Anda di halaman 1dari 7

Aku memasuki lingkungan sekolah dengan membopong tas punggung yang masih ringan

karena hanya berisi beberapa buku tulis kosong. Walaupun akan dipastikan kalau hari ini
tidak akan belajar. Aku akan memulai semester pertama di satu tahun terakhirku di SMA.
Aku langsung berlari menunggu lorong kelas 12 yang akan menjadi lorong terkahirku di
SMA. Aku berhenti di setiap pintu ruang kelas 12 IPA untuk memeriksa apakah namaku di
sana. Jika tidak, aku akan menelusuri pintu selanjutnya.
Maydina Sifa Fauziah... Yak ada! seru ku semangat. Lalu aku melihat papan dan
tertera kelas 12 IPA 2. Sekarang, aku resmi menjadi siswi kelas 12 IPA 2. Lalu aku kembali
memeriksa nama teman sekelasku. Kau pasti bercanda, gumamku sambil memandang
tidak percaya kertas nama yang menera seluruh teman sekelasku.
Aku terlonjak kaget ketika seseorang menepuk pundakku. Aku langsung berbalik dan
memasang seulas senyum. Nata!
Papau, kita sekelas. Yei! serunya sambil memelukku dengan erat. Aku pun balas
memeluknya.
Lalu di balik pundak Nata, aku melihat dua orang perempuan datang menghampiriku,
yang telah menjadi teman dekatku selama satu tahun lebih. Ketika mereka melihat aku dan
Nata berpelukkan, mereka pun langsung lari dan langsung memeluk kami. Kami berteriak
kegirangan, kecuali satu, Juan. Dari kami berempat hanya Juan yang berbeda kelas. Kami
menyemangati Juan dan berjanji akan mengunjunginya terus di kelas 12 IPA 4 setiap
istirahat.
Beberapa jam kemudian bel berdering menandakan jam pulang.
Seperti yang
kukatakan sebelumnya, hari ini tidak akan pelajaran. Mungkin seminggu ini. Karena minggu
ini masih di bulan Ramadhan, dan setelah seminggu, aku akan libur lagi karena lebaran. Dan
lagi seminggu ini ada MOS di sekolahku. Ada beberapa guru yang masuk ke kelasku, namun
kami tidak belajar. Hanya intro pelajaran saja.
Aku pun menjatuhkan tubuhku di atas sofa sambil mengerang.
Kenapa Pau? Ada kejadian apa di sekolah?
Aku menoleh ke asal suara dan melihat kakak laki-laki ku sedang menghampiriku
dengan setumpuk kaset game PS agar ia bisa main di ruang keluarga yang memiliki layar TV
lebih luas dibandingkan yang ada di kamarnya. Aku memiliki dua kakak. Yang pertama
adalah perempuan, namanya Linda, dia sudah menjadi karyawan di salah satu bank.
Sementara yang kedua adalah laki-laki, namanya Karan, dia sudah kuliah di suatu universitas
terbaik di Indonesia dan sekarang sedang libur panjang. Aku dekat dengan kedua kakakku,
namun yang paling sering mengajakku berantem adalah kakak laki-laki. Dia sangat
menyebalkan.
Ngga ada. Hanya kejadian biasa. Masuk sekolah, duduk di kelas, mengobrol,
menunggu bel pulang, dan pulang, kataku sambil mendengus.
Yah... nikmati saja saat-saat ini sebelum kamu menghadapi sebuah badai besar yang
sedang menantimu. Terkadang kata-kata kakakku sudah mengatakan hal tidak bisa
dimengerti, namun malah suka terjadi. Aku pun mendekatinya untuk minta penjelasan lebih
lanjut. Yah, kamu kan sudah kelas 12, setelah liburan ini kakak yakin kamu akan
digembleng habis-habisan untuk bisa mengerjakan seluruh soal UN dan SBMPTN. Kau akan
menghadapi kebingungan kamu akan masuk universitas mana dan menghadapi masalahmasalah lainnya yang tidak pernah kamu bayangkan.
Jadi nikmati saja saat-saat
membosankan seperti sekarang, jelasnya sambil menghidupkan PSnya.

Aku pun mengangguk mengerti dan memerhatikan kakakku bermain PS.


Bagaimana dengan teman-temanmu? Apa kamu sudah...
Aku tidak mendengarkan kata selanjutnya dari pertanyaan kakakku. Aku sudah
berlari ke kamarku yang berada di lantai dua dan mengunci pintu kamarku sehingga kak
Karan tidak akan bisa masuk ke kamarku tanpa seizinku.
Hari libur pun telah tiba dan tak terasa aku akan kembali masuk sekolah. Dan aku
menyiapkan diriku untuk menghadapi apa yang dikatakan kakakku. Di kelas aku tidak duduk
dengan kedua sahabatku, namun aku duduk dengan perempuan yang pendiam yang memiliki
suara kecil. Namanya Rana. Tapi dia baik dan ramah padaku. Sementara kedua sahabatku,
Mira dan Nata duduk bersama dan jaraknya cukup jauh denganku. Setelah itu, wali kelasku
masuk ke ruangan dan mengabarkan akan ada seorang siswi baru di kelas 12 IPA 2. Memang
sih di kelasku hanya ada 31 siswa, berbeda dengan kelas lainnya yang jumlah 32. Tapi aku
tidak menyangka akan ada siswi baru di kelas 12.
Siswi itu pun masuk kelas. Kesan pertama yang kudapatkan adalah siswi itu memiliki
penampilan serampangan, dasi sengaja dilonggarkan, rambutnya yang pendek terlihat acakacakkan, dan lengan kemejanya yang pendek, sengaja ia lipat sehingga aku bisa melihat
tangannya yang sedikit berotot. Dan yang paling membuatku merinding adalah senyumannya
yang terlihat sinis.
Namaku Tiara Sivi. Panggil aja Tia, Ara, Tiara, apapun yang kalian suka. Semoga
kita bisa berteman selama setahun ini, katanya.
Wali kelasku menyuruhnya untuk duduk di bangku kosong yang berada di
belakangku, bersama seorang laki-laki pendiam berkacamata yang tidak pernah kudengar
suaranya bahkan melihatnya tersenyum pun tidak, yang bernama Avior yang katanya
namanya sama dengan nama bintang di konstelasi di Epsilon Carina, walaupun aku tidak tahu
dimana itu Epsilon Carina. Selama seminggu sebelum liburan dia hanya hanyut dalam buku
berjudul Astronomi dan terlihat tidak tertarik untuk mengobrol. Sama dengan hari ini.
Ketika Tia sudah duduk di belakangku, aku pun menghadap belakang untuk
menyapanya karena aku yakin Avior tidak segan-segan nyuekin Tiara. Aku tersenyum
padanya sambil mengenalkan diriku. Hai namaku Maydina Sifa Fauziah. Orang-orang
panggil aku Papau. Selamat datang di kelas ini.
Dia hanya menatapku dalam diam, seperti sedang membacaku. Lalu ia tersenyum
sinis padaku. Kamu palsu!
Deg! Apa maksudnya? Aku sama sekali tidak mengerti. Lalu Rana memegang
lenganku agar aku balik menghadap ke depan sambil menggeleng.
Biarkan saja, katanya sambil menenangkanku.
Aku pun mengangguk. Aku berusaha fokus dengan pelajaran yang ada. Namun
semakin lama aku semakin tidak tenang karena aku merasa Tia sedang memandangku dengan
tajam.
Bel kelas pun berdering dengan keras, menandakan jam istirahat. Aku dan Rana pun
mengeluarkan bekal makanan kami. Mira dan Nata menghampiri kami.
Wah Pau. Bekal makananmu sepertinya enak! seru Mira sambil mendekatkan
wajahnya ke makananku. Setelah mencium baunya dia pun langsung mengambil sendok
yang kupegang dan menciduk makananku tanpa meminta izin. Nata pun juga melakukan hal
sama hingga makananku sisa setengah. Aku menatap nanar makananku.

Eh... Maaf Pau. Makananmu jadi sisa setengah gara-gara kami makan, kata Mira
dengan wajah yang tidak terlihat menyesal.
Abis makananmu enak sih, tambah Nata sambil menyuap makananku sekali lagi.
Aku pun menelan ludah lalu tersenyum. Tidak apa-apa kok. Aku juga ngga laperlaper banget.
Mira dan Nata pun tersenyum. Baiklah, aku harus menghampiri Juan sebelum dia
menangis gara-gara merasa dirinya sendirian di kelas 12 IPA 4. Kamu mau ikut? tanya
Mira.
Aku menggeleng. Setelah itu mereka pun pergi. Aku pun menghela napas berat dan
menyuap makananku yang tinggal sedikit. Rana menyenggolku dan menawarkan untuk
membagi makanannya denganku. Aku pun menolaknya, walaupun makanan Rana terlihat
menggoda. Lalu aku pun pergi ke kantin untuk membeli biskuit untuk mengenyangkan
perutku yang masih lapar.
Sesudah aku beli biskuit, aku melihat ketiga sahabatku sedang berdiri di pojokan
dengan seorang perempuan. Aku tidak bisa mengenali perempuan itu sehingga aku
mendekati mereka.
Ada apa ini?
Ketiga sahabatku menoleh ke arahku dan membuat sebuah celah sehingga aku bisa
melihat siapa yang sedang mereka bully. Tia tersenyum sinis kepadaku.
Kami hanya memperingatinya agar tidak sok di dalam kelas, jawab Mira.
Gayanya membuatku mual dan ingin sekali menonjoknya karena senyuman sinisnya itu.
Mira pun sudah memegang kerah Tiara dan mengangkat tangannya untuk menampar Mira.
Tapi kan kita bisa membicarakannya dengan baik-baik tanpa harus kekerasan,
cegahku dengan panik. Aku menatap Nata dan Juan, tapi mereka hanya menatap sengit ke
arahku. Aku langsung terdiam. Aku berniat membiarkan Mira bertingkah lebih lanjut, tapi
hal itu malah membuatku gelisah. Pak Yono sedang ke sini, teriakku.
Mira pun langsung membeku dan melepaskan cengkraman kerah Tia. Lalu tanpa
diberi aba-aba, kami pun berlari menuju kelas, meninggalkan Tia dengan pipinya yang
memerah akibat tamparan.
Kami berhenti berlari tepat di depan kelas 12 IPA 2. Sambil mengucapkan kalimat
berpisah karena bel masuk sudah berdering, tiba-tiba Juan memegang tanganku.
Pau, bikinin aku bahan ajar tugas bahasa Indonesia dong, pintanya dengan wajah
memohon.
Eh? Tapi kan SK kita kan berbeda. Lagian ini kan tugas kelompok, kenapa kamu
tidak membagi tugas dengan kelompokmu saja?
Dia menggeleng. Sudah. Dan aku kebagian bikin bahan ajar. Tapi kamu tahu kan,
aku tuh ngga bisa buat bahan ajar. Selama ini kan kamu yang buat bahan ajar. Ayolah...
Sekali ini aja Pau, rengeknya.
Awalnya aku tetap tidak mau, karena jujur saja tugasku saja sudah banyak, apalagi ini
ditambah harus membuatkan bahan ajar untuk orang lain. Aku tidak mau. Tapi karena tidak
tahan mendengar rengekan Juan, ditambah Mira dan Nata juga memohon agar dibuatkan saja
tugas Juan, akhirnya aku pun mengangguk. Juan pun langsung lompat kegirangan dan
memelukku sebagai ucapan terima kasih. Setelah itu ia pun berlari ke kelasnya. Aku pun
menghela napas dan berbalik menghadap kedua sahabatku. Mereka tersenyum. Tersenyum

manis dan hangat kepadaku. Tapi, entah kenapa senyuman itu terlihat menyeramkan di
mataku. Menurut orang senyuman Mira dan Nata manis, tapi yang aku tahu, jika mereka
sudah tersenyum padaku seperti itu, artinya ada maksud lain. Ketika aku menyetujui untuk
membantu seorang sahabatku, artinya aku juga harus menyanggupi permintaan sahabatku
yang lain. Dan mereka memintaku untuk membuatkan tugas bahasa Indonesia. Yang satu
minta dibuatkan PPT sementara yang satunya dibuatkan soal sebanyak 50 butir. Tanpa
memohon atau merengek seperti Juan, mereka pun sudah tahu aku akan melakukan
permintaan mereka.
Aku pun masuk ke kelas dan duduk di kursiku. Aku melihat kalau Tia belum
kembali. Lalu ada rasa perih di mataku, memaksa air mataku untuk keluar. Aku perjuang
agar tidak menangis sekarang. Setidaknya bukan di sini. Lalu, tanpa sadar Rana
memperhatikanku. Dia menatapku sedih sambil mengelus pundakku.
Kamu kenapa, Fa? Kamu ada masalah? Kamu bisa cerita kok ke aku.
Aku langsung menggeleng. Aku tidak apa-apa kok. Aku hanya teringat dengan
kucingku yang mati beberapa minggu yang lalu, itu membuatku sedih dan kangen sama
kucingku itu, bohongku. Tanpa banyak tanya lagi, Rana mengangguk dan menyibukkan
dirinya. Aku bersyukur aku bisa duduk semeja dengan Rana. Dan aku sangat ingin
menceritakan masalahku ini kepada orang lain. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak boleh
menceritakan hal ini kepada orang lain, karena dampaknya akan semakin buruk.
Tia pun masuk ke kelas tak lama kemudian. Dia pun langsung duduk tanpa melirik ke
arahku. Tapi saat dia melewati ku, tangannya menyentuh pundakku dan mencengkramnya
pelan. Aku membelakkan mata dan menoleh sedikit ke belakang. Tapi dia tidak balas
menatapku. Dia malah ngisengin Avior dengan mengambil buku Astronomi miliknya dan
melemparnya. Avior langsung mengumpat pelan dan berlari mengambil bukunya. Ketika
Avior sudah kembali dan mengancam Tia agar tidak menganggunya lagi, Tia hanya menatap
Avior polos hingga Avior ngedumel kesal. Namun entah kenapa itu membuatku tersenyum.
Namun kesewenang-wenangan sahabatku tidak hanya berhenti sampai di situ.
Mereka selalu memintaku membuatkan tugas yang sangat sulit dan menyita waktu banyak,
memaksaku untuk jadi panitia PHYARSCI yaitu acara besar tahunan sekolahku, bahkan
memintaku mengirimkan jawabanku ketika ulangan. Aku nyaris ketahuan menggunakan
handphone saat ulangan ketika aku sedang mengetik jawabanku buat di share. Pak Yono
menginterogasiku dan memeriksa kolongku. Untungnya Pak Yono tidak mengeceknya
hingga ke bagian terdalam kolong meja. Kalau ya, aku sudah pasti mendapatkan nilai nol
karena memberikan sontekan. Selain itu peraturan di sekolah ini sangat ketat. Sekalinya
kamu ketahuan menyontek, para guru akan langsung memberi perlakuan khusus padamu saat
ulangan selanjutnya hingga kelulusan jika tidak ada perubahan. Selain itu yang memberi
sontekan akan diberi hukuman juga, walaupun tidak seberat dengan yang menyontek. Dan
aku merasa Tia selalu menatapku tajam dan menusuk ketika aku mengangguk setuju
membantu sahabatku. Aku selalu gelisah dibuatnya hingga akhirnya aku minta tukeran
tempat duduk dengan Rana. Namun tentu saja itu sama sekali tidak membuatku tenang.
Hari UTS pun telah tiba. Aku merasa tegang dan sedikit takut. Karena walaupun ini
UTS bukan UAS, tapi nilai UTS juga berpengaruh terhadap nilai raporku. Sehingga aku
belajar keras dengan mengurangi jam tidurku. Aku pun membahas soal dengan Rana dan
terkadang beradu argumen dengannya. Dan entah kenapa aku merasa senang. Walaupun
kami saling mengkritik, tapi kami tidak saling mengintimidasi. Avior yang selama ini
pendiam dan tidak peduli, ketika kami nyerempet membahas tentang bintang , dia pun
langsung ikutan dan tidak tinggal diam ketika kami salah mengenai bintang dan benda-benda

langit. Dia langsung menceramahi kami agar lebih banyak membaca buku tentang bintang
jika ingin lebih tahu banyak. Jangan asal-asalan menggunakan teori. Bahasanya memang
kasar, tapi aku tahu dia adalah orang yang baik.
Papau, Mira melambaikan tangannya agar aku menghampirinya.
Aku pun langsung menghampirinya. Ada apa?
Mira berkata sambil cengengesan. Nanti kamu kasih jawaban kamu ke aku ya.
Soalnya tadi malam aku tidak belajar. Malas sih...
Demi apa? Tapi kan... pengawas sekarang adalah guru-guru killer.
Wajah Mira langsung berubah menjadi galak. Oh... ayolah. Kita kan sahabat, kita
harus saling membantu. Bagi-bagi ilmu sedikit denganku juga lah. Ketika aku ingin protes,
Mira langsung menyela. Pokoknya kamu sedia pegang handphone ya. Jangan lupa di mode
getar. Biar pas aku tanya-tanya kamu langsung jawab. Dan jangan membohongiku ya.
Kirim ke Nata sama Juan juga. Dia pun pergi meninggalkanku dengan mulut ternganga.
Lalu dengan berat hati aku menghampiri tas ku dan mengeluarkan handphone.
Namun entah kenapa hari ini aku sudah lelah dengan permintaan sahabatku. Aku sudah
muak. Sudah cukup aku membantu mereka. Aku ingin mereka mandiri dan merasakan
sendiri sensasi saat ulangan. Bagaimana kau merasa deg-degan dan berharap apa yang kau
pelajarilah yang keluar nanti. Bukannya malah tidak belajar dan mengharapkan jawaban dari
orang lain. Lalu aku pun kembali memasukkan handphone ku lagi ke dalam tas.
Saat istirahat, Mira langsung menarikku ke tempat yang sepi. Di situ Nata dan Juan
sudah menunggu. Aku tahu ini akan berakhir buruk. Tapi rasa lelah di hatiku membuat cuek
dan tidak peduli apa yang akan mereka lakukan padaku ketika aku tidak melakukan apa yang
mereka inginkan.
Kenapa kamu tidak memberitahukan
handphonemu? tanya Mira galak.

jawabanmu

kepada

kami?

Mana

Di tas, jawabku singkat tanpa menatap ketiga mata sahabatku.


Tapi kan aku sudah...
Sudah sudah Mira. Kita jangan membuat Papau ketakutan. Dia sahabat kita, kita
harus memperlakukannya dengan baik, kata Nata. Papau, kamu masih menganggap kita
sahabatmu kan? tanya Nata sambil menyentuh bahuku dan memaksaku untuk menatapnya.
Tapi aku tidak menjawab. Fa, kamu punya kelebihan dalam inteligen, dan kami tidak. Jadi
kamu harus membantu kami. Kami sudah belajar tadi malam, tadi kami langsung lupa begitu
berhadapan dengan soal. Kamu mau kan membantu kami?
Mata Nata terlihat memohon padaku ditambah dengan rengekkan Juan yang bisa
menyentuh hatiku.
Ketika aku ingin mengangguk, Tia pun datang. Jangan memaksa gitu dong. Ini
bukan salah Fau jika dia tidak mau memberikan jawabannya kepada kalian, katanya marah
sambil berdiri di antara aku dan ketiga sahabatku. Walaupun kalian tidak pintar, tapi kalian
bisa usaha. Aku juga tidak pintar, tapi aku belajar mati-matian tadi malam. Dan aku bisa
menjawab soalku sendiri tanpa bantuan orang lain tadi. Ketika Mira ingin membalas, Tia
langsung menghentikannya. Jangan dipotong dulu. Aku masih belum selesai. Kalian ini
seperti pasasit yang merusak sebuah tanaman yang berjuang hidup. Memalukan. Bisanya
main keroyokkan. Sahabat macam apa yang Cuma memperealat sahabatnya sendiri,
menjadikannya pembantu. Tia menghadap ke arahku. Buat apa kamu berteman dengan

mereka. Jangan mau diperbudak dengan mereka. Lalu Tia menarikku pergi dari ketiga
sahabatku itu.
Ketika sudah sampai di kelas, Tia melepaskanku. Terima kasih telah mem...
Namun Tia malah melengos. Aku benci perempuan yang mau diperbudak dan tidak
tegas kepada dirinya sendiri.
Kata-kata Tia mengenaiku. Dan itu sangat menyakitkan. Air mataku kembali mau
turun, tapi aku berusaha keras untuk tidak menangis. Setidaknya jangan sekarang.
Setelah kejadian itu, hubunganku dengan ketiga sahabatku merenggang. Mereka
tidak mendekatiku lagi. Aku lega sekaligus takut, karena ketika aku dan Rana melewati
mereka, mereka menatapku tajam dan berbisik-bisik. Aku takut mereka membuka rahasia
yang menjadi alasanku untuk menuruti mereka.
Beberapa hari kemudian, hari yang kutakutkan pun tiba. Mereka menyebarkan
rahasia gelapku. Akibatnya banyak teman-temanku yang menjauhiku, mengata-ngataiku,
bahkan menyiramku dengan air, tepung dan telur. Aku tidak bisa membela diri karena yang
diberitakan itu adalah benar. Buku-buku ku dibuang sehingga aku tidak boleh masuk kelas
akibat dituduh tidak membawa buku pelajaran. Aku melihat ketiga mantan sahabatku
tersenyum senang melihatku. Aku hanya memandang mereka tidak percaya. Apakah mereka
sama sekali tidak menganggapku sebagai teman sedikitpun? Sedetik pun?
Tiba-tiba Tia keluar kelas ketika aku sedang disetrap oleh Pak Yono. Dia menatapku
lalu menarikku ke toilet. Aku memprotes tidak mau ikut, tapi Tia memegang tanganku erat
dan tenaganya lebih kuat dibandingkan kau. Jadi, aku mengikutinya saja.
Tia, apa yang kamu lakukan? tanyaku. Kenapa kamu membawaku ke toilet?
Kenapa kamu tidak belajar di kelas saja.
Aku malas.
Deg! Seriusan nih?!
Ada yang lebih penting dibandingkan belajar. Apa berita itu benar kamu yang
mencelakan kakak kelas setahun yang lalu. Membuatnya koma dan cacat serta mencuri soal
ujian? Aku menelan ludah. Aku tidak mau menjawab, tapi tatapan Tia memaksaku untuk
menjawabnya. Lalu aku mengangguk. Ceritakan padaku kejadiannya.
Jadi, setahun yang lalu, aku memergoki kakakku kelas sedang mencuri soal ujian.
Kejadiannya sore hari ketika semua siswa sudah pulang. Aku memergokinya dan dia
langsung mengancamku. Aku berjanji padanya tidak akan memberitahu siapapun. Tapi dia
tidak percaya sehingga memaksaku untuk membantunya. Aku tidak mau, namun dia
memaksaku, bahkan dia juga mengeluarkan pisau. Merasa terancam, aku menggunakan
kemampuan bela diriku untuk melawannya. Tanpa sadar kakak kelas itu sudah pingsan.
Ketika kakak kelas itu sadar, dia tidak mengatakan apa yang terjadi, karena jika ia
memberitahukan pelakunya, sama saja dengan memberitahu dirinya kalau dia pencuri soal.
Yang menjadi masalah adalah, Mira, Nata dan Juan melihatnya dan mengancam ku akan
mengadukan hal ini ke sekolah dan teman-teman dengan alasannya mencoba pembunuhan
kakak kelas.
Tapi bukan kamu kan yang mencuri soal? aku menggeleng. Berarti kamu tidak
salah.
Percuma. Aku sudah berteriak kalau aku memang salah namun bukan aku yang
mencuri soal. Tapi mereka lebih percaya kepada gosip karena itulah yang menyenangkan.

Lebih senang memercayai hal yang spektakuler walaupun itu adalah bohongan. Mereka lebih
memercaya Mira, Nata dan Juan.
Tapi sekolah tidak memercayainya kan? aku menggeleng. Berarti kamu harus
bertindak tegas kepada mereka. Kamu harus memberitahu apa saja yang sudah mereka
lakukan padamu? Seperti menyontek.
Aku terdiam. Melihat keengananku, Tia melotot. Jangan bilang kalau kamu merasa
kasihan kepada mereka?
Jika aku mengadukan hal ini, ini sama saja menyeretku untuk disalah.
Memang kamu pantas disalahkan, teriak Tia tegas. Kamu salah karena kamu tidak
mau tegas kepada diri kamu sendiri. Takut menolak dan berpendapat menjadi penurut
merupakan hal yang terbaik. Penurut memang sifat yang baik, tapi ada saatnya kamu harus
membangkak, menolak. Jika kamu tidak menolak mereka, sama saja kamu menjahati
mereka.
Kau menarik mereka ke jurang kebodohan dengan membiarkan mereka
menyuruhmu melakukan tugas mereka dan memberikan jawabanmu.
Lalu aku harus apa? tanyaku frustasi. Dia sudah lelah disalahkan terus menerus.
Walaupun ia tahu, Tia benar.
Bilang kepada guru atas tindakan mereka selama ini. Ketika aku mau memprotes,
dia langsung menyela. Cukup katakan kalau mereka menyontek. Apa kau sanggup? Apa
kamu takut kamu akan terbawa ke masalah ini?
Aku terdiam hingga beberapa menit lamanya. Lalu aku mengangguk.
Keesokan harinya, dengan tekad yang kuat aku menghadap para guru untuk
mengatakan sesuatu. Tia dan Rana sengaja datang pagi-pagi untuk menemaniku masuk ke
ruang guru dan menunggu di luar. Rana, begitu kuceritakan apa kejadiannya, dia langsung
memelukku memberiku semangat. Dia memercayaiku dan akan mendukungku apa yang
ingin kulakukan saat ini.
Aku pun keluar dengan napas lega. Walaupun mataku merah dan basah karena
menangis, aku berhasil melewati interogasi mendadak para guru. Tia dan Rana langsung
memelukku begitu melihatku.
Bagaimana? tanya mereka berdua.
Aku dimarahi dan diberi peringatan agar tidak melakukannya lagi. Lalu aku diberi
tugas untuk mengerjakan soal sebanyak 50 soal setiap pelajaran Matematika, bahasa
Indonesia, Fisika, Kimia dan Biologi. Bukunya ada di perpustakaan. Kalau Mira, Nata dan
Juan, katanya mereka akan masuk ke ruang BK dan orang tua mereka akan dipanggil.
Masalah hukumannya, aku tidak tahu, kataku sambil terisak.
Yah... setidaknya itu yang terbaik sekarang. Kamu sudah menarik mereka lagi dari
jurang kebodohan dan kesewenang-wenangan, kata Tia. Rana pun menagngguk setuju.
Lalu Tia pun bergegas jalan ke kelas yang diikuti oleh Rana.
bergeming.

Namun aku pun

Rana! Tia! panggilku membuat mereka berdua menoleh. Maukah kalian menjadi
temanku?
Tia hanya tersenyum sinis. Bodoh! Tentu saja aku mau.

Anda mungkin juga menyukai