Anda di halaman 1dari 13

1

IMOBILISASI PADA LANJUT USIA


Ach. Syaiful Ludfi
Jusri Ichwani
PENDAHULUAN
Imobilisasi merupakan suatu keadaan yang dapat menimbulkan berbagai macam
penyakit dan masalah kesehatan pada usia lanjut serta akan menyebabkan kecacatan.
Imobilisasi timbul sebagai akibat penyakit atau masalah psikososial penderita. Imobilisasi
didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak atau tirah baring selama 3 hari atau lebih,
dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik (Setiati, 2006).
Di dalam praktek medis istilah imobilisasi digunakan untuk menggambarkan sebuah sindrom
degenerasi fisiologik yang merupakan akibat menurunnya aktivitas atau deconditioning.
Imobilisasi seringkali tidak dapat dicegah, tetapi beberapa komplikasi akibat
imobilisasi dapat dicegah. Perbaikan imobilisasi dapat dilakukan meskipun pada pasien yang
sangat imobil, perbaikan mobilisasi walaupun relatif kecil masih dapat menurunkan insiden
dan derajat keparahan dari komplikasi yang ditimbulkan, meningkatkan kualitas hidup
penderita dan memudahkan perawatan (Kane, 2009)
Perubahan pada beberapa sistem organ dan fungsi metabolik akan terjadi sebagai
akibat imobilisasi. Perubahan-perubahan tersebut akan menimbulkan berbagai komplikasi
yang akan memperberat kondisi dan memperlambat proses penyembuhan serta dapat
menyebabkan kematian, sehingga upaya mobilisasi dini dapat dilakukan untuk mengurangi
kejadian dan mengurangi beratnya komplikasi imobilisasi (Setiati, 2006).
Pada makalah ini akan dibahas tentang komplikasi yang dapat ditimbulkan dari suatu
imobilisasi dan usaha-usaha untuk mencegah komplikasi tersebut.
PENYEBAB IMOBILISASI
Penyebab dari imobilisasi dapat dibedakan menjadi faktor intrapersonal termasuk
faktor psikologis (depresi, rasa takut, motivasi), perubahan fisik ( kardiovaskular, neurologis,
penyakit muskuloskeletal dan berhubungan dengan nyeri) dan faktor lingkungan (Kane,2009).
Tinjauan Kepustakaan Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr.
Soetomo
Surabaya, 1 April 2010

Insiden penyakit sendi degenerasi meningkat pada lanjut usia, walaupun gejala dari
penyakit tersebut tidak selalu muncul pada pasien dengan perubahan radiologis. Nyeri dan
perubahan muskuloskeletal ini akan menyebabkan kontraktur dan imobilisasi pada penderita
jika tidak dikelola dengan benar. Masalah pada kaki seperti bengkak pada kaki, kalus dan
onikomikosis sering menimbulkan rasa nyeri yang menyebabkan imobilisasi pada penderita
( Kane, 2009 ).
Pada beberapa dekade terakhir, angka penderita stroke yang berhasil sembuh
meningkat sekitar 30 persen. Insiden terjadinya stroke menjadi dua kali lipat pada usia lebih
dari 60 tahun. Sekitar separuh dari penderita stroke akan memiliki gejala sisa defisit
neurologis yang memerlukan perawatan lebih lanjut, termasuk di dalamnya masalah
imobilisasi. Penyakit parkinson pada tahap lanjut akan menyebabkan imobilisasi yang berat
pada penderitanya (Kane, 2009).
Penyakit jantung kongesti, penyakit jantung koroner dengan angina, penyakit
pembuluh darah perifer dengan klaudikasio, hipotensi ortostatik, dan penyakit paru kronis
yang berat dapat menimbulkan keterbatasan aktivitas dan mobilisasi pada lanjut usia (Kane,
2009).
Faktor psikologis dan lingkungan juga berpengaruh besar terhadap mobilitas
penderita, penurunan mobilisasi penderita dapat dilihat sebagai manifestasi dari depresi yang
dialami penderita. Perasaan takut terjatuh, motivasi yang kurang, apatis dan keyakinan salah
tentang kesehatan (seperti istirahat dan imobilisasi penting untuk pemulihan tubuh),
merupakan masalah yang menyebabkan imobilisasi pada penderita. Perawatan penderita usia
lanjut di rumah sakit karena suatu penyakit akut juga sering menimbulkan imobilisasi
ditambah lagi dengan pemakaian peralatan kesehatan dengan mobilitas minimal seperti alat
bantu berjalan, tongkat, kursi roda juga berkontribusi dalam imobilisasi penderita (Kane,
2009).
Efek samping obat juga dapat menyebabkan imoblisisasi. Pemakaian obat sedatif dan
hipnotik akan menyebabkan perasaan mengantuk, pusing, delirium dan ataksia yang dapat
membatasi mobilisasi. Obat antipsikotik khususnya golongan phenothiazine memiliki efek
ekstrapiramidal yang menonjol dan dapat menyebabkan kekakuan otot dan mengurangi
pergerakan penderita. Terapi obat antihipertensi dapat menyebabkan hipotensi ortostatik atau
bradikardia sehingga dapat membatasi mobilisasi penderita (Kane, 2009).
KOMPLIKASI
Imobilisasi dapat menyebabkan berbagai komplikasi di berbagai sistem organ tubuh.
Inaktifitas yang lama dan tirah baring akan berakibat pada fisik dan psikologis penderita. Efek

metabolik keseimbangan calcium dan nitrogen, gangguan toleransi glukosa, berkurangnya


volume plasma, dan farmakokinetik obat yang berubah dapat terjadi. Imobilisasi pada usia
lanjut juga akan berakibat timbulnya depresi karena kurangnya stimulasi lingkungan (Kane,
2009).
Sistem muskuloskeletal dan kulit juga akan terkena akibat dari imobilisasi.
Berkurangnya kekuatan otot, massa otot, diameter dan kapilarisasi otot, kontraktur dan
osteoporosis dapat terjadi akibat imobilisasi. Kepadatan tulang berkurang, sehingga akan
memudahkan terjadinya patah tulang saat penderita melakukan aktivitas. Imobilisasi juga
dapat berpengaruh pada kulit, berbagai derajat keparahan dari suatu imobilisasi dan
penurunan albumin serum akan meningkatkan resiko terjadinya ulkus dekubitus. Komplikasi
kardiovaskular merupakan komplikasi yang paling serius dan mengancam jiwa, imobilisasi
yang lama akan berakibat perubahan tanggapan kardiovaskular, kombinasi dari perubahan
tanggapan kardiovaskular dan berkurangya volume plasma akan berakibat terjadinya
hipotensi postural. Hipotensi postural ini bisa berakibat terjadinya stroke dan infark miokard
akut. Trombosis vena dalam dan emboli paru juga bisa terjadi, selain itu fungsi pernafasan
juga akan terganggu pada pasien yang imobilisasi, tidal volume akan berkurang, atelektasis,
serta pneumonia aspirasi dapat terjadi pada penderita yang tidur terlentang (Kane,2009).
Sistem gastrointestinal dan urogenital kerap kali menyusahkan pasien yang mengalami
imobilisasi serta menimbulkan komplikasi lebih lanjut. Imobilisasi akan memperlambat
gerakan peristaltik sistem gastrointestinal dan aliran air kemih. Hal ini akan menjadi
predisposisi terjadinya konstipasi, fekal impaksi, batu saluran kemih dan infeksi serta
terjadinya inkontinensia uri dan alvi (Kane,2009).
1. TROMBOSIS
Insiden trombosis di Amerika sekitar 1 per 1000, yang bermanifestasi sebagai
Trombosis Vena Dalam dan Emboli paru (Mupangati, 2009). Insidensi trombosis ini
meningkat dengan pertambahan usia. Insidensi meningkat dua kali lipat pada usia 85-89
tahun. Usia merupakan faktor resiko terjadinya trombosis tapi kondisi komorbiditas dan
imobilisasi akibat penyakit kronik atau imobilisasi akibat penyakit akut yang membutuhkan
perawatan di rumah sakit meningkatkan resiko tromboemboli vena (Mupangati, 2009).
Trombosis vena dalam disebabkan oleh multifaktorial, meliputi faktor genetik dan
lingkungan. Trombosis dapat terjadi karena 3 faktor yang kemudian disebut sebagai Trias
Virchow. Faktor tersebut adalah kerusakan dari dinding pembuluh darah, stasis vena dan
hiperkoagulasi. Kerusakan pada dinding pembuluh darah akan menghambat kemampuan
endotel untuk mencegah terjadinya koagulasi dan memulai suatu fibrinolisis lokal. Stasis vena

yang terjadi akibat imobilisasi atau obstruksi akan menghambat bersihan dan dilusi dari faktor
koagulasi yang teraktivasi. Trombofilia kongenital atau yang didapat juga dapat
mempermudah terjadinya tromboemboli vena (Bates, 2004).
Kondisi imobilisasi akan menyebabkan terjadinya akumulasi leukosit teraktivasi dan
akumulasi trombosit teraktivasi. Keadaan tersebut akan menyebabkan gangguan pada sel-sel
endotel dan memudahkan terjadinya trombosis. Selain itu imobilisasi juga akan menyebabkan
stasis vena sehingga terjadi hipoksia lokal pada sel endotel yang selanjutnya akan
menghasilkan aktivator faktor X dan merangsang akumulasi leukosit dan trombosit (Setiati,
2006).
Diagnosis klinis suatu trombosis vena dalam tidaklah mudah, tanda dan gejala klasik
berhubungan dengan suatu obstruksi aliran darah vena termasuk timbulnya rasa nyeri,
bengkak biasanya pada satu kaki. Tanda lain yang kadang-kadang dijumpai adalah rasa panas,
kemerahan, dan nyeri pada saat dorsofleksi pasif pada kaki. Standar diagnostik untuk
trombosis vena dalam adalah menggunakan venografi, injeksi kontras intravena dan foto
serial extremitas. Venous duplex ultrasound saat ini banyak digunakan dan menjadi pilihan
karena bersifat non invasif, selain itu CT dan MRI juga digunakan dalam kondisi tertentu
sesuai dengan kebutuhan dan pertimbangan biaya yang dikeluarkan. Sedangkan secara
laboratoris digunakan pemeriksaan D-dimer untuk membantu diagnosis suatu trombosis vena
dalam ( Patel,2009)
2. EMBOLI PARU
Emboli paru merupakan suatu komplikasi imobilisasi yang umum terjadi dan
seringkali menyebabkan kematian pada penderita. Namun, diagnosis suatu emboli paru sering
terlewatkan, karena penderita dengan suatu emboli paru menampakkan tanda dan gejala klinis
yang tidak spesifik. Jika penderita dapat bertahan dari suatu emboli paru dan tidak diobati
dengan baik, maka sekitar sepertiganya akan meninggal akibat serangan emboli paru
berikutnya. Sebagian besar penderita meninggal pada beberapa jam serangan awal suatu
emboli paru, jika penderita dapat diselamatkan maka emboli yang berulang dan kematian
dapat dicegah dengan diagnosis dan pengobatan yang tepat (Sharma, 2006).
Emboli paru dapat terjadi pada penderita yang mengalami imobilisasi karena
imobilisasi menimbulkan suatu stasis vena lokal dengan akumulasi dari faktor faktor
pembekuan darah dan fibrin sehingga terjadi trombus. Resiko emboli paru meningkat pada
keadaan tirah baring yang lama, imobilisasi extremitas dengan gips dan keadaan paralysis
(Sharma, 2006). Penyebab emboli paru yang paling sering terjadi adalah akibat dari trombosis
vena dalam yang berasal dari kaki, baik yang asimptomatik ataupun secara tiba-tiba

menimbulkan emboli yang masif dengan lepasnya trombus dari tungkai bawah yang
kemudian akan mencapai pembuluh darah paru dan menimbulkan sumbatan yang dapat
menyebabkan kematian secara tiba-tiba (Tapson, 2008). Gejala yang timbul pada emboli paru
adalah sesak nafas, nyeri dada dan peningkatan denyut nadi ( Setiati, 2006).
Resiko terjadinya tromboemboli vena dapat terjadi pada pasien yang menjalani
perawatan di rumah sakit, namun kejadian tromboemboli ini dapat di cegah jika penderita
mendapatkan profilaksis yang tepat. Upaya pencegahan terjadinya komplikasi terjadinya
trombosis vena dalam dan emboli paru adalah dengan pemberian antikoagulan pada pasien
dengan imobilisasi. Pemberian low dose unfractioned heparin dan low molecular weight
heparin dapat dilakukan sebagai profilaksis pada pasien-pasien yang beresiko tinggi ( Tapson,
2008; Setiati 2006 ).
3. KELEMAHAN OTOT
Imobilisasi yang lama akan menimbulkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan
kekuatan otot. Kelemahan otot pada pasien imobilisasi terjadi berkaitan dengan penurunan
massa otot karena usia, kelemahan dan jatuh (Setiati, 2006;Meier, 1990). Terdapat beberapa
faktor lain yang menyebabkan atrofi otot yaitu perubahan biologis akibat proses menua,
akumulasi penyakit akut dan kronik serta malnutrisi. Perubahan otot selama imobilisasi lama
akan menyebabkan degenerasi serat otot dan peningkatan jaringan lemak serta terjadi fibrosis.
( Setiati 2006; Biolo 2009).
4. KONTRAKTUR OTOT DAN SENDI
Pasien yang mengalami tirah baring lama akan beresiko mengalami kontraktur karena
sendi-sendi yang tidak digerakkan. Akibatnya timbul rasa nyeri yang membuat penderita
semakin tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut. Kontraktur dapat terjadi
karena perubahan patologis pada bagian tulang sendi, pada otot atau pada jaringan penunjang
sekitar sendi. Penyebab kontraktur otot lainnya adalah spastisitas dan neuroleptik. Deteksi
dini, pencegahan dan penatalaksanaan penyebab kontraktur seperti penatalaksanaan inflamasi,
nyeri dan infeksi akan menurunkan resiko kontraktur dan mengurangi tingkat keparahan
kontraktur (Setiati 2006).
Penatalaksanaan non farmakologis memegang peranan penting dalam mencegah
terjadinya komplikasi akibat imobilisasi. Perubahan posisi secara teratur, terapi latihan di
tempat tidur, mobilisasi dini seperti turun dari tempat tidur, memakai kursi roda dan latihan
fungsional dapat mencegah terjadinya kelemahan otot dan kontraksi sendi. Untuk mencegah
kontraktur otot pada orang sehat dengan imobilisasi hanya membutuhkan latihan selama 15

menit 3X seminggu, tetapi pada orang tua dengan imobilisasi dibutuhkan latihan gerak pasif
paling sedikit 1 atau 2 kali sehari dalam 20 menit untuk mencegah terjadinya kontraktur otot
( Seiler 2000; Setiati, 2006 ).
5. OSTEOPOROSIS
Osteoporosis adalah penyakit yang banyak ditemukan pada usia lanjut. Osteoporosis
adalah penyakit penurunan massa tulang tetapi komposisi relatif (rasio mineral dan matrix
tulang) tidak mengalami perubahan. Osteoporosis pada usia lanjut umumnya asimptomatik
dan diketahui saat pemeriksaan radiologis. Manifestasi yang seringkali berhubungan adalah
patah tulang pinggul, pergelangan tangan dan tulang belakang (Kane, 2009).
Imobilisasi meningkatkan resorpsi tulang, meningkatkan kadar kalsium serum dan
menghambat sekresi PTH, dan produksi vitamin D3 aktif (1,25 (OH)2D). Selain itu
insufisiensi vitamin D3 inaktif (25-(OH)D) mungkin berperan pula pada turunnya vitamin D3
aktif. Faktor yang paling utama yang menyebabkan menurunnya massa tulang adalah
peningkatan resorpsi tulang. Konsentrasi kalsium, fosfor dan hidroksiprolin di urin meningkat
pada minggu pertama imobilisasi (Setiati, 2006).
Pencegahan osteoporosis sebenarnya dimulai sejak dini dengan meningkatkan massa
tulang saat usia muda, mencegah kehilangan massa tulang pada wanita setelah menopause dan
mencegah terjadinya patah tulang dan komplikasi lainnya pada pasien usia lanjut dengan
osteoporosis. Instruksi penatalaksanaan suatu osteoporosis meliputi latihan fisik, estrogen,
diet calcium dosis tinggi, vitamin D, fluorida dan cacitonin. Asupan kalsium sebesar 1000 mg
dan vitamin D 800 IU per hari dapat mencegah terjadinya patah tulang panggul. Pada
osteoporosis dengan derajat yang lebih parah membutuhkan terapi dengan kalsitonin dan
fluorida. Pencegahan yang paling efisien dan umum dilakukan adalah dengan estrogen sejak
dini, karena dapat mencegah pengurangan massa tulang dan mengurangi insiden patah tulang.
Namun kontraindikasi dan efek samping dari pemberian estrogen harus dipertimbangkan baik
buruknya seperti kangker endometrium dan komplikasi pemb darah ( Seiler, 2000 ).
6. ULKUS DEKIBITUS
Ulkus dekubitus dapat terjadi pada setiap tahap umur, tetapi hal ini merupakan
masalah yang khusus pada lanjut usia. Kekhususannya terletak pada insiden terjadinya yang
erat kaitannya dengan imobilitas (Pranarka, 2009). Ulkus dekibitus adalah salah satu
komplikasi dari imobilisasi yang sering terjadi namun dapat dicegah dan diobati. Ada 4 faktor
yang dapat menimbulkan terjadinya ulkus dekubitus adalah tekanan, sudut perpotongan tubuh
dengan alas, gesekan dan kelembaban. Tekanan yang lama terutama pada tonjolan-tonjolan

tulang akan berakibat sumbatan pembuluh darah yang mensuplai darah ke daerah kulit
sehingga aliran darah ke kulit menjadi kecil, akan terjadi anoksia jaringan kulit serta timbul
kerusakan jaringan yang ireversibel. Kerusakan jaringan yang ireversibel ini dapat terjadi
setelah 2 jam tekanan terus menerus yang melebihi tekanan pembuluh darah kapiler.
Kelembaban diakibatkan oleh mandi, keringat, air kencing, dan feses akan mempermudah
timbulnya luka. Beberapa faktor resiko lain yang juga mempengaruhi timbulnya ulkus
dekubitus adalah anemia, malnutrisi, dehidrasi, pasien yang dirawat dirumah sakit dengan
patah tulang, inkontinensia fekalis dan hipoalbumin (Kane, 2009).
Untuk mencegah ulkus dekubitus pada pasien adalah dengan menghilangkan penyebab
terjadinya ulkus, yaitu dengan menghilangkan tekanan secara terus - menerus pada kulit
dengan cara menggunakan kasur yang khusus (kasur lembut) dan perubahan posisi miring 30
derajat dapat mengurangi terjadinya ulkus dekubitus. Lima prinsip terapi pada ulkus
dekubitus adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

Bebas tekanan
Debridement jaringan yang nekrosis
Terapi fokus infeksi dengan antibiotik sistemik
Kompres luka dengan larutan ringer
Eliminasi faktor resiko dan evaluasi untuk tunda intervensi bedah

7. HIPOTENSI POSTURAL
Komplikasi yang paling sering timbul pada keadaan imobilisasi pada usia lanjut
adalah penurunan efisiensi jantung, perubahan tanggapan kardiovaskular postural dan
penyakit tromboembol (Setiati, 2006). Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah
sistolik sebesar 20 mmHg atau 10 mmHg tekanan darah diastolik dalam waktu 3 menit posisi
berdiri. Hipotensi postural bisa asimptomatik atau dengan gejala seperti kepala terasa ringan,
pusing, pandangan kabur, kelemahan, palpitasi, rasa gemetar, dan pingsan yang pada kasus
yang berat akan menimbulkan komplikasi yang lebih berat berupa patah tulang, hematom
jaringan lunak dan perdarahan otak (Seiler,2000). Saat seseorang berdiri maka sekitar 500
sampai dengan 800 ml darah akan dialirkan ke abdomen dan ekstremitas bawah, sehingga
akan terjadi penurunan secara tiba-tiba aliran balik ke jantung. Hal ini kemuadian akan
menurunkan cardiac output dan menstimulasi aorta, badan karotis dan baroreseptor
kardiopulmonal yang kemudian memicu reflek simpatis yang berakibat peningkatan denyut
jantung, kontraksi dan tahanan vaskular untuk mempertahankan tekanan darah saat berdiri
(Calkins, 2008).
Selain imobilisasi, penyakit dengan obat obatan juga dapat mempengaruhi sistem
kardiovaskuler untuk mempertahankan tekanan darah saat berdiri.

Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan postural hipertensi adalah autonomic


neuropati, hipovolemia, dan penyakitdegeneratif seperti parkinson, huntingtons chorea,
syringomimyelia, dan penyakit arteri basilar. Beberapa obat-obatan juga dapat menyebabkan
hipotensi postural seperti antidepresan trisiklik, penghambat monoaline oxidase, diuretik,
antihipertensi, beta bloker, alfa bloker, dopamin agonis, nitrat, dan sedatif neuroleptik
( Seiler, 2000; Lipsitz, 2001).
Hipotensi postural kronis umumnya berhubungan dengan penyakit sistem saraf
otonom dan ditandai dengan adanya gangguan gangguan sistem saraf otonom seperti
inkontinuisia, konstipasi, kulit tidak dapat mengeluarkan keringat, intoleransi terhadap panas
dan impotensi (Lipsitz, 2001).
Jika tidak ditemukan penyakit yang jelas dari suatu hipotensi postural, maka umumnya
hipotensi postural tersebut murni disebabkan oleh kegagalan sistem autonomik tubuh, yang
disebut juga sebagai hipotensi postural idiopatik. Pada keadaan ini didapatkan kadar
norepinephrine plasma yang rendah pada posisi supinasi dan tidak didapatkan peningkatan
norepinephrine pada saat berdiri (Lipsitz, 2001).
Pencegahan dan terapi hipotensi postural meliputi kontrol tekanan darah dan nadi
secara teratur, serta fokus terhadap penyebabnya. Penggunaan obat obat yang dapat
menurunkan tekanan darah harus dihentikan, imobilisasi dini segera dilakukan, latihan
kekuatan otot dan kontraksi otot abdomen dan otot kaki akan menyebabkan aliran darah balik
vena akan lebih efisien. Terapi supportif seperti penggunaan kaoskaki elastik dan pengikat
perut dapat dijadikan pilihan terapi hipotensi postural. Hal yang juga tidak kalah pentingnya
adalah terapi penyebab non autonomic yang reversibel, volume darah yang kurang, dehidrasi,
dan penyakit dasar seperti Diabetes Mellitus. Pendekatan non farmakologis seperti diet tinggi
natrium, cegah perubahan posisi yang terlalu cepat serta penggunaan bahan bahan pengikat
elastic juga dapat dilakukan. Terapi farmakologis kadang juga diperlukan, obat pilihan pada
semua kasus hipotensi postural adalah fludrocortisone acetate dan prostaglandin synthethase
inhibitor. Pada hipotensi postural tipe simpatis dapat digunakan simpatomimetik dengan atau
tanpa monoamine oxidase inhibitor, badrenergik antagonis dan alkoloid ergot. Pada
hipotensi postural yang berat dan refrakter dapat digunakan midrodrine, yohimbin dan
dermopression (Seiler,2000).
8. PNEUMONIA
Imobilisasi juga dikaitkan dengan kejadian pneumonia pada usia lanjut. Imobilisasi
akan menimbulkan kekakuan atau keterbatasan gerak saat otot-otot berkontraksi, sehingga
kapasitas vital paksa atau volume paru akan relatif berkurang. Imobilisasi karena kelelahan

otot-otot pernapasan pada usia lanjut dapat memperburuk fungsi paru atau ventilasi paru
( Rahmatullah, 2009 ).
Akibat Imobilisasi retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada pasien
geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan otot interkostal tidak berfungsi dengan baik,
sehingga gerakan dinding dada juga mengalami keterbatasan yang menyebabkan sputum sulit
keluar. Manakala kondisi ini disertai dengan tulang-tulang dada yang mengalami
osteoporosis, tulang rawan yang mengalami osifikasi, serta berkurangnya elastisitas bronkus
dan alveoli (karena proses menua) maka akan mengakibatkan perubahan pada tekanan
penutup saluran udara kecil, kondisi ini akan memudahkan terjadinya pneumonia (Setiati,
2006).
Pneumonia komunitas pada lanjut usia umumnya disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenzae, virus atau Ledgionella. Infeksi influenza merupakan
penyebab penyakit saluran pernapasan pada lanjut usia yang paling sering, dan merupakan
faktor predisposisi terjadinya infeksi sekunder Pneumococcus, H. Influenzae atau S. Aureus
setelah 5 10 hari. Oleh karena itu vaksinasi pneumococcal dan influenza merupakan upaya
pencegahan yang yang penting pada lanjut usia. Pada saat terjadi outbreak influenza, suatu
kemoprofilaksis seperti amantadine 100 mg/hari dapat diberikan pada penderita yang rentan
terjangkit pneumonia (Crausman,1999).
9. INFEKSI SALURAN KEMIH
Iinfeksi saluran kemih atau ISK sangat sering terjadi pada usia lanjut. Walaupun ISK
sering asimptomatik pada penderita lansia, terutama pada mereka yang menjalani perawatan
atau yang menderita disabilitas, ISK merupakan jenis infeksi yang paling sering diderita
lansia dan penyebab sepsis kedua terbanyak pada penderita lansia (Hadisaputro, 2009).
ISK juga dapat terjadi pada pasien yang mengalami imobilisasi.Pada pasien yang
mengalami imobilisasi, aliran urin juga terganggu yang kemudian dapat menyebabkan infeksi
saluran kemih. Inkontenisia juga sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami imobilisasi,
yang umumnya disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna,
gangguan status mental, dan gangguan sensasi kandung kemih , sehingga kadang - kadang
memerlukan penggunaan kateter yang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
infeksi saluran kemih (Setiati, 2006; Hadisaputro, 2009). Faktor predisposisi selain
manipulasi kateter, juga berbagai abnormalitas anatomik / fisiologik yang sering terdapat pada
populasi usia lanjut seperti hipertrofi prostat, batu ginjal, atau buli-buli. Berbagai penyakit
yang terdapat pada usia lanjut yang menyebabkan gangguan neuropatik, yang pada gilirannya

10

mengakibatkan stasis dan gangguan pengosongan urin, misalnya diabetes mellitus dan
penyakit serebro vaskuler (Hadisaputro, 2009).
Faktor yang penting untuk meminimalkan infeksi saluran kencing adalah dengan
pemberian cairan yang baik. Pemberian cairan kurang lebih sekitar 1,5 liter per hari. Irigasi
saluran kencing tidak terbukti dapat mencegah infeksi. Penggantian kateter pada penderita
yang menggunakan kateter masih diperdebatkan, beberapa penulis menyarankan penggantian
kateter dilakukan hanya jika drainase dihentikan, sedangkan penulis yang lain beranggapan
hal ini berbayaha sehingga perlu penggantian kateter tiap 4 6 minggu (Breschi,1999).
10. GANGGUAN NUTRISI
Imobilisasi ternyata juga berperan pada terjadinya hipoalbuminemia pada pasien usia
lanjut yang mengalami perawatan di rumah sakit. Imobilisasi akan mempengaruhi sistem
metabolik dan endokrin yang akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat gizi. Salah
satu yang terjadi adalah metabolisme protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi pada usia
lanjut dengan imobilisasi dibandingkan dengan usia lanjut tanpa imobilisasi. Kadar kortisol
yang tinggi mengubah metabolisme menjadi katabolisme sehingga metabolisme protein
menjadi lebih rendah pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi (Setiati, 2006).
Selain imobilisasi, pasien usia lanjut umunya mempunyai intake makanan yang buruk
(berhubungan dengan masalah keuangan, perubahan lingkungan sosial, penyakit akut dan
kronis, dan polifarmasi). Indera perasa dan penciuman juga menurun, sehingga intake
makanan tidak adekuat. Keterbatasan fisik dan mental juga memberikan kontribusi terhadap
kesulitan pemenuhan gizi pada penderita usia lanjut (Lipschitz, 1990).
Keadaan tidak beraktivitas selama 7 hari akan meningkatkan ekskresi nitrogen urin.
Peningkatan ekskresi nitrogen urin mencapai puncak dengan rata rata kehilangan 2 mg /
hari, sehingga pasien akan mengalami hipoproteinemia, edema dan penurunan berat badan.
Kehilangan nitrogen meningkat hingga 12 gram pada keadaan imobilisasi dengan malnutrisi ,
trauma, fraktur pinggul dan infeksi. Penekanan sekresi hormon antichoretik selama
imobilisasi juga akan terjadi yang akan meningkatkan diuresis dan pemecahan otot sehingga
akan mengakibatkan penurunan berat badan. Pasien usia lanjut yang mengalami imobilisasi
lama akan memiliki natrium serum dan natrium urin yang lebih rendah dibandingkan pada
yang tidak imobilisasi, sehingga pasien dengan tirah baring lama akan memiliki diferensiasi
natrium kronik ( Setiati, 2006 ).

11

11. KONSTIPASI DAN SKIBALA


Konstipasi adalah suatu keluhan, bukan penyakit. Konstipasi sering diartikan sebagai
kurangnya frekuensi BAB, biasanya kurang dari 3 kali / minggu dengan feses yang kecil
kecil dan keras, dan kadang kadang disertai kesulitan dan rasa sakit saat BAB. Suatu
batasan konstipasi diusulkan oleh Holson meliputi paling sedikit 2 dari kelihan dibawah ini
dan terjadi dalam 3 bulan :
A . Konstipasi feses yang keras
B . Mengejan dengan keras saat BAB
C . Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25 % dari keseluruhan BAB
D . Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang ( Panarka, 2009 )
Penyebab dari suatu konstipasi sebenarnya adalah multifaktorial, dan dapat merupakan
akibat dari suatu penyakit sistemik, neurologis maupun akibat dari suatu pengobatan (Lembo
2003). Konstipasi, skibala dan obstruksi usus merupakan masalah utama pada paien dengan
imobilisasi. Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakin lama
feses tinggal di usus besar, maka obstruksi cairan akan lebih besar sehingga feses akan
menjadi lebih keras. Feses ini tidak dikeluarkan sebagai mana biasanya

(kurang lebih satu

kali sehari sampai beberapa kali sehari) sehingga terjadi skibala yang dapat menyebabkan
sumbatan parsial atau pun total. Skibala terbentuk dari bertumpuknya feses yang mengering
dan keras di rektum atau pun kolon. Pada pasien lanjut usia, gejala klinis suatu sumbatan oleh
karena skibala jarang menimbulkan gejala-gejala gastrointestinal, yang terjadi adalah
timbulnya gejala-gejala gangguan sirkulasi, jantung serta respirasi atau dapat terjadi suatu
deliriium yang muncul (Seiller 2000; Setiati 2006).
Konstipasi dapat dicegah dengan pemberian hidrasi yang cukup, menghindari obatobatan yang menyebabkan konstipasi, dan mobilisasi dini. Selain itu pemberian nutrisi yang
adekuat sangat diperlukan pada pasien dengan imobilisasi untuk menghindari terjadinya
malnutrisi (Rosseu,1993).
RINGKASAN
Imobilisasi merupakan suatu keadaan yang dapat menimbulkan berbagai macam
penyakit dan masalah kesehatan pada usia lanjut serta akan menyebabkan kecacatan. Berbagai
faktor fisik, psikologis dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut.
Penyebab utama adalah sistem muskuloskeletal, neurologis dan penyakit kardiovaskular.
Imobilisasi dapat menyebabkan berbagai komplikasi di berbagai sistem organ tubuh.
Inaktifitas yang lama dan bed rest akan berakibat pada fisik dan psikologis penderita. Upaya
pencegahan timbulnya komplikasi imobilisasi dapat dilakukan dengan memberikan

12

penatalaksanaan yang tepat pada pasien imobilisasi. Penatalaksanaan itu meliputi


farmakologik dan non farmakologis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bates SM, Ginsberg JS (2004). Treatment of Deep-Vein Thrombosis. N Engl J Med
351, 268 277
2. Biolo G, Antonione R, Caliandro E, Piccoli A, Mazzucco S, Massolino B, et al (2009).
Regulation of Muscle Disuse Atrophy by Energy and Protein Intake In Humans.
Insights from Bed Rest Studies. Basic Applied Myology 19(2&3), 113-116
3. Breschi (1999). Urology Problems of The Elderly. In Gallo J, Whitehead J, Rabins P,
Silliman R, Murphy J, eds. Reichels Care of the Elderly : Clinical Aspect of Aging. 5
th ed. Lippincot Williams and Wilkins Publishers, USA, Ch 28
4. Calkins H, Zipes D (2008). Hypotension and Syncope. In Libby P, Bonow R, Mann D,
Zipes`D, eds. Braunwald : Heart Disease : A Text Book of Cardiovascular Medicine, 8
th ed. W.B Saunders Company, USA, p 975-983
5. Crausman (1999). Pulmonary Problems in the Elderly. In Gallo J, Whitehead J, Rabins
P, Silliman R, Murphy J, eds. Reichels Care of the Elderly : Clinical Aspect of Aging,
5 th ed. Lippincot Williams and Wilkins Publishers, Ch 11
6. Hadisaputro S, Martono H (2009). Infeksi Pada Usia Lanjut. Dalam : Boedi Darmojo :
Buku Ajar Geriatri, Ed IV, Editor : Martono H, Pranarka K, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, hal 443-457
7. Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB (2009). Immobility. Essentials of Clinical
Geriatrics, 3 rd ed. McGraw-Hill,Inc, USA, p 297-329
8. Lembo A, Camilleri M (2003). Chronic Constipation. N Engl J Med 349, 1360 1368
9. Lipzchitz DA, Chernoff R (1990). Gastrointestinal, Metabolic, and Endocrine Disease.
In Dyson J, ed. Geriatric Medicine. W.B Saunders Company, Philadelphia, p 434-439
10. Lipsitz L (2001). Hypotension. In Beers M, Berkow R, eds. The Merck Manual of
Geriatrics. Merck & Co. Inc, USA, Ch 86
11. Meier RH (1990). Mobility, Exercise, Muscular Problems, and Rehabilitation. In
Dyson J, ed. Geriatric Medicine. W.B Saunders Company, Philadelphia, p 368-375
12. Mupangati Y M, Rahayu R A (2009). Penyakit Pembuluh Darah Tepi. Boedi
Darmojo : Buku Ajar Geriatri, Ed IV, Editor : Martono H, Pranarka K, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, hal 661-677
13. Patel K (2009). Deep Venous Thrombosis. Available at : http://www.emedicine.com.
Accessed on June 24, 2009
14. Pranarka K (2009). Konstipasi Pada Lanjut Usia. Boedi Darmojo : Buku Ajar Geriatri,
Ed IV, Editor : Martono H, Pranarka K, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal 243-253

13

15. Pranarka K (2009). Dekubitus. Boedi Darmojo : Buku Ajar Geriatri, Ed IV, Editor :
Martono H, Pranarka K, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal 272-284
16. Rahmatullah P (2009). Penyakit Paru Pada Usia Lanjut. Boedi Darmojo : Buku Ajar
Geriatri, Ed IV, Editor : Martono H, Pranarka K, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal
458-479
17. Rousseu P (1993). Immobility In The Aged. Arch Fam Med 2, 169 178
18. Seiler W O, Stahelin H B (2000). Consequences of Immobility. In Williams F, Evans
G, eds. Oxford Text Book fo Geriatric Medicine. Oxford University Press, USA, Ch
26.4
19. Setiati S, Roosheroe AG (2006). Imobilisasi Pada Usia Lanjut. Dalam Sudoyo A,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Ed IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, hal 13981401
20. Sharma S (2006). Pulmonary Embolism. Available at : http://www.emedicine.com.
Accessed on August 20, 2009
21. Tapson Victor F (2008). Acute Pulmonary Embolism. N Engl J Med 358, 1037 1052

----------oo00oo----------

Anda mungkin juga menyukai