Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK STASE BEDAH


RSUD dr. H. ABDUL MOELOEK

CHOLELITIASIS

Pembimbing :
dr. Mizar Eriyanto, Sp.B

Oleh:
Eduard, S.Ked
Ferina Nur Haqiqi, S.Ked
Hera Julia Garamina, S.Ked

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2016

DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR.

DAFTAR ISI..

ii

BAB I. PENDAHULUAN.............................................................................

BAB II. ISI.....................................................................................................

BAB III. KESIMPULAN...............................................................................

30

DAFTAR PUSTAKA

32

BAB I
PENDAHULUAN

Kolelitiasis merupakan istilah untuk penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung
empedu atau di dalam duktus koledokus atau pada keduanya.

Kolelitiasis adalah salah satu

penyakit utama yang menyebabkan mobiditas dan mortalitas di bidang gastrointestinal dan
hepatologi. Pada era sekarang ini, penyakit saluran empedu adalah masalah yang cukup sering
muncul pada Negara berkembang. Lebih dari 20 juta populasi asia menderita penyakit kolelitiasis,
dan 80.000 pasien di rawat di rumah sakit karena penyakit ini setiap tahunnya. Kejadian penyakit
kolelitiasis di Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka kejadian di Negara lain di Asia
dan berkaitan erat dengan cara diagnosis ultrasonografi (De Jong, 2013).
Kolelitiasis adalah penyakit kronik dengan angka rekurensi yang tinggi diantara penyakit
hepatobilier. Patofisiologi penyakit ini berkaitan dengan metabolisme kolesterol, bilirubin dan asam
empedu (Bansal, 2014).
Pada tingkat global, kasus baru batu empedu melanda sekitar 1-3 persen penduduk setiap tahun.
Kebanyakan kolelitiasis diketahui secara kebetulan sewaktu pemeriksaan ultrasonografi atau
pembuatan foto polos perut untuk general medical check-up. Dengan ultrasonografi, 90% batu
empedu dapat terdeteksi. Sedangkan dengan foto rontgen abdomen hanya 10%. Sekitar 60% kasus
batu kandung empedu bersifat asimtomatis (tidak bergejala klinis). Terapi kolelitiasis meliputi
tindakan bedah dan non bedah (Doherty, 2010).

BAB II
ISI
A. Definsi
Batu empedu atau cholelithiasis adalah timbunan Kristal di dalam kandung empedu atau di dalam
saluran empedu atau kedua-duanya. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur
dari cairan empedu yang mengendap dan membentuk suatu material mirip batu di dalam kandung
empedu atau saluran empedu. Komponen utama dari cairan empedu adalah bilirubin, garam
empedu, fosfolipid dan kolesterol. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu bisa berupa batu
kolesterol, batu pigmen yaitu coklat atau pigmen hitam, atau batu campuran (Lesmana, 2014).
B. ANATOMI
Kandung empedu adalah kantung berbentuk buah pir, panjang sekitar 7 sampai 10 cm, dengan
kapasitas rata-rata 30 sampai 50 ml. Ketika terhambat, kandung empedu dapat menggembung nyata
dan berisi hingga 300 ml. Kandung empedu terletak di fossa pada permukaan inferior hepar. Sebuah
garis dari fossa ini ke vena cava inferior membagi hati menjadi kanan dan kiri lobus hati. Kantong
empedu dibagi menjadi empat bidang anatomi: fundus, korpus (badan), infundibulum, dan cervix.
Fundus berbentuk bulat, berakhir tumpul yang biasanya meluas 1 sampai 2 cm di atas margin hepar.
Ini berisi sebagian besar otot polos organ, kontras dengan tubuh, yang merupakan tempat
penyimpanan utama dan berisi sebagian besar jaringan elastis. Korpus memanjang dari fundus dan
mengecil ke cervix, area berbentuk corong yang menghubungkan dengan duktus sistikus. Cervix
biasanya mengikuti kurva lembut, konveksitas yang dapat diperbesar untuk membentuk
infundibulum atau kantong Hartmann. Cervix terletak di bagian terdalam dari fossa kandung
empedu dan meluas ke bagian bebas dari ligamen hepatoduodenal (Schwartz, 2010).
Empedu yang disekresi secara terus-menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil dalam
hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk duasaluran lebih besar yang keluar dari
permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang segera bersatu membentuk
duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus
koledokus (Schwartz, 2010).

Gambar 1. Anatomi Sistem Bilier


C. Fisiologi
Formasi dan Komposisi Empedu
Hepar memproduksi empedu terus menerus dan mengeksresi ke dalam kanalikuli empedu.
Konsumsi diet rata-rata orang dewasa normal memproduksi 500 sampai 1000 ml empedu sehari.
Sekresi empedu responsif terhadap neurogenik, humoral, dan rangsangan kimia. Stimulasi vagal
meningkatkan sekresi empedu, sedangkan hasil stimulasi saraf splanchnic di aliran empedu
menurun. Asam klorida, protein dicerna sebagian, dan asam lemak dalam duodenum merangsang
pelepasan sekretin dari duodenum yang, pada gilirannya, meningkatkan produksi empedu dan aliran
empedu. Empedu mengalir dari hepar melalui duktus hepatik, ke dalam duktus hepatikus komunis,
melalui saluran empedu, dan akhirnya ke duodenum (Schwartz, 2010).
Empedu terutama terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, protein, lipid, dan pigmen empedu.
Natrium, kalium, kalsium, dan klor memiliki konsentrasi yang sama dalam empedu seperti dalam
plasma atau cairan ekstraseluler. PH empedu hati biasanya netral atau sedikit basa, tetapi bervariasi
dengan diet; peningkatan protein membuat ph empedu lebih asam. Garam empedu primer, kolat dan
5

chenodeoxycholate, disintesis di hati dari kolesterol. Mereka terkonjugasi dengan taurin dan glisin,
dan bertindak dalam empedu sebagai anion (asam empedu) yang seimbang dengan natrium. Garam
empedu diekskresikan ke dalam empedu oleh hepatosit dan bantuan dalam pencernaan dan
penyerapan lemak di intestines. Dalam usus, sekitar 80% dari asam empedu terkonjugasi diserap di
ileum terminal. Sisanya dehydroxylated (deconjugated) oleh bakteri usus, membentuk asam empedu
sekunder deoksikolat dan lithocholate. Ini diserap dalam usus besar, diangkut ke hati, terkonjugasi,
dan disekresikan ke dalam empedu. Akhirnya, sekitar 95% dari kolam asam empedu diserap
kembali dan dikembalikan melalui sistem vena portal ke hati, yang disebut sirkulasi enterohepatik.
Lima persen diekskresikan dalam tinja, meninggalkan jumlah yang relatif kecil dari asam empedu
untuk memiliki efek maksimum (Schwartz, 2010).
Kolesterol dan fosfolipid disintesis di hati adalah lipid yang ditemukan dalam empedu. Sintesis
fosfolipid dan kolesterol oleh hati adalah, sebagian, diatur oleh asam empedu. Warna empedu
adalah karena kehadiran diglucuronide pigmen bilirubin, yang merupakan produk metabolisme dari
pemecahan hemoglobin, dan hadir dalam empedu dalam konsentrasi 100 kali lebih besar daripada
di plasma. Setelah di usus, bakteri mengubahnya menjadi urobilinogen, sebagian kecil dari yang
diserap dan disekresikan ke dalam empedu (Schwartz, 2010).
Fungsi Kandung Empedu
Kantong empedu, saluran empedu, dan sfingter Oddi bertindak bersama-sama untuk menyimpan
dan mengatur aliran empedu. Fungsi utama dari kantong empedu adalah untuk berkonsentrasi dan
menyimpan empedu hati dan untuk memberikan empedu ke duodenum dalam menanggapi makan
(Schwartz, 2010).
Penyerapan dan Sekresi
Dalam keadaan puasa, sekitar 80% dari empedu disekresi oleh hati disimpan dalam kantong
empedu. Penyimpanan ini dimungkinkan karena daya serap yang luar biasa dari kantong empedu,
sebagai kantong empedu mukosa memiliki kekuatan serap terbesar per satuan luas dari setiap
struktur dalam tubuh. Dengan cepat menyerap natrium, klorida, dan air terhadap gradien
konsentrasi yang signifikan, berkonsentrasi empedu sebanyak 10 kali lipat dan menyebabkan
perubahan yang nyata dalam komposisi empedu. Penyerapan cepat ini merupakan salah satu
mekanisme yang mencegah peningkatan tekanan dalam sistem empedu dalam keadaan normal.
6

Relaksasi bertahap serta pengosongan kandung empedu selama periode puasa juga berperan dalam
mempertahankan tekanan intraluminal yang relatif rendah di pohon bilier (Schwartz, 2010).
Sel-sel epitel kandung empedu mengeluarkan setidaknya dua produk penting ke dalam lumen
kandung empedu: glikoprotein dan ion hidrogen. Kelenjar mukosa di infundibulum dan leher
kandung empedu mengeluarkan glikoprotein lendir yang diyakini melindungi mukosa dari tindakan
litik empedu dan untuk memfasilitasi bagian empedu melalui duktus sistikus. lendir ini membentuk
berwarna "empedu putih" terlihat di hidrops kandung empedu akibat obstruksi duktus sistikus.
Transportasi ion hidrogen oleh epitel kandung empedu menyebabkan penurunan pH kandung
empedu empedu. Pengasaman mempromosikan kelarutan kalsium, sehingga mencegah presipitasi
sebagai garam kalsium (Schwartz, 2010).

Kegiatan Motorik
Kandung empedu mengisi difasilitasi oleh kontraksi tonik dari sfingter Oddi, yang menciptakan
gradien tekanan antara saluran empedu dan kantong empedu. Selama puasa, kantong empedu tidak
hanya mengisi pasif. Dalam kaitannya dengan fase II dari interdigestive bermigrasi kompleks
bermotor myenteric di usus, kandung empedu berulang kali mengosongkan volume kecil dari
empedu ke duodenum. Proses ini dimediasi setidaknya sebagian oleh motilin hormon. Menanggapi
makan, kandung empedu mengosongkan oleh respon motorik yang terkoordinasi kontraksi kandung
empedu dan sfingter Oddi relaksasi. Salah satu rangsangan utama kandung empedu pengosongan
adalah cholecystokinin hormon (CCK). CCK dilepaskan secara endogen dari mukosa duodenum
sebagai respon terhadap makanan. Ketika dirangsang dengan makan, kandung empedu
mengosongkan 50 sampai 70% dari isinya dalam waktu 30 sampai 40 menit. Selama berikut 60
sampai 90 menit, kandung empedu secara bertahap isi ulang. Hal ini berkorelasi dengan tingkat
CCK berkurang. jalur hormonal dan saraf lainnya juga terlibat dalam tindakan terkoordinasi dari
kantong empedu dan sfingter Oddi. Cacat dalam aktivitas motorik dari kantong empedu berpikir
untuk memainkan peran dalam nukleasi kolesterol dan formasi batu empedu (Schwartz, 2010).
Peraturan neurohormonal
Saraf vagus merangsang kontraksi kandung empedu, dan stimulasi simpatis splanchnic adalah
penghambatan aktivitas motor.obat parasimpatomimetik berpengaruh terhadap kandung empedu,
sedangkan atropin menyebabkan relaksasi. refleks neural termediasi menghubungkan sfingter Oddi
dengan kandung empedu, lambung, dan duodenum untuk mengkoordinasikan aliran empedu ke
duodenum. distensi lambung menyebabkan kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi
(Schwartz, 2010).
Reseptor hormon yang terletak di otot halus, pembuluh, saraf, dan epitel kandung empedu. CCK
adalah peptida yang berasal dari sel-sel epitel saluran pencernaan bagian atas dan ditemukan dalam
konsentrasi tertinggi dalam duodenum. CCK dilepaskan ke dalam aliran darah oleh asam, lemak,
dan asam amino dalam duodenum. CCK memiliki waktu paruh plasma dari 2 sampai 3 menit dan
dimetabolisme oleh hati dan ginjal. CCK bekerja langsung pada reseptor otot polos kandung
empedu dan merangsang kontraksi kandung empedu. Hal ini juga melemaskan saluran terminal
empedu, sfingter Oddi, dan duodenum. CCK stimulasi dari kandung empedu dan pohon bilier juga
dimediasi oleh neuron vagal kolinergik (Schwartz, 2010).
8

Vasoaktif polipeptida usus menghambat kontraksi dan menyebabkan kantong empedu relaksasi.
Somatostatin dan analognya yang berpotensi menghambat kontraksi kandung empedu. Pasien yang
diobati dengan analog somatostatin dan mereka dengan somatostatinoma memiliki insiden tinggi
batu empedu, mungkin karena penghambatan kontraksi kandung empedu dan pengosongan. hormon
lain seperti substansi P dan enkephalin mempengaruhi motilitas kandung empedu, tetapi peran
fisiologisnya belum jelas (Schwartz, 2010).
Sfingter Oddi
Sfingter Oddi mengatur aliran empedu (dan jus pankreas) ke dalam duodenum, mencegah
regurgitasi isi duodenum ke dalam saluran bilier, dan mengalihkan empedu ke kantong empedu. Ini
adalah struktur kompleks yang secara fungsional independen dari otot duodenum dan menciptakan
zona tekanan tinggi antara saluran empedu dan duodenum. Sfingter Oddi adalah sekitar 4 sampai 6
mm dan memiliki tekanan beristirahat basal sekitar 13 mmHg di atas tekanan duodenum. Pada
manometry, sphincter menunjukkan kontraksi phasic dengan frekuensi sekitar empat per menit dan
amplitudo 12-140 mmHg. motilitas spontan sfingter Oddi diatur oleh sel-sel interstitial dari Cajal
melalui input intrinsik dan ekstrinsik dari hormon dan neuron yang bekerja pada sel otot polos.
Relaksasi terjadi dengan kenaikan CCK, yang mengarah ke amplitudo berkurang kontraksi phasic
dan mengurangi tekanan basal, yang memungkinkan peningkatan aliran empedu ke duodenum.
Selama berpuasa, aktivitas sfingter Oddi dikoordinasikan dengan pengosongan periodic parsial
kandung empedu dan peningkatan aliran empedu yang terjadi selama fase II migrasi kompleks
myoelectric motoric (Schwartz, 2010).

Gambar 2. Mekanisme Aliran Empedu


D. Prevalensi dan Insidensi
Kolelitiasis adalah salah satu penyakit tersering yang mempengaruhi sistem pencernaan. Laporan
autopsy memperlihatkan prevalensi kolelitiasis antara 10% sampai 30%. Prevalensi kolelitiasis
berkaitan dengan banyak factor, termasuk diantaranya umur, jenis kelamin dan latar belakang ras.
Beberapa kondisi tertentu menjadi predisposisi untuk perkembangan batu empedu. Obesitas,
kehamilan, factor makanan, dan beberapa penyakit kronis serta riwayat pembedahan pada saluran
pencernaan memiliki pengaruh terhadap meningkatnya resiko perkembangan batu empedu. Wanita
memiliki kemungkinan tiga kali lebih bedar untuk menderita kolelitiasis disbanding laki-laki, dan
keluarga dengan riwayat batu empedu memiliki prevalensi lebih besar terkena kolelitiasis
(Amstrong, 2016).
E. Perjalanan Penyakit
Kebanyakan pasien tidak memiliki gejala dari batu empedu yang mereka derita. Untuk alasan yang
tidak diketahui, beberapa pasien mengalami fase simtomatik, dengan kolik bilier yang disebabkan
oleh obstruksi pada duktus sistikus akibat batu empedu. Kolelitiasis yang menimbulkan gejala dapat
mengakibatkan komplikasi yang berkaitan dengan batu empedu yaitu kolangitis akut,
koledokolitiasis dengan atau tanpa kolangitis, gallstone pancreatitis, fistula kolesistokoledokal,
10

fistula kolesistoduodenal atau fistula kolesistoenterik yang dapat berlanjut menjadi gallstone ileus
dan karsinoma kantung empedu (Amstrong, 2016).
Pasien dengan kolelitiasis tanpa gejala pada system bilier umumnya didiagnosis secara tidak
sengaja pada ultrasonografi, CT Scan, radiografi abdomen atau pada laparotomy. Beberapa
penelitian menguji kemungkinan berkembangnya kolik bilier atau berkembangnya komplikasi yang
signifikan dari penyakit kolelitiasis. Sekitar 3% dari penderita asimptomatik menjadi simptomatik
per tahun (misalnya berkembang kolik bilier). Sekali kolelitiasis menjadi simptomatik, pasien
cenderung mengalami kolik bilier yang rekuren. Komplikasi kolelitiasis berkembang pada 3%-5%
pasien dengan gejala per tahunnya. Lebih dari periode 20 tahun, sekitar dua atau tiga pasien
kolelitiasis tanpa gejala akan tetap bebas dari gejala. Karena hanya sebagian kecil pasien yang dapat
mengalami komplikasi tanpa riwayat gejala pada system bilier, profilaksis kolesistektomi pada
pasien asimtomatik dengan batu empedu jarang diindikasikan (Amstrong, 2016).
F. Formasi Batu Empedu
Batu empedu terbentuk sebagai hasil dari padatan yang berasal dari suatu larutan. Larutan organic
utama pada empedu adalah bilirubin, asam empedu, fosfolipid dan kolesterol. Batu empedu di
klasifikasikan berdasarkan komponen kolesterol sebagai batu kolesterol atau batu pigmen. Batu
pigmen dapat di klasifikasikan lebih lanjut menjadi batu pigmen hitam dan coklat. Pada Negara
barat, sekitar 80% batu empedu adalah batu kolesterol dan sekitar 15%-20% adalah batu pigmen
hitam. Batu pigmen coklat memiliki presentase terkecil pada batu empedu. Kedua batu pigmen
lebih umum ditemukan pada Asia (Erpecum, 2011).
Batu Kolesterol
Batu kolesterol murni jarang ditemukan dan terhitung <10% dari seluruh batu. Batu kolesterol
murni muncul sebagai satu batu dengan ukuran yang besar dan dengan permukaan yang halus.
Kebanyakan batu kolesterol mengandung banyak variable seperti pigmen dan kalsium, tetapi selalu
>70% berdasarkan beratmya mengandung kolesterol. Batu ini biasanya multiple, dengan ukuran
yang bervariasi dan dengan konsistensi keras serta bersegi banyak atau irregular, berbentuk seperti
mulberry, dan halus. Batu kolesterol memiliki warna yang bervariasi mulai dari putih kekuningan
dan hujau sampai coklat. Sebagian besar batu kolesterol terlihat radiolusen, <10% terlihat
radioopak. Baik batu kolesterol murni atau campuran, proses utama yang terjadi pada pembentukan
batu kolesterol adalah supersaturasi empedu dengan kolesterol. Karena itu, kadar empedu kolesterol
yang tinggi dan batu empedu kolesterol dikategorikan dalam satu penyakit. Kolesterol sangat non11

polar dan tidak larut air serta empedu. Kelarutan kolesterol bergantung pada konsentrasi relative
dan kolesterol, asam empedu dan lesitin (fosfolipid utama yang terkandung pada empedu).
Supersturasi hampir selalu menyebabkan hipersekresi kolesterol dibandingkan dengan mengurangi
sekresi fosfolipid atau asam empedu (Erpecum, 2011).

Gambar 3. Batu Kolesterol


Kolesterol disekresikan ke empedu sebagai vesikel fosfolipid-kolesterol. Kolesterol membentuk
misel, komplek garam empedu-fosfolipid-kolesterol terkonjugasi, sama seperti vesikel fosfolipidkolesterol. Keberadaan vesikel dan misel pada kompartemen cairan yang sama memungkinkan
terjadinya pergerakan lipid antara kedua komponen.Maturasi vesicular muncul ketika lipid vesicular
bergabung dengan misel secara langsung dibandingkan kolesterol vesicular. Oleh karena itu, vesikel
dapat diperkaya dengan kolesterol, menjadi tidak stabil, dan kemudian menukleasi kristal
kolesterol. Pada empedu yang belum tersaturasi, kolesterol yang memperkaya vesikel merupakan
hal yang tidak normal. Pada empedu yang belum tersaturasi, zona destitas kolesterol berkembang
pada permukaan vesikel yang diperkaya kolesterol. Sekitar satu pertiga kolesterol empedu
bertransportasi dalam bentuk misel, tetapi vesikel fosfolipid kolesterol membawa kolesterol empedu
utama (Erpecum, 2011).
Batu Pigmen
Batu pigmen mengandung <20% kolesterol dan berwarna lebih gelap karena keberadaan kalsium
bilirubinat. Sedangkan, batu pigmen hitam dan coklat memiliki lebih sedikit persamaan dan
diklasikasikan sebagai satu kesatuan (Erpecum, 2011).
12

Batu pigmen hitam biasanya berukuran kecil, rapuh dan berwarna hitam. Mereka terbentuk dari
supersaturasi kalsium bilirubinat, karbonat dan fosfat, paling sering merupakan efek samping dari
penyakit hemolysis seperti sperositosis herediter dan penyakit sickle cell dan pasien dengan sirosis.
Seperti batu kolesterol, mereka biasanya terbentuk pada kantung empedu. Bilirubin unkojugasi
biasanya sedikit lebih larut dibandingkan bilirubin terkonjugasi pada empedu. Dekonjugasi bilirubin
muncul secara normal pada empedu pada kadar yang rendah. Kadar bilirubin terkonjugasi yang
tinggi, seperti pada keadaan hemolysis, memicu peningkatan kadar produksi bilirubin unkonjugasi.
Sirosis dapat memicu peningkatan sekresi bilirubin unkonjugasi. Ketika sebuah kondisi memicu
peningkatan level dari bilirubin dekonjugasi pada empedu, presipitasi kalsium akan muncul. Di Asia
seperti di Jepang, batu hitam terhitung memiliki presentase yang lebih tinggi diantara jenis batu
empedu lain dibanding Negara barat (Erpecum, 2011).
Batu pigmen coklat biasanya berukuran diameter <1 cm, berwarna kuning kecoklatan, halus dan
lunak. Batu pigmen coklat dapat terbentuk baik di kantung empedu maupun pada duktusnya,
biasanya terbentuk akibat infeksi bakteri akibat statis aliran empedu. Presipitasi kalsium bilirubinat
dan sel bakteri membentuk komponen utama dari batu. Bakteri seperti Escherichia colimensekresi
glukoronidase yang secara enzimatik memecah bikirubin glukuronida untuk memproduksi bilirubin
unkonjugasi yang tidak larut dan terjadi presipitasi dengan kalsium dan sejalan dengan sel bakteri
yang mati, terbentuk batu empedu coklat yang lunak pada sistem bilier (Erpecum, 2011).
Batu empedu coklat umumnya ditemukan pada sistem bilier pada populasi asia dan berhubungan
dengan statis yang diakibatkan oleh infeksi parasit. Pada populasi di Negara barat, batu empedu
coklat muncul awalnya sebagai batu saluran empedu pada pasien dengan striktur bilier atau batu
saluran empedu lain yang menyebabkan statis atau kontaminasi bakteri (Erpecum, 2011).
G. Kolelitiasis Simptomatik
Kolesistitis Kronik (Biliary Colic)
Sekitar satu pertiga pasien dengan kolelitiasis datang dengan kronik kolisistitis dengan karakteristik
serangan nyeri yang rekuren, sering disebut juga dengan kolik bilier. Nyeri berkembang ketika batu
mengobstruksi duktus sistikus, menyebabkan peningkatan progresIf dari tekanan dinding kantung
empedu. Perubahan patologis, yang sering tidak berkolerasi secara baik dengan gejala, berbeda
dengan kantung empedu normal yang terlihat dengan inflamasi kronik minor pada mukosa, menjadi
mengecil, dengan kantung empedu yang tidak berfungsi dengan fibrosis transmural massif dan
adhesi pada struktur terdekat. Mukosa biasanya normal atau hipertrofi, tapi kemudian menjadi
13

atrofi, dengan penonjolan epitel ke selubung otot, mengakibatkan terbentuknya formasi yang
disebut Aschoff-Rokitansky sinuses (Schwartz, 2010).
H. Manifestasi Klinis
Gejala utama yang berkaitan dengan batu empedu simptomatik adalah nyeri. Nyeri bersifat konstan
dan meningkat keparahannya setelah satu setengah jam dan biasanya berlangsung satu sampai lima
jam. Nyeri berlokasi pada epigastrium atau pada kuadran kanan atas dan menyebar ke punggung
kanan atas atau diantara scapula (Schwartz, 2010).

14

Gambar 4. Lokasi Nyeri dan Penyebarannya


Nyeri yang dirasakan biasanya berat dan terjadi secara tiba-tiba, biasanya pada malam hari atau
setelah mengkonsumsi makanan berlemak. Hal ini sering dihubungkan dengan mual dan kadang
muntah. Nyeri yang dirasakan bersifat episodik. Pasien akan menderita serangan nyeri yang
berlainan, diantara waktu pasien merasa baik. Pemeriksaan klinis dapat mengungkapkan kekakuan
ringan pada kuadran kanan atas selama episode nyeri. Ketika pasien bebas nyeri, pemeriksaan fisik
biasanya normal. Nilai laboratorium, seperti jumlah sel darah putih dan tes fungsi liver, biasanya
normal pada pasien kolelitiasis tanpa komplikasi (Schwartz, 2010).
Manifesti yang tidak khas dari batu empedu umum ditemukan. Hubungan dengan konsumsi
makanan hanya sekitar 50% dari seluruh pasien kolelitiasis. Pada beberapa pasiem ditemukan
serangan nyeri yang lebih ringan, tetapi berhubungan dengan konsumsi makanan. Nyeri yang
dirasakan terutama dirasakan pada punggung atau kuadran kanan atas dan bawah. Kembung dan
terasa penuh pada abdomen dapat muncul dan berhubungan dengan serangan nyeri yang dirasakan.
Pada pasien dengan manifestasi klinis yang tidak khas, kondisi lain dengan nyeri pada regio atas
abdomen dapat terjadi, termasuk akibat adanya batu empedu. Keluhan tersebut dapat termasuk
pada penyakit ulkus peptikum, refluks gastroesofageal, hernia dinding abdomen, penyakit
diverticulitis, penyakit liver, kalkulus renal, nyeri pleuritic dan nyeri myocardium. Beberapa pasien
dengan kondisi lain yang juga menderita batu empedu (Schwartz, 2010).
15

Ketika nyeri berlangsung lebih dari 24 jam, dampak dari batu pada duktus sistikus atau kolesistitis
akut dapat dicurigai. Dapak dari batu tanpa adanya kolesistitis disebut sebagai kondisi hydrops of
the gallbladder. Empedu akan terserap, tetapi epitel kantung empedu akan terus memproduksi
mucus dan kantung empedu akan mengalami distensi karena materi mucus. Kantung empedu dapat
terpalpasi namun biasanya tidak terapa kaku. Hydrops of the gallbladder dapat menyebabkan edema
pada dinding kantung empedu, inflamasi, infeksi dan perforasi. meskipun hidrops hanya dapat
menetap dalam beberapa konsekuensi, kolesistectomi umunya diindikasikan untuk mencegah
komplikasi yang dapat terjadi (Schwartz, 2010).
I. Diagnosis
Diagnosis untuk kantung empedu dengan gejala atau kolesistitis kalkulus akut tergantung pada
munculnya gejala khas dan ada atau tidaknya batu pada pemeriksaan pencitraan. USG abdomen
adalah pemeriksaan diagnosis standar untuk batu empedu. Batu empedu kadang dapat teridentifikasi
pada foto polos abdomen dan CT scan. Pada kasus ini, jika pasien memiliki gejala yang khas, USG
kantung empedu dan system bilier harus dilakukan sebelum intervensi pembedahan . diagnosis batu
secara tidak sengaja pada pasien tanpa gejala harus ditempatkan sesuai dengan pemabahasan pada
perjalanan penyakit diatas. Kadang, pasien dengan serangan nyeri bilier yang khas tidak terbukti
adanya batu pada pemeriksaan USG. Kadang hanya gumpalan berisi endapan pada kantung empedu
yang ditemukan pada pemeriksaan USG. Jika pasien mengalami serangan nyeri bilier yang khas
secara rekuren dan gumpalan endapan terdeteksi pada dua atau lebih pemerikssaan, kolesistektomi
dapat diindikasikan. Pada keadaan terdapatnya gumpalan endapan atau batu, kolesterolosis dan
adenomyomatosis kantung empedu dapat menyebabkan gejala khas bilier dan dapat terdeteksi pada
USG. Kolesterolisis diakibatkan oleh akumulasi kolesterol dalam makrofag pada mukosa kantung
empedu, baik local maupun polip. Hal ini memproduksi penampakan klasik makroskopik dari
kantung empedu yang berbentuk seperti strawberry. Adenomamyomatosis atau kolesistitits
glandularis proliferans dikarakteristikkan secara mikroskopik dengan hipertrofi berkas otot polos
dan dengan pertumbuhan glandula mukosa ke dalam lapisan otot (formasi sinus epithelial). Polip
granulomatous berkembang pada lumen fundus dan dinding kantung empedu menebal dan striktur
pada septa dapat terlihat pada kantung empedu. Pada pasien dengan gejala, kolesistektomi adalah
pilihan terapi untuk pasien dengan kondisi tersebut (Schwartz, 2010).
J. Studi Diagnosis

16

Beberapa modalitas diagnosis tersedia untuk pasien suspek penyakit pada kantung empedu dan
salurannya. Pada tahun 1924 diagnosis kolelitiasis telah meningkat secara signifikan dengan
dikenalnya oral kolesistografi yang ditemukan oleh Graham dan Cole. Selama decade tersebut oral
kolesistografi masih menjadi alat investigasi utama untuk batu empedu. Pada tahun 1950 skintigrafi
bilier berkembang, sama seperti intrahepatik dan endoskopik retrograde kolangiografi (ERC),
memungkinkan pencitraan terhadap traktus biliaris. Selanjutnya USG, CT Dan MRI memberikan
perkembangan nyata terhadap kemampuan pencitraan traktus biliaris (Schwartz, 2010).
1. Pemeriksaan Darah Lengkap
Ketika pasien dengan suspek penyakit pada kantung empedu atau pada system bilier ekstrahepatik
dievaluasi, pemeriksaan hitung darah lengkap dan pemeriksaan fungsi hati secara rutin diperiksa.
Peningkatan jumlah sel darah putih (WBC) mungkin mengindikasikan atau meningkatkan
kemungkinan terjadinya kolesistitis. Jika dihubungkan dengan peningkatan bilirubin, alkalin
phospatase, dan aminotransferase, kolangitis patut dicurigai. Kolestasis, obstruksi dari aliran
empedu, dikarakteristikkan dengan adanya peningkatan kadar bilirubin (bentuk konjugasi), dan
peningkatan alkalin fosfatase. Serum aminotransferase dapat normal atau mengikat sedikit. Pada
pasien dengan kolik bilier atau kolesistitis kronik, pemeriksaan darah umunya normal (Schwartz,
2010).
2. Ultrasonography
Ultrasound adalah investigasi awal untuk pasien dengan suspek penyakit pada system bilier.
Pemeriksaan ini bersifat non-invasif, tidak nyeri, tidak memberikan radiasi kepada pasien dan dapat
dilakukan pada pasien dengan penyakit kritis. Pemeriksaan ini bergantung pada keterampilan dan
pengalaman dari operator, dan pemeriksaan ini bersifat dinamis (gambar statis tidak memberikan
informasi yang sama seperti yang diperoleh selama pemeriksaan ultrasound itu sendiri). Organ yang
berdekatan dapat sekaligus diperiksa dalam waktu yang sama. Pasien dengan obesitas, pasien
dengan asites dan pasien dengan usus yang distensi dapat sulit untuk diperiksa secara baik dengan
ultrasound (Schwartz, 2010).
Ultrasond dapat menampilkan batu pada kantung empedu dengan sensitivitas dan spesifitas >90%.
Batu dapat terlihat seperti akustik dense dan merefleksikan kembali gelombang ultrasound ke
transduser ultrasonic. Karena batu menghambat pasase gelombang suara ke region dibelakangnya,
batu juga membentuk banyangan akustik (acoustic shadow). Batu daoat bergerak dan menyebabkan
perubahan posisi. Polip dapat mengalami kalsifikasi dan merefleksikan bayangan, tetapi tidak
17

bergerak dalam perubahan postur. Beberapa batu membentuk lapisan pada kantung empedu; selain
sedimen dan gumpalan endapan. Penebalan dinding kantung empedu dan kekuan local
mengindikasikan adanya kolesistitis. Pasien yang memiliki kolesistitis akut jika lapisan edemanya
terlihat pada dinding kantung empedu atau diantara kantung empedu dan hepar yang dihubungkan
dengan tenderness yang terlokalisasi. Ketika batu merusak leher kantung empedu, kantung empedu
dapat menjadi sangat besar, namun dengan dinding yang tipis. Sebuah kontraksi, kantung empedu
dengan dinding yang tebal adalah indikasi adanya kolesistitis kronik (Schwartz, 2010).

Gambar 5. Batu Empedu pada gambaran USG


Duktus empedu ekstrahepatik juga dapat divisualisasikan dengan ultrasound, kecuali untuk bagian
retroduodenal. Dilatasi dari duktus pada pasien dengan jaundice memperlihatkan adanya obstruksi
ekstrahepatik sebagai penyebab jaundice. Secara rutin, lokasi dan kadang, penyebab dari obstruksi
dapat ditentukan dengan ultrasound. Batu dengan ukuran kecil pada duktus koledokus dapat
berlokasi pada akhir distal duktus tersebut, dibelakang duodenum dan oleh karena itu sulit
diidentifikasi. Duktus koledokus yang mengalami dilatasi, batu kecil pada kantung empedu, dan
manifestasi klinis merujuk pada batu atau batu menyebabkan kerusakan (Schwartz, 2010).

18

3. Kolesistografi oral
Pilihan Prosedur diagnostik yang dipertimbangkan untuk batu empedu yaitu kolesistografi oral yang
secara keseluruhan telah digantikan dengan ultrasonografi. Ini melibatkan pemberian oral senyawa
radiopak yang diserap, diekskresikan oleh hati, dan masuk ke kantong empedu. Baru dicatat sebagai
gambaran filling defect kandung empedu tak tembus cahaya. Kolesistografi oral tidak dapat dinilai
pada pasien dengan malabsorbsi intestinal, muntah, juandice obstrustif dan gagal ginjal (Schwartz,
2010).
4. Biliary Radionuclide Scanning (Hida Scan)
Skintigrafi empedu memberikan evaluasi anatomi dan fungsional non-invasif pada hati, kandung
empedu,duktus biliaris dan duodenum. 99m derivatif Technetium-berlabel asam dimetil iminodiacetic
(HIDA) yang disuntikkan secara intravena, dibersihkan oleh sel-sel Kupffer di hati, dan
diekskresikan dalam empedu. penyerapan oleh hati saat pasien dipuasakan terdeteksi dalam waktu
10 menit, sedangkan kantong empedu, saluran empedu, dan duodenum yang divisualisasikan dalam
waktu 60 menit. Penggunaan utama dari scintigrafi empedu adalah pada diagnosis kolesistitis akut,
yang muncul sebagai kantong empedu nonvisualized, dengan cepat mengisi duktus biliaris dan
duodenum. adanya obstruksi duktus kistik pada scintigraphy bilier merupakan bukti diagnosis yang
kuat untuk kolesistitis akut. Pada masing-masing pemeriksaan sensitivitas dan spesifisitas untuk
diagnosis sekitar 95%. Hasil positif palsu meningkat pada pasien dengan kandung empedu stasis,
seperti pada pasien sakit kritis dan pada pasien yang menerima nutrisi parenteral. Tertundanya
pengisian pada kandung empedu dan duktus biliaris maupun tidak terisinya duodenum
mengindikasikan obstruksi pada ampula. kebocoran empedu sebagai komplikasi dari operasi
kandung empedu atau pohon bilier dapat dikonfirmasi dan dapat sering terdeteksi oleh skintigrafi
(Schwartz, 2010).
5. Computed Tomography
CT scan abdomen adalah pemeriksaan yang inferior dibandingkan dengan USG sebagai diagnosis
dari kolelitiasis. Aplikasi utama dari CT Scan adalah untuk mengidentikasikan status system bilier
ekstrahepatik dan struktur di sekitarnya. Pemeriksaan ini adalah pilihan pemeriksaan untuk
mengevaluasi pasien dengan suspek malignansi kantung empedu, system bilier ekstrahepatik, atau
organ terdekat, atau kadang caput pancreas. Kegunaan CT scan adalah untuk memeriksan diagnosis
banding dari jaundice akibat obstruksi (Schwartz, 2010).
19

Gambar 6. Batu Empedu pada gambaran CT Scan


6. Percutaneous Transhepatic Cholangiography
Duktus bilier intrahepatik dapat diakses secara perkuta dengan jarum kecil dibawah arahan
fluoroskopik. Dalam suatu posisi dimana duktus biliaris telah dikonfirmasi, kawat arahan
dilepaskan, dan kemudian, kateter dilepaskan melewati kawat. Melalui kateter, kolangiogram dapat
dilakukan dan intervensi terapetik telah dilakukan, seperti insersi drain bilier dan penempatan stent.
Percutaneous transhepatic cholangiography (PTC) memiliki sedikit peran dalam memanajemen
pasien kolelitiasis tanpa komplikasi, tetapi ini terutama bermandaat untuk pasien dengan striktur
saluran empedu dan tumor, karena pemeriksaan ini menentukan anatomi dari proksimal saluran
bilier sampai pada segmen yang terpengaruh. Karena ini adalah prosedur invasive, maka terdapat
beberapa risiko yang potensial terjadi. Untuk PTC, risiko utamanya yaitu perdarahan, kolangitis,
kebocoran empedu dan masalah terkait kateter lainnya (Schwartz, 2010).

20

Gambar 7. Percutaneous Transhepatic Cholangiography


21

7. Magnetic Resonance Imaging


Tersedia sejak pertengahan 1990. MRI menyediakan detail anatomi dari hepar, kantung empedu dan
pancreas, sama seperti yang diperoleh dari pemeriksaan CT. Banyak teknik MRI (seperti, heavily
T2-weighted sequences, pulse sequence dengan atau tanpa material kontral) dapat memberikan
resolusi tinggi dari gambaran anatomi dari system bilier dan duktus pankreatikus. Pemeriksaan ini
memiliki sensitivitas dan spesifitas 95 dan 89%, masing-masing, untuk mendeteksi koledokolitiasis.
MRI dengan magnetic resonance kolangiopankreatografi (MRCP) menawarkan pemeriksaan
noninvasif tunggal untuk diagnosis penyakit pada traktus biliaris dan pancreas (Schwartz, 2010).

Gambar 8. Sistem bilier pada gambaran MRI

22

8. Endoscopic Retrograde Cholangiography dan Endoscopic Ultrasound


Menggunakan sisi- tampilan endoskopi, duktus koledokus dapat dikanulasi dan kolangiogram dapat
dilakukan menggunakan fluoroscopy. Prosedur ini membutuhkan sedasi IV untuk pasien.
Keuntungan dari ERC meliputi visualisasi langsung dari regio ampulari dan akses langsung pada
duktus koledokus distal, dengan kemungkinan intervensi terapetik. Pemeriksaan ini jarang
dibutuhkan untuk penyakit kolelitiasis tanpa komplikasi, tetapi untuk batupada duktus koledokus,
khususnya jika berkaitan dengan jaundice karena obstruksi, kolangitis dan kolelitiasis pancreatitis,
ERC adalah diagnosis dan sering juga sebagai pilihan prosedur terapi. Sekali endoskopi
kolangiogram memperlihatkan batu pada saluran empedu, spincterotomi dan ekstraksi batu dapat
dilakukan, dan duktus koledokus bersih dari batu. Pada tangan para ahli, tingkat kesuksesan
kanulasi duktus koledokus dan kolangiografi yaitu >90%. Komplikasi dari pemeriksaan ERC
mencangkup pancreatitis dan kolangitis dan muncul pada lebih dari 5% pasien. Perkembangan
kamera optic fiber kecil yang dapat berulir pada endoskopi yang digunakan untuk pemeriksaan
ERCP telah difasilitasi perkembangan endoskopi intraduktal. Dengan menawarkan visualisasi
langsung dari duktus biliaris dan pankreatik, teknologi ini telah meningkatkan efektifitas dari ERCP
dalam diagnosis penyakit bilier dan pancreas tertentu. Endoskopi intraduktal telah memperlihatkan
aplikasi terapetik termasuk litotripsi dan ektraksi untuk pasien risiko tinggi pembedahan. Seperti
banyak prosedur endoskopok, endoskopi intraductal umumnya termasuk aman, tetapi tidak ada
penelitian besar untuk issue ini. Komplikasi umum seperti perforasi duktus biliaris, perdarahan
minor dari sphincterotomi atau litotripsi dan kolangitis telah digambarkan. Perbaikan lebih lanjut
pada teknologi ini akan menambah ERCP sebagai alat diagnostik dan terapi (Schwartz, 2010).

23

Gambar 9. Endoscopic Retrograde Cholangiography dan Endoscopic Ultrasound

9. Ultrasound Endoskopik
Ultrasound endoskopik memerlukan endoskop spedial dengan transduser ultrasound pada ujungnya.
Hasilnya, bergantung pada operator, tetapi menawarkan pemeriksaan pencitraan duktus biliaris dan
struktur di dekatnya secara nonivasif. Ultrasound endoskopik dapat digunakan untuk
mengidentifikasi batu pada duktus biliaris dan walaupun kurang sensitive dibandingkan dengan
ERC, teknik ini bersifat lebih tidak invasif (Schwartz, 2010).

24

K. Tatalaksana
Meskipun perjalanan penyakit kolelitiasis biasanya bersifat jinak, seorang dokter harus menentukan
jenis tatalaksana yang dibutuhkan. Ketika ditentukan sebagai batu empedu, sangat penting untuk
mengkategorikan menjadi kelompok tersebut: pasien yang yang tidak sengaja terdeteksi dengan
batu empedu asimptomatik; dengan batu empedu simptomatis; dengan gejala yang tidak khas dan
positif batu empedu pada pemeriksaan pencitraan; dan pasien dengan gejala khas tapi tidak
terdeteksi adanya batu pada pemeriksaan pencitraan. Pendekatan tatalaksana yang disarankan sesuai
dengan alur tatalaksana yang ditunjukkan pada gambar 10 (Abraham, 2014).

Gambar 10. Alur Tatalaksana Kolelitiasis

25

Manajemen expectant merupakan pendekatan yang terbaik pada pasien batu empedu asimptomatik
yang tidak sengaja terdeteksi. Akan tetapi pada pasien ini kolesistektomi dapat diindikasikan pada
keadaan tertentu, misalkan pada pasien yang akan melakukan transplantasi dan pada pasien yang
memiliki anemia hemolitik (Abraham, 2014).

TABEL

Pengobatan profilaksis, biasanya dengan kolesistektomi laparoskopi, dapat direkomendasikan pada


pasien yang menunjukkan simptom tipe bilier atau pada pasien yang memiliki komplikasi batu
empedu, karena pada pasien ini sering terjadi kekambuhan dan simtom yang lebih berat. Pada
pasien dengan gambaran batu empedu pada hasil gambaran radiologis namun menunjukkan
smiptom yang atipikal dapat dipikirkan diagnosis penyakit gastrointestinal yang umum, seprti ulkus
peptikum, GERD, atau irritable bowel syndrome. Pada pasien yang menunnjukkan gejala yang
sangat mengarah kepada gejala batu empedu, namun tidak menunjukkan gambaran batu empedu
pada hasil radiologis, Cholesistokinin-HIDA scaning dapat dipertimbangkan. Pada 20% pasien
dengan gejala tipikal dari kolik bilier namun tidak ditemukan batu pada gambaran radiologis,
mungkin dapat disebabkan ukuran batu yang kecil atau komponen dari batu tersebut. Meskipun
26

pada kasus tersebut sebaiknya ditatalaksana secara expectant, beberapa studi mengindikasikan
laparoskopi kolesistektomi menunjukkan keuntungan pada mereka yang memiliki gejala yang lama
pada kolik bilier dengan identifikasi batu empedu yang sulit serta mengalami penurunan fraksi
ejeksi kandung empedu dan gejala yang dapat ditimbulkan kembali dengan injeksi kolesistokinin
(Abraham, 2014).
Pengontrol rasa sakit : pengobatan primer dari kolik bilier meliputi pemberian analgesik dengan
NSAID atau analgesik jenis narkotik. NSAID lebih dipilih pada kebanyakan pasien karena
menunjukkan efek yang sama namun dengan efek samping yang lebih sedikit. Penelitian RCT
(random clinical trial) pada 324 pasien yang dibelikan injeksi ketorolak intravena atau meperidine
menunjukkan kedua pengobatan tersebut sama sama efektif pada pereda nyeri, namun pasien yang
diberikan NSAIS menunjukkan efek samping yang lebih sedikit. Opsi lain pada pengontrol nyeri
adalah dengan menggunakan antispasmodic agent (misalkan scopolamin), yang bekerja dengan cara
merelaksasi dan menurunkan spasme kandung empedu. Akan tetapi studi perbandingan
menunjukkan NSAID memberikan efek yang lebih cepat dan lebih efektif dalam pereda nyeri.
Pasien sebaiknya puasa sebagai bagian terapi konservatif pada kolik bilier dan untuk menghindari
pelepasan kolesitokinin endogen (Abraham, 2014).
Terapi Bedah : pasien dengan batu empedu yang menunjukkan gejala dibagi menjadi dua kategori
yaitu: pasien dengan kolik bilier simpel, dan pasien dengan komplikasi. Kolesistektomi, biasanya
dengan menggunakan teknik laparoskopi, direkomendasikan pada kebanyakan pasien dengan batu
empedu yang menunjukkan gejala. Akan tetapi Expectant manajemen juga merupakan alternatif
terapi yang valid. Contohnya pada satu studi dengan 69 orang dewasa yang menderita batu empedu
siptomatik yang diterapi Expectantly, hanya 35 orang yang memerlukan kolesistektomi setelah
pertengahan folllow up 5.6 tahun. Pada review cochrane tentang laparoskopik kolesistektomi
dibandingkan dengan kolesistektomi terbuka, menunjukkan pembedahan kolesistektomi dengan
laparoskopi dan kolesistektomi terbuka menunjukkan kemungkinan komplikasi dan waktu bedah
yang sama, namun kolesistektomi laparoskopik menunjukkan perawatan di rumah sakit yang lebih
singkat (tiga hari lebih singkat; 95% confidence interval, 2,3-3,9 hari) dan periode pemulihan lebih
pendek (22 hari lebih singkat; 95% confidence interval, 8-37 hari). kolesistektomi laparoskopik
adalah bedah abdomen yang paling umum dilakukan di negara-negara industri, dengan hampir
900.000 prosedur yang dilakukan setiap tahun di Eropa dan Amerika Serikat. Tingkat konversi ke
laparotomi pada penyakit kandung empedunon inflamsi dari 2% menjadi 15%, dan dalam kasuskasus kolesistitis akut, dari 6% menjadi 35%. Faktor-faktor yang meningkatkan risiko pada
27

konversi ke kolesistektomi terbuka termasuk laki-laki, usia 60 tahun atau lebih tua, operasi perut
bagian atas sebelumnya, kandung empedu dinding menebal pada ultrasonografi, dan kolesistitis
akut. profilaksis antibiotik tidak diperlukan pada pasien

dengan risiko infeksi rendah yang

menjalani kolesistektomi laparoskopi elektif, tetapi profilaksis dapat mengurangi insidensi infeksi
luka pada pasien yang berisiko tinggi (yaitu, mereka yang lebih tua dari 60 tahun, pasien dengan
diabetes mellitus, kolik akut dalam waktu 30 hari dari operasi, ikterus, kolesistitis akut, atau
kolangitis). profilaksis antibiotik harus dibatasi dosis tunggal preoperasi cefazolin intravena, 1 g
diberikan dalam waktu satu jam dari eksisi kulit (Abraham, 2014).
TABEL

Oral Dissolution Therapy: Pada penderita batu empedu pigmen atau kalsifikasi yang tanpa gejala,
tidak ada terapi medis yang dianjurkan selain dari kontrol nyeri. Untuk batu empedu yang
mengandung kolesterol, litholysis dengan menggunakan obat oral adalah pilihan yang kurang sering
digunakan dalam praktek klinis saat ini. Pada pasien yang menunjukkan gejala namun tidak di
sarankan untuk pembedahan, atau pada pasien yang memiliki batu empedu yang kecil (<5mm)
dengan kandung empedu yang berfungsi dengan duktus sistikus tanpa kerusakan disarankan untuk
terapi dissolusi.

Pilihan termasuk asam ursodeoxycholic (ursodiol [Actigall]) dan asam

chenodeoxycholic. Kedua agen tersebut menurunkan kolesterol bilier yang disekresi hati,
menyebabkan pembentukan empedu tak jenuh, dan memulai disolusi kristal kolesterol dan batu
empedu. Setelah enam sampai 12 bulan terapi, mungkin akhirnya terjadi dissolusi batu empedu
kecil, tetapi dengan tingkat kekambuhan lebih dari 50%. Disolusi oral memiliki beberapa
kekurangan, misalkan observasi yang lama ( sampai 2 tahun). Kurang dari 10% pasien dengan batu
empedu simptomatis disarankan untuk terapi ini (Abraham, 2014).
28

Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy: Ketika pembedahan dihindari, extracorporeal shock wave
lithotripsy adalah alternative terapi noninvasif untuk pasien dengan gejala. Walaupun efek samping
yang serius (seperti, pancreatitis bilier, hematoma hepar) jarang terjadi, kekurangan dari prosedur
ini adalah kekambuhan batu. Dan juga kebersihan komplit dari duktus tidak selalu tercapai karena
ukuran atau posisi batu. Walaupun begitu, penelitian terbaru menunjukan manfaat dari
extracorporeal shock wave lithotripsy untuk batu empedu yang berukuran besar dengan diikuti oleh
tindakan ERCP, dengan hasil yang dibandingkan dengan pasien yang menjalani pembedahan
berkaitan dengan nyeri dan kebersihan ductus (Abraham, 2014).
Teknik Pembedahan Terbaru: dengan adanya perkembangan dari laparoskopi, dokter melanjutkan
untuk mencoba membuat teknik pembedahan seminimal invasif mungkin. Salah satu prosedurnya
disebut pembedahan laparoskopi insisi tunggal, totally transumbilical single-port surgery,
pembedahan laparoendoskopi situs tunggal atau pembedahan laparoskopi multiport insisi tunggal.
Penelitian sistematik review yang dilakukan padatahun 2013 membandingan laparoskopi insisi
tunggal dengan laparoskopi kolesistektomi standard an menemukan tidak ada keuntungan dengan
menggunakan pembedahan laparoskopi insisi tunggaldan menyimpulkan bahwa prosedur ini tidak
direkomendasikan rutin digunakan selain pada clinical trials. Prosedur yang kedua disebut
pembedahan orifice transluminal endoscopic, sebuah pendekatan yang menggunakan salah satu
orifisium terluar tubuh untuk akses abdomen. Pada kasus kolesistektomi, akses paling umum yang
digunakan adalah transvaginal. Prosedur ini terhambat oleh tidak tersedianya instrumentasi yang
sesuai. Penelitian saat ini sedang berlangsung dan hasil jangka panjang akan didapatkan (Abraham,
2014).

29

BAB III
KESIMPULAN

Kolelitiasis atau batu empedu adalah salah satu penyakit yang paling sering terjadi diantara
penyakit gastrointestinal. Insiden kolelitiasis meningkat seiring dengan usia. Populasi berisiko
diantaranya yaitu pasien dengan diabetes mellitus, pasien dengan obesitas, wanita, perubahan berat
badan yang drastis dan pasien dengan terapi hormon atau mengkonsumsi kontrasepsi oral. Sebagian
besar pasien tidak mengalami gejala; batu empedu ditemukan secara tidak sengaja selama
pemeriksaan ultrasonografi atau pemeriksaan radiologi lain pada region abdomen. Pasien tanpa
gejala memiliki angka yang rendah untuk berkembang menjadi bergejala (sekitar 2% per tahun).
Gejala yang sering muncul pada kolelitiasis adalah kolik bilier, karena adanya kerusakan yang
berkelanjutan dari duktus sistikus karena adanya batu empedu. Nyeri kolik yang dirasakan biasanya
menetap, sedang sampai berat dan berlokasi pada epigastrium atau kuadran kanan atas dari
abdomen, menetap selama satu sampai 5 jam dan secara bertahap menghilang. Jika nyeri menetap
disertai dengan adanya demam atau pengingkatan jumlah sel darah putih hal ini dapat
mengindikasikan kecurigaan pada beberapa komplikasi seperti kolesistitis akut, gallstone
pancreatitis dan ascending kolangitis. Ulrasonografi adalah pemeriksaan penunjang sederhana
terbaik untuk sebagian besar pasien, walaupun pemeriksaan pencitraan tambahan dapat
diindikasikan. Terapi untuk kolik bilier akut utamanya termasuk analgesik dengan NSAIDs atau
analgesik narkotik. Oral dissolution therapy biasanya mengalami angka keberhasilan yang minimal
dan hanya diberikan pada pasien yang tidak dapat menjalani terapi bedah. Kolisistektomi
laparoskopi merupakan pilihan tindakan bedah untuk kolelitiasis dengan gejala atau kolelitiasis
dengan komplikasi, dengan waktu rawat rumah sakit yang lebih rendah dan waktu penyembuhan
yang lebih pendek dibanding kolesistektomi terbuka. Kolesistektomi perkutan adalah alternative
untuk pasien dengan penyakit kritis empyema kantung empedu atau sepsis.
30

31

DAFTAR PUSTAKA

Abraham, Sherly et al. Surgical and Nonsurgical Management of Gallstones. Am Fam


Physician. 2014;89(10):795-802
Amstrong, Paul et al. Clinical Importance and Natural History of Biliary Sludge in Outpatients.
J Ultrasound Med. 2016; 35:605610
Bansal A et al. A clinical study: prevalence and management of cholelithiasis. Int Surg J. 2014
Nov;1(3):134-139
De jong; Sjamsuhidajat. 2013. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Doherty, Gerard M. 2010. Current Diagnosis and Treatment: Surgery 13th Edition. USA:
McGraw-Hill Education
Erpecum, Karel JV. Pathogenesis of Cholesterol and pigment gallstone: An Update. Clinics and
research in hepatology and gastroenterology. 2011. 35: 281-287.
Lesmana L. (2014). Penyakit Batu empedu. Dalam : Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 6.
Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
OConnell K, Brasel K. Bile metabolism and lithogenesis. Surg Clin North Am. 2014; 94:361
375.
Martens, Marlies C et al. Risk Assessment in Cholelithiasis: Is Cholecystectomy Always to be
Preferred. J Gastrointest Surg (2010) 14:12711279
Sabiston, D.C., Jr, M.D. 2014. Sabiston Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.
Schwartz, I.S., 2010. Principles of Surgery 9th. USA: McGraw-Hill Education

32

Anda mungkin juga menyukai