Anda di halaman 1dari 13

1

INKONTINENSIA URIN PADA USIA LANJUT


Faried Irawanto
Jusri Ichwani
PENDAHULUAN
Inkontinensia urin merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada usia lanjut.
Sering dianggap suatu bagian dari proses penuaan dan jarang dikeluhkan oleh pasien,
khususnya wanita, yang mempunyai persepsi bahwa kejadian tersebut sangat memalukan. Hal
tersebut menyebabkan pasien terisolasi dari orang-orang sekitarnya dan menimbulkan rasa
kurang percaya diri dan depresi. Inkontinensia urin juga dapat menimbulkan masalah
kesehatan seperti iritasi kulit lokal, gatal-gatal dan infeksi saluran kencing. Pada pasien
dengan kondisi yang lemah dan terbaring lama di tempat tidur dapat timbul ulkus oleh karena
tekanan, yang dapat menyebabkan meningkatnya resiko infeksi lokal maupun sistemik
termasuk osteomielitis dan sepsis. Oleh karena itu sangat penting bagi seorang dokter untuk
mengetahui mekanisme dan managemen inkontinensia urin pada pasien lanjut usia
(Bahgwath, 2003).
Prevalensi inkontinensia urin bervariasi di setiap negara. Beberapa faktor penyebab
diantaranya adalah karena perbedaan definisi inkontinensia yang dipergunakan, populasi
sample penelitian, dan metodologi penelitian. Prevalensi inkontinensia urin sulit dinilai
karena alasan budaya dan sosial. Prevalensi yang rendah mungkin disebabkan oleh kurangnya
pelaporan karena inkontinensia urin masih dianggap sebagai suatu yang memalukan dan tabu
untuk dibicarakan. Di Amerika Serikat penderita inkontinensia urin pada pekerja wanita
meningkat dari 43% pada tahun 1970 menjadi 60% pada tahun 2002 (Nihira, 2003, Fultz,
2005). Beberapa penelitian menyebutkan prevalensi inkontinensia urin pada laki-laki 11,2%
dan pada wanita 21,6%. Dan diantara responden tersebut, 53% wanita dan 59% laki-laki
mengalami inkontinensia urin setiap hari (Maggi, 2001). Pada wanita usia lanjut beresiko
menderita inkontinensia urin lebih sering dari pada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1.
Secara histologis, gambaran hipertrofi pada otot halus, kolagen dan jaringan elastis lebih
sering terjadi pada wanita usia lanjut (Klaussner, 2003).
Dilihat dari segi ekonomi biaya yang diperlukan untuk mengatasinya cukup besar, di
Amerika lebih dari 16,5 miliar dolar dikeluarkan untuk mengatasi masalah inkontinensia urin
ini. Kurangnya pengetahuan tentang inkontinensia urin disertai dengan kurangnya
pemahaman

tenaga

profesional

kesehatan

tentang

manajemen

inkontinensia

urin

Tinjauan Kepustakaan Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr.


Soetomo

2
Surabaya, 6 April 2010

menyebabkan kurang tepatnya terapi yang bisa berakibat serius pada pasien-pasien berusia
lanjut (Nadir, 2009).
DEFINISI
Ada dua definisi yang sering digunakan untuk memahami inkontinensia urin, yaitu
yang direkomendasikan oleh International Continence Society (ICS) dan oleh Urinary
Incontinence Guidelines. Definisi dari International Continence Society (ICS) adalah keluhan
keluarnya urin yang tidak bisa dikendalikan. Termasuk disini adalah keluarnya urin setiap
saat, kejadian inkontinensia urin dalam 12 bulan, > 1 kejadian inkontinensia urin, > 2 kejadian
inkontinensia urin dalam 1 minggu (Horrocks, 2004, Crestodina, 2007).
Dari aspek klinik praktis, inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang
tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan
jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya. Untuk kepentingan
penelitian epidemiologi, definisi di atas yang dipergunakan. Dalam menentukan prevalensi
inkontinensia urin di klinik, tempat perawatan kronik, klinik rawat siang dan masyarakat
masih digunakan definisi yang beragam dalam hal frekuensi, derajat keparahan, volume urin
yang keluar dan determinasi keluarnya urin (Kane, 2009).
FISIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI BERKEMIH
Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan serangkaian
koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase yaitu fase
penyimpanan dan fase pengosongan. Diperlukan keutuhan struktur dan fungsi komponen
saluran kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi dan lingkungan. Proses berkemih normal
melibatkan mekanisme terkendali dan tanpa kendali. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar
panggul berada dibawah kontrol volunter dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot
detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem saraf
otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak (Baghwath, 2003, Amir, 2008).
Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor,
lapisan submukosa dan lapisan mukosa. Ketika otot detrusor relaksasi, pengisian kandung
kemih terjadi, dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau
proses berkemih berlangsung. Kontraksi kandung kemih disebabkan oleh aktivitas
parasimpatis yang dipicu oleh asetilkolin pada reseptor muscarinik. Sfingter uretra internal
menyebabkan uretra tertutup, sebagai akibat kerja aktivitas saraf simpatis yang dipicu oleh
noradrenalin. Otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan.
Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medula spinalis dan pusat saraf yang

mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsang saraf
diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusat saraf kortikal dan sub kortikal.
Pusat subkortikal ( pada ganglia basal dan serebelum ) menyebabkan kandung kemih relaksasi
sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih.
Ketika pengisian kandung kemih berlanjut, rasa penggembungan kandung kemih disadari dan
pusat kortikal ( pada lobus frontal ) bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada
pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan
menunda pengeluaran urin. (Baghwath, 2003, Kane), 2009.
Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang saraf dari korteks disalurkan melalui
medula spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian
menyebabkan otot detrusor berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung kemih.
Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot.
Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik oleh saraf pelvis. Otot
detrusor juga mengandung reseptor prostaglandin. Prostaglandin inhibiting drugs dapat
mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi kandung kemih juga bersifat calcium-chanel
dependent. Oleh karena itu, calcium-chanel blockers dapat juga mengganggu kandung kemih.
Inervasi sfingter uretra internal dan eksternal bersifat kompleks. Untuk memberikan
pengobatan dan penatalaksanaan inkontinensia urin yang efektif, petugas kesehatan harus
mengerti dasar inervasi adrenergik dari sfingter dan hubungan anatomi ureter dan kandung
kemih. Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra internal dan eksternal bersifat
kompleks. Untuk itu, pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa ( pseudoephedrin ) dapat
memperkuat kontraksi sfingter, sedangkan zat alpha-blocking (terazosin / hytrin)) dapat
mengganggu penutupan sfingter. Inervasi adrenergik beta menyebabkan relaksasi sfingter
uretra. Karena itu, zat beta-adrenergik blocking agent ( propanolol ) dapat mengganggu
karena menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktifitas kontraktil adrenergik-alfa
(Steers, 2002, Dubeau, 2002)
Komponen penting lainnya dalam mekanisme sfingter adalah hubungan uretra dengan
kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang
tepat antara uretra dan kandung kemih. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada
posisi yang tepat dari uretra hingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif
ditransmisikan ke uretra. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat
terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen. Gambar 1 dan 2
berikut melukiskan beberapa komponen yang terlibat dalam mempertahankan proses miksi
dan sekaligus kontinen urin (Crestodina, 2007).

Gambar 1. Diagram kandung kemih

Gambar 2. Distribusi sistem saraf pada


kandung kemih dan urethra

PROSES MENUA DAN INKONTINENSIA URIN


Proses menua baik pada laki-laki maupun perempuan telah diketahui mengakibatkan
perubahan-perubahan anatomis dan fisiologis pada sistem urogenital bagian bawah.
Perubahan-perubahan tersebut berkaitan dengan menurunnya kadar estrogen pada perempuan
dan hormon androgen pada laki-laki. Pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan
fibrosis, kandungan kolagen sehingga mengakibatkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi dan
mudah terbentuk trabekulasi sampai divertikel (Dubeau, 2002).
Atrofi mukosa, perubahan vaskularisasi submukosa dan menipisnya lapisan otot uretra
mengakibatkan menurunnya tekanan penutupan uretra dan tekanan outflow. Pada laki-laki
terjadi pengecilan testis dan pembesaran kelenjar prostat sedangkan pada perempuan terjadi
penipisan dinding vagina dengan timbulnya eritema dan ptekie, pemendekan dan penyempitan
ruang vagina serta berkurangnya lubrikasi dengan akibat meningkatkan PH lingkungan
vagina. Telah diketahui bahwa dasar panggul mempunyai peran penting dalam dinamika
miksi dan mempertahankan kondisi kontinen. Melemahnya fungsi dasar panggul disebabkan
oleh banyak faktor baik fisiologis maupun patologis (trauma, operasi, denervasi neurologik)
(Kane, 2009).
Dari pembahasan dampak proses menua terhadap struktur anatomi dan fisiologis
sistem urogenital bawah dapat dipahami bahwa usia lanjut merupakan faktor kontributor

terjadinya inkontinensia tipe stres, urgensi dan luapan (overflow). Jadi perlu ditekankan
bahwa usia lanjut bukan sebagai penyebab inkontinensia urin. Perlu dibedakan 4 penyebab
pokok yaitu : gangguan urologik, neurologis, fungsional/psikologis dan iatrogenik/lingkungan
(Durrant, 2003).
KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebab, inkontinensia urin dibagi menjadi inkontinensia urin akut dan
kronik. Inkontinensia urin kronik dibagi lagi menjadi 5 macam yaitu tipe stres, tipe urgensi,
tipe overflow, tipe campuran, dan tipe fungsional (Klausner, 2003, Nadir, 2009).
1. Tipe stres
Tipe stres merupakan tipe yang paling sering dijumpai. Pada tipe stres, urin keluar
akibat peningkatan tekanan intraabdomen seperti saat batuk, bersin, tertawa, atau
melemahnya otot dasar panggul yang disebabkan oleh latihan yang berat atau luka di
dasar panggul akibat kecelakaan.
2. Tipe urgensi
Keluarnya urin akibat rangsangan dan keinginan yang kuat untuk kencing yang tidak
dapat ditahan karena kontraksi tiba-tiba dan kuat oleh detrussor. Kadang tiba-tiba mau
kencing dan langsung keluar tanpa dapat ditahan dan keluar dengan sendirinya.
Kadang-kadang keluar pada waktu tidur. Biasa pada infeksi : urethritis akut, sistitis
akut, hypertonic neurogenic bladder.a
3. Tipe luapan ( overflow )
Keluarnya urin terus menerus karena kandung kemih yang penuh melebihi kapasitas
kandung kemih dan tekanan spinchter urethrae. Biasa pada obstruksi parsial urethra ,
dekompensasi buli-buli misalnya flaccid neurogenic bladder, pembesaran prostat
(BPH, kanker prostat), hipotonia bladder : dysfungsi myoneural lokal, hipotonia
bladder senilis, coma, obat narcose, menahan kencing sampai over relaksasi.
4. Tipe fungsional
Inkontinensia urin yang disebabkan faktor-faktor diluar saluran urin bagian bawah
seperti kelainan fisik atau fungsi kognitif.
5. Tipe campuran
Inkontinensia yang mempunyai gejala gejala inkontinensia tipe stres dan urgensi.
Pasien umumnya mengalami keinginan kencing yang tidak tertahankan dan sering
berkemih serta hilangnya kontrol kencing pada waktu batuk, bersin atau mengangkat
barang berat.

Urge

Stress

Functional

Overflow

Gambar 3. Tipe-tipe dasar inkontinensia urin pada usia lanjut

DIAGNOSIS
Diagnosis inkontinensia urin bertujuan untuk menentukan kemungkinan inkontinensia
urin tersebut reversibel, menentukan kondisi yang memerlukan uji diagnostik khusus,
menentukan jenis penanganan operatif, obat dan perilaku. Langkah pertama proses diagnosis
adalah identifikasi inkontinensia urin melalui observasi langsung atau mengajukan
pertanyaan-pertanyaan penapis. Untuk mencapai tujuan diagnosis dilakukan pendekatan yang
komperehensif beberapa aspek : riwayat penyakit, pemeriksaan fisik terarah, urinalisir,
volume residu pasca berkemih dan pemeriksaan penunjang khusus. Adapun komponenkomponen evaluasi diagnostik inkontinensia urin meliputi (Crestodina, 2007).
1. Semua pasien
Riwayat penyakit termasuk catatan berkemih
Pemeriksaan fisik
Urinalissis
Pengukuran volume residu urin post miksi
2. Pasien dengan kondisi tertentu
Laboratorium
Kultur urin
Sitologi urin
Gula darah, kalsium darah
Uji fungsi ginjal
USG ginjal
Pemeriksaan ginekologik
Pemeriksaan urologik
Cystouretroskopi
Uji Urodinamik
Simpel
Observasi proses pengosongan kandung kemih
Batuk
Cystometri simpel
Kompleks
Urine flowmetry
Multichannel cystometrogram
Pressure-flow study
Leak-point pressure
Urethral pressure profilometry
Sphingter electromyography
Video urodynamics

TATALAKSANA
Telah dikenal beberapa modalitas terapi dalam penatalaksanaan pasien dengan
inkontinensia urin. Umumnya berupa tatalaksana non farmakologis, farmakologis maupun
pembedahan. Tidak ada satu modalitas terapi yang dapat mengatasi semua jenis
inkontinensia urin, sebaliknya satu tipe inkontinensia urin diatasi dengan beberapa modalitas
terapi bersama sama. Spektrum modalitas terapi meliputi : terapi non farmakologis meliputi
terapi suportif non spesifik (edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentu),
intervensi tingkah laku (latihan otot dasar panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan
berkemih, latihan kebiasaan); terapi medikamentosa; operasi; dan pemakaian kateter.
Keberhasilan penanganan pasien tergantung pada keberhasilan proses diagnosis dalam
menentukan tipe inkontinensia, faktor faktor kontribusi reversible dan problem medik akut
(Landi, 2003, Crestodina, 2007).
Intervensi perilaku yang merupakan tatalaksana non farmakologis yang memiliki
resiko yang rendah dengan sedikit efek samping, namun memerlukan motivasi dan kerjasama
yang baik dari pasien. Secara umum strategi meliputi edukasi pada pasien atau pengasuh
pasien (caregiver). Intervensi perilaku meliputi bladder training, habit training, prompted
voiding, dan latihan otot dasar panggul. Teknik teknik canggih yang dapat melengkapi
teknik behavioral ini antara lain stimulasi elektrik, biofeedback dan neuromodulasi (Huang,
2006).
Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif di antara terapi non
farmakologis lainnya. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal
dengan teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per
hari atau 3-4 jam sekali. Pasien diharapkan dapat menahan sensasi untuk berkemih. Pasien
diinstruksikan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,
selanjutnya interval berkemih diperpanjang secara bertahap sampai pasien ingin berkemih
setiap 2-3 jam. Teknik ini terbukti bermanfaat pada inkontinensia urin tipe urgensi dan stres,
namun untuk itu diperlukan motivasi yang kuat dari pasien untuk berlatih menahan keluarnya
urin dan hanya berkemih pada interval waktu tertentu saja (Mardon, 2006).
Latihan otot dasar panggul merupakan terapi yang efektif untuk inkontinensia urin tipe
stres atau campuran dan tipe urgensia. Latihan dilakukan tiga sampai lima kali sehari dengan
15 kontraksi dan menahan hingga 10 detik. Penelitian uji klinik menunjukkan bahwa 56-77%
pasien mengalami perbaikan dalam jangka pendek dengan latihan tersebut. Terdapat pula
penelitian yang menunjukkan bahwa peningkatan perbaikan akan timbul selama paling tidak
10 tahun. Latihan dilakukan dengan membuat kontraksi berulang ulang pada otot dasar
panggul. Dengan memperkuat otot tersebut, latihan ini diharapkan dapat meningkatkan

kekuatan uretra untuk menutup secara sempurna. Sebelum pasien menjalani latihan, harus
dilakukan lebih dahulu pemeriksaan vagina atau rektum untuk menetapkan apakah mereka
dapat mengkontraksikan otot dasar panggulnya (Holroyd, 2005).
Habit training memerlukan penjadwalan waktu berkemih. Diupayakan agar jadwal
berkemih sesuai dengan pola berkemih pasien sendiri. Teknik ini sebaiknya digunakan pada
inkontinensia urin tipe fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas kesehatan atau
pengasuh pasien. Prompted voiding dilakukan dengan cara mengajari pasien mengenali
kondisi atau status inkontinensia mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi
kognitif (Klausner, 2003).
Terapi biofeedback bertujuan agar pasien mampu mengontrol atau menahan kontraksi
involunter otot detrusor kandung kemihnya. Cara biofeedback mempunyai kendala karena
penderita perlu mempunyai intelegensia yang cukup untuk dapat mengikuti petunjuk
pelatihnya, sementara pelatihnya sendiri harus mempunyai kesadaran dan kesabaran serta
motivasi yang tinggi karena waktu yang diperlukan untuk dapat mendidik satu orang pasien
dengan cara ini cukup lama (Klausner, 2003).
Stimulasi elektrik merupakan terapi yang menggunakan dasar kejutan kontraksi otot
pelvis dengan menggunakan alat alat bantu pada vagina atau rektum. Terapi ini tidak begitu
disukai oleh pasien, karena pasien harus menggunakan alat sehingga kemajuan dari terapi ini
terlihat lamban (Klausner, 2003).
Penggunaan kateter menetap (indwelling catheter) sebaiknya tidak digunakan secara
rutin dalam pengelolaan inkontinensia urin karena dapat terjadi infeksi saluran kemih bahkan
sampai sepsis, pembentukan batu, abses dan bocor. Kateter menetap ini dapat digunakan bila
terjadi retensi urin yang lama sehingga menyebabkan infeksi saluran kemih atau gangguan
ginjal. Kateter intermiten merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan
kandung kemih. Teknik ini diajarkan kepada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung
kemih. Namun demikian teknik ini beresiko untuk terjadinya infeksi saluran kemih
(Ouslander, 2004).
Terapi farmakologis atau medikamentosa telah dibuktikan mempunyai efek yang baik
terhadap inkontinensia urin tipe urgen dan stres. Obat-obat yang digunakan dapat digolongkan
menjadi : antikolinergik-antispasmodik, agonis adrenergic , estrogen topikal, antagonis
adrenergik . Pada semua obat yang dipergunakan untuk pasien geriatri harus diperhatikan
efek sampingnya. (Nadir, 2009)
Tindakan operatif dilakukan atas pertimbangan yang matang dan didahului dengan
evaluasi urodinamik. Pada perempuan yang mengalani prolaps pelvik yang signifikan dan

inkontinensia tipe stres yang tidak membaik dengan penaganan konservatif harus dilakukan
upaya operatif. Pada laki-laki dengan tanda obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat
dapat dilakukan operasi sebagai upaya pencegahan inkontinensia urin tipe luapan (overflow)
di kemudian hari. Beberapa cara untuk melemahkan otot detrusor dilakukan dengan
menggunakan pendekatan postsakral atau paravaginal. Teknik pembedahan yang bertujuan
untuk merusak struktur dan kekuatan detrusor seperti transeksi terbuka kandung kemih,
transeksi endoskopik, injeksi penol periureter dan sistolisis telah banyak digunakan. Teknik
pembedahan yang paling banyak digunakan adalah ileosistoplasti dan miektomi detrusor.
Teknik pembedahan untuk inkontinensia tipe stres adalah injectable intra urethral bulking
agents, suspensi leher kandung kemih, urethral slings dan artificial urinary sphingcters.
Teknik pembedahan untuk inkontinensia tipe urgensi adalah augmentation cystoplasty dan
stimulasi elektrik (Crestodina, 2007, Kane, 2009)
Salah satu modalitas terapi yang perlu mendapat perhatian bagi tenaga kesehatan
adalah pemakaian kateter dan perawatannya. Dalam praktek klinik, penggunaan kateter sering
merupakan tindakan pertama yang dilakukan untuk penderita inkontinensia urin akut.
Terdapat 3 cara atau prosedur pemakaian kateter yaitu : kateter eksternal (kateter kondom),
kateterisasi intermiten dan kateterisasi kronik atau menetap. Kateter eksternal hanya dipakai
pada inkontinensia intractable tanpa retensi urin yang secara fisik dependen. Resiko
pemakaian kateter tersebut adalah infeksi dan iritasi kulit. Kateterisasi intermiten dipakai
untuk mengatasi retensi urin dan inkontinensia urin tipe overflow akibat kandung kemih yang
akontraktil atau Detrussor hiperactivity with impaired contractility (DHIC). Prosedur ini
dapat dilakukan 2-4 kali per-hari oleh pasien atau tenaga kesehatan. Biasanya teknik ini
digunakan pada pasien inkontinensia akut (Durrant, 2003)
RINGKASAN
Inkontinensia urin merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada usia lanjut.
Sering dianggap suatu bagian dari proses penuaan dan jarang dikeluhkan oleh pasien,
khususnya wanita, yang mempunyai persepsi bahwa kejadian tersebut sangat memalukan. Hal
tersebut menyebabkan pasien terisolasi dari orang-orang sekitarnya dan menimbulkan rasa
cemas dan depresi.
Pada wanita usia lanjut lebih sering menderita inkontinensia urin dibandingkan pada
laki-laki dengan perbandingan 2:1. Dan Jika dilihat dari segi ekonomi biaya yang diperlukan
untuk mengatasinya cukup besar.

10

Untuk mencapai tujuan diagnosis dilakukan pendekatan yang komperehensif beberapa


aspek, yaitu riwayat penyakit, pemeriksaan fisik terarah, urinalisir, volume residu pasca
berkemih dan pemeriksaan penunjang khusus.
Telah dikenal beberapa modalitas terapi dalam penatalaksanaan pasien dengan
inkontinensia urin. Umumnya berupa tatalaksana non farmakologis, farmakologis maupun
pembedahan. Tidak ada satu modalitas terapi yang dapat mengatasi semua jenis
inkontinensia urin, sebaliknya satu tipe inkontinensia urin diatasi dengan beberapa modalitas
terapi bersama sama.
Daftar Pustaka
1.

Amir B, Farrell SA (2008). SOGC committee opinion on urodynamics Testing. J

2.

Obstet Gynaecol Can 30, 717-721


Baghwath G (2003). Incontinence in the elderly : pathogenesis and management.

3.

Journal Indian Academy of Clinical Medicine 2, 271-275


Crestodina LR (2007). Assesment and management of urinary incontinence in the

4.

elderly male. The Nurse Practitioner 32, 27-34


DuBeau CE (2002). Epidemiology, risk factor and pathogenesis of urinary

5.

incontinence. Up to Date, 10(2)


Durrant J, Snape J (2003). Urinary incontinence in nursing homes for older people.

6.

Age and ageing 32, 12-18


Fultz N, Girts T, Kinchen K, Nygaard I, Pohl G, Sternfeld B (2005). Prevalence,
management and impact of urinary incontinence in the workplace. Journal

7.

Occupational Medicine 55, 552-557


Holroyd JM, Strauss SE (2005). Management of urinary incontinence in women.

8.

Jama 291, 996-999


Horrocks S, Somerset M, Stoddart H, Peters TJ (2004). What prevent older people
from seeking treatment fo urinary incontinence ? A qualitative exploration of barriers to

9.

the use of community continence services. Journal Family Practice 21, 689-696
Huang AJ, Brown JS, Kanaya AM, Creasman JM, Ragin AI, Eeden SK, Thom DH
(2006). Quality of life impact and treatment of urinary incontinence in ethnically diverse

10.

older women. Arch Intern Med 166, 2000-2006


Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B (2009). Incontinence. In : Essentials of
Clinical Geriatrics. 6th edition. Editors : Shanahan J, Naglieri C. Mc Graw Hill

11.

Companies, 213-263
Klausner AP, Vapnek JM (2003). Urinary incontinence in the geriatric population. The
Mount Sinai Journal of Medicine 70, 54-61

11

12.

Landi F, Cesari M, Russo A, Onder G, Lattanzio F, Bernabei R (2003). Potentially


reversible risk factors and urinary incontinence in frail older people living in

13.

community. Age and Ageing 32, 194-199


Maggi S, Minicuci N, Langlois J, Pavan M, Enzi G, Crepaldi G (2001). Prevalence rate
of urinary incontinence in community-dwelling elderly individuals.

Journal

Gerontology Medical Sciences 56A, 14-18


14.

Mardon RE, Halim S, Pawlson LG, Haffer SC (2006). Management of urinary

15.

incontinence in medicare managed care beneficiaries. Arch Intern Med 166, 1128-1133
Nadir NA, Silverberg MA (2009). Urinary incontinence. Available at :

16.

www.emedicine.com Accessed on December 1th 2009


Nihira MA, Henderson N (2003). Epidemiology of urinary incontinence in women.

17.
18.

Current Womens Health Reports 3, 340-7


Ouslander JG (2004). Management of overactive bladder. N Engl J Med 350, 786-99
Strohbehn K (2007). Shades of dry curing urinary stress incontinence. N Engl J Med

19.

356, 21
Steers WD (2002). Pathophysiology of overactive bladder and urge urinary
incontinence. Rev Urol 4, S7-S18

----------oo0oo-----------

12

Lampiran 1.

BLADDER RECORD
Date :

Day :

/
month

Day

INSTRUCTIONS :
(1) In the 1st column make a mark every time during the 2-hour
period you
urinate into the toilet
(2) Use the 2nd column to record the amount you urinate (if you
are measuring amounts)
(3) In the 3rd or 4th column, make a mark every
time you accidentally leak urine
Urinat
Amoun
Reason
Time
e
t
Leaking
Large
for
in
Interval
toilet
accident accident
Accident
6-8 AM
8-10 AM
2-4 PM
4-6 PM
6-8 PM
8-10 PM
10-12 PM
Overnigh
t
Number of pads
used today :
* For example, if you coughed and have a leaking
accident, write "cough"
If you had a large accident after a strong urge to
urinate, write "urge"

Lampiran 2.

INCONTINENCE MONITORING RECORD


INSTRUCTIONS : EACH TIME THE PATIENT IS CHECKED
1) Mark one of the circles in the BLADDER section at the hour closest to the time the patient
is checked
2) Make an X in the BOWEL section if the patient has had an incontinent or normal bowel
movement
= Incontinent, small
X = Incontinent
amount
= Dry
BOWEL
= Incontinent, large
= Voided correctly
amount
X = Normal BOWEL
PATIENT NAME : _______________________
BLADDER
DR
Y

VOIDED
CORRECTL
Y

CC
CC
CC
CC
CC
CC
CC
CC
CC
CC
CC
CC

____
____
____
____
____
____
____
____
____
____
____
____

CC
CC
CC
CC
CC
CC
CC
CC
CC
CC
CC

____
____
____
____
____
____
____
____
____
____
____

INCONTINEN
T OF URINE
12.
AM
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12.
AM
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

ROOM #

DATE : _______________________
BOWEL

INCONTINEN
T X

NORMAL
X

INITIAL
S

COMMENT
S

13
11
TOTAL
S

CC ____

Anda mungkin juga menyukai