Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Keluarga membentuk unit dasar dari masyarakat, dan salah satu
lembaga social yang memiliki efek-efek yang paling menonjol. Unit dasar ini
memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap perkembangan individu yang
menentukan berhasil tidaknya kehidupan individu tersebut. Keluarga
berfungsi sebagai buffer atau sebagai agen penawaran antara masyarakat
dengan individu. Dengan kata lain fungsi keluarga adalah sebagai perantara
yaitu menanggung semua harapan-harapan dan kewajiban serta membentuk
dan dan mengubah taraf hidup tertentuhingga dapat memnuhi kebutuhan dan
kepentingan setiap anggota. Sebuah keluarga diharapakan dapat bertanggung
jawab dalam memenuhi kebutuhan dan tuntutan setiap anggota keluarga setiap
anggota keluarga demikian pula halnya dengan kesehatan, bila salah satu
anggota keluarga ada yang sakit itu akan sangat mempengaruhi anggota
keluarga lain, oleh sebab itu harus segera ditangani (Friedman, 1998).
Dalam pelaksanaan asuhan keperawatan keluarga yang menjadi
prioritas utama adalahkeluarga yang berisiko tinggi, diantaranya keluarga
yang

memiliki

anggota

keluarga

dengan Tuberculosis. Tuberculosis

merupakan masalah kesehatan yang serius yang sering terjadi dalam senuah
keluarga. Dari data yang diperoleh menunjukkan adanya peningkatan dari
tahun ke tahun. Diperkirakan ada 450.000 orang penderita tuberculosis baru
setiap tahun, dan sebanyak itu pulayang tidak terdiagnosis dimasyarakat,
sedangkan yang meninggal 175.000 orang pertahun. Penyakit ini merupakan
penyakit yang emngganggu sumber daya manusia dan umumnya menyerang
kelompok masyarakat ekonomi rendah, penyakit ini menular dengan cepat
kepada orang yang rentan dan daya tubuh rendah. Diperkirakan penderita
tuberculosis aktif dapatmenularkan basil tuberculosis kepada 10 orang yang
berada disekitarnya. Peningkatan kasus dan kematian yang disebabkan oleh
tuberculosis antara lain karena tidak terobati, tidak mengerti telah terinfeksi

dan lain-lain. Dalam hal ini peran tenaga kesehatan sangat dibutuhkan
untukdapat menanggulangi bertambah banyaknya penderita dan kematian
karena tuberculosis. Khususnya dalam pengobatan saat ini telah muncul
setrategi baru yang disebut setrategi DOTS (Directly Observed Treatment
Short) yaitu pengobatan tuberculosis jangka pendek dengan pengawasan ketat
dari petugas kesehatan dan keluarga, dalam hal ini peran anggota keluarga
penderita sangat penting agar tidak terjadi putus obat. Strategi ini
diperkenalkan oleh WHO (World Health Organization); DOTS tidak hanya
mencakup pengawasan langsung, tetapi juga pelayanan laboratorium,
penyediaan obat-obat ampuh serta pemantauan langsung, untuk itu diperlukan
PMO (Pengawasan Minum Obat). Diharapkan dengan adanya strategi DOTS
di Indonesia dapat mengurangi jumlah penderita dan penularan tuberculosis.
Di negara seperti Peru, Vietnam, Tanzania, Bangladesh dan Nepal
menunjukkan hasil positif, dilihat dari keberhasilannya dalam memberantas
tuberculosis (Merryani, 2002).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN
Tuberculosis merupakan penyakit menular granulomatosa kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada umumnya menyerang
paru (tuberculosis paru), tetapi juga dapat mengenai semua organ/jaringan
dalam tubuh (tuberculosis ekstra paru/tuberculosis organ). Secara khas pusat
dari granuloma akan mengalami nekrosis kaseosa yang timbul tuberkel lunak
(Robbin dan Kumar, 1995). Sumber lain menyebutkan tuberculosis paru
adalah infeksi bakteri yang akut dan kronik serta menular (Grifith, 1994).
B. ETIOLOGI/PREDISPOSISI
Penyebab tuberculosis adalah mycobacterium tuberculosis, sejenis
kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/m dan tebal 0,3-0,6/m.
Spesies lain dari kuman ini yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia
adalah mycobacterium bovis, mycobacterium kansasii, mycobacterium
intracellulare.
Sebagian besar dari kuman ini terdari dari asam lemak (lipid). Lipid
inilah yang membuat kuman tahan lebih lama terhadap asam dan lebih tahan
terhadap gangguan kimia dan fisik. Kuman dapat tahan hidup pada udara
kering maupun dingin (dapat hidup bertahun-tahun dilemari es). Hal ini terjadi
karenakuman berada dalam sifat Dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat
bengkit lagi dan menjadikan tuberculosis aktif lagi.
Didalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam
sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian
disenangi karena mengandung lemak.
Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman
lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini
tekanan oksigen pada bagian apical paru lebih tinggi daripada bagian lain.,
sehingga bagian apical merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis
(Bahar, 1998)

C. PATHOPHISIOLOGI
Penularan tuberculosis paru terjadi kerena kuman keluar bersamaan
dengen droplet pada saat batuk atau bersin. Partikel infeksius ini dapat
menetap selama 1-2 jam di udara bebas, tergantung pada ada tidaknya sinar
ultra violet, ventilasiyang baik dan kelembaban. Dalam suasana yang lembab
dan gelap kumandapat bertahan berhari-hari, berminggu-minggu bahkan
berbulan-bulan.
Baila partikel infelsius ini terhisap oleh orang sehat, akan menmpel pada
jalan nafas atau paru. Kebanyakan pertikel ini kan mati atau dibersihkan oleh
makrofag dan keluar dari cabang tracheo bronchial beserta gerakan sillia
dengan sekretnya. Kuman dapat juga masuk melalui luka pada kulit atau
mukosa tapi hal ini jarang terjadi.
Bila kuman tetap dijaringanparu, kuman akan tumbuh dan berkembang
biak dalam sitoplasma makrofag. Disini kuman dapat terbawa masuk ke organ
tubuh lainnya. Kuman yang bersarang dijaringan paru akan membentuk
sarang tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek
primer. Sarang primer ini dapat terjadi dibagian mana saja dijaringan paru
(Bahar,1998).
1. TUBERCULOSIS PRIMER
Tuberculosis primer adalah suatu penyakit yang berkembang mulamula pada orang yang tidak terpapar dan karenanya orang belun
tersensitasi (Robbins dan Kumar, 1995).
Dari sarang primer akan timbul peradangan getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan diikuti pembesaran kelenjar getah bening
(limfadenitis regional).
Komplek primer ini selanjutnya dapat terjadi :
1. Sembuh sekali tanpa menimbulkan cacat
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis
fibrotik, kalsifika di hilus atau kompleks (sarang) Ghon.
3. Berkomplikasi dan menyebar kesekitarnya secara :
a. Perkontuinuitatum, yakni menyebar kesekitarnya

b. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru yang


disebelahnya. Dapat jugakumaqn tertelan bersama sputum dan
ludah sehingga menyebar ke usus.
c. Secara hematogen, keorgan tubuh lainnya
d. Secara limfigen, ke organ tubuh lainnya (Bahar, 1998)
2. TUBERCULOSIS POST PRIMER
Tuberculosis post primer adalah pola penyakit berkembang pada tuan
rumah yang dulunya sudah tersentisasi. Biasanya dihasilkan dari
reaktivasi lesi primer dormant setelah beberapa decade (Robbins dan
Kumar, 1995)
Kuman yang dorman ada tuberculosis primer akan muncul bertahuntahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa
(tuberculosis post primer). Tuberculosis post primer dimulai sarang dini
yang berlokasi regio atas paru (bagian apical posterior lobus superior dan
inferior). Invasinya adalah ke parenkim paru dan tidak ke nodus hiler
paru.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil.
Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yaitu suatu granuloma
yang terdiri dari sel-sel Datia Langhans (sel besar dengan banyak inti)
yang dikelilingi oleh sel limfosit dan bermacam-macam jaringan ikat.
Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya dan imunitas penderita,
sarang dini dapt terjadi :
1. Diresorbsi kembali dan sembuh tnpa meninggalkan cacat
2. Sarang yang mula-mula meluas tetapi segera menyembuuh dengan
sebutan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi lebih
keras menimbulkan pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk
pengapuran
3. Sarang

dini

yang

meluas

dimna

granuloma

berkembang

menghancurkan jaringan sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami


nekrosis dan menjadi lembek membentuk keju. Bila jaringan keju
dibatukkan keluar, akan menjadi kavitas. Kavitas ini mula-mula

berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi


jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas
skletorik (Bahar,1998).
Kavitas Dapat :
Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Sarang
ini selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang telah disebutkan
terlebih dahulu.
Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberculoma.
Tuberculoma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif
kembali menjadi cair dan kavitas lagi.
Bersih dan sembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga
sembuh dengan membungkus diri dan menjadi kecil. Kadangkadang berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan
berbentuk seperti bintang disebut Stella Shaped (Bahar, 1998)
Secara keseluruhan terdapat 3 macam sarang yakni
Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak memerlukan
pengobatan lagi
Sarang aktif eksudatif, sarang bentuk ini memerlukan pengobatan
yang lengkap dan sempurna
Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini
dapat sembuh dengan spontan, tapi mengingat dapat terjadi
eksaserbasi kembali, sebaiknya diberikan pengobatan yang
sempurna (Bahar,1998)
D. GAMBARAN KLINIS
Keluhan yang dirasakan penderita tuberculosis dapat bermacam-macam
atau malah tanpa keluhan sama sekali. Keluhan yang terbanyak adalah :
1. Demam
Biasanya sub febris menyerupai demam influenza. Tapi kadang-kadang
panas badan mencapai 40C-41C
2. Batuk

Batuk terjadi karena adanya iiritasi pada bronkus, batu ini berfungsi untuk
membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada
setiap penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni berminggu-minggu
atau berulan-bulan dari peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari
batuk kering (non produktif) kemudian setelah timbul perandangan
menjadi produktif ( menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah
berupa batuk darah (hemapnoe) karena terdapat pembuluh darah yang
pecah. Kebanyakan batuk berdarah pada tuberculosis terjadi kavitas, tetapi
dapat juga terjadi ulkus dinding bronchus.
3. Sesak
Pada penyakit ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas, akan
ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut. Dimana infiltrasinya sudah
setengah bagian paru.
4. Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
5. Mailase
Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala mailase
sering ditemukan berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, badan makin
kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat
malam dan lain-lain. Mailase makin lama makin berat dan terjadi hilang
timbul secara tidak teratur (Bahar, 1998)
E. KLASIFIKASI TUBERCULOSIS
Di Indonesia klasifikasi yang dipakai adalah:
1. Tuberculosis paru
2. Bekas tuberculosis paru
3. Tuberculosis tersangka yang terbagi dalam :
a. Tuberculosis paru tersangka yang diobati disini sputum BTA negatif,
tapi tanda-tanda lain positif.
b. Tuberculosis paru tersangka yang tidak diobati, disini sputum BTA
negatif dan tanda-tanda lainnya juga meragukan.

Klasifikasi Tuberculosis Menurut American Lungs adalah :


a. Group 0 : tak terpapar tuberculosis, tidak terinfeksi
b. Group 1 : terpapar tuberculosis, tanpa bukti infeksi
c. Group 2 : infeksi tuberculosis tanpa penyakit
d. Group 3 : tuberculosis adalah penyakit paru (penderita dengan diagnosa
yang lengkap : reaksi tuberculosis yang bermakna, bukti klinis
dan bukti radiology adanya tuberculosis)
e. Group 4 : tuberculosis tanpa penyakit baru (penderita dengan riwayat
tuberculosis lama atau radiology yang abnormal tetapi test
tuberculin tidak bermakna, tanpa bukti klinis)
f

Group 5 : tuberculosis tersangaka, digunakan selama peeriksaan untuk


mendiagnosa

tersangaka,

tidak

lebih

dari

tiga

bulan

(Ignatavicius, 1991)
F. PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tada-tanda :
1. Tanda-tanda infiltrat (redup, bronchial, ronkhi basah)
2. Tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum
3. Secret di saluran nafas dan ronkhi
4. Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung
dengan bronchus (Mansjoer, 1999)
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK TUBERCULOSIS
Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah (LED normal atau meningkat, limfositosis)
2. Sputum
Pemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis tuberculosis paru.
Disamping itu juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang
diberikan. Kadang-kadang tidak mudah untuk mendapatkan sputum
terutama pada penderita yang tidak batuk maupun batuk tetapi non
produktif.
Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, penderita
dianjurkan minum sebanyak 2 liter dan idanjurkan melakukan batuk

efektif. Dapat juga memberikan tambahan obat-obatan mukolitik


ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik slama 20-30
menit. Bila masih sulit sputum dapat diperoleh dengan bronchoscopy.
Sputum yang sudah didapat harus mengandung kuman BTA. Criteria
sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang
kuman BTApada sediaan. Dengan kata lain diperlukan 50000 kuman
dalam 1 ml sputum. Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu
penanaman sputum dalam medium biakan, koloni kuman tuberculosis
mulai tampak. Bila setelah 8 minggu pananaman, kolini tidak tampak,
biakan dinyatakan negatif. Medium biakan yang sering digunakan adalah
Lowenstien Jensen dan ATS.
3. Test Tuberculin
Biasanya memakai cara Mantaux yakni yakni dengan menyuntikan
0,1 cc Tuberculin PPD (Purified Protein Derivate) intra cutan 5
TU(intermediate strength). Setelah 48-72 jam tuberculin disuntukkan akan
timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit
yakni persenyawaan antara anti bodi dan antigen tuberculin.
Hasil Mantaux dibagi dalam :
a. Indurasi berdiameter 0-5 mm

: hasil negatif

b. Indurasi berdiameter 6-9 mm

: hasil meragukan

c. Indurasi berdiameter 10-15 mm

: hasil mantaux positif

d. Indurasi berdiameter lebih dari 16 mm : hasil mantaux positif kuat


Biasanya hampir seluruh penderita memberikan reaksi mantaux
yang positif (99,8%). Kelemahan test ini terdapat positif palsu yakni
pemberian BCG atau terinfekssi dengan mycobacterium lain. Negatif
palsu lebih banyak ditemukan daripada positih palsu.
Hal-hal yang menyebabkab reaksi tuberculin berkurang :
a. Penderita yang baru 2-10 minggu terpapar tuberculosis
b. Alergi, penyakit sistemik berat (sarcoidosis, L.E)
c. Penyakit Exanthe matous dengan panas yang akut : morbilli, cacar air,
cacar, poliomyelitis.

d. Reaksi hiper snesitifitas menurun pada penyakit limforetikuler


(Hodgin)
e. Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat imunosupresi
lainnya.
f. Usia tua, malnutrisi, uremia, keganasan (Bahar, 1998).
H. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Foto thorax PA dan lateral, gambaran foto thorax yang menunjang
diagnosis tuberculosis adalah :
a. Bayangan lesi terletak pada bagian apex paru (segmen apical lobus atas
atau segmen apical lobus bawah)
b. Bayangan berwarna (patchy) atau bercak (nodular)
c. Adanya kavitas tunggal atau ganda
d. Kelainan bilateral, terutama lapang paru atas
e. Adanya klasifikasi
f. Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian
g. Bayangan millier (Mansjoer, 1999)
I. PENGOBATAN
Tujuan :
1. Menyembuhkan Penderita
2. Mencegah kematian
3. Mencegah kekambuhan
4. Menurunkan tingakat penularan 85%
5. Mencegah terjadinya resisten obat (Cermin Dunia Kedokteran, 2002 :
137)
JENIS OBAT DAN DOSIS OBAT (Obat anti tuberculosis)
1. Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakteriasid, dapat membunuh 90% populasi
kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif
dalam keadaan metabolic efektif, yaitu kuman yang sedang berkembang.
Dosis hariannya dianjurkan 5mg/kgBB, sedangkan untuk pengobatan
intermitten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10mg/kgBB.

2. Rifamphisin (R)
Bersifat bakteriasid, dapat membunuh kuman semi-dormant (persister)
yang tidak dapat dibunuh oleh INH. Dosis 10mg/kgNN diberikan sama
untuk pengobatan harian maupun intermitten seminggu 3 kali.
3. Pirasinamid (Z)
Bersifat bakteriasid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel
dengan suasana asam. Dosis harian dianjurkan 25 mg/kgBB, sedangkan
untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis
35mg/kgBB.
4. Streptomicin (S)
Bersifat baketriasid, dosis hariannya dianjurkan 15 mg/kgBB sedangkan
untuk pengobatan intermitten 3 kali sehari menggunakan dosis yang sama.
Penderita umur 60 tahun dosisnya 0,75gr/hari. Sedangkan diatas usia 60
tahun diberikan 0,5 gr/hari.
5. Ethambutol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis hariannya dianjurkan 15 mg/kgBB
sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu dosis
30mg/kgBB.
Kategori Pengobatan Berdasarkan Kasus :
a. Kategori I (2HRZE/4H3R3)
Diberikan pada pendrita baru BTA (-), tetapi rontgen (+), dan ekstra paru
berat. Diberikan 114 kali dosis harian berupa 60 kombipak II dan fase
lanjutan 54 kombipak III dalam kemasan dos kecil.
b. Kategori II (2HRZES/5H3R3E3)
Diberikan kepada penderita dengan BTA (+) yang pernah mengkonsumsi
OAT (obat anti tuberculosis) sebelumnya lebih dari sebulan, dengan
criteria : penderita kambuh BTA (+) dan gagal pengobatan BTA (+).
Diberikan 156 dosis, fase awal sebanyak 90 kombipak II, fase lanjutan 60
kombipak IV disertai streptomicin
c. Kategori III (2HRZ/4H3R3)

Diberikan kepada penderita dengan BTA (-), rontgen (+) dan penderita
ekstra paru ringan. Pemberian dengan dosis 144. Pada fase awal 60
kombipak I dan fase lanjutan 54 kombipak II.
PATHWAYS

J. FOKUS INTERFENSI
1. Iefektif bersihan jalan nafasberhubungan dengan secret kental (Doengoes,
1993 : 244)
Tujuan

: mempertahankan jalan nafas pasien, mengeluarkan secret


tanpa bantuan

Intervensi :
a. Kaji funsi pernafasan, contoh : bunyi nafas, kecepatan, irama dan
kedalaman dan penggunaan otot tambahan
b. Catat kemampuan untuk batuk efektif dan mengeluarkan dahak, catat
karakter, jumlah sputum, adanya hemoptosis.
c. Berikan pasien posisi semi fowler dan bantu pasien untuk batuk efektif
dan latihan nafas dalam.
d. Bersihkan secret dari mulut dan trachea, penghisapan sesuai
kebutuhan.
e. Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500ml/hari kecuali kontra
indikasi.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan
efektif alveoli (Doengoes, 1993 : 245)
Tujuan

: tidak

adanya

penurunan

nafas/dispnue,

menunjukkan

perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat


Intervensi :
a. kaji dispnoe, takhipnoe, terbatasnye ekspansi dinding dada dan
kelemahan.
b. Evaluasi perubahan pada tingakat kesadaran dengan observasi,
sianosis, perubahan pada warna kulit, termasuk membrane mukosa
dan kuku.
c. Batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesaui keperluan.
d. Berikan tambahan oksigen yang sesuai.
3. Kerubahan nutrisi kurangdari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia
(Tucker, 1992 : 258)

Tujaun

: pasien mampu mempertahankan nutrisi yang adekuat dan berat


badan tetap stabil

Intervensi :
a. Pantau berat badan
b. Kaji nutrisi
c. Pantau albumin
d. Beringkan pasiendengan posisi fowler saat makan untuk mengurangi
dispnoe.
e. Beri makan dalam porsi kecil, tetapi sering.
f. Berikan dorongan pada orang terdekat untuk membawakan pasien
membawakan makanan kesukaannya.
4. Gangguan rasa nyaman : nyeri dada berhubungan dengan proses
peradangan (Carpenito, 1998 : 55)
Tujuan

: nyeri berkurang

Intervensi :
a. Kaji skala nyeri .
b. Kaji pasien pada saat merasa nyeri.
c. Berikan indivdu kesempatan untuk istirahat siang secara teratur dan
dengan waktu tidur yang tidak terganggu pada malam hari (harus
beristirahat bila nyeri)
d. Ajarkan teknik relaksasi
e. Kolaborasi dalam pemberian analgetik
5. Resiko

tinggi

penyebaran

infeksi

berhubungan

dengan

terpajan

lingkungan, kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen


(Doengoes, 1993 : 242)
Tujuan

: mengidentifikasi untuk mencegah dan menurunkan resiko


penyebaran infeksi.

Inetrvensi :
a. Kaji pathologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi melalui
droplet udara

b. Identifikasi orang lain yang beresiko, misalnya anggota keluarga di


rumah
c. Anjurkan pasien untuk batuk dan bersin dengan mengeluarkannya
pada tissue dan menghindari meludah.
d. Tekankan pentingnya tidak menghentikan terapi obat
e. Kaji pentingnya mengikuti kultur ulang secara periodic terhadap
sputum untuk lamanya terapi
f. Dorong pasien untuk memilih mkanan yang seimbang
g. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai dengan indikasi
6. Intoleransi akativitas berhubungan dengan fatique (Ignatavicius, 1991)
Tujaun

: pasien mampu memenuhi kebutuhan sendiri dan merawat


dirinya

Intervensi :
a. Motivasi pasien untuk beraktivitas sesuai dengan kemampuan
b. Kaji RR, warna kulit, nadi setelah pasien beraktivitas
c. Bantu pasien memenuhi kebutuhan ADL seminimal mungkin
d. Libatkan keluarga dalam pemenuhan ADL pasien
e. Anjurkan pasien untuk mendemonstrasikan perawatan diri sesuai
dengan kemampuan.

DAFTAR PUSTAKA
Bahar, Asril. (1998). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Penerbit FKUI : Jakarta
Friedman, Marilyn M. (1998). Family Nursing Teoryand Practice. Edisi III.
Penerjemah Ina Debora R. L. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
Stanhope, Marcia. (1995). Hand Book of Community and Home Health Nursing
Tools for Assesment, Intervention and education. Penterjemah : G.
Prasada. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
Doengoes, Marilynn E & Moorehouse, Mary Frances & Geissler, Alice. (1993).
Nursing Care Plans Guidelines for Planning and Documenting Patien
Care. Edisi III. F. A Davis Company: Philadelphia.
Griffith, H. Winter. (1994). Complete Guide to Symtomps, Illnessand surgery.
Cetakan I. Penterjemah : Peter Anugrah. Penerbit Arcan : Jakarta.
Ignatavicius, Donna D & Baynes, Marylin Varner. (1991). Medical Surgical
Nursing :

A Nursing Process Approach. W. B Saunders Company :

Philadelphia
Mansjoer, Arief.(1999). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid 1. Penerbit
Media Aesculapius FKUI : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai