Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
. 1 Lebih jauh lagi, Khaled mengamati salah satu manifestasi paling
nyata dari kenyataan yang menyedihkan ini adalah maraknya
otoritarianisme yang sangat parah dalam diskursus hukum Islam
kontemporer.
Atas
pengamatan
itu,
beliau
kemudian
menanggapinya dengan sejumlah tulisan termasuk karyanya yang
berjudul
Speaking
in
Gods Name; Islamic Law, Authority, and Women,2 yang dalam edisi
Indonesia
berjudul Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif. 3
Melalui karya ini, Khaled menyajikan sebuah kerangka konseptual untuk
embangun
gagasan
tentang
otoritas
dan
mengidentifikasi
penyalahguanaan otoritas dalam hukum Islam. Otoritas dalam buku ini
tidak merujuk pada otoritas kelembagaan, tapi lebih pada otoritas
persuasif dan otoritas moral. Fokus utama buku ini ialah berusaha
menggali gagasan tentang bagaimana seseorang mewakili suara Tuhan
tanpa menganggap dirinya sebagai Tuhan atau setidaknya tanpa ingin
dipandang sebagai Tuhan. 4 Dalam tulisan ini, berusaha lebih lanjut
melihat pemikiran Khaled di atas khususnya dalam memahami dalil-dalil
yang bersumber dari al-Quran dan Hadis. Penelitian ini didasarkan atas
salah
satu
karya
utamanya
yang
berjudul,
Speaking
in
Gods Name; Islamic Law, Authority, and Women. Seperti disebutkan di
atas, Khaled dalam buku tersebut berusahan menyajikan sejumlah konsep
termasuk metode dalam menafsirkan hukum-hukum yang terdapat di
dalam
al-Quran.
Tholchatul Choir, Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer,
(Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar,
2009),
h.
155-156.
2 Dalam edisi asli berjudul Speaking in Gods Name; Islamic Law, Authority, and Women,
karya
Khaled
M.
Abou
el-Fadl,
(Oxford:
Oneworld
Publications,
2003)
3 Dalam edisi Indonesia diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dengan Judul Atas
Nama
Tuhan;
Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif, Cet. I, (Jakarta: Serambi, 2004)
4 Khaled M. Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif terj. R.
Cecep
Lukman Y. dari judul asli Speaking in Gods Name; Islamic Law, Authority, and Women
(Jakarta:
Serambi,
2004),
Cet.
I,
h.
2.
3
1

B.
Biografi
Khaled
M.
Abou
el-Fadhl
1. Latar Belakang dan Pribadi Khaled M. Abou el-Fadhl Khaled Medhiat
Abou el-Fadhl dilahirkan di Kuwait pada tahun 1963 dari sebuah keluarga muslim
berdarah Mesir. 5 Dia lahir dalam keluarga yang taat beragama dan sederhana,

meskipun begitu keluarga Khaled Abu Fadl sangatlah terbuka dengan hal-hal
yang bersifat pemikiran. Pada masa muda, Khaled Abou el-Fadhl dikenal sebagai
anak yang cerdas. Sebagaimana tradisi bangsa Arab yang memegang teguh
tradisi hafalan, Abou El-Fadhlkecil sudah hafal al-Quran sejak usia 12 tahun.
Ayahnya yang berprofesi sebagai seorang pengacara, sangat menginginkan
Abou El-Fadhlmenjadi seorang yang menguasai hukum Islam. Ayahnya sering
mengujinya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar masalah hukum. 6 Negara
Kuwait pada masa itu bersifat represif dan otoriter. Mereka menyensor bahanbahan bacaan Masyarakatnya. Pada saat itu paham wahabisme begitu kental
dalam masalah pemikiran dan isu-isu agama. Semua buku-buku yang masuk ke
negaranya disortir sedemikian rupa untuk menjamin paham lainnya tidak masuk.
Sehingga mengakibatan, Abou El-Fadhlyang tumbuh di lingkungan yang bersifat
puritan-tradisional.7 Namun, orang tua Khaled yang shaleh dan terpelajar
menawarkan berbagai khazanah keilmuwan Islam dari berbagai aliran kepada
Khaled. Sehingga cakrawala berpikirnya tetap terbuka dengan beragam sumber
bacaan yang kaya. Dengan bacaan yang luas mengenai tradisi Islam dan
dukungan keluarga Khaled mulai menyadari adanya kontradiksi dan persoalan
akut di dalam konstruksi ideologis dan pemikiran kaum Wahabi. Klaim mereka
atas banyak masalah justru bertentangan dengan semangat ulama masa lalu
dalam
memandang
agama
Islam.
2. Backround Pendidikan Khaled M. Abou el-Fadhl Perjalanan akademik
Khaled Abou el-Fadhl dimulai di Kuwait, negeri kelahirannya dengan
menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di sana. Dia kemudian
melanjutkan pendidikannya ke Mesir. Kesadaran akan pentingnya keterbukaan
dalam pemikiran semakin berkembang ketika akhirnya dia menetap di Mesir. Di
negeri Piramid tersebut ruang tidak terlalu sesak seperti yang dialaminya di
Kuwait. Menurutnya, sebuah sistem kekuasaan yang represif dan otoriter tidak
akan pernah melahirkan kemajuan berfikir atau pencerahan intelektual bagi
masyarakatnya. Setiap liburan musim panas, Abou El-Fadhl juga menyempatkan
menghadiri kelas-kelas al-Quran dan ilmu-ilmu syariat di Masjid Al-Azhar Kairo,
khususnya kelas yang dipimpin oleh Shaykh Muhammad al-Ghazl (w. 1995),
seorang tokoh pemikir Islam moderat dari barisan revivalis yang dia kagumi. 8
Ayahnya bernama Medhiat Abou el-Fadl, sedangkan ibunya bernama Afaf el-Nimr.
Khaled
Medhiat
Abou el-Fadl dalam beberapa tulisan ia disebut dengan Khaled Abou el-Fadl, atau Abou
el-Fadl.
6 Teresa Watanabe, Konsepsi jihad Khaled Medhiat Abou el-Fadl dalam Battling Islamic
Puritans
(Los
Angeles
Times:
2
Januari
2002)
7 Khaled M. Abou El Fadl, Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Sewenangwenang
dalam
Islam,
terj.
Kurniawan
Abdullah
(Jakarta:
Serambi,
2003),
h.
18.
8 Nasrullah, Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou el-Fadl: Metode Kritik atas Penafsiran
oritarianisme dalam Pemikiran Islam, Jurnal Hunafa, Vol. 5, No. 2, Agustus 2008, hlm.
139. 4 Pada tahun 1982, Khaled Abou el-Fadhl meninggalkan Mesir menuju
5

Amerika dan melanjutkan studinya di Yale University dengan mendalami ilmu


hukum selama empat tahun dan dinyatakan lulus studi bachelor-nya dengan
predikat cumlaude. Tahun 1989, dia menamatkan studi Magister Hukum pada

University of Pennsylvania. Atas prestasinya tersebut, dia diterima mengabdi di


Pengadilan Tinggi (Suppreme Court Justice) wilayah Arizona sebagai pengacara
bidang hukum dagang dan hukum imigrasi. Dari sinilah kemudian Khaled Abou
el-Fadhl mendapatkan kewarganegaraan Amerika sekaligus dipercaya sebagai
staf pengajar di University of Texas di Austin. 9 Disamping kegiatannya sebagai
pengacara dibarengi dengan mengajar di Universitas Texas, ia juga tidak
melewatkan kesempatan untuk melanjutkan studi doktoralnya di University of
Princeton. Pada tahun 1999 Khalid Abou el-Fadhl berhasil mendapatkan gelar
Ph.D dalam bidang hukum Islam dengan hasil sangat memuaskan. Disertasinya,
berjudul Rebellion and Violence in Islamic Law. Sejak saat itu hingga sekarang, ia
dipercaya menjabat sebagai profesor hukum Islam pada School of Law,
University
of
California
Los
Angeles
(UCLA).
10
3. Kegiatan dan Aktivitas Akademik Khaled M. Abou el-Fadhl Khaled Abou
el-Fadhl adalah seorang Guru Besar di Fakultas Hukum, University of California
Los Angeles (UCLA). Pemikir muslim terkemuka ini kelahiran Kuwait, tahun 1963.
Dalam waktu yang lama, ia menekuni studi keislaman di Kuwait dan Mesir. Ia
dikenal sebagai pakar dalam bidang hukum Islam, imigrasi, HAM, serta hukum
keamanan nasional dan internasional. Sebelumnya, ia juga mengajar di sejumlah
universitas ternama di Amerika Serikat, antara lain: Yale University, Princeton
University, dan Texas University.11 Khaled Abou el-Fadhl disebut-sebut sebagai
an
enlightened
paragon
of
liberal Islam. Selain penulis prolific dalam tema universal moralitas dan
kemanusiaan, Abou el-Fadhl juga dikenal sebagai pembicara publik terkemuka.
Dia aktif dalam berbagai organisasi HAM, seperti Human Rights Watch dan
Lawyers Committee for Human Rights. Di tengah-tengah kesibukannya, ia juga
sering menjadi pembicara dalam kegiatan seminar, simposium, lokakarya dan
talk show, baik di televise maupun di radio, seperti CNN, NBC, PBS, NPR dan
VOA. Belakangan, ia banyak memberikan komentar tentang isu otoritas,
terorisme, toleransi dan hukum Islam. Khaled Abou el-Fadhl dikenal sebagai
pakar dalam bidang hukum Islam, imigrasi, HAM, serta hukum keamanan
nasional
dan
internasional.
12
Nasrullah, Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou el-Fadl: Metode Kritik atas Penafsiran
oritarianisme dalam Pemikiran Islam, Jurnal Hunafa, Vol. 5, No. 2, Agustus 2008, hlm. 1
39.
10 Ansori, Islam dan Demokrasi; Telaah atas Pemikiran Khaled Abou el-Fadl dalam Jurnal
Mukaddimah,
Vol.
17,
No.
2,
2011),
h.
183.
11 Mohammad Muslih, Book Review; Membongkar Logika Penafsir Agama (Vol. 5, No. 2,
Dhulqadah
1430),
h.
435
12 Nasrullah, Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou el-Fadl: Metode Kritik atas
Penafsiran
oritarianisme dalam Pemikiran Islam, Jurnal Hunafa, Vol. 5, No. 2, Agustus 2008, hlm.
139.
Lihat
juga
Mohammad Muslih, Book Review; Membongkar Logika Penafsir Agama, h. 436 5
9

Pengetahuan yang luas dan kontribusi yang ia sumbangkan ke dunia menjadikan


dirinya mendapatkan banyak pennghargaan dan apresiasi dari masyarakat
antara lain : dianugerahi University of Oslo Human Rights Award, pada tahun

2007 dia dianugerahi Lisler Eitenger Prize serta tahun 2005 mendapatkan
anugerah Carnegei Scholar in Islamic law. Abou el-Fadel bahkan pernah
ditugaskan oleh Presiden George Washington Bush untuk menjadi pemantau
dalam komisi untuk kebebasan beragama internasional (U.S. Commission for
International Religious Freedom), dia juga bertindak sebagai anggota Dewan
Direktur pemantau hak azasi manusia ( Human Rights Watch ), anggota dewan
penasihat middle east watch ( bagian dari human Right Watch), serta secara
teratur bekerja dengan organisasi Hak Azasi Manusia seperti : Amnesty
Internasional And the Lawres Committe for Human Rights sebagai ahli dalam
pemecahan berbagai kasus tentang HAM, terorisme, politik suaka, hukum
komersial dan internasional. Tahun 2005, dia termasuk sebagai salah satu dari
500
pengacara
terbaik
di
Amerika
Serikat.
13
4. Buku dan Karya-karya Ilmiah Khaled M. Abou el-Fadhl Khaled Abou ElFadhl adalah penulis yang produktif. Di sela-sela kesibukannya dalam bekerja,
mengajar, dan kuliah, ia juga aktif menulis berbagai artikel dan buku tentang
kajian Islam. Di antara karya-karyanya yang sudah diterbitkan dalam bentuk
buku yaitu:14 a. Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority and Woman
(Oneworld Press, Oxford, 2001); b. Rebellion and Violence in Islamic Law
(Cambridge University Press, 2001); c. And God Knows the Soldiers: The
Authoritative and Authoritarian in Islamic Discoursees; (UPA/Rowman and
Littlefield, 2001); d. The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourses: a
Contemporary Case study; e. Islam and Challenge of Democracy (Princeton
University Press, 2004); f. The Place of Tolerance in Islam (Beacon Press, 2002);
g. Conference of Books: The Search for Beauty in Islam (University Press of
Amerika/Rowman and Littlefield, 2001); h. The Great Theft (New York: Harper San
Francisco, 2005). Sebagian besar karyanya sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia, antara lain: Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fikih
Otoritatif, (Penerbit Serambi), Melawan Tentara Tuhan (Penerbit Serambi, 2003),
Musyawarah Buku (Penerbit Serambi, 2002), Cita dan Fakta Toleransi Islam;
Puritanisme
versus
Pluralisme
(Penerbit Arsy-Mizan, Bandung, Oktober 2003), Islam dan Tantangan Demokrasi
(Jakarta:
Ufuk
Press,
2004).15
Data ini diambil dari situs terbaru UCLA, dimana Abou el Fadel bekerja sekarang Yaitu:
http://www.law.ucla.edu/home/index.asp?page=386, diakses tanggal 8 Januari 2011.
14 Akrimi Matswah, Hermeneutika Negosiatif Khaled M. Abou El Fadl terhadap Hadis Nabi
dalam
Jurnal
Addin
(Vol.
7,
No.
2,
Agustus,
2013),
h.
253-254.
15 Mohammad Muslih, Book Review; Membongkar Logika Penafsir Agama (Vol. 5, No. 2,
Dhulqadah
1430),
h.
437
6
13

C. Pemikiran Khaled M Abou el-Fadhl dalam Penafsiran Khaled Abou elFadhl mengawali kajian penafsirannya khususnya mengenai hukum Islam dengan
merumuskan perbedaan antara Syariat dan Fiqih. Syariat merupakan kehendak
Tuhan yang berbentuk abstrak dan ideal. Sedangkan fiqhi merupakan upaya
manusia dalam memahami kehendak Tuhan. Dalam pengertian ini syariat selalu
dipandang sebagai yang terbaik, adil dan seimbang dari pada yang lain.
Sedangkan fiqhi hanyalah upaya untuk mencapai tujuan dan cita-cita syariat.
Tujuan syariat islam adalah mewujudkan kemaslahatan manusia, dan tujuan fiqih

adalah memahami dan menerapkan syariat islam. Dalam konteks fiqhi inilah
ijtihad
tidak
pernah
selesai
dan
sempurna.
1. Metodologi Pemikiran Khaled M. Abou el-Fadhl Metedologi yang digagas
oleh Abou el-Fadhl, pertama-tama berangkat dari pandangannya terhadapa alQuran dan Hadis. Ia percaya pada keilahian Al-Quran dan kenabian Muhammad.
Ia juga percaya bahwa metode penafsiran yang otoriter akan merusak integritas
teks Islam dan membungkam suaranya. Secara eksplisit Abou Fadl menyebut
bahwa pendekatananya terhadap kedua sumber hukum islam tersebut bersifat
normatif. Pilihan pendekatan normatif ini lebih didasarkan pada keniscayaan dari
keahliannya sebagai ahli hukum islam. Pendapatan normatif di sini berarti bahwa
teks-teks keagamaan membuka diri untuk dipahami dan ditafsirkan secara tidak
tunggal. Hal ini ditunjukkan tidak hanya oleh fakta keragaman umat islam yang
berperilaku berbeda-beda, tetapi juga oleh teks-teks itu sendiri yang
menyediakan
ruang framework bagi keragaman dan pluralitas. Setiap teks termasuk teksteks Islam menyediakan berbagai kemungkinan makna. Akibatnya makna
tergantung menurut moral pembacanya. Jika pembacanya intoleran, penuh
kebencian, penindas, maka demikian juga hasil interpretasinya. 16 Salah satu
sumbangan ide terbesar Khaled Abou El-Fadhl terhadap diskursus hukum Islam
kontempoter adalah membongkar malpraktik otoritarianisme dalam hukum
Islam. Fenomena ini menurut Khaled menjadi mainstream pemahaman umat
Islam tehadap hukum Islam pada dewasa ini. Sehingga lahir wacana hukum
Islam dan fikih yang otoriter, tertutup dan statis. Trik-trik untuk menghadapinya,
yang digunakan oleh Khaled adalah sebagai berikut: a. Pertama, Khaled
memandang al-Quran dan Sunnah sebagai sumber otoritatif hukum Islam
sebagai teks yang terbuka. Maka konsekuensi logisnya adalah meyakini hukum
Islam sebagai karya yang terus berubah (Islamic law as a work in
movement). Untuk itu teks-teks otoritatif sebagai sumber dari hukum Islam tidak
boleh dikunci, ditutup dan dipasung sehingga meniscayakan penafsiran dan
pemahaman baru akan terus-menerus lahir. Teks yang terbuka akan mampu
menampung gerak dinamis pemahaman manusia dengan keragaman
konteksnya. Memasung makna teks merupakan tindakan kriminal sekaligus
kesombongan intelektual karena telah mengklaim dirinya paling mengetahui
maksud Tuhan. Selain itu sikap tersebut akan menutup rapat-rapat bagi lahirnya
pemahamanpemahaman (fikih) baru yang menjadi kebanggaan umat Islam
sepanjang
sejarah.
16 Khaled M. Abou el-Fadl, The Place of Tolerance in Islam (Boston: Beacon Perss, 2002) 7
b. Kedua, mengembalikan diskursus hukum Islam pada semangat awal, yaitu
meneguhkan kembali jtihad sebagai upaya pengerahan sekuat-kuatnya
kemampuan manusia untuk melakukan pencarian, penyeledikan dan
pemahaman terhadap Kehendak Tuhan. Dalam konteks ini, Khaled membedakan
antara
syariah
dan
fikih. Syariah adalah Kehendak Tuhan dalam bentuk yang abstrak dan ideal, tapi
fikih merupakan upaya manusia memahami Kehendak Tuhan. Dalam pengertian
ini syariah selalu dipandang sebagai yang terbaik, adil dan seimbang. Sedangkan
fikih hanyalah upaya untuk mencapai cita-cita dan tujuan syariah (maqshid
alSyarah). Tujuan syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan manusia

(tahqq mashlih al-ibd) dan tujuan fikih adalah untuk memahami dan
menerapkan syariah. Perbedaan ini lahir dari pengakuan atas kegagalan-upayamanusia untuk memahami tujuan dan maksud Tuhan. Dalam konteks ini ijtihad
manusia tidak pernah final dan sempurna. 17 c. Ketiga revitalisasi metodologi
hukum Islam klasik. Bagi Khaled, hukum Islam secara kukuh menentang
kodifikasi dan penyeragaman(Islamic law has staunchly resisted codification or
uniformity). Metodologi hukum Islam memiliki ciri yang terbuka dan
antiotoritarianisme (tradisional Islamic methodology has been its openended and
anti-authoritarian character). Akhirnya, Khaled menginginkan syariah dipahami
dalam diskursus pergulatan yang terus berubah dan bergerak maju; diskursus
fikih yang progresif. Sedangkan penguncian makna syariah pada pemahaman
(fiqh) tertentu akan melahirkan fikih yang otoriter; yang tertutup dan sewenangwenang.
2. Konsep Otoritas dan Otoritarianisme Khaled M Abou el-Fadhl Khaled
Abou el-Fadhl membangun konsep otoritas dalam Islam dengan doktrin
Kedaulatan Tuhan dan Kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan dijelaskan melalui
KalamNya yang telah tertulis. Demikian juga Nabisebagai pemegang otoritas
kedua setelah Tuhansetelah wafat meninggalkan tradisinya (Sunnah) yang
telah terkodifikasi. Pada konteks ini telah terjadi proses pengalihan suara Tuhan
dan Nabi pada teks-teks yang tertulis dalam al-Quran (mushaf) dan kitab-kitab
sunnah. Di hadapan kita adalah sekumpulan teks-teks yang dipandang mewakili
suara Tuhan dan Nabi. Sejauh mana teks-teks tersebut memiliki otoritas
mewakili suara Tuhan dan Nabi? Bagaimana kita memahami kehendak Tuhan
dan Nabi melalui perantara teks-teks tersebut. Apakah aturan-aturan wakil Tuhan
agar bisa menyampaikan kehendak Tuhan tanpa menganggap pendapatnya
sebagai kehendak Tuhan?18 Merespon pertanyaan-pertanyaan mendasar di atas,
menurut
Khaled
kita
harus
memerhatikan tiga hal berikut. Pertama,berkaitan dengan kompetensi
(autentisitas).
Kedua, berkaitan dengan penetapan makna. Ketiga, berkaitan dengan
perwakilan.19 Tiga pokok persoalan menjadi tiga kunci bagi Khaled untuk
memisahkan diskursus yang otoritatif dan yang otoriter dalam Islam. Menurut
beliau, otoritatif adalah melakukan pilihan terbaik berdasarkan rasio, sementara
yang
otoriter
Khaled M. Abou el-Fadl, Speaking in Gods Name; Islamic Law, Authority, and Women
(Oxford:
Oneworld
Publications,
2003),
h.
32.
18 Khaled M. Abou el-Fadl, Speaking in Gods Name; Islamic Law, Authority, and Women, h.
32.
19 Khaled M. Abou el-Fadl, Speaking in Gods Name; Islamic Law, Authority, and Women, h.
24-26 8 adalah bentuk taklid buta.20 Untuk menjawab persoalan-persoalan
17

tersebut Khaled menekankan adanya keseimbangan kekuatan yang harus ada


antara maksud teks, pengarang dan pembaca (balance of power between the
author, reader and text). Penetapan makna berasal dari proses yang kompleks,
interaktif, dinamis dan dialektis antara ketiga unsur di atas (teks, pengarang dan
pembaca). Salah satu maksud tiga unsur di atas adalah tidak ada yang
mendominasi. Penafsiran yang tepat adalah penafsiran yang menghormati
peranan, otonomi dan integritas teks. Menghormati otonomi teks bertujuan

menghindari kooptasi dan otoritarianisme pembaca terhadap teks sehingga teks


bisa ditafsirkan sebebar-bebasnya. Maka dari itu, Khaled menegaskan gagasan
tentang teks yang terbuka (the open text). Sedangkan sikap otoriter adalah
proses pemasungan teks sehingga teks tidak bisa leluasa bergerak dan
berinteraksi dengan keragaman makna. Sebagian wakil (orang-orang Islam yang
beriman dan shaleh, yang di sebut sebagai wakil umum) menundukkan
keinginannya dan menyerahkan sebagian keputusannya kepada sekelompok
orang
atau
wakil
dari
golongan
tertentu
(ulama).
Mereka melakukan hal tersebut karena, dan hanya karena, mereka
memandang wakil dari golongan tertentu memiliki otoritas. Kelompok khusus ini
menjadi otoritatif karena dipandang memiliki kompetensi dan pemahaman yang
khusus terhadap perintah atau kehendak Tuhan. Kelompok khusus (disebut
dengan
wakil
khusus)
ini
dipandang otoritatif bukan karena mereka memangku otoritas, jabatan formal
tidak relevan sama sekali tetapi karena persepsi wakil umum menyangkut
otoritas mereka berkaitan dengan seperangkat perintah (petunjuk) yang
mengarah pada Jalan Tuhan. Proses penyerahan keputusan untuk mengetahui
dan memahami Kehendak Tuhan, dari wakil umum kepada wakil khusus juga
memiliki problem hermeneutis tersendiri misalnya, pada proses tindak
komunikasi dan dialog di antara keduanya. Khaled Abou El-Fadhl mengemukakan
lima batasan untuk menerima otoritas wakil khusus tersebut. Sepanjang lima hal
ini terpenuhi, seseorang bisa disebut otoritatif. Kelima batasan itu adalah: 21 a.
pertama, kejujuran. Masyarakat pada umumnya percaya pada kelompok wakil
khusus ini bahwa mereka akan jujur dan dapat dipercaya dalam memahami
perintah Tuhan. Ia tidak akan menyembunyikan, melebih-lebihkan atau
berbohong atas apa yang ia pahami. Ia akan mejelaskan semua yang ia pahami.
Ia juga tidak akan berpura-pura mengetahui satu permasalahan dan pura-pura
mengetahui perintah Tuhan, padahal dirinya belum mengetahui yang
sesungguhnya. b. Kedua, kalangan wakil khusus harus sepenuhnya mempunyai
kesungguhan. Dia dituntut untuk sepenuhnya mencurahkan kemampuannya
dalam menyelami satu persoalan. Batasan ini mungkin kelihatan samar, namun
setidaknya ini adalah sebuah kewajiban para wakil khusus itu untuk serius dan
bersungguh-sungguh dengan segenap kemampunnya untuk menyelami sebuah
persoalan. Kata ijtihad yang berasal dari akar kata jahada sesungguhnya berarti
pengerahan seluruh kemampuan seseorang untuk menyelami sebuah persoalan.
Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta:
Serambi,
2004),
Cet.
I,
h.
204.
21 Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih, h. 37-40. 9 c.
20

Ketiga, adalah prinsip kemenyeluruhan (comprehensiveness). Kalangan wakil


khusus tersebut harus mempertimbangkan semua argumen dan bukti, bahkan
argumen yang bertentangan sekalipun. Prinsip ini juga mengharuskan kaum
wakil khusus bertanggungjawab menyelidiki dengan kesungguhan semua bukti
dan argumen tersebut. d. Keempat, para wakil khusus tersebut haruslah
melakukan penafsiran dan pencarian perintah Tuhan secara rasional. Kaum wakil
khusus
dilarang
melakukan,
meminjam
istilah Umberto Eco, penafsiran secara berlebihan dengan cara, misalnya,

menafsirkan sedemikian rupa sehingga maknanya sesuai dengan keinginan


seseorang, sementara makna teks sesungguhnya dihiraukan. Penafsiran yang
berlebihan terhadap teks, baik dengan cara membiarkan teks terbuka dan
dibanjiri segala kemungkinan penafsiran yang tak terbatas sehingga tidak dapat
ditampung sendiri oleh teks, maupun dengan membuat teks tergembok dan
didiami hanya oleh satu macam makna penafsiran saja, telah dianggap
mengingkari prinsip rasonalitas ini. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa kaum wakil
khusus haruslah mengambil jarak dengan teks dan menghormati integritas teks
tersebut. e. Kelima, para wakil khusus haruslah bisa mengendalikan diri. Hal ini
sebenarnya menujukan sikap kerendahan hati. Dia bukanlah orang yang
mengetahui segalanya dan yang mengetahui hakikat segalanya hanyalah Tuhan.
Semua yang dilakukannya adalah usaha untuk mengungkap kehyendak-Nya.
Bagi siapapun yang pernah dididik di lingkungan pesantren pasti tahu bahwa di
setiap akhir pengajian, guru-guru kita selalu megucapkan "Wa Allahu alam bi
murodihi" yang kurang lebih berarti: Tuhanlah yang lebih mengetahui segalanya.
Sikap ini lebih jauh sebenarnya bisa dilihat sebagai sikap pengendalian diri dan
kerendahan hati.22 Itulah kelima prasyarat yang dikemukakan Abou ElFadhluntuk membatasi kemungkinan otoritas yang dipegang oleh para agen
khusus agar tidak terjerumus pada sikap keberagamaan otoriter. Menurut Abou
Fadl, prasyarat tersebut muncul sebagai keharusan yang bersifat rasional
(dharuriyyat aqliyyah) bagi hubungan yang logis antara umat Islam dengan wakil
khusus dan teks (baik al-Quran atau hadis). Hal di atas sebenarnya adalah usaha
yang dilakukan Abou Fadl agar pencarian makna teks yang merupakan usaha
untuk mendekati kehendak Tuhan semaksimal mungkin berlangsung objektif.
Sepanjang seseorang menerapkan kelima prasayarat tersebut di atas dan
meyakini hasilnya adalah kebenaran, maka itulah kebenaran menurut Tuhan.
Pelanggaran terhadap lima hal tersebut jelas adalah pelanggaran otoritas dan
merupakan sebuah sikap kesewenang-wenangan penafsiran, sebuah sikap
otoriter.23 Menurut Abou Fadl, sikap otoriter sendiri terjadi ketika seorang
manusia, baik dari kalangan wakil khusus atau umat Islam pada umumnya,
mengunci satu teks pada satu pemaknaan tunggal dan menyumbat
kemungkinan penafsiran yang lain. Sikap itu menunjukan seolah-olah, dengan
menetapkan satu pemaknaan pada satu teks, dialah yang tahu hakikat makna
yang
sesungguhnya.
Seolah
seseorang
tersebut
mengetahui
Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta:
Serambi,
2004),
Cet.
I,
h.
204.
23 Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih, h. 93. 10
22

kehendak Tuhan dan lantas penafsirannya menjadi mutlak dan absolut. Hal inilah
yang kemudian disebut oleh Khaled sebagai sikap Otoritarianisme, yaitu
tindakan
mengunci atau mengurung Kehendak Tuhan atau kehendak teks, dalam
sebuah penetapan tertentu, dan kemudian menyajikan penutupan tersebut
sebagai sesuatu yang pasti, absolut dan menentukan. 24 Pemegang otoritas
biasanya cenderung mengarah bersifat otoriter kecuali jika ada upaya sadar dan
aktif untuk membendung kecenderungan tersebut dari wakil yang melakukan
interpretasi dan wakil yang menerima interpretasi tersebut. Ketika seorang

pembaca bergelut dengan teks dan menarik sebuah hukum dari teks, resiko
yang dihadapinya adalah bahwa pembaca menyatu dengan teks, atau
penetapan pembaca itu akan menjadi perwujudan eksklusif teks tesebut.
Akibatnya teks dan konstruksi pembaca akan menjadi satu dan serupa. Dalam
proses ini teks itu akan tunduk kepada pembaca dan secara efektif pembaca
menjadi pengganti teks. 25 Pada posisi ini pembaca hanya akan melahirkan
penafsiran yang otoriter. Lebih jauh lagi melahirkan fanatisme yang
mengkultuskan pada penafsiran-penafsiran itu sehingga menganggap hasil
penafsirannya memiliki kompetensi yang sama dengan teks asal (al-Quran dan
Sunnah). Kecenderungan otoriter tersebut dapat dibendung dengan menerapkan
lima prasyarat yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya yaitu
kejujuran, pengendalian diri, kesungguhan, kemenyeluruhan, dan rasionalitas.
3. Pendekatan Hermeneutik Khaled M. Abou el-Fadhl Salah satu kajian
hermeneutik adalah bagaimana merumuskan relasi antara teks (text) atau nash,
penulis atau pengarang (author) dan pembaca (reader) dalam dinamika
pergumulan pemikiran Islam. Seharusnya kekuasaan (otoritas) adalah mutlak
menjadi hak Tuhan. Hanya Tuhanlah (author) yang tahu apa yang sebenarnya Ia
kehendaki. Manusia (reader) hanya mampu memposisikan dirinya sebagai
penafsir atas maksud teks yang diungkapkan Tuhan. Dengan demikian yang
paling relevan dan paling benar hanyalah keinginan pengarang. Namun pada
praktiknya, seringkali terjadi dimana individu dan lembaga keagamaan (reader)
mengambil alih otoritas Tuhan (author) dengan menempatkan dirinya atau
lembaganya sebagai satu-satunya pemilik absolut sumber otoritas kebenaran
dan menafikan pandangan yang dikemukan oleh penafsir lainnya. Di sini terjadi
proses perubahan secara instan yang sangat cepat dan mencolok, yaitu
metamorfosis atau menyatunya reader dengan author, dalam artireader tanpa
peduli dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri dan
institusinya menjadi Tuhan (Author) yang tidak terbatas. Tidak berlebihan jika
sikap otoritarianisme seperti ini dianggap sebagai tindakan despotisme dan
penyelewengan yang nyata dari logika kebenaran Islam. Walaupun kebenaran
hanya menjadi hak Tuhan, tetapi manusia tetap berhak menjadi wakil Tuhan
untuk menafsirkan kehendak Tuhan yang terkandung dalam nash sebagai acuan
dalam
menjalankan
kehidupan.
Hal
ini
sejalan
dengan
hakikat
Khaled M. Abou el-Fadl, Speaking in Gods Name; Islamic Law, Authority, and Women
(Oxford:
Oneworld
Publications,
2003),
h.
93.
25 Khaled M. Abou el-Fadl, Speaking in Gods Name; Islamic Law, Authority, and Women, h.
142 11 diciptakannya manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Dengan
24

catatan, manusia tidak melampaui batas-batas yang ada seperti mengambil alih
posisi Tuhan, bersikap arogan atas penafsirannya dengan menyalahkan
penafsiran yang berbeda dan menutup makna yang sebenarnya terbuka atau
sebaliknya membuka makna tanpa batas. Jika seorang pembaca berusaha
menutup rapat-rapat teks dalam pangkuan makna tertentu atau memaksakan
penafsiran tunggal atas teks tertentu, maka tindakan tersebut berisiko tinggi
untuk melanggar integritas pengarang dan bahkan integritas teks itu sendiri.
Menutup rapat yang dimaksud otoritarianisme dalam penafsiran teks keagamaan
dalam buku itu adalah tindakan seseorang, kelompok, atau lembaga

tertentu yang menutup rapat-rapat atau membatasi Kehendak Tuhan (the Will
of the Divine), atau maksud terdalam dari teks tertentu dalam suatu batasan
ketentuan atau penafsiran tertentu, dan kemudian menyajikan ketentuanketentuan atau penafsiranpenafsiran tersebut sebagai hukum atau keputusan
yang tidak dapat dihindari, final, dan merupakan hasil akhir yang tidak dapat
diganggu-gugat. Berawal dari pandangan ini, Khaled dalam memahami teks
agama termasuk ayat-ayat al-Quran turut serta menggunakan perangkat
Hermeneutika. Tetapi berbeda dengan tradisi hermeneutika di lingkungan
Biblical Studies, hermeneutika dalam studi keislaman, khususnya yang terurai
dalam karyanya Atas Nama Tuhan, dipicu oleh penafsiran bias gender dalam
fatwa-fatwa keagamaan Islam yang dikeluarkan oleh CRLO. 26 Khaled
menggunakan metode berpikir normatif-analitik dan menawarkan teori
hermeneutika negosiasi. Hermeneutika negosiasi bertolak dari prinsip negosiasi
kreatif antara teks-penggagas-pembaca, dengan menjadikan teks sebagai titik
pusat yang bersifat terbuka. 27 Secara umum, dalam studi hermeneutika di Barat
berkutat dalam dua hal, yaitu problem pemahaman, seperti pada heremenutika
teoritis, dan problem tindakan memahami itu sendiri, seperti pada hermeneutika
filosofis. Sementara tradisi hermeneutika dalam studi al-Quran hanya berkutat
pada problem pemahaman, yaitu pemahaman yang bercorak objektif, seperti
hermeneutika objektif atau hermeneutika teoritis Fazlur Rahman; penafsiran
yang bercorak subjektif seperti hermeneutika pembebasan Farid Esack; dan
pemahaman yang bercorak inklusif (teoritis) seperti hermeneutika Nasr Hamid
Abu Zaid. Belum ada penggunaan hermeneutika dalam studi al-Quran yang
mencoba menemukan kepentingan di balik tindakan pemahaman itu sendiri.
Ruang yang belum disentuh para pemikir inilah yang dapat ditemukan pada
hermeneutika negosiatif yang digagas oleh Khaled. 28 Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa pemahaman Khaled terhadap teks termasuk ayat al-Quran
dengan menggunakan pendekatan Hermeneutika tidak hanya bertujuan
menemukan makna teks sebagaimana hermeneutika pada umumnya.
Tetapi juga bertujuan untuk mengungkapkan kepentingan penggagas atau
pembaca yang tersimpan di balik teks, dan menawarkan strategi pengendalian
tindakan
Sebuah Pengantar M. Amin Abdullah dalam karya Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama
Tuhan;
Dari
Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta: Serambi, 2004), Cet. I, h. ix.
27 Nasr Khamid Abu Zaid, al-Quran; Hermeneutika dan Kekuasaan, h. 75-80, Dikutip Aksin
Wijaya,
Teori Interpretasi Ibnu Rusyd
(Yogyakarta: LKiS, 2009), Cet. I, h. 41
28 Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Ibnu Rusyd; Kritik Ideologis-Hermeneutis (Yogyakarta:
LKiS,
2009),
Cet. I, h. 37-38 12 sewenang-wenang penggagas dan pembaca terhadap teks ,
26

pembaca lain, dan audiens melalui konsep otoritas dan otoritarianismenya. 29


Paling tidak ada empat hal yang menjadikan hermeneutika Abou Fadl begitu
penting,30 yaitu: a. Pertama, dalam gelombang globalisasi yang membawa
perubahan mendasar bagi kemanusiaan, buku ini membangkitkan kesadaran
perlunya pembaharuan pemikiran dan hukum Islam yang selama ini diakui
keberadaanya sangat strategis dalam bangunan agama Islam. Hal ini dilakukan
agar agama Islam tetap dapat bertahan dan menjadi semakin dibutuhkan bagi

pengembangan kemanusiaan yang lebih beradab. b. Kedua, terkait dengan yang


pertama, maka buku ini memberikan panduan yang sistematis untuk melakukan
pembaharuan hukum Islam yang lebih universal, berbasis moralitas dan
kemanusiaan. c. Ketiga, dalam tataran tertentu, buku ini telah berperan
mengubah cara pandang kaum muslimin terhadap posisi ulama yang otoriter
(sewenang-wenang memberi fatwa) dan yang otoritatif (yang berwenang
memberi fatwa). d. Keempat, buku ini melakukan pembelaan serius bahwa Islam
sebagai agama telah memberikan tanggung jawab dan penghargaan
kemanusiaan yang besar. Kesalahan lebih sering datang dari penganutnya atau
orang-orang
yang
merasa
sebagai
penjaga syariat, padahal malah menghancurkan syariat. Pada sisi lain, Khaled
menawarkan konsep hermeneutika yang bersifat inter dan multidisipliner,
lantaran melibatkan berbagai pendekatan. Di antaranya linguistik, interpretive
social science, literary criticism, selain ilmu-ilmu keislaman yang baku mulai dari
Mushthalah al-Hadis, Rijal al-Hadis, Fiqih, Ushul Fiqih, Tafsir, Kalam, yang
kemudian dipadukan dengan humaniora kontemporer. Pemikiran yang diusung
oleh Khaled berupaya mengembalikan ilmu yurisprudensi Islam sebagai sebuah
epistemologi dan sekaligus sebagai sebuah metode pilihan (a methodology of
inquiry), bukan sebagai diskursus keilmuan Islam yang beraroma politis dan
otoriter.
31
Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Ibnu Rusyd; Kritik Ideologis-Hermeneutis (Yogyakarta:
LKiS,
2009),
Cet.
I,
h.
38
30 http://abuthalib.wordpress.com/2009/12/25/tuhan-milik-laki-laki/, diunduh pada tanggal
6
Februari
2010.
31 Sebuah Pengantar M. Amin Abdullah dalam karya Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama
Tuhan;
Dari
Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta: Serambi, 2004), Cet. I, h. xvii 13
29

D.
Penafsiran
Khaled
M
Abou
el-Fadhl
terhadap
al-Quran
1. Suara Perempuan dan Tepuk Tangan Penyebab Fitnah; Kajian Q.S. alAhzab
Ayat 32 dan Q.S. Ayat 35 Salah satu topik yang difatwakan oleh Dewan Riset
Ilmu
dan
Fatwa
(Al-Lajnah
al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta/Council for Scientific Research and
Legal Opinions) Kerajaan Saudi Arabia32 ialah mengenai tepuk tangan dan suara
perempuan. Dewan yang bergerak untuk riset-riset Ilmiyah dan Fatwa tersebut
membangun kaitan antara tepuk tangan dan suara perempuan sebagai aurat.
Salah satu nash yang menjadi dalil dalam fatwa CRLO tersebut ialah surah alAhzab ayat 32 yang dikaitkan dengan hadis Nabi tentang tepuk tangan dan
surah al-Anfal ayat 35 yang kemudian berkesimpulan bahwa suara perempuan
adalah
aurat.
a. Fatwa Dewan Tetap Arab Saudi tentang Suara Wanita dan Tepuk
Tangan
1)
Suara
Wanita
menurut
Fatwa
CRLO

:3




:3



:





2
) .
33

Pertama:

Fatwa

)a

CRLO

Fatwa

menurut

Tangan

Tepuk

: 2

.
: 2







34 .
.
Merupakan lembaga resmi di Arab Saudi yang diberikan tugas untuk mengeluarkan
fatwa.
Dewan
ini
berdiri sejak tahun 1971 yang saat ini diketuai oleh Mufti Arab Saudi, Abdul Aziz bin
Abdullah
bin
Muhammad
bin Abdul Lathif Alu Syaikh at-Tamimi (1943 M/1362 H) setelah wafatnya Syaikh Abdul
Aziz
bin
Abdullah
bin
Baz
(w.
1999
M/1420
H).
Situs
resmi
http://www.alifta.net/
33 Fatwa Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi, Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin
Muhammad
Alu
Syaikh,
Juz
2,
h.
318.
Dalam:
http://www.alifta.net/
34 Fatwa Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi, No. 1904, Dalam: http://www.alifta.net/
32

Kedua:

Fatwa

)b

14

:

:



:
: :
:

:

.


.
. :
: -
-
" :
" " "
. .
Ketiga:

Fatwa

)c

35

:2


:2

:



:
: .
.
6

b. Q.S. al-Ahzab 32 dan Q.S. al-Anfal 35 menurut Khaled Abou el-Fadhl


1)
Q.S.
al-Ahzab
Ayat
32
Menurut
Khaled
Abou
el-Fadhl





:
Artinya: Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita
yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah
perkataan
yang
baik.
(Q.S.
Al-Ahzab
[33]:
32)
Fatwa Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi, Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin
Muhammad
Alu
Syaikh,
No.
15956
Juz
19,
h.
123.
Dalam:
http://www.alifta.net/
36 Fatwa Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi, Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin
Muhammad
Alu
Syaikh, No. 7774, Juz 6, h. 311. Dalam: http://www.alifta.net/ 15 Menurut Khaled, ayat
35

ini tidak ada kaitannya sedikit pun dengan persoalan tepuk tangan dan
anggapan suara perempuan adalah aurat. Dari rangkaian kalimatnya, ayat
tersebut merujuk pada isteri-isteri nabi dan secraa eksplisit menyatakan bahwa
status mereka tidak sama dengan perempuan muslim lainnya. Konsekuensinya
adalah bahwa apa yang diperbolehkan bagi perempuan muslim lainnya mungkin
saja tidak diperbolehka bagi isteri-isteri Nabi. Lebih jauh lagi, dari rangkaian
kalimat
ayat
tersebut
membedakan
antara
dua
bentuk
ucapan, yaitu perkataan yang khudhu (lembut, menarik, baik, menggoda, dan
pasrah) dan perkataan yang wajar. Oleh karenanya, menurut Khaled, hal paling
jauh yang bisa kita kemukakan adalah bahwa ayat tersebut mengecam
perkataan yang bernadah pasrah dan menghargai perkataan yang wajar dan
bermoral. 37 Khaled juga menekankan, sesungguhnya isteri-isteri Nabi agar tidak
berbicara dengan nada pasrah dan lembut, tetapi harus berbicara dengan nada
tegas dan bermoral. Menurut Khaled, ayat tersebut memiliki konteks kesejarahan
bahwa suku Badui yang baru memeluk Islam dengan tujuan untuk memenuhi
kepentingan mereka. Akhirnya, mereka mendekati Isteri-isteri Nabi dengan
berbagai macam tuntutan. Isteri-isteri Nabi adalah perempuan-perempuan yang
baik dan lembut, dan diriwayatkan bahwa tuntutan tersebut sudah tidak bisa
diterima akal sehat, hingga mencapai titik ketika para pemeluk baru tersebut
cenderung memanfaatkan kebaikan Isteri-isteri Nabi. Ayat tersebut diturunkan
untuk memerintahkan Isteri-isteri Nabi agar berbicara layknya perempuan yang
kuat dan bermoral, bukan perempuan yang hanya menuruti emosi. 38 2) Q.S. alAhzab Ayat 32 Menurut Khaled Abou el-Fadhl Sehubungan dan fatwa-fatwa di
atas, Khaled menggambarkan adanya sebuah penggunaan bukti yang janggal
yang dilakukan oleh para ahli hokum CRLO. Persoalan dalam contoh ini bukan
saja tentang pemaparan bukti yang telah diseleksi terlebih dahulu, tetapi
tentang pemilihan bukti yang berorientasi hasil yang tidak ada kaitannya secara
langsung dengan persoalan yang sedang dibahas. Seperti terlihat dalam
persoalan ini bahwa terdapat tiga dalil yang telah dikemukakan oleh para ahli
hokum CRLO, yaitu Q.S. al-Ahzab ayat sebagaimana yang telah dibahas di atas,

serta satu hadis Nabi dan Q.S. al-Anfal ayat 35. Hadis yang dimaksud ialah:

Dengan mengutip Hadis ini, para ahli hokum CRLO menyimpulkan dua hal;
Pertama, suara perempuan adalah aurat. Jika suara perempuan bukan aurat,
Nabi tentu tidak akan menyuruh perempuan untuk bertepuk tangan. Kesimpulan
kedua; orang-orang Islam secara umum tidak boleh mengungkapkan dukungan,
kebahagian, atau penghormatannya dengan cara bertepuk tangan. Tepuk tangan
menurut para ahli hukum CRLO diharamkan karena dipandang sebagai praktik
39

Khaled Abou el-Fadhl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta:
Serambi,
2004),
Cet.
I,
h.
275-276.
38 Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati, h. 276.
39 Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr Ihya al-turast al-Araby, tt), Juz I, h. 316. 16 orang37

orang kafir dan kebiasaan perempuan, dan orang-orang Islam secara umum
tidak boleh meniru mereka. Lebih lanjut, para ahli hukum CRLO dalam persoalan
ini
mengutip
ayat
lain,
yaitu:


:
Artinya: Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah
siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.
(Q.S. Al-Anfal [8]: 35) Dari ayat ini, dan Hadis yang dikutip sebelumnya, para ahli
hokum CRLO menyimpulkan beberapa hal: a) Suara perempuan adalah aurat,
karena itu perempuan diharuskan bertepuk tangan dalam shalat; b) Perempuan
diharuskan
bertepuk
tangan
karena
jika
mereka
mengeraskan
suaranya ketika mengucapkan amin atau ungkapan lainnya, hal tersebut akan
menimbulkan fitnah. c) Karena perempuan dan orang-orang kafir biasa bertepuk
tangan, maka orangorang Islam secara umum tidak boleh bertepuk tangan
(adam al-tasyabuh bi al-nisa wa al-kuffar). Khaled menanggapi fatwa di atas
bahwa para ahli Hukum CRLO tidak sadar bahwa jawaban mereka sama sekali
tidak rasional. Beliau mengungkapkan bahwa pesan ayat tersebut adalah tidak
dibenarkan menyembah Tuhan dengan cara bersiul dan bertepuk tangan. Para
ahli hokum CRLO mengabaikan kekhasan historis dan normative dari ayat
tersebut. Ayat tersebut secara eksplisit merujuk pada ketidaksopanan bentukbentuk kepribadatan yang biasa dilakukan masyarakat Makkah di sekitar Kabah.
Lebih penting lagi menurut Khaled, jika seorang perempuan muslim
diperkenankan untuk bertepuk tangan dalam shalat, tidak berarti bahwa
bertepuk tangan menyerupai orang kafir, kecuali jika kita menganggap bahwa
perempuan muslim adalah orang-orang kafir. 40 Menurut analisi Khaled, para ahli
hukum CRLO membangun seluruh diskursusnya tentang larangan bertepuk
tangan pada asusmsi berbasis gender (tepuk tangan adalah hal yang biasa
dilakukan perempuan), dan asumsi ahistoris (tepuk tangan adalah hal yang biasa
dilakukan orang kafir). Yang menarik adalah bahwa tidak ada ketentuan khusus
atau tegas tentang tepuk tangan. Lebih jauh lagi, Hadis Nabi tentantang tepuk
tangan itu dipandang muncul pada masa akhir kehidupan beliau. Dari sudut
pandang kesejarahannya, kenyataan bahwa orang-orang Islam bertepuk tangan

dalam shalat menunjukkan bahwa tepuk tangan merupakan perbuatan yang


diterima masyarakat. Lagi pula, secara kronologis tidak ditemukan hadis lain
yang melarang tepuk tangan dalam kondisi apapun, dan bahkan Hadis ini hanya
merujuk pada tepuk tangan ketika shalat. Bahkan hadis ini pun tidal
melarangnya secara total, tetapi hanya membatasinya untuk perempuan saja. 41
Khaled Abou el-Fadhl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta:
Serambi,
2004),
Cet.
I,
h.
274.
41 Khaled Abou el-Fadhl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati, h. 275.
40

17
c. Tafsir Q.S. al-Ahzab 32 dalam Tafsir Klasik dan Modern 1) Ibnu Katsir
dalam
Tafsir
al-Quran
al-Azhim





:
Artinya: Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita
yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik. (Q.S. Al-Ahzab [33]: 32) Terkait surah al-Ahzab
ayat 32, Ibnu Katsir menfasirkan bahwa ayat ini merupakan adab yang
diperintahkan Allah kepada para isteri Nabi serta isteri umatnya yang mengikuti
mereka. Allah berfirman kepada isteri-isteri Nabi, bahwa jika mereka bertakwa
kepada Allah sebagaimana yang Allah perintahkan kepada mereka, maka mereka
tidak
dama
dengan
wanita
lainnya.

dalam tunduk kamu janganlah maka (

)
Allah
Firman


berbicara. Al-Suddin dan selainnya berkata: yang dimaksud adalah
melembutkan kata-kata jika mereka berbicara dengan laki-laki. Untuk itu Allah

) ;berfirman

yang orang berkeinginanlah sehingga (





SWT


) .buruk niat yaitu ,hatinya dalam penyakit


ucapkanlah dan (
ada
perkataan yang baik, Ibnu Zaid berkata: kata-kata yang baik, bagus, dan
maruf dalam kebaikan. Makna hal ini adalah bahwa wanita berbicara kepada
kaum pria dengan kata-kata yang tidak mengandung kelembutan. Artinya,
janganlah seorang wanita berbicara dengan kaum pria seperti berbicara dengan
suaminya.42
2)
Al-Qurthubi
dalam
Al-Jami
li
al-Ahkam
al-Quran





:
Artinya: Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita
yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan

ucapkanlah perkataan yang baik. (Q.S. Al-Ahzab [33]: 32) Al-Qurtubi dalam
tafsirnya Al-Jami li al-Ahkam al-Quran menyebutkan bahwa surah al-Ahzab ayat
32 menyeru Isteri-isteri Nabi dengan menekankan bahwa mereka menduduki
status sosial yang berbeda dengan kebanyakan perempuan muslim lainnya.
Kemulian dan keutamaan para Isteri-isteri Nabi tersebut ditentukan dari derajat
ketakwaan
mereka
.43
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim (T.t.: Darr al-Thaibah, 1420 H/9111 M), Juz 6, h. 408
Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi Al-Jami li al-Ahkamil Quran (Jakarta: Pustaka Azzam,
2009),
Cet.
I,
h.
177
18
3)
Yusuf
Qardhawi
dalam
Fatwanya
42
43





:
Artinya: Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita
yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik. (Q.S. Al-Ahzab [33]: 32) Terkait beberapa
pendapat yang menyatakan bahwa suara wanita adalah Aurat, termasuk
pendapat para ahli hukum CRLO yang telah dikemukakan di atas, maka penting
untuk menampilkan pandangan Yusuf Qardhawi dalam masalah ini. Yusuf
Qardhawi menanggapi pendapat yang menganggap suara wanita adalah aurat
bahwa apakah mereka tidak tahu bahwa al-Quran memperbolehkan laki-laki
bertanya kepada isteri-isteri Nabi Saw dari balik tabir? Bukankah isteri-isteri Nabi
itu mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang lebih berat daripada isteriisteri lain, sehingga ada beberapa perkara yang diharamkan kepada mereka
yang tidak diharamkan kepada selain mereka. 44 Firman Allah SWT:


:
Artinya: Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteriisteri
Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Q.S. Al-Ahzab [33]: 53) Permintaan
atau pertanyaan dari para sahabat itu sudah tentu memerlukan jawaban dari
isteri-isteri Nabi (Ummahatul Mukminin). Mereka biasa memberi fatwa kepada
mereka dan meriwayatkan Hadis-hadis bagi yang ingin mengambil Hadis
mereka. Begitupun pernah ada seorang wanita bertanya kepada Nabi Saw
dihadapan kaum laki-laki. Ia tidak merasa keberatan melakukan hal itu dan Nabi
pun tidak melarangnya. Selanjutnya, al-Quran juga menceritakan percakapan
yang terjadi antara Nabi Sulaiman a.s dengan Ratu Saba, serta percakapan sang
Ratu dengan kaumnya yang laki-laki. 45 Sejalan dengan Khaled, Yusuf Qardhawi
juga menegaskan bahwa yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan
pembicaraan untuk menarik laki-laki, yang oleh al-Quran disitilahkan dengan alKhudu (tunduk/lunak/memikat dalam berbicara), sebagaimana yang disebutkan
dalam surah al-Ahzab ayat 32 yang telah disebutkan di atas. Ini bukan berarti
Allah melarang semua pembicaraan wanita dengan setiap laki-laki yang di
isyartakan
pada
ujung
ayat
Q.S.
al-Ahzab
32;

.baik

yang

perkataan

ucapkanlah

dan

Yusuf Qardhawi dan Asad Yasin, Fatwa-fatwa Kontemporer terj. dari judul asli Hadyu
al-Islam
Fatawy
Muashirah
(Jakarta:
Gema
Insani
Pers:
1995),
h.
352-353
45
Yusuf Qardhawi dan Asad Yasin, Fatwa-fatwa Kontemporer, h. 353 19
44

E. Analisis Menurut Kholid pada umumnya, paradigma hukum islam berhenti


pada
klaim
atas nama Tuhan. Artinya, setiap metedologi yang tersedia dalam hamparan
khazanah hukum islam senantiasa mencari justifikasi dan legitimasi dari klaim
tersebut, bukannya dalam kerangka memecahkan persoalan, melainkan
mempertahankan pandangan semata. Otoritas menjadi salah satu konsep
penting dalam pemikiran Abou El-Fadl, terutama terkait dengan diskursus hukum
islam. Abou Fal menemukan adanya ketegangan yang terdapat dalam tradisi
penafsiran teks-teks keagamaan. Ketegangan itu terutama menyangkut relsi
antara otoritas teks dan kontruksi teks bersifat otoriter. Sederhanya, Khaled
menekankan pentingnya mengembalikan etos intelektual, etos keilmuwan yang
pernah ada dalam sejarah umat Islam di tengah ramai atau riuhnya
klaim (pengakuan) banyak orang yang merasa paling tahu dan paling benar
mengenai maksud Allah dan Nabi sampai-sampai mereka merasa sebagai satusatunya
orang
yang
paling mewakili Allah dan Rasul, mereka lupa bahwa setiap orang diberikan
mandat
menjadi wakil Allah (khalifah) di muka bumi. Tampaknya pemikiran Abou elFadhl menganut paham relativitas. Bukan tanpa alasan Abou El-Fadhl
menganut pemikiran relativitas, sebaliknya pemikiran seperti ini inspirasinya
justru meminjam teorinya Amin Abdullah tentang perkembangan pemikiran
Islam yang selalu mendasarkan pada termuat dalam normativitas dan
historisitas. Dan yang terpenting adalah bahwa tawaran hermeneutika Abou El
Fadl, yang digagas dari paradigma hukum Islam dalam konstruksinya tentang
hermeneutika tidak hanya aplikatif dalam penafsiran al-Quran, tapi juga pada
teks-teks Islam yang lain. Dengan kata lain, Abou El-Fadhltelah mencoba
melakukan rancang bangun hermeneutika yang dapat menjadi prinsip-prinsip
umum dalam menafsirkan teks-teks Islam (baik yang sakral maupun yang
profan).
SEKIAN
20
DAFTAR PUSTAKA Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Ibnu Rusyd; Kritik IdeologisHermeneutis (Yogyakarta: LKiS, 2009) Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi Al-Jami li
al-Ahkamil Quran (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) Fatwa Dewan Riset Ilmu dan
Fatwa Arab Saudi (Al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts alIlmiyyah wa al-Ifta/Council
for
Scientific
Research
and
Legal
Opinions),
Dalam:
http://www.alifta.net/ Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim (T.t.: Darr al-Thaibah,
1420 H/1999 M) Khaled M. Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke
Fiqih Otoritatif terj. R. Cecep Lukman Y. dari judul asli Speaking in Gods Name;
Islamic
Law,
Authority,
and Women (Jakarta: Serambi, 2004) Mohammad Muslih, Book Review;
Membongkar
Logika
Penafsir
Agama
(Vol.
5,
No.
2,
Dhulqadah
1430)

Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr Ihya al-turast al-Araby, tt), Juz I, h. 316.
Nasrullah, Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou el-Fadl: Metode Kritik atas
Penafsiran oritarianisme dalam Pemikiran Islam, Jurnal Hunafa, Vol. 5, No. 2,
Agustus 2008 Teresa Watanabe, Konsepsi jihad Khaled Medhiat Abou el-Fadl
dalam
Battling
Islamic
Puritans (Los Angeles Times: 2 Januari 2002) Tholchatul Choir, Ahwan Fanani
(ed.), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009)

Anda mungkin juga menyukai