Etil p-metoksisinamat (EPMS) adalah salah satu senyawa hasil isolasi rimpang kencur
(Kaempferia galanga L.) yang merupakan bahan dasar senyawa tabir surya yaitu pelindung kulit
dari sengatan sinar matahari. EPMS termasuk dalam golongan senyawa ester yang mengandung
cincin benzena dan gugus metoksi yang bersifat nonpolar dan juga gugus karbonil yang mengikat
etil yang bersifat sedikit polar sehingga dalam ekstraksinya dapat menggunakan pelarut-pelarut
yang mempunyai variasi kepolaran yaitu etanol, etil asetat, metanol, air, dan heksana.
Kelarutan suatu zat padat dan zat cair pada suatu pelarut akan meningkat seiring dengan
kenaikan suhu bila proses pelarutannya adalah endoterm, sedangkan untuk proses pelarutan
yang bersifat eksoterm pemanasan justru menurunkan harga kelarutan zat. Fenomena yang
kedua ini jarang dijumpai di alam yang umum adalah proses pelarutan yang bersifat endoterm
yaitu memerlukan kalor. Beberapa zat dalam larutan akan rusak atau terurai dam menguap
dengan pemanasan sehingga suhu ekstraksi harus diperhatikan agar senyawa yang diharapkan
tidak rusak. Oleh karena itu ekstraksi etil p-metoksi sinamat dari kencur tidak boleh
menggunakan suhu yang lebih dari titik lelehnya yaitu 48 50C.
Pada percobaan, setelah filtrat diperoleh dilakukan pemekatan sampai volume larutan kira kira
setengahnya, yang bertujuan untuk mempermudah dan mempercepat terbentuknya kristal. Akan
tetapi, kristal tidak diperoleh pada proses ini. Hal ini mungkin terjadi adanya beberapa
kesalahan yang terjadi pada saat proses pelakasanaan praktikum. Hal pertama yang
menyebabkan tidak terbentuknya kristal adalah terlalu panasnya penangas air yang digunakan
sehingga akan merusak senyawa yang akan terbentuk (etil p-metoksi sinamat). Selain itu, proses
pemekatan yang kurang lama ataupun kurang pekat sehingga akan lebi membutuhkan waktu
yang lebih lama, sedangkan waktu yang ada sangat terbatas. Jadi, karena proses isolasi tidak
menghasilkan kristal, maka titik lelehnya pun tidak dapat ditentukan.
1.
Salah satu reaksi yang mudah dilakukan terhadap etil p-metoksi sinamat adalah
menghidrolisisnya, yang akan menghasilkan asam p-metoksisinamat. NaOH yang ditambahkan
pada hidrolisis etil p-metoksi sinamat, akan terurai menjadi Na + dan OH-. Ion OH- ini akan
menyerang gugus C karbonil yang bermuatan positif yang menyebabkan kelebihan elektron. Hal
ini akan menyebabkan pemutusan ikatan rangkap antara atom O dan atom C sehingga atom O
akan bermuatan negatif. Namun, atom O akan membentuk ikatan rangkap lagi dengan atom C,
sehingga atom C akan menstabilkan diri dengan melepaskan -OC 2H5. Hal ini akan menyebabkan
terbentuknya asam p-metoksisinamat
Pembuatan asam sinamat
Asam sinamat dapat disintesis dari pencampuran dari benzaldehid, asam malonat, piridin dan
piperidin yang dipanaskan dalam penangas air. Selama pemanasan ini, karbondioksida akan
dibebaskan. Secara kasarnya, reaksi yang terjadi adalah
benzaldehid + asam malonat + piridin + piperidin >asam sinamat
Pemeriksaan KLT
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu metode yang digunakan untuk memisahkan
komponen komponen atas dasar perbedaan migrasi dan distribusi senyawa atau ion ion
dalam fasa yang berbeda. KLT biasanya menggunakan lempeng gelas atau lapisan tipis alumina,
silika gel, atau bahan serbuk lainnya. Kromatografi lapis tipis pada umumnya dijadikan metode
pilihan pertama pada pemisahan dengan kromatografi karena prosesnya yang mudah dan cepat.
Biasanya pelat KLT menggunakan bahan indicator fluoresens yang dapat memancarkan warna
biru keunguan di bawah lampu UV pada panjang gelombang 254 nm. Senyawa yang akan diuji
dan ditotolkan pada pelat KLT, yang menyerap sinar UV pada panjang gelombang tersebut akan
memberikan penampakan noda di bawah lampu UV. Cara lain untuk melihat penampakan noda
adalah memasukkan pelat KLT ke dalam wadah yang berisi iod padat yang akan menyublim dan
mengabsorbsi molekul organik pada fasa gas, sehingga akan terbentuk noda keclokatan.
Selain berfungsi sebagai analisis kualitatif, KLT juga menyediakan gambaran kuantitatif
kromatografik yang disebut nilai Rf. Nilai Rf adalah retardation factor atau nilai ratio-tofront yang diekspresikan sebagai fraksi desimal.
VANILIN
gelas kimia dengan tutupan gelas arloji) bersama dengan kristal iodium. Uap iodium dalam wadah dapat
berekasi dengan bercak pada kromatogram, atau dapat dilekatkan lebih dekat pada bercak daripada lempengan.
Substansi yang dianalisis tampak sebagai bercak-bercak kecoklatan. (Anggraeni, 2009)
Munson, James,W., 1991, ANALISIS FARMASI, Airlangga University Press, Surabaya
Prinsip
Prinsip kerjanya memisahkan sampel berdasarkan perbedaan kepolaran antara sampel dengan pelarut yang
digunakan. Teknik ini biasanya menggunakan fase diam dari bentukplat silika dan fase geraknya disesuaikan
dengan jenis sampel yang ingin dipisahkan. Larutan atau campuran larutan yang digunakan
dinamakan eluen Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa
oleh fase gerak tersebut
Visualisasi
Proses berikutnya dari kromatografi lapis tipis adalah tahap visualisasi. Tahapan ini sangat penting karena
diperlukan suatu keterampilan dalam memilih metode yang tepatkarena harus disesuaikan dengan jenis
sampel yang sedang di uji. Salah satu yang dipakai adalah penyemprotan dengan larutan ninhidrin. Ninhidrin
(2,2-Dihydroxyindane-1,3-dione) adalah suatu larutan yang akan digunakan untuk mendeteksi
adanya gugus amina. Apabila pada sampel terdapat gugus amina maka ninhidrin akan bereaksi menjadi
berwarna ungu. Biasanya padatan ninhidirn ini dilarutkan dalam larutan butanol.
Nilai Rf
Jarak antara jalannya pelarut bersifat relatif. Oleh karena itu, diperlukan suatu perhitungan tertentu
untuk memastikan spot yang terbentuk memiliki jarak yang sama walaupun ukuran jarak plat nya berbeda.
Nilai perhitungan tersebut adalah nilai Rf, nilai ini digunakan sebagai nilai perbandingan relatif antar sampel.
Nilai Rf juga menyatakan derajat retensi suatu komponen dalam fase diam sehingga nilai Rf sering juga
disebut faktor retensi.]Nilai Rf dapat dihitung dengan rumus berikut :
Rf = Jarak yang ditempuh substansi/Jarak yang ditempuh oleh pelarut
Semakin besar nilai Rf dari sampel maka semakin besar pula jarak bergeraknya senyawa tersebut
pada plat kromatografi lapis tipis. Saat membandingkan dua sampel yang berbeda di bawah kondisi
kromatografi yang sama, nilai Rf akan besar bila senyawa tersebut kurang polar dan berinteraksi
dengan adsorbent polar dari plat kromatografi lapis tipis.
Nilai Rf dapat dijadikan bukti dalam mengidentifikasikan senyawa. Bila identifikasi nilai Rf memiliki nilai
yang sama maka senyawa tersebut dapat dikatakan memiliki karakteristikyang sama atau mirip. Sedangkan,
bila nilai Rfnya berbeda, senyawa tersebut dapat dikatakan merupakan senyawa yang berbeda.
imobilisasi Enzim
Pengikatan/entrapment
Cross linking
Amobilisasi enzim pada kitin dapat dilakukan dengan metode adsorpsi sederhana,
dengan adsorpsi pada kitin yang diaktifkan dengan glutaraldehid, atau dengan ikatan silang
dari enzim dan pendukung dengan glutaraldehid. Ikatan silang dengan glutaraldehid
menyebabkan penurunan aktivitas enzim sebesar 14 60% (Synowiecki,1982). Metode
adsorpsi fisik merupakan salah satu metode amobilisasi enzim yang sederhana dan efektif
karena sedikit atau tidak menyebabkan perubahan konformasi enzim, atau destruksi pada
pusat aktif enzim.
Pada penelitian ini telah berhasil dilakukan amobilisasi enzim -amilase dengan
bahan pendukung polimer kitin menggunakan metode adsorpsi fisik, dan didapatkan kondisi
optimum untuk enzim -amilase bebas dan amobil, yang meliputi pH optimum, suhu
optimum, dan waktu inkubasi optimum.