Imobilisasi 1-4-2010
Imobilisasi 1-4-2010
Insiden penyakit sendi degenerasi meningkat pada lanjut usia, walaupun gejala dari
penyakit tersebut tidak selalu muncul pada pasien dengan perubahan radiologis. Nyeri dan
perubahan muskuloskeletal ini akan menyebabkan kontraktur dan imobilisasi pada penderita
jika tidak dikelola dengan benar. Masalah pada kaki seperti bengkak pada kaki, kalus dan
onikomikosis sering menimbulkan rasa nyeri yang menyebabkan imobilisasi pada penderita
( Kane, 2009 ).
Pada beberapa dekade terakhir, angka penderita stroke yang berhasil sembuh
meningkat sekitar 30 persen. Insiden terjadinya stroke menjadi dua kali lipat pada usia lebih
dari 60 tahun. Sekitar separuh dari penderita stroke akan memiliki gejala sisa defisit
neurologis yang memerlukan perawatan lebih lanjut, termasuk di dalamnya masalah
imobilisasi. Penyakit parkinson pada tahap lanjut akan menyebabkan imobilisasi yang berat
pada penderitanya (Kane, 2009).
Penyakit jantung kongesti, penyakit jantung koroner dengan angina, penyakit
pembuluh darah perifer dengan klaudikasio, hipotensi ortostatik, dan penyakit paru kronis
yang berat dapat menimbulkan keterbatasan aktivitas dan mobilisasi pada lanjut usia (Kane,
2009).
Faktor psikologis dan lingkungan juga berpengaruh besar terhadap mobilitas
penderita, penurunan mobilisasi penderita dapat dilihat sebagai manifestasi dari depresi yang
dialami penderita. Perasaan takut terjatuh, motivasi yang kurang, apatis dan keyakinan salah
tentang kesehatan (seperti istirahat dan imobilisasi penting untuk pemulihan tubuh),
merupakan masalah yang menyebabkan imobilisasi pada penderita. Perawatan penderita usia
lanjut di rumah sakit karena suatu penyakit akut juga sering menimbulkan imobilisasi
ditambah lagi dengan pemakaian peralatan kesehatan dengan mobilitas minimal seperti alat
bantu berjalan, tongkat, kursi roda juga berkontribusi dalam imobilisasi penderita (Kane,
2009).
Efek samping obat juga dapat menyebabkan imoblisisasi. Pemakaian obat sedatif dan
hipnotik akan menyebabkan perasaan mengantuk, pusing, delirium dan ataksia yang dapat
membatasi mobilisasi. Obat antipsikotik khususnya golongan phenothiazine memiliki efek
ekstrapiramidal yang menonjol dan dapat menyebabkan kekakuan otot dan mengurangi
pergerakan penderita. Terapi obat antihipertensi dapat menyebabkan hipotensi ortostatik atau
bradikardia sehingga dapat membatasi mobilisasi penderita (Kane, 2009).
KOMPLIKASI
Imobilisasi dapat menyebabkan berbagai komplikasi di berbagai sistem organ tubuh.
Inaktifitas yang lama dan tirah baring akan berakibat pada fisik dan psikologis penderita. Efek
yang terjadi akibat imobilisasi atau obstruksi akan menghambat bersihan dan dilusi dari faktor
koagulasi yang teraktivasi. Trombofilia kongenital atau yang didapat juga dapat
mempermudah terjadinya tromboemboli vena (Bates, 2004).
Kondisi imobilisasi akan menyebabkan terjadinya akumulasi leukosit teraktivasi dan
akumulasi trombosit teraktivasi. Keadaan tersebut akan menyebabkan gangguan pada sel-sel
endotel dan memudahkan terjadinya trombosis. Selain itu imobilisasi juga akan menyebabkan
stasis vena sehingga terjadi hipoksia lokal pada sel endotel yang selanjutnya akan
menghasilkan aktivator faktor X dan merangsang akumulasi leukosit dan trombosit (Setiati,
2006).
Diagnosis klinis suatu trombosis vena dalam tidaklah mudah, tanda dan gejala klasik
berhubungan dengan suatu obstruksi aliran darah vena termasuk timbulnya rasa nyeri,
bengkak biasanya pada satu kaki. Tanda lain yang kadang-kadang dijumpai adalah rasa panas,
kemerahan, dan nyeri pada saat dorsofleksi pasif pada kaki. Standar diagnostik untuk
trombosis vena dalam adalah menggunakan venografi, injeksi kontras intravena dan foto
serial extremitas. Venous duplex ultrasound saat ini banyak digunakan dan menjadi pilihan
karena bersifat non invasif, selain itu CT dan MRI juga digunakan dalam kondisi tertentu
sesuai dengan kebutuhan dan pertimbangan biaya yang dikeluarkan. Sedangkan secara
laboratoris digunakan pemeriksaan D-dimer untuk membantu diagnosis suatu trombosis vena
dalam ( Patel,2009)
2. EMBOLI PARU
Emboli paru merupakan suatu komplikasi imobilisasi yang umum terjadi dan
seringkali menyebabkan kematian pada penderita. Namun, diagnosis suatu emboli paru sering
terlewatkan, karena penderita dengan suatu emboli paru menampakkan tanda dan gejala klinis
yang tidak spesifik. Jika penderita dapat bertahan dari suatu emboli paru dan tidak diobati
dengan baik, maka sekitar sepertiganya akan meninggal akibat serangan emboli paru
berikutnya. Sebagian besar penderita meninggal pada beberapa jam serangan awal suatu
emboli paru, jika penderita dapat diselamatkan maka emboli yang berulang dan kematian
dapat dicegah dengan diagnosis dan pengobatan yang tepat (Sharma, 2006).
Emboli paru dapat terjadi pada penderita yang mengalami imobilisasi karena
imobilisasi menimbulkan suatu stasis vena lokal dengan akumulasi dari faktor faktor
pembekuan darah dan fibrin sehingga terjadi trombus. Resiko emboli paru meningkat pada
keadaan tirah baring yang lama, imobilisasi extremitas dengan gips dan keadaan paralysis
(Sharma, 2006). Penyebab emboli paru yang paling sering terjadi adalah akibat dari trombosis
vena dalam yang berasal dari kaki, baik yang asimptomatik ataupun secara tiba-tiba
menimbulkan emboli yang masif dengan lepasnya trombus dari tungkai bawah yang
kemudian akan mencapai pembuluh darah paru dan menimbulkan sumbatan yang dapat
menyebabkan kematian secara tiba-tiba (Tapson, 2008). Gejala yang timbul pada emboli paru
adalah sesak nafas, nyeri dada dan peningkatan denyut nadi ( Setiati, 2006).
Resiko terjadinya tromboemboli vena dapat terjadi pada pasien yang menjalani
perawatan di rumah sakit, namun kejadian tromboemboli ini dapat di cegah jika penderita
mendapatkan profilaksis yang tepat. Upaya pencegahan terjadinya komplikasi terjadinya
trombosis vena dalam dan emboli paru adalah dengan pemberian antikoagulan pada pasien
dengan imobilisasi. Pemberian low dose unfractioned heparin dan low molecular weight
heparin dapat dilakukan sebagai profilaksis pada pasien-pasien yang beresiko tinggi ( Tapson,
2008; Setiati 2006 ).
3. KELEMAHAN OTOT
Imobilisasi yang lama akan menimbulkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan
kekuatan otot. Kelemahan otot pada pasien imobilisasi terjadi berkaitan dengan penurunan
massa otot karena usia, kelemahan dan jatuh (Setiati, 2006;Meier, 1990). Terdapat beberapa
faktor lain yang menyebabkan atrofi otot yaitu perubahan biologis akibat proses menua,
akumulasi penyakit akut dan kronik serta malnutrisi. Perubahan otot selama imobilisasi lama
akan menyebabkan degenerasi serat otot dan peningkatan jaringan lemak serta terjadi fibrosis.
( Setiati 2006; Biolo 2009).
4. KONTRAKTUR OTOT DAN SENDI
Pasien yang mengalami tirah baring lama akan beresiko mengalami kontraktur karena
sendi-sendi yang tidak digerakkan. Akibatnya timbul rasa nyeri yang membuat penderita
semakin tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut. Kontraktur dapat terjadi
karena perubahan patologis pada bagian tulang sendi, pada otot atau pada jaringan penunjang
sekitar sendi. Penyebab kontraktur otot lainnya adalah spastisitas dan neuroleptik. Deteksi
dini, pencegahan dan penatalaksanaan penyebab kontraktur seperti penatalaksanaan inflamasi,
nyeri dan infeksi akan menurunkan resiko kontraktur dan mengurangi tingkat keparahan
kontraktur (Setiati 2006).
Penatalaksanaan non farmakologis memegang peranan penting dalam mencegah
terjadinya komplikasi akibat imobilisasi. Perubahan posisi secara teratur, terapi latihan di
tempat tidur, mobilisasi dini seperti turun dari tempat tidur, memakai kursi roda dan latihan
fungsional dapat mencegah terjadinya kelemahan otot dan kontraksi sendi. Untuk mencegah
kontraktur otot pada orang sehat dengan imobilisasi hanya membutuhkan latihan selama 15
menit 3X seminggu, tetapi pada orang tua dengan imobilisasi dibutuhkan latihan gerak pasif
paling sedikit 1 atau 2 kali sehari dalam 20 menit untuk mencegah terjadinya kontraktur otot
( Seiler 2000; Setiati, 2006 ).
5. OSTEOPOROSIS
Osteoporosis adalah penyakit yang banyak ditemukan pada usia lanjut. Osteoporosis
adalah penyakit penurunan massa tulang tetapi komposisi relatif (rasio mineral dan matrix
tulang) tidak mengalami perubahan. Osteoporosis pada usia lanjut umumnya asimptomatik
dan diketahui saat pemeriksaan radiologis. Manifestasi yang seringkali berhubungan adalah
patah tulang pinggul, pergelangan tangan dan tulang belakang (Kane, 2009).
Imobilisasi meningkatkan resorpsi tulang, meningkatkan kadar kalsium serum dan
menghambat sekresi PTH, dan produksi vitamin D3 aktif (1,25 (OH)2D). Selain itu
insufisiensi vitamin D3 inaktif (25-(OH)D) mungkin berperan pula pada turunnya vitamin D3
aktif. Faktor yang paling utama yang menyebabkan menurunnya massa tulang adalah
peningkatan resorpsi tulang. Konsentrasi kalsium, fosfor dan hidroksiprolin di urin meningkat
pada minggu pertama imobilisasi (Setiati, 2006).
Pencegahan osteoporosis sebenarnya dimulai sejak dini dengan meningkatkan massa
tulang saat usia muda, mencegah kehilangan massa tulang pada wanita setelah menopause dan
mencegah terjadinya patah tulang dan komplikasi lainnya pada pasien usia lanjut dengan
osteoporosis. Instruksi penatalaksanaan suatu osteoporosis meliputi latihan fisik, estrogen,
diet calcium dosis tinggi, vitamin D, fluorida dan cacitonin. Asupan kalsium sebesar 1000 mg
dan vitamin D 800 IU per hari dapat mencegah terjadinya patah tulang panggul. Pada
osteoporosis dengan derajat yang lebih parah membutuhkan terapi dengan kalsitonin dan
fluorida. Pencegahan yang paling efisien dan umum dilakukan adalah dengan estrogen sejak
dini, karena dapat mencegah pengurangan massa tulang dan mengurangi insiden patah tulang.
Namun kontraindikasi dan efek samping dari pemberian estrogen harus dipertimbangkan baik
buruknya seperti kangker endometrium dan komplikasi pemb darah ( Seiler, 2000 ).
6. ULKUS DEKIBITUS
Ulkus dekubitus dapat terjadi pada setiap tahap umur, tetapi hal ini merupakan
masalah yang khusus pada lanjut usia. Kekhususannya terletak pada insiden terjadinya yang
erat kaitannya dengan imobilitas (Pranarka, 2009). Ulkus dekibitus adalah salah satu
komplikasi dari imobilisasi yang sering terjadi namun dapat dicegah dan diobati. Ada 4 faktor
yang dapat menimbulkan terjadinya ulkus dekubitus adalah tekanan, sudut perpotongan tubuh
dengan alas, gesekan dan kelembaban. Tekanan yang lama terutama pada tonjolan-tonjolan
tulang akan berakibat sumbatan pembuluh darah yang mensuplai darah ke daerah kulit
sehingga aliran darah ke kulit menjadi kecil, akan terjadi anoksia jaringan kulit serta timbul
kerusakan jaringan yang ireversibel. Kerusakan jaringan yang ireversibel ini dapat terjadi
setelah 2 jam tekanan terus menerus yang melebihi tekanan pembuluh darah kapiler.
Kelembaban diakibatkan oleh mandi, keringat, air kencing, dan feses akan mempermudah
timbulnya luka. Beberapa faktor resiko lain yang juga mempengaruhi timbulnya ulkus
dekubitus adalah anemia, malnutrisi, dehidrasi, pasien yang dirawat dirumah sakit dengan
patah tulang, inkontinensia fekalis dan hipoalbumin (Kane, 2009).
Untuk mencegah ulkus dekubitus pada pasien adalah dengan menghilangkan penyebab
terjadinya ulkus, yaitu dengan menghilangkan tekanan secara terus - menerus pada kulit
dengan cara menggunakan kasur yang khusus (kasur lembut) dan perubahan posisi miring 30
derajat dapat mengurangi terjadinya ulkus dekubitus. Lima prinsip terapi pada ulkus
dekubitus adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
Bebas tekanan
Debridement jaringan yang nekrosis
Terapi fokus infeksi dengan antibiotik sistemik
Kompres luka dengan larutan ringer
Eliminasi faktor resiko dan evaluasi untuk tunda intervensi bedah
7. HIPOTENSI POSTURAL
Komplikasi yang paling sering timbul pada keadaan imobilisasi pada usia lanjut
adalah penurunan efisiensi jantung, perubahan tanggapan kardiovaskular postural dan
penyakit tromboembol (Setiati, 2006). Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah
sistolik sebesar 20 mmHg atau 10 mmHg tekanan darah diastolik dalam waktu 3 menit posisi
berdiri. Hipotensi postural bisa asimptomatik atau dengan gejala seperti kepala terasa ringan,
pusing, pandangan kabur, kelemahan, palpitasi, rasa gemetar, dan pingsan yang pada kasus
yang berat akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat berupa patah tulang, hematom
jaringan lunak dan perdarahan otak (Seiler,2000). Saat seseorang berdiri maka sekitar 500
sampai dengan 800 ml darah akan dialirkan ke abdomen dan ekstremitas bawah, sehingga
akan terjadi penurunan secara tiba-tiba aliran balik ke jantung. Hal ini kemuadian akan
menurunkan cardiac output dan menstimulasi aorta, badan karotis dan baroreseptor
kardiopulmonal yang kemudian memicu reflek simpatis yang berakibat peningkatan denyut
jantung, kontraksi dan tahanan vaskular untuk mempertahankan tekanan darah saat berdiri
(Calkins, 2008).
Selain imobilisasi, penyakit dengan obat obatan juga dapat mempengaruhi sistem
kardiovaskuler untuk mempertahankan tekanan darah saat berdiri.
otot-otot pernapasan pada usia lanjut dapat memperburuk fungsi paru atau ventilasi paru
( Rahmatullah, 2009 ).
Akibat Imobilisasi retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada pasien
geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan otot interkostal tidak berfungsi dengan baik,
sehingga gerakan dinding dada juga mengalami keterbatasan yang menyebabkan sputum sulit
keluar. Manakala kondisi ini disertai dengan tulang-tulang dada yang mengalami
osteoporosis, tulang rawan yang mengalami osifikasi, serta berkurangnya elastisitas bronkus
dan alveoli (karena proses menua) maka akan mengakibatkan perubahan pada tekanan
penutup saluran udara kecil, kondisi ini akan memudahkan terjadinya pneumonia (Setiati,
2006).
Pneumonia komunitas pada lanjut usia umumnya disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenzae, virus atau Ledgionella. Infeksi influenza merupakan
penyebab penyakit saluran pernapasan pada lanjut usia yang paling sering, dan merupakan
faktor predisposisi terjadinya infeksi sekunder Pneumococcus, H. Influenzae atau S. Aureus
setelah 5 10 hari. Oleh karena itu vaksinasi pneumococcal dan influenza merupakan upaya
pencegahan yang yang penting pada lanjut usia. Pada saat terjadi outbreak influenza, suatu
kemoprofilaksis seperti amantadine 100 mg/hari dapat diberikan pada penderita yang rentan
terjangkit pneumonia (Crausman,1999).
9. INFEKSI SALURAN KEMIH
Iinfeksi saluran kemih atau ISK sangat sering terjadi pada usia lanjut. Walaupun ISK
sering asimptomatik pada penderita lansia, terutama pada mereka yang menjalani perawatan
atau yang menderita disabilitas, ISK merupakan jenis infeksi yang paling sering diderita
lansia dan penyebab sepsis kedua terbanyak pada penderita lansia (Hadisaputro, 2009).
ISK juga dapat terjadi pada pasien yang mengalami imobilisasi.Pada pasien yang
mengalami imobilisasi, aliran urin juga terganggu yang kemudian dapat menyebabkan infeksi
saluran kemih. Inkontenisia juga sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami imobilisasi,
yang umumnya disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna,
gangguan status mental, dan gangguan sensasi kandung kemih , sehingga kadang - kadang
memerlukan penggunaan kateter yang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
infeksi saluran kemih (Setiati, 2006; Hadisaputro, 2009). Faktor predisposisi selain
manipulasi kateter, juga berbagai abnormalitas anatomik / fisiologik yang sering terdapat pada
populasi usia lanjut seperti hipertrofi prostat, batu ginjal, atau buli-buli. Berbagai penyakit
yang terdapat pada usia lanjut yang menyebabkan gangguan neuropatik, yang pada gilirannya
10
mengakibatkan stasis dan gangguan pengosongan urin, misalnya diabetes mellitus dan
penyakit serebro vaskuler (Hadisaputro, 2009).
Faktor yang penting untuk meminimalkan infeksi saluran kencing adalah dengan
pemberian cairan yang baik. Pemberian cairan kurang lebih sekitar 1,5 liter per hari. Irigasi
saluran kencing tidak terbukti dapat mencegah infeksi. Penggantian kateter pada penderita
yang menggunakan kateter masih diperdebatkan, beberapa penulis menyarankan penggantian
kateter dilakukan hanya jika drainase dihentikan, sedangkan penulis yang lain beranggapan
hal ini berbayaha sehingga perlu penggantian kateter tiap 4 6 minggu (Breschi,1999).
10. GANGGUAN NUTRISI
Imobilisasi ternyata juga berperan pada terjadinya hipoalbuminemia pada pasien usia
lanjut yang mengalami perawatan di rumah sakit. Imobilisasi akan mempengaruhi sistem
metabolik dan endokrin yang akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat gizi. Salah
satu yang terjadi adalah metabolisme protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi pada usia
lanjut dengan imobilisasi dibandingkan dengan usia lanjut tanpa imobilisasi. Kadar kortisol
yang tinggi mengubah metabolisme menjadi katabolisme sehingga metabolisme protein
menjadi lebih rendah pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi (Setiati, 2006).
Selain imobilisasi, pasien usia lanjut umunya mempunyai intake makanan yang buruk
(berhubungan dengan masalah keuangan, perubahan lingkungan sosial, penyakit akut dan
kronis, dan polifarmasi). Indera perasa dan penciuman juga menurun, sehingga intake
makanan tidak adekuat. Keterbatasan fisik dan mental juga memberikan kontribusi terhadap
kesulitan pemenuhan gizi pada penderita usia lanjut (Lipschitz, 1990).
Keadaan tidak beraktivitas selama 7 hari akan meningkatkan ekskresi nitrogen urin.
Peningkatan ekskresi nitrogen urin mencapai puncak dengan rata rata kehilangan 2 mg /
hari, sehingga pasien akan mengalami hipoproteinemia, edema dan penurunan berat badan.
Kehilangan nitrogen meningkat hingga 12 gram pada keadaan imobilisasi dengan malnutrisi ,
trauma, fraktur pinggul dan infeksi. Penekanan sekresi hormon antichoretik selama
imobilisasi juga akan terjadi yang akan meningkatkan diuresis dan pemecahan otot sehingga
akan mengakibatkan penurunan berat badan. Pasien usia lanjut yang mengalami imobilisasi
lama akan memiliki natrium serum dan natrium urin yang lebih rendah dibandingkan pada
yang tidak imobilisasi, sehingga pasien dengan tirah baring lama akan memiliki diferensiasi
natrium kronik ( Setiati, 2006 ).
11
kali sehari sampai beberapa kali sehari) sehingga terjadi skibala yang dapat menyebabkan
sumbatan parsial atau pun total. Skibala terbentuk dari bertumpuknya feses yang mengering
dan keras di rektum atau pun kolon. Pada pasien lanjut usia, gejala klinis suatu sumbatan oleh
karena skibala jarang menimbulkan gejala-gejala gastrointestinal, yang terjadi adalah
timbulnya gejala-gejala gangguan sirkulasi, jantung serta respirasi atau dapat terjadi suatu
deliriium yang muncul (Seiller 2000; Setiati 2006).
Konstipasi dapat dicegah dengan pemberian hidrasi yang cukup, menghindari obatobatan yang menyebabkan konstipasi, dan mobilisasi dini. Selain itu pemberian nutrisi yang
adekuat sangat diperlukan pada pasien dengan imobilisasi untuk menghindari terjadinya
malnutrisi (Rosseu,1993).
RINGKASAN
Imobilisasi merupakan suatu keadaan yang dapat menimbulkan berbagai macam
penyakit dan masalah kesehatan pada usia lanjut serta akan menyebabkan kecacatan. Berbagai
faktor fisik, psikologis dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut.
Penyebab utama adalah sistem muskuloskeletal, neurologis dan penyakit kardiovaskular.
Imobilisasi dapat menyebabkan berbagai komplikasi di berbagai sistem organ tubuh.
Inaktifitas yang lama dan bed rest akan berakibat pada fisik dan psikologis penderita. Upaya
pencegahan timbulnya komplikasi imobilisasi dapat dilakukan dengan memberikan
12
13
15. Pranarka K (2009). Dekubitus. Boedi Darmojo : Buku Ajar Geriatri, Ed IV, Editor :
Martono H, Pranarka K, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal 272-284
16. Rahmatullah P (2009). Penyakit Paru Pada Usia Lanjut. Boedi Darmojo : Buku Ajar
Geriatri, Ed IV, Editor : Martono H, Pranarka K, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal
458-479
17. Rousseu P (1993). Immobility In The Aged. Arch Fam Med 2, 169 178
18. Seiler W O, Stahelin H B (2000). Consequences of Immobility. In Williams F, Evans
G, eds. Oxford Text Book fo Geriatric Medicine. Oxford University Press, USA, Ch
26.4
19. Setiati S, Roosheroe AG (2006). Imobilisasi Pada Usia Lanjut. Dalam Sudoyo A,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Ed IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, hal 13981401
20. Sharma S (2006). Pulmonary Embolism. Available at : http://www.emedicine.com.
Accessed on August 20, 2009
21. Tapson Victor F (2008). Acute Pulmonary Embolism. N Engl J Med 358, 1037 1052
----------oo00oo----------