Anda di halaman 1dari 5

Definisi Pajak Penghasilan Penghasilan

1) Menurut Pasal 21
A. Pengertian, Definisi dan Arti Pajak Penghasilan Pasal 21
PPh atau Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji,
honor / honorarium, upah, tunjangan dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jasa, jabatan dan
kegiatan.
B. Pihak Yang Masuk Dalam Golongan Pemotongan PPh Pasal 21
1. Pihak pemberi kerja yang terdiri atas orang pribadi dan badan.
2. Perusahaan, Badan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
3. Bendaharawan pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah / pemda.
4. Dana pensiun, PT Taspen, PT Asabri, Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
5. Yayasan, asosiasi, lembaga, organisasi massa, organisasi sosial politik, kepanitiaan,
perkumpulan dan organisasi lainnya serta organisasi internasional yang telah ditentukan
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
C. Pihak Yang Tergolong Penerima Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 21
1.Pegawai tetap
2. Penerima honorarium / honor
3. Penerima upah
4. Tenaga lepas seperti seniman, penceramah, pengelola proyek, peserta perlombaan,
olahragawan, pemberi jasa, petugas dinas luar asuransi.
5. Distributor MLM atau direct selling dan kegiatan lain yang sejenis.
6. Penerima pensiun, mantan pegawai, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang
menerima Tabungan Hari Tua / Jaminan Hari Tua.
7. Tenaga ahli seperti pengacara, arsitek, notaris, aktuaris, penilai, konsultan, akuntan, dokter,
dan lain sebagainya.
D. Pihak Yang Penghasilannya Tidak Terkena Potongan PPh Pasal 21
Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari perwakilan negara
asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama. Syaratnya adalah bukan warga negara Indonesia (WNI) dan selama berada di
Indonesia tidak menerima bentuk penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya. Selain itu
negara tempat perwakilan asing tersebut juga memperlakukan yang sama terhadap perwakilan
dari Indonesia berdasarkan asas timbal balik (riciprocitas).
Pejabat perwakilan organisasi internasional berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan selama
orang tersebut bukan WNI dan tidak menjalankan usaha, pekerjaan atau kegiatan lain untuk
memperoleh penghasilan di Indonesia.
E. Penghasilan Yang Tidak Kena Potongan Pajak Penghasilan / PPh Pasal 21
Pembayaran asuransi pada asuransi kecelakaan, asuransi kesehatan, asuransi jiwa,
asuransi bea siswa, dan asuransi dwiguna.
2. Iuran pensiun yang dibayar kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan dan Iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang
dibayarkan oleh pemberi kerja.
3. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali bentuk natura yang diatur dalam
Keputusan Dirjen Pajak.
4. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lain dengan nama apapun yang diberikan
oleh pemerintah.

5. Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja


6. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga atau badan amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
F. Tarif Pajak Penghasilan Pasah 21 / PPh21
Pegawai Negara, Pegawai Negeri Sipil / PNS, anggota TNI Polri yang menerima honorariun
serta bentuk imbalan lain yang berasal dari keuangan negara atau keuangan daerah
penghasilan dipotong pph 21 sebesar 15% kecuali untuk golongan IId atau lebih rendah, TNI
Polri pangkat Peltu ke bawah atau Ajun Insp. / Tingkat I ke bawah.
2. Orang yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan dan uang
saku harian yang jumlahnya lebih dari Rp. 24.000 sehari namun kurang dari Rp. 240.000 kena
potongan 5% dari penghasilan bruto setelah dikurangi dengan PTKP (penghasilan tidak kena
pajak) harian atau apabila tahunan maka dibagi 360.
3. Orang yang menerima pesangon, Tunjangan Hari Tua, Tebusan Pensiun atau Jaminan Hari
Tua yang dibayarkan sekaligus. Untuk yang nominalnya antara Rp. 25.000.000 sampai dengan
Rp. 50.000.000 terkena potongan pph21 sebesar 5%. Untuk antara Rp. 50.000.000 sampai
dengan Rp. 100.000.000 terkena pph 21 sebesar 10%. Kemudian untuk antara Rp.
100.000.000 sampai dengan Rp. 200.000.000 dipotong pph21 20% dan yang terakhir apabila
menerima Rp. 200.000.000 lebih terkena potongan pph21 25%.
4. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dikenakan potongan penghasilan pph 21
sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto yaitu 50% (lima puluh persen) dari penghasilan
bruto. Tenaga ahli contohnya seperti arsitek, dokter, pengacara, akuntan, konsultan, notaris,
penilai dan aktuaris.
5. Orang yang menerima honor atau honorarium, hadiah / penghargaan, bea siswa, uang
saku, komisi, dan bentuk pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa dan kegiatan yang
jumlahnya dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa
atau kegiatan. Mantan Pegawai yang menerima jasa produksi, bonus, gratifikasi dan tantiem.
Peserta program pensiun yang menarik dananya pada dana pensiun semua dikenakan tarif
berdasarkan pasal 17 Undang-undang PPh dikali Penghasilan Bruto.
6. Pegawai tetap, pegawai tidak tetap, pemagang, calon pegawai, penerima pensiun bulanan,
distributor multi level marketing atau MLM serta direct selling dan kegiatan sejenis dikenakan
tarif sesuai dengan yang ada di Pasal 17 Undang-Undang PPh 21 dikali dengan Penghasilan
Kena Pajak (PKP). Berikut ini adalah cara menghitung penghasilan kena pajak / pkp :
Pegawai tetap dihitung dengan cara mengurangi penghasilan kotor dengan biaya jabatan
sebesar 5% maksimal Rp. 1.296.000 setahun atau Rp. 108.000 per bulan dikurangi lagi
dengan biaya iuran pensiunm iuran jaminan hari tua dan dikurangi lagi dengan PTKP atau
penghasilan tidak kena pajak.
Penerima pensiun bulanan dihitung dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan biaya
pensiunan sebesar 5% dikurangi Rp. 432.000 setahun atau Rp. 36.000 sebulan, lalu dikurangi
lagi dengan PTKP atau penghasilan tidak kena pajak.
Untuk pegawai tidak tetap, calon pegawai, pegawai magang / pemagang dihitung denga cara
mengurangi penghasilan kotor dengan PTKP atau penghasilan tidak kena pajak.
Untuk Distributor multi level marketing atau mlm, direct selling dan yang mirip atau sejenis
dihitung dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan PTKP perbulan.

2) Menurut Pasal 25
Pajak Penghasilan (disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu
periodetertentu yang dinamakan tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka perhitungan
danpenghitungan PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan.
Nah,karena penghitungan PPh dilakukan setahun sekali, maka penghitungan ini harus
dilakukansetelah satu tahun tersebut berakhir agar semua data penghasilan dalam satu tahun
sudahdiketahui. Untuk perusahaan, tentu saja data penghasilan ini harus menunggu
laporankeuangan selesai dibuat.

Dengan cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru
dapatdiketahui ketika suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak tidak
dilakukansekaligus yang tentunya akan memberatkan, maka dibuatlah mekanisme
pembayaran pajakdi muka atau pembayaran cicilan setiap bulan. Pembayaran angsuran atau
cicilan inidinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.

3) Menurut Pasal 26
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah penerapan dari azas sumber yang dianut
dalam ketentuan Pajak Penghasilan di Indonesia. Ya, berdasarkan azas sumber, penghasilan
yang bersumber dari Indonesia yang dinikmati oleh orang atau badan di luar Indonesia, bisa
dikenakan pajak di Indonesia. Bentuk pemajakannya adalah dengan sistem witholding tax
yang bersifat final yang diatur dalam Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

Dalam ketentuan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, terdapat empat jenis PPh
Pasal 26 yaitu PPh Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 26 ayat (2a) dan Pasal 26 ayat (4).
Masing-masing jenis PPh Pasal 26 ini memiliki ruang lingkupnya sendiri.
PPh Pasal 26 ayat (1) adalah PPh Pasal 26 pada umumnya yaitu pemotongan PPh terhadap Wajib
Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Bentuk
penghasilan yang dipotong pada umumnya sama dengan objek pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh
Pasal 23. Bedanya, penerima penghasilan PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak luar negeri. Tulisan ini
dibuat untuk menjelaskan PPh Pasal 26 ayat (1) ini sedangkan tulisan tentang PPh Pasal 26 ayat
(2), ayat (2a) dan ayat (4) sudah saya buat di tautan berikut ini :

PPh Pasal 26 Premi Asuransi (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))


PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Saham (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))
PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Harta (berdasarkan Pasal 26 ayat (2))
PPh Pasal 26 Penghasilan Penjualan Saham Antara (berdasarkan Pasal 26 ayat (2a)), dan
PPh Pasal 26 Penghasilan Kena Pajak BUT (berdasarkan Pasal 26 ayat (4))

Istilah PPh Pasal 26 dalam tulisan ini dimaksudkan sebenarnya pada ketentuan Pasal 26 ayat (1)
Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu jenis PPh Pasal 26 yang pertama selain yang sudah saya
tuliskan dalam tautan di atas.
Pemotong PPh Pasal 26
Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 ayat (1) adalah :
a. Badan Pemerintah

Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan Pemerintah ini.
Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud dengan Badan Pemerintah
adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta
instansi-instansi di bawahnya.
b. Subjek Pajak Badan dalam negeri

Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak badan
dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan ketentuan
hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan
tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan
penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia.
Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan
1984 adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan
nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
c. Penyelenggara kegiatan

Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan
suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang
mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain.
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia
sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun
termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan
pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri.
Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan,
yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang
dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung
kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain.
e. Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya

Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan
pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah Representative Office (RO) dari perusahaanperusahaan asing.
Pihak Yang Dipotong PPh Pasal 26
Beda dengan pemotongan jenis pajak lain, pemotongan PPh Pasal 26 dikenakan terhadap
Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap. Pengertian Wajib Pajak luar negeri bisa kita
temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan
ini Subjek Pajak (juga Wajib Pajak) luar negeri selain BUT adalah orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia.

Jadi, Wajib Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari Indonesia tanpa perlu
melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga negara Singapura yang
memiliki saham PT Indosat yang menerima penghasilan berupa dividen dari PT Indosat.
Di sisi lain, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak BUT adalah hampir sama dengan
Wajib Pajak dalam negeri melalui sistem self assesment pelaporan SPT Tahunan.
Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 26
Jenis-jenis penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1)
Undang-undang Pajak Penghasilan adalah :
dividen;
bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan hartai;
imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
hadiah dan penghargaan;
pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
keuntungan karena pembebasan utang
Perhatikan bahwa objek PPh Pasal 26 ayat (1) ini adalah mirip dengan objek pemotongan PPh
Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Yang membedakannya dengan PPh Pasal 26 adalah bahwa penerima
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak luar negeri, sedangkan PPh Pasal 21
dan PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri.
Tarif dan Dasar Pengenaan
Tarif PPh Pasal 26 adalah tarif tunggal 20% dengan dasar pengenaan pajak nya adalah jumlah
bruto yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri. Misalkan PT ABC di Indonesia
membayarkan dividen kepada Tuan X di negara Y sebesar Rp100 Juta, maka PPh Pasal 26 yang
harus dipotong adalah 20% x Rp100 Juta = Rp20 Juta.
Pengenaan PPh Pasal 26 juga tergantung kepada perjanjian perpajakan (P3B) dengan negara lain.
Biasanya dalam P3B ditentukan tarif yang lebih rendah untuk pemotongan PPh Pasal 26 atas
dividen, bunga, royalti dan/atau penghasilan lainnya. Apabila ada P3B, maka ketentuan yang
berlaku adalah ketentuan P3B bukan ketentuan domestik berdasarkan Undang-undang Pajak
Penghasilan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai