Anda di halaman 1dari 7

NYEPI dulu dan sekarang

Hari Raya Nyepi, atau disebut NyepiAdalah sesuatu


ritual Hindu yang unik yang dulunya hanya dikenal dan dilakukan masyarakat
Hindu di pulau Bali yakni dirayakannya 1 hari dalam 1 tahun . Ini adalah
peristiwa yang sangat menarik, dimana dalam satu hari itu tidak adanya
aktivitas sama sekali (sepi): Anda tidak akan diperkenankan menyalakan api,
bepergian, menikmati liburan dan melakukan aktifitas. Yang semuanya ini
disebut dgn Catur Bratha (Amati Gni, Amati Lelungan, Amati Lelaguan, Amati
karya).
Tapi Nyepi bagi masyarakat Indonesia maupun dunia sekarang ini bukanlah
suatu yang asing lagi. Semua orang sudah tahu Prosesi Hari Raya Nyepi.
Bahkan dalam issue Global Warning sekarang ini para aktifis NGO (Non
Government Organisation)/LSM dunia hendak mengadopsi perayaan Nyepi
sebagai suatu upaya untuk mengingatkan umat manusia untuk turut
berperan aktif dalam mengurangi dampak global warning sebut saja himbauan
untuk mematikan lampu/listrik selama 1 jam. Cuma baru 1 jam tetapi umat
Hindu khususnya di Bali sudah mematikan lampu/listrik dalam perayaan
Nyepi sudah 24 jam.

Nyepi sekarang ini bukan hanya milik orang Hindu di


Bali saja. Umat Hindu di Nusantara juga merayakan Nyepi meskipun
pelaksanaannya tidak se-ekstrim di Bali. Mungkin bagi umat Hindu yang
tinggalnya dalam satu Komplek masih bisa melaksanakan nyepi seperti di Bali
sedangkan yang tinggalnya menyebar biasanya mereka melakukan brata
penyepian di Pura. Catur brata penyepian di lingkungan pura dan di rumah

pribadi umat hindu tetap dilaksanakan meskipun lingkungan sekitarnya


masih penuh hiruk pikuk dan terang benderang oleh cahaya lampu/listrik.
Bagi masyarakat dunia yang masih asing dengan Nyepi tentunya bertanyatanya, Apa sih Sebenarnya Perayaan Hari Raya Nyepi ?
Hari Raya Nyepi adalah hari pergantian tahun Saka (Isakawarsa) yang
dirayakan setiap satu tahun sekali yang jatuh pada sehari sesudah tileming
kesanga pada tanggal 1 sasih Kedasa. Hari ini jatuh pada hitungan Tilem
Kesanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang
berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air hidup. Untuk itu
umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka.
Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya
merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan / kalender
Saka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru
Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktifitas
seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti
Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha
Esa, untuk menyucikan Buwana Alit (alam manusia / microcosmos) dan
Buwana Agung/macrocosmos (alam semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi,
terdapat beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu
diantaranya :
1. Melasti/Melis/Mekiyis.

Kegiatan Melasti atau Mekiyis biasanya dilakukan


tiga atau dua hari sebelum Nyepi, Pada hari tersebut, segala sarana
persembahyangan utamanya Pratima atau pralingga Ida Betara yang ada di
Pura (Pura Khayangan Tiga ; Pura Desa, Puseh dan Pura Dalem) dan PuraPura Swagina (Pura yang disungsung oleh umat Hindu berdasarkan Profesi
yang sama) di punut/ di sunggi ke pantai atau danau, karena laut atau
danau adalah sumber air yang di suci-kan (tirta amerta) dan bisa menyucikan
segala leteh (kotor) di semesta alam beserta isinya.

Kegiatan melasti dulunya diikuti oleh sebagian besar


umat dengan berjalan kaki. Disepanjang jalan yang dilalui umat biasanya
menghaturkan upakara/banten yang dihaturkan kepada Pralingga Ida Batara
yang lewat sedangkan kepada para pengiring (umat), masyarakat disepanjang
jalan menyiapkan air minum (ada yang tawar dan ada pula yang manis bagi
yang memiliki gula) bahkan ada buah-buahan yang dimilikinya dengan tulus
iklas. Mengingat-ngingat kejadian saat itu membuat saya terharu. Ini adalah
warisan leluhur yang luar biasa. Kepedulian, Empati dan simpati yang
ditunjukkan masyarakat semestinya harus dilestarikan. Tidak seperti
sekarang. Untuk ikut ngiring Pralingga Ida Batara saja sudah ogah. Umat
sudah sebagian besar mengikuti prosesi langsung melasti di pantai/danau
dengan berkendaraan. Disepanjang jalanpun sudah jarang-jarang orang
kelihatan ngaturang banten maupun menyediakan minuman apalagi buahbuahan. Sudah tidak ada lagi kepedulian dan keiklasan. Semua sekarang ini
sudah dinilai dengan materi.
Mengapa bisa terjadi?
Pengamatan saya menyimpulkan ada beberapa hal jadi penyebabnya
diantaranya :
1.

2.

3.

Perkembangan jaman dan teknologi telah mengibah prilaku masyarakat Bali


menjadi masyarakat individualis yang cendrung egois dan materialis. Semua
dihitung dengan materi tidak ada keiklasan.
Penilaian yang agak ekstrim adalah umat sekarang mulai malas jalan kaki
(karena sudah terbiasa naik kuda Jepang). Ngiring pralingga melasti sudah
bukan ukuran subakti kepada Ida Betara. Subakti kepada Ida Batara sudah
bergeser ke ngaturang bakti di segara saja. Proses untuk sampai di pantai
bukanlah menjadi tujuan, yang jadi tujuan adalah persembahyangan di
Pantai.
Umat sekarang ini sudah pada sibuk, waktu adalah uang semua diukur
dengan materi. Kalau kita perhatikan prosesi melastin sudah dimulai pagi hari
pukul 06.00, sekitar jam 09.00 atau 10.00 Wita arak-arakan ngiring Ida
Betara sudah sampai di Pantai. persembahyangan di Segara baru terlaksana
setelah jam 13.00 Wita. Ada waktu kurang lebih 3-4 jam umat bengong di
pantai tempat melasti, yang mana disekitar pemelastian juga sudah disiapkan

para pedagang makanan dan minuman bahkan mainan oleh panitia.


Umumnya pedagang-pedagang tersebut adalah saudara kita dari seberang.
Ada kesan prosesi persembahyangan sengaja diulur-ulur agar para pedagang
yang sudah bayar retribusi jualan dan sewa lolasi ke panitia dapat jualan (ada
apa ini..?)
2. Pecaruan
Pecaruan dilaksanakan sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "tilem sasih kesanga"
(bulan mati yang ke-9). Umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya di
segala tingkatan masyarakat,mulai dari yang terkecil yaitu di masing-masing
keluarga, banjar, desa, kecamatan, Kabupaten dan Propinsi, dengan
mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut
kemampuannya. Tingkatan upakara Buta Yadnya ini masing-masing bernama
Eka Sata (paling kecil), Paca Sata (kecil), Paca Sanak (sedang), dan Tawur
Agung
(besar).
Tawur
atau
pecaruan
sendiri
merupakan
penyucian/pemarisuda Buta Kala menjadi Buta Hita, dan segala leteh
(kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Tujuan dari pelaksanaan caru ini
adalah untuk mengharmoniskan kembali alam semesta beserta isinya
sehingga bernuansa baru lagi.
Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca
(lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam
brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini
ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan
memohon supaya mereka tidak mengganggu umat. Prosesi pecaruan/tahur ke
sanga ini biasanya mengambil tempat di depan pekarangan , perempatan
jalan, alun-alun maupun lapangan.
Setelah melakukan pecaruan, sore hari saat sandya kala ditiap tiap keluarga
melaksanakan ritual pengerupukan yaitu menyebar-nyebar nasi tawur,
mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan
pekarangan dengan mesiu (meriam bamboo), serta memukul benda-benda apa
saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini
dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan,
dan lingkungan sekitar.
Sejak Tahun 70-an masehi pada saat ritual pengerupukan diikuti dengan
sarana mengarak ogoh-ogoh (boneka raksasa berwujud buta kala/raksasa)
keliling desa/banjar. Sehabis mengarak ogoh-ogoh, ogoh-ogoh yang
merupakan simbolik buta kala itu disomia/dibakar di kuburan atau tanah
lapang.
Ada yang menarik menjadi catatan saya bahwa sekarang ini. Tradisi mengarak
ogoh-ogoh lebih ditonjolkan dari pada ritual pecaruan dan pengerupukan.
Ogoh-ogoh yang sebenarnya hanya merupakan bentuk kreatifitas pada

pemuda telah menenggelamkan hakekat dari pecaruan dan pengerupukan itu


sendiri. Ogoh-ogoh itu seolah-olah harus ada padahal sujatinya ritual
pecaruan dan pengerupukan itu tidak memerlukan sarana berupa ogoh-ogoh.
Tapi itulah yang terjadi sekarang ini hanya demi pariwisata budaya (katanya),
para pimpinan kita, tokoh-tokoh agama dan adat seakan tidak menyadari
pergeseran ini dan mereka semua diam.
Jauh-jauh hari sebelum saat pengerupukan ini banyak kelompok anak-anak
dan remaja membuat ogoh-ogoh. Kelompok-kelompok ini mengajukan
proposal bantuan dana kepada masyarakat sekitar (tanpa melihat agama
mereka) dalam menghimpun dana pembuatan ogoh-ogoh yang biayanya tidak
sedikit (dari jutaan sampai puluhan juta). Yang membuat miris hati saya
sekarang ini bahwa disetiap pembuatan ogoh-ogoh cenderung ada aktivitas
tambahan yaitu minum-minuman beralkohol alias mabuk-mabukan dengan
dentuman music yang memekakkan telinga. Niatnya akan nyomia buta kala
tapi kok malah kerangsukan buta kala ?
Demi sebuah pariwisata, kreatifitas arak-arakan ogoh-ogoh sekarang ini sudah
diparadekan dan bahkan ada yang dilombakan. Entah disadari atau tidak apa
yang dilakukan ini sebenarnya sedikit-demi sedikit telah mengarahkan anakcucu kita untuk melupakan tradisi pengerupukan. Bagaimana tidak lupa
orang dari siang hari umat kita sudah disibukkan dengan mempersiapkan diri
untuk mengarak ogoh-ogoh dan juga untuk menontonnya. Terus siapa nanti
yang
melakukan ritual pengerupukansementara kita semua sibuk
mempersiapkan parade ogoh-ogoh ???
3. Nyepi
Tepatnya pada tanggal 1 sasih kedasa (bulan ke-10) tibalah Hari Raya Nyepi
sesungguhnya. Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan
aktifitas seperti biasa. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan "Catur Brata"
Penyepian yaitu :
Amati Geni : tidak menyalakan api secara lahir (tidak merokok, tidak
menyalakan kompor, tidak menyalakan lampu, dll) dan secara batin
dimaksudkan untuk mengekang dan mengendalikan diri dari hal-hal yang
bersifat negatif seperti mematikan api amarah dan api asmara.
Amati Karya yaitu tidak bekerja secara lahir dan secara batin menghentikan
kegiatan
jasmani
dengan
merenung/mawas
diri.
Amati Lelungan yaitu tidak bepergian karena semua orang melakukan Tapa
Brata Penyepian dan seyogyanya kita tidak menganggu ketenangan orang lain.
Amati Lelanguan yaitu tidak mengadakan hiburan/rekreasi dan bersenangsenang.Semua
umat
Hindu
harus
merenung
dan
mawas
diri

Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa,brata,yoga dan


semadhi. Dalam situasi seperti ini diharapkan umat Hindu bias melakukan
mulat sarira/introspeksi diri sehingga kedepannya bisa berbuat lebih baik
sebagaimana diamanatkan dalam ajaran agama Hindu.
Begitu luhur ajaran yang diwariskan kepada kita yang sudah semestinya
harus kita lestarikan.
untuk memulai tahun baru, benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru
yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru Caka pun, dasar
ini dipergunakan, sehingga semua yang kita lakukan berawal dari tidak ada,
suci
dan
bersih.
Tiap
orang
berilmu
(sang
wruhing
tattwa
jana)melaksanakan brata (pengekangan
hawa
nafsu), yoga ( menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan), tapa(latihan
ketahanan menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan
akhirnya adalah kesucian lahir batin).
Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin
untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru.
Kebiasaan merayakan hari raya dengan berfoya-foya, berjudi, mabuk-mabukan
adalah sesuatu kebiasaan yang keliru dan mesti diubah.
Tapi apa yang terjadi sekarang ini. Nyepi sekarang ini
bukanlah
melaksanakan Catur Brata Penyepian (empat larangan saat Nyepi)
melainkan liburan dirumah. Jujur kita akui dan lihat umat kita memang tidak
memasak dengan kompor tetapi dengan race cooker, tidak bepergian dengan
berkendaraan motor tapi jalan kaki atau naik sepeda gayung, tidak nonton
TV/mendengarkan radio tapi main game atau kartu dan tidak bekerja dikantor.
Dulu umat kita kalau liat pecalang atau ada pecalang lewat, yang semula
ngomongnya agak keras menjadi melemah dan diam bahkan sembunyi ke
dalam rumah tapi sekarang malah terbalik yaitu dengan membiarkan bahkan
ngajak anak-anak ke jalan duduk-duduk dipinggir jalan bahkan ada yang main
bola dsb. Dulu orang nyuri-nyuri nyalakan lampu tapi sekarang .akh seakan
cuek bebek hingga ditegor langsung aparat atau pecalang. Terus kalau begitu
buat apa diadakan tugas jaga oleh pecalang dan prajuru banjar/desa? Umat
kita seakan sudah tidak bisa menghargai dirinya sendiri.Tidak hanya anakanak saja, malah orang tua sekarang tidak bisa memberi contoh yang baik.
Bagaimana bisa melaksanakan brata penyepian kalau sudah begini.?!!

4. Ngembak
Ini merupakan akhir dari pelaksanaan Catur Brata Penyepian yang jatuh pada
tanggal 2 sasih kedasa (bulan ke-10) yang dilanjutkan dengan
pelaksanaan Dharma Santi serta saling mengunjungi antar umat untuk saling
memaafkan sehingga umat bisa memulai tahun baru Caka dengan hal-hal
baru yang positif. Biasanya umat juga memanfaatkan hari ini untuk
mengunjungi tempat-tempat wisata sehingga hati menjadi gembira dengan
pengharapan agar di tahun yang baru keadaan lebih mengembirakan.
Demikianlah sesungguhnya rangkaian pelaksanaan hari Raya Nyepi, Apa yang
menjadi catatan penulis adalah bersifat subyektif yaitu apa yang penulis lihat
disekeliling penulis. Sekiranya ditempat lain pelaksanaan Catur Brata
Penyepian sudah baik kami merasa bersyukur dan berharap menjadi contoh
buat kami yang masih kurang baik. mudah-mudahan saja sisi negative yang
saya lihat hanya terjadi dilingkungan sekitar saya saja. Namaste.

Anda mungkin juga menyukai