Anda di halaman 1dari 5

3 Perspektif Utama HI yang Wajib Kamu

Pahami Sejak Dini

Dalam HI, satu fenomena internasional yang sama bisa jadi


berbeda penjelasannya. Semua itu bergantung pada perspektif
yang digunakan.

Pada artikel sebelumnya kita sudah membicarakan tentang tingkat analisa dalam HI,
yakni sistem internasional, negara, dan individu. Kali ini kita akan melanjutkan
pembahasan materi pada topik perspektif dalam Hubungan Internasional. Namun,
sebelum berbicara panjang lebar tentang perspektif, saya akan mengajak Anda untuk
melihat salah satu fenomena nyata yang terjadi di dunia ini, yakni terkait dengan isu
keamanan.
Beberapa tahun terakhir, dunia keamanan dihebohkan dengan aksi terorisme ISIS yang
terjadi di beberapa negara di dunia. Aksi tersebut kemudian melibatkan PBB dan
negara-negara besar hingga membuat mereka harus turun tangan untuk memberikan
respon terhadap serangan tersebut.

Tak jarang cuplikan berita tersebut akan membuat kita bertanya-tanya, Mengapa hal itu
terjadi? Apa yang mendasarinya? Lalu bagaimana kemudian kita dapat menganalisa
dan menyikapi fenomena ini?
Umumnya, kita dapat menemukan beberapa penjelasan terkait alasan atau latar
belakang dari aksi teorisme tersebut melalui penjelasan-penjelasan dari perdana
menteri suatu negara, atau pihak-pihak lain yang bersangkutan. Akan tetapi beberapa
penjelasan tersebut seringkali tidak bisa begitu saja menjawab pertanyaan yang ada di
dalam pikiran kita. Sehingga kita membutuhkan sebuah alat bantu agar bisa memenuhi
rasa keingintahuan kita tersebut.
Disinilah guna dari perspektif atau teori hubungan internasional. Sebagai sebuah kajian
pengetahuan, ilmu Hubungan Internasional memiliki landasan teoritis yang menjadi
lensa bagi para penstudinya dalam mengkaji fenomena-fenomena HI. Fungsi lensa
tersebut adalah untuk membantu para penstudi dalam memahami dan menganalisa
perilaku aktor atau fenomena yang terjadi di berbagai tingkat analisa. Di HI, landasan
teoritis tersebut kita kenal dengan sebutan perspektif.
Perspektif atau teori dalam sebuah kajian studi berguna untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang tidak bisa dengan mudah kita temukan dalam penjelasan media. Tidak
hanya mengenai perilaku satu negara, tetapi juga terkait fenomena tersebut secara
global.
Dalam ilmu hubungan internasional sendiri, terdapat beberapa perspektif yang bisa
digunakan untuk mengkaji berbagai fenomena internasional. Namun, dalam
pembahasan kali ini kami akan fokus pada tiga perspektif saja. Tiga perspektif ini dipilih
karena banyak menjadi dasar atas pengembangan perspektif-perspektif lainnya. Di
semester awal, tiga perspektif inilah yang biasanya akan diberikan.
Ketiga perspektif tersebut adalah Realisme, Liberalisme, dan Radikalisme. Ketiga
perspektif ini memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat setiap tingkatan
analisa HI.
Tiga perspektif tersebut dapat Anda gunakan sejak dini (di semester-semester awal)
untuk melihat berbagai fenomena hubungan internasional. Seperti kita ketahui
bersama, salah satu ciri mahasiswa Hubungan Internasional adalah kita harus selalu
up to date dengan berita-berita internasional baik itu sosial, politik dan budaya. Sebagai
mahasiswa S2 HI, saya pun harus terus aktif mencari berita-berita terbaru di dunia
internasional yang sedang terjadi saat ini. Nah, perbedaan yang mendasar antara
mahasiswa HI dan orang-orang lain pada umumnya adalah dalam hal cara pandangnya
ketika membaca berita-berita tersebut. Lebih tepatnya adalah kita melihatnya dengan
sebuah landasan teoritis, atau perspektif.
Lalu, bagaimanakah pandangan masing-masing persepektif tersebut dalam melihat
sistem internasional, negara, maupun individu?

Ada 3 perspektif utama yang digunakan dalam Ilmu Hubungan Internasional

Realisme
Realisme didasarkan pada sebuah pemahaman bahwa manusia pada umumnya
merupakan individu yang egois dan haus akan kekuasaan. Karakter manusia yang
seperti inilah yang akhirnya membentuk sistem internasional yang anarki. Sistem yang
anarki merujuk pada kondisi di mana tidak ada kekuasaan tertinggi yang bisa mengatur
dan menciptakan keteraturan di dalamnya.
Untuk memahami pengertian dari sistem yang anarki, Anda bisa menggunakan analogi
kelas perkluliahan, di mana di dalamnya terdapat terdapat dosen dan mahasiswa.
Dosen memiliki kekuasaan untuk mengatur mahasiswa, bisa memberi tugas, mengatur
tempat duduk mahasiswa, bahkan mengeluarkan mahasiswa. Artinya dosen merupakan
pemegang kekuasaan tertinggi dalam kelas tersebut sehingga bisa terjadi keteraturan
di dalam kelas. Sementara menurut pandangan realis, kondisi semacam itu tidak ada
karena mereka berpandangan bahwa tidak ada yang berhak untuk mengatur satu sama
lain selain dirinya sendiri.
Selain itu Realis melihat negara sebagai aktor tunggal yang rasional dan paling penting
dalam dunia internasional. Negara akan melakukan apapun demi tercapainya
kepentingan nasionalnya. Hal tersebut dilakukan dalam rangka mengumpulkan
kekuasaan atau power. Oleh karena itu perpektif ini juga berpandangan bahwa karakter
dari individu dan negara adalah self-help dimana mereka hanya dapat bergantung pada
diri mereka sendiri.
Terkait dengan peperangan, pespektif ini juga beranggapan bahwa perang adalah
sesuatu hal yang tidak dapat dihindari. Perang hanya dapat dihindari dengan adanya
keseimbangan kekuatan dalam sistem internasional.
Teori dan konsep yang berkembang dalam perspektif realisme beberapa diantaranya
adalah Balance of Power, Security Dilemma, Alliance, dan Game theory. Tokoh-tokoh
yang realis dalam HI diantaranya adalah Thucydides, Hans Morgenthau, Thomas
Hobbes dan Clausewitz.

Liberalisme
Liberalisme memiliki pemahaman yang berbeda dengan Realisme dalam melihat
fenomena sosial. Berbeda dengan perspektif Realisme yang memandang sistem
internasional sebagai sesuatu yang anarki, Liberalisme melihat sistem internasional
sebagai sebuah sistem yang teratur (seperti kondisi kelas perkuliahan tadi). Bagi kaum
Liberal, dunia ini memiliki tatanan-tatanan yang mengatur masyarakat internasional.

Dalam konteks negara, Liberalisme berasumsi bahwa negara dapat melakukan


kerjasama untuk menciptakan kondisi internasional yang damai dan teratur. Hal
tersebut dapat terjadi karena ketika negara sudah saling membantu dan bergantung
satu sama lain maka mereka akan berpikir ulang untuk menyerang negara lain.
Sehingga bagi kaum Liberalis, alih-alih mengakumulasi kekuasaan agar bisa
bergantung pada diri sendiri, maka lebih baik negara saling bergantung agar mendapat
keuntungan bersama.
Di tingkat individu, perspektif ini berpendapat bahwa sifat dasar dari manusia adalah
baik sehingga memungkinkan untuk terbentuknya kerja sama dan sebuah tatanan
sosial yang baik pula.
Sementara terkait dengan peperangan, Liberalis percaya bahwa peperangan adalah hal
yang dapat dihindari melalui sebuah aktivitas kolektif dan kerjasama internasional.
Teori dan konsep yang dikemukakan dalam perspektif Liberalisme diantaranya complex
interdependence theory, democratic peace theory, dan instutionalisme. Adapun
beberapa tokoh yang mendukung perspektif atau teori-teori liberalisme seperti Francis
Fukuyama, Immanuel Kant, dan Ikenberry.

Radikalisme
Radikalisme merupakan perspektif yang menjadikan faktor ekonomi sebagai faktor
yang paling menentukan dinamika interaksi antar aktor. Kaum radikalis melihat sistem
internasional sebagai sebuah sistem yang terstratifikasi akibat dari adanya sistem
kapitalisme. Stratifikasi itu terbagi ke dalam dua kelas, yakni pemilik modal (borjuis) dan
pekerja (proletar). Hubungan antar aktor pun dicirikan sebagai hubungan yang
eksploitatif dari kelas borjuis ke kelas proletear untuk melanggengkan sistem
kapitalisme itu sendiri.
Kaum radikalis melihat negara sebagai agen kapitalisme yang melanggengkan sistem
kapitalis itu sendiri. Di tingkat negara, kelas borjuis adalah negara-negara maju dan
kelas pekerja adalah negara-negara berkembang. Negara maju dicirikan sebagai
negara yang berbasis teknologi dan mereka bisa menghasilkan surplus produksi serta
modal yang berlebih berkat kemajuan yang mereka miliki tersebut. Sementara negara
berkembang adalah negara-negara yang masih berbasis pertanian dan sumber daya
alam mentah. Bahan-bahan mentah yang dihasilkan oleh alam negara berkembang
dikirim ke negara maju untuk kemudian diolah menjadi bahan jadi yang bernilai jauh
lebih mahal. Karena negara maju sudah tercukupi kebutuhannya, maka hasil produksi
tersebut adalah surplus yang pada akhirnya dijual kembali ke negara berkembang.
Mengingat negara berkembang tidak bisa memproduksi sendiri bahan-bahan jadi yang
juga memang mereka butuhkan tersebut, maka tidak ada pilihan lain bagi mereka selain
membelinya. Sehingga dari situ terciptalah suatu hubungan ketergantungan dari negara
berkembang ke negara maju.

Buruknya sistem ini adalah, surplus produksi dan kelebihan modal yang ada di negara
maju itu alih-alih digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan negara berkembang,
malah dijadikan alat untuk melanggengkan sistem kapitalisme itu sendiri guna
memaksimalkan keuntungan pribadi si pemilik modal. Selain negara, pelaku lainnya
adalah perusahaan multi-nasional atau MNCs dan bank-bank pemberi pinjaman
internasional. MNCs membuka perusahaan baru di negara-negara yang bisa membuat
biaya produksi mereka rendah sehingga bisa menghasilkan keuntungan yang lebih
besar bila dibandingkan dengan memproduksi di negaranya sendiri.

Penutup
Setiap perspektif memiliki pemahaman yang berbeda dalam melihat fenomena
internasional. Adanya variasi pemahaman ini dapat menjadi pilihan bagi mahasiswa HI
untuk menentukan ciri khasnya dalam menganalisa isu-isu hubungan internasional.
Biasanya, semakin lama kita berkuliah di HI, akan semakin terlihat perspektif mana
yang paling dominan dalam membentuk pola pikir kita yang bisa dilihat dari cara kita
menanggapi atau melihat suatu permasalahan. Tetapi, anak HI tetap harus bisa
menganalisa atau mengkaji berbagai fenomena dari semua perspektif secara netral.
Apakah Anda sudah paham bagaimana pandangan masing-masing perspektif di setiap
tingkatan analisa? Atau apakah Anda sudah siap untuk menemukan jati diri kalian
sebagai anak HI? Silahkan bagi uneg-unge kalian di kolom komentar ya!

Anda mungkin juga menyukai