PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Islam merupakan agama yang universal, dimana segala
aspek kehidupan telah diatur dan ditata dengan baik. Salah satu
aspek yang memegangi peranan penting tersebut adalah aspek
ibadah. Dalam Islam, ibadah dikenal dengan segala sesuatu yang
dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun
perbuatan yang tersembunyi ataupun yang nampak. Ibadah
sendiri merupakan bentuk ketundukan dan kepatuhan seorang
hamba kepada Tuhan-Nya. Untuk memahami segala macam
perkara ibadah ini, baik mahdah maupun ghairu mahdah, kita
perlu memahami dengan baik perkara-perkara yang berkaitan
dengan fiqh maupun ushul fiqh agar kelak penerapan ibadah
yang kita laksanakan dapat berjalan dengan baik dan sempurna.
Salah satu konsep dasar dalam Ushul fiqh mengenai kajian
ini adalah mengenai apa yang disebut dengan mahkum fih atau
obyek hukum. Yaitu perbuatan orang mukallaf yang menjadi
obyek hukum syara, baik berupa perintah, larangan, maupun
kebolehan. Baik yang mampu dikerjakan maupun tidak, baik
berupa kewajiban terhadap Allah maupun terhadap sesamat
umat manusia.
Berangkat dari hal ini, penulisan makalah yang kami buat
akan
mencoba
menyorot
bagaimana
konsep
mahkum
fih
bagi kita dalam memahami agama Islam secara lebih tepat dan
bijak.
B Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami ajukan dalam makalah
ini adalah:
Apa saja macam-macam mahkum fih dan bagaimana penjelasan
mengenai pembagian macam-macam tersebut?
C Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah guna memenuhi salah satu
objek penilaian dalam tugas individu mata kuliah Ushul Fiqh, serta
melatih
penulis
melakukan
kajian
ilmiah
guna
media
pembelajaran selanjutnya.
D Manfaat Penulisan
Bagi pembaca dan kalangan akademisi penulisan makalah ini
dapat
dijadikan
sebagai
tambahan
informasi
dan
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum kita memulai pembahasan ini, ada baiknya kita
terlebih dahulu sedikit mengenal apa yang dimaksud dengan
obyek hukum atau mahkum fih dalam ilmu ushul fiqh. Para
ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
mahkum fih adalah obyek hukum, yaitu perbuatan mukallaf yang
berhubungan dengan hukum syari, yang bersifat tuntutan
mengerjakan, tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan, memilih
suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, mani, azimah,
rukhsah, sah, serta batal.1
Dr.
Rahmat Syafie dalam bukunya mengulas pembagian macammacam mahkum fih ke dalam empat bagian:
1) Perbuatan yang secara materiil ada tetapi tidak termasuk
perbuatan yang terkait dengan syara seperti makan,
minum. Makan dan minum adalah perbuatan mukallaf,
tetapi perbuatan makan itu tidak terkait dengan hukum
syara.
2) Perbuatan yang secara materiil ada dan menjadi sebab
adanya
hukum
syara,
seperti
pencurian,
perzinaan,
dalam
jual
beli;
dan
berhaknya
seseorang
yang
yang
kemasyarakatan
yang
bertujuan
jihad
untuk
dan
2 Rahmat Syafie, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS (Bandung: Pustaka Setia,
2010) hlm. 331-332
3 Ali Shodiqin dkk., Fiqh Dan Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi Dan Implementasinya di
Indonesia. (Yogyakarta: Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2014), hlm. 121
Allah
ini
tidak
diperlukan
adanya
tuntutan
atau
atau
pada
harta
yang
dimilikinya.
Pengaruh
pada
dirinyadi
antara
ulama
Hanafiyah
niat
pelaksanaan
kewajiban
zakat.
Dengan
demikian maka zakat itu diwajibkan atas harta anak kecil dan
orang gila meskipun kedua tidak memenuhi syarat untuk
berniat.
Kewajiban
di
sini
menyangkut
harta,
bukan
yang
merupakan
hak
pembelaan
terhadap
kecuali
bila
hak
hamba
yang
bersangkutan
gugatan.
Karena
itu
yang
dapat
membebaskan
tetapi
hak
Allah
lebih
dominan.
Umpanya
hak
hamba
yang
hanya
lebih
dapat
dominan,
dilakukan
pelaksanaan
hukuman
qisash
melalui
suatu
tuntutan
dengan
hak
mukallaf
ialah
hak
individu
yang
seperti
anak
yang
masih
kecil
dan
baik
yang
pungutan
ditetapkan
itu
terhadap
berupa
tanah
penghasilan
pengertian
ibadah.
Sedangkan
pungutan
pencurian,
pidana
para
pembangkang
yang
menanggung
orang
yang
merusak
harta
dengan
itu.
Karena
setiap
mukallaf
mempunyai
hak
untuk
10
benda,
11
..
: . :
:
.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mahkum fih merupakan obyek hukum yang berkaitan dengan
perbuatan orang mukallaf yang menjadi obyek hukum syara, ia
dapat berupa perintah, larangan, maupun kebolehan. Baik yang
mampu
dikerjakan
maupun
tidak,
baik
berupa
kewajiban
hak
Allah,
yaitu
segala
sesuatu
yang
yang
13
B. Saran
Demikianlah penulisan makalah ini kami buat, kiranya penulis
sadar betul masih banyak terdapat kekurangan disana-sini
karena keterbatasannya keilmuan dan pemahaman penulis yang
masih dalam tahap proses pembelajaran. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kepada para pembaca untuk bisa memberi
masukan atau kritik demi perbaikan kepenulisan makalah ini
dikemudian hari. Semoga apa yang penulis tuangkan dalam
makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi salah satu tambahan
khazanah keilmuan bagi kita semua. Aamiin
14
SENARAI PUSTAKA
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Bandung:
Risalah, 1985.
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997.
Chairul Umam dkk., Ushul Fiqh I, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Rahmat Syafie, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS,
Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Shodiqin, Ali dkk., Fiqh Dan Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan
Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: Pokja UIN Sunan
Kalijaga, 2014.
15