Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Luka bakar merupakan suatu bentuk kerusakan dan atau kehilangan
jaringan yang disebabkan oleh kontak dengan suatu sumber yang memiliki suhu
yang tinggi misalnya luka yang terjadi akibat terbakar api langsung maupun tidak
langsung seperti tersiram air panas, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik,
maupun bahan kimia 1,2
Akibat yang ditimbulkan oleh luka bakar adalah kerusakan jaringan kulit
yang disebabkan oleh adanya kontak dengan sumber panas.Kulit mengalami
kerusakan pada epidermis, dermis, maupun jaringan subkutan akibat luka
bakar.Kerusakan yang timbul tergantung faktor penyebab dan lamanya kulit
berkontak dengan faktor penyebab.Lama kontak jaringan dengan sumber panas
menentukan luas dan kedalaman kerusakan jaringan. Semakin lama waktu kontak,
semakin luas dan dalam kerusakan jaringan yang terjadi1
Luka bakar merupakan hal yang sangat umum dijumpai. Diperkirakan
setiap tahunnya terjadi 265.000 kematian yang disebabkan oleh luka bakar yang
terjadi pada negara berpenghasilan rendah dan sedang3. Sedangkan di Amerika
Serikat, pada tahun 2000 diperkirakan seseorang meninggal akibat api setiap 2
jam dan seseorang terluka akibat api setiap 23 menit 4.
Data Indonesia berdasarkan Departemen Kesehatan RI tahun 2008,
menyatakan prevalensi luka bakar di Indonesia adalah 2,2%. Sedangkan menurut
tim Pusbankes 118 Persi DIY tahun 2012 angka kematian akibat luka bakar di
RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta berkisar 37-39 % pertahun dan di RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta, rata-rata dirawat 6 pasien luka bakar perminggu setiap
tahunnya.5 Menurut Riskesdas di Sumatera Utara pada tahun 2007 didapatkan

prevalensi luka bakar sebesar 2,5 % dari seluruh jenis luka, dimana pada kota
Medan hanya 0,4%.6,7,8,9

1.2. Tujuan Penulisan


1.

Memahami mengenai luka bakar dan penatalaksanaan mengenai luka


bakar.

2.

Meningkatkan kemampuan dalam penulisan karya ilmiah di bidang


kedokteran.

3.

Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan


ProfesiDokter (P3D) di Departemen Ilmu Bedah FakultasKedokteran
Universitas Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Luka Bakar


2.1.1. Definisi
Luka bakar adalah rusak atau hilangnya jaringan yang disebabkan kontak
dengan sumber panas seperti kobaran api di tubuh (flame), jilatan api ke tubuh
(flash), terkena air panas (scald), tersentuh benda panas (kontak panas), akibat
sengatan listrik, akibat bahan-bahan kimia, serta sengatan matahari (sunburn).7,8
2.1.2. Etiologi9,10,11
Luka bakar banyak disebabkan karena suatu hal, diantaranya adalah
a. Luka bakar suhu tinggi(Thermal Burn): gas, cairan, bahan padat Luka
bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald) ,jilatan api
ketubuh (flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau
kontak dengan objek-objek panas lainnya(logam panas, dan lain-lain).
b. Luka bakar bahan kimia (Chemical Burn): Luka bakar kimia biasanya
disebabkan oleh asam kuat atau alkali yang biasa digunakan dalam bidang
industri militer ataupu bahan pembersih yang sering digunakan untuk
keperluan rumah tangga.
c. Luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn): Listrik menyebabkan
kerusakan yang dibedakan karena arus, api, dan ledakan. Aliran listrik
menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi paling rendah.
Kerusakan terutama pada pembuluh darah, khusunya tunika intima,
sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Sering kali kerusakan
berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan sumber arus maupun
grown.
d. Luka bakar radiasi (Radiasi Injury): Luka bakar radiasi disebabkan karena
terpapar dengan sumber radio aktif. Tipe injury ini sering disebabkan oleh
penggunaan radio aktif untuk keperluan terapeutik dalam dunia kedokteran

dan industri. Akibat terpapar sinar matahari yang terlalu lama juga dapat
menyebabkan luka bakar radiasi.
2.1.3. Patofisiologi1
Luka bakar pada tubuh terjadi baik karena kondisi panas langsung atau
radiasi elektromagnetik. Sel-sel dapat menahan temperatur sampai 440oC tanpa
kerusakan bermakna, kecepatan kerusakan jaringan berlipat ganda untuk tiap
derajat kenaikan temperatur.
Saraf dan pembuluh darah merupakan struktur yang kurang tahan dengan
konduksi

panas.Kerusakan

pembuluh

darah

ini

mengakibatkan

cairan

intravaskuler keluar dari lumen pembuluh darah, dalam hal ini bukan hanya cairan
tetapi protein plasma dan elektrolit.Pada luka bakar ekstensif dengan perubahan
permeabilitas yang hampir menyelutruh, penimbunan jaringan masif di intersitial
menyebabakan kondisi hipovolemik.
Volume cairan iuntravaskuler mengalami defisit, timbul ketidak mampuan
menyelenggarakan proses transportasi ke jaringan, kondisi ini dikenal dengan
syok. Luka bakar juga dapat menyebabkan kematian yang disebabkan oleh
kegagalan organ multi sistem.
Awal mula terjadi kegagalan organ multi sistem yaitu terjadinya kerusakan
kulit yang mengakibatkan peningkatan pembuluh darah kapiler, peningkatan
ekstrafasasi cairan (H2O, elektrolit dan protein), sehingga mengakibatkan tekanan
onkotik dan tekanan cairan intraseluler menurun, apabila hal ini terjadi terus
menerus

dapat

mengakibatkan

hipopolemik

dan

hemokonsentrasi

yang

mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi jaringan. Apabila sudah terjadi


gangguan perkusi jaringan maka akan mengakibatkan gangguan sirkulasi makro
yang menyuplai sirkulasi orang organ organ penting seperti : otak, kardiovaskuler,
hepar, traktus gastrointestinal dan neurologi yang dapat mengakibatkan kegagalan
organ multi sistem. Proses kegagalan organ multi sistem ini terangkum dalam
bagan berikut.

Gambar 2.1. Bagan Patofisiologi Luka Bakar1

Luka bakar menghasilkan respon lokal dan respon sistemik.Pada respon


lokal, luka bakar mengakibatkan denaturasi protein dan nekrosis koagulatif.
Terdapat tiga zona luka bakar12 :
1. Zona koagulasi, dimana hal ini terjadi pada kerusakan maksimum,
terdapat kehilangan jaringan yang ireversibel.
2. Zona stasis, dimana zona ini mengalami penurunan perfusi jaringan.
Resusitasi pada luka bakar bertujuan untuk meningkatkan perfusi
jaringan pada zona ini dan mencegah kerusakan jaringan menjadi
ireversibel.

3. Zona hiperemia, dimana pada zona ini perfusi jaringan meningkat.


Jaringan pada zona ini akan mengalami perbaikan kecuali jika
terdapat sepsis berat ataupun hipoperfusi yang berkepanjangan.
Ketiga zona ini adalah tiga dimensi, dan kehilangan jaringan pada zona
stasis akan menyebabkan jaringan luka semakin dalam dan semakin luas.14
Pelepasan sitokin dan mediator inflamasi pada lokasi luka bakar memiliki
efek sistemik jika luka bakar mencapai 30% dari total luas permukaan tubuh.
Respon sistemik yang dapat terjadi antara lain :
1. Perubahan Kardiovaskular
Permeabilitas kapiler meningkat, yang mengakibatkan kehilangan
protein intravaskular dan cairan ke kompartemen interstitial. Terjadi
vasokonstriksi arteri-arteri di perifer dan splanknik. Kontraktilitas
myokardiak menurun, yang mungkin diakibatkan oleh dikeluarkannya
tumor necrosis factor . . Perubahan ini, disertai dengan kehilangan
cairan dari jaringan luka bakar, dapat menyebabkan hipotensi sistemik
dan berujung pada hipoperfusi organ.
2. Perubahan Respiratorik
Mediator inflamasi menyebabkan vasokonstriksi, dan pada luka bakar
berat dapat terjadi respiratory distress syndrome.
3. Perubahan Metabolik
BMR meningkat hingga tiga kali lipat dari BMR normal. Hal ini jika
disertai hipoperfusi splanknik, membutuhkan suplai enteral yang
segera

dan

agresif

untuk

menurunkan

katabolisme

dan

mempertahankan integritas usus.


4. Respon imunologik
Terjadi down regulation non-spesifik pada sistem imun baik selular
maupun humoral.14
2.1.4. Klasifikasi 1,7
Klasifikasi luka bakar menurut kedalaman :
a. Luka bakar derajat I

Disebut juga luka bakar superficial. Kerusakan terbatas pada


lapisan epidermis superfisial tidak sampai mengenai daerah dermis.
Kulit kering hiperemik, berupa eritema, tidak dijumpai pula nyeri
karena ujung ujung syaraf sensorik teriritasi, penyembuhannya
terjadi secara spontan dalam waktu 5 -10 hari.
b. Luka bakar derajat II
Kerusakan terjadi pada seluruh lapisan epidermis dan sebagai
lapisan dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi.
Dijumpai pula, pembentukan scar, dan nyeri karena ujungujung
syaraf sensorik teriritasi. Dasar luka berwarna merah atau pucat.

1
1

Sering terletak lebih tinggi diatas kulit normal.


I. Derajat II Dangkal (Superficial)
Kerusakan mengenai bagian superficial dari dermis.
Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjar sebasea masih utuh.
Bula mungkin tidak terbentuk beberapa jam setelah cedera, dan
luka bakar pada mulanya tampak seperti luka bakar derajat I dan
mungkin terdiagnosa sebagai derajat II superficial setelah 12-24
jam
Ketika bula dihilangkan, luka tampak berwarna merah muda dan
basah.
Jarang menyebabkan hypertrophic scar.
Jika infeksi dicegah maka penyembuhan akan terjadi secara
spontan kurang dari 3 minggu.
II. Derajat II dalam (Deep)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis
Organ-organ kulit seperti folikel-folikel rambut, kelenjar
keringat,kelenjar sebasea sebagian besar masih utuh.
Penyembuhan terjadi lebih lama tergantung biji epitel yang
tersisa.
Juga dijumpai bula, akan tetapi permukaan luka biasanya tanpak
berwarna merah muda dan putih segera setelah terjadi cedera
karena variasi suplay darah dermis (daerah yang berwarna putih
mengindikasikan aliran darah yang sedikit atau tidak ada sama

sekali, daerah yg berwarna merah muda mengindikasikan masih


ada beberapa aliran darah ). Jika infeksi dicegah, luka bakar akan
sembuh dalam 3 -9 minggu.
c. Luka bakar derajat III (Full Thickness burn)
Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dermis dan lapisan lebih
dalam, tidak dijumpai bula, apendises kulit rusak, kulit yang
terbakar berwarna putih dan pucat. Karena kering, letak nya lebih
rendah dibandingkan kulit sekitar. Terjadi koagulasi protein pada
epidermis yang dikenal sebagai scar, tidak dijumpai rasa nyeri dan
hilang sensasi, oleh karena ujung ujung syaraf sensorik
mengalami kerusakan atau kematian. Penyembuhanterjadi lama
d.

karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari dasar luka.


Luka bakar derajat IV
Luka full thickness yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan
ltulang dengan adanya kerusakan yang luas. Kerusakan meliputi
seluruh dermis, organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar
sebasea dan kelenjar keringat mengalami kerusakan, tidak dijumpai
bula, kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat, terletak lebih
rendah dibandingkan kulit sekitar, terjadi koagulasi protein pada
epidemis dan dermis yang dikenal scar, tidak dijumpai rasa nyeri
dan hilang sensori karena ujung-ujung syaraf sensorik mengalami
kerusakan dan kematian. penyembuhannya terjadi lebih lama
karena ada proses epitelisasi spontan dan rasa luka.

Gambar 2.2. Derajat Luka Bakar18


Pembagian Berat Luka Bakar15,16
Berat/kritis
Derajat 2 lebih dari 25%

Derajat 3 lebih dari 10% Atau terdapat pada muka, kaki, tangan
Luka bakar disertai trauma jalan napas atau jaringan lunak luas, atau
fraktur
Luka bakar akibat listrik
Sedang
Derajat 2 : 15-25%
Derajat 3 kurang dari 10%, kecuali muka, kaki, tangan
Ringan
Derajat 2 kurang dari 15%
2.1.5. Luas Luka15,16,17
Presentasi dari total area permukaan tubuh yang terbakar (TBSA). Untuk
memudahkan perhitungan, satu telapak tangan pasien adalah 1 3/4 %
TBSA.Perhitungan berdasarkan Rule of Nine :

Kepala, leher : 9%
Lengan, tangan : 2 x 9%
Paha, betis, kaki : 4 x 9%
Dada, perut, punggung, bokong : 4 x 9%
Genitalia : 1%

Gambar 2.3 Perkiraan Luas Daerah Luka Bakar pada Orang Dewasa15
Penilaian berbeda pada anak karena ukuran kepala dan kedua tungkai
berbeda.Anak 9 tahun:
Kepala : 14%
Tungkai, kaki : 16%
Bagian lain sama dengan dewasa
Bayi 1 tahun:
Kepala, leher : 18%
Tungkai, kaki : 14%
Bagian lain sama dengan dewasa
Cara perhitungan lain dengan menggunakan Lund dan Browder Chart,
mungkin lebih tepat, tapi sukar dipakai sebagai acuan dalam praktek seharihari.15,16,17

Gambar 2.4 Perkiraan Luas Daerah Luka Bakar pada Anak15

2.6.6. Diagnosis
Anamnesis penyebab luka bakar sangat berguna dalam penentuan
penanganan luka bakar. Luka bakar dapat disebabkan oleh api, cairan panas,
bahan kimia, uap panas, ledakan, sengatan listrik, dan sebagainya. Penting juga
diketahui lama paparan dan lokasi pajanan.Mekanisme cedera yang berhubungan
juga perlu ditanyakan, misalnya ledakan, jatuh, kecelakaan lalu lintas, dan
sebagainya.Trauma

akibat

ledakan

dapat

menghasilkan

proyektil

yang

menyebabkan fraktur maupun kerusakan organ dalam.Pasien dengan keluhan sakit


kepala atau pusing dan menderita luka bakar karena api, harus dipertimbangkan
keracunan karbon monoksida. Luka bakar akibat sengatan listrik perlu perhatian
khusus terhadap keadaan jantung.
Luka bakar terjadi pada usia ekstrem dapat membawa komorbiditas dan
mortalitas lebih besar. Perhatian terhadap usia <3 tahunatau >60 tahun, karena

imunitas kurang dibanding usia lainnya. Wajah, kepala, tangan, kaki, dan
perineum (area primer) memerlukan perhatian khusus. Penyakit penyerta, alergi,
dan konsumsi obat-obatan dan alkohol terakhir juga perlu ditanyakan.15,16

2.1.7. Pertolongan Pertama18


a. Segera hindari sumber api dan mematikan api pada tubuh, misalnya
dengan menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar untuk
menghentikan pasokan oksigen pada api yang menyala
b. Singkirkan baju, perhiasan dan benda-benda lain yang membuat efek
Torniket, karena jaringan yang terkena luka bakar akan segera menjadi
oedem
c. Setelah sumber panas dihilangkan rendam daerah luka bakar dalam air
atau menyiramnya dengan air mengalir selama sekurang-kurangnya lima
belas menit. Proses koagulasi protein sel di jaringan yang terpajan suhu
tinggi berlangsung terus setelah api dipadamkan sehingga destruksi tetap
meluas. Proses ini dapat dihentikan dengan mendinginkan daerah yang
terbakar dan mempertahankan suhu dingin ini pada jam pertama sehingga
kerusakan lebih dangkal dan diperkecil.
d. Akan tetapi cara ini tidak dapat dipakai untuk luka bakar yang lebih luas
karena bahaya terjadinya hipotermi. Es tidak seharusnya diberikan
langsung pada luka bakar apapun.
e. Evaluasi awal
f. Prinsip penanganan pada luka bakar sama seperti penanganan pada luka
akibat trauma yang lain, yaitu dengan ABC (Airway Breathing
Circulation) yang diikuti dengan pendekatan khusus pada komponen
spesifik luka bakar pada survey sekunder.

2.1.8. Penatalaksanaan Luka Bakar1

Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api pada tubuh, misalnya
dengan menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar untuk menghentikan
pasokan oksigen pada api yang menyala. Korban dapat mengusahakannya dengan
cepat menjatuhkan diri dan berguling agar bagian pakaian yang terbakar tidak
meluas.
Pertolongan pertama setelah sumber panas dihilangkan adalah merendam
daerah luka bakar dalam air atau menyiramnya dengan air mengalir selama
sekurang-kurangnya lima belas menit. Upaya pendinginan ini, dan upaya
mempertahankan suhu dingin pada jam pertama akan menghentikan proses
koagulasi protein sel di jaringan yang terpajan suhu tinggi yang akan berlangusng
walaupun api telah dipadamkan, sehinggan destruksi tidak meluas.
Pada luka bakar ringan, prinsip penanganan utama adalah mendinginkan
daerah yang terbakar dengan air, mencegah infeksi dan memberi kesempatan sisasisa sel epitel untuk berproliferasi, dan menutup permukaan luka.Luka dapat
dirawat secara tertutup atau terbuka.
Pada luka bakar luas dan dalam, pasien harus segera dibawa ke rumah
sakit terdekat yang punya tenaga terlatih dan unit luka bakar yang memadai untuk
penangan luka bakar tersebut.Dalam perjalaanan penderita sudah dilengkapi
dengan infus dan penutup kain yang bersih serta mobil ambulans atau sejenisnya
yang bisa membawa penderita dalam posisi tidur.
Walaupun terdapat trauma penyerta, luka bakarlah yang paling berpotensi
menimbulkan mortalitas dan morbiditas. Jika trauma penyerta yang lebih
berpotensi tinggi menimbulkan mortalitas dan morbiditas, pasien distabilkan
terlebih dahulu di trauma centre sebelum ditransfer ke unit luka bakar.
Pada luka bakar berat, selain penangan umum seperti pada luka bakar
ringan, kalau perlu, dilakukan resusitasi segera bila penderita menunjukkan gejala
syok.Bila penderita menunjukkan gejala terbakarnya jalan napas, diberikan
campuran udara lembab dan oksigen.Kalau terjadi edema laring, dipasang pipa
endotrakea atau dibuat trakeostomi.Trakeostomi berfungsi untuk membebaskan

jalan napas, mengurangi dead space, dan memudahkan pembersihan jalan napas
dari lendir atau kotoran.Bila ada dugaan keracunan CO, segera diberikan oksigen
murni.
Luka akibat asam hidrofluorida perlu dilavase (cuci bilas) sebanyakbanyaknya dan diberi gel kalsium glukonat topikal.Pemberian kalsium sistemik
juga

diperlukan karena asam hidrofluorida mengendapkan kalsium pada luka

bakar.

a. Primary Survey dan Resusitasi


Primary survey dan resusitasi pada pasien dengan luka bakar berfokus
pada jalan napas, pernapasan dan sirkulasi.
1. Jalan napas
Edema laring dapat terjadi dalam 24-48 jam pertama setelah terhisap asap
atau uap panas sehingga memerlukan penanganan segera agar tidak serjadi
obstruksi jalan napas dan henti napas. Selain itu perlu diperhatikan tanda-tanda
obstruksi jalan napas seperti stridor, mengi, suara serak sehingga tindakan intubasi
dapat segera dilakukan karena keterlambatan melakukan penilaian dapat
menyebabkan terjadinya intubasi yang sulit. Bila ditemukan rambut hangus
terbakar, wajah terbakar, serak, disfoni, batuk, jelaga di mulut dan hidung, tanpa
disertai distres napas, harus dicurigai kemungkinan adanya edema yang
mengancam di jalan napas atas dan bawah.13

2. Pernapasan
Penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi perlu dilakukan dengan
melihat usaha napas, ekspansi dada, suara napas dan adanya sianosis. Pulse
oksimetri dapat digunakan untuk melihat saturasi seseorang dengan luka bakar.13
Hipoksia biasanya berhubungan erat dengan trauma inhalasi, ventilasi yang tidak
adekuat dikarenakan luka melingkar pada dada. Pemberian oksigen dengan atau
tanpa intubasi harus segera diberikan.17

Harus selalu mencurigai paparan terhadap CO pada pasien yang terkena


luka bakar pada area yang tertutup. Diagnosis pada keracunan CO diawali dengan
riwayat paparan dan pengukuran langsung dengan carboxyhemoglobin (HbCO).
Pasien dengan level CO kurang dari 20% biasanya tanpa gejala, tetapi pasien

dengan level CO yang lebih tinggi dapat menunjukkan tanda:17


Sakit kepala dan mual
Kebingungan
Koma
Kematian
Pasien dengan keracunan CO diberikan oksigen murni 100%.

3. Sirkulasi
Gangguan sirkulasi dengan penilaian berupa kesadaran, nadi, warna kulit,
waktu pengisian kapiler dan suhu ektermitas. Pemberian cairan intravena
bertujuan untuk memperbaiki hipovolemi akibat dari kebocoran kapiler kulit yang
terluka. Kebocoran kapiler lokal dan sistemik dapat terjadi secara proporsional
sesuai dengan luas dan kedalaman luka bakar. Perhitungan luasnya permukaan
luka bakar dengan menggunakan rule of nine.19
Sebelum infus diberikan, luas dan dalamnya luka bakar harus ditentukan
secara teliti. Kemudian jumlah cairan infus yang akan diberikan dihitung. Ada
beberapa cara untuk mengitung kebutuhan cairan ini. Cara evans adalah sebagai
berikut: 1) luas luka dalam persen x berat badan dalam kg menjadi mL NaCl per
24 jam; 2) luas luka dalam persen x berat badan dalam kg menjadi mL plasma per
24 jam. Keduanya merupakan pengganti cairan yang hilang akibat udem. Plasma
diberikan untuk mengganti plasma yang keluar dari pembuluh dan meninggikan
tekanan osmosis sehingga mengurangi perembesan keluar dan menarik kembali
cairan yang telah keluar, 3) Sebagai pengganti cairan yang hilang akibat
penguapan, diberikan 2000 cc glukosa 5% per 24 jam.1
Separuh jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan
dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari
pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua. Penderita

mula-mula dipuasakan karena peristalsis usus terhambat pada keadaan prasyok,


dan mulai diberikan minum segera setelah fungsi usus normal kembali. Kalau
diuresis pada hari ketiga memuaskan dan penderuta dapat minum tanpa kesulitan,
infus dapat dikurangi, bahkan dihentikan.1
Cara lain yang banyak dipakai dan lebih sederhana adalah menggunakan
rumus Baxter atau Parkland, yaitu : luas luka bakar dalam persen x berat badan
dalam kg x 4 mL larutan Ringer. Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8
jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam. Hari pertama terutama diberikan
kristaloid yaitu larutan ringer laktat. Hari kedua diberikan setengah cairan hari
pertama. Pemberian cairan dapat ditambah (jika perlu), misalnya pada penderita
dalam keadaan syok, atau jika diuresis kurang. Untuk itu, pemantauan yang ketat
sangat penting, karena fluktuasi perubahan keadaan sangat cepat terutama pada
fase awal luka bakar.1
Intinya, status hidrasi penderita luka bakar luas harus dipantau terus
menerus. Keberhasilan pemberian cairan dapat dilihat dari diuresis normal yaitu
sekurang-kurangnya

1000-1500mL/24jam

atau

1mL/kgBB/jam

dan

3mL/kgBB/jam pada pasien anak. Yang penting juga adalah pengamatan apakah
sirkulasi normal atau tidak.1
Besarnya kehilangan cairan pada luka bakar luas disertai resusitasi yang
tidak betul dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit. Hiponatremia
sebagai gejala keracunan air dapat menyebabkan udem otak dengan tanda kejang.
Kekurangan ion K akibat banyaknya kerusakan sel dapat diketahui dari EKG yang
menunjukkan depresi segmen ST atau gelombang U. Ketidakseimbangan
elektrolit ini juga harus dikoreksi namun bukan menjadi prioritas utama dalam
resusitasi cairan emergensi manajemen primer pasien trauma.1
Penggantian Darah
Luka bakar pada kulit menyebabkan terjadinya kehilangan sejumlah sel
darah merah sesuai dengan ukuran dan kedalaman luka bakar. Sebagai tambahan
terhadap suatu kehancuran yang segera pada sel darah merah yang bersirkulasi
melalui kapiler yang terluka, terdapat kehancuran sebagian sel yang mengurangi
waktu paruh dari sel darah merah yang tersisa. Karena plasma predominan hilang

pada 48 jam pertama setelah terjadinya luka bakar, tetapi relative polisitemia
terjadi pertama kali. Oleh sebab itu, pemberian sel darah merah dalam 48 jam
pertama tidak dianjurkan, kecuali terdapat kehilangan darah yang banyak dari
tempat luka. Setelah proses eksisi luka bakar dimulai, pemberian darah biasanya
diperlukan.20
b. Secondary Survey
Komponen utama secondary survey adalah anamnesis, pemeriksaan fisik
ulang, dokumentasi, pemeriksaan laboratorium dan radiologi, pemeliharaan
sirkulasi perifer pada daerah yang terbakar, pemasangan NGT, kontrol infeksi dan
penanganan nyeri, pengaturan nutrisi dan perawatan luka.17
Anamnesis10
1.
Hal-hal yang perlu ditanyakan berupa

A :Alergi
M :Mekanisme dan sebab trauma
M :Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
P :Past illness
L :Last meal (makan minum terakhir)
E :Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.

2.

Pemeriksaan fisik10

Untuk menentukan rencana pengobatan pasien selanjutnya, pemeriksa


harus dapat menentukan derajat keparahan dan kedalaman luka bakar, memeriksa

adanya trauma lain, dan melakukan pengukuran berat badan pasien.

3.

Pemeriksaan penunjang10

Perlu dilakukan pemeriksaan darah lengkap, golongan darah dan


crossmatch, AGDA dengan HbCO, serum glukosa, elektrolit, dan tes kehamilan
pada semua wanita usia produktif. Foto rontgen dada perlu dilakukan pada pasienpasien yang terintubasi dan dicurigai terjadi trauma inhalasi.

4.

Sirkulasi perifer pada daerah luka bakar10

Fungsi memantau sirkulasi perifer pada pasien dengan luka bakar adalah
untuk mencegah terjadinya sindrom kompartemen. Sindrom komparemen
disebabkan oleh peningkatan tekanan didalam kompartemen yang mempengaruhi
perfusi pada jaringan-jaringan didalam kompartemen tersebut. Pada ekstremitas,
perfusi pada otot di dalam kompartemen adalah perhatian utama. Tekanan
kompartemen lebih dari 30 mmHg dapat menyebabkan nekrosis otot. Jika pulsasi
nadi pada daerah ekstremitas telah hilang, akan sulit untuk mencegah terjadinya
nekrosis otot. Karena itu, pemeriksa harus mengetahui tanda-tanda sindrom
kompartemen, yaitu meningkatnya nyeri pada gerakan pasif dan melemahnya
pulsasi distal. Jika diduga terjadi sindrom kompartemen, ukur tekanan
kompartemen dengan memasukkan jarum yang dihubungkan dengan monitor
tekanan arteri atau sentral ke dalam kompartemen. Jika tekanan >30 mmHg, maka

perlu dilakukan escharatomy.


Untuk menjaga sirkulasi perifer pada pasien dengan luka bakar, seluruh
aksesoris pada ekstremitas perlu dilepaskan. Selain itu, penting untuk menilai
status sirkulasi distal, periksa apakah ada sianosis, CRT yang memanjang, dan
gejala-gejala neurologis, seperti parestesia. Penilaian pulsasi perifer pada pasien
dengan luka bakar paling baik dilakukan dengan Doppler Ultrasonic flow meter.

5.

Pemasangan NGT10

Melakukan pemasangan NGT dan bila perlu dengan suction apabila pasien
mengalami mual, muntah, atau distensi abdomen, atau jika terdapat luka bakar
lebih dari 20% total BSA. Dalam hal transfer pasien, NGT perlu dipasang untuk
mencegah terjadinya aspirasi.
6. Kontrol Infeksi dan Penanganan Nyeri10
Antibiotik sistemik spektrum luas diberikan untuk mencegah infeksi.Yang
banyak dipakai adalah golongan aminoglikosida yang efektif terhadap
pseudomonas.Bila ada infeksi, antibiotik diberikan berdasarkan hasil biakan dan
uji kepekaan kuman.Antibiotik topikal tidak dibutuhkan dalam luka bakar kecil
dan luka bakar derajat I. Namun pada luka bakar derajat lebih dari II dan luka
bakar yang dalam, dibutuhkan pemberian antibiotik sesegera mungkin sambil
menunggu hasil kultur.1,21,22 Untuk mengatasi nyeri, paling baik diberikan opiat
melalui intavena dalam dosis serendah mungkin yang menghasilkan analgesia
yang adekuat namun tanpa disertao hipotensi. Selanjutnya, diberikan pencegahan
tetanus berupas ATS dan/atau toksoid.1

7.

Nutrisi1
Nutrisi harus diberikan cukup untuk menutup kebutuhan kalori dan

keseimbangan nitrogen yang negatif pada fase katabolisme, yaitu sebanyak 25003000 kalori sehari dengan kadar protein tinggi. Pada masa kini, tiap unit luka
bakar sudah menerapkan pemberian dini nutrisi enteral melalui selang nasogastrik
untuk mencegah terjadinya ulkus Curling dan memenuhi kebutuhan status
hipermetabolisme yang tarjadi pada fase akut luka bakar. Nutrisi enteral ini
diberikan

melalui

mendekompresi

selang

nasogastrik

lambung.Penderita

yang

yang

sekaligus

sudah

mulai

berfungsi
stabil

untuk

keadaanya

memerlukan fisioterapi untuk memperlancar peredaran darah dan mecegah


kekauan sendi.1
Penderita luka bakar membutuhkan kuantitas dan kualitas yang berbeda
dari orang normal karena umumnya penderita luka bakar mengalami keadaan
hipermetabolik.

Kondisi

yang

berpengaruh

dan

dapat

memperberat

kondisihipermetabolik yang ada adalah:


Umur, jenis kelamin, status gizi penderita, luas permukaan tubuh,
massa bebas lemak.
Riwayat penyakit sebelumnya seperti DM, penyakit hepar berat,
penyakit ginjal dan lain-lain.
Luas dan derajat luka bakar
Suhu dan kelembaban ruangan ( memepngaruhi kehilangan panas

melalui evaporasi)
Aktivitas fisik dan fisioterapi
Penggantian balutan
Rasa sakit dan kecemasan
Penggunaan obat-obat tertentu dan pembedahan.
Dalam menentukan kebutuhan kalori basal pasien yang paling ideal adalah
dengan mengukur kebutuhan kalori secara langsung menggunakan indirek
kalorimetri karena alat ini telah memperhitungkan beberapa faktor seperti BB,
jenis kelamin, luas luka bakar, luas permukan tubuh dan adanya infeksi. Untuk

menghitung kebutuhan kalori total harus ditambahkan faktor stress sebesar 2030%. Tapi alat ini jarang tersedia di rumah sakit.
Yang sering di rekomendasikan adalah perhitungan kebutuhan kalori basal
dengan formula HARRIS BENEDICK yang melibatkan faktor BB, TB dan Umur.
Sedangkan untuk kebutuhan kalori total perlu dilakukan modifikasi formula
dengan menambahkan faktor aktifitas fisik dan faktor stress.
Pria : 66,5 + (13,7 X BB) + (5 X TB) (6.8 X U) X AF X FS
Wanita : 65,6 + (9,6 X BB) + (1,8 X TB)- (4,7 X U) X AF X FS
Perhitungan kebutuhan kalori pada penderita luka bakar perlu perhatian
khusus karena kurangnya asupan kalori akan berakibat penyembuhan luka yang
lama dan juga meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas. Disisi lain,
kelebihan asupan kalori dapat menyebabkan hiperglikemi, perlemakan hati.
Penatalaksanaan nutrisi pada luka bakar dapat dilakukan dengan beberapa
metode yaitu : oral, enteral dan parenteral. Untuk menentukan waktu dimualinya
pemberian nutrisi dini pada penderita luka bakar, masih sangat bervariasi, dimulai
sejak 4 jam pascatrauma sampai dengan 48 jam pascatrauma.

c. Perawatan Luka Bakar


Tujuan utama dari perawatan luka bakar adalah untuk mengurangi
kehilangan cairan, mencegah pengeringan kulit yang masih layak, mempercepat
penyembuhan dan mencegah terjadinya infeksi.Tatalaksana awal luka bakar
adalah melakukan pembersihan dan membuang jaringan yang. Eksisi dan skin
graft pada luka bakar yang dalam menjadi pilihan yang utama walaupun belum
ada penelitian terkontrol yang membuktikannya.19
Luka bakar derajat satu dan dua menyisakan elemen epitel berupa kelenjar
sebasea, kelenjar keringat, atau pangkal rambut, dapat diharapkan sembuh sendiri,
asal dijaga supaya elemen epitel tersebut tidak hancur atau rusak karena infeksi.

Pada luka lebih dalam perlu diusahakan secepat mungkin membuang jaringan
kulit yang mati dan memberi obat topikal yang daya tembusnya tinggi sampai
mencapai dasar jaringan mati. Perawatan setempat dapat dilakukan secara terbuka
atau tertutup.1
Masih banyak kontroversi dalam pemakaian obat-obatan topikal, tetapi
yang penting obat topikal tersebut membuat luka bebas infeksi, mengurangi rasa
nyeri, bisa menembus skar dan mempercepat epitelisasi. Ada beberapa jenis obat
yang dianjurkan seperti golongan silver sulfadiazine dan yang terbaru MEBO
(moist exposure burn ointment).1
Obat topikal yang dipakai dapat berbentuk larutan salep atau
krim.Antibiotik dapat diberikan dalam bentuk sediaan kasa.Antiseptik yang
dipakai adalah yodium povidon atau nitras-argenti 0,5%. Kompres nitras-argenti
yang selalu dibasahi tiap 2 jam efektif sebagai bakteriostatik untuk semua kuman.
Obat ini mengendap sebagai garam sulfida atau klorida yang memberi warna
hitam sehingga mengotori semua kain. Krim silver sulfadiazine 1% sangat
berguna karena bersifat bakteriostatik, mempunyai daya tembus yang cukup,
efektif terhadap semua kuman, tidak menimbulkan resistensi dan aman. Krim ini
dioleskan tanpa pembalut, dan padat dibersihkan dan diganti setiap hari.1
Keuntungan perawatan terbuka adalah mudah dan murah.Permukaan luka
yang selalu terbuka menjadi dingin dan kering sehingga kuman sulit berkembang.
Kerugiannya, bila digunakan obat tertentu, misalnya nitras-argenti, alas tidur
menjadi kotor.1
Perawatan

tertutup

dilakukan

dengan

memberikan

balutan

yang

dimaksudkan untuk menutup luka dari kemungkinan kontaminasi, tetapi tutupnya


sedemikian rupa sehingga masih cukup longgar untuk berlangsungnya
penguapan.Keuntungan perawatan tertutup adalah luka tampak rapi, terlindung,
dan enak bagi penderita. Hanya, diperlukan tenaga dan dana lebih banyak karena
dipakainya banyak pembalut dan antisepsis. Kadang suasana luka yang lembab
dan hangat memungkinkan kuman untuk berkembang biak. Oleh karena itu, bila

pembalut melekat pada luka, tetapi tidak berbau sebaiknya jangan dilepaskan,
tetapi ditunggu sampai terlepas sendiri.1

2.1.9. Tindakan Bedah


Pemotongan eskar atau eskaratomi dilakukan pada luka bakar derajat tiga
yang melingkar pasa ekstremitas atau tubuh karena pengerutan keropeng dan
pembengkakan yang terus berlangusng dapat mengakibatkan penjepitan yang
membahayakan sirkulasi sehinggan bagian distal bisa mati.Tanda dini penjepitan
adalah nyeri, kemudian kehilangan daya rasa sampai kebas pada ujung-ujung
distal. Keadaan ini harus cepat ditolong dengan membuat irisan memanjang yang
membuka keropeng sampai penjepitan terlepas.1
Debridemen diusahakan sedini mungkin untuk membuang jaringan mati
dengan jalan eksisi tangensial.Tindakan ini dilakukan sesegera mungkin setelah
keadaan penderita menjadi stabil karena eksisi tangensial juga menyebabkan
perdarahan.Biasanya eksisi dini ini dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7, dan
pasti boleh dilakukan pada hari ke-10. Eksisi tangensial sebaiknya tidak dilakukan
lebih dari 10% luas permukaan tubuh, karena dapat terjadi perdarahan yang cukup
banyak.1
Luka bakar yang telah dibersihkan atau luka granulasi dapat ditutup
dengan skin graft yang umumnya diambil dari kulit penderita sendiri.Penutupan
luka bakar dengan bahan biolohis seperti kulit mayat atau kulit binatang atau
amnion manusia dapat dilakukan jika terdapat keterbatasan luas kulit
penderita.Walaupun kemungkinan ditolak, bahan tersebut dapay berfungsi
sementara untuk sebagai pengjalang penguapan berlebihan, pencegahan infeksi
yang lebih parah dan mengurangi nyeri.Namun, sedikit demi sedikit penutupan
sementara ini harus diganti dengan kulit penderita sendiri sebagai penutup
permanen.Sebaiknya pada penderita luka bakar derajat dua dalam dan derajat tiga
dilakukan skin grafting untuk mencegah terjadinya keloid dan jaringan parut yang

hipertropik. Sking grafting dapat dilakukan sebelum hari kesepuluh, yaitu


sebelum timbulnya jaringan granulasi.1
Saat ini telah banyak terdapat material pengganti kulit (skin subtitute) yang
dapat digunakan jika skin grafting tidak bisa dilakukan.Skin substitute ini antar
lain integra, aloderm dan dermagraft. Aloderm adalah dermis manusia yang
elemen-elemen epitelnya telah dibuang sehingga secara teoritis bersifat bebas
antigen dan berfungsi sebagai kerangka pengganti dermis.Dermagraft merupakan
hasil pembiakan fibroblas neonatus yang digabung dengan membran silikon,
kolagen babi dan jaring nilon.Setelah dua minggu, membran silikon dikelupas dan
digantikan dengan STSG (split thickness skin graft). Integra merupakan analog
dermis yang terbuat dari lapisan kolagen dan kondroitin ditambah lapiran silikon
tipis.1
2.1.10. Komplikasi
Komplikasi dari luka bakar adalah sebagai berikut15,23 :

Syok hipovolemik
Hipotermia
Pneumonia berhungan dengan ventilator
Edema laring
Acute respiratory distress syndrome
Keracunan metabolic (CO, HCN)
Compartment syndrome (abdomen, thoraks, maupun ekstremitas)
Deep vein thrombosis dan emboli paru
Gagal ginjal akut
Infeksi akibat kateterisasi urin
Sepsis
MODS
Skar
Kontraktur (pemendekkan dan pengetatan ligament, sendi, otot, ataupun
kulit)

2.1.11. Prognosis

Untuk mengukur prognosis penderita luka bakar dapat menggunakan Baux


Score (mortalitas sebanding dengan %TBSA). Namun dengan meningkatnya
kualitas penanganan luka bakar, Baux score tidak lagi akurat. Umur, ukuran luka
bakar, dan trauma inhalasi menjadi indikator terpenting pada mortalitas
penderita.Pada pasien non-ekstrim, komorbid seperti HIV, kanker metastasis,
penyakit ginjal, dan penyakit hepar berpengaruh pada mortalitas dan lama
rawatan. Pada sebuah studi terbaru yang melibatkan 68.661 pasien luka bakar
menemukan nilai prediksi mortalitas tertinggi, yakni umur, %TBSA, trauma
inhalasi, trauma lain yang menyertai, dan pneumonia.15

DAFTAR PUSTAKA

1.

Jong, W.D., dan Sjamsujidajat, 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-3.
EGC. Jakarta.

2.

Moenadjat, Yefta. 2009. Luka Bakar Masalah dan Tata Laksana, Edisi 4.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

3.

World

Health

Organization.

2014.

Burns.

Access

In:

www.who.int/mediacentre/factsheets/fs365/en/
4.

Karter, M.J. 2001. Fire loss in the United States during 2000. Quincy (MA):
National Fire Protection Association, Fire Analysis and Research Division

5.

Nurmalisa, B.E., 2012. Efektivitas Pemberian Salep Propolis Terhadap


Penyembuhan Luka Bakar Derajat II Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Melalui Pengamatan Mikroskopis yaitu Ketebalan Epitel dan Jumlah
Fibroblas. UMY: Yogjakarta.

6.

Laporan

Hasil

Riset

Kesehatan

Dasar

Provinsi

Sumatera

Utara.

2007.AccessIn:www.terbitan.litbang.depkes.go.id/penerbitan/index.php/blp/
catalog/download/63/92/226-1
7.

Price T, Cooper MA: Electrical and Lighting Injuries, Rosens Emergency


Medicine, Concepts and Clinical Practices, 6th Edition, 2006.

8.

Cushing,

Tracy

A.

Medscape.

March

2016.

Available:

http://emedicine.medscape.com/article/770179-overview
9.

Martina, Nungki Ratna; Wardhana, Aditya. Mortality Analysis of Adult


Burn Patients. Jurnal Plastik Rekonstruksi, {S.1.}, v.2,n.2, Feb, 2014. ISSN
2089-9734. Available:http://jprjournal.com/index.php/jpr/article/view/155.

10.

American College of Surgeon. 2010. ATLS 9th edition.

11.

Ministry of Health Government of Fiji. 2008. WHO : Emergency drug


guidelines

12.

Budyantra, R. 2015. Perbandingan Tingkat Kesembuhan Luka Bakar dengan


Pemberian Madu Dibandingkan dengan Pemberian Mupisorin pada Tikus
Putih. UNILA: Lampung

13.

Porter and Kaplan. 2011. The Merck Manual Nineteenth edition.

14.

Center for Disease Control. Fire deaths and injuries: Fact sheet overview.
[Accessed on August 26,2016].

15.

Hettiararchy, S. and Dziewulski, P. Pathophysiology and types of burns.


BMJ. 2004. June 12; 328(7453):1427-9.

16.

Friedstat J, Endorf FW, Gibran NS. 2010. Schwartzs Principle of Surgery


10th edition: Burns (ch. 8 : 227-236). Mc Graw Hill Education : New York.

17.

Sudjatmiko, G. 2014. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi


Edisi 4.

18.

St. John Ambulance. First aid: First on the Scene: Activity Book, Chapter 19

19.

Dewi, R., 2014. Current Evidences in Pediatric Emergencies Management.


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

20.

Benjamin C. Wedro.First Aid for Burns.http://www.medicinenet.com.

21.

Yasti, Ahmet Cinar.,et al. Guideline and Treatment Algorithm for Burn
Injuries. Ulus Travma Acil Cerrahi Derg, March 2015, Vol 21, No 2. DOI:
10.5505/tjtes.2015.88261

22.

Arnoldo, Brett., Klein, Matthew., Gibran, Nicole S. Practice Guidelines for


the Management of Electrical Injuries. 2006. American Burn Association.
DOI: 10.1097/01.BCR.0000226250.26567.4C

23.

Mayo clinic. 2015. Burns : complication. Assessed on 21th February 2016


from www.mayoclinic.org/diseases-conditions/burns.

24.

http://eprints.undip.ac.id/29136/3/Bab_2.pdf

25. "Atrial Fibrillation (for Professionals)".American Heart Association, Inc.


2008-12-04.Archived from the original on 2009-03-28.
26.

Nasution SA, Ismail D. 2006. Fibrilasi Atrial.Buku Ajar Ilmu penyakit


Dalaml. Ed.3. Jakarta. EGC, 1522-27.

27.

Blackshear JL, Odell JA (February 1996)."Appendage obliteration to reduce


stroke

in

cardiac

surgical

patients

with

atrial

fibrillation".Ann.Thorac.Surg.61 (2): 7559.


28.

Harrison (2000). Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3 Edisi 13.


EGC: 1418-87.

29.

Wattigney WA, Mensah GA, Croft JB (2002). "Increased atrial fibrillation


mortality: United States, 1980-1998". Am.J. Epidemiol.155 (9): 81926.

30.

Wolf PA, Dawber TR, Thomas HE, Kannel WB (1978). "Epidemiologic


assessment of chronic atrial fibrillation and risk of stroke: the Framingham
study". Neurology 28 (10): 9737

31.

(ACLS Study Guide 2016), 3 (A n d r e w H . T r a v e r s , e t a l . P a r t


4: CPR Overview: 2010

32.

Cheitlin M D, dkk. Clinical Cardilogy. Edisi ke-6. California: Prentice-hall


Interntional Inc;544-50

33.

Silvia G. Priori, et al. Part 10: Ventriular tachycardias and ventricular


fibriation in structurally normal heart: 2015 ESC Guidelines for
management of patients with ventricular arrhytmias and the prevention of
sudden cardiac death)

34. Olgin, Jeffrey E., Douglas P. Zipes. Tachyarrhythmias. Braunwalds Heart


Disease. A textbook of Cardiovascular Medicine Ninth Edition. Page : 86399

35. Delacretaz,

Etienne,

Supraventricular

Tachycardia.

http://www/nejm.org/doi/full/10/1056/NEJMep051145.
September 6,2016
36. Medi, Carolin. Jonathan
Supraventricular

M.

Kalman,

dan

Saul

Website
Accessed

Tachycardia.

Freedman.
Website

http://www.mia.com.au/public/issue/190_05_020309/med107_27_fm.html.
Accessed Oktober 10, 2016
37. ACLS Study Guide 2016
38. Rampengan SH. Krisis Hipertensi. Hipertensi Emergensi dan HipertensiUrgensi. BIKBiomed. 2007. Vol.3, No.4 :163-8.
39. Saguner AM, Dr S, Perrig M, Schiemann U, Stuck AE, et al. Risk Factors
PromotingHypertensive Crises: Evidence From a LongitudinalStudy. Am J
Hypertensi. 2010. 23:775-780.
40. Kaplan NM. Primary hypertension. In: Clinical Hypertension. 9 ed. Lippincott Williams &Wilkins; 2006: 50-104.
41. Madhur MS. Hypertension. Medscape Article. 2012. Vol.3, No.4 :163-8.
42. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, et al.Harrison's
Principles ofInternal Medicine. Seventeenth Edition. 2008.
43. Majid A. Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan. USU DigitalLibrary. 2004.
44. Vaidya CK, Ouellette JR. Hypertensive Urgency and Emergency. 2007. pp.
43-50.
45. Varon J, Marik PE. Clinical Review: The Management of Hypertensivecrises. Critical CareJournals. 2003.
46. Mink RV, Born BH, Montfrans GA, Koopmans RP, Karemaker JM, etal.
ImpairedCerebral Autoregulation in Pasient with MalignantHyperten- sion.
Journal of the AmericanHeart Association. 2004. 110:2241-2245.

Anda mungkin juga menyukai