Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR

LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR

I. Konsep Dasar
A. Definisi
Menurut Suddarth (2002:2353) Fraktur adalah diskontiunitas jaringan tulang yang
banyak disebabkan karena kekerasan yang mendadak atau tidak atau kecelakaan.
Menurut Santoso Herman (2000:144) Fraktur adalah terputusnya hubungan
normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Carpenito 2000:43)
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu
lagi menahan tekanan yang diberikan kepadanya. (Doenges, 2000:625)

B. Klasifikasi Fraktur
Fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu:
a.

Berdasarkan sifat fraktur.

1)
Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh)
tanpa komplikasi.
2)
Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b.

Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.

1)
Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2)
Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
a)

Hair Line Fraktur (patah retidak rambut).

b)
Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c)
Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang.
c.
Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme
trauma.
1)
Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2)
Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3)
Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4)
Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5)
Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.
d.

Berdasarkan jumlah garis patah.

1)
Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2)
Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3)
Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.
e.

Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.

1)
Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2)
Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a)
Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan
overlapping).
b)

Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).

c)

Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).

d)

Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.

e)

Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

(Suddarth, 2002:2354-2356)

C.

Etiologi

Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering
berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh
kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada anakanak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges, 2000:627)
Menurut Carpenito (2000:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
1)

Kekerasan langsung

Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.


Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2)

Kekerasan tidak langsung

Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3)

Kekerasan akibat tarikan otot

Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.
Menurut (Doenges, 2000:627) adapun penyebab fraktur antara lain:
1)

Trauma Langsung

Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa
misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur
2)

Trauma Tak Langsung

Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat kejadian kekerasan.

3)

Fraktur Patologik

Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan,


neuplastik dan metabolik).

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari faktur ,menurut Brunner and Suddarth,(2002:2358)
a.
Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang di
rancang utuk meminimalkan gerakan antar fregmen tulang
b.
Setelah terjadi faraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan cenderung
bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid seperti normalnya.
Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui
membandingkan ekstermitas yang normal dengan ekstermitas yang tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang
tempat melekatnya otot.
c.
Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering
saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi)
d.
Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat).
e.
Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma
dari pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cidera.
Menurut Santoso Herman (2000:153) manifestasi klinik dari fraktur adalah:

Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang


diimobilisasi, hematoma, dan edema.

Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah

Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang


melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.

Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya

Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.

E.

Patofisiologi

Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma. Baik itu
karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil, atau tidak
langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga
bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang patela dan
olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi. (Doenges,
2000:629)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke
dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran
darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai.
Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jalajala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk
tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel
tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati Carpenito
(2000:50)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan
pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas
dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan
dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat
berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun
jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner &
suddarth, 2002: 2387).
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami
nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian

inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Doenges,
2000:629).

F. Proses Penyembuhan Tulang


a. Tahap Hematoma.
Pada tahap terjadi fraktur, terjadi kerusakan pada kanalis Havers sehingga masuk
ke area fraktur setelah 24 jam terbenutk bekuan darah dan fibrin yang masuk ke
area fraktur, terbenuklah hematoma kemudian berkembang menjadi jaringan
granulasi.
b. Tahap Poliferasi.
Pada aerea fraktur periosteum, endosteum dan sumsum mensuplai sel yang
berubah menjadi fibrin kartilago, kartilago hialin dan jaringan panjang.
c.

Tahap Formiasi Kalus atau Prakalus.

Jaringan granulasi berubah menjadi prakalus. Prakalus mencapai ukuran


maksimal pada 14 sampai 21 hari setelah injuri.
d. Tahap Osifikasi kalus, Pemberian osifikasi kalus eksternal (antara periosteum
dan korteks), kalus internal (medulla) dan kalus intermediet pada minggu ke-3
sampai dengan minggu ke-10 kalus menutupi lubang.
e. Tahap consolidasi, Dengan aktivitas osteoblasi dan osteoklas, kalus mengalami
proses tulang sesuai dengan hasilnya.

Faktor faktor yang mempengaruhi proses pemulihan :


a.

Usia klien

b.

Immobilisasi

c.

Tipe fraktur dan area fraktur

d.
Tipe tulang yang fraktur, tulang spongiosa lebih cepat sembuh dibandingkan
dengan tulang kompak.
e.

Keadaan gizi klien.

f.

Asupan darah dan hormon hormon pertumbuhan yang memadai.

g.

Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang.

h.
Komplikasi atau tidak misalnya infeksi biasa menyebabkan penyembuhan
lebih lama.

i.

Keganasan lokal, penyakit tulang metabolik dan kortikosteroid.


(Doenges, 2000:632-633)

G. Komplikasi
a. Syok
Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan
yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
b. Mal union.
Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union,
sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara
fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk
sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).
c. Non union
Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini
diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
d. Delayed union
Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu
lama dari proses penyembuhan fraktur.
e.

Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID).

Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada
saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti
plate, paku pada fraktur.
f.

Emboli lemak

Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang
lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit
dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang
memsaok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
g.

Sindrom Kompartemen

Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan
untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika
tidak ditangani segera.

h. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia, dan
gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri atau keadaan
penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan atau pemasangan traksi.
(Brunner & suddarth, 2002: 2390).
H. Pemeriksaan Penunjang
1.

X.Ray

2.

Foto Ronsen

3.

Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans

4.

Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.

5.

CCT kalau banyak kerusakan otot.

(Carpenito 2000:50)
H. Penatalaksanaan Medis
1. Pengobatan dan Terapi Medis
a. Pemberian anti obat antiinflamasi.
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
d. Bedrest, Fisioterapi
2. Konservatif
Pembedahan dapat mempermudah perawatan dan fisioterapi agar
mobilisasi dapat berlangsung lebih cepat. Pembedahan yang sering dilakukan
seperti disektomi dengan peleburan yang digunakan untuk menyatukan prosessus
spinosus vertebra; tujuan peleburan spinal adalah untuk menjembatani discus
detektif, menstabilkan tulang belakang dan mengurangi angka kekambuhan.
Laminectomy mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis
spinalis, menghilangkan kompresi medulla dan radiks. Microdiskectomy atau
percutaeneus diskectomy untuk menggambarkan penggunaan operasi dengan
mikroskop, melihat potongan yang mengganggu dan menekan akar syaraf.
(Carpenito 2000:50)

II. Manajemen Keperawatan


I.

Pengkajian

B1 (Breathing) : Napas pendek


B2 (Blood)

: Hipotensi, bradikardi,

B3 (Brain)
: Pusing saat melakukan perubahan posisi, nyeri tekan otot,
hiperestesi tepat diatas daerah trauma dan mengalami deformitas pada daerah
trauma.
B4 (Bleader) : Inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi
perut dan peristaltic hilang
B5 ( Bowel)

: Mengalami distensi perut dan peristaltik usus hilang

B6 (Bone)
: Kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal,
hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot dan hilangnya reflek.

J. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa yang yang mungkin kita angkat dan menjadi perhatian pada
fraktur servikal, diantaranya :
a.
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot
diafragmakerusakan
b.

Mobilitas fisik berhubungan dng kelumpuhan gangguan rasa nyaman nyeri

c.
Berhubungan dengan adanya cedera gangguan eliminasi alvi /konstipasi
berhubungan
d.

Dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum.

e.
Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat
perkemihan.
(Brunner & suddarth, 2002: 2392).

K. Intervensi Keperawatan

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot


diafragmakerusakan
Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen
Kriteria hasil

: Pentilasi adekuat

Intervensi :
1)

Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak.

R/: Pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah
aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.

2)
Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik
sekret.
R/ : Jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret,
dan mengurangi resiko infeksi pernapasan.
3)

Kaji fungsi pernapasan.

R/: Trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan secara partial,
karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan.
4)

Auskultasi suara napas.

R/ : Hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi sekret yang


berakibat pnemonia.
5)

Observasi warna kulit.

R/: Menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan tindakan


segera.
6)

Kaji distensi perut dan spasme otot.

R/: Kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan diafragma.


7)

Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari.

R/: Membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret sebagai


ekspektoran.
8)

Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan.

R/: Menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk


mendeteksi adanya kegagalan pernapasan.

9)

Pantau analisa gas darah.

R/: Untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas sebagai contoh :
hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat.
10) Berikan oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih sesuai dengan
keadaan isufisiensi pernapasan.
R/: Membentu pasien dalam bernafas.
11) Lakukan fisioterapi nafas.
R/: Mencegah sekret tertahan
(Brunner & suddarth, 2002: 2392-2393).

2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan.


Tujuan perawatan : Selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi
sampai cedera diatasi dengan pembedahan.
Kriteria hasil
: Tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien
mampu beraktifitas kembali secara bertahap.
Intervensi :
1)

Kaji secara teratur fungsi motorik.

R/: Mengevaluasi keadaan secara umum.


2)

Lakukan log rolling.

R/: Membantu ROM secara pasif


3)

Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki.

R/: Mencegah footdrop


4)

Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling.

R/: Mengetahui adanya hipotensi ortostatik


5)

Inspeksi kulit setiap hari.

R/: Gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan integritas
kulit.
6)

Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam.

R/: Berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan
spastisitas.

(Brunner & suddarth, 2002: 2394).


3. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera
Tujuan keperawatan : Rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan
pengobatan
Kriteria hasil : Melaporkan rasa nyerinya berkurang
Intervensi:
1)

Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5. Rasional.

R/: Pasien melaporkan nyeri biasanya diatas tingkat cedera.


2)

Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus.

R/: Nyeri dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung


kemih dan berbaring lama.
3)

Berikan tindakan kenyamanan.

R/: memberikan rasa nayaman dengan cara membantu mengontrol nyeri.


4)

Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi.

R/: Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol.


5)

Berikan obat antinyeri sesuai pesanan.

R/: Untuk menghilangkan nyeri otot atau untuk menghilangkan kecemasan dan
meningkatkan istirahat.
(Brunner & suddarth, 2002: 2394).
4. Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan
pada usus dan rectum
Tujuan perawatan : Pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi
alvi/konstipasi
Kriteria hasil : Pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali
Intervensi:
1)

Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.

R/: Bising usus mungkin tidak ada selama syok spinal.


2)

Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT.

R/: Pendarahan gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma dan
stress.

3)

Berikan diet seimbang TKTP cair

R/: Meningkatkan konsistensi feces


4)

Berikan obat pencahar sesuai pesanan.

R/: Merangsang kerja usus


(Brunner & suddarth, 2002: 2395).
5.
Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat
perkemihan.
Tujuan perawatan : Pola eliminasi kembali normal selama perawatan
Kriteria hasil : Produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada
Intervensi :
1)

Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam.

R/: Mengetahui fungsi ginjal


2)

Palpasi

R/: Kemungkinan adanya distensi kandung kemih.

3)

Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari.

R/: membantu mempertahankan fungsi ginjal.


4)

Pasang dower kateter.

R/: Membantu proses pengeluaran urine


(Brunner & suddarth, 2002: 2395).
L.

Implementasi Keperawatan

Pelaksanaan keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana


keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Ada tiga fase dalam
tindakan keperawatan, yaitu :
1. Fase Persiapan
Meliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana, pengetahuan dan
keterampilan menginterpretasikan rencana, persiapan klien dan lingkungan.
2. Fase Intervensi

Merupakan puncak dari implementasi yang berorientasi pada tujuan dan fokus
pada pengumpulan data yang berhubungan dengan reaksi klien termasuk reaksi
fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Tindakan keperawatan dibedakan
berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab secara professional, yaitu :
a.

Secara Mandiri (Independen)

Adalah tindakan yang diprakarsai sendiri oleh perawat untuk membantu pasien
dalam mengatasi masalahnya atau menanggapi reaksi karena adanya stressor
(penyakit), misalnya :
1) Membantu klien dalam melakukan kegiatan sehari hari
2) Melakukan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus
3) Memberikan dorongan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya secara
wajar.
4) Menciptakan lingkungan terapeutik
b. Saling ketergantungan/ kolaborasi (Interdependen)
Adalah tindakan keperawatan atas dasar kerja sama sesama tim perawatan atau
kesehatan lainnya seperti dokter, fisiotherapy, analisis kesehatan, dsb.

c. Rujukan/ Ketergantungan
Adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dari profesi lain diantaranya
dokter, psikologis, psikiater, ahli gizi, fisiotherapi, dsb.
Pada penatalaksanaanya tindakan keperawatan dilakukan secara :
1). Langsung : Ditangani sendiri oleh perawat
2). Delegasi : Diserahkan kepada orang lain/ perawat lain yang dapat dipercaya
3. Fase Dokumentasi
Merupakan terminasi antara perawat dan klien. Setelah implementasi dilakukan
dokumentasi terhadap implementasi yang dilakukan. Ada tiga sistem pencatatan
yang digunakan :
a. Sources Oriented Record
b. Problem Oriented Record
c. Computer Assisted Record

(Deonges, 2000:643-644)
M. Evaluasi Keperawatan
Adalah mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan
keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien. Teknik penilaian
yang didapat dari beberapa cara, yaitu :
1. Wawancara : Dilakukan pada klien dan keluarga
2. Pengamatan : Pengamatan klien terhadap sikap, pelaksanaan, hasil yang dicapai
dan perubahan tingkah laku klien.
Jenis evaluasi ada dua macam, yaitu :
a. Evaluasi Formatif
Evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respon segera.
b. Evaluasi Sumatif
Merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status pasien pada saat
tertentu berdasarkan tujuan rekapitulasi dari hasil yang direncanakan pada tahap
perencanaan. Ada tiga alternatif yang dapat dipergunakan oleh perawat dalam
memutuskan/ menilai :
1) Tujuan tercapai : Jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian : Jika klien menunjukkan perubahan sebagian dari
standar dan kriteria yang telah ditetapkan.
3) Tujuan tidak tercapai : Jika klien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan
sama sekali dan akan timbul masalah baru.
(Deonges,2000: 635)

Daftar Pustaka

Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC,


Jakarta

Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed.


6, EGC, Jakarta

Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta

Herman Santoso, dr., SpBO (2000), Diagnosis dan Terapi Kelainan Sistem
Muskuloskeletal, Diktat Kuliah PSIK, tidak dipublikasikan.

Anda mungkin juga menyukai