendatangkan kemudaratan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera.
M.N. Harisudin (2016:68) mengutip pendapat Abu Hasan bahwa tidak semua kebiasaan
dianggap ‘urf. Selain karena dilakukan berulang dan menjadi kebiasaan, urf juga harus diterima
secara rasional. Di dalamnya ada prasarat minimal untuk pemberlakuan ‘urf berupa:
a. Ketetapan (al istiqrar), artinya urf harus perkara yang disepakati para pelakunya.
b. Kontinuitas (al istimrar), ialah ketetapan hukum yang bersifat layak diterapkan dan tetap.
Karena jika kontemporer justru hanya akan membawa persoalan baru bagi masyarakat.
4. Macam-macam al ‘Urf atau ‘Adah.
a. Berdasarkan dari segi obyekya, ’urf terbagi menjadi dua, yaitu:
1) Al ’urf al lafzhi.
Al ’urf al lafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau
ungkapan tertentu dalam mengungkap-kan sesuatu. Contohnya, kebiasaan masyarakat
Indonesia menyebut ekor untuk satuan hewan, misalnya satu ekor sapi, dua ekor kerbau
dan seterusnya. Yang dimaksud satu ekor bukan satu buntut sapi (dalam arti
sebenarnya), tetapi satuan bilangan untuk satu sapi, dua kerbau dan seterusnya.
2) Al ’urf al amali, adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan.
Misalnya, kebiasaan membungkukkan badan jika melintasi seorang yang dimuliakan
seperti orang tua atau guru.
b. Dilihat dari segi cakupannya, ‘urf dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Al ‘urf al 'amm.

20
Al ‘urf al 'amm adalah kebiasaan tertentu yang telah dikenal secara luas di sebagian
besar masyarakat pada satu masa. Misalnya, masuk pemandian tanpa adanya batas
waktu yang ditentukan dan berapa banyak air yang digunakan, karena sudah saling
mengetahui. Contoh lain ialah menganggukkan kepala tanda menyetujui dan
menggelengkan kepala tanda menolak atau mengangkat kedua belah tangan sampai ke
atas kepala yang berlaku diseluruh dunia untuk memberi tanda menyerah.
2) Al ‘urf al khas ialah kebiasaan tertentu yang telah dikenal masyarakat dalam suatu
kawasan atau daerah tertentu. Contohnya kebiasaan orang Irak dalam menyebut dabah
(hewan berkaki empat) dengan sebutan faras atau tahlilan ketika ada kematian yang
hanya berlaku pada sebagian masyarakat Indonesia.
c. Dilihat dari segi keabsahannya menurut pandang-an syara’, ‘urf dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Al ‘urf al shahih ialah segala sesuatu yang sudah dikenal masyarakat yang tidak
berlawanan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan tidak
menggugurkan yang wajib. Misalnya dalam masa pertunangan pihak laki-laki
memberikan hadiah pada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin
(mahar). Contoh lainnya yaitu mengadakan halal bihalal (silaturrahim) sesaat setelah
hari raya.
2) Al ‘urf al fasid adalah segala sesuatu yang dikenal oleh masyarakat, tetapi berlawanan
dengan syara’, atau menghalalkan yang haram serta menggugurkan kewajiban.
Misalnya berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, contoh lainnya yaitu menghidang-
kan minum-minuman keras dalam suatu pesta atau perayaan tahun baru dengan cara
berhura-hura.
Sedangkan al Hindi membagi adat atau 'urf menjadi Tiga bagian :
a. Al’urfiah al ammah, seperti penjelasan sebelumnya, ‘urf ammah artinya kebiasaan yang
sudah umum berlaku dalam masyarakat secara luas.
b. Al’urfiah al khasshah, contohnya istilah-istilah yang dipakai oleh komunitas tertentu,
misalnya istilah rafa’, nashab dan jar bagi kalangan ahli nahwu.
c. Al’ urfiah al syari’ah, contohnya seperti istilah salat, puasa, haji, nikah, mahar dan
sebagainya.
5. Kedudukan ‘Urf.
Para ulama sepakat, bahwa ‘urf itu memiliki kekuatan hukum apabila memang sesuai
dengan isyarat pada ayat atau hadis. Sebagaimana ulama juga sepakat bahwa ‘urf yang
mengindikasikan bertentangan dengan syariat harus ditinggalkan.
Namun para ulama berbeda pendapat dalam hal ‘urf yang tidak terdapat isyarat nash yang
mendukung dan sekaligus juga tidak bertentangan oleh ayat atau hadis. Mereka terbagi dalam
dua pendapat sebagai berikut:
a. Hanafiyah dan Malikiyah.
Para ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpen-dapat, bahwa ‘urf itu merupakan dalil
tersendiri sehingga atasnya tidak perlu dukungan dari ayat maupun hadis. Penerimaan
sebuah ‘urf apabila kebiasaan itu sudah diterima oleh masyarakat luas, maka dengan
sendirinya ‘urf itu memiliki kekuatan hukum. Mereka berlandaskan pada dalil sebagai
berikut:
1) Quran Surat al A’raf ayat 199:

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (‘urf), serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”
21
2) Hadis riwayat Ahmad:
‫ فهو عند َه‬,‫ما رآه المسلمون حسنًا‬
‫ّللا حسن‬
“Apa-apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia adalah baik pula di sisi
Allah.”
3) Berdasarkan pertimbangan akal:
Bila kita perhatikan, bahsa sesuatu yang sudah menjadi adat kebiasaan ditengah
masyarakat, maka hal itu merupakan bukti yang kuat bahwa adat kebiasaan itu sangat
dihormati dan mendatangkan maslahat yang besar. Dimana syariat sendiri hadir untuk
mewujudkan maslahat tersebut.
b. Syafi’iyah.
Para ulama Syafi’iyah berbeda pendapat dengan kalangan Hanafiah dan Malikiyah.
Menurut kalangan Syafi’iyah, ‘urf itu tidaklah merupakan sebuah dalil yang bersifat
mandiri. ‘Urf baru disebut dan layak sebagai dalil apabila didukung oleh ayat atau hadis.
c. Hambaliyah.
Kalangan ulama Hambaliyah menolak ‘urf sebagai jalan penetapan hukum. Menurut
mereka penetapan hukum berdasarkan ‘urf tidak memiliki dasar di dalam al Quran maupun
sunah, tetapi cenderung kepada nafsu. Sementara nafsu lebih dikendalikan iblis. (al Hikmah:
2021; 254)
Namun apabila kita telaah dalam beberapa ijtihad kalangan Syafi’iyah, sebenarnya mereka
juga menggunakan ‘urf sebagai dalil. Meski memang mereka berbeda pendapat mengenai
syarat-syarat pemakaian ‘urf sebagai dalil.
6. Kaidah yang Berkaitan Dengan ‘Adah.
َ َ َُ َ
Diantara kaidah-kaidah cabang dari kaidah ‫لعا دة ُمحك َمة‬
َ ‫ ا‬adalah sebagai berikut:
a. Kaidah pertama:
َ ُ َ ْ ْ
‫الع َم ُل ِب َها‬
َ ‫ب‬ ُ ‫الناس ُح َجة َيج‬
ِ ِ ‫ِإس ِتعما ل‬
“Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah yang wajib diamalkan”.
Contoh penerapan kaidah ini seperti kebiasaan menjahit pakaian. Maka untuk kancing,
benang, jarum dan penjahitan dibebankan pada tukang jahitnya. Atau ketika pembelian
perabot rumah tangga seperti meja, kursi dan sebagainya sudah umum ongkos pengantaran
ditanggung pembeli.
b. Kaidah kedua:
ْ ََ َ ْ َ َ ْ َ ُ َ َ ََُ ْ ُ َ َ
‫العادة ِإذا اضط َر دت أ ْوغل َبت‬ ‫ِإنما تعت رب‬
“Adat yang dianggap (sebagai hukum) itu hanyalah adat yang terus menerus berlaku
atau berlaku umum”.
Adalah umum jasa angkot akan dibayar ketika turun atau sampai ditujuan. Ini bertolak
belakang dengan travel. Maka jika terjadi persengketaan, akan dikembalikan kepada
ketentuan yang terjadi selama ini. Demikian juga jika berlangganan koran, adalah umum
pelanggan menerima koran itu setelah diantar. Jika tidak dilakukan, pelanggan berhak
mengajukan komplain.
c. Kaidah ketiga:
َ َ َ َ ُ
‫الع رْ َبة ِللفا ِل ِب الشا ِئ ِع ال ِللنا ِد ِر‬
ِ
“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan
dengan yang jarang terjadi”.

22
Misalnya adalah wajar dalam kebiasaan memilih dan diakuinya saksi bukanlah orang yang
menjadi bagian dari perseteruan dalam sengketa itu. Sebab pada sebuah persidangan,
terkadang pihak saksi justru memaparkan hal yang memberatkan terlebih jika itu lawan
sengketa dalam persidangan tersebut.
d. Kaidah keempat:
ُ ْ ‫ف ُع ْر فا َكا َل َم‬
ْ َ ‫ْس ْو ِط‬
‫ش طا‬
ُ ُْْ َْ
‫المعرو‬
“Sesuatu yang telah dikenal karena ‘urf maka itu disyaratkan meski tidak dilafalkan”.
Contoh penerapan jika kita mempekerjakan tukang bangunan untuk merenovasi rumah.
Setelah selesai lalu si pemilik memberi upah perhari Rp. 50.000,-. Tetapi setelah itu tukang
komplain karena untuk kebiasaan secara umum upah harian tukang berkisar diharga Rp.
125.000,-.
e. Kaidah kelima:
َ ُ َ َْ ُ َ ُ ْ َ ْ
ُ ْ ‫الت َجار َك ل َم‬
‫ْس ْو ِط َب ْين ُه ْم‬ ِ ‫المعروف بي‬
“Sesuatu yang telah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara
mereka”.
Misal pengepul biasa setiap pagi mengantarkan sayur ke lapak-lapak di pasar. Meski belum
ada konfirmasi dengan pemilik lapak hal itu sudah dianggap transaksi sah antara pengepul
dan pengecer, meski kesepakatan harga harian belum terjadi. Atau diantara mereka biasa
menyebut harga jutaan dengan angka ribuan. Seperti disebutkan 2000 untuk total harga 2
juta.
f. Kaidah keenam:
َ
‫ي ِبا لنص‬ ْ ‫ي با ُلع ْر ف َكا َلت ْعب‬
ُْ َْ
ِ ِ ِ ِ ‫التع ِي‬
“Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”.
Misal si A menyewa sebuah rumah atau mobil. Maka adalah wajar dan boleh jika pihak
keluarga A untuk ikut tinggal atau bermalam di rumah tersebut atau ikut dan menumpang di
mobil tersebut.
g. Kaidah ketujuh:
َ َ ََ َ َ َ ََ ْ
‫ال ُم ْمتن ُع عا دة كا ُلم ْمتن ِع َحق ْيقة‬
“Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku
dalam kenyataan”.
Seperti si A mengakui barang yang dipakai oleh B sebagai barang miliknya. Tetapi ketika si
A dikonfirmasi dari mana barang itu diperoleh, harganya atau bukti kepemilikan, si A tidak
bisa menunjukkannya. Maka pengakuan si A akan bertentangan secara nalar dan tidak bisa
dijadikan patokan dalam penetapan hukum.
h. Kaidah kedelapan:
َ َ َ َ ُ ُْ ُ َ َ
‫الح ِق ْيقة ت َ َب ك ِبد ال ل ِةا َلعا د ِة‬
“Arti hakiki ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”.
Terlarangnya penjual menjual barang kepada pihak lain jika barang tersebut sudah diberi
uang muka untuk dibeli. Meski pada saat itu harga naik secara signifikan. Hal ini karena
secara adat barang yang sudah dibayar sebagian, berarti sudah sah dibeli pihak lain kecuali
pembeli membatalkannya.
i. Kaidah kesembilan:

23
َْ ْ َ ُ ‫اإل ْذ ُن‬
‫الع ْر ِف كا ِإلذ ِن اللف ِظ‬ ِ
“Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut
ucapan”.
Misalnya jika bertamu ke rumah seseorang, lalu tuan rumah menghidangkan makanan pada
tamunya. Secara adat si tamu sudah boleh menikmati hidangan itu, meski si tuan rumah
belum mempersilahkannya.
j. Kaidah kesepuluh:
ُ ‫َا ْلك َت َاب َُة َك ْالخ َط‬
َ‫اب‬ ِ ِ
“Hukum tulisan sama dengan hukum pembicara-an.”
Contoh penerapan kaidah ini adalah berlakunya tuntutan hukum atas pencemaran nama baik
yang ditulis seseorang dalam status Whatsapp grup. Atau tanda tangan di surat pernyataan
memiliki status hukum pasti dan kuat di pengadilan.

Dari uraian di atas, kiranya jelas akan kebiasaan yang bisa menjadi sandaran
dalam keseharian, serta mana kebiasaan yang tidak bisa jadi sandaran hukum
dalam beramal. Kira-kira masih adakah tradisi disekitar tempat tinggalmu yang
kamu anggap unik? Bagaimana ketentuannya dalam hukum Islam?

RANGKUMAN

Kaidah asasi dinamakan kaidah ushul, yaitu kaidah pokok dari segala kaidah-kaidah fiqhiyah yang
ada. Lima kaidah asasi yaitu:
1. Kaidah yang berkaitan dengan niat
َ َ َ ُ ُ ُ
‫ور ِب ِمقا ِصد ها‬ ‫األ م‬
“Segala perkara tergantung kepada niatnya”
Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al Qur’an surah al Bayyinah ayat 5 dan Hadis Nabi SAW.
2. Kaidah yang berkenaan dengan keyakinan
َ
‫ال ِبا لش ِك‬ ُ ْ ‫َا ْل َيق‬
ُ ‫ي َال ُي َز‬
ِ
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu Hadis Nabi “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu,
berpindahlah kepada yang tidak meragukanmu”. (Hr. an Nasa’i dan at Tirmizi dari Hasan bin Ali).
3. Kaidah yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan
َ ُ ْ َ ُ َ َ َ
‫ب الت ْي ِس ْ ُب‬ ‫المشقة تج ِل‬
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al Qur’an surah al Baqarah ayat 185 dan Hadis Nabi SAW.
4. Kaidah yang berkenaan dengan kondisi membahayakan
َ َ
ُ ‫الض ُرُي َز‬
‫ال‬
“Kemudaratan harus dihilangkan”.

24
Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al Qur’an surah al A’raf ayat 55 dan Hadis Nabi SAW “…Tidak
boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang lain”. (Hr.
Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
5. Kaidah yang berkenaan adat kebiasaan
َ َُ َ
‫ا َلعا دة ُم َحك َمة‬
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Dasar-dasar nash kaidahnya yaitu al Qur’an surah an Nisa ayat 19 dan Hadis Nabi SAW “Apa yang
dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah”. (Hr. Ahmad dari Ibnu Mas’ud).

Latihan Kompetensi

A. Berilah jawaban atas pertanyaan berikut dengan membubuhi tanda silang pada alternatif
jawaban yang paling benar!
1. Dari sekian banyak kaidah-kaidah fiqih, para ulama mengelompokkannya menjadi Lima besar
kaidah fiqih. Pengelopokkan ini disebut dengan ....
a. Kondifikasi hukum Islam d. Qawaid fiqh al khamsah
b. Istimbat hukum e. Ijma ulama
c. Nasikh dan mansukh
2. Sebutan lain dari Lima dasar Kaidah Fikih dari kaidah fokok fiqih ini adalah ....
a. Qawaid al fiqhiyah d. Qawaid ushuliyyah
b. Qawaid fiqhiyah al qubra e. Istimbat hukum
c. Maqasidul as syariah
3. Berikut ini kenapa sepakat para ulama tentang pentingnya niat atas suatu perbuatan, yaitu
karena....
a. niat menyelamatkan seseorang dari perbuatan dosa
b. untuk meneguhkan i’tiqad dalam beribadah dan lebih khusuk
c. sebagai tanda seseorang terhindar dari kelalaian dalam ibadah
d. untuk tidak termasuk orang munafik yang memiliki niat tidak menetap
e. untuk membedakan antara ibadah dengan adat-kebiasaan
4. Perbuatan berikut tidak memerlukan niat dalam melakukannya, meskipun perbuatan tersebut
masuk dalam kategori sebagai ibadah, yaitu ....
a. mengimani risalah kenabian dan sabar dalam musibah
b. menikah dan menunaikan zakat maal
c. menziarahi maqam dan berwudhu
d. shalat khauf dan membayar fidyah
e. i’tiqaf dan menahan amarah
5. Imam mazhab yang menganggap melafalkan niat sebelum takbiratul ihram sebagai perbuatan
yang tidak disyariatkan adalah imam ....
a. asy Saukani d. Imam Syafi’i
b. Imam Hambali e. Imam Maliki
c. Imam Hanafi
6. Syekh Izzudin bin Abdis salam menyatakan bahwa bentuk-bentuk keringanan dalam kesulitan
itu ada 6 macam, salah satunya yaitu tahfitul isqath. Berikut contoh keringanan tahfitul isqath
adalah ....

25
a. Dibolehkannya menjamak shalat fardhu.
b. Tidak menunaikan ibadah haji atau shalat Jum’at karena adanya udzur.
c. Kebolehan mengganti wudhu dengan tayamum.
d. Kebolehan menqashar shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat.
e. Termaafkannya seseorang karena salah atau lupa.
7. Tegasnya larangan monopoli dagang dan menumpuk barang pokok kemudian menjualnya
dengan harga tinggi saat langka dipasaran sesuai dengan kaidah ....
a. Kemudaratan harus dihilangkan
b. Segala perkara tergantung kepada niatnya
c. Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan kerugian
d. Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum
e. Kesulitan mendatangkan kemudahan
8. Lupa, misalnya seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa membayar utang tidak
diberi sanksi tetapi bukan pura-pura lupa.
Keadaan di atas sesuai dengan kaidah fiqih ....
a. Kemudaratan harus dihilangkan
b. Segala perkara tergantung kepada niatnya
c. Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
d. Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum
e. Kesulitan mendatangkan kemudahan
9. Kesulitan yang dibolehkan karena sebab yang ringan, seperti kebolehan mengusap muza (sejenis
kaos kaki) jika sangat dingin menyentuh air, ini disebut dengan ....
a. Kesulitan Adhimah d. Kesulitan Mutawasithah
b. Kesulitan dharuriyah e. Kesulitan Khafifah
c. Kesulitan nash
10. Al ‘urf diperbolehkan menjadi sandaran sebuah amal. Namun para ulama menetapkan syarat
berlakunya. Berikut adalah syarat al ’urf, kecuali ....
a. Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat.
b. Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang boleh dikata sudah mendarah
daging pada perilaku masyarakat.
c. Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah
d. Tidak menimbulkan konflik atau persoalan dalam masyarakat dan hukum negara.
e. Tidak mendatangkan kemudaratan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera.

B. Berikan ulasan kalian secara jelas dan benar pada pertanyaan-pertanyaan berikut ini!
َ َ َ ُ ُ ُ
1. Jelaskan apa maksud dari kaidah ‫ور ِب ِمقا ِصد ها‬ ‫? األ م‬
َ ُ َ ُ َ ُ ْ َ َْ
2. Berikan contoh dari kaidah ‫الي ِقي اليزال ِبا لش ِك‬
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”!
3. Jika seseorang terlupa akan ibadahnya, lalu saat ingat ia tetap membiarkan kelalaian dari ibadah
tersebut, bagaimana menurut kalian?
4. Berikan pendapat kamu tentang manfaat adanya kaidah fiqhiyah al khamsah ini berkaitan dengan
seringnya terjadi polemik perbedaan pendapat!
5. Jika seseorang beramal, tanpa memperhatikan adanya ketentuan dalam kaidah fiqih, apakah
akibatnya menurut analisa kalian?

26
BAB II
MEMAHAMI KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQIH

Tujuan Pembelajaran:
3.6. Mampu menjelaskan tentang ketentuan kaidah amar dan nahi
3.7. Mampu menjelaskan tentang ketentuan kaidah am dan khas
3.8. Mampu menjelaskan tentang ketentuan kaidah takhsis dan mukhassis
3.9. Mampu menjelaskan tentang ketentuan kaidah mujmal dan mubayyan
3.10. Mampu menjelaskan tentang ketentuan kaidah muradif dan musytarak
3.11. Mampu menjelaskan tentang ketentuan kaidah mutlaq dan muqayyad
3.12. Mampu menjelaskan tentang ketentuan kaidah zahir dan takwil
3.13. Mampu menjelaskan tentang ketentuan kaidah manthuq dan mafhum

A. Kaidah Lafal Al Amar dan Ketentuannya.


1. Pengertian al Amr dan Contohnya.
Al amr menurut etimologi adalah perintah atau suruhan. Secara terminologi, para imam
mazhab berbeda pendapat. Menurut ulama madzab Hanafi dan Hambali, al amr adalah “lafal
yang mengandung tuntutan untuk berbuat dari pihak yang lebih tinggi”. Berdasarkan pengertian
ini apabila tuntutan untuk berbuat datang dari pihak yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi,
maka tidak dinamakan al amr, melainkan bisa bermakna do’a, permohonan atau harapan.
Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa lafal al amr itu tidak disyaratkan
datang dari pihak yang lebih tinggi. Menurut mereka, lafal amr adalah setiap lafal yang
mengandung perintah untuk melakukan suatu perbuatan, tanpa melihat dari mana datangnya
perintah tersebut.
2. Kehendak al Amr.
Ulama ushul fikih berbeda pendapat tentang kandungan yang dikehendaki lafal al amr,
apakah untuk suatu kewajiban atau anjuran saja. Jika dilihat dari pilihan kata atau kandungan
perintanya yang terdapat pada sebuah lafal, al amr dapat diketahui kehendaknya seperti berikut
ini:
a. Al wujub (kewajiban), misalnya firman Allah dalam surah al Baqarah ayat 43:
َ َ َّ ُ ٰ َ َ ٰ َّ َ
۰۰۰‫واالزكوة‬ ‫َوا ِق ْي ُمواالصلوة وات‬
”dan dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat…”
Perintah mendirikan shalat dan menunaikan zakat dalam ayat ini adalah wajib.
b. An nadb (anjuran) misalnya firman Allah dalam surat an Nur ayat 33:
ْ َ ْ ْ ْ ُ ْ َ ْ ْ ُ ْ ُ َ َ ْ ُ ُ َ ْ َ ْ َ َ َ َّ َ ٰ ْ َ ْ ُ َ ْ َ َ ْ َّ َ
۰۰۰‫وال ِذين يبتغون ال ِكتب ِمماملكت ايمانكم فك ِاتبوهم ِان ع ِلمتم ِفي ِهم خبا‬
“dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu
buat perjanjian dengan mereka, jika kamu ketahui ada kebaikan pada mereka”.
Membuat atau menuliskan perjanjian sebagai salah satu cara dalam memerdekakan budak
merupakan anjuran bagi pemiliknya bukan kewajiban. Karena pemilik bebas melakukan
tindakan hukum terhadap miliknya.
c. Al ibahah (kebolehan), seperti firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 60:
ْ ُ َ ْ ‫ُك ُل ْو َاو‬
ِ ‫اشب ْو ِام ْن ِّرز ِق ا‬
۰۰۰‫ﷲ‬
27
“Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah…”
Secara alami makan dan minum bukanlah suatu kewajiban, sebab seseorang tidak akan
mungkin dipaksa makan atau minum. Oleh karena itu, lafal al amr dalam ayat ini
menunjukkan kebolehan saja.
d. Al irsyad (petunjuk), seperti firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 282 :
ُ َ َ ُ ْ َ
‫ج‬
‫َو ْاستش ِهد ْوا ش ِه ْيد ْي ِن ِم ْن ِّر َج ِالكم‬
“…dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang lelaki di antara kamu…”
Dalam ayat ini al amr untuk menghadirkan dua orang saksi dalam masalah muamalah hanya
sebagai petunjuk saja. Sebab ada qarinah pada ayat sesudahnya surat al Baqarah ayat 283
yang mengalihkan kepada al irsyad yaitu:
ُ َُ َ ُْ َّ ِّ َ ْ َ ُ ُ َ ْ َ
۰۰۰‫ف ِان ا ِم َن َب ْعضك ْم َبعضافل ُيؤدال ِذى اؤت ِم َن ا َمانته‬
“…akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya)…”
e. Ad du’a (doa), seperti firman Allah berikut:
ِّ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ َّ َ
۰۰۰‫ي ق ْو ِمن ِابال َحق‬ ‫ربناافتح بينناوب‬
“… Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kaum kami dan kaum kami dengan hak
(adil)…”(QS. al A’raf: 89).
Ulama ushul fikih juga berbeda pendapat dalam memahami kehendak lafal al amr pada tiap-
tiap perintah. Ada yang menyebut setiap perintah adalah wajib secara mutlak ada juga yang
menentukan sesuai dengan qarinah (petunjuk) dalam lafal amar tersebut. Jumhur ulama ushul
fikih berpendapat bahwa kehendak al amr pada hakekatnya menunjukkan pada suatu kewajiban
secara pasti, selama tidak ada indikasi yang mengalihkan pada makna lain.
Argumen jumhur dalam menentukan lafal al amr sebagai sebuah keharusan antara lain
beralasan dengan firman Allah pada surat an Nur ayat 63 sebagai berikut;
ََ َ َْ ُ ْ َ َ َ َ ُ َّ َ ْ َ
‫فل َي ْحذ ِرال ِذ ْي َن ُي َج ِالف ْون ع ْن ا ْم ِرِ ِٓه ان ت ِص ْي َب ُه ْم ِفتنةا ْو ُي ِص ْي َب ُه ْم عذاب ِال ْيم‬
”…Maka hendaklah orang orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan
atau di timpa azab yang pedih.”
Dalam ayat ini disebutkan orang yang tidak melaksanakan perintah Rasul akan mendapat azab
dari Allah. Sedangkan sesuatu yang diiringi dengan wa’id (ancaman) hanya ada ketika
meninggalkan kewajiban. Oleh karena itu melaksanakan perintah Rasul itu wajib.
Alasan lain juga menurut mereka adalah bahwa orang yang tidak mau melaksanakan perintah
disebut orang yang durhaka, seperti disebutkan dalam firman Allah ini:

“(sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai
perintahku?" (QS. Thaha: 93)
Berdasarkan argumen-argumen di atas, jumhur ulama berpendapat bahwa al amr menurut
syara’ mengandung pengertian perintah untuk melaksanakan suatu kewajiban.
3. Kontinuitas al Amr.
Dalam menentukan hakikat al amr, ulama ushul fikih juga berbeda pendapat dalam
menetapkan apakah lafal al amr itu menunjukkan perbuatan itu cukup sekali diungkapkan dan
berlaku untuk selanjutnya? Ataukah al amr itu harus diulang. Menurut jumhur ulama yang

28
diperlukan dalam lafal al amr itu, maksud dari perintah itu sendiri, tanpa mempersoalkan apakah
lafal itu hanya sekali atau diulang-ulang.
Tuntutan lafal al amr itu memang kadang kala sekali saja seperti perintah melaksanakan haji
dan adakalanya berulang seperti perintah melaksanakan salat. Apabila dikatakan bahwa al amr
itu mengandung pengulangan perbuatan yang diperintahkan, akibatnya perintah itu harus
dikerjakan setiap waktu. Hal ini, menurut jumhur mengandung pengertian adanya perintah yang
tidak sesuai dengan kemampuan seseorang.
Ulama ushul fikih mazhab Maliki dan sebagian mazhab Syafi’i berpendapat bahwa lafal al
amr menunjukkan satu kali perintah, tapi ada kemungkinan berulang. Menurut mereka perintah
haji hanya menunjukkan satu kali saja dan berlaku sepanjang masa.
4. Kesegeraan al Amr.
Menurut jumhur ulama sesuatu yang diperintahkan pada hakikatnya harus dilaksanakan,
tanpa melihat segera atau tidaknya dilaksanakan. Menurut mereka apabila ada indikasi bahwa
perintah itu segera dilaksanakan, maka harus dilaksanakan segera, meski pada beberapa perintah
ada indikasi bolehnya penundaan maka tidak mengapa ditunda. Sebab jika dikatakan bahwa al
amr harus untuk segera dilaksanakan, maka umat akan kesulitan dalam mengerjakan al amr yang
semestinya tidak harus segera dikerjakan, ataupun sebaliknya.
5. Perintah Setelah Ada Larangan.
Dalam al Qur’an atau hadis banyak ditemukan perintah yang sebelumnya melarang
perbuatan tersebut. Kondisi seperti ini tentu membawa perdebatan apakah perintah itu
menunjukkan kewajiban atau kebolehan. Misalnya firman Allah dalam surat al Ma’idah ayat 2 :
ُ َ ْ َ ْ َُْ َ َ َ
‫اصطاد ْوا‬ ‫وِاذاحللتم ف‬
“dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu”
Setelah Firman-Nya dalam surat yang sama ayat 96:
ُ ُ ْ ُ ُ ََ
‫َو ُح ِر َم عل ْيك ْم َص ْيدال ر ِّب َماد ْمتم ُح ُرما‬
“…dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam
ihram…”
Contoh lain, sabda Rasulullah:
َ ُ ُ َ ََ ُ ُ ْ َ َ ْ َ ْ ُ ُ ْ ََ ُ ْ ُ
،‫ّل فزوروها‬
َ ‫ور أ‬
َِ ‫ن ِزيارَِة القب‬
َ ‫مع‬
َ ‫ت نهيتك‬
َ ‫كن‬
”Saya (dulu) melarang kamu untuk menziarahi kuburan, dan sekarang maka berziarahlah
kamu.” (Hr. al Hakim)
Imam Syafi’i, ulama Hambali dan sebagian ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa al amr
terhadap suatu perbuatan setelah adanya larangan tidak lagi menunjukkan suatu kewajiban
melainkan suatu kebolehan. Dalam contoh di atas berburu setelah tahallul haji atau umrah
hukumnya hanya boleh dan ziarah kubur hukumnya pun boleh.
Ulama mazhab Hanafi sebagian ulama mazhab Syafi’i dan pendapat terkuat dalam mazhab
Maliki berpendapat bahwa dalam kasus seperti ini al amr tetap seperti semula yaitu menunjukkan
kewajiban. Jadi, berburu setelah tahallul adalah wajib, ziarah kubur pun wajib.
Pendapat ketiga Ibnu Umam atau Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid, ulama ushul
fikih bermazhab Hanafi berpendapat bahwa apabila perbuatan yang diperintahkan itu muncul
setelah adanya larangan dan sebelum adanya larangan perkara itu merupakan suatu kewajiban,
maka setelah ada larangan pun hukumnya wajib. Apabila perbuatan yang diperintahkan itu
sebelum dilarang hukumnya adalah boleh, maka perintah melaksanakan perbuatan setelah

29
dilarang itu hukumnya juga boleh. Misalnya dalam kasus larangan berburu karena sedang ihram.
Menurut mereka, hukum asal dari berburu itu sendiri adalah boleh oleh sebab itu sekalipun
dipergunakan lafal al amr hukumnya tetap boleh. Demikian juga, dalam kasus wanita yang
beristihadah, karena salat itu hukum asalnya adalah wajib, maka al amr salat hukumnya tetap
wajib setelah adanya larangan.
6. Shigat al Amr dalam al Quran dan al Hadis.
Dilihat dari segi karakteristik atau sighatnya, al amr dapat dibedakan kepada lima macam:
a. Dengan menggunakan fi’il amr (kata kerja perintah), contohnya:
َ ْ َّ ْ ِّ ْ ُ َ َ َ ْ َّ ُ ُ َّ َ ْ ُ َّ ُ َّ َ ُّ َ ٰ ِٓ
‫س َّو ِاحد ٍة‬
‫يايهاالناس اتقواربكم ال ِذي خلقكم من ن ن‬
‫ف‬
Hai manusia bertaqwalah kamu kepada Tuhan kamu, yang telah menciptakan kamu dari
diri yang satu.(QS. an Nisa: 1)
b. Dengan menggunakan fi’il mudari’ yang dihubungkan dengan lam al amr yang mengandung
perintah. Misalnya:
ُ ْ َ َّ ُْ َ َ َ
‫ف َم ْن ش ِهد ِمنك ْم الشْه َرفل َي ُص ْمه‬
Maka barang siapa yang telah melihat bulan, maka hendaklah ia berpuasa. (QS. al
Baqarah: 185).
c. Dengan menggunakan isim masdar yang diperlukan sebagai pengganti fi’il amar. Misalnya:
َ ِّ َ َ َ َ ُ َ َ َ ْ َّ ُ ُ ْ َ َ َ
‫اب‬
ِ ‫ق‬‫الر‬ ‫ف ِاذال ِقيتم ال ِذين كفروافضب‬
Maka jika kamu menjumpai orang-orang kafir (di medan perang), maka pancunglah
batang leher mereka… (QS. Muhammad: 4).
d. Dengan menggunakan kalimat berita yang mengandung perintah. Misalnya:
ِٓ ُ َ َ ٰ َ َُْ َ ُ ٰ َّ ْ
ٍ‫َوال ُم َطلقت َي َ َّبب ْص َن بِأنف ِس ِه َّن ثلثة ق ُ ْرو ء‬
Dan wanita-wanita yang ditalak oleh suaminya hendaklah menahan diri sampai tiga kali
quru’. (QS. al Baqarah: 228).
e. Menggunakan kata-kata yang mengandung tuntutan untuk berbuat dan kewajiban yang harus
dilaksanakan. Misalnya firman Allah:
ْ َ ٰ ٰ َْ َُ ْ َ ُ ْ َّ
‫ِان اﷲَ َيأ ُم ُرك ْم ان تؤ ُّد وااال ٰمن ِت ِا ِٓىل اه ِلَها‬
Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya. (QS. an Nisa: 58)

7. Kaidah-kaidah Amr (dilalatul amri) dan Contohnya.


Berikut adalah sebagian kaidah-kaidah amr yang umum dipergunakan sebagai dasar
perumusan sebuah keputusan (ijtihad) dalam hukum:
َ َ َ ُْ ُُْ
a. ِ ‫أالمور ِبمق‬
‫اص ِدها‬
Setiap perkara itu tergantung kepada niatnya
Contohnya seperti seseorang yang mengerjakan salat atau membaca al Quran dengan niat
karena Allah, ia berhak mendapat pahala, akan tetapi kalau niatnya supaya mendapat pujian
orang dan sebagainya tentu pembacaan itu terlarang dan bisa berdosa.
Sabda Nabi Muhammad Shallallahu‘alaihi wa Sallam:
ِّ ُ َ ْ َ ْ َ َّ
َّ ‫الن‬
‫ رواه البخارى‬٠‫ات‬
ِ ‫ي‬ ‫ِإنمااالعمال ِب‬
Sesungguhnya sahnya setiap amal tergantung niatnya
Ini mengisyaratkan sisi pentingnya niat atas sebuah perbuatan, diantaranya ialah untuk
membedakan antar pekerjaan ibadah dan adat, seperti membedakan mandi wajib karena

30
hadas dan dari mandi biasa. Membedakan tidak makan karena puasa dan karena pengobatan
dan sebagainya.
ِّ َّ ُ َ ُ َ ُ ْ َ ْ
b. ‫ال ِبالشك‬
‫الي ِقي اليز‬
Yakin tidak hilang karena ragu-ragu
Contohnya seperti sedang salat timbul ragu-ragu apakah mempunyai wudhu atau tidak. Yang
yakin tidak berwudhu, jadi ia harus batalkan salatnya dan wajib wudhu dahulu.
Kecuali mengenai sudah batal atau belum, yang positif (tentu) sudah berwudhu dan belum
batal wudhunya. Sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang artinya:
Bila salah seorang kamu mendapatkan (merasakan) sesuatu dalam perutnya, tiba-tiba
terasa sulit baginya apakah ada yang keluar dari perutnya, maka janganlah dia keluar
dari masjidnya kecuali jika dia mendengar suara atau merasa keluar angin.” (Hr. Muslim
dari Abu Hurairah) َ َ
َ ْ َْ ُ
c. ‫األ ْص ُل ِف ك ِّل ِد ٍث تق ِد ْي ُر ُه ِبأق َر ِب ز َم نن‬
Yang menjadi asal (pokok) bagi setiap kejadian yang baru, ialah mengira-ngirakan
dengan waktu yang terdekat.
Contohnya seperti ada orang tidak sengaja memukul perut wanita yang hamil, lalu bayinya
keluar serta hidup dalam waktu tertentu dan tidak menimbulkan sakit karenanya. Tetapi
kemudian bayi itu akhirnya meninggal, maka tidak wajib sanksi bagi si pemukul itu, sebab
menurut kenyataan, matinya bayi itu dengan sebab lain, bukan disebabkan pukulan itu.
Atau orang melihat air mani (sperma) pada kainnya, dia tidak ingat akan mimpi, maka dia
berkewajiban mandi dan mengqadha salatnya sejak tidur yang terakhir dari melihat air mani
itu.
َّ َ َ َّ ُ ُ َ َ ْ َ
d. ‫احة َح ََّت َيد َّل الد ِل ْي ُل عَل الت ْح ِرْي ِم‬ ‫األ ْص ُل ِف ِاالب‬
Hukum asal bagi setiap perkara, adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan akan
haramnya.
Jadi kalau tidak ada dalil yang mengharamkan, semuanya pun hukumnya boleh (mubah).
Kaidah ini menurut para ulama berkenaan dengan hukum muamalah atau urusan keduniaan.
َّ ُ ْ َ ُ َّ َ َ ْ َ
e. ‫ب الت ْي ِس ْ َب‬ ‫ألمشقة تج ِل‬
Kesulitan itu menarik (menimbulkan) keringanan.
Dalam beberapa keadaan terkadang kita mengalami kesulitan dalam menghadapi sesuatu
untuk ditunaikan, baik penunaian perintah maupun larangan yang sungguh-sungguh sukar
dilaksanakan secara sempurna, dikala itu datanglah keringanan.
Contohnya seperti kita diwajibkan salat dengan terpenuhi semua rukunnya, tetapi disaat kita
sakit sehingga kita tidak kuat berdiri, maka diperbolehkan sambil duduk. Kalau tidak kuat
sambil duduk, diperbolehkan sambil berbaring.
Firman Allah:
ِّ ُ ََ
‫اج َع َل عل ْيك ْم ِف الد ْي ِن ِم ْن َح َر ِج‬ َ ‫َو َم‬
Dan tiadalah Allah menjadikan bagimu dalam agama ini sesuatu kesulitan َ
f. َ َّ ‫أ‬
ُ‫لض ُرُي َزال‬
Kemadaratan (keadaan mendesak) itu bisa dihilangkan
Sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
َ ِ ‫ض َر َو َال‬
‫ض َار‬ َ َ ‫َال‬

31
Tidak ada kemadaratan dan tidak memadaratkan (Hr. Muwatha’, Hakim, Baihaqi dan
Daruquthni)
Contohnya seperti mengembalikan barang-barang yang cacat yang tersembunyi jika terlanjur
terbeli. Berlakunya bermacam-macam khiyar dalam jual-beli. Pemberlakuan sistem
penyitaan barang-barang. Aturan mengganti barang-barang yang dirusak. Ketentuan
menolak pengacau. Adanya fasak nikah karena cacat dan sebagainya itu diperbolehkan.
َ ُ ْ َ ُ ْ ُ ُ َ ُ َّ َ
g. ‫ألضورة ت ِبيح المحظورا ِت‬
Keadaan darurat itu membolehkan setiap yang dilarang
Dan contoh-contoh lainnya seperti berobat dengan barang haram seperti alkohol. Dipaksa
untuk menger-jakan kekufuran. Mengambil barang kepunyaan orang yang membandel
membayar utang.
Firman Allah:
ْ ُّ َ ْ ُ ُ ُ ْ َ َ َ ْ ُ ْ َ َّ
‫اال ْي َم ِان‬
ِ ‫إالمن أ ك ِره وقلبه مطم ِي ِب‬
Kecuali orang yang dipaksa, sedangkan hatinya beriman teguh (QS. an Nahl: 106)
Kecuali kalau dipaksa untuk berzina atau membunuh orang, maka tidak boleh dikerjakan
bagaimanapun juga.
h.
َّ ‫ت َأ ْو َخ‬
‫اصة‬
ْ َ َ َّ َ َ ُ َّ َ َ ْ َ ُ ْ َ ُ َ َ َ
‫ألحاجة ت ِبل م ِبلة الضورِةعامة كان‬
Keadaan kebutuhan, statusnya sama dengan status darurat, baik kebutuhan umum atau
khusus.
Contoh kebutuhan khusus, seperti melihat muka dan telapak tangan wanita yang akan
dinikahi diperbolehkan. Padahal asalnya seluruh badan wanita itu aurat. Tetapi khusus bagi
lelaki yang dalam proses lamaran diperbolehkan karena kebutuhan (hajat) dalam rangka
perkawinan. Atau melihat wajah wanita itu dalam rangka mu’amalah, seperti jual beli,
hutang piutang dan sebagainya.
Contoh kebutuhan umum, seperti bagi pemerintah diperbolehkan memaksa seseorang yang
mempunyai persediaan makanan yang banyak dalam keadaan musim paceklik, agar dijual
kepada umum. Padahal asalnya tindakan paksaan dalam jual-beli itu tidak boleh, jual beli
harus sukarela.
َّ ُ َ َْ
i. ‫ال َعادة ُم َحك َمة‬
Adat itu bisa dijadikan hukum.
Sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
َْ َ َ ْ ٰ
ِ ‫َم َارا ُه ال ُم ْس ِل ُمون َح َسناف ُه َو ِعندا‬
‫ﷲ َح َسن‬
Setiap perkara yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah-pun
dianggap baik. (Riwayat Ahmad dari Ibnu Mas’ud)
Contohnya seperti penetapan waktu haid, baik kemungkinan permulaan keluarnya, lamanya
atau tidaknya waktu keluarnya dan batas putusnya karena usia lanjut, permulaan batas balig,
waktu nifas. Kebiasaan dalam hal tempat penyimpanan barang-barang di rumah untuk kasus
yang berhubungan dengan hukum pencurian. Besar atau kecilnya pemberian nafkah kepada
isteri. Batas waktu ju’alah (pengumuman) dalam menemukan barang dan sebagainya.
َ ‫اس ِد ُم َق َّدم َع‬ َ َ ْ ُْ َ
j. ‫لب ال َم َص ِال ِح‬
ِ
َ ‫َل‬
‫ج‬ ِ ‫د رأالم‬
‫ف‬
Menolak kerusakan harus didahulukan dari menarik kemaslahatan
Contohnya seperti menolong orang yang celaka seperti tenggelam dan sebagainya itu wajib.
Akan tetapi kalau sekiranya bisa membawa celaka bagi si penolong, maka menolak celaka si
32
penolong itu harus didahulukan; artinya gugur kewajiban menolong, kecuali sekadar
kemampuannya sambil dia sendiri selamat. Kecuali dari itu semua, kalau dengan
menolongnya itu hanya akan menimbulkan rusaknya puasa atau tertundanya penunaian salat,
maka menolong orang yang celaka itu lebih utama, walaupun menimbulkan rusaknya puasa
atau mengerjakan salat diakhirkan.
ْ َ ََ ُ َ َ َْ ُ َ َ ْ َ َ َ ْ َ
k. ‫ب ال َح َر ُام‬ ‫اذاٱجتمع الحَل ل والحرام غل‬
Bilamana berkumpul halal dan haram, maka yang haram itu mengalahkan yang halal.
Contohnya seperti antara hadis yang membolehkan menjamah istri yang sedang haid kecuali
anggota di atas kainnya, yaitu antara lutut dan pusat dan hadis yang membolehkan
menjamahnya selain jima’.
Berkumpulnya hukum yang membolehkan menjamah antara lutut dan pusat si istri yang haid
dan mengharamkannya. Maka hukum yang harus diambil, ialah mengharamkan menjamah
antara lutut dan pusat, sebab lebih menjamin terjaganya jima’ diwaktu haid.
َ َ ْ ُْ َ َْ
l. ‫أ ِال ْيث ُار ِف الق ْر ِب َمك ُروه َو ِف غ ْ ِبه َام ْح ُبوب‬
Mendahulukan orang lain dalam soal ibadah, hukumnya makruh dan dalam hal selain
ibadah dicintai
Contoh ibadah seperti mendahulukan orang lain dengan meminjamkan pakaiannya untuk
salat padahal dia sendiri belum salat. Atau mempersilakan orang lain mengisi shaf (baris)
depan, sedangkan dia sendiri mundur ke belakang. Itu semuanya makruh hukumnya.
Contoh yang mahbub (dicintai) seperti ketika ada pertemuan untuk urusan dunia,
mempersilakan orang lain untuk berjalan/duduk di muka, sedangkan dia di belakangnya.
Atau mempersilakan orang lain untuk makan lebih dahulu sedangkan dia kemudian. Semua
ini perbuatan baik dicintai Allah.
Firman Allah:
َ َََْ ْ
َ ‫ان به ْم َخ َص‬ ُ َْ َ َ َ ُ ْ ُ َ
‫اصة‬ ِِ ‫ك‬‫و‬ ‫ل‬‫و‬ ‫م‬‫ه‬ِ ‫ويؤ ِثرون عَل ان‬
‫س‬ِ ‫ف‬
Mereka itu mendahulukan orang lain daripada dirinya, padahal merekapun sama
mempunyai kebutuhan-kebutuhan (QS. al Hasyr: 9) َ َ َّ
m. ‫ألت ِاب ُع ت ِابع‬
Pengikut itu hukumnya mengikuti yang diikuti
Contohnya, seperti menyembelih binatang yang ternyata ada janin di perutnya, maka
matinya janin itu setelah induknya disembelih mengikuti hukum sahnya sembelihan
induknya. Sehingga halal untuk dimakan.
Atau seperti ulat yang tumbuh dalam buah-buahan seperti petai, jengkol dan sebagainya.
Maka ulatnya boleh dimakan beserta petai atau jengkolnya, asal jangan dipisahkan. Atau
seperti menjual atau menyewakan tanah, maka semua tanaman yang berada di dalamnya ikut
terjual atau tersewakan, kecuali jika dikecualikan ketika akadnya.
ْ ْ ُ ُ ُ ُ ْ َ ُ َّ
n. ‫وط ال َمت ُبو ِع‬
ِ ‫ألت ِابع يسقط ِبسق‬
Yang mengikut itu jatuh karena jatuh yang diikutinya
Contohnya, seperti:
1) Orang gila tidak diwajibkan salat fardu selama gilanya, maka hukum salat sunat
rawatibnya pun gugur pula baginya;
2) Orang yang salat berjamaah, tiba-tiba imamnya batal, maka ma’mumnya juga turut
batal, kecuali kalau si ma’mum segera berniat munfarid.

33
B. Pengertian an Nahy dan Contohnya.
Secara etimologi an nahy adalah lawan dari al amr. Jika al amr berarti perintah maka an nahy
berarti larangan atau cegahan. Mayoritas ulama ushul fikih mendefinisikan nahy sebagai larangan
melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih
rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.
Dari banyak pengertian yang diberikan para ulama, pada hakikatnya menjelaskan bahwa an
nahy merupakan suatu tuntutan yang bentuknya larangan atau mencegah agar tidak melakukan
perbuatan dan larangan yang datangnya dari syar’i yang telah dituangkan dalam nash yaitu al Quran
dan sunah. Penetapan adanya nahy dilihat pada dua keadaan; pertama, keadaan umum yaitu suatu
keadaan yang tidak terdapat qarinah pelarangan sehingga perbuatan itu dilarang, dan kedua, keadaan
yang memang dilarang karena adanya qarinah yang menyatakan bahwa sesuatu itu terlarang.
Apabila larangan itu bersifat mutlak dan tidak ada qarinah penyerta yang menunjukkan bahwa
hal itu dilarang, tetapi ada alasan lain yang menyebabkan perkara itu dilarang, keadaan ini terbagi
kepada dua keadaan; pertama, keadaan yang menyebabkan hal itu dilarang melalui pertimbangan
perasaan. Perasaan seseorang menyatakan hal itu dilarang baik oleh hati nurani maupun oleh agama.
Seperti berzina, minum khamar, mencuri dan sejenisnya. Semua merupakan sesuatu yang menurut
perasaan tercela dan dilarang, karena perbuatan tersebut ada sebelum nash syar’i menyatakan
keharamannya. Kedua, keadaan yang terlarang karena menyebabkan hilangnya pahala bagi orang
yang mengerjakannya seperti salat dan puasa, semuanya tidak akan diberkahi dan diberi pahala
kecuali sesuai dengan amalan yang diperintahkan syara’ seperti halnya jual beli yang tidak sah
kecuali mengikuti mengikuti yang diperintah oleh syari’.
1. Karakteristik Shigat an Nahy.

Menurut Mustafa Said al Khin bahwa ada empat macam bentuk karakteristik yang dapat
digolongkan kepada an nahy di dalam nash. Empat macam bentuk shigat nahy tersebut adalah:

a. Dengan fi’il mudari yang ditandai oleh adanya la an nahiyah. Misalnya Firman Allah:
َ َ َ َ ُ َّ َ ِّ ُ َْ َ
‫احشة َو َس َاء َس ِبيَل‬
ِ ‫وال تق َربوا الزنا ِإنه كان ف‬
“Dan janganlah kamu dekati zina, karena perbuatan zina itu adalah hal yang keji dan
seburuk-buruk jalan.” (QS. al Isra’: 32).
b. Kata dalam bentuk perintah yang menuntut untuk menjauhi larangan atau meninggalkan
suatu perbuatan. Misalnya firman Allah:
‫ور‬ ‫ز‬ ْ ‫األو َثان َو‬
ُّ ‫اج َتن ُبوا َق ْو َل ال‬ ْ ‫س م َن‬َ ْ ‫الر‬
‫ج‬ ِّ ‫وا‬‫ب‬ ْ ‫ َف‬...
ُ ‫اج َتن‬
ِ ِ ِ ِ ِ
“Maka jauhilah oleh kamu berhala-berhala yang kotor itu dan jauhilah pula perbuatan
dusta.” (QS. al Hajj: 30).
c. Menggunakan kata larangan (nahy) itu sendiri dalam kalimat. Misalnya firman Allah:
َ‫ب ْال ُم ْس َت ْكبين‬ َ ُ ْ ُ َ َ َ ُّ ُ َ ُ َ ْ َ َ َّ َّ َ َ َ َ
ُّ ‫ون إ َّن ُه ال ُيح‬
ِ ‫ِر‬ ِ ِ ‫ال جرم أن اَّلل يعلم ما ي ِْسون وما يع ِلن‬
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. an Nahl: 23).
d. Jumlah khabariyah, yaitu kalimat berita yang digunakan untuk menunjukkan larangan
dengan cara pengharaman sesuatu atau menyatakan tidak halalnya sesuatu. Misalnya firman
Allah:
ُ ُ ُ ْ َ َ ْ َ َ َ ِّ ُ َ ْ َ ْ ُ َ ُّ َ
ْ ‫وه َّن ل َت ْذ َه ُبوا ب َب‬ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ
‫ض َما‬
ِ ‫ع‬ ِ ِ ‫ل‬‫ض‬ ‫ع‬ ‫ت‬ ‫ال‬‫و‬ ‫ا‬ ‫ه‬‫ر‬‫ك‬ ‫اء‬ ‫س‬‫الن‬ ‫وا‬ ‫ث‬
‫ر‬ ِ ‫ت‬ ‫ن‬‫أ‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ح‬ِ ْ ‫يا أيها ال ِذين َآم‬
‫ي‬ ‫ال‬ ‫وا‬‫ن‬
ْ َ َ َ َ َّ ُ ُ ُ ْ َ ْ َ ْ ُ َ
ُ ْ َ َّ ُ ِ ‫احش ٍة ُم َب ِّي َن ٍة َو َع‬ َ َ َ ْ َّ ُ ُ ُ ْ َ
‫وف ف ِإن ك ِرهتموهن فعَس أن‬ ِ ‫اشوهن ِبالمعر‬ ِ ‫آتيتموهن ِإال أن يأ ِتي ِبف‬
َ َ ُ َّ َ َ ْ َ َ ْ َ ُ ْ َ
‫يه خ ْبا ك ِثبا‬ ِ ‫تك َرهوا شيئا ويجعل اَّلل ِف‬
34
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. an Nisa: 19).

Selain empat karakteristik dari al Kin di atas, Muhammad Khuderi Bik menambahkan
empat macam bentuk shigat nahy yang lain, yaitu:
e. Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan. Misalnya disebutkan
pada ayat 33 surat
َ al A’raf:
ُ ْ ُ ْ َ ِّ َ ْ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ ‫ُق ْل إ َّن َما َح َّر َم َر ِّ َن ْال َف‬
‫ْسكوا‬
ِ ‫ت‬ ‫ن‬‫أ‬‫و‬ ‫ق‬ ‫ح‬ ‫ال‬ ‫ب‬ ‫غ‬ ‫ب‬
ِ ِ ِ ‫غ‬ ‫ب‬‫ال‬‫و‬ ‫م‬ ‫اإلث‬‫و‬ ‫ن‬‫ط‬ ‫ب‬ ‫ا‬ ‫م‬‫و‬ ‫ا‬ ‫ه‬‫ن‬‫م‬ِ ‫ر‬ ‫ه‬‫ظ‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ش‬‫اح‬
ِ ‫و‬ ِ‫ِ َ َ ر‬
َ ُ َ ْ َ َ َّ َ َ ُ ُ َ ْ َ َ َ ْ ُ ْ ِّ ُ َ َّ ‫ب‬
ِ ‫اَّلل ما ل ْم يبل ِب ِه سلطانا وأن تقولوا عَل‬
‫اَّلل ما ال تعلمون‬ ِ ِ
“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan
yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa
yang tidak kamu ketahui".
f. Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih. Misalnya ayat 34 surat at
Taubah:
َ َ َ ْ ُ ْ ِّ َ َ َّ َ ُ ْ ُ َ َ َّ ْ َ َ َ َّ َ ُ ْ َ َ َّ َ
َ ‫ون َها ف‬
‫اب أ ِل ٍيم‬
ٍ ‫ذ‬ ‫ع‬ ‫ب‬
ِ ‫م‬‫ه‬‫ْس‬ ‫ب‬ ‫ف‬ ‫َّلل‬
ِ ‫ا‬ ‫يل‬‫ب‬‫س‬
ِ ِ ِ ِ ‫وال ِذين يك ِبون الذهب وال ِفضة وال ين ِفق‬
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih.”
g. Larangan dengan menyifati perbuatan itu dengan keburukan. Misalnya, ayat 180 surah Ali
‘Imran:
َ ُ َ َ ‫ُ َ َ ْ َُ ْ َ ْ ُ َ َ ر‬ ْ َ ُ َ َ َ ُ َ ْ َ َ َّ َّ َ َ ْ َ َ
ُ َّ ‫اه ُم‬
‫ش ل ُه ْم َس ُيط َّوقون‬ ‫اَّلل ِم ْن فض ِل ِه هو خبا لهم بل هو‬ ‫وال يحس ري ال ِذين يبخلون ِبما آت‬
َ َ ُ َ ُ َّ ‫األرض َو‬
ْ ‫الس َم َاوات َو‬ ُ َ َّ َ َ َ ْ َ ْ َ ُ َ َ
‫اَّلل ِب َما ت ْع َملون خ ِبب‬ ِ ِ
َّ ‫اث‬ ‫ب‬ ‫م‬ِ ‫َّلل‬
ِ ِ ‫و‬ ‫ة‬‫ام‬
ِ ِ‫ي‬‫ق‬ ‫ال‬ ‫م‬‫و‬ ‫ي‬ ‫ه‬
ِ ِ ‫ما ب ِخ‬
‫ب‬ ‫وا‬ ‫ل‬
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bahil dengan harta yang Allah berikan kepada
mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebahilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebahilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bahilkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan
(yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
h. Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri. Seperti, ayat 193 Surat al
Baqarah:
َّ ََ َ ْ ُ َ َ ْ َ َّ ُ ِّ َ ُ َ َ َ ْ َ ُ َ َّ َ ُ ُ َ َ
َ ‫الظالم‬
‫ي‬ ِِ ‫َّلل ف ِإ ِن انت َه ْوا فَل عد َوان ِإال عَل‬
ِ ِ ‫وق ِاتلوه ْم ح َت ال تكون ِفتنة ويكون الدين‬
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu
hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak
ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang lalim.”
2. Penggunaan an Nahy.
Menurut Mustafa Said al Khin para ulama ushul sepakat adanya beberapa penggunaan lafal
an nahy, yaitu:
a. Untuk menyatakan haramnya suatu perbuatan, atau tidak boleh dilakukan. Misalnya firman
Allah:
َ َ َ َ ُ َّ َ ِّ ُ َْ َ
‫احشة َو َس َاء َس ِبيَل‬
ِ ‫وال تق َربوا الزنا ِإنه كان ف‬
35
“Dan janganlah mendekati (berbuat) zina.” (QS. al Isra’: 32)
b. Untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan tersebut dilarang, tetapi jika dikerjakan tidak
berdosa dan lebih baik jika tidak dikerjakan. Misalnya dalam hadis Nabi disebutkan bahwa
Nabi melarang menyentuh kemaluan dengan tangan ketika buang air kecil. Larangan dalam
hadits ini tidak sampai kepada tingkat haram, tetapi sifatnya makruh saja.
c. Untuk menyatakan doa atau permohonan. Misalnya:
َ ْ َ َ َّ َ ْ َ َ ْ ُ َ ْ َ َ ْ َ َ َ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ُ ُ ْ ُ َ َّ َ
ُ ‫ت ْال َو َّه‬
‫اب‬ ‫ربنا ال ت ِزغ قلوبنا بعد ِإذ هديتنا وهب لنا ِمن لدنك رحمة ِإنك أن‬
“Wahai Tuhan kami janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kejahatan
setelah engkau beri petunjuk kepada kami.” (QS. Ali Imran: 8).
d. Menyatakan dan menunjukkan bimbingan atau pengarahan, misalnya firman Allah:
ُ ُْ َ َ ْ َ َُ َ ْ ُْ َ ُ َ َ ُ ْ ْ َ َ َُ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ
‫ي ُي َّب ُل الق ْرآن‬ ‫آمنوا ال ت ْسألوا ع ْن أش َي َاء ِإن ت ْبد لك ْم ت ُسؤك ْم َوِإن ت ْسألوا عن َها ِح‬ ‫يا أيها ال ِذين‬
ُ
‫اَّلل غفور َح ِليم‬
َ ُ َّ ‫ُت ْب َد َل ُك ْم َع َفا‬
ُ َّ ‫اَّلل َع ْن َها َو‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan ( kepada nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepada kamu, niscaya akan menyusahkan kamu.” (QS. al Maidah:
101).
e. Menyatakan ancaman. Maksud ancaman ini adalah untuk menakuti agar tidak berbuat.
f. Menyatakan hinaan atau merendahkan . Misalnya firman Allah:
َ ُ ْ
‫يه َو ِرزق َرِّبك‬ ْ ُ َ ْ َ َ ْ ُّ َ َ ْ َ ْ َ ْ ُْ َ َْ َ ْ َّ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َّ َّ ُ َ َ
ِ ‫وال تم َدن عينيك ِإىل ما متعنا ِب ِه أزواجا ِمنهم زه َرة الحي ِاة الدنيا ِلنف ِتنهم ِف‬
َ َ
‫خ ْب َوأ ْبق‬
“Dan janganlah kamu tunjukkan mata kamu kepada apa yang tealah kami berikan kepada
golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia.” (QS. Thaha: 131).
g. Menjelaskan suatu akibat dari suatu perbuatan . Misalnya firman Allah:
ْ ‫ص فيه‬
‫األب َص ُار‬ ُ َ ْ َ ْ َ ْ ُ ِّ َ ُ َ َّ َ ُ َّ ُ َ ْ َ َّ َ َ َ َّ َّ َ َ ْ َ َ
ِ ِ ‫وال تحس ري اَّلل غ ِافَل عما يعمل الظ ِالمون ِإنما يؤخ ُرهم ِليو ٍم تشخ‬
“Dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh
orang-orang zalim.” (QS. Ibrahim: 42).
h. Untuk menyatakan keputusasaan. Misalnya firman Allah:
َ ُ َ ْ َ ْ ُ ْ ُ َ َ ْ َ ْ ُ َ َّ َ ْ َ ْ ُ َ ْ َ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ َ
‫يا أيها ال ِذين كفروا ال تعت ِذروا اليوم ِإنما تجزون ما كنتم تعملون‬
“Wahai orang-orang kafir janganlah kamu menyatakan uzur pada hari ini, bahwasanya
kamu diberi balasan menurut apa yang kamu perbuat.” (Qs. at Tahrim: 7)
3. Kaidah-kaidah penggunaannya.
Muhammad Adib Shaleh mengemukakan bahwa para ulama ushul fikih, merumuskan
beberapa kaidah yang berhubungan dengan larangan, antara lain:
‫ى‬
a. Kaidah pertama, ”‫النه للتحريم‬
‫ي‬ ‫ ”األصل ف‬pada dasarnya suatu larangan menunjukkan
hukum melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada keterangan yang menunjukkan
maksud hukum lain. Contohnya ayat 151 surah al An’am :
َ ُ َ ُ َّ َ ُ ُ َ ِّ ْ ُ َّ ‫س َّال َت َح َّر َم‬
َ ‫الن ْف‬
َّ ُُ َْ َ
‫اَّلل ِإال ِبال َحق ذ ِلك ْم َو َّصاك ْم ِب ِه ل َعلك ْم ت ْع ِقلون‬ ِِ ‫وا‬ ‫ل‬‫وال تقت‬
“…Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh
Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).”

Sementara untuk contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum
selain haram ada pada ayat 9 surah al Jumu’ah:

36
َّ ْ َ ْ َ ْ َ َ ُ ُ ْ ْ َ ْ
ْ‫اَّلل َو َذ ُروا ْال َب ْي َع َذل ُكم‬ َّ َ ُ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ
ِ ِ ‫َلة ِمن يو ِم الجمع ِة فاسعوا ِإىل ِذك ِر‬
ِ ‫ودي ِللص‬
ِ ‫وا ِإ َذا ن‬‫يا أيها ال ِذين آمن‬
َ ُ َْ ُْْ ُ ْ ُْ َ ْ َ
‫خب لكم ِإن كنتم تعلمون‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari
Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Larangan transaksi jual beli pada ayat 9 surat al Jumu’ah tersebut menurut mayoritas
ulama ushul fikih menunjukkan hukum makruh karena ada indikasi lain, yaitu bahwa
larangan tersebut bukan ditujukan kepada esensi jual beli itu sendiri tetapi kepada hal-hal
yang diluar transaksi. Yaitu bisa membawa pada kekhawatiran kelalaian untuk bersegera
pergi salat Jumat. Karenanya, mereka yang tidak wajib untuk salat Jumat seperti wanita tidak
dilarang melakukan jual beli.
‫ى‬
b. Kaidah kedua,” ‫النه يطلق الفساد مطلقا‬‫ي‬ ‫” األصل ف‬, suatu larangan yang membawa kepada
kerusakan (fasad) mak perbuatan itu dilarang jika dikerjakan. Muhammad Adib Shaleh,
menjelaskan kaidah tersebut telah disepakati oleh ulama ushul fikih apabila larangan itu
tertuju kepada zat atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak diluar
dari esensi perbuatan itu.
Contoh larangan terhadap suatu zat ialah larangan berzina, larangan menjual bangkai.
Atau dalam masalah ibadah seperti larangan beribadah dalam keadaan berhadas, baik kecil
maupun besar. Larangan-larangan dalam perkara ini menunjukkan batalnya perbuatan
tersebut apabila tetap dilakukan.
Menurut kalangan mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Malikiyah, larangan seperti ini
tidaklah mengakibatkan batalnya perbuatan itu jika tetap dilakukan. Sedangkan menurut
sebagian kalangan mazhab Hambaliyah dan Zahiriyah, larangan dalam bentuk ini
menunjukkan hukum batal, sama dengan larangan terhadap esensi suatu perbuatan seperti
tersebut di atas. Sebab melakukan suatu yang dilarang secara esensi hukumnya sama seperti
melanggar ketentuan syariat sebagaimana pada perkara yang bukan esensinya. Berdasarkan
pendapat ini, maka seseorang yang melakukan ibadah dengan pakaian hasil curian adalah
batal.
‫ئ‬
c. Kaidah ketiga ”‫الش أمر بضده‬ ‫النه عن‬
‫” ي‬, suatu larangan terhadap perbuatan berarti perintah
terhadap kebalikannya. Contoh, ayat 18 surah Luqman:
ُ َ َ ْ ُ َّ ُ ُّ ُ َ َّ َّ َ ْ ‫َوال ُت َص ِّع ْر َخ َّد َك ل َّلناس َوال َت ْمش ف‬
َ ‫األرض‬
‫ور‬
‫ن‬ ‫خ‬ ‫ف‬ ‫ال‬
ٍ ‫ت‬‫خ‬ ‫م‬ ‫ل‬‫ك‬ ‫ب‬ ‫ح‬ِ ‫ي‬ ‫ال‬ ‫اَّلل‬ ‫ن‬‫إ‬ِ ‫ا‬ ‫ح‬‫ر‬ ‫م‬ ِ ِِ ِ ِ ِ
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
d. Kaidah keempat
‫االصل ف النىه المطلق يقتص التكرارف جمع االزمنه‬
“Pada dasarnya larang mutlak memberlakukan larangan terulang setiap waktu.”
Sebuah larangan jika tidak berkaitan dengan waktu atau sebab maka ia bersifat terlarang
seterusnya, seperti larangan zina. Tetapi jika ia berkaitan dengan sebab atau waktu tertentu,
maka larangan itu juga berdasarkan sebab atau waktu tersebut misalnya larangan salat ketika
dalam kondisi mabuk.

37
C. Kaidah Al ‘Am dan Ketentuannya.
1. Pengertian ‘am dan contohnya.
‘Am menurut bahasa artinya merata atau yang umum dan menurut istilah adalah lafal yang
memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam kategori pengertian lafal itu.
Artinya ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang
terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
2. Dalalah Lafal ‘am.
Jumhur ulama berbeda pendapat dalam menempatkan maksud hukum (dalalah) dari lafal
‘am. Kalangan mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa lafal ‘am itu zanni dalalahnya (belum jelas
maksudnya) pada semua rincian atau satuan yang dikandung maknanya. Demikian pula lafal ‘am
setelah ditakhsis, sisa satuan-satuannya juga zanni dalalahnya sehingga terkenallah dikalangan
mereka suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi:
َّ
َ ‫ّل ُخ ِّص‬ َ ْ َ
َ‫ص‬ َ ‫ن عا مَ ِإ‬
َ ‫ما ِم‬
“Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshish”.
Sehingga jika mendapati lafal ‘am, hendaklah berusaha melakukan pentakhsisan atas lafal
tersebut.
Berbeda dengan jumhur ulama, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafal ‘am itu qath’i
dalalahnya. Menurut mereka selagi tidak ada dalil lain yang mentakhsisnya dalam satuan-satuan
yang rinci. Karena lafal ‘am itu mengandung maksud secara bahasa sebagai cara menjangkau
semua satuan makna yang ada di dalamnya tanpa kecuali.
Sebagai contoh perbedaan mereka dalam lafal zanni, ulama Hanafiyah mengharamkan
memakan daging yang disembelih tanpa menyebut Basmallah, karena adanya firman Allah yang
bersifat umum, yang berbunyi:
ََ َ ْ َ ُُ َْ َ
ِ ‫َوالتأكل ْو ِام َّمالم ُيذك ِر ْاس ُم ا‬
‫ﷲ عل ْي ِه‬
“… dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya”. (al An`âm:121)
Ayat tersebut menurut mereka, tidak dapat ditakhsis oleh hadis Nabi yang berbunyi:
“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar
menyebutnya atau tidak.” (Hr. Abu Daud)
Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath’i, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalahnya,
sedangkan hadis Nabi itu zanni wurudnya serta zanni dalalahnya.
Ulama Syafi’iyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhsis dengan hadis
tersebut. Karena dalalah kedua dalil itu sama-sama zanni. Lafal ‘am pada ayat itu zanni
dalalahnya, sedang hadis itu zanni pula wurudnya dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam.
3. Hukum Beramal dengan Lafal ‘Am.
Bila bertemu sebuah lafal ‘am yang menunjukkan secara mutlak bahwa ia mencakup semua
afrad-nya (satuan), apakah boleh langsung menetapkan hukum atas keumumannya itu. Berikut
pendapat ulama ushul:
a. Di kalangan ulama Hambali terdapat dua versi:
1) Menyatakan wajib mengamalkan apa yang dituntut keumuman lafal itu. Ini adalah
pendapat Ahmad menurut riwayat Abdullah yang diikuti pula oleh Abu Bakar as Sairafi.
2) Menyatakan tidak wajib beramal dengan lafal ‘am secara langsung disaat itu juga
menurut kemauannya, tetapi berusaha mencari rincian dari keumuman itu terlebih dahulu.
Ini adalah pendapat Ahmad dari riwayat anaknya Salih dan Abu Harits.
38
b. Di kalangan ulama Syafi’i juga terdapat dua versi pendapat:
1) Pendapat terbanyak bahwa harus menunggu dan mencari dalil takhshish dan sebelum itu
tidak wajib beramal dengan apa yang dituntut dalil ‘am.
2) Pendapat lainnya menyatakan harus beramal saat itu juga dan tidak boleh ditangguhkan
pelaksanaannya.
c. Demikian pula dikalangan ulama Hanafiyah terdapat dua pendapat:
1) Abu Abdullah al Jurjani mengatakan bahwa seorang pendengar bila mendengar dari nabi
dalam bentuk penjelasan tentang hukum, wajib meyakininya dalam keumumannya.
Tetapi bila didengarnya dari orang lain, ia harus berhati-hati dan mencari sesuatu yang
akan mentakhsisnya. Bila tidak menemukannya, maka lafal tersebut harus ditetapkan
kepada apa yang dituntut oleh lafal ‘am.
2) Abu Sofyan menyatakan wajibnya meyakini keumuman lafal ‘am tanpa harus
ditangguhkan dengan rincian dari takhshish secara mutlak, baik diterima dari nabi atau
yang lainnya.
4. Macam-macam ‘Am.
a. Lafal ‘am yang diberlakukan sesuai keumumannya karena ada dalil atau indikasi yang
menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhusus-an). Misalnya:

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya.
Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhmahfuz)”. (QS. Hud:6).
ّ
Yang dimaksud ‫ دابه‬adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.
b. Lafal ‘am namun terkandung indikasi yang dikehendaki adalah makna khusus karena
qarinah kepada makna seperti itu. Contohnya:
َ ُ َّ َ َّ ْ َ َ ْ َ ْ َ ِّ ْ ُ َ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ ْ َ َ َ َ
ِ‫اب ان َّيتخلف ْواع ْن َّر ُس ْو ِل اﷲ‬
ِ ‫ل ُالم ِد ين ِة و َم ْن حولهم من االعر‬ َِ ‫م َاكان َ ِاله‬
َ ْ
‫َوال َي ْرغ ُب ْو ِابأنف ِس ِه ْم ع ْن نف ِس ِه‬
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang
berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak
patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul.”
(QS. at Taubah: 120).
Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah tanpa kecuali. Tapi hanya
orang-orang yang mampu dan memenuhi syarat untuk pergi mengikuti peperangan.
c. Lafal ‘am yang terbebas dari indikasi yang dimaksud makna umumnya atau sebagian
cakupannya. Contoh:
ْ ِٓ ُ ُ َ َ ٰ َ َّ ُ ْ َ َ ْ َّ َ َ َ ُ ٰ َّ َ ُ ْ َ
ٍ‫والمطلقت يببصن بِأنف ِس ِهن ثلثة قرو ء‬
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (al
Baqarah: 228).
Lafal ‘am dalam ayat tersebut adalah al muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas
dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian
cakupannya.

39
5. Bentuk Lafal ‘Am.
Mengutip tulisan Umam dan Aminuddin (2001) bahwa ada beberapa bentuk lafal yang
mengandung arti ‘am, diantaranya:
a. Lafal ‫( كل‬setiap) dan ‫( جامع‬seluruhnya) yang menandakan penggunaan lafal itu untuk
seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya, seperti pada dua ayat berikut:
ْ ُ َ َۤ َْ ُ
َ‫كلَ نفسَ ذا ِٕىق َة ال َم ْو ِت‬
“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati” (QS. Ali Imran: 185)

“Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu…” (QS. al Baqarah:
29)
b. Kata dengan jamak plural yang diawali dengan ‫ال‬, seperti kata ‫ الولدت‬pada surat al Baqarah
ayat 233 bermakna semua wanita dalam sebutan ibu.

“Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang
yang ingin menyempurnakan penyusuannya.”

c. Menggunakan kata benda tunggal yang dimakrifatkan (pengkhususan) dengan ‫ال‬, contohnya
pada ayat:

“Padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. al Baqarah: 275)

Pada ayat di atas, kata ‫ البيع‬dan ‫ الربوا‬merupakan dua kata benda yang kemudian
dima’rifatkan dengan ‫ال‬, yang bermakna cakupan semua satuan yang semisal dengannya
terhukum sama.
d. Penggunaan asma’ al mausul seperti pilihan kata ‫ما‬, ‫ الذي‬dan sebagainya. Misal terdapat
pada ayat:

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api dalam perutnya…” (QS. an Nisa: 10)
e. Lafal asma’ al syart (isim isyarah) seperti pilihan penggunaan kata ‫ما‬, ‫ من‬dan sebagainya.
Contoh pada ayat:
َ َ َ َ َ ً ْ َ َ َ ْ َ َ ‫َ َ َ َ ُ ْ َ ْ َّ ْ ُ َ ُ ْ ً َّ َ َ ًٔ ج‬
َ‫ل ُمؤ ِمنا خط ًٔـا فت ْح ِرْي ُ َر َرق َبة‬
َ ‫ن قت‬َ ‫ّل خطـا وم‬ َ ‫ل مؤ ِمَنا ِا‬َ ‫ن يقت‬ َ ‫ان ِلمؤ ِمنَ ا‬
َ ‫وما ك‬
‫ا َ ْ َّ َّ َّ ُ ْ قَل‬
َّ ‫َ َّ َ ٰٓ َ ْ ا‬ َ ْ
‫ن يصدقوا‬ َ ‫ّل ا‬ َ ‫ٍمؤ ِمنة َّو ِد َيةَ مسلمةَ ِا‬
َ ‫ل اه ِل َه ِا‬
“Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa membunuh seorang yang
beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh
itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) membebaskan pembayaran…” (an Nisa:
92)
f. Penggunaan isim nakirah dengan susunan kalimat na’if (negatif) seperti penggunaan kata
‫ الجناح‬pada ayat berikut:

40
“… dan tidak ada dosa bagimu mengawini mereka apabila kamu membayar mahar
kepada mereka…” (QS. al Mumtahanah: 10)
6. Ciri-ciri Lafal ‘Am.
Dalam tata bahasa Arab, ada sejumlah lafal yang digunakan menunjukkan lafal tersebut
sebagai lafal ‘am. Diantaranya seperti yang dikemukakan oleh Asnawi (2011: 196) dalam
tulisannya berikut:
a. Lafal mufrad yg melekat pada partikel ‫ ال‬al istiqraqiyah, dengan makna menyeluruh atau
semuanya. Misalnya lafal ‫ السارق‬dan ‫ السارقة‬di surat al Maidah ayat 33 merupakan dua kata
yang dilekati partikel ‫ ال‬al istiqraqiyah ini.

“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah kedua tangannya…”


b. Penggunaan lafal jamak yang juga dilekati oleh ‫ ال‬al istiqraqiyah, dengan makna
menyeluruh atau semuanya. Contoh kata ‫ المنفقي‬yang bermakna seperti demikian pada
surat an Nisa ayat 145:

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu berada pada neraka yang paling bawah…”
c. Kata yang masuk dalam isim al jism, yaitu lafal yang memang tidak mempunyai satuan
tunggal seperti lafal ‫حيوان‬, ‫ماء‬, ‫ تراب‬apabila lafal-lafal ini dima’rifatkan dengan ‫ ال‬al
jinsiyyah. Seperti yang terjadi pada sabda Rasulullah:
ْ َ ‫ّل ُي َن ِّج ُس َُه‬َ ُ َ َ َ ْ َ َّ
َ‫شء‬‫ي‬ َ َ‫اء طهور‬
َ ‫ن الم‬َ ‫ِإ‬
“Sesungguhnya (hakikat) air adalah suci dan menyucikan, tidak ada satupun yang dapat
menajiskannya.” (Hr. Abu Daud, Tirmidzi, an Nasa’i dan Ahmad)
d. Lafal yang disandarkan kepada isim ma’rifah (al mudaf ila al ma’rifah), misalnya pada lafal:
َُ
‫ َع ِبدزيد‬, ‫ال َعمرو‬
ُ ‫َم‬
e. Dengan isim isyarah, seperti dengan penggunaan lafal ‫من‬, ‫مهما‬, ‫ما‬, ‫اين‬, ‫حيثما‬. Misalnya
terdapat pada ayat:

“Maka barangsiapa yang menyaksikan bulan (Ramadan) hendaklah ia berpuasa…” (QS.


al Baqarah: 185)
َ
Penggunaan isim mausul, seperti lafal ‫الذي‬, ‫الت‬
f. ِ , ‫الذين‬. Contohnya:

“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan karena gila… “ (QS. al Baqarah: 275)

41
D. Kaidah Lafal al Khas.
1. Pengertian al Khas.
Lafal khas adalah lafal yang menunjukkan perseorangan tertentu seperti ‘mushtafa’, satuan
jenis seperti ‘laki-laki’, atau beberapa satuan yang terbatas seperti seratus, seribu, jamaah dan
lafal-lafal lain yang menunjukkan beberapa bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup
satuan-satuan tersebut.
2. Karakteristik Lafal al Khas.
Karakter suatu lafal nash masuk katagori kepada al khas, bila lafal tersebut diungkapkan
dalam bentuk berikut ini:
a. Diungkapkan dengan menyebut jumlah atau suatu bilangan dalam satu kalimat;
b. Menyebutkan jenis, golongan atau nama sesuatu atau nama seseorang;
c. Suatu lafal yang diberi batasan dengan sifat atau idofat;
Dari ketiga ciri atau karakteristik di atas, dapat dipahami bahwa lafal al khas menunjukkan
makna tertentu dan spesifik yang cakupannya terbatas. Pada satu objek atau satu satuan yang
menggambarkan jumlah, jenis dan macam dari sesuatu. Jika di dalam nash ditemukan lafal-lafal
seperti karakteristik di atas, maka digolongkan pada al khas.
3. Macam-macam Lafal Khas.
Lafal khas terbagi kepada empat macam, seperti yang diungkapkan oleh Abdul Wahab
Khallaf, sebagai berikut:
a. Lafal berbentuk mutlak.
Suatu lafal khusus yang mutlak tanpa batasan, yaitu lafal yang menunjukkan satuan yang
menurut lafalnya tidak dibatasi apapun. Misalnya ancaman hukuman cambuk 80 kali bagi
orang yang menuduh berzina pada surat an Nur ayat 4.

“… maka cambuklah mereka (yang menuduh itu) 80 kali cambukan…”


b. Lafal berbentuk muqayyad.
Merupakan lafal yang menunjukkan satuan yang berdasarkan makna lafalnya terbatas pada
satuan tertentu, seperti kata siswa madrasah. Kata siswa dibatas dengan madrasah.
Contoh pada al Quran seperti penunaian wasiat pada surat an Nisa ayat 11 dilakukan setelah
pelunasan hutang. Wasiat pada ayat itu adalah lafal mutlak yang kemudian dibatasi oleh
hadis Rasulullah bahwa wasiat itu bukan untuk ahli waris dan maksimal 1/3 dari harta waris.
c. Lafal berbentuk amr.
Sebuah lafal khusus yang dipakai dalam bentuk perintah atau bentuk berita yang
mengandung perintah, maka ia menghendaki suatu kewajiban. Seperti perintah pada al
Maidah ayat 33 tentang memotong tangan bagi pencuri laki-laki dan pencuri perempuan.
Perintah ini bersifat wajib dan memiliki kesan segera dilaksanakan.
d. Lafal berbentuk nahi.
Sifat pada lafal ini ialah kebalikan dari lafal dalam bentuk amr di atas, yaitu apabila terdapat
suatu lafal larangan atau bentuk berita yang memiliki esensi larangan, maka sifat larangan
itu adalah terlarang (haram). Seperti larangan menikahi wanita musyrik pada surat al
Baqarah ayat 221:

“Jangan kamu menikahi wanita musyrik hingga mereka beriman…”

42
4. Dalalah Lafal Khas dan Contoh Lafal Khas.
Dalalah khas memberi makna hukum kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus
yang dimaksud di dalamnya. Hukum yang ditunjukkannya juga adalah qath’i bukan dzanniy,
selama tidak ada dalil yang merubah maksud hukumnya kepada makna yang lain. Misalnya,
firman Allah:

“Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu, maka wajib berpuasa
tiga hari dalam masa haji.” (QS. al Baqarah:196)
Lafal tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas. Sebab tidak mungkin bisa diartikan
kurang atau lebih dari makna yang disebutkan lafal itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah
qath’i dan dalalah hukumnya pun qath’i. Namun jika ada qarinah (petunjuk atau alasan), maka
lafal khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadis Nabi yang
berbunyi:
َ َ َ ْ َ ْ َ ِّ ُ ْ
‫ي شاة شاة‬ ‫ِ ِف كل أرب ِع‬
“Pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing”.
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya
adalah lafal khas. Karena kedua lafal tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari
makna yang ditunjuk oleh lafal itu sendiri. Dengan demikian, dalalah lafal tersebut adalah qath’i.
Sementara ulama Hanafiyah berpendapat agar berbeda. Menurut mereka dalam hadis tersebut
terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat diantaranya
untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan
seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan nilai atau harga per ekor kambing yang
dizakatkan.

E. Kaidah Lafal al Mujmal.


1. Pengertian Mujmal.
Secara etimologi kata mujmal berarti sesuatu yang diragukan atau kalimat yang samar.
Secara istilah, para ahli ushul fikih mendefinisikan pengertian mujmal dalam berbagai pendapat.
Imam Sarakhasi mendefinisikan mujmal sebagai berikut :
“Mujmal adalah suatu lafal yang tidak dapat dipahami maksudnya kecuali ada penjelasan
dari yang mengeluarkan lafal mujmal itu dan melalui penjelasannya diketahui maksud lafal
tersebut.”
Moh. Riva’i dalam bukunya menuliskan definisi dari mujmal adalah suatu lafal yang belum jelas,
yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya apabila tidak ada keterangan lain yang
menjelaskannya.
Dari beberapa definisi mujmal di atas dipahami bahwa mujmal merupakan suatu lafal yang
sulit dipahami kecuali ada penjelasan langsung dari yang menyampaikan lafal tersebut. Kesulitan
memahami lafal ini bukan berasal dari luarnya, tetapi dari lafal itu sendiri. Untuk dapat
memahami lafal mujmal sangat bergantung pada penjelasan mutakallim atau syari’ yang
menyampaikan lafal tersebut.

43
2. Sebab-sebab Ijmal dan Contohnya.
a. Lafal yang mempunyai makna musytarak tanpa diiringi oleh indikator penjelas (qarinah)
sehingga sulit untuk mengetahui makna yang bisa dipahami dari kalimat tersebut. Misalnya,
lafal ‫ قروء‬dalam firman Allah surat al Baqarah ayat 228 yang berbunyi :

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.

Lafal ‫ قروء‬ini secara bahasa berarti suci dan haid. Imam Syafi’i berpendapat bahwa lafal ‫قروء‬
berarti suci, sedangkan imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ‫ قروء‬berarti haid.
b. Suatu lafal yang secara bahasa memiliki makna aneh atau ganjil, seperti kata (‫ )هلوع‬pada
firman Allah surat al Ma’arij ayat 19 sampai 21 yang berbunyi:

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”.
Kata (‫ )هلوع‬dalam ayat ini sulit dipahami sampai Allah menjelaskan pada ayat 20 dan 21
ُْ َ ُ
pada surat yang sama yaitu ‫( جزوعا‬suka mengeluh) dan ‫( َمن ْوعا‬bersifat kikir).
c. Pemindahan lafal dari makna kebahasaan menuju makna secara istilah atau menurut syara’,
seperti lafal salat, zakat, puasa, dan haji. Sehubungan dengan ini, sunah datang menjelaskan
makna secara syara’ dari lafal-lafal ini. Apabila tidak ada penjelasan syari’ tentang makna
lafal-lafal ini, maka tidak mungkin mengetahui makna lafal tersebut secara syara’
sebagaimana yang diinginkan oleh syari’.
3. Bentuk Lafal Mujmal.
Lafal yang mujmal mempunyai dua bentuk:
a. Bentuk al ifrad yang terdiri dari satu lafal. Bentuk al ifrad itu dapat terjadi karena:
1) Satu lafal mempunyai beberapa arti (musytarak) seperti lafadz ‫ قروء‬dapat berarti haid dan
dapat pula berarti suci
2) Pengambilan kata-kata (etimologis) seperti qaala dapat berarti perkataan kalau diambil
dari kata qaulun dan dapat berarti tidur siang kalau diambil dari kata-kata qailulah.
3) Lafal yang digunakan untuk menunjukkan istilah syara’ tertentu seperti lafal salat, zakat,
puasa, dan sebagainya.
Bentuk al ifrad itu dapat pula berupa :
1) Isim seperti lafal laun dapat berarti hitam atau putih, lafal nashil dapat berarti dahaga atau
segar.
2) Fiil seperti lafal ‘as’asa dapat berarti menghadap atau membelakangi.
3) Hukum seperi huruf ‫ و‬dapat berfungsi sebagai athaf (kata hubung) atau isti’naf
(permulaan kata) atau berfungsi sebagai hal. Huruf ilaa dapat menunjukkan ghaya
(batas/sampai) dapat berarti ma’a (beserta).
b. Bentuk at tarkib yakni susunan kalimat dari beberapa lafal yang merupakan rangkaian satu
kalimat yang tak dapat dipisah-pisahkan, seperti firman Allah surah al Baqarah ayat 237 yang
berbunyi:

44
“Atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah”
Di dalam ayat di atas masih berbentuk ijmal karena kalimat “orang yang memegang ikatan
nikah”, itu dapat berarti suami dan dapat pula berarti wali nikah. Untuk menentukan siapa di
antara keduanya yang dimaafkan itu perlu bayan, yaitu sebagaimana yang diterangkan
selanjutnya dalam ayat 237 surah al Baqarah tersebut.
4. Hukum-Hukum Mujmal.
Terhadap lafal yang mujmal perlu tawaqquf untuk mengetahui maksudnya. Lafal ini tidak
dapat diamalkan sampai datang penjelasan dari syari’ tentang maksudnya. Apabila penjelasan
dari syari’ terhadap lafal mujmal cukup jelas, maka lafal mujmal berubah menjadi lafal mufassar
sehingga hukum yang dikandungnya harus diambil, seperti penjelasan syari’ tentang lafal salat,
zakat dan haji.
Apabila penjelasan lafal mujmal oleh syari’ tidak begitu jelas, maka lafal mujmal berada
pada posisi lafal yang sulit menentukan secara pasti maknanya (musykil) dan hukumnya tetap
diambil. Dalam hal ini, mujtahid berupaya kuat untuk menghilangkan kemusykilan yang terdapat
dalam lafal tersebut dengan tidak bergantung pada penjelasan baru dari syari’. Misalnya lafal
riba pada firman Allah surah al Baqarah ayat 275 yang berbunyi :

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.


Menurut Abu Hanifah lafal riba yang terdapat dalam ayat ini terbuka untuk makna yang
mujmal. Karena riba secara bahasa berarti tambahan. Sebagaimana yang diketahui juga bahwa
tidak semua tambahan dalam keuntungan muamalah termasuk riba. Serta jual beli yang diatur
sesuai syariat Islam juga bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan tambahan.
Namun, yang dilarang dalam Islam adalah memperoleh tambahan dalam sebuah transaksi
tanpa ada pengganti yang disyariatkan ketika transaksi berlangsung. Untuk menentukan suatu
transaksi termasuk riba atau tidak perlu didukung oleh penjelasan syari’. Dalam hal ini Nabi
Shallallahu‘alaihi wa Sallam hanya menjelaskan: “enam jenis barang yang termasuk riba, yaitu
emas, perak, gandum, jelai, korma, dan garam”. (Hr. Bukhari).
Untuk itu, para ulama boleh melakukan ijtihad menentukan jenis barang lain yang termasuk
riba dengan mengqiyaskan kepada enam jenis barang yang disebutkan dalam hadis ini.

F. Kaidah Lafal al Mubayan.


1. Pengertian Mubayan.
Secara bahasa kata mubayyan seakar dengan kata bayan yang berarti jelas, terang atau
dipahami. Kata bayan dapat pula berarti mengeluarkan lafal mujmal dari keadaan yang sulit
dipahami agar jelas dan mudah untuk dipahami.
Istilah mubayan adalah lawan dari mujmal. Secara istilah, para ahli ushul fikih mengartikan
mubayyan sebagai berikut :
“Mubayan adalah suatu lafal yang dilalahnya telah jelas dengan memperhatikan maknanya”.
(Firdaus, 2008: 165)
Suatu dalil mubayan bisa berasal dari Allah (al Quran) atau juga berasal dari Rasulullah
(hadis). Sebab dengan keduanya menjadi penentu bagi umat dalam memahami maksud dari dalil

45
yang masih samar atau mujmal. Ini sudah ditegaskan sendiri oleh Allah, misalnya dalam surat an
Nahl ayat 64:

“Kami tidak menurunkan Kitab (al Qur’an) ini kepadamu (Nabi Muhammad), kecuali agar
engkau menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan serta menjadi petunjuk
dan rahmat bagi kaum yang beriman.”
2. Pembagian Mubayyan.
Dilihat dari segi kejelasan maknanya, mubayyan terbagi menjadi dua bentuk.
a. Al wadih bi nafsihi, yaitu lafal yang telah jelas maknanya dari awal penggunaan lafal
bahasanya sehingga tidak membutuhkan penjelasan dari lafal lain. Kejelasan lafal ini
diketahui melalui pendekatan bahasa, seperti firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 282
yang berbunyi:

“Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”


Makna yang dikandung dalam ayat ini dapat dipahami dengan mudah dengan melihat
penggunaan bahasanya.
Selain itu, kejelasan lafal dapat diketahui dengan menggunakan akal, seperti firman
Allah dalam surat Yusuf ayat 82 yang berbunyi :

“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ”, dan kafilah yang kami
datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar.”
Apabila diperhatikan secara bahasa, ayat ini memerintahkan untuk bertanya kepada
kampung. Hal ini tentu tidak logis. Oleh sebab itu, akal dapat memahami bahwa yang
diperintahkan sebenarnya bertanya kepada penduduk yang tinggal di kampung tersebut.
b. Al wadih bi ghairihi, yaitu untuk mengetahui maknanya perlu dibantu oleh lafal lain.
Misalnya, firman Allah pada surat al An’am ayat 141 yang berbunyi :
َ َ َ ْ َ ُ َّ َ ُ َ َ َ ْ َ َ َ ُُ
‫كلوا ِمن ث َم ِر ِه ِإذا أثمر وآتوا حقه يوم حص ِاد ِه‬
“Kalian makanlah buahnya apabila ia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya).”
Kata hak yang terdapat dalam ayat ini mengandung makna sesuatu yang memiliki sifat,
maka penjelasannya dapat berupa kadar atau ukuran.
3. Klasifikasi Bayan.
Klasifikasi mubayyan berdasarkan sumber yang menjelaskannya :
a. Mubayyan muttashil, merupakan suatu lafal mujmal yang disertai penjelasan dalam satu
nash. Misalnya dalam surat an Nisa’ ayat 176, lafal ‘kalalah’ adalah mujmal. Kemujmalan
lafal ‘kalalah’ kemudian dijelaskan dalam satu ayat tersebut:

46
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keudanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan
oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki
dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat.
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Kalalah adalah orang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang
diambil oleh Umar bin Khattab, yang menyatakan, “Kalalah adalah orang yang tidak
mempunyai anak.”
b. Mubayyan munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai penjelasan dari sumber atau nash
yang berbeda atau penjelasan tersebut terpisah dari dalil mujmal. Pada keadaan ini bisa
terjadi secara:
1) Bayan suatu ayat dari ayat al Qur’an yang lain, misalnya dalam surat Ali Imran ayat 7:

“…Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah, dan orang yang
mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih,
semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”
Kalimat “Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya” adalah mujmal karena
ambigutias huruf ‫و‬, yaitu kata ‘dan’. Bisa bermakna kata penghubung (‘athaf) atau Kata
depan permulaan kalimat baru (isti’naf). Jika kata ‘dan’ dianggap sebagai kata
penghubung, maka makna kalimat tersebut berarti ‘hanya Allah dan orang-orang yang
mendalam ilmunya yang mengetahui takwilnya.’ Akan tetapi, apabila kata ‘dan’
dianggap sebagai permulaan kalimat baru, maka maknanya adalah ‘hanya Allah yang
mengetahui takwilnya’ semntara orang-orang yang mendalam ilmunya (yang memang
tidak tahu takwilnya) berkata, ‘kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih’. Oleh
karena itu, hal ini memerlukan penjelasan. Maka Penjelasannya tidak terdapat dalam satu
nash, diantaranya firman Allah pada surat an Nahl ayat 89:

“Kami turunkan kepadamu al Kitab (al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.”
Ayat ini menunjukkan al Qur’an diturunkan sebagai penjelasan segala sesuatu kepada
manusia, termasuk ayat-ayat yang mutasyabih. Jadi berdasarkan petunjuk (qarinah) dari
ayat ini huruf ‘dan’ pada surat Ali Imran ayat 7 adalah sebagai kata penghubung sehingga

47
konotasinya adalah “yang mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyabih hanyalah Allah dan
orang-orang yang mendalam ilmunya.”
2) Bayan dari Sunnah (hadis), contohnya pada surat al Anfal ayat 60:

“Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi“
Kata ‘kekuatan’ pada ayat di atas masih mujmal, yang penjelasannya ada datang dari
sunnah, yaitu hadis riwayat Muslim dari Uqbah bin Amir :
ُ َ ُّ َ ُ ُ َ َ ْ ْ َ َ َ ُ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َّ َّ َ َّ َ ُ َ ُ ْ َ
‫ول َوأ ِعدوا له ْم َما‬‫اَّلل صَل اَّلل علي ِه وسلم وهو عَل ال ِمن ر ِب يق‬ ِ ‫س ِمعت رسول‬
َ ُ ْ َ
َّ ‫م أ َال إ َّن الق َّوة‬ َ ُ َ
َّ ‫اس َت َط ْع ُت ْم م ْن ُق َّوة أ َال إ َّن الق َّوة‬
ْ
}‫{ رواه مسلم‬.‫م‬ ُ ْ ‫الر‬ ُ ْ ‫الر‬ ِ
ْ
‫ي‬ ِ ‫ي‬ ِ ٍ
“Saya mendengar Rasulullah bersabda, (sementara itu beliau masih berada di atas
mimbar) ‘Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi, ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah panah. Ingatlah, sesungguhnya
kekuatan itu adalah panah.”
4. Lafal Mubayyan terhadap Lafal yang Mujmal.
Dalam hal ini dapat dibedakan pada macam-macam jenis mubayan, yaitu:
a. Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul), contohnya pada surat al Baqarah ayat 196:
َ َ َ َ َ َ ْ ‫َ ِّ َ َ ْ َ َ َ َ ْ ُ ْ قَل‬ َ ََٰ َ ْ َّ َ
‫ْسة ك ِاملة‬‫ف َم ْن ل ْم َي ِجد ف ِص َي ُام ثلث ِة ا َّي ٍام ِف الحج وسبع ٍة ِإذارجعتم ِتلك ع‬
“Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang
kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”
Ayat tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya
mengenai kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang yang tidak
menemukan binatang sembelihan atau tidak mampu.
b. Penjelasan dengan perbuatan (bayan fi’li). Contohnya Rasulullah memperagakan perbuatan-
perbuatan yang menjelaskan tentang cara dan urutan berwudu. Memulai dengan yang kanan,
menunjukkan batas-batas yang dibasuh, Rasulullah juga mempraktekkan cara-cara haji, dan
sebagainya.
c. Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus. Seperti firman Allah dalam surat al
Baqarah ayat 43:
َ ٰ َّ َ
٠٠٠‫واالصلوة‬ ‫َوأ ِق ْي ُم‬
“…dan dirikanlah salat…”
Perintah mendirikan salat tersebut masih kalimat global (mujmal) yang masih butuh
penjelasan bagaimana tata cara salat yang dimaksud, disaat menjelaskannya Rasulullah naik
ke atas gundukan tanah kemudian melakukan salat hingga sempurna, lalu bersabda :
َ ُ ُ َ َ ِ َ ُ ُ َ َ ُّ
(َ‫البخ ِاري‬ َ ‫ل )رو‬
‫اه‬ َ ‫َصلوا ك َما َرأ ْيت ُم ِ ي‬
َ ‫ون أص ي‬
“Salatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat” (Hr. Bukhari).
d. Penjelasan dengan tulisan.
Penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah dengan cara menulis surat
(Rasulullah mendiktekannya kemudian ditulis oleh para sahabat) dan dikirimkan kepada
petugas zakat beliau di luar Madinah.
e. Penjelasan dengan isyarat.
Contohnya seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan, yang dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat
48
kesepuluh jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua
puluh sembilan hari.
f. Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan.
Contohnya seperti qunut pada salat. Qunut pernah dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu
yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan kemudian beliau tidak melakukannya lagi.
g. Penjelasan dengan diam (taqrir).
Yaitu ketika Rasulullah melihat suatu kejadian atau Rasulullah mendengar suatu penuturan
kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak mengomentari atau memberi isyarat
melarang) yang dipahami para sahabat dan ulama sebagai isyarat dibolehkan oleh Rasulullah.
Terhadap pertanyaan yang disampaikan kepada Rasulullah dan beliau diam tidak menjawab,
itu artinya Rasulullah masih menunggu turunnya wahyu untuk menjawabnya.
h. Penjelasan dengan semua pen-takhsis (yang mengkhususkan).

G. Kaidah Lafal Mufassar (sudah ditafsirkan).


1. Pengertian Mufassar.
Mufassar adalah lafal yang menunjukkan kepada makna yang terperinci dan tidak ada
kemungkinan ta’wil yang lain baginya. Apabila datang penjelasan (bayan) dari syar’i terhadap
lafal yang mujmal itu dengan bayan yang sempurna lagi tuntas, maka lafal yang mujmal tadi
menjadi mufassar (ditafsirkan), seperti bayan yang datang secara rinci terhadap lafal salat, zakat,
haji dan lainnya. Jumantoro dan Samsul (2005) mengutip pendapat Abdul Wahab Khalaf tentang
pengertian mufasar yaitu suatu lafal yang dengan kejelasannya sendiri menunjukkan kepada
makna yang terperinci sehingga dengan rincian itu menutup peluang munculnya makna yang lain
atas lafal tersebut.
Dengan penjelasan di atas, bisa dipahami bahwa yang disebut dengan lafal mufasar itu ialah
suatu lafal yang:
a. Maksud yang diungkap lafal atau sighat terhadap maknanya sangat jelas.
b. Penunjukkan makna diungkap oleh lafal itu sendiri dan tidak memerlukan penjelasan dari
lafal lain untuk menjelaskannya.
c. Lafal yang sudah jelas tersebut menutup jalan penjelasan atau bahkan takwil dari lafal lain.
(Jumatoro dan Samsul: 2005)
2. Macam-Macam Mufassar.
a. Mufassar oleh zatnya sendiri (mufasar lidzatihi).
Yaitu lafal yang sighat (bentuk)nya sendiri telah menunjukkan dalalah (petunjuk) yang
jelas kepada makna yang terinci dan pada lafal itu terkandung sesuatu yang meniadakan
kemungkinan penakwilan terhadap makna yang lainnya. Contohnya pada surat an Nur ayat 4:

“Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera.”
Kata “delapan puluh” adalah lafal mufassar dimana bilangan tertentu itu tidak mengandung
kemungkinan lebih atau kurang dan tidak memerlukan penjelasan dari manapun.
b. Mufassar oleh lafal lainnya (mufasar bighairihi).
Yaitu lafal yang bentuknya global, tidak rinci sehingga kemudian mendapat penjelasan
dari nash yang lain secara pasti dan terurai. Akibat dari adanya penjelasan dari lafal lain,
sehingga tidak mengandung kemungkinan ta’wil lagi untuk makna yang lainnya. Misalnya
tentang lafal salat, zakat, siyam, haji. Kata-kata tersebut masih global (mujmal), kemudian

49
Rasulullah menjelaskan lafal-lafal tersebut dengan perbuatan dan perkataan sehingga kita
memahami artinya seperti yang sudah kita pahami bersama pengertian dan tata caranya.
c. Hukum lafal mufassar.
Bila terdapat lafal mufassar, maka ketentuan di dalamnya wajib diamalkan sesuai
dengan dalalah yang ditunjuk oleh lafal itu sendiri atau sesuai dengan penjelasan
secara syar’i, selama tidak terdapat keterangan bahwa lafal tersebut merupakan dalil
yang telah dinasakhkan. Dalam lafal mufassar ia bersifat mandiri. Artinya hanya makna
secara syariat itu sendiri yang berhak menafsirkan maksud dilalah didalam lafal tersebut.
Maka segala penafsiran para mujtahid terhadap lafal yang mufassar tidak dapat dipakai di
dalamnya, ia hanya menegaskan atau menjelaskan saja. (Yahya dan Fatchur Rahman: 1997).

H. Kaidah Lafal al Muradif.


1. Pengertian Muradif dan Contohnya.
Muradif ialah beberapa lafal yang menunjukkan satu arti. Ada beberapa lafal yang
digunakan, sementara arti atau maknanya satu saja. Dalam bahasa Indonesia kita mengenal
dengan sebutan sinonim. Contohnya seperti kata-kata berikut:
ُ ََ ُ َّ
a. ‫ االسد‬, ‫الل ْيث‬ :singa
ّ َ
b. ‫ المؤدب‬,‫ المعلم‬,‫المدرس‬ ,‫االستاذ‬ : pendidik (guru)
ّ
c. ‫ القط‬,‫الهر‬ : kucing
2. Hukum Muradif.
Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua muradif pada tempat yang lain
diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syara’. Kaidah para jumhur ulama sebagai
berikut:
‫ش ي‬ َ َ ََْ ْ َُ َْ َ ُْ ُ َ َ ْ َ َ َ َْ َُ ْ َ ُ ُ َْ
َ‫ع‬ِ‫م علي َِه ط ِالعَ ْ ي‬
َ ‫م يق‬
َ ‫ان اآلخ َِر يجو َز ِإذا ل‬
َ ‫ي مك‬
َ ِ ‫ن المر ِادف‬
َ ‫اع كلَ ِم‬
َ ‫ِإيق‬
“Mendudukkan dua muradif itu pada tempat yang sama itu diperbolehkan jika tidak
ditetapkan oleh syara’.”
Maksud kaidah di atas menurut para ulama adalah bolehnya memakai salah satu dari dua
lafal yang berbeda pada tempat berbeda sekaligus. Artinya mempertukarkan dua lafal muradif
satu dengan yang lainnya dibolehkan dengan alasan yang dibenarkan syara. Tetapi tidak
demikian dengan lafal al Quran. Sebab al Quran semenjak awal diturunkan hingga datangnya
hari kiamat tetap terjaga. Semenjak awal diturunkan dan tidak ada ralat atau revisi, tidak perlu
dikritisi ataupun pengurangan kosakata dan ayat di dalamnya begitu sempurna. Dia-lah Allah
yang akan menjaga keutuhannya sepanjang masa. Allah yang telah menurunkannya juga kepada
Nabi-Nya Muhammad Shalallahu’alaihi wa Sallam melalui delegasi terpercaya-Nya Malaikat
Jibril Alaihissalam. Dengan jaminan keaslian ini, maka tidak ada wewenang siapapun
diperbolehkan mengubahnya.
Tetapi dalam lafal tertentu yang digunakan pada ibadah seperti takbir salat, Malikiyah
menyatakan bahwa mengganti takbir dalam salat tidak diperbolehkan kecuali kalimat ’Allah
Akbar’, sementara imam Syafi’i hanya memperbolehkan ’Allahu Akbar’ atau ’Allahul Akbar’.
Imam Abu Hanifah memperbolekan semua lafal yang semisal dengannya, seperti penggunaan
kalimat ’Allahu Akbar,’ ‘Allah al Azim’, ’Allah al Ajal’ dan lafal selainnya.
3. Contoh Muradif.
Wahyudi (2021) di dalam artikelnya mengutip penjelasan as Suyuthi dari kitab al Itqan fi
Ulum al Quran, ada beberapa contoh lafal muradif dalam al Quran. Diantaranya:
a. Lafal al khauf dan al khasya.
50
“Orang-orang yang menghubungkan apa yang Allah perintahkan untuk disambungkan
(seperti silaturahmi), takut kepada Tuhannya, dan takut (pula) pada hisab yang buruk.”
(QS. ar Ra’du: 21)
ْ
Lafal ‫ يخافو‬dan ‫ يخشو‬bermakna sama yaitu ketakutan. Tetapi makna ‫ يخافو‬merupakan
suatu rasa takut akibat kelemahan dan ketakutan alami terhadap sesuatu yang sebenarnya
ْ
juga tidak pantas ditakuti karena lemah. Sementara lafal ‫ يخشو‬ialah ketakutan yang muncul
dari rasa pengagungan yang tinggi. Takut karena sesuatu yang luar biasanya keagungan dan
ْ
mulianya. Karenanya mengucapkan lafal ‫ يخافو‬untuk maksud pada makna ‫ يخشو‬dan juga
sebaliknya.
b. Asy syukhu, al bukhlu dan ad dhannu.
Ketiga lafal ini memiliki kesamaan arti yaitu kikir. Tetapi para ahli bahasa menyatakan
َ
bahwa makna ketiganya berbeda. َ‫ الشح‬merupakan sifat kikir yang bersamaan dengan sifat
ْ ْ
َُ ‫ ال ُبخ‬merupakan kepelitan yang melekat pada pemberian kepada pihak lain.
tamak. ‫ل‬
Sementara ‫ الضن‬merupakan kekikiran yang berkaitan dengan transaksi perdagangan atau
perkara untung dan rugi. Seperti tergambar pada ayat 24 surat at Takwir berikut:

“Dia (Nabi Muhammad) bukanlah seorang yang kikir (enggan) untuk menerangkan yang
gaib.”
c. Lafal as sabil dan ath thariq.
Keduanya berarti jalan. Tetapi makna dan kegunaan keduanya berbeda. As sabil
dimaksudkan untuk sebuah berita dan jalan yang disitu terbuka kemudahan bagi yang
mengambilnya. Sementara ath tariq bukan untuk mengabarkan sesuatu, tetapi makna ini
selalu diidhafahkan dan mengandung jalan yang memiliki sifat tertentu. Seperti diisyaratkan
pada ayat 30 surat al Ahqaf:

“Mereka berkata, “Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan Kitab (al
Qur’an) yang diturunkan setelah Musa sebagai pembenar (kitab-kitab) yang datang
sebelumnya yang menunjukkan pada kebenaran dan yang (membimbing) ke jalan yang
lurus.”
d. Kata ja’a dan ataa.
Arti keduanya sama, yaitu datang. Tetapi penggunaan menghendaki maksud yang
berbeda. Lafal ja’a bermakna kedatangan seseorang untuk maksud secara alami yaitu
duniawi. Tetapi lafal ataa memiliki kandungan secara maknawi dan waktu kedatangannya
beserta kemudahannya. Ini diantaranya dapat dilihat pada surat Yunus ayat 24.
e. As sanah dan al ‘am.
Makna keduanya dipakai untuk menerangkan suatu masa seperti tahun dan keadaannya.
Namun as sanah bermakna tahun yang disaat itu terjadi kekeringan dan paceklik. Seperti

51
terlihat pada surat al Ankabut ayat 14. Al ‘am adalah untuk menggambarkan tahun yang
menggambarkan kesuburan dan kemudahan.

I. Kaidah Lafal al Musytarak.


1. Pengertian Lafal al Musytarak.
Lafal musytarak menurut H. Kamaluddin Abunawas (2012), merupakan bentuk kata dari
isim maf’ul dengan makna berbaur atau bercampur. Ia berasal dari kata syarika yang berarti
setiap pihak mempunyai bagian darinya sehingga setiap pihak adalah pasangan bagi yang lain (as
Suyuthi menegaskan dalam lafal bahasa Arab bahkan satu kata bisa memiliki 20 makna).
Musytarak adalah lafal yang mempunyai dua arti atau lebih dengan kegunaan yang banyak
yang dapat menunjukkan artinya secara gantian. Artinya lafal itu bisa menunjukkan arti ini dan
itu. Seperti lafal a’in, menurut bahasa bisa berarti mata, sumber mata air, dan mata-mata. Lafal
quru’ menurut bahasa bisa berarti suci atau haid. (Halimuddin: 2005: 221).
َ yang berarti
Kata musytarak adalah bentuk masdar yang berasal dari kata kerja ‫اشبك‬
“bersekutu” seperti dalam ungkapan ‫ اشترك القوم‬yang berarti “kaum itu bersekutu”. Dari
pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama ushul merumuskan pengertian musytarak menurut
istilah. Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama ushul adalah antara lain:
“Satu lafal (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan
yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”
2. Sebab-sebab Terjadinya Lafal Musytarak.
Sebab-sebab terjadinya lafal musytarak dalam bahasa Arab sangat banyak sekali. Abdul
Wahab Khalaf merumuskan sebab-sebab yang paling memengaruhi antara lain sebagai berikut:
a. Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah Arab dalam menggunakan satu kata terhadap
penunjukkan satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata ‫يد‬. Dalam satu kabilah,
kata ini digunakan menunjukkan arti “hasta secara sempurna”. Sedangkan kabilah yang lain
untuk menunjukkan khusus “telapak tangan”.
b. Terjadinya makna yang berkisar/keragu-raguaan )‫ )تردد‬antara makna hakiki dan majaz.
c. Terjadinya makna yang berkisar/keragu-raguaan )‫ )تردد‬antara makna hakiki dan makna
istilah urf. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa ke arti istilah, seperti
kata yang digunakan dalam istilah syara’. Seperti lafal ‫ الصَلة‬yang dalam arti bahasa
bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu
yang telah kita maklumi.
d. Adanya pergeseran bahasa dalam suatu masyarakat karena pelafalan yang berubah sehingga
akhirnya juga menimbulkan lafal yang musytarak, seperti pada lafal ‘farwah’ yang diartikan
orang kaya atau kulit kepala yang selanjutnya diucapkan menjadi ‘tarwah’.
e. Masuknya bahasa lain dari luar bahasa Arab karena dianggap memiliki kesamaan dalam
lafalnya. Seperti kata ‘kalb’ yang dianggap sama dengan ‘khalb’ padahal mempunyai dalalah
yang berbeda.
3. Ketentuan Hukum Lafal Musytarak.
Apabila dalam nash-nash al Qur’an dan as sunah terdapat lafal yang musytarak, maka
menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul akan memunculkan keadaan
sebagai berikut:

52
a. Apabila lafal tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa
dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada indikasi yang
menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.
b. Apabila lafal tersebut mengandung indikasi terjadinya banyak arti, maka diprioritaskan
menetetapkan salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang terkuat dan menunjukkan
salah satu arti tersebut.
c. Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafal-lafal tersebut, menurut
golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah
satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah cukup dengan pertimbangan ulama
untuk menggunakan salah satu artinya.

4. Macam-Macam Musytarak.
Musytarak muncul karena perbedaan dalam memaknakan suatu kata. Dalam kaidah bahasa
Arab, ada macam-macam makna dari lafal musytarak, yaitu:
a. Musytarak lafdzi ialah sebuah lafal yang memiliki kesamaan dalam tulisan dan pengucapan.
Tetapi lafal itu memang memiliki makna yang beragam. Seperti dalam kosa kata bahasa
Indonesia ada kata ‘rapat’, bisa bermakna pertemuan untuk membicarakan sesuatu atau
posisi dua hal yang bergandengan.
b. Musytarak makna yaitu suatu lafal yang memang tulisan dan pengucapan berbeda, tetapi
lafal ini memiliki arti yang sama. Contohnya kata ‘wanita’ dan ‘perempuan’.
5. Contoh-Contoh Lafal Musytarak.
Dalam al Qur’an banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman Allah dalam
surat al Baqarah ayat 222 yaitu:

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran".
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haid; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Lafal ‫ المحيض‬dapat berarti masa atau waktu haid (zaman) dan bisa pula diartikan sebagai
tempat keluarnya darah haid (makan). Namun dalam ayat tersebut mayoritas ulama mengambil
arti sebagai tempat keluarnya darah haid. Hal ini karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa
orang-orang Arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-istrinya dalam waktu
haid. Sehingga yang dimaksud lafal ‫ المحيض‬di atas adalah bukanlah waktu haid akan tetapi
larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya darah haid (qubul).

J. Kaidah Lafal al Mutlak dan Lafal al Muqayyad.


1. Definisi Lafal Mutlak.
Mutlak adalah lafal yang telah menunjuk pada makna atau pengertian tertentu tanpa
dibatasi oleh lafal lainnya. Wahbah az Zuhaili menjelaskan secara istilah lafal mutlak adalah lafal
yang menunjukkan pada hakikat lafal tersebut apa adanya tanpa memandang jumlah atau pun
53
sifatnya. Misalnya kata ‘meja, rumah, biru atau jalan.’ Kata-kata ini memiliki makna mutlak
karena:
a. Secara makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tersebut yang telah
kita pahami tanpa kata yang lain untuk menjelaskanya; dan
b. Kata-kata tersebut tidak dibatasi oleh kata-kata lain.
َ
Di dalam al Qur’an para ulama mencontohkan kata ‫ َرق َب ٍة‬di surat al Mujadilah ayat 3 yang
َ
menerangkan bahwa kafarat dzihar adalah memerdekakan budak (‫) َرق َب ٍة‬.

Budak dalam ayat tersebut bermakna mutlak karena memiliki pengertian tertentu yang sudah
kita pahami dan tidak dibatasi pada makna yang lebih rinci. Lafal ini tidak diikat dengan sifat
tertentu seperti budak laki-laki, perempuan, budak beriman atau tidak.
2. Karateristik Lafal Mutlak.
Secara umum, ada beberapa ciri dari suatu lafal yang disebut mutlak, yaitu:
a. Lafal mutlak selalu menunjukkan satu makna. Artinya bukan lafal bilangan satu, tapi
maksud makna lafalnya ada satu pada jenis atau macam lafalnya.
b. Lafal mutlak merupakan satu lafal tertentu meski berada pada beberapa lafal yang banyak,
sehingga para ahli mengatagorikannya sebagai ‘ma'hud azzihni.’ Artinya suatu lafal yang
belum disebutkan sebelumnya tetapi maknanya dapat dipahami secara akal sebab lafal
tersebut menadakan sesuatu yang satu dan tersebar. Adapun satu lafal yang tertentu
maknanya, tidak termasuk bagian dari lafal mutlak, seperti nama orang Aisyah atau Burhan.
Demikian halnya dengan kata bantu isyarat seperti haza, hazihi yang secara garis besar
sudah jelas maknanya dan sudah ditentukan maksudnya.
c. Lafal mutlak itu bersifat ‘nakirah’ dalam bentuk kalimat penetapan. Adapun nakirah yang
nafi atau menafikan, maka ia termasuk pada katagori lafal umum.
d. Mutlak itu masih berpeluang tidak pasti (nisbi), sebab tergantung keadaannya. Ini terjadi bila
disandingkan dengan kata yang lebih umum maka ia akan menjadi mutlak sementara lafal
lain akan jadi muqayyad.
e. Lafal mutlak merupakan lafal umum dengan cakupan semua individu dan sifatnya, kecuali
jika katagori umumnya adalah umum badal (ganti).
f. Lafal mutlak hanya khusus pada lafal isim saja (kata benda), bukan pada kata kerja atau
huruf. (Dersmono: 2017)
3. Lafal Muqayyad.
Muqayyad adalah lafal yang menunjuk pada makna tertentu dengan batasan kata tertentu.
Misalnya ungkapan meja menjadi “meja hijau”, rumah menjadi “rumah sakit”, jalan menjadi
“jalan raya”. Kata-kata rumah, jalan dan meja ini sudah menjadi muqayyad karena:
a. Menunjuk pada pengertian/makna tertentu; dan
b. Dikaitkan atau diikatkan dengan kata lainnya.
َ َ ْ
Contoh dalam al Qur’an misalnya kata kata ‫ َرق َب ٍة‬yang telah dibatasi dengan kata ‫ُمؤ ِمن ٍة‬
َ ْ َ
sehingga menjadi ‫ َرق َب ٍة ُمؤ ِمن ٍة‬dalam surat an Nisa’ ayat 92 tentang kafarat pembunuhan:
ُ َّ ْ َ َّ ِٓ ْ َ ٰ َّ َ ْ َ ًََ َ َ ْ ََ
‫َو َم ْن قت َل ُمؤ ِمناخطأفت ْح ِرْي ُر َرق َب ٍة ُمؤ ِمن ٍة َّو ِد َية ُم َسل َمة ِإ ِٓىل اه ِل ِه ِاآلان َّي َّصد ق ْوا‬
Budak mukmin (raqabah mu’minah) dalam ayat di atas memiliki makna muqayyad
karena:
1) Menunjuk pada makna tertentu; dan
54
2) Dibatasi dengan kata lainnya yakni budak mukmin bukan budak lainnya.
Atau contoh lain yang mudah ialah kata ‘muslim.’ Ini merupakan lafal yang mutlak
karena tidak terikat dengan identitas muslim wilayah tertentu. Kemudian ketika kita
menyebut ‘muslim Uighur’ atau ‘muslim Indonesia,’ maka lafal ini menjadi muqayyad
karena kata muslim sudah terikat dengan lafal lain dalam satu wilayah tertentu.
4. Status Hukum dari Lafal Mutlak dan Muqayyad.
Para ulama memberikan pandangan bahwa suatu lafal yang mutlak tetap dipakai sebagai
lafal mutlak kecuali ditemukan dasar lain yang membatasinya. Maka apabila terdapat suatu nash
yang bersifat mutlak, tetapi kemudian dalam nash lain ia bersifat muqayyad maka para ulama
memberikan ulasan:
a. Apabila masalah dan hukum yang terdapat dalam nash itu sama terdapat mutlak dan
muqayyad sekaligus, maka muqayyad lebih diutamakan. Contoh yang mereka kemukakan
ketika ada sahabat yang menemui Rasulullah dan menceritakan bahwa ia telah melakukan
hubungan badan dengan istrinya disiang hari Ramadhan. Pada waktu itu Rasulullah
menyuruhnya:
“Merdekakan budak sahaya, atau berpuasa dua bulan, atau beri makan enam puluh
orang fakir miskin.”
Tetapi dalam riwayat yang lain Rasulullah bertanya:
“Apakah kamu sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut?”
Pada hadis pertama Rasulullah menyuruh ‘berpuasa dua bulan,’ ini bermakna mutlak.
Sementara di hadis kedua ditanya ‘puasa dua bulan berturut-turut’ yang menjadi muqayyad.
Maka yang dijadikan sandaran adalah nash yang bersifat muqayyad.
b. Apabila terdapat kesamaan hukum diantara dua nash yang sama sebagai mutlak dan
muqayad yang terdapat sebab hukum, maka yang dipegang adalah nash muqayyad. Misalnya
Rasulullah berkata:
“Pada tiap lima unta wajib zakat.”
Terdapat juga dalam riwayat lain:
“Pada lima ekor unta yang diternak wajib zakat.”
Karenanya menurut para ulama yang dipegang adalah nash muqayyad yaitu tiap lima unta
yang diternakkan wajib zakat atasnya.
c. Apabila terjadi asal masalah berbeda tetapi mendatangkan hukum sama, kalangan ulama
Syafi’iyah menegaskan untuk berpegang pada nash muqayyad. Mereka mencontohkan pada
kasus kafarat zihar dengan pembunuhan tersalah.
Kafarat pembunuhan tersalah disebutkan dalam surat an Nisa ayat 92:

“…Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia


memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman…”
Sementara kafarah zihar:

“Orang-orang yang menzihar istrinya kemudian menarik kembali apa yang telah
mereka ucapkan wajib memerdekakan seorang budak…”

55
Pada kedua ayat di atas dapat diketahui dua persoalan yang berbeda, tetapi mendatangkan
hukum kafarat yang sama. Kafarat pembunuhan tersalah memiliki sifat muqayyad dan
kafarat zihar bersifat mutlak. Sehingga untuk kedua kasuh ini yang dipegang adalah kafarat
memerdekakan budak yang mukmin. Baik untuk kafarat pembunuhan tersalah dan kafarat
zihar.
d. Dalam ketentuan yang muncul akibat pemasalahan yang sama, tetapi mendatangkan hukum
yang berbeda, maka menurut Syafi’iyah dan Hambaliyah yang dijadikan pegangan adalah
yang muqayad.
Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah menyatakan mesti disandarkan kepada yang mukayyad
dimasing-masing persoalan. Sehingga yang mutlak harus mutlak yang muqayyad harus
muqayyad. Misalnya untuk ketentuan wudu dan tayamum:

“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…” (al Maaidah: 6)

“Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…” (al Maaidah: 6)


Dalam berwudhu basuh tangan sampai dengan siku (muqayyad) dan dalam tayamum
mengusap tangan saja tanpa batasan (mutlak). Menurut ulama Syafi’iyah yang dipegang
adalah yang muqayyad untuk wudu dan tayamum. Sementara ulama Malikiyah untuk wudu
basuh tangan sampai siku (muqayyad) dan tayamum hanya mengusap debu sampai
pergelangan saja (mutlak).
e. Jika terdapat permasalahan berbeda dan hukum yang diisyaratkan juga berbeda, maka yang
diterapkan adalah pada masing-masingnya. Yang mutlak dengan mutlaknya dan muqayyad
dengan muqayyadnya.
Contoh ketentuan kafarat untuk kasus pembunuhan tersalah dan kafarat sumpah.

“Siapa yang tidak mendapatkan (hamba sahaya) hendaklah berpuasa dua bulan
berturut-turut…”(QS. an Nisa: 92)

“Bagi siapa yang tidak memperoleh hamba sahaya, maka hendaklah dia berpuasa tiga
hari.” (QS. al Maidah: 89)
Masalah dan hukum dikedua ayat ini berbeda, maka penetapan maksudnya juga disandarkan
kepada masing masalah dan hukum tersebut. Tidak diperkenankan menerapkan satu hukum
untuk masalah yang satunya.

K. Kaidah Lafal az Zahir.


1. Pengertian Zahir dan Contohnya.
Zahir secara etimologi berarti jelas. Secara istilah, zahir merupakan suatu lafal yang
menunjukan suatu makna dengan rumusan lafal itu sendiri tanpa menunggu penjelas yang ada
diluar lafal itu, namun mempunyai kemungkinan adanya takhsis, takwil atau dinaskhkan.
Contoh yang dapat dikemukakan di sini antara lain:
‫واحل هللا البيع وحرم الربا‬
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

56
Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramya riba. Petunjuk
tersebut diambil dari lafal itu sendiri tanpa memerlukan qarinah lain untuk menjelaskannya.
Masing-masing dari lafal bai’ dan riba merupakan lafal ‘am yang memiliki peluang untuk
ditakhsis. Kedudukan lafal zahir itu wajib diamalkannya semua petunjuk lafal itu sendiri,
sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, mentakwilnya atau menasakhnya.
2. Hukum Zahir.
Tentang status hukum lafal zahir ini meski ada perselisihan apakah lafal zahir memberi
makna yakin dan qat’i, tapi para fuqaha dan ulama ushul sepakat akan kewajiban
melaksanakannya menurut lahirnya selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan lain dari lafal
itu.
Apabila penjelasan secara rinci mesti diterapkan pada setiap kata (hermeneutika), termasuk
terhadap semua lafal zahir maka akan banyak pesan-pesan utama dan penting dalam al Quran
atau hadis yang lepas dari makna sebenarnya. Misalnya untuk dalil tentang tauhid lebih banyak
disampaikan dalam lafal zahir daripada nash. Hampir tidak ada ayat dalam al Quran yang tidak
menyinggung tauhid. Demikian juga petunjuk-petunjuk al Quran sangat banyak disebutkan
dalam lafal zahir. Maka dengan hermeneutik ini justru hanya akan terjadi pengaburan makna
tauhid pendangkalan akidah dan dekonstruksi syariat Islam. Makna-makna yang qath’i akan
diragukan, hukum-hukum yang wajib diamalkan, halal dan haram akan ditolak. Contoh firman
Allah dalam surat al Baqarah ayat 275:
َ َ ْ ُ‫ه‬ َ
ِّ ‫َوأ َح َّل اَّلل ال َب ْي َع َو َح َّرم‬
﴾٢٧٥﴿ ‫الربا‬
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Zahir ayat di atas adalah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Hukum ini jelas dan
qath’i. Apabila hermeneutik diaplikasikan pada zahir ayat ini maka riba bisa menjadi halal dan
jual beli menjadi haram.

L. Kaidah Lafal at Ta’wil.


1. Pengertian Ta’wil dan Contohnya.
ّ ّ
Secara etimologi ta’wil berasal dari kata al awl (‫ أول‬- ‫ )يؤول‬artinya kembali atau dari kata
al ma’al artinya tempat kembali, al iyalah yang berarti al siyasah yang berarti mengatur. Secara
istilah ta’wil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbathkan dari ayat al Quran berdasarkan
alasan-alasan tertentu. Imam Syafi’i menyebutkan lafal ta’wil itu merupakan suatu perkataan
atau ucapan terkadang mengandung maksud lain yang tersembunyi dari zahir ucapan sehingga
perlu dijelaskan maksud tersebut. Takwil merupakan maksud atau makna lain dari suatu ucapan.
2. Syarat-Syarat Ta’wil.
Adapun syarat-syarat ta’wil itu adalah:
a. Lafal yang dita’wil harus betul-betul memenuhi kriteria dan kajiannya.
b. Ta’wil itu harus berdasarkan dalil sahih yang bisa menguatkan ta’wil.
c. Ta’wil tidak boleh bertentangan dengan nash yang qath’i karena nash tersebut bagian dari
aturan syara’ yang umum.
d. Arti dari pena’wilan nash harus lebih kuat dari arti zahir yakni dikuatkan dengan dalil.
e. Ta’wil yang diambil sesuai makna secara bahasa (Arab), makna syar’i dan makna ‘urf.
f. Ta’wil dengan qiyas, hendaknya menggunakan qiyas jali.
g. Ta’wil ditetapkan oleh mujtahid yang memenuhi kriteria penguasaan bahasa dan ilmu syariat
yang mapan.

57
Para ahli memberikan penjelasan bahwa ta’wil hanya ada pada lafal zahir sebab ia memiliki
makna yang berisi dugaan kuat (zhanni) tetapi juga masih ada kemungkinan memunculkan
makna lain meski lemah. Atas hal ini maka tidak diperkenankan meninggalkan makna zahir
karena telah jelas maknanya untuk mengambil makna lain, kecuali memang berlandaskan pada
dalil. Dalam istilah al Bannani (1982: 53) ia menyebutkan dengan sebagai lafal muawwal
menjadi lebih kuat dibandingkan makna yang ditunjukkan oleh zahir. Ta’wil tanpa disertai dalil
atau bersama dalil tapi lemah atau seimbang (tidak kuat) bukanlah ta’wil yang dibenarkan.
3. Macam-Macam Ta’wil dan Contohnya.
a. Ta'wil terhadap lafal yang mengandung penyamaan terhadap sifat Allah dan keterangan-
keterangan yang gaib.
Contoh : Kendaraan nabi saat isra' dan mi'raj.
b. Ta'wil yang berlaku dalam hukum bagi nash yang terkait hukum taklifi.
Dari hal ini tergambar bahwa objek yang menjadi bahasan ta’wil meliputi masalah-masalah
furu’ yang berkaitan dengan hukum syariat serta dalam masalah ushul (perkara aqidah seperti
sifat-sifat Allah; Melihat, Mendengar, Berkehendak dan sebagainya). Ta’wil juga bisa berkenaan
dengan huruf-huruf muqathta’ah yang biasa kita dapati dibeberapa awal surah tertentu (al
Zarkasyi: 2006 dan as Syaukani: 2000). Tentu saja ranah aqidah lebih banyak menjadi bahasan
ulama teologi (tasawuf) dan ranah furu’ menjadi bahasan ulama ushul fikih.
Wahbah az Zuhaili (1986) menyebutkan para ulama ushul merumuskan beberapa bentuk
ta’wil. Diantaranya:
a. Ta’wil dengan mengkhususkan lafal yang umum (takhshis al ‘am).
Misalnya keumuman makna masa iddah wanita yang ditalak dalam al Baqarah ayat 288:

“Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali qurū’
(suci atau haid).”
Dalam ayat ini ketentuan masa iddah bersifat umum, tidak terbatas ketentuannya untuk talak
karena sudah digauli atau belum, haid atau monopouse dan bahkan hamil.
Ayat di atas ditakhsis oleh surat al Ahzab ayat 49 yang menegaskan bahwa wanita yang
belum pernah digauli tidak ada iddah buat mereka:

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan


mukminat, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, tidak ada
masa idah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Maka, berilah mereka mutah
(pemberian) dan lepaskanlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.”
b. Ta’wil dengan membatasi lafal yang mutlak kepada lafal yang terbatas (taqyyid al mutlaq).
Contohnya ketentuan dalam surat al Maidah ayat 3:

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang
disembelih bukan atas (nama) Allah…”

58
ّ
Keharaman darah )‫ (الدم‬dalam ayat ini menurut para ulama dapat ditaqyyid oleh lafal
mengalir (‫ )مسفوحا‬dalam ayat 145 surat al An’am:

“Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati
(bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor…”
c. Ta’wil dengan peralihan makna hakiki kepada makna majazi.
Seperti yang terdapat pada ayat berikut:

“Berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka. Janganlah kamu menukar yang baik
dengan yang buruk dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu.
Sesungguhnya (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.” (QS. an
Nisa’: 2)
Ayat ini bertentangan dengan perintah pada ayat 6 yang berbunyi:

“Ujilah anak-anak yatim itu (dalam hal mengatur harta) sampai ketika mereka cukup
umur untuk menikah. Lalu, jika menurut penilaianmu mereka telah pandai (mengatur
harta), serahkanlah kepada mereka hartanya” (QS. an Nisa’: 6)
Dengan ayat 6 ini dapat dipahami bahwa makna yatim di ayat 2 bukanlah makna hakiki
(anak yang meninggal kedua orang tuanya sebelum balig), namun makna majazi yang berarti
anak yatim yang telah balig dan dewasa.
d. Makna ta’wil yang wajib menjadi sunah.
Seperti perintah kewajiban mencatat hutang dalam surat al Baqarah ayat 282:

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya.”
Perintah wajib ayat ini dialihkan menjadi terhukum sunah pada ayat setelahnya:

“Jika kamu dalam perjalanan, sedangkan kamu tidak mendapatkan seorang pencatat,
hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.” (QS. al Baqarah: 283)
Sementara as Syawkani (2000) menuliskan tiga bentuk pembagian ta’wil menurut para
ulama ushul, yaitu:
a. Ta’wil qarib, yaitu takwil yang tidak terlalu jauh pemaknaannya dari arti zahir sehingga
masih cukup mudah untuk memahami maksudnya. Misalnya perintah berwudu dalam surat
al Maidah ayat 6, dita’wil dengan pemahaman bahwa perintah wudhu dalam salat hanya
untuk mukalaf sebelum ia menunaikan salatnya, bukan setelah salat itu selesai.
b. Ta’wil ba’id, ialah pengalihan makna zahir ke makna lain yang dengan itu memerlukan dalil
yang khusus dan kuat.

59
c. Ta’wil muta’zar ialah ta’wil yang tidak didukung oleh dalil sehingga menurut para ulama
ta’wil jenis ini terlarang untuk dilakukan.

M. Kaidah Lafal al Mantuq.


1. Pengertian Mantuq serta Contohnya.
Mantuq secara bahasa diartikan dengan terucap, yang diucapkan atau perkataan. Secara
istilah menurut al Amidi mantuq adalah memahami makna ucapan dari petunjuk lafal itu secara
pasti (qat’i). Maka bisa diambil pengertian bahwa mantuq adalah lafal yang maksud dan
hukumnya memuat apa yang diucapkan atau yang tertera dalam tulisan.
Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal disaat pembicaraan tersebut,
sementara mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafal tidak dari zahir
pembicaraan, tetapi dari pemahaman lain yang terdapat dibalik ucapan tersebut. Seperti firman
Allah:
ُ َّ ُ َ َ َ
٠٠٠‫فَل تق ْل ل ُه َمآاف‬۰۰۰
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’” (QS. al
Isra’: 23).
Dalam ayat ini terdapat pemahaman pada pengertian mantuq dan mafhum. Pengertian
ُ
mantuq yaitu ucapan lafal itu sendiri (yang nyata = ‫)اف‬, merupakan larangan perkataan yang
buruk kepada kedua orang tua. Sementara makna mafhum dari ayat di atas (tidak terucap dan
tertera), seperti terlarangnya untuk memukul atau menyiksanya. Karena perkara tersebut
ُ
menyimpan makna kepada arti yang dilarang. Diambil dari segi pembicaraan yang nyata ( ‫)اف‬
dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum.
2. Macam-Macam Mantuq Beserta Contohnya.
Pada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
a. Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin dita’wil dengan makna lain, seperti
firman Allah:
َ َ ََ َ
…َ‫… ف ِص َي ُام ثل ََٰٰٰث ِةا ّي ٍام‬
“Maka wajib berpuasa tiga hari” (QS. al Baqarah: 196)
b. Zahir, yaitu suatu perkataan yang menunjukkan pada dua atau beberapa makna, namun yang
dimaksud dan menghendakinya pentawilannya kepada maknya yang lebih tinggi. Seperti
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS. ar
Rahman: 27).
Wajah dalam ayat ini diartikan dengan zat, karena mustahil bagi Tuhan mempunyai wajah
seperti manusia.
c. Muawwal, ialah perkataan yang hanya diambil pemahamannya secara majaznya. Sebab jika
dipakai makna zahir justru akan mendatangkan kerusakan dalil tersebut. Misalnya pada lafal
ayat:

“Tangan Allah di atas tangan mereka…” (QS. al Fath: 10)

60
Para ulama memaknakannya sebagai penguasaan Allah dan ada juga dengan kekuasaan dari
Allah.

N. Kaidah Lafal al Mafhum.


1. Definisi dan Pembagian Mafhum.
Secara bahasa mafhum artinya paham atau dipahami. Ia merupakan arti yang tidak
dikeluarkan dari unsur huruf yang diucap atau dituliskan. Al Amidi mengartikan mafhum
sebagai lafal yang diambil pengertiannya bukan dari yang diucap atau dituliskan.
Mafhum secara makna terbagi kepada dua macam, yaitu:
a. Mafhum muwafaqah, yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang
ditunjukkan oleh bunyi lafal. Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi dua bagian:
1) Fahwal khitab; yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang
diucapkan. Seperti memukul orang tua tidak boleh hukumnya, firman Allah yang artinya:
“jangan kamu katakan kata-kata yang keji kepada kedua orangtua”. Kata-kata yang keji
saja tidak boleh apalagi memukulnya.
2) Lahnal khitab; yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan diucapkan.
Seperti memakan (membakar) harta anak yatim tidak boleh berdasarkan firman Allah:

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,


Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. an Nisa: 10)
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan
memakan harta anak tersebut yang berarti dilarang (haram).
b. Mafhum mukhlafah.
Mafhum mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda dari yang diucapkan,
baik atas istimbatnya (penetapan) maupun nafi’nya (peniadaan). Mafhum jenis ini cenderung
menghendaki kebalikan dari yang diucapkan. Seperti firman Allah:

“Apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.” (QS. al Jumuah: 9)
Dari ayat ini dipahami bahwa tidak terlarang (boleh) jual beli dihari Jum’at sebelum
azan dikumandangkan atau sesudah salat Jum’at ditunaikan. Dalil khitab ini dinamakan juga
mafhum mukhalafah.
Mafhum mukhalafah terbagi dalam berbagai macam:
1) Mafhum washfi (sifat); yaitu mengambil dan menentukan hukum sesuatu perkara dengan
mengambil salah satu sifatnya. Seperti firman Allah:
َ ْ َ ََ
‫فت ْح ِرْي ُر َرق َب ٍة ُمؤ ِمنة‬
”Hendaklah bebaskan seorang budak (hamba sahaya) yang mukmin” (QS. an Nisa:
92)

61
Mafhum washfi ini terbagi kepada tiga keadaan, yaitu:
a) Mustaq; yaitu suatu berita dari sebuah dalil tetapi penghendakan yang sebenarnya
adalah maksud sebaliknya. Contoh:

“Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu


membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak
mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu
menyesali perbuatanmu itu.” (QS. al Hujurat: 6)
Dari ayat ini berita dari orang fasik tidak perlu dihiraukan, sehingga berita dari orang
yang dipercaya dan beriman maka wajib untuk diterima.
b) Hal.
Misalnya pada ayat 95 surat al Maidah yang mengisyaratkan bahwa tidak ada
hukuman bagi pembunuhan tidak disengaja, karena dalam lafal itu disebutkan kafarat
membunuh binatang buruan saat ihram secara sengaja:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh hewan buruan,


ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Siapa di antara kamu
membunuhnya dengan sengaja, dendanya (ialah menggantinya) dengan hewan
ternak yang sepadan dengan (hewan buruan) yang dibunuhnya menurut putusan
dua orang yang adil di antara kamu…”
c) Adat (bilangan).
َ َ َ َ ْ ُ ُ َ َ َ َ َ َ َ َّ َ ْ َّ ْ َ َ َ ْ َ َ ُ ْ َ َْ
ََ ‫ّل ِجد‬
َ‫ال ِف‬ َ‫قو‬َ ‫ّل فسو‬َ‫ثو‬ َ ‫ل رف‬
َ ‫جف‬ َ ‫ن الح‬َ ‫ض ِفي ِه‬ َ ‫ال َحجَ اش ُهرَ َّم ْعل ْو ىمتَج فم‬
َ ‫َن فر‬
ِّ ْ
‫ج قلى‬ َ ‫ال َح‬
“(Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Siapa
yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat
rafaṡ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji.” (QS. al
Baqarah: 197)
Mafhum yang dikeluarkan dari ayat ini adalah bahwa rangkaian haji yang dilakukan
pada bulan Dzulhijjah tidaklah dianggap sah.
2) Mafhum ’illat; yaitu memahami dan mengambil suatu hukum dengan
menghubungkannya atas persamaan ’illatnya. Seperti pengharaman berbagai merk
minuman keras karena memabukkan.
3) Mafhum ’adat; yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan tertentu. Firman
Allah:

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh
62
itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka selama-
lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. an Nur: 4)
Atau aturan bahwa Dzulhijjah adalah bulan haji (al Baqarah ayat 197), sehingga
rangkaian perbuatan meski dengan niat berhaji tidak sah bila dilakukan diluar bulan
tersebut.
4) Mafhum ghayah; yaitu lafal yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan,
hinggaan). Hingga lafal ghayah ini adakalnya menggunakan kata ”ila” dan dengan
”hatta”. Seperti firman Allah:
َ َ َ ْ ُ َ َ َ ْ ُ َ ْ ُ ُ ْ ُ ْ َ ٰ َّ َ ْ ُ ْ ُ َ ِْٓ ُ َ َ ْ َّ َ ُّ َ ِٰٓ
‫يديكم ِإىل المر ِاف ِق‬
ِ ‫وة فاغ ِسلوا وجوهكم وأ‬ِ ‫ل‬‫الص‬ ‫ىل‬ ‫يايهاال ِذين آمنو ِاإذاقمتم ِإ‬
“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku…” (QS. al Maidah: 6)
5) Mafhum had; yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ’adad diantara adat-
adatnya. Seperti firman Allah:

Katakanlah: “Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,


sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – Karena
Sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi
(batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS.
al An’am: 145)
6) Mafhum laqaab; yaitu menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fa’il, seperti
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Salatlah sebagaimana kalian melihat aku
salat.” Mafhumnya bahwa salat selain dengan cara yang dilakukan (dicontoh) Rasulullah
tidak akan diterima.
7) Mafhum hasr; ialah pembatasan makna yang terkandung dalam dalil. Misalnya pada ayat
5 surat al Fatihah:

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami
meminta pertolongan.”
Dari ayat ini muncul mafhum bahwa segala yang selain Allah tidak pantas untuk
disembah dan diminta pertolongan.
2. Syarat-Syarat Mafhum Mukhalafah, adalah:
a. Mafhum mukhalafah tidak boleh berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq
maupun mafhum muwafaqahnya. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq:
َ َ ْ َ ُ َ َ َ ُُ َْ َ
‫َوالتقتل ْوآا ْوالدكم خش َية ِإ ْمَل ِق‬
“Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan” (QS. al Isra’: 31).

63
Mafhum dari ayat ini kalau bukan karena takut kemiskinan tidak masalah anak-anak di-
bunuh. Tetapi dengan mafhum mukhalafah ini terlihat berlawanan dengan dalil manthuq,
ialah:
ِّ ْ َّ ْ َ ‫س َّال‬ َّ ْ ُ ُ ْ َ َ َ
َ ‫االن ْف‬
ُ ‫ت َح َّر َم ا‬
‫ﷲ ِاال ِبال َحق‬ ِِ ‫والتقتلو‬
“Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran.”
(QS. Isra’: 33)
Maka hukum yang dikeluarkan adalah tetap terlarang membunuh siapapun termasuk anak
sendiri.
b. Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
Contoh:
ُ ْ َ ‫َو َرَب ِآئ ُب ُك ُم ّٰال‬
٠٠٠‫ف ُح ُج ْو ِركم‬
ْ ‫ت‬
ِِ ِ ِ
“Dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu” (QS. an Nisa’: 23).
Pernyataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa anak-anak tiri
yang tidak pernah dalam pengasuhan boleh dikawini. Pernyataan ini dimunculkan karena
anak tiri sudah biasa dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya yang menikah lagi.
c. Manthuq (yang disebutkan) dalam dalil, bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu
perbuatan atau agar bisa dilakukan.
Contoh:
َ ْ ََ َ ْ َ ُ ْ ُْ
َ‫ن ِل َس ِان َِه َو َي ِد ِه‬
َْ ‫ون ِم‬
َ ‫م ال ُم ْس ِل ُم‬
َ ‫ن سل‬
َ ‫مم‬َ ‫المس ِل‬
“Orang muslim ialah orang yang kaum muslimin selamat dari kata-katanya ataupun dari
gangguan tangannya.” (Hr. Bukhari)
Dengan perkataan “orang Islam (muslimin)” tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang
bukan Islam boleh mengganggu siapapun. Atau Orang Islam boleh mengganggu orang selain
Islam. Sebab dalam perkataan tersebut diambil mafhum bahwa alangkah pentingnya menjaga
hidup rukun dan damai diantara orang-orang Islam sendiri. Serta isyarat perbuatan
mengganggu siapapun, muslim atau bukan hakikatnya menunjukkan kwalitas iman
seseorang.
d. Lafal yang disebutkan (mantuq) seharusnya lafal yang berdiri sendiri dan tidak terpengaruh
oleh lafal lain.
Contoh:
‫الم ٰس ِج ِد‬ ِ ُ ِ ‫َو َال ُت‬
َ ‫باش ْو ُه َّن َو َا ْن ُت ْم َعاك ُف ْو َن ال ف‬
ِ
“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di
masjid.” (QS. al Baqarah: 187)
Tidak dapat dipahamkan kalau tidak sedang beritikaf, boleh mencampuri istri di masjid.
3. Pendapat ulama tentang kedudukan hukum mafhum mukhalaf.
Kalangan Hanafiyyah tidak menerima mafhum mukhalafah sebagai landasan penentuan
hukum. Alasan yang dipegang mazhab ini ialah bahwa jika mafhum mukhalafah diterapkan
beberapa ayat al Qur’an dan hadis Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam, dikhawatirkan dapat
merusak makna dari ayat dan hadis tersebut serta dapat menghilangkan maqashid syariah yang
ditetapkan melalui ayat dan hadis tersebut.
Contohnya pada firman Allah surat Ali Imran 130:

64
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Apabila digunakan pendekatan dengan mafhum mukhalafah terhadap ayat ini, maka riba yang
tidak berlipat ganda halal dan boleh dengan mahmun dari ayat ini. Pemahaman seperti ini jelas
rusak, sebab praktik riba yang tidak berlipat ganda pun dilarang dan haram hukumnya. Sehingga
dalam kelompok mazhab Hanafi pendekatan hukum dengan mafhum mukhalafah tidak dapat
diterapkan dalam memahami hukum al Qur’an dan hadis.
Tetapi jumhur ulama ushul fikih berbeda dengan kalangan Hanafiyyah. Mereka menerima
mafhum mukhalafah. Tetapi untuk mafhum al laqab menurut mereka tidak dapat dipakai sebagai
landasan berhujjah. Ada beberapa alasan yang dikemukakan mereka, diantaranya:
a. Sahabat-sahabat besar, para tabi’in dan imam-imam mujtahid dulu terbukti telah
menggunakan mafhum mukhalafah.
Secara logika dapat dibuktikan adanya relevansi nash-nash syariat dalam bentuk sifat,
syarat atau ghayah sebagai suatu yang tidak sia-sia dalam penentuan hukum, tetapi mempunyai
manfaat tertentu. Diantara faidahnya mengkhususkan hukum yang dimaksudkan oleh nash dan
meniadakan selainnya.

Uji Kompetensi

A. Pilihlah dan berilah tanda silang (x) pada huruf jawaban yang paling tepat!
1. Al Amr adalah lafal yang mengandung tuntutan (perintah) untuk berbuat dari pihak yang lebih
tinggi dan bukan sebaliknya. Definisi al amr ini dikemukakan oleh ….
a. Mazhab Maliki d. Mazhab Hanafi
b. Mazhab Syafi’i e. Mazhab Hanbali
c. c dan d benar
َ َ َّ ُ ٰ َ َ ٰ َّ َ
2. ۰۰۰ ‫واالزكوة‬ ‫َوا ِق ْي ُمواالصلوة وات‬
”dan dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat…” (Qs. al Baqarah: 43)
Ayat di atas merupakan salah satu lafal yang menunjukkan adanya al amr. Kehendak al amr
dalam ayat tadi adalah ….
a. an nadb b. al wujub c. al ibahah d. al irsyad e. ad du’a
3. Lafal al amr berikut ini yang menghendaki al ibahah terdapat pada ayat berikut ….
a.
ْ ُ َ ْ ‫ُك ُل ْو َاو‬
ِ ‫اشب ْو ِام ْن ِّرز ِق ا‬
۰۰۰‫ﷲ‬
“Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah…”
َ َ َّ ُ ٰ َ َ ٰ َّ ُ ْ ََ
b. ۰۰۰‫وا ِقيمواالصلوة واتواالزكوة‬
”dan dirikanlah shalat, dan tunaikanlah zakat…”
ُ َ َ ُ ْ َ
c. ‫ج‬
‫َو ْاستش ِهد ْوا ش ِه ْيد ْي ِن ِم ْن ِّر َج ِالكم‬
“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang lelaki di antara kamu”
d.

“(sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai
perintahku?"
ُ ُ ْ ُ ُ ََ
e. ‫َو ُح ِر َم عل ْيك ْم َص ْيدال ر ِّب َماد ْمتم ُح ُرما‬
65
“ …dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam
ihram…”
ََ َ َْ ُ ْ َ َ َ َ ُ َّ َ ْ َ
4. ‫فل َي ْحذ ِرال ِذ ْي َن ُي َج ِالف ْون ع ْن ا ْم ِرِ ِٓه ان ت ِص ْي َب ُه ْم ِفتنةا ْو ُي ِص ْي َب ُه ْم عذاب ِال ْيم‬
Maka hendaklah orang orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau di
timpa azab yang pedih.” (Qs.an Nur: 63)
Dalam lafal ayat di atas, terdapat lafal al amr bagi umat manusia. Lafal tersebut mengandung ….
a. batasan c. nadb (anjuran) e. kelemahan
b. peringatan d. berita
ُ َ ْ َ ْ َُْ َ َ َ
5. ‫اصطاد ْوا‬ ‫وِاذاحللتم ف‬
“dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu” (Qs. al
Maidah : 2)
Mengulas dalil yang mengandung perintah setelah larangan seperti di atas, ulama Fikih dan
Ushul berbeda pendapat. Pendapat Imam Syafi’i di bawah ini adalah ….
a. Hal itu menunjukkan kewajibannya dan juga kebolehannya sekaligus.
b. Perintah dalam satu perbuatan setelah ada larangan tidak lagi menunjukkan suatu kewajiban,
melainkan suatu kebolehan.
c. Perintahnya tetap seperti semula yaitu menunjukkan kewajiban (berburu setelah tahallul).
d. Apabila perintah muncul setelah adanya larangan, yang sebelumnya merupakan suatu
kewajiban, maka setelah dilarangpun hukumnya wajib.
e. Jika suatu hukum sebelum dilarang adalah boleh, maka perintah melaksanakan perbuatan
setelah dilarang hukumnya boleh.
6. Berdasarkan dari sisi kejelasan maknanya, mubayyan terbagi menjadi dua bentuk. Pembagian
tersebut adalah ….
a. al wadih bi nafsihi dan al wadih bi ghairihi
b. al ‘am dan al khas
c. mubayyan muttasil dan mubayan munfasil
d. badal ba’adh min kul dan maskun minhu
e. al wa’ad dan al wa’id
7. Setiap mu’min diwajibkan salat dengan terpenuhi semua rukunnya, namun dalam keadaan sakit
sehingga tidak kuat berdiri dibolehkan sambil duduk atau bahkan berbaring.
Kaidah al amr yang tepat dalam kasus di atas adalah ….
َ َْ َْ ُ َ
a. ‫األ ْص ُل ِف ك ِّل ِد ٍث تق ِد ْي ُر ُه ِبأق َر ِب ز َم نن‬
Yang menjadi asal (pokok) bagi setiap kejadian yang baru, ialah mengira-ngirakan dengan
waktu yang terdekat.
ِّ َّ ُ َ ُ َ ُ ْ َ ْ
b. ‫ال ِبالشك‬
‫الي ِقي اليز‬
Yakin tidak hilang karena ragu-ragu
َّ ُ ْ َ ُ َّ َ َ ْ َ
c. ‫ب الت ْي ِس ْ َب‬ ‫ألمشقة تج ِل‬
Kesulitan itu menarik (menimbulkan) keringanan
َ
d. ‫ال‬ َ َّ ‫أ‬
ُ ‫لض ُرُي َز‬
Kemadaratan (keadaan mendesak) itu bisa dihilangkan
َ ‫ور ُة ُتب ْي ُح‬
َ ‫الم ْح ُظ‬ َ ‫لض‬
ُ َّ َ
e. ‫ات‬
ِ ‫ور‬ ِ ‫أ‬
Keadaan darurat itu membolehkan sertiap yang dilarang
َ َ ْ ُْ َ َْ
8. ‫أ ِال ْيث ُار ِف الق ْر ِب َمك ُروه َو ِف غ ْ ِبه َام ْح ُبوب‬

66
Mendahulukan orang lain dalam soal ibadah, hukumnya makruh dan dalam hal selain ibadah
dicintai
Contoh kasus yang mengena dalam penggunaan kaidah al amr di atas adalah ….
a. Menolong orang yang tenggelam adalah wajib, namun jika sang penolong tidak bisa
berenang maka tidak boleh dilakukan.
b. Membelikan orang lain makanan, kemudian dia sendiri mencari pinjaman untuk beli
makanan yang lain.
c. Memberikan obat pada sakit seseorang, padahal si pemberi juga memerlukan obat tersebut.
d. Melihat muka wanita yang akan dinikahi (dilamar)
e. Makruh meminjamkan sarung untuk orang lain agar lebih dulu salat, padahal yang
bersangkutan (pemilik) belum salat.
9. Suatu lafal yang sulit dipahami kecuali ada penjelasan langsung dari yang menyampaikan lafal
tersebut. Kesulitan memahami lafal ini bukan berasal dari luarnya, tetapi dari lafal itu sendiri.
Keadaan lafal ini dinamakan dengan lafal ….
a. takhis b. ‘amm c. khas d. mubayyan e. mujmal
10. Orang yang hilang akal (gila) tidak wajib salat selama keadaannya demikian. Maka hukum salat
sunat rawatibnya pun gugur pula.
Kaidah al amr yang tepat untuk keadaan di atas adalah ….
a. Keadaan darurat itu membolehkan setiap yang dilarang;
b. Yang mengikut itu jatuh karena jatuh yang diikutinya;
c. Kemudharatan (keadaan mendesak) itu bisa dihilangkan;
d. Kesulitan itu menarik (menimbulkan) keringanan;
e. Setiap perkara itu tergantung kepada maksudnya (niat);
11. Suatu larangan melakukan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak
yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu. Pernyataan ini
adalah pengertian dari ….
a. al amr b. al ‘amm c. al khas d. an nahy e. al bayan

َ َ َ ْ ُ ْ ِّ َ َ َّ َ ُ ْ ُ َ َ َّ ْ َ َ َ َّ َ ُ ْ َ َ َّ َ
َ ‫ون َها ف‬
12. ‫اب أ ِل ٍيم‬
ٍ ‫ذ‬ ‫ع‬ ‫ب‬
ِ ‫م‬‫ه‬‫ْس‬ ‫ب‬ ‫ف‬ ‫اَّلل‬
ِ ‫يل‬‫ب‬‫س‬
ِ ِ ِِ ‫وال ِذين يك ِبون الذهب وال ِفضة وال ين ِفق‬
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”
(QS.At-taubah/9:34)
Lafal ayat tersebut di atas adalah salah satu lafaa al nahy yang menunjukkan ….
a. Larangan yang mengancam pelakunya dengan siksa yang pedih.
b. Larangan yang mensifati perbuatan tersebut dengan keburukan.
c. Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri.
d. Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan itu diharamkan.
e. Perintah yang menuntut untuk menjauhi larangan tersebut.
13. Takhis yang menjadi penghabisan sesuatu dan mengharuskan tetapnya hukum bagi perkara-
perkara yang disebut sebelumnya, sedangkan yang disebut sesudahnya tidak ada hukum
tersebut. Keadaan dalil ini dinamakan ….
a. mukhasis b. Ististna c. ghayah d. takhsis syarat e. mujmal
14. Perhatikan penyataan-pernyataan berikut:

67
1] menyatakan haramnya suatu perbuatan atau tidak boleh dilakukan;
2] menggambarkan jeleknya suatu perbuatan dan tidak dianjurkan untuk dilakukan;
3] pernyataan doa atau permohonan;
4] menjelaskan suatu akibat dari suatu perbuatan;
5] memberi pertimbangan tentang ibadah yang pantas dilakukan;
6] menyatakan dan menunjukkan bimbingan dan pengarahan;
7] mengajarkan, memberi kabar dan ancaman;
Dari pernyataan-pernyataan di atas, beberapa arti dan maksud an nahy seperti yang
dikemukakan Mustafa Said al Khin adalah nomor ….
a. 1, 2 dan 3 c. 3, 4 dan 6 e. 2, 5 dan 7
b. 1, 4 dan 7 d. 2, 4 dan 6
15. Lafaz yang menunjukkan perseorangan tertentu seperti ‘musthafa’, satuan jenis seperti ‘laki-
laki,’ atau beberapa satuan yang terbatas seperti ‘seratus’ atau ‘seribu’. Lafaz tersebut
dinamakan dengan ….
a. al amr b. al ‘amm c. al khas d. an nahy e. al bayan
16. Secara umum, lafaz yang mujmal memiliki dua macam bentuk, yaitu berikut ini:
a. al ifrad dan at tarkib d. al amr dan an nahy
b. al ‘amm dan al khas e. bayan dan tarkib
c. musytarak dan muradif
17. Sebuah lafal yang menunjukkan kepada makna yang terperinci dan tidak ada kemungkinan ta’wil
yang lain lagi baginya. Pernyataan ini adalah definisi dari ….
a. musytarak c. muradhif e. mubayyan
b. mufassar d. muqayyad
18. Perhatikan pernyataan-pernyataan tentang takwil berikut ini:
1] takwil tidak boleh bertentangan dengan nash yang qath’i;
2] takwil dilakukan untuk menjaga mashalat;
3] takwil berdasarkan dalil sahih yang dapat menguatkan takwil;
4] dapat mentakhsis keadaan umum demi kemaslahatan;
5] arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zahir (dikuatkan oleh dalil);
6] mengompromikan antara nash-nash yang zahirnya saling bertentangan;
Dari penyataan-pernyataan di atas, yang merupakan syarat dari takwil adalah nomor….
a. 1, 2 dan 3 c. 3, 4 dan 5 e. 2, 4 dan 6
b. 1, 3 dan 6 d. 1, 3 dan 5

B. Tentukan pasangan (penjodohan) antara kolom kanan dan kolom kiri dengan mengisi kotak
di tengah dengan huruf di sebelah kiri.

1. Suatu lafadz yang menunjukan suatu makna dengan A. Nasakh


rumusan lafaz itu sendiri tanpa menunggu qarinah yang
ada di luar lafadz itu sendiri, namun mempunyai kemung- B. Ghayah
kinan ditakhsis, ditakwil, dan dinasakhkan.
2. Perbuatan Rasulullah Saw yang mengangkat sepuluh jari- C. Mubayyan
nya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya,
yang dimaksud dua puluh Sembilan hari. D. Lafadz Mutlak
3. Sebuah lafadz atau kalimat yang diartikan sebagai meng-

68
hapus, menghilangkan, yang memindahkan, menyalin, E. Mufassar
menggubah dan mengganti.
4. Terjadinya sebuah lafal yang memiliki dua arti atau lebih F. Lafadz Mujmal
serta kegunaan yang banyak.
5. Sebuah kata atau kalimat yang dilalahnya telah jelas de- G. Al Wadih Bi-
ngan memperhatikan maknanya. nafsih
6. Sebuah lafadz yang telah menunjuk pada makna atau H. Musytarak
pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya, se-
perti kata ‘meja’ atau ‘jalan’. I. Bayan Isyarat
7. Suatu lafal yang sulit dipahami kecuali ada penjelasan
langsung dari yang menyampaikan lafal tersebut J. Lafadz zhahir
Kesulitan memahami lafal ini bukan berasal dari luarnya,
tetapi dari lafal itu sendiri. K. an Nahy
8. Takhis yang menjadi penghabisan sesuatu dan mengharus-
kan tetapnya hukum bagi perkara-perkara yang disebut se-
belumnya, sedangkan yang disebut sesudahnya tidak ada
hukum tersebut.
9. Sebuah lafal yang menunjukkan kepada makna yang terpe-
rinci dan tidak ada kemungkinan ta’wil yang lain lagi
baginya.
10. Lafal yang telah jelas maknanya sejak awal penggunaannya
sehingga tidak membutuhkan penjelasan dari lafal lain.
Kejelasan lafal ini diketahui melalui pendekatan bahasa.

C. Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan singkat dan jelas!


1. Sebutkan syarat-syarat ta’wil!
2. Sebutkan macam-macam mafhum mukhlafah!
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan bayan?
4. Jelaskan ketentuan-ketentuan hukum suatu lafal jika disuatu tempat disebutkan dengan mutlaq
dan ditempat lain disebutkan muqayyad!
5. Apa beda antara mutlaq dengan muqayyad?

69
Daftar Pustaka

Al Munawar, Said Agil Husin, Membangun metodologi ushul fiqh,Ciputat press, Jakarta, cet.I, 2004.

Anwar, H. Moh. Fiqih Islam; Mu’amalah, Muhakahat, Faro’id dan Jinayah, Bandung, PT. alma ‘arif,
1988.

Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta, Prenada Media Group, 2006.

Jaih, Sejarah Kaidah Asasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002.

Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.

Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu ushulul Fiqh, (Terj). Prof. Drs. KH. Masdar Helmy, Bandung: Gema
Risalah Press, 1997.

Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Manshur, Yahya Kusnan. Ulasan Nadhom Qowaid Fiqhiyyah Al Faroid Al Bahiyyah, (Jombang:
Pustaka Al Muhibbin,2011.

Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah Asasi). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.

Muhlish, Usman. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Raja Grafindo, 1996.

Setiawan, Wahyu. TerjemahQawa’id Fiqhiyyah. Jakarta: Amzah, 2009.

Sudirman Abbas, Ahmad. Qawaid Fiqhiyyah Dalam Perpesktif Fiqh, Abbas Press, Depok, 2015.

Suwandi, Eko, S.Ag., Ushul Fikih; Pengantar Singkat tentang Sejarah, Objek dan Metode
Pendekatannya. Lamongan: Klik Media, 2023.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Tamrin, Dahlan. Kaidah-Kaidah Hukum Islam Kulliyah Al–Khamsah, Malang:UIN-Maliki Press, 2010.

Usman Muchlis, Kaidah-kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah, Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. 1996

Situs/Web:

http://www.scribd.com/doc/51198325/15/B-Al-Nahyu-dan-Kaidah-kaidahnya

https://firanda.com/2367-qawaid-fiqhiyyah-al-kubra-muqaddimah-kaidah-1.html

https://pikirdandzikir.blogspot.com/2016/11/al-qawaid-al-khamsah-pai-e-semester-iii.html

https://wardahcheche.blogspot.com/2013/11/kaidah-lima-asasi-ushul-fiqh.html

70

Anda mungkin juga menyukai