Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Islam merupakan agama yang universal, dimana segala
aspek kehidupan telah diatur dan ditata dengan baik. Salah satu
aspek yang memegangi peranan penting tersebut adalah aspek
ibadah. Dalam Islam, ibadah dikenal dengan segala sesuatu yang
dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun
perbuatan yang tersembunyi ataupun yang nampak. Ibadah
sendiri merupakan bentuk ketundukan dan kepatuhan seorang
hamba kepada Tuhan-Nya. Untuk memahami segala macam
perkara ibadah ini, baik mahdah maupun ghairu mahdah, kita
perlu memahami dengan baik perkara-perkara yang berkaitan
dengan fiqh maupun ushul fiqh agar kelak penerapan ibadah
yang kita laksanakan dapat berjalan dengan baik dan sempurna.
Salah satu konsep dasar dalam Ushul fiqh mengenai kajian
ini adalah mengenai apa yang disebut dengan mahkum fih atau
obyek hukum. Yaitu perbuatan orang mukallaf yang menjadi
obyek hukum syara, baik berupa perintah, larangan, maupun
kebolehan. Baik yang mampu dikerjakan maupun tidak, baik
berupa kewajiban terhadap Allah maupun terhadap sesamat
umat manusia.
Berangkat dari hal ini, penulisan makalah yang kami buat
akan

mencoba

menyorot

bagaimana

konsep

mahkum

fih

khususnya mengenai macam-macam obyek hukum tersebut dan


hal-hal yang termasuk ke dalam hak Allah dan hak manusia
memberi kontribusi pemahaman yang vital bagi kita dalam
memahami agama dan hukum syara.

Yang pada akhirnya

melalui pembahasan ini, kami berharap dapat memberi manfaat

bagi kita dalam memahami agama Islam secara lebih tepat dan
bijak.
B Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami ajukan dalam makalah
ini adalah:
Apa saja macam-macam mahkum fih dan bagaimana penjelasan
mengenai pembagian macam-macam tersebut?
C Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah guna memenuhi salah satu
objek penilaian dalam tugas individu mata kuliah Ushul Fiqh, serta
melatih

penulis

melakukan

kajian

ilmiah

guna

media

pembelajaran selanjutnya.
D Manfaat Penulisan
Bagi pembaca dan kalangan akademisi penulisan makalah ini
dapat

dijadikan

sebagai

tambahan

informasi

dan

pengetahuan dalam memahami macam-macam mahkum fih.


Bagi penulis, penelitian ini dapat menjadi tambahan wawasan
dan kajian awal sebelum melakukan penulisan karya ilmiah
lanjutan yang lebih baik.
Bagi pihak lain dapat dijadikan bahan acuan atau referensi
penelitian khususnya yang terkait dengan tema penulisan
makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum kita memulai pembahasan ini, ada baiknya kita
terlebih dahulu sedikit mengenal apa yang dimaksud dengan
obyek hukum atau mahkum fih dalam ilmu ushul fiqh. Para
ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
mahkum fih adalah obyek hukum, yaitu perbuatan mukallaf yang
berhubungan dengan hukum syari, yang bersifat tuntutan
mengerjakan, tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan, memilih
suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, mani, azimah,
rukhsah, sah, serta batal.1

Dari pengertian ini, kemudian para

ulama membagi mahkum fih kedalam beberapa macam:


a. Ditinjau dari keberadaannya secara materiil dan syara,

Dr.

Rahmat Syafie dalam bukunya mengulas pembagian macammacam mahkum fih ke dalam empat bagian:
1) Perbuatan yang secara materiil ada tetapi tidak termasuk
perbuatan yang terkait dengan syara seperti makan,
minum. Makan dan minum adalah perbuatan mukallaf,
tetapi perbuatan makan itu tidak terkait dengan hukum
syara.
2) Perbuatan yang secara materiil ada dan menjadi sebab
adanya

hukum

syara,

seperti

pencurian,

perzinaan,

pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum


syara, yaitu hudud dan qisash.
3) Perbuatan yang secara materiil ada dan baru bernilai
dalam syara apabila memenuhi rukun dan syarat yang
ditentukan, seperti shalat dan zakat.
4) Perbuatan yang secara materiil ada dan diakui syara serta
mengakibatkan adanya hukum syara yang lain, seperti
pernikahan, jual beli, dan sewa menyewa. Perbuatan ini
1 Chairul Umam dkk., Ushul Fiqh I (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 186.

seperti ini secara material ada dan diakui oleh syara.


Apabila memenuhi rukun dan syaratnya, perbuatan itu
mengakibatkan munculnya perbuatan syara yang lain,
yaitu halalnya berhubungan suami istri, kewajiban nafkah,
dan kewajiban mahar dalam perkawinan; berpindahnya hak
milik

dalam

jual

beli;

dan

berhaknya

seseorang

menafkahka milik orang lain; serta berhaknya pihak lain


untuk menerima upah dalam akad sewa menyewa.2
b. Sedangkan apabila dilihat dari hak yang terdapat di dalam
perbuatan itu, terdapat empat jenis mahkum fih:
1) Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu

yang

menyangkut kemaslahatan umum tanpa kecuali.


2) Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu

yang

menyangkut hak pribadi seseorang, seperti ganti rugi


barang yang rusak.
3) Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak
Allah lebih dominan, seperti hukuman qazaf
4) Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak
hamba lebih dominan seperti hukum qisas.3
Lebih jelasnya, perbuatan yang berlaku padanya taklif
ditinjau dari segi hubungannya dengan Allah dan dengan hamba
terbagi empat sebagai berikut:
1. Perbuatan yang merupakan hak Allah secara murni, dalam
arti tidak ada sedikit pun hak manusia. Semua perbuatan
ibadah mahdhah termasuk dalam bentuk ini. Demikian pula
urusan-urusan
membela

kemasyarakatan

yang

bertujuan

kepentingan masyarakat. Umpanya

jihad

untuk
dan

pelaksanaan hukuman zina.

2 Rahmat Syafie, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS (Bandung: Pustaka Setia,
2010) hlm. 331-332

3 Ali Shodiqin dkk., Fiqh Dan Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi Dan Implementasinya di
Indonesia. (Yogyakarta: Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2014), hlm. 121

Dalam menegakkan kepentingan masyarakat pada bentuk


hak

Allah

ini

tidak

diperlukan

adanya

tuntutan

atau

pengaduan dari manusia, dan tidak ada hak manusia untuk


meringankan pelaku atau menggugurkan hukuman atas
pelakunya. Hal yang berkaitan dengan ibadah, semuanya
adalah hak Allah semata, seperti: shalat, puasa, zakat, haji
dan lainnya. Memang zakat itu seluruhnya digunakan oleh
manusia yang tergolong mustahiq, tetapi mustahiq tidak
berhak atas harta itu ditinjau dari segi mustahiq itu tidak
dapat memaafkan atau menggurkan muzakki (pembayar
zakat) dari kewajiban zakatnya. Dalam hal ini tidak ada
perbedaan pandangan. Perbedaan hanya terdapat pada
masalah: apakah kewajiban zakat berlaku atas muzakki pada
dirinya

atau

pada

harta

yang

dimilikinya.

Pengaruh

perbedaan pendapat ini terlihat secara amaliyah.


Kelompok yang mengatakan bahwa kewajiban terletak atas
muzakki

pada

dirinyadi

antara

ulama

Hanafiyah

berpendapat disyaratkan adanya niat dalam pelaksanaannya.


Karenanya anak kecil atau orang gila meskipun mempunyai
harta satu nisab tidak wajib membayar zakat, karena
persyaratan niat tidak akan terpenuhi oleh anak kecil atau
orang gila pemilik harta itu.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban zakat atas
muzakki adalah kerena hartanya, karena itu mereka tidak
mewajibkan

niat

pelaksanaan

kewajiban

zakat.

Dengan

demikian maka zakat itu diwajibkan atas harta anak kecil dan
orang gila meskipun kedua tidak memenuhi syarat untuk
berniat.

Kewajiban

di

sini

menyangkut

harta,

bukan

menyangkut diri yang dikenai taklif.


2. Perbuatan yang merupakan hak hamba secara murni, yaitu
tindakan

yang

merupakan

hak

pembelaan

terhadap

kepentingan pribadi. Semuanya adalah hak hamba secara


murni. Pelanggaran hak hamba adalah aniaya. Allah tidak
akan menerima taubat seseorang yang melanggar hak
hamba

kecuali

bila

hak

hamba

yang

bersangkutan

membebaskan atau memaafkannya.


Hak hamba yang murni itu pada hakikatnya ada yang
menyangkut hak perdata,yaitu yang menyangkut harta benda
atau hak seperti hutang dan pemilikan. Oleh karena hak
dalam bentuk ini menyangkut kepentingan pribadi, maka
pengambilan hak di tangan orang lain harus melalui tuntutan
atau

gugatan.

Karena

itu

yang

dapat

membebaskan

seseorang dari tuntutan hanyalah hamba yang berhak itu.


Umpanya bebasanya suami dari kewajiban mahar kerena
telah dibebaskan oleh istri sebagi orang (pihak) yang berhak
atas mahar itu. bebasnya seseorang dari hutang karena telah
digugurkan hutangnya oleh yang berpiutang.4
3. Perbuatan yang di dalamnya bergabung hak Allah dan hak
hamba,

tetapi

hak

Allah

lebih

dominan.

Umpanya

pelaksanaan had terhadap penuduh zina (qadzaf). Dalam hal


ini terdapat perbedaan pendapat dalam menilai hak mana
yang lebih dominan. Segolongan ulamatermasuk as-Syafie
berpendapat bahwa dalam hal qadzaf, hak hamba yang
dominan. Karena itu, maka untuk menegakkan had di sini
tidak perlu penuntutan dan hukumannya dapat dimaafkan
atau digugurkan oleh hamba yang menjadi korban.
4. Perbuatan yang di dalamnya bergabung hak Allah dan hak
hamba, tetapi hak hamba lebih dominan. Umpamanya
pelaksanaa qisash atas suatu pembunuhan. Adanya hak Allah
pada perbuatan itu karena menyangkut pelanggaran atas
ketentraman umat yang patut dilindungi. Adanya hak hamba
4 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 354

padanya terlihat dari segi pelaksanaan qisash yang dapat


dihapuskan oleh pihak keluarga yang terbunuh. Dalam hal
adanya

hak

hamba

yang

hanya

lebih

dapat

dominan,

dilakukan

pelaksanaan

hukuman

qisash

melalui

suatu

tuntutan

oleh pihak yang berhak dan dapat dibebaskan

melalui pihak hamba yang berhak pula.5 Hal ini sesuai


dengan firman Allah surat Al-Isra:33

Barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya


kami telah memberi kekuasaan6 kepada ahli warisnya.
Dan firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 178

Maka barang siapa yang mendapat suatu pema'afan dari

saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan


cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar
(diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik.
Sejalan dengan pembahasan ini, Abdul Wahab Khalaf dalam
buku Kaidah-Kaidah Hukum Islam, memberi keterangan lebih
lanjut terhadap apa yang disebut dengan hak Allah dan hak
mukallaf. Menurutnya hak Allah adalah adalah hak masyarakat
yang hukumnya disyariatkan bagi kepentingan umum, bukan
5 Ibid., hlm. 355.
6 Kekuasaan di sini ialah hal ahli waris yang terbunuh atau Penguasa untuk menuntut
kisas atau menerima diat. qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash
itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang
terbunuh Yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat
diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang
membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguhnangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum
ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah
menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat Dia
mendapat siksa yang pedih. diat ialah pembayaran sejumlah harta karena sesuatu
tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan .

kepentingan invidu secara khusus. Hal itu dinisbatkan kepada


Tuhan secara keseluruhan, dan disebut hak Allah. Adapun yang
dimaksud

dengan

hak

mukallaf

ialah

hak

individu

yang

hukumnya disyariatkan untuk kepentingan secara khusus.7


Hak murni bagi Allah disimpulkan ke dalam beberapa bagian:
1. Ibadah murni, seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Juga iman
dan Islam yang merupakan titik tolak daripada ibadah-ibadah
itu. Ibadah-ibadah itu, dan juga dasar-dasarnya bertujuan
menegakkan

agama yang merupakan kepentingan bagi

ketertiban bagian masyarakat. Hikmah mensyariatkan setiap


ibadah tersebut di antaranya ialah untuk kepentingan umum,
bukan kepentingan mukallaf secara pribadi.
2. Ibadah yang mengandung pengertian kesejahteraan; seperti
zakat fitrah. Karena zakat fitrah adalah termasuk sarana
mendekatkan diri kepada Allah lantaran sedekah kepada fakir
miskin. Tetapi ia bukan ibadah murni, bahkan di dalamnya
terkandung pengertian pajak jiwa demi kekekalan dan
keterpeliharaan jiwa itu. Inilah yang dimaksud para ulama
bahwa di dalam ibadah zakat ini terkandung pengertian
kesejahteraan. Karena itu ibadah ini tidak wajib atas manusia
seorang saja, tetapi juga atas keluarganya yang ada pada
kekuasaannya,

seperti

anak

yang

masih

kecil

dan

pembantunya. Seandainya ini adalah ibadah murni, maka


ibadah ini tidak wajib atas manusia kecuali terhadap dirinya
sendiri.
3. Pungutan-pungutan
pertanian,

baik

yang
pungutan

ditetapkan
itu

terhadap

berupa

tanah

penghasilan

persepuluhan atau berdasarkan bea pajak. Tujuan pungutan


ini ialah mengelola pertanian demi kepentingan umum yang
7 Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Bandung: Risalah, 1985), hlm.
156.

menjadi tujuan kelestarian bumi bagi para pemiliknya. Para


ulama Ushul mengatakan bahwa pungutan pertanian dengan
sepersepuluh itu sebagai kesejahteraan yang di dalamnya
terkandung

pengertian

ibadah.

Sedangkan

pungutan

pertanian dengan bea pajak adalah kesejateraan yang di


dalamnya terkandung pengertian pidana.
4. Beberapa bentuk pungutan yang ditentukan dalam harta
rampasan di dalam perang , dan yang di dalam perut bumi
yang berupa harta tambang. SyarI menjadikan 4/5 harta
rampasan untuk para angkatan perang dan 1/5 nya untuk
kepentingan umum. Dan syarI menjadikan 4/5 dari harta
benda dan harta tambang bagi penemunya, dan 1/5 untuk
kemaslahatan umum.
5. Macam-macam hukuman yang sempurna, yaitu pidana zina,
pidana

pencurian,

pidana

para

pembangkang

yang

memerangi ajaran Allah dan Rasul-Nya serta membuat


kerusakan/kekacauan di muka bumi. Hukuman itu demi
kemaslahatan masyarakat seluruhnya.
6. Macam-macam hukuman yang terbatas. Yaitu terhalangnya si
pembunuh dalam mendapatkan harta warisan. Ini adalah
hukuman yang terbatas. Karena bersifat pasif, dimana si
pembunuh dalam hukuman itu tidak mendapatkan siksaan
fisik, atau kerugian harta benda. Dalam hukuman macam ini
adalah hak Allah, karena di dalamnya tidak terkandung
keuntungan bagi yang di bunuh.
7. Beberapa hukuman yang di dalamnya terkandung pengertian
ibadah, seperti kafarat. Di dalamnya terkandung pengertian
ibadah, karena mendatangkan sesuatu yang itu adalah
ibadah seperti, puasa, sedekah, atau memerdekakan budak.
Macam-macam ini semua, adalah hak murni bagi Allah.
Disyariatkan semua itu untuk merealisir kemaslahatan manusia
secara umum; di sana mukallaf tidak punya pilihan dalam hal itu.
9

Juga tidak punya hak menggugurkan macam-macam hukuman


itu. Karena mukallaf tidak boleh menggugurkan kecuali haknya
sendiri. Juga tidak dapat menggugurkan shalat, puasa, zakat,
haji, pungutan wajib, atau hukuman di antara hukuman-hukuman
itu. Karena semua itu bukanlah haknya.8
Adapun sesuatu yang menjadi hak murni mukallaf, contohnya
seperti

menanggung

orang

yang

merusak

harta

dengan

sebandingnya atau dengan nilai harganya, yang itu adalah hak


murni bagi pemilik harta. Jika dia menghendaki, maka dia akan
menanggungnya, bila tidak, dia ditinggalkan. Menahan benda
yang digadaikan adalah hak murni bagi si penerima gadai.
menagih hutang adalah hak yang murni bagi orang yang
menghutangkan. Jadi syari menetapkan hak-hak ini kepada
orang-orang yang mempunyai hak-hak itu. Mereka punya hak
pilihan jika mereka menginginkan bisa menunaikan hak-hak
mereka itu, dan bisa juga meninggalkan atau menyerahkan hakhak

itu.

Karena

setiap

mukallaf

mempunyai

hak

untuk

menggunakan dirinya. Semua itu tidak termasuk kemaslahatan


umum.9
Selanjutnya, setiap perbuatan sebagai objek hukum selalu
terkait dengan pelaku perbuatan yang dibebani taklif itu. Namun,
dapat tidaknya taklif itu dilakukakan orang lain berhubungan erat
dengan kaitan taklif dengan objek hukum. Dalam hal ini obyek
hukum terbagi tiga:
1. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi
yang dikenai taklif; seperti shalat dan puasa.
2. Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan dengan harta
benda pelaku taklif; seperti kewajiban zakat.
8 Ibid., hlm. 159.
9 Ibid.

10

3. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi dan


harta dari pelaku taklif; seperti kewajiban haji.
Setiap taklif yang berkaitan dengan harta

benda,

pelaksanaannya dapat digantikan oleh orang lain. Dengan


demikian pembayaran zakat dapat dilakukan oleh orang lain.
Setiap taklif yang berkaitan dengan diri pribadi, harus dilakukan
sendiri oleh yang dikenai taklif dan tidak dapat digantikan orang
lain. Setiap taklif yang berkaitan dengan pribadi dan harta yang
dikenai taklif dapat digantikan orang lain pada saat tidak mampu
melaksanakannya. Beberapa kewajiban haji dapat diwakilkan
kepada orang lain dalam keadaan tidak mampu.10
Sementara M. Abu Zahrah dalam salah satu bukunya
menegaskan, jumhur fuqaha berpendapat bahwa suatu amal
dapat diwakilkan walaupun tidak secara keseluruhan. Oleh
karena itu, mereka membagi amal perbuatan yang dibebankan
kepada umat manusia menjadi tiga macam11, yaitu:
1. Amal perbuatan yang dapat diwakilkan, yaitu setiap amal
perbuatan yang berkaitan dengan harta benda.
2. Amal perbuatan yang tidak dapat diwakilkan sama sekali,
yaitu amal perbuatan yang berbentuk ibadah secara fisik
seperti shalat, berpuasa, dan sejenisnya.
3. Amal perbuatan yang dapat diwakilkan bila ada udzur, yaitu
ibadah yang pelaksanaanya memerlukan tenaga fisik dan
harta benda, yakni ibadah haji. Ibadah haji mempunyai dua
dimensi, yaitu materi dan fisik. Bila seseorang mampu dalam
fisik dan materi, maka ia tidak diperbolehkan untuk untuk
mewakilkan ibadah haji tersebut. Akan tetapi jika fisiknya
tidak mampu untuk menjalankan ibadah haji, maka boleh

10 H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid I, hlm. 356.


11 M. Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), hlm. 525.

11

diwakilkan kepada seseorang yang telah mengerjakan haji


sebelumnya. Hal ini didasarkan hadist yang berbunyi:



..


: . :
:


.

Rasulullah Saw. melihat seseorang yang sedang


mengerjakan ibadah haji sebagai wakil dari orang lain.
Kemudian
beliau
bertanya
Apakah
engkau
sudah
mengerjakan ibadah haji untuk dirimu sendiri? Orang
tersebut menjawab Belum. Kemudian Rasulullah bersabda
Tunaikanlah ibadah haji untuk dirimu sendiri terlebih dahulu,
kemudian baru untuk orang lain.

12

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mahkum fih merupakan obyek hukum yang berkaitan dengan
perbuatan orang mukallaf yang menjadi obyek hukum syara, ia
dapat berupa perintah, larangan, maupun kebolehan. Baik yang
mampu

dikerjakan

maupun

tidak,

baik

berupa

kewajiban

terhadap Allah maupun terhadap sesamat umat manusia


Secara umum mahkum fih terbagi menjadi empat bagian dari
aspek keberadaan materil, yaitu:
1) Perbuatan yang secara materiil ada tetapi tidak termasuk
perbuatan yang terkait dengan syara seperti makan, minum.
2) Perbuatan yang secara materiil ada dan menjadi sebab adanya
hukum syara, seperti pencurian, perzinaan, pembunuhan.
3) Perbuatan yang secara materiil ada dan baru bernilai dalam
syara apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan,
seperti shalat dan zakat.
4) Perbuatan yang secara materiil ada dan diakui syara serta
mengakibatkan adanya hukum syara yang lain, seperti
pernikahan, jual beli, dan sewa menyewa.
Sedangkan apabila dilihat dari hak yang terdapat di dalam
perbuatan itu, mahkum fih juga terbagi ke dalam 4 jenis yaitu:
1) Semata-mata

hak

Allah,

yaitu

segala

sesuatu

yang

menyangkut kemaslahatan umum tanpa kecuali.


2) Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu

yang

menyangkut hak pribadi seseorang, seperti ganti rugi barang


yang rusak.
3) Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak
Allah lebih dominan, seperti hukuman qazaf
4) Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak
hamba lebih dominan seperti hukum qisas.

13

B. Saran
Demikianlah penulisan makalah ini kami buat, kiranya penulis
sadar betul masih banyak terdapat kekurangan disana-sini
karena keterbatasannya keilmuan dan pemahaman penulis yang
masih dalam tahap proses pembelajaran. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kepada para pembaca untuk bisa memberi
masukan atau kritik demi perbaikan kepenulisan makalah ini
dikemudian hari. Semoga apa yang penulis tuangkan dalam
makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi salah satu tambahan
khazanah keilmuan bagi kita semua. Aamiin

14

SENARAI PUSTAKA
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Bandung:
Risalah, 1985.
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997.
Chairul Umam dkk., Ushul Fiqh I, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Rahmat Syafie, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS,
Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Shodiqin, Ali dkk., Fiqh Dan Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan
Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: Pokja UIN Sunan
Kalijaga, 2014.

15

Anda mungkin juga menyukai