Anda di halaman 1dari 68

sugar

i n s i g h t

Produksi
Gula 2013
Lesu
Era Baru
Asosiasi
Gula
Indonesia

revitalisasi industri gula

Rp. 28.500,-

edisi perdana

daftar isi

Etalase

Kilas Iltek

Opini

SunSweet
Brown Sugar

PTPN XI Adopsi Teknologi


Pembibitan Tebu dari Kolumbia

Raja Gula,
Siap
Menembus
Pasar Ritel

Gula Tebu Cair Penetrasi Solo

Industri Gula,
Hendak Dibawa
ke Mana?

Pemkab Banjarnegara Galakkan Tanam Tebu


Limbah Tebu Tingkatkan Produksi Gula

Konspirasi
Kemakmuran
Gula ... Hal 40

39

36

28

Orasi

Dialog

Riset

Membalik
Arus
Guremisasi
Petani dan
Pertanian

Era Baru
Asosiasi
Gula
Indonesia

Sepatutnya Riset Gula


Diberdayakan
Menuju Varietas Tebu
Spektakuler ... Hal 30
Sumber Benih Tebu
dengan Teknik Kultur
Jaringan ... Hal 34

42

48

Ekonomi

Cerobong

Produksi Gula 2013


Lesu

GMP: Optimis Menatap


Industri Gula

Ketika Bioetanol
Menjadi Kewajiban
... Hal 46

Mungkinkah Sinergitas
Pabrik Gula Tebu dengan
Rafinasi? ... Hal 52
Pabrik Gula Blora:
AyukNandur Tebu ... Hal 54

sugar insight | Desember 2013

Stop Pembangunan
Stand Alone Refinery
Factory ... Hal 18
Quo Vadis Revitalisasi
Pabrik Gula ... Hal 22
Kesejahteraan Petani
Tercekik di Negeri
Sendiri... Hal 25

SWASEMBADA GULA
RIWAYATMU KINI
12 Fokus

Industri gula Indonesia masih tak jelas kemana arahnya. Swasembada gula
yang telah dicanangkan tak kunjung terwujud. Swasembada hanya sekadar
wacana dari roadmap. Kapan akan berjaya di tanah sendiri jika jalan pintas
impor lebih diutamakan.

58

62

Sosok

Jalan-jalan

Bambang Sugiharto,
Penemu Tebu
Transgenik
HOBI SAYA BEKERJA
DAN BELAJAR

Museum Gula, Klaten:


SAKSI BISU KEJAYAAN
GULA NASIONAL

sugar insight | Desember 2013

editorial
Kebimbangan Arah Gula Nasional

ersoalan klasik dalam pergulaan nasional yang terus


mencuat ke permukaan semakin menenggelamkan
semangat swasembada gula Indonesia. Betapa
tidak, rencana swasembada gula nasional masih
saja mandeg di sebuah persimpangan antara
kesejahteraan petani tebu dengan impor gula rafinasi.
Sejarah telah mancatat, sekitar tahun 1930-an Indonesia
mampu menjadi produsen gula terbesar dan menjadi eksportir gula
unggulan. Namun, apa yang terjadi saat ini sangatlah berbalik 180
derajat. Pergulaan Indonesia dalam kebimbangan. Gula dalam negeri
yang dihasilkan dari tebu menemukan kegamangan mulai dari hasil
produksi hingga harga yang mempengaruhi kesejahteraan kehidupan
petani tebu. Terlepas dari masalah teknis lapangan, sejarah
pun menjelaskan bahwa dari masa ke masa, dimulai dari masa
penjajahan kolonial Belanda hingga kini, petani tebu selalu berada
dalam lingkaran centrum-periphery. Lingkaran yang dilingkupi
dengan kekuatan pabrik gula dengan dukungan pemerintah yang
mengangkangi kesejahteraan petani.
Alangkah bijaknya apabila pemerintah dan pemangku
kepentingan dalam industri gula melihat tebu yang menghasilkan
gula bukan saja dari sisi komoditas ekonomi, melainkan lihatlah
dari sisi budaya sosio-kultural. Tebu bukan saja sebagai tanaman
produksi, namun jauh dari hal itu, tebu adalah bagian dari budaya
masyarakat yang menanamnya. Seperti akarnya yang tertanam dalam
tanah, akar budaya yang diciptakan oleh tebu telah mendarah daging
di kehidupan masyarakatnya.
Satu masalah belum terpecahkan, muncul lagi masalah gula
rafinasi yang merembes ke pasar tradisional. Tak hanya merembes,
bahkan dalam beberapa kasus gula rafinasi digunakan untuk
konsumsi kebutuhan sehari-hari rumah tangga. Apakah ini salah PG
Rafinasi? Apakah ini salah pengusaha gula rafinasi dan distributor?
Atau kembali lagi ini kesalahan pemerintah dalam membuat
kebijakan? Pada fase ini kita harus secara cerdas dan gamblang
melihat persoalannya. Bukan memfokuskan siapa yang menjadi
kambing hitam, namun kita harus bisa berfikir bahwa masalah ini
harus segera dipecahkan.
Sejalan dengan aturan dari kementerian pertanian yang akan
mengeluarkan SNI untuk gula kristal putih (GKP). Disinilah
peran Asosiasi Gula Indonesia (AGI), petani tebu dan pemangku
kepentingan bergandengan tangan untuk meningkatkan mutu
GKP demi tercapainya gula yang sesuai dengan SNI dan tercapai
swasembada gula Indonesia. l

Agus Supriono

sugar insight | Desember 2013

sugar
i n s i g h t

Dewan Penasehat :
Adi Prasongko, Rudi Ch
Basarah, Kusumandaru NS
Pemimpin Umum :
Tito Pranolo
Redaksi Senior :
Achmad Widjaya, Husein Sawit,
Adig Suwandi, Ali Susmiadi,
Yadi Yusriadi
Pemimpin Redaksi/
Penanggung Jawab:
Agus Supriono
Staff Redaksi :
Cici Wardini, Untung Prasetyo,
Nandia Gustini, Ilfan Akbar,
M. Iqbal
Desainer Grafis :
Dhoni Nurcahyo
Sekretaris :
Kartini
Produksi dan Sirkulasi :
Soekoharjo dan Mukimin
Keuangan :
Maskhuro dan Trisna Maulina

Penerbit:
Asosiasi Gula Indonesia (AGI)
Apartemen The Boulevard Lt. UG C-1
Jl. KH. Fakhrudin No. 5
Jakarta Pusat 10250
Telp/ Fax (021) 31991482 . Email:
asosiasigula@gmail.com
Rekening : No. 1210090012109
Bank Mandiri Cab. Jakarta Fakhrudin
a.n Asosiasi Gula Indonesia

Kami menerima artikel mengenai


industri gula. Tulisan yang sesuai
akan kami muat setelah ada
persetujuan dari rapat Dewan
Redaksi. Terimakasih
Kirimkan ke:
insightsugar@gmail.com

etalase
SunSweet Brown Sugar

alah satu produk gula yang


berasal dari Afrika Selatan dan
mungkin tidak asing lagi bagi
warga masyarakatnya adalah Hullets.
Berdiri sejak tahun 1982, Hullets
merupakan bagian dari perindustrian
negara yang tidak terelakan dari
kehidupan Afrika Selatan. Dengan
pendapatan per kapita yang saat
ini diperoleh konsumen, mereka
setidaknya menginginkan kenyamanan
dalam pengeluaran dengan tetap
mendapatkan makanan yang
berkualitas. Hal inilah yang hingga
saat ini menjadikan Hullets memiliki
posisi konsisten sebagai produk
gula nomor wahid di Afrika Selatan.
Kualitas Hullets juga mendapatkan

akreditasi yang baik dengan Sertikasi


ISO 9001:2008.

Raja Gula, siap menembus pasar ritel

erusahaan BUMN yang


bergerak di bidang Agro
Industri, Farmasi dan Alat
Kesehatan dan Perdagangan &
Distribusi, pada Juli lalu meluncurkan
produk gula kemasan dengan nama
Raja Gula. Direktur Utama PT
Rajawali Nusantara Indonesia (RNI),
Ismed Hasan Putro mengatakan
bahwa kebutuhan akan gula jenis
premium semakin meningkat seiring
dengan konsumen kelas menengah,

mereka lebih memilih mengonsumsi


gula yang incumsanya dibawah 100%.
Oleh karena itu, gula kemasan ini
berjenis gula premium.
Pada tahun ini RNI akan
memperbesar pangsa pasar penjualan
gula dalam bentuk sachet dan kiloan.
RNI telah bekerjasama dengan
Alfamart serta Giant untuk menunjang
distribusi pasar retail hingga pasar
modern yang akan menjual Raja
Gula sachet. Disamping itu, RNI

Dipasaran, Hullets dianggap


memiliki produk gula yang
memuaskan serta inovasi yang
beragam. Produk tradisional Hullets
ini berupa white sugar dan brown
sugar dengan berbagai produk
eceran seperti sirup, icing, bahkan
untuk kebutuhan catering dan
industri. Sebagai perusahaan yang
sehat dan terus melakukan inovasi,
baru-baru ini Hullets mengeluarkan
produk brown sugar dengan nama
8kg SunSweet Brown Sugar. Ini
sekaligus menjawab kebutuhan
masyarakat Afrika Selatan akan
produk Hullets dengan konsep easycarry pack. l
sumber: http://www.hulettssugar.co.za

juga menjualnya di outlet khusus


milik sendiri yaitu Rajawali Mart
dan Waroeng Rajawali. RNI akan
menjual produk Raja Gula dengan 7
varian kemasan, yaitu seperempat kg,
setengah kg, 1 kg, 5 kg, 25 kg, dan 50
kg. Ismed juga mengatakan, pihaknya
memperkecil penjualan gula dalam
bentuk bulk. Sehingga, dari 170 ribu
ton produksi gula di pabrik milik RNI
tahun ini, sebanyak 140 ribu ton akan
dijual dalam bentuk kemasan dan
kiloan, sedangkan sisanya masih dapat
dijual dalam bentuk bulk.
PT RNI melalui anak perusahaannya
PT Rajawali Nusindo dapat melakukan
distribusi ke seluruh penjuru Indonesia
dengan 42 cabang yang dimiliki.
Bahkan sampai saat ini, diperkuat
dengan kepemilikan jaringan ritel yaitu
Rajawali Mart dan Waroeng Rajawali
serta dukungan mitra ritel nasional
lainnya. Penjualan produk baru Raja
Gula kemasan dapat diharapkan dapat
menembus pasar ritel sehingga dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat.
sumber: www.rni.co.id

sugar insight | Desember 2013

kilas iltek

PTPN XI Adopsi Teknologi


Pembibitan Tebu
dari Kolumbia

rodusen gula nasional PT


Perkebunan Nusantara
XI mengadopsi teknologi
pembibitan tebu dari Kolumbia
dengan model single bud planting
atau penanaman tunas tunggal
untuk meningkatkan produktivitas
tanaman dan efisiensi penggunaan
bibit. General Manager Penelitian
dan Pengembangan Usaha PTPN XI,
Adig Suwandi mengemukakan selain
lebih efisien, jenjang pembibitan
model single bud planting (SBP)
dapat diakselerasi dari empat tahun
menjadi hanya 1-2 tahun, atau lebih
cepat dibanding pola konvensional
berjenjang. Model ini juga sangat
tepat diterapkan untuk menyiasati
keterbatasan lahan tebu yang
cenderung menyusut luasnya setiap
tahun. Melalui model ini, penangkaran
bibit bisa lebih meningkat dari hanya
delapan menjadi 25, katanya.
Artinya, lanjut Adig, bila cara
pembibitan konvensional satu hektar
kebun bibit hanya menghasilkan bibit
untuk 5 ha areal tebu giling tertanam,
dengan model SBP dapat dihasilkan
bibit untuk kebutuhan 25 ha areal
tebu. Dari sisi waktu juga lebih cepat,
6

sugar insight | Desember 2013

dimana lama pembibitan model SBP


dapat dipersingkat dari enam bulan
menjadi hanya dua hingga 2,5 bulan.
Uji coba model SBP telah dilakukan
PTPN XI pada 2012 dengan hasil
sangat meyakinkan, tambahnya.
Adig menambahkan PTPN XI
sebagai salah satu produsen gula
nasional terus berupaya meningkatkan
produktivitas pada semua lini
kegiatan, termasuk melalui tersedianya
bibit unggul sebagai kunci utama
meningkatkan produktivitas. Dari areal
tebu giling musim 2013/2014 yang
diusahakan PTPN XI seluas 74.390 ha,
di dalamnya terdapat tanaman baru
pada lahan 8.345 ha dan sebagian di
antaranya telah menggunakan bibit
SBP yang secara khusus dialokasikan
untuk tanaman bulan Mei-September
2013.
Sejauh ini, tambah Adig,
penyediaan SBP merupakan cara
penyiapan bahan tanam yang
diambilkan dari mata tunas untuk
disemaikan selama dua minggu dan
selanjutnya dipindahkan ke pot tray
selama dua bulan yang dilakukan
masing-masing pabrik gula. l
www.antaranews.com

Gula Tebu Cair


Penetrasi Solo

roduk gula tebu cair pertama


diperkenalkan di Indonesia.
Solo menjadi target pertama
pemasaran produk yang dihasilkan
PT Gula Energi Nusantara (GEN) ini.
Produk gula cair sebenarnya sudah
ada di pasaran sejak beberapa tahun
terakhir. Namun, gula cair tersebut
bukan berasal dari tebu, melainkan
dari jagung dan singkong.
Ini merupakan gula tebu cair
yang pertama di Indonesia. Teknologi
mesin untuk proses produksi kami
kembangkan sendiri. Makan waktu

hingga tujuh tahun untuk itu, ucap


Direktur PT GEN, Joko Budi Waryono
saat perkenalan produk gula tanpa
merek ini di Cees Resto, September
lalu. Gula produksi Semarang ini
telah mengantungi sertifikat halal dan
izin dari Dinas Kesehatan. Dikemas
dengan berbagai ukuran, produk ini
bakal membidik dua segmen pasar,
yakni ritel dan industri. Untuk pasar
ritel, produk ini akan dipenetrasikan
lewat jaringan mini market. Gula ini
baru dipasarkan di Solo lewat jaringan
Atria. Di kota lain akan segera tersedia,
setelah kerja sama dengan beberapa
ritel, ungkap dia.
Di sisi pasar industri, Joko telah
membidik salah satu produsen mi instan
dan produsen kecap untuk menjadi
suplier. Penggunaan gula cair, terutama
di kalangan industri akan sangat praktis
dan efisien dibanding gula kristal. Sebab
gula kristal pada akhirnya akan dicairkan
saat digunakan. Dengan menggunakan
gula tebu cair, proses pelarutan gula
tidak perlu dilakukan. l
www.suaramerdeka.com

Pemkab Banjarnegara
Galakkan Tanam Tebu

emkab Banjarnegara akan


memperluas areal tanaman
tebu hingga 500 ha. Untuk
menjamin pemasaran tebu, segera
diadakan kerjasama dengan PT
Industri Gula Nusantara (IGN)
Kendal. Bupati Banjarnegara Sutedjo
Slamet Utomo mengatakan, luas areal
tebu kini mencapai 250 ha, tersebar di
Kecamatan Rakit, Punggelan, Susukan,
Bawang Purwanegara. Kami sudah
menyiapkan 500 halahan non irigasi
teknis atau tidak produktif untuk
ditanami tebu, katanya.
Beberapa hari sebelumnya, Bupati
Sutedjo beraudiensi dengan jajaran
direksi PT IGN Cepiring Kendal.
Menurut Bupati Sutedjo, jika kerja
sama berjalan lancar, tentu jumlah
petani tebu akan terus bertambah. IGN
juga memiliki teknologi pupuk organik
yang sudah teruji dibidang perkebunan
tebu, sehingga teknologi ini bisa di
jadikan untuk media pembelajaran bagi
petani tebu. Kepala Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Nurudin mengatakan,
kerjasama dengan IGN nantinya bukan
hanya penambahan bahan baku tebu
namun juga peningkatan kualitas pupuk
non organik. Menurutnya, setiap satu
hektar lahan di Banjarnegara mampu
menghasilkan 100 ton tebu siap giling. l
www.KRjogja.com

Limbah Tebu Tingkatkan Produksi Gula

alah satu penyebab turunnya


produktivitas dan rendemen
tebu ialah alih fungsi lahan
dan menurunnya kesuburan tanah.
Ditambah lagi, kebijakan pemerintah
melalui Undang-Undang No.12 tahun
1996 memperparah kondisi industri
gula Indonesia. Gula berkualitas tinggi
ialah gula rafinasi karena telah melalui
proses penyulingan, penyaringan,
dan proses pembersihan. Namun,
teknologi untuk menghasilkan gula
rafinasi belum banyak berkembang di
Indonesia.
Dari persoalan itu, dua mahasiswa
Departemen Teknologi Hasil Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor (IPB)
mencoba melahirkan solusi dengan
menggunakan limbah pertanian.
Mereka adalah Bayu Irianto dan Prisca
Sari Paramudhita.
Limbah pertanian
bisa dimanfaatkan untuk
mengembangbiakkan mikroba simbion
yang berasal dari organisme laut.
Mikroba ini bisa mendegradasi subtrat
limbah pertanian khususnya limbah
tebu yang menghasilkan gula dengan
derajat kemurnian tinggi.

Dalam tulisannya, mereka


memaparkan proses hidrolisis enzim
selulosa menggunakan mikroba
simbion tergolong cepat dan efisien
karena dilakukan melalui proses
kimiawi. Mikroba laut merupakan
salah satu agen pendekomposisi yang
baik karena memiliki daya saing yang
tinggi. Penggunaan teknologi mikroba
laut simbion untuk menghasilkan gula
berafinasi tinggi memiliki beberapa
keunggulan. Mulai dari sifatnya yang
ramah lingkungan, relatif mudah
didapat, biaya produksi lebih rendah di
banding teknologi konvensional, dan
dapat menghasilkan gula pada suhu
rendah.
Keduanya berpendapat, suhu
merupakan salah satu titik kritis
dalam produksi gula. Suhu yang
terlalu tinggi dapat membuatnya
meleleh dan menurunkan kualitas.
Pengembangan teknologi gula
berafinasi tinggi berbasis limbah
pertanian diharapkan dapat terlaksana
dengan memanfaatkan kerjasama dari
Kementerian Pertanian, ilmuwan, dan
industri gula di Indonesia sehingga
dapat mewujudkan swasembada gula
nasional. l www.okezone.com
sugar insight | Desember 2013

Opini

Industri Gula, Hendak Dibawa ke Mana?

Adig Suwandi
Redaktur Senior
Sugar Insight

sugar insight | Desember 2013

ejak Indonesia menganut


kebijakan ekonomi dan
secara praktis terintegrasi
ke dalam kapitalisme global,
berbagai aturan tentang perdagangan
merujuk ke sana. Tarik ulur antara
keberpihakan kepada ekonomi
domestik dengan daya saing terseokseok atau mengambil peran bermitra
dengan negara-negara lain untuk
mendatangkan produk impor dengan
harga jauh lebih murah dan mutu
lebih baik seringkali membuat bingung
para pengambil kebijakan. Sikap
pragmatis dan terjebak kepentingan
sesaat dengan alasan terdesak situasi
akhirnya menjadi pilihan, tidak peduli
korban berjatuhan terus bertambah.
Gula menjadi komoditas pangan
dengan tarik ulur tidak terlalu
mudah bagi pemuasan publik. Ketika
dihadapkan pada harga, posisi negara
berada di ujung tanduk dilema. Harga
ekstrim tinggi membuat konsumen
berteriak, khususnya industri kecil
dan kegiatan pengolahan pangan
kelas rumah tangga pengguna untuk
keperluan bahan baku. Sebaliknya
bila harga jatuh terpelanting, petani
tebu dan pabrik gula (PG) menderita.

Petani melancarkan protes dan pasti


menuding negara tidak berpihak.
Keberadaan petani selaku pemasok
bahan baku PG mengharuskan
setiap kebijakan terkait gula perlu
mendengar suara mereka. Kealpaan
negara menimbang suara petani
bisa berakibat fatal. Bukan saja
reputasi dan kredibilitas pemerintah
terancam turun, tetapi juga gerakan
pasif hengkang dari tanaman tebu
pastilah memberikan sinyal buruk bagi
swasembada dan kemandirian pangan.
Pembenahan Internal
Persoalan gula sendiri sudah terlalu
kompleks. Secara internal, sebagian
besar PG, terutama di Jawa merupakan
warisan kolonial. Setelah beberapa PG
dibekuoperasikan pada awal abad ini,
sebagian memang sudah lolos hingga
kapasitas terpasang secara bertahap
meningkat sejalan bertambahnya
bahan baku dari petani dan kecerdasan
manajemen mengelola lingkungan.
Sebut saja beberapa PG berkapasitas
1.200-1.500 ton tebu sehari (tth) yang
kini sudah merangkak naik menuju
3.000-3.500 tth. Namun demikian,
kita juga tidak bisa menutup mata

masih terdapatnya sejumlah PG


mengalami kesulitan beroperasi
dengan baik akibat minimnya
tebu. Tidak mengherankan kalau
manajemen perusahaan mengalihkan
sebagian tebu di kawasan tertentu
demi menjaga kelangsungan hidup
PG minus bahan baku meskipun
secara ekonomi sebenarnya lebih
feasible kalau PG terdekat ditingkatkan
kapasitasnya.
Sampai saat ini kinerja teknis
sejumlah PG juga belum terlalu baik,
setidaknya dilihat overall recovery yang
jauh dari angka standar internasional.
Penggantian mesin dan peralatan
secara berkala sudah dilakukan
dengan investasi tidak kecil agar
kondisi optimal pabrik tua dapat
dikembalikan, tetapi hasil belum
sebagaimana diharapkan. Terjadi

tarik ulur apakah rendahnya efisiensi


pabrik membuat petani kekurangan
stamina menanam tebu ataukah akibat
tebu petani bermutu apa adanya
efisiensi PG sulit diungkit. Tebu
kotor, tidak ditebang saat kemasakan
optimal, dan diangkut pada kondisi
tidak segar merupakan rentetan
persoalan klasik yang tidak kunjung
usai. Efisiensi pabrik menjadi faktor
kunci, dari sinilah semua material
mengandung gula diproses dalam good
manufacturing practices.
Perbaikan internal pada level
kebun terus dilakukan meskipun
hasilnya juga belum terlalu sempurna.
Penataan varietas berjalan simultan
mengikuti komitmen petani untuk
mendapatkan manfaat ekonomi lebih.
Selama produktivitas masih di bawah
8,5 ton gula per hektar, memang harga
sugar insight | Desember 2013

Opini
pokok produksi (unit cost) gula pada
level petani belum dapat mengimbangi
eskalasi biaya produksi. Kenaikan nilai
sewa lahan, harga bibit, agroinputs,
upah tenaga kerja, panen, dan
transportasi sering berjalan lebih cepat
dibanding produktivitas.
Kesadaran petani untuk
melaksanakan best agricultural
practices pun bertambah setelah
mereka tahu bahwa hanya tebu terbaik
menghasilkan rendemen optimal.
Namun pengaturan jadwal tebangangkut dan panjangnya antrian tebu
masuk pada periode tertentu bisa
membuat mereka kecewa. Kalkulasi
jumlah tebu dan pengaturan tentang
pola tebang yang baik hanya terjadi
bila pemantauan jumlah tebu
dilakukan secara periodik berdasarkan
data akurat.

Daya saing menjadi kunci


penyelesaian kemelut gula.
Kesediaan para stakeholders
untuk berperan dan bekerja
dengan kontribusi optimal
sesuai peran masing-masing
dipertaruhkan di sini.

Sayangnya para petani seringkali


terlalu memaksa bahwa tebu harus
ditebang pada periode Juli-September
meski dari sisi kemasakan belum
terpenuhi. Keinginan petani sangat
mudah ditebak. Mereka beranggapan
bahwa rendemen tertinggi terjadi pada
periode tersebut dan Oktober adalah
hujan normal mulai mengguyur.
Kreativitas PG untuk mengubah kurva
rendemen melalui perbaikan budidaya
menjadi krusial. Rendemen efektif
bukanlah fungsi perode giling, tetapi
kombinasi antara kemasakan, kualitas
tebu, pola tebang, dan efisiensi pabrik.
Selama PG belum berkemampuan
meyakinkan petani akan terjadinya
10

sugar insight | Desember 2013

fenomena tersebut, isyarat akumulasi


tebu pada periode tertentu tak dapat
dihindari. Sebaliknya pada awal
giling, petani tidak tertarik menebang
tebu dengan alasan klasik rendemen
rendah.
Berbagai upaya telah dilakukan
manajemen perusahaan gula untuk
mengembalikan kepercayaan petani
terhadap PG. Langkah-langkah
tersebut antara lain mencakup
penyediaan dana talangan (bridging
financing) selama gula belum terjual,
jaminan rendemen minimum sesuai
kualitas tebu, dan potongan harga
pembelian bibit bagi mereka yang
bersedia membongkar keprasan lanjut
dan menggantinya dengan varietas
baru (bongkar ratoon). Persoalan tidak
juga selesai mengingat akumulasi
semua kegiatan dalam usahatani
adalah diperoleh pendapatan dan
sisa hasil usaha secara wajar. Tingkat
kewajaran bahkan dibandingkan
komoditas agribisnis lain kalau
ditanam pada lahan sama, apalagi
untuk mendapatkan hasil dari tebu
diperlukan waktu setahun, sedangkan
sejumlah komoditas agribisnis lain
hanya 4 bulan. Daya saing menjadi
kunci penyelesaian kemelut gula.
Kesediaan para stakeholders untuk
berperan dan bekerja dengan
kontribusi optimal sesuai peran
masing-masing dipertaruhkan di sini.
Kehadiran Negara
Kehadiran negara selaku fasilitator dan
regulator gula tidak bisa dipungkiri.
Melalui kewenangan dimiliki dan
komitmen melindungi kaum lemah,
negara dapat melakukan tindakan
penyelamatan dan pemberdayaan
terhadap pelaku ekonomi lokal.
Keberpihakan negara bahkan
diperlukan dalam suasana ekonomi
dualitis dan terpolarisasikan seperti
sekarang. Kegagalan negara dalam
menjalankan peran keberpihakan bisa
berakibat fatal terhadap kelangsungan
hidup dan masa depan industri gula
nasional. Pelaku ekonomi, baik terlibat

langsung seperti petani tebu dan


pekerja PG maupun komunitas lokal
yang selama ini mendapatkan manfaat
dari multipler effects, semakin di ujung
tanduk ketidakjelasan.
Salah satu bentuk keberpihakan
tersebut adalah pengaturan pasar
melalui pemilahan segmen secara
jelas antara gula rafinasi hanya untuk
industri makanan/minuman dan
gula lokal dari tebu untuk konsumsi
langsung (direct conbsumption).
Memang di seluruh dunia, hanya
Indonesia yang melakukan separasi
dan pembedaan pasar di antara kedua
jenis gula. Relevansi pemisahan
semata-mata karena basis persaingan
di antara keduanya tidak paralel. Gula
rafinasi berbahan baku raw sugar
impor dimungkinkan selama masa
pengembangan dan berorientasi
ekspor mendapatkan fasilitas
keringanan bea masuk 0-5 persen.
Tidak menanam tebu selama
setahun dengan risiko guncangan
agroklimat genggaman gula rafinasi
melengkapi tidak paralelnya
persaingan. Sementara gula
lokal berbahan baku tebu harus
dibudidayakan selama setahun dengan
risiko besar, khususnya faktor iklim.
Selain itu, bila PG berkeinginan
mengoptimalkan kapasitas kemudian
mengimpor raw sugar tetap terkena
kewajiban membayar bea masuk
Rp 550 per kg. Banyak pihak salah
kaprah dengan menganggap seolaholah gula lokal tidak siap bersaing
melawan rafinasi di pasar tanpa
membaca landscape persaingan secara
proporsional.
Industri gula rafinasi seharusnya
sudah membangun kebun di
sejumlah daerah. Bila lokasi pabrik
sekarang sudah tidak sesuai dengan
alasan jauh dari kebun, seharusnya
direlokasi saja ke dekat kebun yang
bakal dibangun. Sayangnya negara
sendiri tidak berdaya saat sejumlah
perusahaan berkeinginan membangun
PG dan meminta lahan tersedia bebas
permasalahan dan konflik. Tanpa

pembangunan kebun selama itu pula


gula rafinasi terperangkap impor
berkepanjangan. Tidak menjadi
masalah kalau harga gula dunia murah,
tetapi bisa menjadi bumerang begitu
terjadi kegagalan panen di sejumlah
negara produsen utama yang memicu
minimnya stok dan melejitnya harga
seperti kedelai sekarang. Belum
adanya tanda-tanda kalangan industri
gula rafinasi membangun kebun dan
kini sudah eksis 11 pabrik berkapasitas
terpasang sekitar 5 juta ton, membuat
petani tebu semakin galau. Dari total
produksi 2,4 juta ton ton saja sudah
memantik kekecewaan petani, apa
jadinya kalau kapasitas terpasang
tersebut terpenuhi.
Murahnya harga raw sugar dunia
dan besarnya pasar di Indonesia
menjadikan investasi terkait industri
gula rafinasi tak pernah surut. Selama
investasi memberikan keuntungan
besar, rasanya apa pun bakal ditempuh
investor. Ekspansi pabrik memang
diperlukan guna mengimbangi
permintaan produk oleh kalangan
industri makanan/minuman yang
berkembang pesat. Namun kalau
pembiaran rembesannya ke pasar
terus terjadi, komitmen negara terkait
perlindungan petani dan PG lokal
patut dipertanyakan. Pertanyaan
selanjutnya, hendak dibawa ke mana
industri gula kita?
Tampaknya pengaturan oleh
negara menuju harmonisasi
kepentingan di antara berbagai
stakeholders sedang digugat.
Penguatan basis produksi gula dalam
negeri menjadi keharusan sejalan
meningkatnya jumlah penduduk dan
makin beragamnya menu makanan
masyarakat yang memerlukan, baik
untuk pemanis berkalori maupun
bahan baku. Tanpa upaya konkret,
liberalisasi perdagangan dipastikan
menggilas kekuatan petani tebu dan
PG. Dalam konteks kemandirian
pangan, bagaimana pun juga
kepentingan nasional harus berada di
atas segala-galanya. l
sugar insight | Desember 2013

11

fokus

SWASEMBADA GULA
RIWAYATMU KINI
Industri gula Indonesia masih
tak jelas kemana arahnya.
Swasembada gula yang telah
dicanangkan tak kunjung
terwujud. Swasembada
hanya sekadar wacana
dari roadmap. Kapan akan
berjaya di tanah sendiri jika
jalan pintas impor lebih
diutamakan.
Oleh: Cici Wardini

12

sugar insight | Desember 2013

arget kemandirian gula


nasional sebenarnya sudah
digaungkan sejak tahun
2002, namun gaung itu ternyata tak
bertaji. Tak kurang satu dasawarsa
lebih ternyata pemerintah tak
mampu merealiasikan targetnya.
Pertanyaannya kemudian, mengapa
kita tidak berdaya dengan target
swasembada? Apa yang menjadi akar
masalah? Dua persoalan utama yang
sering dianggap sebagai hambatan
tak mulusnya swasembada adalah
kebutuhan lahan seluas 350 ribu ha
yang sulit diperoleh (ekstensifikasi)
dan sebagian besar Pabrik Gula (PG)
yang kondisinya tak lagi segar. Seperti
yang dikatakan Rusman Heriawan,
Wakil Menteri Pertanian, dalam satu
kesempatan pernah menyebutkan jika
kendala tak mulusnya swasembada
gula lebih pada dua permasalahan
tersebut.
Produksi dan problem kita perlu
lahan 350 ribu ha kan tidak mudah
juga, kata Rusman. Senada dengan
wakilnya, Suswono, Menteri Pertanian,
juga menyebutkan faktor pendukung
pencapaian swasembada tidak
terpenuhi diantaranya bersumber
dari persiapan lahan seluas 350 ribu
ha yang tak terealisasi, belum lagi
pembangunan PG baru dan revitalisasi
PG yang tak kunjung tercapai.

sugar insight | Desember 2013

13

fokus
Suswono kemudian menegaskan
bahwa Kementerian Pertanian akan
mengevaluasi dan memfokuskan
pada pemenuhan konsumsi rumah
tangga. Seperti diketahui, di Indonesia
sendiri pemahaman swasembada
gula dikatakan sudah berhasil apabila
pemenuhan kebutuhan konsumsi
rumah tangga sudah terpenuhi.
Pengertian ini sebenarnya masih
menimbulkan kerancuan, seperti yang
dikatakan Direktur Pusat Penelitian
Perkebunan Gula Indonesia (P3GI),
Aris Toharisman. Ia berpendapat
bahwa swasembada dalam pengertian
terbaru adalah memenuhi semua
kebutuhan. Tetapi kan orang kadang
cari celah, kalau untuk konsumsi
langsung sudah terpenuhi maka
sudah swasembada atau 90% sudah
swasembada, ujar Aris.
Ditemui saat acara Musyawarah
Nasional Gabungan Asosiasi Petani
Perkebunan Indonesia (Gapperindo),
Suswono juga sempat mengingatkan
Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia
(APTRI) agar ikut mengawasi
keberhasilan swasembada. Ia juga
menceritakan pengalamannya
berkunjung ke PG untuk mengatahui
permasalahan di lapangan. Rendemen
delapan itu hak petani. Ini kenapa
tidak tercapai? Padahal ada APTRI?
tuding Suswono. Ia kemudian
memberi benang merah terkait
jatuhnya rendemen tebu rakyat.
Menurutnya, rendemen menjadi
rendah akibat tiga hal seperti
persoalan pabrik yang tidak efisien,
PG yang disinyalir berbuat curang dan
tak jujur, dan masalah dari tanaman
tebu itu sendiri. Saya kemudian
kasih Rp10 juta untuk ditongkrongin
ternyata setelah satu minggu berjalan
rendemen naik menjadi 7, tandas
Suswono. Ia lanjut mengatakan bahwa
masalah lebih pada faktor manusia
yang berbuat curang. Padahal ada
APTRI, ujarnya lagi.
Namun, berdasarkan pantauan
sejumlah pengamat, persoalan tak
selesainya kemandirian gula nasional
14

sugar insight | Desember 2013

ini seharusnya lebih dilihat aspek


kebijakannya. Agus Pakpahan, Ketua
Badan Eksekutif Gapperindo menilai
harus ada konsistensi kebijakan jangka
panjang bagi pergulaan nasional. Tak
hanya itu, sebagai wujud konsistensi
tersebut perlu dibangun institusi
sedia payung sebelum hujan.
Bukan tanpa alasan mengapa Agus
mengusulkan antisipasi kebijakan ini.
Menurutnya, berdasarkan perkiraan
Bank Dunia tahun 2025, harga
komoditas seperti sawit dan gula akan
menunjukkan tren harga yang terus
turun.
Untuk itu, antisipasi yang harus
segera dilakukan pemerintah adalah
serius tangani nilai tambah dari
satu komoditas. Industrialisasi itu
diciptakan. Makna industrialisasi
meningkatkan permintaan pasar

Services Business & Finance Manager


PT Gunung Madu Plantation
menyebutkan perlu pembenahan baik
secara intensifikasi dan ekstensifikasi.
Belum ada yang bisa delapan ton per
ha di Indonesia maka intensifikasi
harus lebih digetolkan. Langkah
ekstensifikasi juga tidak ada komitmen
yang jelas (dari pemerintah-red), kata
Gunamarwan.
Suara lain juga didengungkan oleh
Direktur PTPN IX, Adi Prasongko. Ia
menilai setidaknya ada dua hal yang
menjadi pekerjaan rumah pemerintah.
Pertama adalah kebijakan tata niaga
gula yang semestinya harus menjadi
satu. Selama ini menurut Adi kebijakan
raw sugar untuk industri gula
rafinasi ditangani oleh Kementerian
Perindustrian, sementara untuk
Gula Kristal Putih (GKP) diurusi

Industrialisasi itu diciptakan.


Makna industrialisasi meningkatkan
permintaan pasar bahan baku yang
satu menjadi banyak sehingga petani
dihadapkan pada banyak harga.
bahan baku yang satu menjadi banyak
sehingga petani dihadapkan pada
banyak harga, ujar Agus. Upaya
yang lainnya menurut Agus adalah
kontrak melalui pasar yang modern.
Kita harus menjamin harga sekarang
misalnya lima tahun ke depan, harus
ada kontrak delivery untuk hedging,
tandasnya.
Sementara poin terakhir lanjut
Agus adalah perlu diciptakan pasar
asuransi. Ia menyayangkan pemerintah
tidak mencontoh Brazil yang sukses
dengan bioethanolnya. Menurutnya,
Brazil bisa berhasil tidak lepas dari
kebijakan pemerintahnya yang
konsisten tak kurang dari 40 tahun.
Membenahi persoalan gula di
Indonesia memang tak semudah
membalikkan telapak tangan. Dari
sisi pengusaha, Gunamarwan,

oleh Kementerian Pertanian. Belum


sinkron, kayaknya dari dulu seperti
itu, kata Adi.
Pekerjaan rumah lainnya adalah
komitmen perusahaan rafinasi yang
mempunyai kewajiban bangun
kebun menurut Adi harus ada batas
waktunya. Jika tidak pemerintah
harus tegas mencabut izinnya. Saat
ini berdasarkan pantauan Sugar
Insight sendiri, memang belum ada PG
rafinasi yang melunasi janjinya untuk
membangun kebun. Dikasih bea
masuk yang rendah dan diberi fasilitas
yang sudah baik itu ya harus konsisten
dengan membangun kebun. Ini kan
sudah bertahun-tahun tetapi belum
terealisasi juga, gusar Adi.
Persoalan belum adanya PG
rafinasi yang akan membangun
kebun juga ikut dikritisi oleh Aris

sugar insight | Desember 2013

15

fokus
Toharisman. Ia memberi contoh bagi
PG yang idle dan dipersilahkan untuk
mengolah raw sugar. Pertanyaannya
kemudian adalah berapa lama
PG ini akan mengolah raw sugar
dan berapa tahun sebuah PG bisa
membangun kebun. Raw sugar saja
yang dijalankan dan tidak kembangkan
tebu mau sampai kapan kita akan
swasembada?, tanya Aris.
Dari sisi petani, ada pandangan
ektrim lain yang diutarakan
Arum Sabil, Ketua Umum APTRI.
Ia menilai gula tahun ini dan
seterusnya bagi petani tebu sudah
diambang kehancuran. Bukan
tanpa alasan Arum mengungkapkan
kekecewaannya, sebab Ia menilai
kebutuhan konsumsi langsung sudah
di angka surplus. Sementara untuk
industri makanan dan minuman
seharusnya hanya 2,1 juta ton. Ia
menyayangkan pemerintah terus
memberi izin impor raw sugar hingga
mencapai angka 3,5 juta ton.
Ini seolah-olah ada institusi yang
melegitimasi kalau pasokan gula kita
kurang. BPS, Sucofindo, Surveyor
Indonesia itu lembaga yang menjadi
legitimasi pemerintah mengatakan
bahwa kebutuhan gula kita masih
harus dipenuhi dari impor, kecam
Arum.
Terkait Road Map yang
membutuhkan tak kurang dari 558
ribu ha lahan untuk tebu, Arum
punya jawaban sendiri. Dari 451 ribu
ha perkebunan tebu menurut Arum,
pemerintah bisa menambah 300 ribu ha
dengan cara membagi ke masing-masing
PG. Jika dihitung, apabila produksi ratarata tebu per hektar ditingkatkan 100 ton
tebu per/ha maka akan didapatkan tebu
sebanyak 75 juta ton dari hasil luasan
yang sudah ditambah. Dukungan lain
yakni dari rendemen yang ditingkatkan
menjadi 10% dari rendemen delapan
maka dengan usaha revitalisasi pabrik
dan tanaman tebu akan dihasilkan 7,5
juta ton gula.
Pemerintah harus serius
menangani revitalisasi tanaman dan
16

sugar insight | Desember 2013

pabrik paling lama lima tahun dari


sekarang. Maka kita bisa menjadi
eksportir, tandas Arum. Persoalan
revitalisasi tanaman tebu, kata
Arum, tidak boleh tidak berhadapan
dengan tebu transgenik yang tahan
kekeringan.
Ketika iklim berubah dan debit
air berkurang karena hutan sudah
berkurang, kita tidak bisa tangguhkan
lagi tebu transgenik. Jagung dan
kedelai yang kita makan (sudah)
transgenik, pungkasnya.
Tak hanya itu, seyogyanya
jelas Arum, pemerintah juga harus
mengutamakan riset dan sumber
daya manusia. Ini kata Arum, agar
peneliti tak lari dari Indonesia maka
penghasilan peneliti juga harus
menjadi catatan. Sungguh tidak
manusiawi dengan kelimuwan yang
dimiliki jika melihat gaji peneliti saat
ini, kata Arum.
Arum juga menyayangkan hitunghitungan ini seperti tak dianggap
oleh pemerintah. Ia menilai semakin
banyak impor tentu semakin banyak
yang menikmati. Jika petani bisa
memenuhi kebutuhan nasional tentu
impor akan berkurang dan berimbas
pada cipratan keuntungan yang
berkurang bagi segelintir oknum
pemerintah.
Salah kah saya bilang imposible
akan ada swasembada gula, karena
apa yang diciptakan petani ini tidak
berdaya sehingga impor akan terus
bisa dilakukan. Swasembada hanya
pemanis di bibir jika memang tidak
niat untuk dilakukan, kata Arum
gusar.
Persoalan swasembada gula
memang sudah diujung tanduk. Hanya
saja menurut Aris hingga detik ini
swasembada baru sebatas di atas
kertas. Kapan akan swasembada?
Mungkin 20 tahun lagi baru bisa,
sampai rezim kepemimpinan
berubah dan kebijakan sudah tidak
bisa lagi dibeli mungkin kita bisa
berswasembada gula, ujar Aris
menegaskan. l

sugar insight | Desember 2013

17

fokus

Stop Pembangunan
Stand Alone
Refinery Factory
18

sugar insight | Desember 2013

Gula rafinasi terus bocor di


pasar konsumsi, tercatat
telah tiga kali Kementerian
Perdagangan melakukan
jurus audit semenjak 2011
hingga 2013. Apakah yang
menyebabkan itu semua?
Apakah terdapat permainan
dalamnya?
Oleh: Ilfan Akbar

eputaran pertengahan
September lalu di ruas jalan
tepat di depan Kementerian
Perdagangan tidak bisa dilalui karena
dipenuhi oleh pendemo yang berasal
dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat
Indonesia (APTRI). Mereka berdemo
mengenai marak beredarnya Gula
Kristal Rafinasi (GKR) ke pasaran
rumah tangga yang seharusnya hanya
boleh diisi oleh Gula Kristal Putih
(GKP) yang berasal dari tebu. Petani
tebu merasa dirugikan karena harga
tebu mereka turun karena kehadiran
gula rafinasi, padahal mereka sedang
panen raya. Kasus lain terkait
rembesan gula rafinasi adalah tutupnya
pabrik gula PTPN 14 di Sulawesi
Selatan karena tidak dapat bersaing
dengan gula rafinasi. Tutupnya pabrik
tersebut kembali membuat petani tebu
tidak bisa mengolah hasil panennya.
Terkait kebocoran gula rafinasi,
Yamin Rahman selaku Direktur
Eksekutif Asosiasi Gula Rafinasi
Indonesia (AGRI) mengatakan bahwa
terdapat kemungkinan rembesan
tersebut berasal dari distributor yang
khusus menjual kepada industri
kecil. Menurutnya kemungkinan itu
bisa terjadi dilihat dari pengaturan
penjualan gula rafinasi terangkum
dalam surat edaran Kementerian
Perdagangan No.111/ tahun 2009 yang
membedakan penjualan gula rafinasi
untuk industri besar dan menengah
secara langsung sedangkan industri
kecil melalui distributor. Kami semua
rata-rata hampir 80-90 % menjualnya
direct, ujar Yamin.
Selain itu, menurutnya GKR yang
ditemukan bocor di pasaran rumah
tangga tidak berasal dari pabrik gula
rafinasi di Indonesia, tetapi berasal
dari gula eks impor, gula selundupan,
dan gula dari Lampung. Ditambah
lagi terdapat kemungkinan pemalsuan
terhadap karung-karung dari pabrik
rafinasi yang ditemukan pada saat
penyusuran kebocoran gula rafinasi.
Banyak karung kita di jual dan banyak
orang memasukannya di situ, ujarnya.

Sedangkan, menurut Tito Pranolo,


Direktur Eksekutif Asosiasi Gula
Indonesia (AGI) mengatakan bahwa
di pasar gula Indonesia yang terbagi
dua memiliki konsumen yang abuabu, seperti di restauran, warung, dan
industri rumah tangga. Konsumen
abu-abu tersebut dapat menggunakan
GKR dan GKP. Sebagian itu pasar
yang bisa diisi dua-duanya, ujarnya.
Menanggapi kebocoran ini pihak
pemerintah mengatakan bahwa
pihaknya sudah berhati-hati dalam
menghitung kebutuhan gula rafinasi.
Kehati-hatian tersebut dilakukan
Pemerintah dengan selalu meninjau
berbagai data road map kebutuhan gula
rafinasi dan data realisasi penyaluran
dari AGRI serta meminta masukan
dari Gabungan Industri Makanan
dan Minuman (GAPMI) terkait
kebutuhan gula rafinasi. Selain itu
ketika pabrik gula rafinasi mendapat
rekomendasi melakukan impor raw
sugar dari Kementerian Perindustrian
harus disertakan dengan kontrak
jual beli dari produsen makanan dan
minuman. Dia juga memberitahukan
apabila pabrik-pabrik tersebut ketika
di audit terbukti membocorkan GKR
ke pasar tradisional maka pihaknya
akan memberikan sanksi. Mereka itu
ada pakta integritas artinya kalau ada
bocor mereka (pabrik rafinasi) harus
bertanggung jawab, ujar Edy Sutopo,
Kasubdit Industri Hasil Perkebunan,
Kementerian Perindustrian.
Edy juga mengatakan maraknya
pembangunan pabrik gula rafinasi
telah sesuai aturan, karena pabrikpabrik rafinasi diharuskan untuk
memiliki kebun dan kewajiban itu
tertuang dalam Peppres No 36/2011.
Menyinggung juga masalah harga
dan produktivitas petani tebu
yang terkena dampak kebocoran
gula rafinasi, menurutnya hal ini
merupakan masalah klasik petani
ketika produksi mereka tidak sesuai
dengan pendapatan. Kalau kita
lihat awal bulan Juni-Agustus masih
hujan. Ongkos produksi petani
sugar insight | Desember 2013

19

fokus
meningkat tetapi produksi mereka
turun, sehingga pendapatan mereka
menurun. Akhirnya yang menjadi
kambing hitam itu gula rafinasi,
ujarnya.
Menanggapi hal ini, Tito
mengatakan bahwa pernyataan
pemerintah tidak sejalan dengan
swasembada gula yang ditargetkan.
Dikarenakan industri rafinasi
berbasiskan kepada raw sugar yang
asal muasalnya dari impor, sehingga
industri gula Indonesia akan terlantar
dan akhirnya pemerintah Indonesia
lebih condong kepada pengembangan
gula rafinasi. Tidak hanya sampai
di situ, Ia juga mengatakan bahwa
industri gula rafinasi seharusnya
sudah tidak boleh dikembangkan
lagi. Sudah cukup sekarang sudah 8
pabrik ditambah 3 pabrik jadi sudah 11.
Cukup itu, kalau
dikembangkan
terus nanti arah
swasembada
gula kita tidak
jelas, ujarnya.
Pemerintah,
kata Tito,
harusnya

Tito Pranolo,
Direktur Eksekutif
Asosiasi Gula
Indonesia
20

sugar insight | Desember 2013

mencontoh Thailand yang tidak


memiliki stand alone refinery factory
yang khusus mengolah raw sugar
impor, dikarenakan pabrik yang
mereka miliki dapat mengolah gula
putih dan gula rafinasi. Pabrik stand
alone tersebut umumnya hanya
dimiliki oleh negara-negara yang tidak
memiliki kemampuan untuk menanam
tebu seperti Uni Emirat Arab. Berbeda
kasus dengan Uni Emirat Arab, Tito
menyebutkan Malaysia sebagai negara
yang memiliki stand alone refinery
factory sebenarnya mampu menanam
tebu jika lahan mereka luas, tetapi
negara tersebut hanya memiliki
lahan yang sedikit. Akibatnya negara
tersebut lebih memilih tanaman
unggulan mereka yaitu kelapa sawit.
Mereka impor karena mereka enggak
punya kebun tebu. Kita punya kebun
tebu, kalau kita punya kebun tebu
seharusnya stand alone refinery factory
tidak kita kembangkan, ujarnya.
Melihat juga penyebaran gula
yang tidak seimbang seperti daerah
Indonesia bagian timur yang kerap
mengalami krisis GKP dan akhirnya
mengandalkan GKR, menurutnya,
pemerintah seharusnya kembali
mengembangkan pabrik-pabrik gula di
daerah kekuasaan PTPN 14. Nantinya
pabrik-pabrik tersebut di revitalisasi
agar dapat menghasilkan gula yang
baik dan banyak. Di tambah lagi
daerah-daerah timur Indonesia masih
bisa kembangkan termasuk Merauke
yang merupakan daerah asal tanaman
tebu. Bukan dengan mengizinkan
pabrik gula rafinasi untuk beroperasi
disana dengan kapasitas yang besar,
ujar Tito.
Menyorot juga tentang pabrik
gula dan luas lahan tebu di Indonesia,
menurutnya, pabrik tebu di Indonesia
sudah sangat tua dengan kapasitas
giling 3000 ton tebu perhari
berbanding jauh dengan Thailand
yang memiliki kapasitas giling hingga
13.000 ton tebu perhari. Sedangkan
untuk lahan, Indonesia hanya memiliki
400.000 Ha, sehingga ada baiknya

dinaikkan menjadi satu juta ha.


Naikkan kapasitas kita jadi 6000.
Lahannya kita 400.000 ribu ha naikkan
jadi satu juta. Untuk swasembada kita
butuh 300 ribu ha. 300 ribu ha masa
kita enggak bisa dapat. Cuman 300.000
siapa yang nyediain? Musti pemerintah
dong. Swasembada gula-kan program
pemerintah bukan corporate action,
ujarnya.
Lantas, bagaimana nasib pabrik
gula rafinasi yang terlanjur sudah
dibuat banyak? Menurut Tito,
pabrik-pabrik tersebut sebaiknya
membuat GKR yang benar-benar
halus, sehingga masyarakat tidak akan
membeli GKR yang menyerupai gula
kristal untuk konsumsi masyarakat.
Hal ini dikarenakan stigma gula
yang biasa digunakan masyarakat
Indonesia adalah yang memiliki
kekasaran ketika di pegang oleh
tangan. Ditambah juga pemerintah
seharusnya tidak memberikan
keringanan biaya masuk kepada
industri gula rafinasi, melainkan
kepada pabrik-pabrik tebu di
Indonesia dan buatlah raw sugar dari
tebu Indonesia. Kalau mereka bikin
yang kasar, niat mereka memang
sudah mau ke pasar kan, ujarnya.
Izin Impor Misterius
Gula rafinasi di Indonesia berasal dari
impor raw sugar, sehingga banyaknya
impor yang dilakukan pemerintah
pastinya akan membuat gula rafinasi
berlebih dan akhirnya bisa di
selewengkan ke pasar-pasar konsumsi
oleh oknum-oknum tertentu. Hal ini
yang diperhatikan oleh Arum Sabil,
Ketua APTRI. Dia mengatakan ketika
dilaksanakan Rapat Dengar Pendapat
(RDB) di Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) antara Komisi VI dan Komisi
IV juga Kementerian Perdagangan
diketahui terdapat impor raw sugar
yang berlebih untuk industri makanan
dan minuman yang seharusnya
hanya dua juta ton. Ternyata impor
gula mentah tahun ini (2013) sudah
mencapai diatas 3,5 juta ton, ujarnya.

Arum Sabil

Artinya, impor gula rafinasi telah


melebihi kouta kebutuhan industri
makanan dan minuman sebesar
satu juta ton lebih. Kelebihan ini,
menurutnya, diakibatkan oleh datadata dari institusi-institusi seperti
BPS, Sucofindo, dan Surveyor yang
dimanfaatkan sebagai legitimasi
oleh pihak-pihak tertentu yang mana
memiliki kepentingan-kepentingan
tertentu agar impor raw sugar terus
dilakukan. Memang dijadikan atap
legitimasi seolah-olah kita masih
kurang, ujar Arum.
Arum mengungkapkan bahwa
terdapat modus baru berupa pendirian
pabrik-pabrik gula baru di Indonesia
yang tujuannya seolah-olah mulia,
tetapi pembangunannya lebih
ditujukan kepada pengolahan raw
sugar menjadi GKP. Hal ini terbukti
dari munculnya banyak pabrik gula
yang memiliki output sebesar 600
ribu ton, tetapi memiliki izin untuk
mengolah ribuan ton raw sugar
menjadi gula kristal putih. Sehingga
tidak ada alasan untuk di tolak karena
gula kristal putih boleh dipasarkan
dalam negeri, ujarnya.
Lebih mengagetkan lagi, kata Arum,
mengatakan dari data yang diberikan

komisi VI DPR ditemukan bahwa izin


impor raw sugar di tahun 2014 telah
mencapai 9,5 juta ton untuk pabrik
gula rafinasi dan pabrik gula baru yang
mengolah GKP. Akibatnya di tahun
2014 di perkirakan GKP dan GKR yang
beredar di Indonesia mencapai 12 juta
ton. Dia juga menambahkan ketika
Dewan Gula melaksanakan peninjauan
izin impor raw sugar seharusnya
mengundang pihak APTRI. Hal ini
sesuai dengan yang termaklumat di SK
Presiden No. 63.
Melihat hal ini, Arum
menyarankan, pemerintah Indonesia
pertama-tama, harus merevisi ulang
kebijakan impor. Kedua, revitalisasi
pabrik gula yang difokuskan kepada
kapasitas terpasang serta kualitas gula
yang dihasilkan. Ketiga, pemanfaatan
limbah dan peningkatan pada pohon
industri tebu agar petani sejahtera.
Keempat, pemakaian tebu transgenik
untuk meningkatkan kualitas tanaman
petani dan yang terakhir adalah
peningkatan kemakmuran terhadap
kehidupan peneliti tebu berupa gaji
yang tinggi. Harus ada kebijakan
jangka panjang yang merupakan
benteng penyelamat. Perlu disiapkan
dari sekarang, ujarnya. l
sugar insight | Desember 2013

21

fokus

Quo Vadis
Revitalisasi
Pabrik Gula
Nadi utama pembenahan industri gula di negeri ini tentu menyasar pada pabrik
gula yang dianggap sudah tak memiliki stamina kuat hasilkan rendemen yang
baik, pun memproses gula yang efektif. Pemerintah mengklaim telah berupaya
maksimal tangani perbaikan PG mulai dari revitalisasi secara parsial hingga
niatan membangun PG baru. Lalu kemana semua tujuan itu?
Oleh: Cici Wardini

22

sugar insight | Desember 2013

erkaca di masa lalu,


Indonesia sebenarnya pernah
mengukir sejarah indahnya
swasembada gula. Swasembada kala
itu tak lepas dari pabrik gula (PG) yang
berhasil dibangun sebanyak 10 PG dari
16 PG yang ditargetkan dalam waktu
tiga tahun, mampu merevitalisasi 42 PG
peninggalan Belanda yang selesai dalam
kurun waktu empat tahun. Tak hanya itu,
riset dan pengembangan juga didukung
penuh dengan komitmen yang kuat pada
era orde baru.
Menanggapi PG baru yang tak
kunjung kelar, Suswono menilai
ini adalah kerja dari Kementerian
Perindustrian. Kementrian Pertanian
sendiri kilahnya, hanya memiliki
20% dari tugas pergulaan nasional.
PG yang baru hanya satu saja yang
terwujud. Produksi gula 5,7 juta ton yang
ditargetkan juga tidak tercapai, lanjut
Menteri Pertanian.
Persoalan merevitalisasi PG memang
membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Oktober lalu, Direktur Jenderal Industri
Agro, Kementerian Perindustrian,
Panggah Susanto mengatakan anggaran
yang diperlukan untuk revitalisasi pabrik
gula mencapai Rp 7,9 triliun. Persoalan
teknologi masih menjadi kendala sebagian
besar PG. Seperti diketahui, umumnya PG
yang ada sekarang ini masih memproses
gula melalui teknik sulfitasi. Padahal
menurut Panggah, jika ingin menghasilkan
refined sugar setara kualitas produksi
pabrik rafinasi maka proses ini harus
diubah menjadi sistem karbonatasi. Sistem
ini paling tidak sudah diintroduksi di PG
baru yang akan beroperasi 2014 nanti yakni
PT Gendhis Multi Manis.
Panggah melanjutkan hingga saat ini
sebanyak 62 pabrik gula yang beroperasi
di Indonesia rata-rata sudah berumur
puluhan tahun, bahkan ratusan tahun
telah berdiri sejak zaman Belanda.
Sebanyak 52 diantaranya dimiliki oleh
perusahaan pelat merah, dan hanya
10 yang dimiliki swasta. Gula yang
dihasilkan pabrik gula tersebut jauh
di bawah kualitas refined sugar yang
dihasilkan pabrik rafinasi.

Di kesempatan lain Edy Sutopo,


Kasubdit Industri Hasil Perkebunan
pada Kementerian Perindustrian juga
sempat meluruskan perihal PG baru
yang tak kunjung berbangun. Soal
revitalisasi yang pertama pembenahan
PG yang sudah ada. Kedua, untuk PG
baru sebanyak 20-25, asumsinya lahan
sudah tersedia pada tahun 2010. Namun,
kenyataannya hingga saat ini belum ada,
bela Edy.
Ia lanjut menjelaskan upaya
restrukturisasi yang dilakukan oleh
Kementerian Perindustrian melalui dua
skema. Skema yang pertama melalui
bantuan keringanan. Skema ini diklaim
sudah dilakukan sejak tiga tahun lalu.
Di skema bantuan keringanan ini, kata
Edy, Kemenperin mengharapkan dapat
menggantikan mesin-mesin utama agar
bisa meningkatkan efisiensi.
Tetapi ternyata skema bantuan
keringanan ini hanya mengganti
sparepart atau mesin-mesin yang kecil,
ujar Edy. Hanya saja Ia tak menyebutkan
berapa yang diperbantukan untuk PG
yang mendapatkan sokongan dana dari
skema bantuan keringanan ini. Apakah
nilainya memang cukup mengganti
mesin krusial di PG itu sendiri atau
tidak.
Skema kedua menurut Edy adalah
dengan menerapkan bantuan langsung
dengan mengganti mesin peralatan
utama PG. Skema kedua ini sudah
diserap oleh PG Merican dan PG Mojo
Panggung, kepunyaan PT Perkebunan
Nusantara X. Menurutnya, kedua PG
utamanya PTPN X relatif sudah siap dari
sisi perencanaan dan pendanaan. Skema
kedua yang digulirkan Kemenperin ini
juga menuntut PG agar memiliki dana
yang mumpuni. Sebab bantuan yang
diberikan Kemenperin sifatnya budget
sharing atau pembiayaan bersama.
Edy juga menegaskan PG yang sudah
memiliki roadmap untuk merevitalisasi
PG akan lebih mudah.
Yang mana yang harus diubah
melalui roadmap dan audit teknologi
sudah dirancang. Pemerintah tinggal
membantu, katanya. Ia lanjut

Saat ini
sebanyak
62 pabrik
gula yang
beroperasi di
Indonesia ratarata sudah
berumur
puluhan
tahun, bahkan
ratusan tahun
telah berdiri
sejak zaman
Belanda.

sugar insight | Desember 2013

23

fokus
menegaskan pemerintah khususnya
Kemenperin memiliki kemampuan
terbatas. Kami harus membenahi
52 PG dengan jumlah anggaran yang
relatif kecil, tambahnya.
Sementara itu, jelas Edy, PG yang
baru dibangun dengan kondisi hampir
siap uji coba adalah PG di Blora milik
PT Gendhis Multi Manis. Perusahaan
gula lain yang sudah mengutarakan
niatnya untuk membangun PG berikut
kebun adalah PT Sukses Mantap
Sejahtera yang berlokasi di Dompu.
Perusahaan milik grup PT Sentra
Usahatama Jaya itu disebut-sebut
sudah menginvestasikan dananya
senilai Rp1,5 triliun dengan kapasitas 5
ribu TCD (Ton Cane per Day) dan bisa
meningkat menjadi 12 ribu TCD.
Ini PG rafinasi yang bangun kebun
dan akan memproduksi gula. Intinya
memproduksi gula rafinasi (GKR)
atau kristal putih (GKP) terserah yang
penting harus terintegrasi dengan
kebun karena dua-duanya kurang
pasokannya, ujar Edy.
Ia lanjut menegaskan, Kemenperin
tidak akan mempermasalahkan sebuah
PG baru akan seluruhnya mengolah
GKP atau GKR. Hanya saja yang
menjadi persoalan adalah PG yang
ada saat ini masih belum membangun
kebun. Upaya ini pula yang terus
digenjot. Yang dipersoalkan banyak
orang membangun pabrik tanpa
membangun kebun. Ini yang kami
tekankan. Harus ada inti plasma,
membangun kebun sendiri dan
bekerja sama dengan masyarakat,
pungkasnya.
N9 Bangun Pabrik
Gula Rafinasi
Masih dalam proses tender, ucap Adi
Prasongko, Direktur PT Perkebunan
Nusantara IX saat ditanyakan
perkembangan pembangunan pabrik
gula rafinasi milik PTPN IX. Ia
menjelaskan bahwa kondisi PTPN IX
saat ini berada dalam kondisi yang tak
menguntungkan. Produksi gula N9
mengalami kerugian hingga mencapai
24

sugar insight | Desember 2013

Adi Prasongko

Raw sugar impor


dulu, kalau swasta
boleh kenapa
BUMN tidak
boleh. Saya masih
minta pemerintah
berapa yang
akan dikasih
untuk mengolah
raw sugar ini.
Keuntungan dari
membangun
PG ini akan
digunakan untuk
merevitalisasi PG
lama,
angka kumulatif sebesar Rp800 milyar.
Daripada merevitalisasi PG yang sudah
ada, Adi nyatanya lebih memilih untuk
membangun PG baru yang mengolah
raw sugar atau gula mentah.
Adi mengatakan PG rafinasi baru
yang berlokasi di Pekalongan ini
rencananya akan dibangun dengan
kapasitas 600 ton per hari dengan nilai
investasi sebesar Rp 250 milyar. Raw
sugar impor dulu, kalau swasta boleh
kenapa BUMN tidak boleh. Saya masih
minta pemerintah berapa yang akan
dikasih untuk mengolah raw sugar ini.
Keuntungan dari membangun PG ini

akan digunakan untuk merevitalisasi


PG lama, tandas Adi.
Di tengah kesulitan menghadapi
gula yang terus merugi, Adi berharap
pemerintah dapat memberikan insentif.
Sebab untuk melunasi utang sebesar itu
Adi menjelaskan tak akan cukup jika
mengandalkan jumlah kapasitas pabrik
yang sudah ada dan jumlah pasokan
tebu. Selama ini kan kami membina
petani bertahun-tahun mengolah tebu
petani. Maka kami akan membangun
pabrik dan impor raw sugar. Minta izin
agar diberi fasilitas itu, katanya.
Adi juga mengklaim PTPN IX saat
ini sudah memiliki road map untuk
memuluskan revitalisasi PG lama.
Peta jalan ini disusun untuk empat
tahun ke depan dimana delapan PG
milik PTPN IX ditargetkan sudah
selesai direvitalisasi menyusul sudah
terbangunnya PG rafinasi yang
baru tersebut. Hanya saja Adi tidak
menyebutkan berapa nilai yang harus
dikeluarkan untuk merevitalisasi
kedelapan pabrik miliknya.
Tergantung kondisi pabriknya
sekarang berapa yang harus
direvitalisasi, tambahnya. Seperti
diketahui, PTPN IX juga memiliki
rendemen yang paling rendah diantara
semua PG di Indonesia, yakni 5,88%.
PTPN IX, kata Adi, juga tak ingin
terus terusan merugi. Untuk itu Ia terus
mengarah pada efisiensi, salah satunya
membuat gula kemasan dengan merek
N9. Hanya saja, Adi tak mau muluk
sebelum memiliki kontinuitas dalam
hal kualitas gulanya. Investasi tetap
jalan tidak boleh berhenti. Kami akan
masuk ke kemasan dengan kondisi gula
yang sudah sangat bagus. Serapan gula
kemasan kami paling hanya 10%, ujar
Adi.
Dari sisi petani, Arum Sabil, Ketua
Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat
Indonesia menilai, revitalisasi pabrik
harus terintegrasi bersama seluruh
elemen gula dan perlu pengawasan.
Fokuskan kepada peningkatan
kapasitas terpasang dan hasil kualitas
gula yang dihasilkan, kata Arum. l

Kesejahteraan Petani
Tercekik di Negeri Sendiri
Nasib petani tebu mengalami
stagnasi bahkan mungkin
telah masuk ke dalam
marginalisasi. Penguasaan
lahan yang sempit dan
masuknya gula rafinasi
menjadi momok terhimpitnya
kesejahteraan petani. Kini
pemerintah harus memilih,
kembangkan pasar neoliberal
atau sejahterakan kehidupan
petani.
Oleh: Untung Prasetyo

asalah demi masalah


menghinggapi petani tebu,
dimulai dengan masalah
lahan yang sempit hingga persaingan
dengan gula rafinasi mewarnai gejolak
kehidupan petani. Kehadiran gula
rafinasi (GKR) yang merembes ke
pasar menyebabkan harga gula rumah
tangga (GKP) anjlok dan kian menuju
titik yang memprihatinkan. Protes
yang kian hari kian meledak menuntut
kepada pemerintah yang memiliki
kewenangan mengatur perdagangan
gula di dalam negeri serta memiliki
otoritas terhadap kekuasaan membuka
dan menutup pintu gula rafinasi untuk
bisa bersikap adil dan berpihak kepada
petani tebu.
Dilihat dari aspek sosiologi
kehidupan petani, menurut Hotman
M. Siahaan, Guru Besar Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Airlangga, saat ini nasib petani tebu
mengalami stagnasi bahkan mungkin
telah masuk ke dalam marginalisasi.

Menurutnya petani tebu terbelenggu


sejarah, baik pada masa kolonial, masa
orde lama, bahkan orde baru, dimana
tidak ada keberpihakan terhadap
nasib petani. Akar permasalahan
yang dihadapi oleh petani tebu saat
ini terfokus pada dua hal, yaitu
penguasaan lahan yang sempit dan
masuknya gula rafinasi. Penguasaan
lahan yang sempit menyebabkan
petani tidak mampu mencapai margin
yang memadai.
Seintens apa pun sistem
pengelolaan, sekualitas apapun benih,
pupuk, dan kesuburan lahan, dengan
rendemen yang rendah, apalagi di
bawah sistem rendemen yang tidak
transparan, dengan luas tanaman
yang dibawah 0,5 ha rata-rata,
tampaknya mustahil bagi petani tebu
berlahan sempit bisa menggantungkan
kesejahteraan hidupnya sebagai petani
tebu, pungkas Hotman.
Selain itu, penyebab lain yang
semakin membuat petani tebu
sugar insight | Desember 2013

25

fokus
tercekik, yaitu masuk dan beredarnya
gula rafinasi di pasar tradisional.
Hotman menyebutkan, gula rafinasi
sangat merugikan petani tebu,
dampaknya jelas pada penurunan
tingkat kesejahteraan petani tebu. Hal
tersebut tidak lain disebabkan produk
yang mereka hasilkan akan mengalami
penurunan tingkat harga di pasar.
Sebagai gambaran, data yang
dihimpun oleh Asosiasi Gula Rafinasi
Indonesia (AGRI) diperkirakan
kebutuhan gula rafinasi sekitar 2,8
juta ton untuk tahun 2013. Jumlah
tersebut akan meningkat sekitar 5%
hingga 10%. Peningkatan permintaan
itu pun berimplikasi pada pembukaan
kembali pintu impor gula rafinasi oleh
pemerintah sebanyak 250 ribu ton.
Apabila hal tersebut terus dibiarkan
dan kebijakan impor gula rafinasi
seperti tali yang longgar, maka tak
dapat dipungkiri petani tebu menjadi
korban kebijakan yang prematur.
Bagaimanapun, kebijakan gula
rafinasi selayaknya tidak boleh ada
kalau pemerintah ingin melindungi
nasib petani tebu, ujar Hotman.
Dirinya pun berpendapat,
pemerintah selayaknya merumuskan
kebijakan politik yang benar-benar
berpihak kepada petani tebu.
Menurutnya, harus ada kebijakan
yang mengatur hubungan yang lebih
baik antara petani dengan pabrik
gula, ada kebijakan kredit petani yang
lebih mudah dan berpihak, asosiasiasosiasi gula seharusnya menguatkan
posisi petani tebu dalam hubungannya
dengan kemudahan kredit petani, dan
adanya transparasi dalam penentuan
rendemen di pabrik.
Pemerintah harus kembali
mengambil sikap berani dan
pemangku kepentingan harus
berpikir tidak selalu mengedepankan
keuntungan pribadi. Para importir
raw sugar swasta dianggap sebagai
pedagang yang orientasinya meraih
keuntungan, tanpa memiliki komitmen
membangun pergulaan nasional. Bila
prinsip tersebut semakin mengemuka
26

sugar insight | Desember 2013

dan dibiarkan tanpa ada batas, besar


kemungkinan di masa mendatang
akan semakin sering gula rafinasi
membanjiri pasar tradisional.
Diperparah lagi oleh pemberlakuan
sanksi pemerintah yang ringan dan
tidak membuat jera para pemasok
gula rafinasi yang dilakukan secara
ilegal. Jika hal tersebut terus berlanjut,
dampak yang paling mengerikan yaitu
petani tebu menjadi tidak tertarik
untuk membangun kembali kualitas on
farm perkebunan tebu, bahkan petani
beralih untuk menanam komoditas
lain yang berimplikasi pada gagalnya
peningkatan produksi gula nasional
untuk menuju swasembada gula.
Melihat kondisi petani tebu saat
ini, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu
Rakyat Indonesia (APTRI), Arum
Sabil angkat bicara, kesejahteraan
petani tidak akan pernah membaik
jika pemerintah tidak memiliki niatan
baik melalui kebijakan yang konsisten
untuk mendukung perkembangan gula
nasional. Apa yang dilakukan oleh
pemerintah saat ini tidak lain hanyalah
menciptakan mesin pembunuh bagi
petani tebu Indonesia, ungkap Arum
Sabil.
Menurutnya pada saat ini gula
nasional dan petani tebu rakyat
sudah diambang kehancuran. Arum
menjelaskan, petani tebu seringkali
dibuat merugi oleh keberpihakan
pemerintah kepada industri gula
rafinasi. Ucapan Ketua Umum APTRI
tersebut terlontar kepada Sugar
Insight didasarkan pada kenyataan
yang hingga kini gula rafinasi masuk
kembali ke Indonesia hingga 3,5
juta ton. Berdasarkan hal tersebut,
menurut Arum Sabil alangkah bijaknya
bila pemerintah mengulas kembali
ijin impor gula rafinasi berdasarkan
kuota kebutuhan, bukan berdasarkan
kebutuhan kapasitas terpasang.
Bicara soal kebijakan, regulasi
gula yang selama ini telah terbukti
menyelamatkan petani dan industri
gula nasional seharusnya mampu
dipertahankan. Seperti halnya

SK Menperindag No. 643/MPP/


Kep/9/2002 (tata niaga impor
gula yang menghapus importir
umum menjadi importir terdaftar
dan memberikan jaminan harga
minimal gula petani), SK Presiden
No. 63/2003 (Dewan Gula Indonesia
yang menjadi perumus kebijakan
pergulaan nasional), SK Presiden No.
57/2004 (menetapkan gula sebagai
barang yang diawasi pemerintah),
dan SK Menperindag No. 57/MPP/
Kep/2004 (ketentuan impor gula yang
mempermudah pengawasan terhadap

gula impor ilegal, pembatasan


importir gula, ketentuan jenis gula dan
peruntukannya berdasarkan batasan
icumsa).
Namun sekali lagi, Arum Sabil
tidak melihat regulasi-regulasi
tersebut secara konsisten dijalankan.
Bahkan selama proses perjalanannya,
semua pihak harus mewaspadai
adanya benturan kepentingan yang
mengakibatkan adanya perubahan
regulasi tersebut oleh mafia-mafia
gula. Waspadai mafia gula yang
akan merubah regulasi sehingga bisa

merugikan petani dan gula nasional,


ungkap Arum.
Kembali Guru Besar FISIP
UNAIR, Hotman menegaskan, semua
regulasi yang telah dibuat oleh
pemerintah, baik SK Menperindag
ataupun yang lainnya, pada dasarnya
hanya terlihat baik di atas kertas.
Regulasi yang ada secara tertulis
menampilkan nuansa perlindungan
dan keberpihakan kepada petani tebu,
namun dalam prakteknya, regulasi
tersebut jauh dari pengawasan dan
penegakan aturan.

Hukum pasar yang cenderung


neoliberal mengakibatkan semua
regulasi tersebut tidak berdampak
banyak secara positif terhadap
kesejahteraan petani tebu, ujar
Hotman.
Seperti yang diungkapkan oleh
Arum Sabil sebelumnya, Hotman
pun menegaskan pemerintah harus
membangun hukum dan regulasi
secara konsisten hingga semua
kebijakan tersebut benar-benar
berdampak positif terhadap tingkat
kesejahteraam petani tebu. l
sugar insight | Desember 2013

27

riset

Sepatutnya Riset
Gula Diberdayakan
Menjadi sebuah lembaga penelitian bagi komoditas yang kini
diperbincangkan karena target yang tak kunjung tercapai membuat
Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) mengemban
amanah yang cukup berat bagi keberhasilan risetnya. Sudah 126 tahun
berkarya dan melahirkan berbagai inovasi di bidang pergulaan, P3GI
pantas mendapatkan pengakuan di negeri ini.
Oleh: Cici Wardini

28

sugar insight | Desember 2013

erawal dari mewabahnya


penyakit sereh dan
persaingan kompetisi gula
bit di Eropa, Belanda sadar
betul bahwa untuk mengembangkan
industri gula di Indonesia
membutuhkan sebuah riset yang
memadai. Kehadiran lembaga riset
gula di Pasuruan dianggap mampu
menjawab masalah yang dihadapi
pabrik gula (PG) kala itu. Berlanjut
pada era orde baru, P3GI pun menjadi
corong dan ikut menentukan arah
kebijakan gula Indonesia. Namun saat
ini, sepertinya P3GI perlu tenaga
ekstra menjadi wadah riset dan
pengembangan gula di Indonesia.

Usia 126 tahun bukan waktu


yang sebentar, selama rentang waktu
tersebut berbagai riset sudah banyak
dilakukan dari hulu hingga ke tingkat
hilir. Beberapa kekayaan yang dimiliki
P3GI selain SDM yang berkualitas
adalah pabrik gula mini dan koleksi
plasma nutfah yang berjumlah 6000
buah. Jumlah ini melebihi plasma
nutfah kepunyaan Thailand yang
hanya sekitar 400 buah. Padahal
Thailand sendiri adalah salah satu
pengekspor gula terbesar ke Indonesia.
Dengan jumlah tersebut Direktur
P3GI, Aris Toharisman mengklaim jika
petani bisa mendapatkan tebu yang
diinginkan. Mau tebu kayak apapun

bisa misalnya tebu tahan kekeringan.


Tetapi kan perlu dana, sebab dari
jumlah itu perlu kita karakteristikan
lagi, ujar Aris.
Tak hanya plasma nutfah, untuk
varietas saja P3GI sedikitnya sudah
memiliki 100 varietas tebu. Upaya
menghasilkan varietas ini setidaknya
membutuhkan waktu selama 12 tahun
dengan dana yang tak sedikit. Kondisi
yang saat ini memaksa P3GI menjadi
lembaga yang profit oriented membuat
pengembangan varietas berjalan tak
optimal. Ini yang membedakan tebu
dengan kelapa sawit. Di kelapa sawit,
petani dan pengusaha perkebunan
sangat tergantung pada kecambah
maupun bibit, sementara di tebu,
petani bisa memperbanyak sendiri.
Pun jika hanya meminta selonjor
tebu, maka tanaman ini akan mudah
diperbanyak. Ini pula yang membuat
Aris harus berpikir keras agar P3GI
tetap dapat melakukan riset dan tak
bisa mengandalkan penjualan bibit
tebu. 60% baik dari sisi SDM hingga
alokasi dana itu ke arah pemuliaan
atau perakitan varietas tebu, tetapi ini
tidak menghasilkan (keuntungan-red)
apa-apa, kata Aris.
Tetapi bukan P3GI namanya
jika tak tahan banting. Tak bisa
mengandalkan cash flow dari
penjualan bibit, P3GI sedari tahun
1990-an sudah menggodok pengolahan
hasil samping tebu. Jasa-jasa
konsultasi membangun pabrik gula
dan meningkatkan kapasitas pabrik
gula dan pabrik ethanol, melakukan
jasa konsultasi pengawalan, menjual
produk pupuk dengan bermitra atau
kami hasilkan sendiri pupuknya,
inilah sumber dana kami agar terus
berkarya, tandas Aris.
Berbekal sumber dana inilah
penelitian di P3GI menjadi lebih
berwarna misalnya saja dalam
mengembangkan hilirisasi. Produk
hilir tanaman tebu bisa menjadi
berbagai macam jenis mulai dari
produk antara seperti asam asetat,
asam nitrat, liptoselulosa.
sugar insight | Desember 2013

29

riset
Diversifikasi produk lainnya seperti,
monosodium glutamate (MSG), pasta
pemanis menyerupai pasta gigi yang
asalnya dari nira tebu, sirup glukosa,
lilin, produk kosmetik seperti lipstik.
Khusus berbasis tebu, ampas yang keluar
dari pabrik dapat menjadi pakan ternak
dan kertas. Dan yang saat ini umum
dilakukan Pabrik Gula (PG) adalah
produk tetes tebu (molasses).
Tetes tebu memiliki senyawa yang
baik yang bisa digunakan sebagai bahan
baku fermentasi. Belum lagi minuman
sari tebu yang saat ini marak menjadi
jajanan pasar. P3GI sudah membuat
itu semua. Menggunakan varietas
yang bagus dan higienis, tandas Aris.
Menurut Aris, tebu memiliki pohon
industri yang tak kalah kompleks dari
jenis tanaman lain. Kita memiliki
varian yang banyak dari sisi produk.
Di dunia ada 1500 industri berbasis
tebu dan 50 yang sudah komersial yang
menggunakan bahan tebu atau sisa
prosesnya, lanjutnya.
Untuk itu pula, Aris menyarankan
agar PG segera bergerak ke hilir. P3GI
menurut Aris melakukan riset ke arah
hilir agar nantinya dapat diintroduksi
oleh seluruh PG di Indonesia.
Industri gula ke depan tidak boleh
bertumpu pada single produk, harus
ada diversifikasi produk. Apalagi kita
importir terbesar maka harga gula
akan berfluktuatif mengikuti harga
gula dunia. Ketergantungan pada satu
produk itu berbahaya, ketika turun,
maka lost, tandas Aris.
Bibit Unggul
Saat ini, P3GI memasarkan bibit unggul
eks-kultur jaringan (G2) yang memiliki
produktivitas tinggi untuk menyiasati
sulitnya penambahan lahan tebu,
terutama di Pulau Jawa. Generasi kedua
ini sudah melalui tahap aklimatisasi dan
dengan handling yang baik. P3GI juga
melakukan pelatihan gratis bagi petani.
Pada Oktober lalu P3GI melakukan
Pelatihan Tenaga Teknis Penangkar
dengan Sumber Benih Bagal Mikro
Generasi (G2) Kultur Jaringan.
30

sugar insight | Desember 2013

Kami terus berinovasi


menghasilkan varietas unggul, semisal
PSJK 922 dan PS 881 yang mampu
meningkatkan produktivitas gula hingga
lebih dari 10 ton per ha, tandas Aris.
P3GI juga memiliki varietas unggul
lainnya seperti PS 901 dengan potensi
hasil tebu 86,6 ton/ha, rendemen 10,9%
dan hablur 9,5 ton/ha. Ada juga PS 882
dengan potensi hasil tebu 113,1 ton/ha,
rendemen 12,1%, dan hablur 13,7 ton/ha.
Bicara mata tebu yang dihasilkan,
sepanjang perjalannya rata-rata setiap
tahunnya P3GI menghasilkan 25 juta
mata tebu. Begitu bongkar ratoon
digalakkan pemerintah tahun ini, Aris
mengaku menaikkan target menjadi
400%. Awalnya kami sudah siapkan
150 juta mata, lalu kami turunkan 100
juta, karena dalam perjalanan dibuka
peluang bibit-bibit yang bukan dari
kultur jaringan dan pada akhirnya
yang digunakan dari P3GI hanya 7,5
juta mata tebu, kisah Aris.
Tak hanya kultur jaringan,
sebenarnya P3GI juga sudah memiliki
tebu hasil rekayasa genetika. Tebu
transgenik ini membawa antisense
gen pfp yakni salah satu enzim
pendegradasi sukrosa yang berfungsi
membungkam ekspresi gen pfp
sehingga degradasi sukrosa tidak
terjadi. Namun Aris mengaku masih
banyak yang perlu dibenahi terutama
permasalahan persepsi di Indonesia
yang masih merasa tabu akan produk
hasil rekayasa genetika. Sebenarnya
peluang Indonesia melakukan hal
lain sebelum rekayasa genetika masih
banyak, tetapi kami tidak terburuburu melepas. Kami tidak butuh
pencitraan, akunya.
Tetap ada asa yang diharapkan P3GI
bagi kemajuan riset dan pengembangan
gula ke depan. Namun komitmen yang
dirasa kurang dari pemerintah membuat
P3GI hanya bisa menunggu dan melihat.
Ditegaskan oleh Aris untuk penyediaan
bibit, pemerintah harus lebih sigap
dalam hal penyediaannya. Sebut saja
kebutuhan bibit di tahun 2014 yang
harus dilakukan dua tahun sebelumnya.

Sebagai lembaga swasta, P3GI


menurut Aris sanggup memenuhi
permintaan pemerintah. Tinggal
dukungan dan komitmen yang jelas
dari pemerintah bagi kemajuan riset
di Indonesia. Aris berharap kejayaan
lembaga penelitan berbasis gula dapat
mengulangi masa jayanya saat era
Soeharto dulu dimana dana dapat
disisihkan dari hasil penjualan atau
setiap kilogramnya dapat disisihkan
untuk dana riset, termasuk pengadaan
dana Sumbangan Masalah Pergulaan
(SMP). Aris juga berharap P3GI dapat
kembali dilibatkan dalam menyumbang
pikiran terkait persoalan dalam
kebijakan pergulaan nasional. Zaman
dulu padahal lebih gak jelas status kami
tetapi jelas komitmennya. Saya yakin ke
depan fungsi dan peran kami akan besar
ke depan, jelas Aris optimis.
Ketua Umum Gabungan Asosiasi
Petani Perkebunan Indonesia
(GAPPERINDO), Agus Pakpahan,
melihat bahwa untuk membangun
kesejahteraan petani tebu dapat
dilakukan dengan pengembangan
riset. Namun sekali lagi riset pun
harus terbentur dengan minimnya
dana yang digelontorkan. Pada
dasarnya bukan hanya melalui bea
keluar, dengan mengurangi impor
gula maka akan ada penghematan
biaya yang bisa dialokasikan untuk
riset dengan tujuan mengedepankan
kesejahteraan petani tebu, namun
apabila itu tidak dilakukan berarti
pemerintah membiarkan petani tebu
tetap miskin, itu pilihan, ujar Ketua
Umum GAPPERINDO tersebut.
Tidak hanya sampai disitu,
posisi riset pun memiliki peran
yang penting dalam membangun
industrialisasi terhadap produk hilir
tebu. Agus Pakpahan menilai bahwa
dengan adanya pembangunan dan
pengembangan industrialisasi produk
hilir tebu, maka petani kedepannya
akan mendapatkan nilai tambah
seiring dengan adanya peningkatan
permintaan yang tinggi terhadap
bahan baku. l
sugar insight | Desember 2013

31

riset

Menuju Varietas
Tebu Spektakuler
Lahirya POJ 2878 sebagai varietas tebu unggul yang
spektakuler memberikan pelajaran akan pentingnya plasma
nutfah tebu. Kejayaan yang telah memudar dan menjadi
sejarah, seharusnya mampu membangunkan pikiran dari
kenangan masa lalu. Bangkit dan realisasikan mimpi untuk
menghasilkan varietas unggul layaknya POJ 2878 menjadi
harga mati untuk kejayaan pergulaan nasional.
Oleh: Untung Prasetyo

ebih dari 100 tahun silam,


tepatnya pada tahun
1887 peneliti kenamaan
Soltwede berhasil menemukan
sebuah teori yang sangat membantu
perkebunan dan industri tebu hingga
saat ini. Dalam penelitiannya, Soltwede
menyimpulkan bahwa perbanyakan
tebu dapat dilakukan melalui biji. Sejak
saat itulah mata dunia terbuka bahwa
tebu yang pada awalnya dibudidayakan
hanya menggunakan tebu asli dari
spesies Saccharum officinarum, beralih
dengan merakit varietas-varietas tebu
unggul. Seiring berjalannya waktu,
penelitian terus dikembangkan hingga
pada tahun 1923 dihaslkan POJ 2878
sebagai varietas unggul spektakuler.
Penyebutan spektakuler pantas
disandang oleh varietas tersebut sebab
mampu mengatasi penyakit sereh yang
mengancam industri gula pada masa itu.
POJ 2878 merupakan varietas
tebu unggul yang dimiliki oleh
Pusat Penelitian Perkebunan Gula
Indonesia (P3GI) yang dihasilkan
dari lompatan genetik sebagai hasil
persilangan antara kultivar tebu nobel
dengan spesies liarnya S. Spontaneum
kemudian keturunannya disilang balik
dengan S. officiniorum. Bersama P3GI
yang mengembangkan POJ 2878,
varietas tersebut tercatat sebagai
32

sugar insight | Desember 2013

varietas terbaik sejak zaman Hindia


Belanda.
Pada masa tersebut POJ 2878
mampu meningkatkan produksi gula
secara drastis, yaitu sekitar 35% dari
varietas sebelumnya. Bukan saja
mengatasi penyakit sereh, namun
peningkatan produksi tersebut pun
mengatasi masalah persaingan gula
tebu dengan gula bit pada saat itu.
Sehingga pada zamannya POJ 2878
lebih dikenal sebagai wondercane from
Java (tebu ajaib dari Jawa). Pada saat
yang bersamaan pula, di beberapa
negara seperti India, menghasilkan
varietas-varietas tebu unggul yang
memberikan sumbangan penting pada
percepatan perkembangan industri
gula dunia, yaitu diantaranya Co290,
Co419, Nco210, dan CP49/50.
Melihat sifat dasar dari tanaman
tebu yang sangat polipoid dan
memiliki genom yang sangat
kompleks, sehingga dalam proses
perbanyakannya sangat dipengaruhi
faktor strategi, metode, dan efisiensi
program perakitan varietasnya. Namun
dengan lahirnya POJ 2878 faktorfaktor tersebut dapat diminimalisir,
sebab POJ 2878 telah digunakan
sebagai varietas tetua persilangan pada
program pemuliaan tebu di seluruh
dunia hingga kini. Sehingga menurut

peneliti P3GI bidang pemuliaan, Dr.


Wiwit Budi Widyasari, dasar genetik
pada varietas-varietas modern saat ini
menjadi tampak sempit karena berasal
dari satu darah yaitu POJ 2878.
Keragaman keturunan persilangan
saat ini sangat rendah sebab
keragaman tetua persilangannya pun
sangat rendah, inilah alasan mengapa
kemajuan program perakitan varietas
tebu unggul menjadi sangat lambat,
ungkap Widyasari.
Menengok dari sejarah varietas
unggul POJ 2878 dan semakin
rendahnya hasil persilangan yang
menghasilkan varietas unggul,

timbul pertanyaan akankah dapat


kembali mengulang sejarah tersebut?
Berdasarkan hal tersebut, menurut
Widyasari terlahirnya wondercane
baru sangat mungkin terwujud apabila
menyilangkan tetua yang mempunyai
keragaman genetik tinggi dan
berkerabat jauh. Sehingga Widyasari
menuturkan bahwa dengan adanya
POJ 2878 seharusnya kini kita banyak
belajar dengan melakukan perbaikan
genetik pada tebu yang dicirikan
dengan penambahan perolehan genetik
yang luar biasa dan berpeluang akan
terjadi lompatan kemajuan genetik
seperti POJ 2878. Kunci lain untuk

mewujudkan mimpi menciptakan


wondercane-wondercane baru yaitu
melalui penyediaan koleksi plasma
nutfah tebu yang meliputi kerabatkerabat liarnya, jelas Widyasari.
Pengambil alihan POJ 2878 oleh
pemerintah menambah sepi nya
proses pemuliaan tanaman dengan
menghasilkan varietas unggul seperti
di masanya. Widyasari menuturkan di
sisi lain klon-klon hasil ekspedisi yang
dilakukan oleh P3GI belum ada yang
dimanfaatkan dalam perakitan varietas
tebu unggul masa kini. Dirinya juga
menceritakan, sejak tahun 2009 P3GI
telah melakukan terobosan baru yaitu
melakukan persilangan antar genus yang
belum pernah dilakukan sebelumnya.
Pada masa-masa sebelumnya menurut
peneliti tersebut, perkawinan kerabat
liar yang sudah pernah dilakukan
sebelumnya menggunakan S.
spontaneum. Sedangkan pada tahun
2009, P3GI menggunakan kerabat liar
dari genus Erianthus dalam program
perakitan varietas tebu unggul baru,
ungkap Widyasari.
Widyasari menjelaskan, dalam
perjalanannya dari hasil persilangan
tersebut dihasilkan keturunan yang
menunjukan potensi unggul yang
telah dibuktikan dari keturunan
pertama (F1). Hasil yang sangat
membanggakan telah terlihat
dengan persilangan satu kali saja,
hasilnya telah memberikan
harapan melebihi varietas
standarnya, jelas
Widyasari. Kebanggaan
tersebut ditunjukkan
dengan capaian potensi
rendeman beberapa klon
F1 yang mencapai 12%
bahkan hingga 14%.
Beberapa klon
lagi memberikan
potensi hablur
lebih dari 200

Wiwit Budi
Widyasari

kw/ha di lahan percobaan.


Namun Widyasari menyayangkan
masih adanya kekurangan yang
ditemukan dari percobaan tersebut.
Dirinya menjelaskan bahwa ternyata
antara hasil tebu dengan rendeman
korelasinya tidak positif. Klon yang
potensi hasil tebunya tinggi, potensi
hasil tebunya rendah. Sehingga sangat
sulit untuk mendapatkan rata-rata
rendeman tinggi karena periode
puncak kemasakannya yang singkat,
jelas Widyasari.
Namun kekurangan dan kegagalan
sejatinya menjadi sebuah semangat
yang harus terus dijaga untuk
menghasilkan varietas-varietas
unggul melalui percobaan-percobaan
klon-klon yang dimiliki oleh P3GI.
Widyasari dan para peneliti P3GI
optimis di masa mendatang akan
dihasilkan varietas unggul untuk
mengembangkan industri gula tebu
indonesia. Walaupun inovasi P3GI
masih perlu pengujian lebih lanjut
dalam skala lahan yang lebih luas,
namun terobosan yang dilakukan
P3GI telah sejalan dengan perlunya
membuat strategi perkawinan tebu
untuk memperluas dasar genetik
varietas tebu komersial, pungkas
Wiwit Budi Widyasari.
Menurutnya apa yang dilakukan
olehnya dan bersama peneliti
lainnya di P3GI telah memberikan
pengetahuan baru mengenai tebu,
yakni jawaban atas pertanyaan
mengapa perakitan varietas
tebu unggul baru cenderung
mengalami leveling off dalam
keragaman. Kedepan Widyasari
dan P3GI tetap optimis dan
memiliki mimpi yang harus
diwujudkan untuk
menghasilkan
terobosan baru dalam
mempercepat
pembentukan
varietas tebu unggul
spektakuler seperti
POJ 2878 di masa
mendatang. l
sugar insight | Desember 2013

33

riset

Sumber Benih Tebu


dengan Teknik
Kultur Jaringan
Pemerintah telah
mencanangkan swasembada
gula nasional. Namun
dalam perkembangannya,
pergulaan nasional pun masih
banyak kekurangan. Benih
sebagai salah satu faktor
yang mampu meningkatkan
produktivitas tebu harus
segera diperbaiki. Melalui
kultur jaringan diharapkan
benih tebu mampu
mendukung perbaikan
pergulaan nasional.
Oleh: Untung Prasetyo

auh sejak penjajahan


kolonial Belanda, komoditas
tebu pada dasarnya telah
mendapatkan perhatian besar sebagai
komoditas komersial. Pemerintah
kolonial Belanda telah mengembangkan
industri gula di Pulau Jawa karena
faktor yang begitu mendukung, yaitu
tanah yang subur dan ketersediaan
tenaga kerja yang melimpah. Kebijakan
tersebut pun berlanjut pada pemerintah
Indonesia melalui perusahaan
negara perkebunan dan perkebunanperkebunan besar swasta di luar Pulau
Jawa. Dalam perkembangannya,
tanaman tebu juga diusahakan oleh
petani tebu rakyat intensifikasi dengan
sistem pergiliran areal tanam.
Sebagai salah satu industri
pertanian tertua di Indonesia, industri
gula Indonesia pernah merasakan
era keemasan pada tahun 1930-an.
Dimana pada masa tersebut Indonesia
menjadi eksportir gula terbesar kedua
34

sugar insight | Desember 2013

di dunia setelah Kuba. Pada masa itu


produktivitas pabrik gula sekitar 14,8%
dengan produksi puncak mencapai
sekitar 3 juta ton dan ekspor gula
menyentuh angka 2,4 juta ton.
Namun seiring berjalannya waktu,
lambat laun industri gula Indonesia
mengalami kemunduran dan sulit
untuk bangkit, hingga pada akhirnya
Indonesia menjadi salah satu importir
gula di dunia pada saat ini. Dari data
yang dihimpun Dewan Gula Indonesia
pada tahun 2005, menunjukkan pada
periode 1991 hingga 2001, industri gula
Indonesia mulai mengalami berbagai
masalah. Salah satu indikatornya
adalah volume impor yang terus
meningkat dengan laju 16,66%, dan
produksi gula dalam negeri menurun
dengan laju 3,03% per tahun.
Berdasarkan data yang diperoleh
dari Direktorat Jenderal Perekebunan,
pada tahun 2014 diperkirakan
kebutuhan gula nasional baik untuk
konsumsi langsung rumah tangga
maupun industri akan terus meningkat
sejalan dengan meningkatknya
jumlah penduduk. Diperkirakan
pada tahun 2014 saja kebutuhan
gula nsional mencapai 5,7 juta ton.
Untuk memenuhi kebutuhan gula
tersebut diupayakan melalui Progran
Swasembada Gula Nasional.
Untuk mencapai swasembada gula
nasional, baik on farm maupun off farm
akan dapat dicapai dengan sinergitas
seluruh aspek, diantaranya sistem
manajemen industri gula, rehabilitasi
tanaman, penyediaan bibit bermutu,
ketersediaan dana, pupuk, hingga
dukungan teknologi.
Salah satu faktor terpenting dalam
perbaikan pergulaan nasional di skala

on farm, pengadaan benih tebu yang


berkualitas dalam skala besar, cepat,
dan murah merupakan hal yang sangat
diperlukan saat ini. Pengadaan benih
pada tanaman tebu, khusunya yang
akan dipanen secara besar-besaran
dalam waktu yang cepat akan sulit
dicapai melalui teknik tradisional.
Didasari hal tersebut, peneliti
Pusat Penelitian Perkebunan Gula
Indonesia(P3GI) bidang pemuliaan,
Dr. Hermono Budhisantosa,
menyebutkan Good Seed Makes a Good
Crop, benih yang baik menghasilkan
tanaman yang baik. Menurutnya
peningkatan produktivitas gula
nasional selayaknya dimulai dari
penataan penggunaan benih. Dalam
budidaya tebu telah dikenal standar
mutu benih yang baik menyangkut
kebenaran, kemurnian, dan kesehatan
benih. Untuk menjamin hal itu, dirinya
menjelaskan bahwa dalam budidaya

tebu terdapat
juga sistem
penyediaan
benih
dengan pola
penjenjangan.
Namun dirinya
menyayangkan
dalam
Hermono
prakteknya,
Budhisantosa
baik
penjenjangan maupun sertifikasi mutu
sering tidak terlaksana dengan baik.
Dirinya menyebutkan, evaluasi
kinerja kebun pembenihan tebu
telah dilakukan P3GI tahun
2003 hingga 2004. Pengamatan
dilakukan di 14 pabrik gula yang
mewakili pabrik gula di Pulau Jawa.
Berdasarkan pengamatan tersebut,
Hermono menyebutkan bahwa P3GI
mendapatkan hasil evaluasi yaitu
secara umum 86% kebun pembenihan

tebu di bawah kualifikasi dan sekitar


12% dari pembibitan tebu yang
diamati memenuhi persyaratan.
Sedangkan dari tingkat kemurnian
tebu, P3GI mendapatkan hasil
evaluasi sekitar 64% pembibitan tebu
dilakukan sebagai persyaratan standar.
Hasil ini menggambarkan bahwa
perkebunan tebu tidak memberikan
perhatian serius pada kesehatan tebu
pembibitan, ungkap Hermono.
Berdasarkan hasil pengujian
tersebut, Hermono mengungkapkan
bahwa sangat beresiko mengandalkan
kebun penjenjangan konvensional
terutama pada aspek kesehatan. Lanjut
dirinya menjelaskan, penjenjangan
konvensional dapat digunakan bila
diiringi dengan penerapan sertifikasi
mutu serta perbaikan sumber benih.
Perbaikan mutu benih bisa dilakukan
dengan kultur jaringan sebagai salah
satu alternatif, ungkap Hermono.
Secara teknis dirinya menjelaskan
pada teknik kultur jaringan, bagian
tanaman seperti protoplas, sel,
jaringan dan organ ditumbuhkan dan
diperbanyak dalam media buatan
dengan kondisi aseptik dan terkontrol.
Salah satu manfaat menggunakan
metode tersebut, yaitu mampu
menghilangkan virus penyebab
penyakit garis kuning (sugarcane yellow
leaf virus), virus mosaik tebu (sugarcane
mosaic virus), dan ratoon stunting
disease (RSD). Selain menyehatkan
sumber benih, teknik ini merupakan
upaya perbanyakan benih secara cepat.
Perbanyakan melalui kultur jaringan
juga meningkatkan penangkaran, jelas
peneliti P3GI tersebut.
Hermono menyebutkan untuk
mencapai swasembada gula nasional,
dapat pula dengan mengusahakan
peningkatan produktivitas
melalui penggunaan bongkar
ratoon. Peningkatan produktivitas
melalui program bongkar ratoon
mencakup dua hal penting. Dirinya
menyebutkan yang pertama adalah
peningkatan karena berubahnya
tanaman keprasan menjadi tanaman

plant cane (PC). Jika produktivitas


keprasan diasumsikan 90% dari
produktivitas tanaman sebelumnya,
maka program bongkar ratoon dari
tanaman keprasan ke tiga menjadi PC
bila dilaksanakan dengan baik akan
mengembalikan potensi produksi
yang telah menurun hingga 65%
menjadi 100%, jelas Hermono.
Yang kedua adalah peningkatan
produktivitas dengan menggunkan
benih bermutu. Di sinilah peran
penggunaan benih G2 dalam
meingkatkan produktivitas. Dengan
benih yang bebas dari penyakit serta
kebenaran dan kemurnian varietas
yang terjamin, produktivitas tebu
dapat naik 25%, sedang produktivitas
gula naik lebih dari 1%, ujar Hermono.
Pada dasarnya apapun yang
akan dilakukan untuk mencapai
swasembada gula nasional yang
terpenting adalah keberlanjutan
dari mutu tebu itu sendiri. Sehingga
peningkatan produktivitas bukan
menjadi suatu hal yang dilakukan
untuk jangka pendek, melainkan harus
diusahakan sebagai program dengan
skala jangka panjang. Sangat ironis
apabila peningkatan produktivitas
tidak diiringi dengan penggunaan
bibit yang bermutu, khususnya dalam
masalah kesehatan.
Program swasembada gula
nasional merupakan agenda penting,
namun alangkah pentingnya menjaga
kualitas mutu dari benih tebu itu
sendiri. Hermono mengungkapkan,
benih kultur jaringan mampu
memperbaiki sumber benih menjadi
sehat dan murni sehingga mampu
meningkatkan produktivitas. Dengan
berbagai kendala, penyaluran benih
bermutu pada program bongkar ratoon
nampaknya tidak memenuhi target.
Tidak terpenuhinya target penyaluran
benih terutama kultur jaringan
dalam program bongkar ratoon
dikhawatirkan membuat peningkatan
produktivitas tidak sejalan dengan
yang diharapkan, pungkas Hermono
Budhisantosa. l
sugar insight | Desember 2013

35

dialog

Asosiasi Gula Indonesia


AGI lahir dan berkembang
untuk menginisiasi
dan memperjuangkan
kepentingan anggota yang
bergerak dalam pergulaan
berbasis tebu nasional. Kini
AGI telah bangkit kembali
setelah lama mati suri.
Dengan menampilkan wajah
baru, pemimpin baru, dan
rencana kedepan yang lebih
nyata, AGI kembali hadir
dengan semangat baru untuk
bersama-sama membangun
pergulaan nasional.
Oleh: Untung Prasetyo

36

sugar insight | Desember 2013

ergerakan pergulaan
Indonesia tidak terlepas
dari sejarah yang
melingkupinya. Di masa awalnya, gula
yang berasal dari tebu merupakan
komoditas yang sepenuhnya diatur
regulasinya oleh pemerintah. Melalui
BULOG pemerintah mencoba
mengatur sistem pergulaan nasional
secara monopoli. Sistem tersebut pun
mengatur keluar masuk gula impor
yang dibutuhkan untuk industri
makanan minuman dan industri
farmasi dengan kualitas gula yang
memiliki kemurnian tingkat tinggi
(ditunjukan dengan nilai icumsa
rendah). Dalam perjalanannya impor
gula dengan tingkat kemurnian
tinggi bukan lagi suatu hal yang patut
dipertahankan. Pemerintah yakin
bahwa industri dalam negeri pun
mampu mengahasilkan gula dengan
icumsa rendah.
Ditandai dengan reformasi dan
terbukanya liberalisasi, regulasi

pergulaan dirubah menjadi baru.


Keran raw sugar impor dibuka untuk
swasta untuk diolah menjadi gula
rafinasi dengan tingkat kemurnian
yang tinggi. Pada dasarnya industri
tersebut didesian untuk memenuhi
keutuhan industri makanan minuman
dan farmasi yang memerlukan gula
dengan tingkat kemurnian yang tinggi.
Industri rafinasi tidak pernah didesain
ke pasar tradisional. Jadi kehadiran
industri rafinasi yang menghasilkan
gula dengan tingkat kemurnian yang
tinggi merupakan sebuah kenyataan
yang tidak bisa tolak. Selanjutnya
adalah bagaimana dengan nasib gula
dari tebu dalam negeri?
Bergerak dari perspektif sejarah
yang melingkupi kehidupan industri
gula, Direktur Eksekutif Asosiasi Gula
Indonesia, Ir. Tito Pranolo, MBA,
Msc mengungkapkan, bahwa Asosiasi
Gula Indonesia (AGI) dibentuk untuk
merespon kebutuhan para pemangku
kepentingan baik perusahaan swasta

Tito Pranolo

maupun BUMN dalam suatu wadah


demi memperjuangkan kepentingan
bersama untuk kemajuan pergulaan
nasional.
Tepat 33 tahun yang silam,
bertempat di Jakarta 10 November 1980
Asosiasi Gula Indonesia terbangun atas
inisiasi perusahaan yang berkecimpung
dalam dunia gula untuk bersatu
memperjuangkan aspirasinya untuk
kepentingan anggota dan gula nasional.
Selain itu, kini AGI pun ditujukan
untuk meningkatkan posisi tawar
organisasi dalam perumusan kebijakan
pergulaan nasional dan membangun
jejaring kerja untuk meningkatkan
value creation.

Untuk diketahui, anggota AGI


adalah industri gula yang berbasis
tebu. Dalam keanggotan AGI terdapat
perusahaan yang dapat dilihat dari
dua model, yaitu pertama industri
yang memproduksi gula dari petani
tebu, dan kedua yaitu perusahaan yang
memproduksi gula dari tebu yang
dikelola sendiri.
AGI merupakan asosiasi yang
harus memperjuangkan kepentingan
industri gula yang diantaranya, harus
mampu berbicara pada pemerintah,
petani, dan diantara anggota-anggota
itu sendiri. Dimana setiap anggota
apabila memperjuangkan kepentingan
nya sendiri-sendiri pasti tidak efektif.

Maka dari itu perlu sebuah asosiasi


yang mampu memperjuangkan
kepentingan tersebut. Inilah fungsi
AGI pada dasarnya, ungkap Tito
Pranolo.
Pada masa kepemimpinan
Tito Pranolo saat ini, AGI akan
memposisikan perannya sebagai ujung
tombak pergulaan nasional yang
berbasis tebu untuk mampu menjadi
komoditas unggulan yang mendukung
program pemerintah menuju
swasembada gula nasional. AGI
dengan pemimpin baru memunculkan
wajah baru yang memiliki rencana
kerja lebih nyata untuk membangun
industri gula berbasis tebu. Tito
sugar insight | Desember 2013

37

dialog
Pranolo menjelaskan kedepannya AGI
akan memberikan sumbangan pada
pemerintah tentang kebijakan gula
Indonesia pada masa mendatang. Hal
tersebut dianggap penting karena
menurutnya pada saat ini policy antara
gula kristal rafinasi (GKR) dengan gula
kristal putih (GKP) masih terpisah dan
harus secepatnya terintegrasi menjadi
satu kebijakan yang utuh serta bersifat
nasional.
Misalkan, dalam hal stabilisasi
harga, pada dasarnya apabila gula ini
benar-benar ingin dilepas ke pasar
bebas, maka apabila harga gula naik
atau turun pemerintah seharusnya
tidak ikut campur tangan. Namun,
pada saat ini pemerintah melakukan
intervensi manakala terjadi perubahan
harga gula. Sehingga perlu adanya
kebijakan yang jelas, dan kini AGI
sedang mengusahakan hal tersebut,
ungkap Tito Pranolo.
Selain itu Tito Pranolo
mengungkapkan bahwa kedepan AGI
akan memperjuangkan GKP menuju
SNI. Sebagai awalan pada tahun 2013
ini AGI akan menggelar workshop dari
anggota AGI untuk mengantisipasi
dan merespon kebijakan pertanian
tentang GKP harus memenuhi standar
SNI dalam kurun waktu dua tahun.
Dan hasil workshop tersebut, dapat
kita gunakan untuk membuat program
kerja berkenaan dengan apa yang
akan kita lakukan dalam dua tahun
kedepan untuk memenuhi keinginan
pemerintah agar GKP memenuhi
SNI. Hal tersebut yang penting untuk
dilakukan oleh AGI dalam waktu dekat
ini, jelas Tito.
Saat disinggung masalah
kebocoran gula kristal rafinasi di
pasar tradisional dan bagaimana
peranan AGI dalam menanggapinya,
Tito Pranolo melihat dari pendekatan
industri maka masalah tersebut adalah
sebuah tantangan. Menurutnya ini
ada adalah tantangan bagi industri
GKP dan AGI sendiri untuk harus
memenuhi standar-standar yang
diinginkan oleh konsumen.
38

sugar insight | Desember 2013

Pada saat ini konsumen terus


meminta gula dengan kualitas yang
baik, maka industri harus mampu ke
arah tersebut. Itulah alasan kenapa
AGI mengambil inisiatif untuk
bersama-sama membuat program
kerja untuk mencapai SNI. Karena
kita harus menaikan standar GKP,
tidak ada pilihan lain, jelas Direktur
Eksekutif AGI tersebut.
Perjuangan tidak bisa diwujudkan
apabila hanya tertulis di atas kertas,
sehingga dalam perjalannya, Tito
Pranolo menegaskan AGI harus bisa
dan mampu meyakinkan stakeholder
tentang kebutuhan anggotanya. Untuk
itu, secara bertahap dan berkalikali melalui seminar, pertemuan

Tebu hidup
dan tetap harus
hidup merupakan
sebuah keharusan,
maka dari itu
kedepannya
negara harus
membangun refine
factory dengan
kombinasi PG gula
tebu.
antar stakeholder AGI secara aktif
menginisiasi kebutuhan anggota AGI
baik dalam hal operasional maupun
dalam tingkat tataran kebijakan.
Pada saat ini kebijakan gula hanya
bertumpu pada kebijakan kementerian
perdagangan. Untuk saat ini kebijakan
gula yang dikeluarkan oleh beberapa
SK dari kementerian perdagangan
terlalu berat untuk menanggung
masalah pergulaan nasional. Kebijakan
tersebut menurutnya hanya kebijakan
yang mengatur perdagangan gula saja.
Sehingga tetap saja harus ada kebijakan
yang mengatur pergulaan nasional.
Misalkan masalah revitalisasi
pabrik gula, pertanyaannya adalah

apakah hal tersebut kebijakan


pemerintah atau coorporate action?
Apabila hal tersebut diserahkan
sepenuhnya oleh pabrik, maka hal
tersebut tidak akan tercapai, sehingga
harus ada kebijakan nasional, jelas Tito.
Dirinya menyebutkan bahwa di
sinilah kembali AGI harus berperan
dengan memperbaiki kebijakan
tersebut. AGI harus mampu
memperjuangkan hal tersebut
melalui stakeholder yang memangku
kepentingan, baik dewan gula maupun
pemerintah.
Tito Pranolo pun tidak menampik
ada kekurangan yang menghinggapi
AGI dan harus segera diperbaiki.
Menurutnya hingga kini AGI memiliki
permasalahan dalam hal komunikasi
antar anggota, asas kemanfaatan,
dan transparansi. Seperti organisasi
atau asosiasi pada umumnya, AGI
pun harus terus memperbaiki dan
menyempurnakan pola komunikasi
antar anggota sehingga timbul
interaksi yang menghasilkan manfaat
bagi anggota itu sendiri. Selain itu
diperlukannya transparansi yang baik
sehingga memunculkan trust dari
anggotanya kepada asosiasi.
Pada akhirnya, Tito Pranolo
berharap kedepannya AGI
mampu mensinergikan antara
pemerintah, industri dan petani
untuk bisa berjalan dengan baik.
Dirinya pun mengharapkan AGI
di bawah kepemimpinannya
mampu mengembangkan industri
gula berbasis tebu serta merubah
kebijakan revitalisasi pabrik gula
menjadi kebijakan gula nasional
bukan coorporate action.
Sebagai catatan akhir, Tito
Pranolo mengungkapkan kita harus
dapat melihat tebu bukan sebatas
komoditas, namun tebu adalah bagian
dari kebudayaan. Tebu hidup dan
tetap harus hidup merupakan sebuah
keharusan, maka dari itu kedepannya
negara harus membangun refine
factory dengan kombinasi PG gula
tebu, pungkas Tito Pranolo. l

orasi

Membalik Arus
Guremisasi Petani
dan Pertanian1
Oleh: Cici Wardini

13

November 2013 mungkin


menjadi hari yang tak
bisa dilupakan bagi
Ketua Gabungan Asosiasi Petani
Perkebunan Indonesia (Gaperindo),
Agus Pakpahan. Pasalnya di hari
tersebut, Mantan Deputi Menteri
Negara BUMN Bidang Agroindustri,
Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan
Penerbitan tahun 2005-2010 ini
resmi mendapatkan gelar Profesor
Riset. Seolah menjadi atribut, Agus
Pakpahan, seorang yang dikenal
humble ini tak bisa melepaskan
penelitiannya dari hal yang
berhubungan dengan petani. Hasil
riset yang membawa gelar profesornya
ini mencoba menelisik kembali nasib
petani yang disebut sudah mengalami
guremisasi. Disebut demikian kata
Agus, akibat warisan evolusi sejarah
pembangunan yang keliru.
Dalam orasinya, Agus menekankan
Korea Selatan dan Jepang sebagai
referensi empirik yang terlebih
dahulu mampu meningkatkan luas
lahan usaha tani per RTP dengan
menghadirkan transformasi ekonomi
yang dicirikan oleh kekuatan sektor
industri dan jasa dalam menyerap
tenaga kerja pertanian dan perdesaan.
Meski secara sosial budaya menurut
Agus kondisi ketiga negara ini tak
sama, namun seharusnya ini bukan
menjadi satu alasan untuk tidak
maju. Agus menilai tidak ada suatu
negara yang bisa mengelak dari
kenyataan bahwa kemajuan suatu
negara tergantung kesuksesan
industrialiasasinya.

Agus Pakpahan

Diperlukan
political
commitment
yang kuat untuk
menghentikan
guremisasi
petani.
Agus juga tak lupa merewiew
kekeliruan yang dilakukan pada masa
pemerintahan lalu yang justru semakin
memasifkan guremisasi, utamanya saat
kepemimpinan orde baru. Pada era ini
kata Agus penguasaan lahan pertanian
menjadi variabel eksogen atau luas
lahan minimum diserahkan kepada
proses almiah. Artinya, peningkatan
produksi dan produktifitas pertanian
yang memberikan swasembada pangan
tidak berkorelasi positif dengan aset
lahan yang dimiliki petani. Di lain
pihak, perusahaan perkebunan besar,
khususnya kelapa sawit semakin
berkembang dengan laju yang sangat
cepat dengan penguasaan sedikit

pihak. Hal ini justru berkebalikan


dengan kondisi Korea Selatan dan
Jepang dimana guremisasi bukan
merupakan proses ilmiah.
Dalam programnya, Agus
mengatakan perlu disorot dan
kembali mengintensifkan persoalan
intensifikasi pendidikan, pelatihan, dan
penyuluhan yang juga merupakan inti
program antiguremisasi dan isi pokok
pengembangan organisasi petani dan
Badan Usaha Milik Petani (BUMP).
Di negara maju kata Agus, program
peningkatan organisasi dan BUMP
sangat terarah, jelas, dan terukur sesuai
karakteristik petani gurem. Tak hanya
itu, Agus menyarankan agar Pemerintah
mau mendirikan lembaga semacam
FELDA di Malaysia.
Bagi petani gurem, Agus juga
menyarankan perlu dibangun Bank
Tanah. Apabila pada awal 1980-an
lahir Program Perkebunan Besar
Swasta Nasional (PBSN), maka hal
itu juga harus diciptakan untuk
kebutuhan petani. Di sesi penutup
orasinya, Agus menyebut perlu
dilakukan koreksi bahkan reformasi
terhadap arah, strategi, kebijakan,
dan program pembangunan nasional
agar guremisasi petani dan pertanian
di Indonesia tidak berlanjut. Untuk
mewujudkan hal tersebut diperlukan
political commitment yang kuat, tegas
ayah empat anak ini. l
Judul diangkat dari Orasi Pengukuhan
Profesor Riset Bidang Agro Ekonomi (Ekonomi
Pertanian) oleh Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan di
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Kementerian Pertanian

sugar insight | Desember 2013

39

Opini

KONSPIRASI KEMAKMURAN GULA

Aris Toharisman
atoharis@yahoo.com
Direktur Pusat Penelitian Perkebunan
Gula Indonesia (P3GI)

40

sugar insight | Desember 2013

ntuk kesekian kalinya pada 17


September 2013 lalu ribuan
petani tebu melakukan unjuk
rasa atas maraknya peredaran gula
rafinasi di pasar bebas. Mereka demo di
depan kantor Departemen Perdagangan
di Jakarta. Petani minta agar peredaran
gula rafinasi diawasi supaya tidak masuk
ke pasar konsumsi yang menyebabkan
penurunan harga gula kristal putih
(GKP).
Protes terhadap masuknya
gula rafinasi ke pasar konsumsi
masyarakat, yang berdasarkan aturan
diperuntukkan bagi industri makanan
dan minuman, bukan kali ini saja.
Unjuk rasa serupa hampir berulang
setiap tahun, terutama pada saat harga
GKP rendah.
Penetrasi gula rafinasi tampaknya
sulit dihindari. Pengawasan atas
pelanggaran distribusi tidak cukup
memadai dan bahkan relatif lemah. Di
pesisir timur Sumatera, sebagian besar
Kalimantan dan Sulawesi, gula rafinasi
dengan mudah ditemukan di warung
dan toko-toko. Peredarannya sangat
bebas serta kasat mata. Mungkin saja
itu gula impor ilegal.
Saat ini ada 11 pabrik gula rafinasi
dengan total kapasitas terpasang

hampir 5 juta ton, sementara


kebutuhan hanya 2,5 juta ton setahun.
Jadi logis kalau keinginan untuk
menambah produksi agar pabrik
tidak idle capacity selalu muncul.
Apalagi, 62 pabrik GKP berbahan
baku tebu lokal masih belum bisa
mencukupi konsumsi gula masyarakat
sebanyak 2,8 juta ton. Seiring dengan
pertambahan penduduk dan tingkat
kesejahteraan masyarakat, kebutuhan
gula akan terus meningkat. Tarikan
pasar ini yang menggoda gula rafinasi
masuk ke pasar.
Derita Terus Melanda
Harga GKP rendah bukan sematamata karena rembesan gula rafinasi.
Mesti diakui, penggunaan bahan baku
gula mentah impor dengan harga
lebih murah untuk rafinasi, akan
menghasilkan gula yang lebih murah
dibandingkan GKP. Gula mentah yang
umumnya dihasilkan negara produsen
gula relatif efisien seperti Brazil,
India, Thailand dan Australia memang
sulit disaingi produsen gula lokal.
Tampaknya hingga beberapa tahun ke
depan, biaya produksi gula kita masih
akan lebih tinggi dibanding negaranegara di atas.

Harga patokan petani (HPP) GKP


tahun ini yang sama dengan tahun lalu
sebesar Rp 8.100 per kg, juga disinyalir
menjadi penyebab rendahnya harga
GKP. Permintaan Asosiasi Petani
Tebu Rakyat (APTR) menjelang awal
giling agar HPP ditetapkan Rp 9.800
per kg tidak disetujui Departemen
Perdagangan. Mungkin argumennya
untuk menjaga stabilitas harga di pasar
dan menekan inflasi.
Soal harga baru satu cerita. Derita
petani bermula dari iklim yang tak bisa
diduga. Hujan berkepanjangan terjadi
ketika sebagian besar PG memulai
awal giling pada Juni 2013, bahkan
terus berlanjut hingga pertengahan
Agustus.
Hujan selama musim giling
tebu jelas menambah biaya. Ongkos
tebang dan angkut tebu naik, biaya
prosesing gula membengkak,

sementara gula yang dihasilkan


berkurang. Keuntungan petani
pasti turun dan bahkan diambang
kerugian.
Harga yang diharapkan jadi
penyelamat cenderung turun hingga
Rp 9.000 per kg. Padahal sebelumnya
harga gula bertengger pada kisaran Rp
11.000 sekilo. Kondisi ini benar-benar
membuat petani kelimpungan.
Solusi Kemelut
Protes petani tebu atas persoalan
merembesnya gula rafinasi dan harga
gula rendah, merefleksikan carut
marutnya persoalan gula selama ini.
Hasrat mencari rente dari impor
gula sampai batas tertentu telah
menggelapkan mata beberapa oknum.
Hitungan neraca kebutuhan gula
sering berbeda diantara para stake
holder dan ujung-ujungnya impor

gula melampaui kebutuhan. Lagi-lagi


luberan gula masuk ke pasar.
Di sisi lain, produsen GKP harus
meningkatkan produktivitas dan
efisiensi. Alokasi sumberdaya, baik
dalam bentuk pemanfaatan lahan,
prasarana produksi, dan aset lainnya,
harus dioptimalkan. Sayangnya, upaya
tersebut belum banyak kelihatan.
Roadmap swasembada gula dan
revitalisasi industri gula tidak bisa
diimplementasikan sepenuhnya.
Swasembada gula tampaknya masih
sekedar wacana dan jauh dari realita.
Persoalan diatas sebenarnya bisa
diselesaikan asal ada kemauan. Pertama,
kalau separasi pasar gula rafinasi dan
GKP tetap dipertahankan, kuota impor
gula mentah harus benar-benar sesuai
dengan kebutuhan. Jangan ada over
kuota impor, apapun alasannya. Kedua,
harus ada ketentuan yang jelas dan
terukur atas alokasi jumlah impor raw
sugar untuk idle capacity, commissioning
test, dan keperluan khusus. Ketiga,
harmonisasi kebijakan gula harus
dilakukan. Tarif impor gula mentah
sebaiknya fleksibel dan diserasikan
dengan fluktuasi harga gula mentah
sehingga harga jual gula rafinasi tidak
berada dibawah HPP GKP.
Kebijakan ini harus benar-benar
dikaji agar tidak merugikan semua
pihak, khususnya industri maakanan
dan minuman. Keempat, dalam
jangka panjang dikotomi pasar gula
perlu dihilangkan karena akan sulit
dipertahankan. Pembatasan akses
masyarakat terhadap gula yang
berkualitas lebih putih dan bersih jelas
menghalangi hak konsumen.
Akar masalah persoalan gula
sebenarnya mudah dibaca, hanya
solusi tuntasnya tak pernah ada.
Meminjam istilah Vickinisasi, mungkin
Pemerintah harus lebih sungguhsungguh membangun konspirasi
kemakmuran antara pabrik gula
rafinasi pabrik GKP, petani tebu,
konsumen dan industri pengguna
gula lainnya. Jika tidak, industri gula
nasional akan labil ekonomi. l
sugar insight | Desember 2013

41

ekonomi

Produksi Gula 2013 Lesu


Sudah bukan rahasia lagi jika
produksi gula tahun ini turun
10-15%. Faktor anomali cuaca
dan iklim basah menjadi
alasan utama para produsen
gula tak maksimal hasilkan
Gula Kristal Putih.
Oleh: Cici Wardini

42

sugar insight | Desember 2013

ementerian Pertanian akhir


Oktober lalu telah merilis
perkiraan produksi gula
nasional tahun ini. Total
produksi Gula Kristal Putih (GKP)
nasional tahun 2013 berdasarkan
data akhir giling 2013 diperkirakan
sebesar 2,254 juta ton atau menurun
sebesar 1,77% dibanding tahun 2012
yang mencapai 2,591 juta ton. Menurut
Suswono, penyebab terjadi penurunan
ini selain akibat pabrik yang tak efisien
juga karena adanya anomali iklim

Perkembangan Luas Areal Giling, Produksi Tebu, Rendemen, dan Produksi Gula Tahun 2003-2013
Tebu
No

Tahun

Luas (Ha)

Produksi
(ton)

Produktivitas
(ton/ha)

Rendemen
(%)

Gula
Produksi (ton)

Produktivitas
(ton/ha)

2003

335.725

22.631.108

67,41

7,21

1.631.919

4,86

2004

344.793

26.743.179

77,56

7,67

2.051.644

5,95

2005

381.786

31.142.268

81,57

7,20

2.241.742

5,87

2006

396.440

29.179.399

73,60

7,90

2.303.758

5,81

2007

428.401

33.286.453

77,70

7,35

2.448.143

5,71

2008

436.517

32.960.164

75,51

8,10

2.668.428

6,11

2009

422.935

30.256.778

71,54

7,60

2.299.504

5,44

2010

432.714

35.458.159

81,94

6,08

2.290.117

5,29

2011

450.298

30.323.228

67,34

7,29

2.228.259

4,95

10

2012

451.191

31.888.927

72,10

8,13

2.591.687

5,86

11

2013

460.496

35.378.805

76,80

7,20

2.390.000

5,53

137

156

114

100

146

114

% Peningkatan tahun 2013 thd 2003

Sumber: Statistik Ditjen Perkebunan tahun 2012 dan DGI tahun 2013

yaitu curah hujan dan bulan basah


yang lebih banyak dibanding tahun
sebelumnya, menyebabkan tebu yang
digiling banyak mengandung air.
Dibandingkan tahun 2012, kinerja
tahun 2013 untuk luas areal, produksi
dan produktivitas tebu mengalami
peningkatan. Masing-masing sebesar
2,06% untuk luas areal giling tebu,
10,94% untuk produksi tebu giling,
dan 6,51 untuk produktivitas tebu.
Dari sisi lahan, menurut sumber
Kementan terdapat penambahan
luas hingga 9.035 ha dibandingkan
tahun lalu. Tahun 2013, luas areal
tebu mencapai 460.496 ha. Hitungan
ini sudah termasuk penambahan
luas areal yang berlokasi di Madura
seluas 4.000 ha. Sayangnya, jika dilihat
dari rendemen terjadi penurunan
sebesar 11,44% dibanding tahun 2012.
Ini mengakibatkan produksi gula
mengalami penurunan 1,77% dan
produktivitas hablur/gula menurun
5,64%. Tahun ini, rendemen gula
nasional juga hanya 7,2 % lebih
rendah dibandingkan tahun 2012 yang
mencapai 8,13%.
Sangat kontras jika sebelumnya
pemerintah menargetkan produksi
gula yang disebut akan mengalami
kenaikan. Perbaikan yang ditujukan
dengan kenaikan produksi ini

diperkirakan akan naik 12%


dibandingkan tahun 2012. Target
produksi GKP atau gula konsumsi
2012 sebesar 2,54 juta ton sementara
realisasinya adalah 2,58 juta ton. Dirjen
Perkebunan Kementerian Pertanian
Gamal Nasir pernah mengatakan,
target produksi gula tahun ini lebih
tinggi 300 ribu ton dibandingkan
dengan tahun lalu. Untuk tahun
2013, target produksi gula sebesar 2,8

Rupanya Suswono juga tak mau


dianggap gagal. Saat jumpa pers Hari
Pangan Sedunia pertengahan Oktober
lalu Suswono menilai produksi
gula tahun ini meningkat karena
adanya penambahan luas lahan,
tetapi rendemen atau kadar gula
dalam tebu yang dinyatakan dalam
persentase justru turun akibat hujan
berkepanjangan. Berdasarkan taksasi,
produksi gula pada 2013 sebanyak

Persoalan anomali cuaca dan iklim


basah rupanya bukan cuma membuat
tebu yang dihasilkan menjadi tak
optimal. Tetapi juga berpengaruh pada
proses pemanenan.
juta ton, ujar Gamal awal tahun 2013
lalu. Ia juga optimistis target tersebut
dapat tercapai dengan argumen bahwa
tahun 2013 produktivitas gula akan
naik karena rendemen naik. Kenaikan
produktivitas gula ini merupakan
hasil dari kegiatan bongkar ratoon
dalam dua tahun belakangan ini.
Rerata rendemen gula pada tahun
2012, sebesar 8,12% atau lebih tinggi
dibandingkan dengan rerata tahun
sebelumnya yang hanya 7,5%.

2,55 juta ton. Upaya pencapaian


target swasembada gula menghadapi
banyak kendala di antaranya adalah
penambahan lahan baru minimal 350
ribu ha dari luas saat ini 450 ribu ha.
Untuk meningkatkan produksi gula
bagi industri makanan dan minuman
dibutuhkan minimal 20 pabrik gula
baru.
Sementara itu, dari sisi
pengusaha, PTPN IX mengungkapkan
ketidakpuasan hasil tebu tahun ini.
sugar insight | Desember 2013

43

ekonomi
Menurut Direktur PTPN IX, Adi
Prasongko tahun ini sungguh dirasakan
sulit baik bagi perusahaan maupun
petani. Produktivitas petani rendah
karena iklim. Rendemen kami 5,88
dari target semula sebesar 7,5, kata
Adi. Faktor iklim, kata Adi, yang paling
mempengaruhi sehingga target ini
produksi PTPN IX juga ikut turun dari
160 ribu ton menjadi 140-an ribu ton.
Sementara dari sisi pabrik,
persoalan cuaca juga menyebabkan
ketidakefisienan yang sangat dirasakan
PTPN IX dan berimbas pada biaya
produksi semakin tinggi. Penggunaan
biaya untuk minyak bahan bakar yang
melampaui anggaran. Biaya produksi
per kilonya di atas Rp10 ribu untuk
minyak, lanjutnya.
Berdasarkan pantauan Aris
Toharisman, Direktur Pusat Penelitian
Perkebunan Gula Indonesia (P3GI)
melalui informasi Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
produksi gula nasional pada 2011
sebanyak 2,26 juta ton, lebih rendah
ketimbang tahun 2010 sebanyak 2,28
juta ton. Belakangan, siklus anomali
iklim semakin pendek dan tidak bisa
diramalkan secara tepat. Tahun ini
tingkat produksi diperkirakan seperti
2011 lalu. Pada Februari 2013, kata
Aris, BMKG memprediksi kemarau
berjalan normal. Namun memasuki
Mei, BMKG merevisi kembali
prediksinya bahwa hujan terus
berlangsung hingga Agustus. Padahal,
petani tebu berharap musim kemarau
lebih panjang agar giling tebu berjalan
normal. Tebu yang digiling masih
terimbas hujan abnormal sebelumnya,
ucapnya.
Persoalan anomali cuaca dan iklim
basah rupanya bukan cuma membuat
tebu yang dihasilkan menjadi tak
optimal. Aris menilai, akibat terbesar
dari adanya perubahan iklim ini
adalah proses pemanenan menjadi
terganggu. Kala hujan yang tak
kunjung berhenti menyebabkan petani
kesulitan menebang hingga ke lahan
bagian dalam, akibatnya petani hanya
44

sugar insight | Desember 2013

Hasil Giling Gula (dalam ton)


Perusahaan Gula / Pabrik Gula

2012*

2013**

PT Perkebunan Nusantara II

41.506

37.167

PT Perkebunan Nusantara VII

106.302

118.331

PT Perkebunan Nusantara IX

144.688

137.264

PT Perkebunan Nusantara X

494.419

491.476

PT Perkebunan Nusantara XI

409.072

400.258

PT Rajawali Nusantara Indonesia

345.190

320.536

PT PG Madu Baru

38.217

34.576

PT Kebon Agung

182.230

185.939

PT IGN

5.489

12.441

PT Pakis Baru

30.845

28.874

PG Bone

10.407

14.595

PG Camming

14.939

17.347

PG Takalar

8.439

10.383

PT Gunung Madu Plantation

190.842

182.000

PT Sugar Grup

416.735

393.889

PT PG Gorontalo

31.849

26.395

PT Pemuka Sakti Manis Indah

71.181

74.750

49.333

59.615

PT LPI (PG Komering)

*: realisasi 2012
**: hasil taksasi 2013
Sumber: Dewan Gula Indonesia

menebang bagian terluar dari lahan


tebu. Sayangnya, seringkali tebu yang
ditebang di bagian pinggir belum cukup
umur sehingga mempengaruhi hasil
perasan gula. Belum lagi transportasi
juga ikut menjadi mahal, dan ini yang
harus ditanggung oleh petani.
Tak hanya di lahan, di pabrik gula
sendiri memproses gula juga menjadi
terhambat. Jika pasokan masih kurang,
PG akan menunggu hingga tebu yang
masuk sesuai volume pabrik. Jadi
disebut karena musim, ada penurunan
sebagian besar karena itu. Rangkaian
itu banyak disebabkan oleh teknis,
jelas Aris. Ia juga mencontohkan,
kondisi di Indonesia tak seperti di
Kolombia yang memiliki curah hujan
kecil dan merata sehingga tebu dapat
dipanen dan ditebang sepanjang tahun.
Meski tahun ini produksi maupun
produktivitas gula tak mampu
membuat kita tersenyum, Pemerintah
rupanya tak kendor. Kementan justru
memasang target yang cukup fantastis

jika dibandingkan dengan kenyataan


realisasi produksi gula tahun ini.
Suswono bilang target produksi tahun
2014 akan terealisasi sebanyak 3,1 juta
ton.
Namun, garis bawahnya adalah,
Kementan hanya akan memfokuskan
target swasembada gula untuk
kebutuhan konsumsi. Kebutuhan
konsumsi ini ujar Suswono akan
tercapai di tahun 2014. Angka produksi
itu merupakan revisi dari target awal
swasembada yang mencapai 5,7 juta
ton yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga dan industri
makanan dan minuman. Saat ini kami
fokus meningkatkan produksi gula
konsumsi, tandasnya.
Mari kita lihat apakah kali ini
Pemerintah betul-betul mampu
realisasikan target dan janjinya
membawa industri gula menjadi
lebih baik. Tak hanya gembar-gembor
di awal tahun seperti sebelumnya.
Semoga l

sugar insight | Desember 2013

45

ekonomi

Ketika Bioetanol
Menjadi Kewajiban
Oleh: Muhammad Iqbal

udah lama Pemerintah


menggadang-gadang
isu energi terbarukan.
Bioetanol bukanlah barang baru.
Hanya saja perkembangannya seperti
hidup segan mati tak mau. Belum
ada dorongan yang signifikan dari
Pemerintah. Namun, akhir Agustus
lalu, Pemerintah lewat Menteri
Ekonomi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Jero Wacik mengeluarkan
Peraturan Menteri (Permen) Nomor
25 Tahun 2013 yang berisi tentang
kewajiban menggunakan bioetanol
secara bertahap. Singkong dan tebu
dianggap yang paling siap.
Permen ini terdorong dari
fakta bahwa neraca perdagangan
Indonesia begitu labil. Defisit neraca
perdagangan menumpuk terus, bahkan
defisit neraca perdagangan bulan Juli
2013 saja mencapai US$2,3 miliar.
Angka ini melebihi defisit neraca
perdagangan sepanjang tahun 2012
yang mencapai US$1,6 miliar.
Angka defisit neraca perdagangan
bulan Juli ini dikeluarkan dari
Badan Pusat Statistik (BPS) pada
awal Agustus 2013. Tentu saja
data BPS ini membuat Pemerintah
seperti kebakaran jenggot. Hal ini
yang membuat telinga Pemerintah
memerah. Lantas, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono membuat empat
paket kebijakan pada tanggal 23
Agustus 2013 atau tiga minggu setelah
keluarnya data BPS.
Kebijakan pertama berisi
tentang upaya memperbaiki neraca
transaksi berjalan dan menjaga nilai
tukar rupiah. Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian Hatta
Rajasa mengatakan, salah satu dari
46

sugar insight | Desember 2013

implementasi riil kebijakan pertama


ini adalah menurunkan impor
minyak dan gas dengan mendorong
penggunaan biodiesel dan bioetanol.
Inilah yang kemudian mendorong
Kementerian ESDM pada akhir
Agustus 2013 membuat aturan
kewajiban penggunaan bioetanol
yang dikemas bersama dengan aturan
kewajiban penggunaan biodiesel.
Dalam aturan anyar itu disebutkan
bahwa penggunaan Bahan Bakar
Nabati dalam rangka ketahanan energi
nasional wajib dilakukan secara
bertahap oleh Badan Usaha Pemegang
Izin Usaha Niaga Bahan Bakar Minyak,
Pengguna Langsung Bahan Bakar
Minyak, dan Pemegang Izin Usaha
Penyediaan Tenaga Listik yang masih
menggunakan bahan bakar minyak.
Untuk bioetanol sendiri, pentahapan
itu dimulai dari sektor transportasi
Non-Public Service Obligation (NonPSO) yang berkewajiban memanfaatkan
bioetanol minimal sebesar 1% dari
kebutuhan total mulai September 2013.
Pentahapan berikutnya adalah pada
Januari 2014. Sektor transportasi NonPSO masih diwajibkan memanfaatkan
etanol sebesar 1%. Sedangkan sektor
transportasi PSO mulai diwajibkan
memanfaatkan etanol sebesar 0,5%.
Sektor industri dan komersial juga mulai
diwajibkan memanfaatkan bioetanol
mulai Januari 2013, yaitu sebesar 1%.
Satu tahun kemudian, yaitu
Januari 2015, kewajiban pemanfaatan
bioetanol ditingkatkan minimal
menjadi dua kali lipatnya. Sektor
transportasi PSO wajib memanfaatkan
bioetanol sebesar 1%. Sementara
sektor transportasi Non-PSO serta
sektor industri dan komersial wajib

menggunakan bioetanol sebesar 5%.


Pada Januari 2020, sektor
transportasi PSO wajib memanfaatkan
bioetanol sebesar 5%. Sementara
sektor transportasi Non-PSO dan
sektor industri dan komersial wajib
menggunakan bioetanol sebesar 10%.
Baru kemudian pentahapan terakhir
pada Januari 2025, yaitu seluruh
sektor yang disebut di atas wajib
memanfaatkan bioetanol sebesar 20%
terhadap kebutuhan total.
Peraturan Menteri ESDM ini hanya
mengatur pentahapan kewajiban
minimal pemanfaatan bioetanol untuk
tiga sektor di atas, yaitu transportasi
PSO, transportasi Non-PSO, dan
Industri & Komersial. Sementara
sektor rumah tangga dan sektor
pembangkit listrik belum ditentukan,
sehingga belum ada kewajiban
menggunakan bioetanol.
170 Juta Liter Siap
Perlu digarisbawahi, bahwa dalam
aturan tersebut juga mewajibkan
penggunaan Bahan Bakar Nabati
(BBN) dari dalam negeri. Dengan
kewajiban konsumsi bioetanol seperti
ini, tentu akan meningkatkan sisi
permintaan pasar dalam negeri.
Yang menjadi pertanyaan adalah,
apakah permintaan yang meningkat
ini bisa diiringi dengan peningkatan
penawaran/produksi yang cukup?
Dadan Kusdiana, Direktur
Bioenergi, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM),
mengatakan produksi bioetanol akan
cukup, terutama bersumber dari tebu
dan singkong. Bioetanol 170 juta liter
siap untuk penuhi kebutuhan tersebut.
Tidak ada masalah dari sisi volume

Ketidakcocokan harga ini masih


terus kami bicarakan, kata Dadan. Ia
juga mengatakan bahwa Indonesia
sedang belajar bagaimana caranya agar
bioetanol di Indonesia bisa semaju
di Brazil atau di Thailand. Di Brazil,
bahkan kendaraan sudah menyesuaikan
dengan bensin dari tebu yang
diproduksi di dalam negerinya sendiri.

produksi, kata Dadan kepada Sugar


Insight, pertengahan November lalu.
Yang masih menjadi kendala, kata
Dadan, adalah ketidakcocokan harga
antara Pemerintah dengan produsen
bioetanol. Pemerintah menginginkan
harga berdasar Harga Indeks Pasar
(HIP). Sementara produsen biofuel
menganggap harga tersebut belum
masuk. Dadan memberikan gambaran,
HIP yang berlaku adalah sekitar
Rp7.400/liter. Sedangkan harga yang
diinginkan produsen biofuel lebih tinggi
sekitar Rp1.000 dari HIP tersebut.

Dari sisi pengusaha biodiesel,


Permen tersebut seperti buah
simalakama. Di satu sisi, mereka butuh
pasar akan produk mereka, tetapi di sisi
lain, harga tidak mengikuti mekanisme
pasar. Kewajiban pemanfaatan
bioetanol dalam Permen itu mengikat
cukup kuat. Jika Pemegang Izin Usaha
Niaga BBN tidak memenuhi kewajiban
tersebut, maka akan ada teguran
tertulis dari Pemerintah. Lalu bisa
dilanjutkan dengan sanksi administratif
berupa penangguhan Kegiatan Usaha
Niaga BBN.

Ampas Tebu
PT Perkebunan Nusantara X (PTPN
X) sudah melihat potensi pemanfaatan
ampas tebu (bagas) untuk dijadikan
bioetanol. Potensi ampas tebu jauh
lebih besar daripada tetes tebu
(molasses). Direktur Utama PTPN
X Subiyono mengungkapkan, bahwa
satu liter bioetanol memerlukan
bahan baku ampas tebu sebanyak lima
kilogram yang harga per kilogramnya
berkisar di angka Rp200. Dengan
begitu, bahan baku satu liter bioetanol
dari ampas tebu adalah Rp1.000.
Sementara jika bahan baku
pembuatan bioetanol menggunakan
tetes tebu, maka untuk menghasilkan
satu liter bioetanol akan memerlukan
bahan baku empat kilogram tetes tebu
atau setara dengan Rp4.000. Dengan
begitu, profit margin pembuatan
bioetanol dengan ampas tebu jauh
lebih besar ketimbang menggunakan
tetes tebu.
Berdasarkan hitung-hitungan
tersebut, PTPN X telah membentuk
tim pengkaji khusus dalam rangka
perencanaan pembangunan pabrik
bioetanol dari ampas tebu. Saat ini,
PTPN X sendiri sudah memiliki
pabrik bioetanol dari tetes tebu,
yaitu di Pabrik Gula Gempolkrep di
Mojokerto. Subiyono menjelaskan,
dari sebelas pabrik gula yang ada
dalam naungan PTPN X, setidaknya
terdapat 1,8 juta ton ampas tebu.
Katakanlah yang digunakan untuk
operasional pabrik sebesar 1,3 juta ton,
maka akan tersisa 0,5 juta ton ampas
tebu yang bisa dikonversi menjadi 100
juta liter bioetanol. Potensi ini harus
dimaksimalkan, kata dia. l
sugar insight | Desember 2013

47

cerobong

GMP: Optimis Menatap


Industri Gula
Berdiri tegak sebagai pioneer
di lahan kering, PT Gunung
Madu Plantation hingga kini
mampu membuktikan bahwa
industri gula di Indonesia
patut dibanggakan dan masih
memiliki kontribusi yang
cukup besar di Indonesia.
Oleh: Cici Wardini

ondisi industri gula


Indonesia yang saat ini
mengalami kemunduran
tak menyurutkan langkah PT Gunung
Madu Plantation (GMP) untuk tetap
tegak melangkah. Masih ada harapan,
dan industri gula di Indonesia akan
terus berkibar. Itulah optimisme
sebuah perusahaan yang telah tiga
dasawarsa lebih malang melintang di
industri pemanis ini.
Perjalanan GMP ketika
menginjakkan kaki di tanah Lampung
tak selalu mulus. Berdiri di atas lahan
kering seluas 35 ha membuat musim
giling perdana di tahun 1978 hanya
mencetak sekitar 18 ribu ton dengan
tingkat produktivitas kristal gula
sebesar 3,5 ton gula/ha. Ditertawakan
bahkan dicibir sudah mereka rasakan,
namun kerja keras dan belajar
membuat GMP bisa tersenyum saat ini.
Kami butuh cash flow dan kami perlu
48

sugar insight | Desember 2013

memutar bisnis maka dari hasil itu


kami perlu belajar, ujar Gunamarwan,
Services Business & Finance Manager
GMP.

GMP tergolong ke dalam


Perusahaan Modal Asing (PMA)
dengan penanam modal utama dari
Kuok Investment Co, Ltd. dengan

shareholder sebesar 45%, sisanya


adalah dua perusahaan lokal lainnya
yakni PT. Redjo Sari Bumi dan PT.
Pipit Indah. Keberhasilan GMP tidak

lepas dari ketiga perusahaan tersebut.


Sebut saja persoalan lahan kering
yang ketika itu menjadi momok.
Beruntungnya, Kuok Investment

memiliki pengalaman sebelumnya


terhadap lahan kering di Malaysia
tepatnya di daerah Kucing yang justru
memiliki unsur hara yang lebih miskin
sugar insight | Desember 2013

49

cerobong
ketimbang di Lampung. Pengalaman
inilah yang kemudian dibagi untuk
GMP baik secara teknologi maupun
sumber daya alamnya.
Semula Gunamarwan
mengisahkan, dahulu Lampung
tak dijadikan rekomendasi untuk
industri gula berbasis tebu akibat
lahannya yang cenderung kering.
Namun pertimbangan memilih
lokasi Lampung yang berdekatan
dengan Pulau Jawa serta pelabuhan
yang sudah mantap kala itu tak
menyurutkan langkah GMP
membangun industri gula yang
berlokasi di Gunung Batin ini.
GMP kemudian membawa top
soilsalah satu bagian tanaman
untuk kemudian dikirim dan
dipelajari di negara tetangga. Upaya
mengembangkan riset dan teknologi
ini menuntut GMP membentuk unit
penelitian sendiri sebagai langkah
strategis menghadapi berbagai
masalah teknologi khususnya di
bidang pertanian tebu.
Dalam perkembangannya,
anggaran yang disediakan untuk
bidang ini dapat mencapai Rp2,5 miliar
lebih per tahun. Dulu kan mindset kita
tebu hanya tumbuh di Jawa dengan
tingkat kesuburan tertentu. Mindset
ini kan jadi berubah, ungkap pria
yang bekerja sejak awal GMP berdiri
ini. Setelah mengalami masa sulit
produksi di awal berdirinya, pelan tapi
pasti dalam musim lima tahun terakhir
setelahnya produksi gula mencapai
rata-rata di atas 160.000 ton dengan
tingkat produktivitas di atas tujuh ton
gula per ha.
Hasil riset dan pengembangan
GMP tak sia-sia, hingga kini GMP
sudah masuk di musim yang ke-36
atau paling tidak sembilan periode
sudah terlewati dengan menerapkan
empat kali panen di setiap kali
tanamnya. Tak tanggung-tanggung,
setiap tahun GMP memiliki
komitmen untuk membenahi pabrik
agar kondisinya tetap prima. Untuk
meningkatkan produksi maupun
50

sugar insight | Desember 2013

produktivitas kondisi seluruhnya


harus bagus, tandas Gunamarwan.
Anomali Cuaca
Tak dipungkiri, kondisi tahun ini
menjadi cobaan yang berat bagi
industri pergulaan nasional. GMP juga
tak luput dari kondisi yang miris ini.
Tahun ini (produksi gula) Indonesia
menurun 10-15% ini karena curah
hujan tinggi. Produksi menurun dan
harga juga turun, ujar Gunamarwan.
Menurutnya, produksi GMP
mengalami penurunan dari target
yang sudah ada sebelumnya yakni 195
ribu ton menjadi 185 ribu ton dengan
rendemen 8,38%. Sementara dari hasil
samping yakni tetes tebu (molasses),
GMP mampu mengantongi hasil yang
kemudian diekspor ke berbagai negara
ini sebesar 80 ribu ton. Dari produksi
ini, Gunamarwan mengaku pangsa
pasar GMP tidaklah besar atau sekitar
8-10%. Ini menurutnya masih belum
cukup untuk bisa mempengaruhi
harga gula secara nasional.
Kapasitas GMP sendiri sejak
tahun 1990-an sudah mengalami
peningkatan signifikan. Berawal

dari kapasitas empat ribu TCD (Ton


Cane Day) menjadi 12 ribu TCD.
Ini menurut Gunamarwan masih
dapat ditingkatkan kapasitasnya
apabila kebutuhan dan pasokan tebu
menigkat. GMP, selain mengolah
tebu dari kebun yang bersumber dari
HGU sendiri juga berasal dari plasma
yang dibina oleh GMP. Pada musim
tebang dan giling tiba, GMP sudah
memasang blok sehingga saat masuk
ke pabrik sudah ada nomor masingmasing.
Kami prinsipnya transparansi dan
tidak ada keterpaksaan. Kami bayar
setelah satu bulan panen 80% itu kami
bayar, tegas Gunamarwan. GMP sadar
saat ini model plasma dan kemitraan
harus dibangun agar masyarakat
sekitar mampu berdaya. Gunamarwan
mengaku luas lahan untuk plasma
seluas 3800 ha dan pada tahun 20032004 sudah panen. GMP juga menjadi
avails bagi petani tebu yang menjadi
plasmanya.
Dengan kondisi yang menurun
saat ini, dipastikan untuk tahun ini
omzet GMP akan menurun. Seperti
diketahui, tahun 2012 lalu, produksi

GMP mencapai 190 ribu dengan


omzet dari harga gula yang dipatok
Rp9000, GMP mampu mengantongi
Rp1,9 triliun. Angka 1,9 bukan semua
milik GMP, masih ada dari petani dan
ini belum dihitung ppn. Ada yang
bilang keuntungan GMP Rp1 trilun
ya Alhamdulillah, kata Gunamarwan
sambil tersenyum.
Upaya GMP agar industri gula
dapat menjadi industri yang ramah
lingkungan dan mengolah limbah
hingga zero waste dibuktikan
dengan pengolahan limbah cair yang
dilakukan secara biologis melalui
serangkaian kolam anaerob dan aerob.
Instalasi pengolahan ini menempati
lahan seluas 10 Ha. Limbah
padat berupa blotong seluruhnya
dimanfaaatkan kembali sebagai
pupuk organik di kebun tebu. Blotong
ini cepat memberikan peningkatan
pertumbuhan vegetatif tanaman,
mengurangi pemakaian pupuk kimia
dan memperbaiki kesuburan fisik dan
kimiawi tanah.
Buangan padat lainya, ampas tebu
(bagasse), digunakan sebagai bahan
bakar ketel yang berfungsi sebagai
pembangkit tenaga listrik. Dalam hal

ini pabrik gula selalu berswasembada


listrik. Ampas yang tidak habis
terpakai oleh ketel pabrik digunakan
untuk membangkitkan listrik yang
lebih besar (untuk penyediaan tenaga
listrik sampai ke kebun), ampas tebu
kini juga dimanfaatkan untuk bahan
baku utama pembuatan kompos.
Bagi GMP, jangka panjang sebuah
kesuksesan didapatkan jika tiga
keberlanjutan (sustainable) ini dapat
tercapai diantaranya keberlanjutan
secara ekonomi, ekologi, dan
bermanfaat secara sosial. Secara
ekonomi, GMP harus ada memiliki
profit maka produktivitas kami harus
bagus, kata Gunamarwan.
Ia lanjut memaparkan jika
GMP juga terus berusaha menjaga
keseimbangan ekologi sebagai
tindak lanjut kesuksesan yang kedua.
Dari sisi ekologi, GMP menurut
Gunamarwan memberlakukan
tanah dengan pupuk organik tanpa
insektisida. Menanam sesuai
kontur tanah, dan memanfaatkan
sebaik mungkin ampas tebu untuk
energy. Gunamarwan mengklaim
dibutuhkan sekira 15 megawatt bagi
keberlangsungan pabrik berikut

perumahan di sekitar pabrik.


Kalau ekologi jelas kita harus
mempertahankan alam harus lebih
bagus dan dijaga. Ini kan konsekuensi
long term tadi, tandasnya.
Sementara yang terakhir yakni
bermanfaat secara sosial mulai dari
ruang lingkup R0 atau internal GMP
hingga sampai R3 atau masyarakat
sekitar kawasan. GMP setidaknya
harus menyentuh empat hal: pertama
fisik meliputi gaji, fasilitas perumahan
dan kesehatan baik sarana olahraga,
pendidikan, dan rekreasi. Kedua
intelektual berupa ide-ide dari
seluruh lini karyawan yang dihargai.
Ide-ide tentang teknologi misalnya
yang ada riset teknik periodisasi soal
pembungaan tanaman tebu, Kami
ada lahan 225 ha untuk riset karena
perusahaan akan besar jika punya
riset dan pengembangan, tandas
Gunamarwan.
Poin ketiga dan keempat yang
harus disentuh oleh GMP dari sisi
manfaat secara sosial adalah usaha
GMP bekerja dengan hati dan jiwa
baik dengan staf maupun karyawan
dan masyarakat sekitar. Bermanfaat
secara sosial ini berbuah manis.
Hingga saat ini setidaknya, GMP dan
masyarakat sekitar sudah membangun
koperasi dengan lahan seluas 200 ha
tanaman sawit, singkong, dan kebun
tebu.
Memegang teguh prinsip dan
landasan perusahaan, GMP berusaha
menatap optimis industri gula ke
depan. Sebetulnya kalau kita lihat
konsumsi naik terus artinya dengan
pendapatan per kapita yang naik
kebutuhan gula akan ikut naik,
kata Gunamarwan. Hanya saja Ia
berharap pesaing industri gula
berbasis tebu yakni gula rafinasi
seringkali merembes ke pasar hingga
dirasakan menyulitkan. Namun GMP
tetap optimis dengan target produksi
gula tahun 2014 mendekati 200
ribu ton. Kami masih akan bergerak
ke depan. Kami optimis! tegas
Gunamarwan. l
sugar insight | Desember 2013

51

cerobong

Mungkinkah
Sinergitas
Pabrik
Gula Tebu
dengan
Rafinasi?
Industri makanan dan
minuman berkembang begitu
pesat seiring pertumbuhan
yang melaju dengan cepat.
Peluang gula rafinasi
sebagai salah satu bahan
pokok industri makanan
dan minuman terbuka lebar.
Kini tantanganya adalah
bagaimana peluang tersebut
mampu menyentuh industri
gula rafinasi dan pabrik gula
tebu?
Oleh: Untung Prasetyo

52

sugar insight | Desember 2013

ertumbuhan yang
cukup pesat membuat
perkembangan akan
permintaan makanan dan
minuman menjadi semakin tinggi.
Hal tersebut menjadikan Indonesia
memiliki daya tarik sebagai tujuan
para investor untuk menanamkan
investasinya dalam membangun
industri makanan dan minuman.
Ditambah lagi pertumbuhan yang
begitu pesat dan tidak diimbangi
dengan perkembangan makanan jadi
yang hanya meningkat 12,72% dari
rata-rata jumlah konsumsi makanan
per kapita sebesar 51,08% (data BPS,
Maret) membuat industri makanan
dan minuman sangat menarik untuk
dikembangkan.
Peluang inilah yang harus
segera direspon dan dimanfaatkan
oleh industri gula rafinasi dalam
melebarkan usahanya. Pasalnya,
industri makanan dan minuman yang
kini terus berkembang tidak terlepas
akan kebutuhannya terhadap gula
rafinasi dengan kualitas baik dan
memiliki tingkat kemurniaan yang
tinggi. Menurut Direktur SEAFAST
CENTER IPB, Purwiyatno Hariyadi,
jelas apabila industri makanan dan
minumam memilih gula rafinasi

sebagai salah satu bahan pokoknya,


disebabkan dengan prinsip aman,
berkualitas, dan harus memenuhi
tuntutan mutu konsumen, maka
gula rafinasilah yang sesuai dengan
syarat-syarat tersebut. Gula rafinasi
memiliki peranan penting dalam
pembangunan daya saing produk dan
gizi masyarakat, ungkap Purwiyatno.
Namun kini persoalannya adalah
bagaimana peluang tersebut dapat
dimanfaatkan secara semaksimal
mungkin dengan mensinergikan
pabrik gula yang telah ada. Sehingga
akan terjadi pengintegrasian antara
pabrik gula tebu dengan industri gula
rafinasi melalui konsep kemitraan.
Namun sebelum jauh menyentuh
kata kemitraan, ada baiknya apabila
kita melihat konsep sinergitas dalam
membangun pergulaan nasional.

Menurut Wakil Sekjen Gabungan


Perusahaan Perkebunan Indonesia
(GPPI), Colosewoko, sinergitas
pergulaan nasional akan tercapai
ketika adanya good will dari pihakpihak yang konflik, baik pengusaha
Gula Kristal Putih (GKP) maupun
Gula Kristal Rafinasi (GKR), serta
komitmen antar lembaga pemerintah
yang terkait untuk memfasilitasi
dan menetapkan kebijakan yang
jelas, tegas, tepat, tanpa memihak,
dan secara konsisten dijalankan.
Dirinya menjelaskan hal tersebut
mengindikasikan harus adanya
perbaikan kebijakan (SK Menperindag
No.57/2004) yang menjadi pegangan
para pelaku industri gula serta harus
ada tindakan nyata antara pabrik gula
rafinasi dan asosiasi petani tebu untuk
menjaga stabilisasi harga gula pada

tingkat yang wajar.


Lain halnya dengan Colosewoko,
Direktur Eksekutif Asosiasi Gula
Indonesia (AGI), Tito Pranolo melihat
peluang bisnis industri makanan dan
minuman yang membutuhkan gula
rafinasi sebagai tantangan yang harus
mampu direspon oleh pabrik gula
tebu. Dengan adanya perkebunan tebu
dan pabrik gula tebu, menurutnya
Indonesia harus mampu membangun
refine factory kombinasi dengan
pabrik gula tebu. Kedepan, Indonesia
bukan lagi stand alone refine factory,
namun harus sudah menuju refine
factory kombinasi dengan pabrik gula
tebu, ungkap Tito. Sehingga selain
memajukan pergulaan nasional, hal
tersebut pun dapat meminimalisir
kesenjangan antara petani tebu rakyat
dengan industri rafinasi.

Selain itu, Tito Pranolo


mengungkapkan bahwa perlu adanya
revitalisasi pabrik gula. Untuk
menghasilkan gula dengan kualitas
baik atau dengan nilai icumsa yang
rendah, maka diperlukan teknologi
yang lebih baik. Sehingga menurutnya
sudah menjadi sebuah keharusan
bahwa revitalisasi menjadi kebijakan
nasional, bukan lagi hanya menjadi
aksi korporasi dalam memajukan
industrinya. Tidak akan tercapai
sinergitas dan perbaikan kualitas
gula apabila revitalisasi gula sebatas
corporate action, ungkap Tito Pranolo.
Namun memang tak dapat
dipungkiri, menuju sinergitas dan
kemitraan pabrik gula tebu dengan
rafinasi bukanlah pekerjaan yang
mudah, banyak yang harus diperbaiki.
Dari penyelesaian konflik, kebijakan
yang tidak jelas, hingga terhambatnya
revitalisasi pabrik masih menyelimuti
pergulaan nasional. Menurut catatan
Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia
(APTRI) yang disampaikan oleh
Wakil Sekjen DPN APTRI, M. Nur
Khabsyin, masih banyak permasalahan
yang muncul di lapangan, diantaranya
turunnya harga gula lokal sebagai
akibat banyaknya gula rafinasi yang
ngerembes di pasaran tradisional,
adanya izin raw sugar yang melibihi
kebutuhan, dan tidak ada sanksi yang
tegas dari pemerintah berkenaan hal
tersebut.
Menurutnya, kedepan pengusahapengusaha gula rafinasi yang
tergabung dalam Asosiasi Gula
Rafinasi Indonesia (AGRI) harus
mampu menjamin tidak ada gula
rafinasi yang bocor dan harus
membayar ganti rugi pada petani
apabil ada kebocoran pada gula
rafinasi serta komitmen dalam
menjalankan kemitraan. Untuk
membangun kemitraan diperlukan
check and balance dan komitmen
manjalankan kesepakatan sehingga
timbul trust dari pihak petani mapun
AGRI sendiri, ungkap Khabsyin. l
sugar insight | Desember 2013

53

cerobong

Pabrik Gula Blora:

Ayuk
Nandur Tebu
Puasa 31 tahun Indonesia
atas kehadiran pabrik gula
harus berakhir sudah, karena
di jantung pulau Jawa atau
lebih tepatnya di Kabupaten
Blora telah berdiri pabrik gula
milik PT. Gendhis Multi Manis
yang modern.
Oleh: Ilfan Akbar

i tanah kelahiran, Sastrawan


Indonesia, Pramoedya
Ananta Toer telah dibangun
sebuah pabrik gula yang berkapasitas
6000 Ton of Cane Perday (TCD) yang
dapat ditingkatkan hingga mencapai
10.000 TCD dengan nilai investasi
sebesar 1,8 Triliun. Kesangsian pasti
akan muncul ketika mengetahui bahwa
Blora merupakan daerah terpencil dan
minim akses, tetapi nyatanya pabrik
milik PT. Gendhis Multi Manis (GMM)
telah berdiri kokoh di Blora. Pabrik
ini di desain sustainable sampai 12.000
TCD, ujar Eddy Winoto, General
Manager PT. GMM.
Sejarah Blora terpilih sebagai
tempat pembangunan pabrik gula
PT.GMM adalah ketika Bibit Waluyo,
54

sugar insight | Desember 2013

Gubernur Jawa Tengah periode


2008-2013 berkunjung mendadak ke
pabrik gula Cepiring di Kendal. Bibit
merasa terkesan dengan perjuangan
Kamadjaya, Presiden Direktur PT.
Gendhis Multi Manis yang kala itu
memakai nama PT. Multi Manis
Mandiri dalam merenovasi pabrik gula
milik PTPN IX tersebut.
Ketika itu Kamadjaya hendak
membangun pabrik gula di Sambas,
Kalimantan Barat. Akan tetapi, hal
tersebut dianggap terlalu jauh oleh
Bibit karena menurutnya di pulau Jawa
masih terdapat tempat potensial untuk
pembangunan pabrik gula yaitu Blora.
Makanya ditunjukan bekas bumi
perkemahan yang sudah 20 tahun tidak
di pakai, ujarnya.
Setelah mendapat petunjuk lahan
yang potensial, Kamadjaya akhirnya
mengundang konsultan ternama dari
England untuk melihat potensi lahan
tersebut untuk dijadikan pabrik gula
berbasis tebu. Setelah dinyatakan
berpotensi untuk digunakan
dimulailah PT. GMM melakukan
kompensasi lahan yang awalnya hanya
27 hektar hingga mencapai 40 hektar
untuk kebutuhan pembangunan jangka
panjang. Kita (PT.GMM) lakukan
perluasan di sekitarnya, ujarnya.

Eddy menjelaskan bahwa pada saat


perluasan lahan, PT. GMM sempat pula
mengalami permasalahan munculnya
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang mempermasalahkan pembebasan
lahan yang dilakukan perusahaan
tersebut. Walaupun sempat mengalami
permasalahan dengan LSM, PT. GMM
tetap maju membangun pabrik gula
tersebut dan tanpa disadari suara-suara
sumbang dari LSM tersebut lenyap
seketika bahkan di sekitaran pabrik
muncul perkembangan ekonomi dari
masyarakat itu sendiri. Ditambah
lagi, PT. GMM adalah perusahaan
pertama yang membuat pabrik dengan
nilai investasi tertinggi dan nantinya
juga pabrik ini akan memperkerjakan
60.000 untuk on farm sedangkan untuk
di pabrik diperkirakan 600 orang.
Lihat ada rumah kos-kosan banyak
warung-warung, efek dominonya telah
terlihat, ujarnya.
Different and Gorgeous
Pabrik gula di Blora ini pastinya

bukanlah pabrik gula biasa karena


mesin-mesin yang digunakan
didatangkan langsung oleh Sutech
Engineering Co.Ltd yang telah
berpengalaman dalam membangun
pabrik-pabrik gula di Thailand. Pabrik
ini menggunakan planetary drive
sebagai alat penggerak mesin-mesin

penggiling tebu, sehingga nantinya


pabrik ini tidak akan mengalami
low speed yang sering dialami oleh
pabrik-pabrik gula di Indonesia yang
umumnya masih menggunakan tenaga
uap atau turbin. Penggunaan juga akan
meningkatkan efisiensi dari pabrik ini.
Kita generasi ketiga diatas, planetary

dengan electric drive pake listrik


ujar Bambang Subekti, Staf Ahli dan
Direksi PT. GMM.
Lebih dalam tentang tenaga
mesin-mesin di Pabrik Blora,
Bambang merincikan tentang boiler
yang digunakan akan menghasilkan
tekanan steam 32 bar. Boiler ini dapat
dinyalakan dengan ampas tebu dan
nantinya akan menghasilkan 12 mega
watt listrik. Nantinya tenaga tesebut
untuk menggerakkan mesin-mesin di
pabrik. Ini nantinya akan mengerakkan
quintet toople dengan effect evaporator
(proses pabrik) dan close look circulation
(kondensor), ujarnya.
Bambang mengungkapkan bahwa
pabrik ini dalam pengolahan gulanya
menggunakan sistem karbonatasi yang
mana pemurniaannya menggunakan
kapur dan CO2 sebagai bahan
pemurni. Kapur digunakan untuk
mengendapkan nira lebih banyak 10
kali dari pada menggunakan sulfitasi
sedangkan CO2 digunakan untuk
mengendapkan kelebihan kapur serta
membuat nira yang dihasilkan lebih
tahan lama dan memiliki tingkat
kemurnian yang baik ketika menjadi
Gula Kristal Putih (GKP). Selain itu,
Pabrik yang menggunakan karbonatasi
di percaya lebih ramah terhadap
lingkungan. Jelas ini lebih ramah
lingkungan. pabrik ini betul betul tidak
ada toksin, ujarnya.
Eddy juga menjelaskan pabrik ini
menggunakan mekanisme gravitasi
dalam pengolahannya sehingga
dapat menghemat listrik, tempat,
dan penggunaan pompa. Jika dilihat
pabrik gula Indonesia umumnya
dalam pengembangan menggunakan
metode horizontal yang pasti akan
memakan tempat dan lahan. Selain
itu, penggunaan pompa diminimalkan
untuk menghindari terjadinya abrasi
yang kadanga harus membuat pabrik
gula melakukan reprossesing kembali.
Hal ini merupakan yang dihindari
oleh pabrik yang menargetkan dapat
mencapai ikumsa 100. Pabrik kita
modern dengan 6 level, analoginya
sugar insight | Desember 2013

55

cerobong
pabrik gula lain melebar secara
horizontal ini vertikal kita turun
prosesnya, ujarnya.
Bambang, menjelaskan keunggulan
pabrik ini dengan pabrik-pabrik gula
lainnya dikarenakan memiliki overroll
recovery yang tinggi. Hal ini jika
dirinci, mills attraction yang dimiliki
pabrik ini adalah 95 dengan bearing
recovery 90, sehingga jika dikalikan
menjadi 85,5 dengan tebu yang ada
dengan asumsi all-kitnya 10. Dalam hal
ini apabila melihat PG lain yang hanya
memiliki recovery awal sejumlah
75-76, tentunya pabrik ini memiliki
keunggulan yang jauh di depan pabrik
lainnya dalam masalah ketahanan.
Pabrik gula lainnya paling 75 satu
poin diatas, karena awal recovery
paling 75-76, ujarnya.
Selain itu, Pabrik ini dilengkapi
juga dengan beberapa peralatan yang
belum pernah digunakan oleh pabrik
gula di Indonesia, seperti Hydrolic
Truck Deeper untuk membawa tebu
yang petani hasilkan agar lebih efisien
ketika diangkut ke pabrik. Hal ini
nantinya akan membuat perpindahan
tebu dari petani ke pabrik tidak
melalui proses perpindahan yang
biasanya dilakukan manual dengan
tenaga manusia atau reel lori . Kalau
kita enggak kita directly dari hydrolic
truck deeper jadi truk mundur,
langsung di-hidrolis jatuh semuanya
tergiling tidak ada ceceran, ujarnya
Ditambah juga, Heavy Duty
Shredder yang digunakan sebagai
persiapan awal tebu ketika diproses
di three mills akan menambah
efisiensi pabrik dalam mengolah
tebu ketika pemotongan. Hal ini akan
menjadi kelebihan pabrik ini karena
biasanya pabrik gula di Indonesia
hanya menggunakan two cane cutter.
Selain itu ketika masuk dalam three
mills, pabrik ini juga menggunakan
tambahan preasure reader di depannya
agar hasil olahan tebu yang di dapat
lebih maksimal hingga mencapai 90%
dalam pembukaan sel-sel tebunya. Di
sana pun telah disiapkan mesin-mesin
56

sugar insight | Desember 2013

lain yang dapat mengolah produkproduk derivatif tebu agar nantinya


tanaman tebu memiliki lebih banyak
pohon industri. Di tanah seberang
kita ada 10 hektar nanti pengembangan
untuk pupuk, pakan ternak, dan tetes
molases, ujar Eddy.
Sedang untuk kebutuhan air di
pabrik, PT. GMM membuat waduk
(raw water pond) berukuran 120.000
m dengan kedalaman hingga
mencapai 7 m yang memiliki kegunaan
sebagai penampung air dari tebu.
Nantinya airnya akan digunakan
sebagai penyuplai steam dengan sistem
water treatment plan. Dalam prosesnya
air tersebut akan dipisahkan dalam tiga
jenis waduk dengan ukuran 40.000 m
dan satu jenis waduk dengan ukuran
20.000 m. Waduk-waduk ini dibangun
untuk menepis keraguan-keraguan
yang muncul, dikarenakan pabrik
gula umumnya menggunakan air yang
banyak sedangkan Blora adalah daerah
yang kering. Tempat ini kan gunung
di puncak. kita pakai system close look
(sirkulasi sistem tertutup) dengar air
yang dari tebu. ujar Bambang.
Eddy juga memberikan konfirmasi
mengenai alasan pabriknya mengolah
raw sugar yang berasal dari impor.
Hal ini dikarenakan PT.GMM harus
bertanggung jawab kepada investorinvestor yang telah menanam modal
di Blora. Selain itu, Break Even Point
(BEP) pabrik ini jika diperhitungkan
baru bisa tercapai 9-10 tahun kemudian,
apabila pabrik ini bekerja 330 ton gula
perhari. Sedangkan tanaman tebu
merupakan tanaman musiman dengan
siklus satu tahun sekali. Selain itu,
menurutnya, akan sangat disayangkan
apabila mesin-mesin yang telah
dibangun tidak dimanfaatkan secara
maksimal. Kita (PT. GMM) akan tetap
prioritas giling tebu. Mungkin, pabrik
gula lain hanya 150. Kita bisa lebih
kalau kapasitas tebu ada, ujarnya.
Dia juga membenarkan nantinya
PG Blora akan membuat raw sugar
dengan ikumsa yang tinggi dari tebu
petani ketika terjadi over capacity.

Hal ini dilakukan oleh PT. GMM


agar petani dapat menyimpan dan
memiliki alternatif jual, ketika
produksi tanaman tebu mereka turun.
Itu (produksi tebu) tetap komitmen
sepanjang tebu di Blora ada sekitarnya.
Gold-nya satu yaitu kemakmuran
petani tebu di Blora dan khususnya
petani tebu lainnya, ujarnya
Secara total angka perputaran
uang yang dihasilkan dari mesinmesin yang dapat mengolah 6000 ton

tebu tersebut diperkirakan perhari


sekitar 3,4 M, sedangkan dari gula
yang dihasilkan pabrik ini nantinya
akan 10 M perhari dengan estimasi
300 M pertahun. Sudah termasuk idle
capacity, ujar Eddy
Pembangunan Sinergi
di Blora
Agar terus berproduksi di masa depan
butuh pondasi yang kuat terutama
dari para petani tebu di Blora dengan

menggunakan sistem plasma. Oleh


karena itu, PT.GMM memberikan
stimulus-stimulus berupa motivasi
berupa program dan jaminan dana
agar pembangunan pabrik gula Blora
merupakan jalan menuju komunitas
tebu yang diimpikan Kamadjaya. Yang
mana di musim giling 2014 ini, petani
akan diberikan jaminan rendemen
8 untuk setiap tebu yang dihasilkan.
Ditambah lagi, PT. GMM memberikan
jaminan bagi hasil yang berani yaitu
70 untuk petani dan 30 untuk pabrik
gula. Dia (Kamadjaya) membangun
komunitas petani Blora. PG ini kan
komunitas, siapa saja bisa masuk ke
komunitas, ujar Eddy.
PT. GMM juga telah
mempersiapkan lahan seluas 25 hektar
untuk pembibitan yang nantinya
akan menciptakan varietas-varietas
tebu baru. Pembibitan juga dilakukan
bersama petani-petani yang berada
di dekat aliran sungai dengan sistem
plasma. Bibit-bibit ini berasal dari Pusat
Penelitian Perkebunan Gula Indonesia
(P3GI) dengan jaminan kualitas Kebun
Bibit Induk (KBI). Selain itu, P3GI
juga telah digandeng PT. GMM untuk
melakukan bimbingan dan supervisi
kepada para petani yang berniat
membangun perkebunan tebu. Petanipetani tersebut akan dibimbing di
awal pengolahan tebu termasuk waktu
pengangkutan di tahun pertama setelah
di potong biaya yang dikeluarkan
pihaknya. Kemudian pada tahun kedua,
petani hanya di supervisi oleh PT.
GMM dan diharuskan untuk mandiri
dalam mengolah perkebunan tebunya.
Panen tahun pertama setelah di
potong biaya yang kita keluarkan tanpa
bunga zero interest. Untungnya sisanya
berapa? kita serahkan kepada petani,
ujar Eddy.
Sehingga saat ini, petani telah
banyak diberikan bantuan pada
penanaman awal berupa intensif dana
hingga 7 milyar dan PT. GMM juga
menjadi avalis kepada bank untuk
para petani tebu dalam membangun
perkebunan tebu. Peminjaman ini

dilakukan dengan sangat hati-hati


dengan meninjau petani-petani dari
laporan pabrik gula-gula yang telah
lama berhubungan dengan petanipetani di Blora. Mereka mengajukan
melalui kelompok tani atau koperasi
tebu,ujar Wahyuningsih, Plantation
Manager PT. GMM.
Di tambah lagi saat ini, PT. GMM
sedang menjadi buah bibir petani
dikarenakan banyaknya minat yang
muncul dari petani-petani tebu
akibat akan terkuranginya beban
pengangkutan. Oleh karena itu,
PT. GMM telah memiliki kesiapan
penambahan equipment dan
perhitungan konfigurasi kapasitas.
Tinggal melanjutkan tidak masalah
penambahan bisa terus dilakukan dan
tidak mempengaruhi produksi, ujar
Bambang.
Selain itu, PT. GMM telah
membawa beberapa petani Blora untuk
lebih memahami rahasia majunya
pertanian tebu yang dimiliki petanipetani Thailand. Di mana terdapat
perbedaan jelas attitude gaya berpikir
petani Thailand yang mementingkan
inovasi dalam menanam tebu, seperti
menanam tebu dengan jarak tanam
hingga 3 meter hanya untuk mendapat
kualitas akar yang hingga mencapai
satu setengah meter. Hal ini nantinya
akan menyebabkan kualitas rendeman
hingga mencapai dua digit. Kita
pembelajaran juga. kita memang jujur
pelan-pelan agar bisa memfollow up
itu, ujar Bambang yang juga salah satu
mantan General Manager BUMN ini.
Sampai saat ini, telah banyak
komentar positif yang ditemukan oleh
sugar insight tentang keberadaan
pabrik gula ini. Seperti yang
diungkapkan oleh Anton Sudibyo yang
mengatakan sangat optimis terhadap
keberadaan pabrik gula PT. GMM dan
rendemen 8 yang diberikan. GMM ini
harapan terakhir petani. Kalau GMM
seperti pecundang seperti pabrikpabrik lainnya, enggak ada harapan
kita menanam tebu. Swasembada gula
imposible terjadi, ujarnya. l
sugar insight | Desember 2013

57

sosok
Bambang Sugiharto, Penemu Tebu Transgenik

HOBI SAYA BEKERJA


DAN BELAJAR
S

Karoly Ereky yang merupakan


father of biotechnology
boleh bangga karena berkat
dirinya ilmu bioteknologi
menjadi sangat populer di
masa kini. Di Indonesia pun
bermunculan sosok-sosok
yang getol merekayasa
dan salah satunya adalah
Bambang Sugiharto, Guru
Besar Universitas Jember
yang berhasil meloloskan
tebu transgenik.
Oleh: Ilfan Akbar

58

sugar insight | Desember 2013

emakin meluasnya
penanaman tebu di lahan
kering membuat PT.
Perkebunan Nusantara XI tertarik
mengembangkan bahan tanam unggul
yang sesuai untuk lahan kering.
Hasilnya, di tahun 2013, tanaman
tebu Produk Rekayasa Genetik (PRG)
toleran kekeringan baru saja mendapat
persetujuan dari Kementerian
Pertanian dan dilepas sebagai varietas
baru. Keberhasilan ini tidak terlepas
dari kontribusi Bambang Sugiharto,
Guru Besar Bidang Ilmu Biokimia
Tanaman Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA).
PRG yang bernama resmi NXI-4T
merupakan PRG yang di rakit oleh
peneliti-peneliti di lingkungan PTPN
XI yang bekerja sama dengan peneliti
dari PT. Ajinomoto Jepang sebagai
penyedia materi genetik serta peneliti
dari Universitas Jember tempat dia
bekerja.
Saya sebagai peneliti tambahan
yang berkonstribusi utamanya dalam
pengujian keamanan lingkungan,
keamanan pangan dan keamanan
pakan serta pelepasan tebu PRG
toleran kekeringan tersebut, ujar
Sugiharto merendah.
Menurut Sugiharto, tebu PRG
NXI-4T di rakit dari jenis tebu
BL (sebagai tetua/tebu asal) yang
ditransformasi (diinsersi) dengan gen
betA penyandi protein enzim choline
dehydrogenase (CDH). Tebu BL
didapat dari kebun koleksi PTPN XI

dan gen betA didapat dari kerjasama


dengan PT. Ajinomoto Jepang.
Proses perakitan tebu PRG NXI-4T
diawali dengan transformasi genetik
menggunakan ekplant kalus tebu
BL dan Agrobacterium tumefacient
yang membawa konstruk (kaset) gen
betA dengan penanda gen katahanan
terhadap antibiotik higromycin.
Eksplant kalus yang tertransformasi
(kalus transforman) didapat dengan
cara seleksi ketahanan terhadap
antibiotik higromysin, dan kemudian
diregenerasi menjadi plantlet tebu
transforman dan diaklimatisasi di
rumah kaca (green house).
Tebu hasil aklimatisasi dari
plantlet transforman, kemudian
diuji dan dianalisis secara molecular,
biokimiawi, fisiologis, dan penampilan
fenotipiknya (termasuk pertumbuhan
dan produksi gulanya) secara terbatas
dalam rumah kaca. Hasil pengujian
dan analisis kemudian dijadikan
acuan untuk memilih event tebu
transformant yang digunakan untuk
Lapang Uji Terbatas (LUT / confined
field trial) dengan seijin dan dibawah
pengawasan Tim Teknis Komisi
Keamanan Hayati PRG.
Hasil penelitian yang didapat
kemudian digunakan sebagai dasar
pengajuan sertifikasi keamanan
lingkungan, pangan dan pakan di
Komisi Keamanan Hayati PRG.
Sertifikat keamanan lingkungan
dan pangan yang didapat kemudian
digunakan sebagai salah satu syarat

untuk pelepasan varietas tebu PRG


di Tim Penilai dan Pelepas Varietas
(TP2V). Dan hasil pelepasan
varietas tebu PRG toleran kekeringan
dinamakan sebagai varietas tebu NXI4T, ujar Sugiharto.
Sugiharto menjelaskan bahwa
NXT-4T memiliki keunggulan sifat
toleran terhadap kekeringan dan
mempunyai produksi gula tebu yang
lebih tinggi dibandingkan varietas
tebu lainnya di lahan tegalan.
Walaupun, menurutnya varietas
ini masih memiliki kelemahan lain
yang merupakan sifat bawaan dari
tanaman tebu BL. Akan tetapi tebu
varietas NXI-4T ini tidak beda atau
mempunyai produksi sama bila
ditumbuhkan pada lahan basah atau
berpengairan, ujarnya.
Selanjutnya, Sugiharto
menjelaskan perakitan tebu PRG
toleran tidak membutuhkan waktu
yang lama, hanya memakan waktu
kurang dari lima tahun. Akan tetapi,
dalam proses pengujian untuk
mendapatkan sertifikasi keamanan
lingkungan, pangan, dan pakan
memakan waktu yang cukup lama.
Sampai saat ini pun pihaknya masih
berusaha untuk mendapat sertifikasi
yang sama terkait PRG tebu yang
memiliki keunggulan rendemen tinggi
kepada Komisi Keamanan Hayati
PRG. Total waktu yang diperlukan
sampai dengan pemanfaatan tebu
PRG tersebut (NXI-4T) lebih dari 10
tahun, paparnya.
Sugiharto memiliki target ke
depan mendapatkan jenis tebu yang
lebih baik dari NXI-4T dan bahkan
berkeinginan juga untuk dapat
merakit tebu dengan insersi double
trait (sifat). Di mana nantinya, PRG
tebu impiannya memiliki rendemen
tinggi dengan sifat toleran terhadap
kekeringan dan memiliki berbagai
sifat toleran lainnya yang diperlukan
untuk peningkatan produksi gula tebu
nasional. Target ke depan adalah
peningkatan produksi gula sehingga
dapat menambah keuntungan
sugar insight | Desember 2013

59

sosok
bagi industri gula tebu nasional
dengan menggunakan pendekatan
bioteknologi, ujarnya.
Cintanya dengan Tebu
dan Pekerjaannya
Ketertarikan Sugiharto terhadap
tanaman tebu berawal ketika dia
menempuh studi biokimia dan fisiologi
molekuler tanaman di Nagoya, Jepang,
tahun 1987. Ketertarikannya muncul
karena tanaman tebu merupakan
jenis tanaman C4 yang memiliki sifat
yang sama dengan tanaman jagung
yang ditelitinya ketika di Nagoya
dulu. Menurutnya tanaman C4 secara
fotosintetik memiliki efisiensi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan
tanaman lain dan gula sukrosa
adalah produk proses fotosintetis
tanaman. Cinta Sugiharto semakin
tinggi terhadap tanaman tebu
karena ketika dia lulus di tahun
1992 kondisi produksi gula tebu
masih tidak mencukupi kebutuhan
nasional Indonesia dan harus terus
mengimpor dari negara lain. Maka
saya tertarik melakukan penelitian
untuk meningkatkan produksi gula
tebu, ujarnya.
Dia mengatakan untuk membuat
Indonesia kembali menjadi negara
penghasil gula dan pengekspor gula
dunia dibutuhkan bioteknologi
mengingat bahwa saat ini persilangan
tebu sangat sulit dilakukan, varietas
tebu saat ini sulit berbuah, biji tebu
kecil sekali, ditambah mendapatkan
varietas tebu baru melalu persilangan
perlu waktu dan biaya lebih besar.
Ditambah juga tebu merupakan
tanaman tropis yang pastinya harus
menjadi raja di negara Indonesia yang
beriklim tropis. Sebagaimana apa
yang sudah dialami dan dinikmati pada
waktu jaman Hindia Belanda yang
telah membangun banyak industri gula
tebu di Indonesia, ujar Sugiharto.
Sehingga, menurutnya,
Research & Development dalam
upaya pembangunan industri gula
sangat penting dan merupakan
60

sugar insight | Desember 2013

bagian terdepan yang menentukan


perkembangan dan kemajuan suatu
suatu industri. Dia juga mendukung
adanya industri produk turunan yang
bisa dikembangkan dari industri
gula tebu seperti bio-ethanol dari
molasses (tetes), bagasse (ampas) tebu,
biofertilizer dari filter cake (blotong)
yang di dalam pengembangannya,
bioteknologi akan memegang peranan
penting.
Pesatnya perkembangan
bioteknologi ini mendorong kami
untuk meningkatkan produksi gula
tanaman tebu dengan pendekatan
bioteknologi,ujarnya bersemangat.
Sugiharto menilai pengembangan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang
berkualitas. Sangat diperlukan. Hal ini
menjadi sangat penting karena apabila
dibandingkan negara-negara lain yang
juga mengembangkan industri gula
tebu, SDM berkualitas di Indonesia
masih sangat minim. Dia juga
berpendapat bahwa sarana-prasarana
juga ikut andil berperan menentukan
perkembangan bioteknologi tebu,
tetapi tidak sepenting SDM yang
berkualitas dan adanya prioritas dari
pemerintah dalam pengembangan
bioteknologi tebu. Saya merasa
bidang dasar biologi molekul, biokimia
dan fisiologi sel kurang diminati, oleh
karena itu saya sangat menginginkan
adanya peningkatan minat dan
penguasaan bidang kajian biologi dasar
tersebut, ujarnya.
Sebagai guru besar bidang ilmu
biokimia tanaman, Ilmu yang selama
ini digelutinya memiliki peranan
dalam kemajuan bioteknologi
tebu, dikarenakan berguna untuk
mengerti proses dasar biologi yang
menentukan pertumbuhan dan
perkembangan sel biologi. Di mana
tanpa mengerti proses-proses dasar
biologi akan sulit untuk memperbaiki
pertumbuhan dan perkembangan
sel biologi. Karena nantinya ilmu ini
akan menjadi dasar untuk melakukan
rekayasa untuk meningkatkan
kemampuan sel biologi kearah yang

lebih baik. Jadi pengetahuan proses


dasar biologi adalah penting untuk
mengerti pertumbuhan sel dan
mengendalikanya agar bisa lebih
bermanfaat pada kehidupan manusia,
ujar Sugiharto.
Pekerjaan sebagai peneliti
dilakukan Sugiharto dengan sungguhsungguh karena baginya semua
pekerjaan adalah rumit dan tidak ada
pekerjaan yang mudah dilakukan.
Sehingga semua pekerjaan rekayasa
genetika yang dikenal sangat rumit
tetap ditekuninya dengan kemauan
besar. Karena baginya akan selalu
ada jalan untuk berhasil. Itu bidang
yang saya tekuni, maka saya jalankan,
ujarnya.
Polemik Transgenik
Tanaman transgenik masih menjadi
perdebatan karena beberapa kasus
terdahulu tanaman transgenik
dikatakan berbahaya, dikarenakan
pemakaian gen lain dalam suatu
tumbuhan memiliki kemungkinan
dapat menimbulkan efek samping.
Hal ini, menurut Sugiharto,
Pemerintah Indonesia telah mengatur
perundangan untuk PRG yaitu PP 21
tahun 2005 dan juga Permentan no.61
tahun 2011. Di mana dalam garis besar
perundangan tersebut disebutkan

pengujian apa saja yang harus


dilakukan agar tanaman PRG aman
di konsumsi. Disebutkan pula bahwa
materi genetik yang diinsersikan harus
dijelaskan dari sisi lingkungan dan
harus dikaji, apakah PRG tersebut
nantinya menularkan materi genetik
ke tanaman atau organisme lain.
Dari sisi bahan pangan juga harus
dikaji apakah akan menimbulkan
toksiksitas atau alergenitas apa
tidak, termasuk kemudahan untuk
dicerna dan dihancurkan dalam
perut, semuanya sudah diatur dalam
perundangan tersebut. Begitu lengkap
dan banyaknya persyaratan analisa
yang harus dilakukan, membuat
Sugiharto yakin bahwa tanaman
PRG aman dikonsumsi. Walaupun
dia membenarkan terlalu banyaknya
pengujian yang harus dilakukan kerap
membuat peneliti menjadi frustasi.
Khusus untuk produk rekayasa
genetika tebu, perlu dia tambahkan
bahwa gula yang digunakan untuk
konsumsi adalah produk olahan hasil
pemurnian di pabrik gula. Sehingga
selama proses pemurnian gula
menjadi kristal, apabila tanaman tebu
tercampur dengan senyawa lain maka
tidak akan terbentuk kristal gula. Hal
ini pun mencakup produk-produk
samping lain seperti bio-ethanol dan

mono sodium glutamate.


Mengapa menjadi polemik
produk rekayasa genetika ini terus
terang saya tidak mengerti alasannya.
Kami sebagai peneliti bekerja
dengan atas dasar fakta ilmiah dan
nilai kejujuran. Peneliti belajar dari
fenomena alam yang kemudian dikaji
dan dikembangkan menjadi suatu
produk yang lebih bermanfaat bagi
kehidupan, ujarnya.
Lebih dalam, Sugiharto berkisah
bahwa PRG merupakan organisme
yang dihasilkan dari proses
transformasi genetik (insersi materi
genetik). Jika dicermati, proses
transformasi genetik terjadi secara
ilmiah seperti virus dan bakteri
berkembang dengan masukan materi
genetik ke sel lainnya. Di dalam
persilangan tanaman juga terjadi
proses penggabungan gen ke individu
lainnya sehingga terbentuk individu
baru yang diinginkan. Jadi jelas bahwa
rekayasa genetika merupakan proses
yang dipelajari dan dikembangkan dari
fenomena alam, ujar Sugiharto.
Sugiharto menjelaskan tentang
pekerjaannya yang dianggap
mengubah hakikat awal ciptaan
Tuhan. Menurutnya peneliti itu belajar
dari fenomena alam dan alam sebagai
anugerah Tuhan selalu menjadi tempat
inspirasi bagi ilmu pengetahuan yang
tidak akan habis di gali manusia.
Manusia harus mempelajari perilaku
alam agar terhindar dari bencana yang
datang dari alam itu sendiri. Baginya
manusia dengan akal pikirannya
selalu berusaha untuk menghasilkan
hal-hal baru yang bisa membuat
kehidupan dan teknologi baru yang
akan membuat perubahan. Teknologi
yang muncul itu pastinya akan diteliti
terlebih dahulu tentang kegunaan
dan keuntungannya sehingga dampak
merugikan dapat dihindari.
Suatu hal yang juga ingin saya
tambahkan disini bahwa manusia itu
mempunyai akal budi yang terbatas,
tidak ada manusia super yang bisa
mengacak-acak kondisi alam, ujarnya.

Oleh karena itu, ia sangat berharap


banyak terhadap CDAST (Center
for Development of Advanced
Science and Technology) tempatnya
bernaung sebagai peneliti yang
kerap mengembangkan advanced
science dalam bidang biologi molekul,
bioproses ataupun nano-biology,
kedepannya akan menjadi pusat
penelitian untuk pengembangan
advanced science dalam bidang
kimia, fisika, dan bahkan bisa
mengintegrasikan bidang-bidang
tersebut menjadi suatu teknologi
unggulan. Terkait kemajuan tebu
PRG, hanyalah kelompok penelitian
saya saja yang berkaitan dengan
tebu PRG. Kelompok peneliti lain
mempunyai spesifikasi dan unggulan
masing-masing, ujarnya.
Selain itu, dia juga mengingatkan
bahwa bioteknologi adalah suatu
alat yang ditawarkan dengan segala
keuntungan dan kekurangan yang
ada, untuk terus meningkatkan
kinerja industri gula. Saya memilih
bioteknologi untuk mendukung
industri gula nasional dengan segala
kelebihan dan keuntungan yang
ada dibandingkan tehnik lainnya,
ujarnya.
Bambang Sugiharto tampaknya
merupakan orang yang sangat
sibuk dan mencintai pekerjaannya,
jika melihat daftar kesibukannya
yang selalu melakukan penelitian,
memberikan kuliah, diskusi dengan
mahasiswa atau teman sejawat,
melakukan seminar dan menulis
publikasi.
Di tambah lagi usahanya dalam
menjalin kerjasama dan sharing
pengetahuan untuk meningkatkan
kemampuan akademiknya dengan
mitra baik di dalam negeri maupun
di luar negeri. Akan tetapi, semua
hal itu di lakukannya dengan senang
hati karena baginya semua itu adalah
kesenangan. Saya tidak tahu apakah
saya punya hobi atau tidak, yang jelas
saya suka bekerja dan belajar, ujar
lelaki kelahiran Kediri tahun 1955. l
sugar insight | Desember 2013

61

jalan-jalan

Museum Gula, Klaten:

SAKSI BISU KEJAYAAN


GULA NASIONAL
Oleh: Nandia Gustini

alan raya JogjakartaSolo selalu ramai dilalui


kendaraan yang melintas.
Namun jarang para pengendara yang
menyadari adanya sebuah bangunan
yang berdiri sejak puluhan tahun lalu
dan dibatasi oleh pagar sepanjang
beberapa meter. Tepatnya di Klaten,
di sebuah komplek pabrik gula tua
dan kokoh berdiri sebuah Museum
Gula yang menjadi saksi bisu kejayaan
pergulaan Indonesia. Gondang Baru,
nama pabrik tua itu, yang tentu
62

sugar insight | Desember 2013

asing di telinga Anda yang awam


dengan pergulaan. Tetapi tidak bagi
stakeholder gula di Indonesia.
Dalam waktu yang relatif singkat,
sekitar 30 menit, dari arah Jogjakarta
Anda sudah dapat mencapai tempat
ini. Terletak di sebelah kiri jalan, Anda
akan menemukan sebuah gerbang
besar yang bertuliskan Gondang
Winangoen. Saat Anda memasuki
gerbang yang merupakan pintu
masuk ke areal komplek Pabrik Gula
Gondang Baru, Anda akan menemukan

area parkir yang cukup luas dengan


dipayungi teduhnya pohon beringin
tua yang mungkin sudah berumur
ratusan tahun. Dihiasi dengan kolam
air mancur yang cukup eye catching,
dapat membuat Anda nyaman untuk
mengisi waktu berlibur maupun
sekedar beristirahat.
Museum Gula Klaten yang berdiri
sejak tahun 1882, memiliki luas sekitar
15 Ha. Museum ini memiliki beberapa
bagian yang akan membawa Anda
lebih dekat dengan masa-masa jaya
industri gula Indonesia. Sebelum
memasuki gedung museum utama,
Anda akan menemukan koleksi-koleksi
yang dipajang di halaman museum.
Salah satu koleksi yang menarik adalah
lokomotif tua dengan nama yang
cukup unik dan mistis yaitu
Simbah (Si Mbah). Simbah
dibuat pada tahun 1989 dan dulu
digunakan untuk mengangkut tebu
dari kebun ke areal pabrik. Selain
Simbah, masih banyak koleksikoleksi museum yang berada diluar
bangunan utama, seperti mesin
uap yang biasa digunakan untuk
menggerakan mesin penggiling tebu
dan gerobak sapi yang memiliki fungsi
yang sama dengan lokomotif pembawa
tebu.
Di samping koleksi-koleksi
ini, terdapat sebuah bangunan
yang merupakan bangunan utama
museum. Bangunan utama ini
merupakan bangunan tua dengan
desain yang kental dengan masamasa kolonial Hindia Belanda. Anda
akan menemukan ciri yang khas di
bangunan ini, seperti temboknya tebal
dan kuat, langit-langit yang tinggi
serta keramik yang sangat khas dengan
memancarkan aura gelap namun
elegan. Memasuki ruang pertama
Anda akan menemukan peta Jawa
Tengah yang cukup besar di salah
satu sisi tembok ruangan tersebut.
Peta tersebut dihiasi dengan titik-titik
lampu yang tersebar ke beberapa area
di Jawa Tengah, yang menunjukan
adanya pabrik gula di daerah itu.

Titik-titik lampu tersebut


dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu lampu hijau
merepresentasikan pabrik gula
yang masih beroperasi hingga
sekarang sedangkan lampu merah
merepresentasikan pabrik gula
yang sudah tidak beroperasi bahkan
sudah hilang atau hancur. Jika Anda
memperhatikan peta tersebut, Anda
akan merasa khawatir dikarenakan
banyaknya lampu merah yang menyala
dibanding lampu hijau. Dari sekitar 60
pabrik gula yang beroperasi di Jawa
Tengah, hanya 8 pabrik yang hingga
saat ini masih beroperasi. Pemandu
museum pun menjelaskan, Ini terjadi
karena banyak lahan perkebunan yang
beralih fungsi, dari tebu menjadi lahan
pemukiman.
Di sisi lain, Anda akan menemukan
diorama-diorama ladang tebu pada
zaman dahulu. Diorama ini bercerita
mengenai sistem penanaman tebu

yang secara spesifik ditujukan untuk


penanaman tebu di lahan basah.
Anda akan mengetahui sejarah sistem
penanaman tebu. Dulu, sebagian
besar perkebunan tebu di Jawa
Tengah ditanam di lahan persawahan.
Sistem ini dinamakan sistem Reynoso
(Reynoso Plantation System), yang
mengambil nama dari Don Alvaro
Reynoso yang menemukan sistem
ini pada tahun 1863. Tahap-tahap
sistem Reynoso ini dapat dilihat
seluruhnya dari diorama-diorama yang
terpampang rapi, dimulai dari proses
pengeringan tanah yang berawal dari
lahan sawah hingga proses panen tebu.
Berjalan ke ruangan berikutnya,
Anda akan melihat beberapa koleksi
museum yang dapat digunakan di
sugar insight | Desember 2013

63

jalan-jalan

pabrik gula pada umumnya. Seperti


mesin-mesin kuno yang digunakan
dalam pabrik tebu, diantaranya turbin
air manual, mesin uap, dan lainnya.
Yang menarik, mesin kuno ini memang
pernah digunakan di areal pabrik
gula Gondang Baru hingga akhirnya
menjadi koleksi museum karena sudah
tidak dapat berfungsi dengan baik.
Di dalam ruangan ini pun, Anda
dapat melihat koleksi varietas tebu
yang beragam dengan mengetahui
berbagai macam karakteristik tebu dan
keunikannya masing-masing. Terdapat
6 varietas yang ditampilkan dalam
museum ini, sebagian besar varietas ini
ditemukan oleh Pusat Penelitian Gula
yang terletak di Pasuruan. Keenam
varietas tebu inilah yang cocok
untuk ditanam di wilayah Klaten
dan sekitarnya. Tidak hanya sekedar
melihat berbagai macam varietas tebu,
Anda juga akan mengetahui berbagai
hama dan penyakit yang seringkali
menyerang tanaman tebu.
Memasuki ruangan ketiga, Anda
akan menemukan koleksi-koleksi
yang berkaitan dengan proses
pertumbuhan hingga perawatan tebu
yang berkaitan dengan proses produksi
gula. Ruangan ini memperkenalkan
alat-alat yang digunakan dalam proses
pertumbuhan sampai produksi gula
walaupun hanya berupa sampel. Anda
akan melihat alat-alat yang digunakan
untuk melakukan proses pemupukan,
penyiraman, pengukur curah hujan,
bahkan peralatan laboratorium yang
berfungsi untuk memantau setiap
tahapan produksi gula dalam pabrik.
64

sugar insight | Desember 2013

Salah satu koleksi lain yang menarik


adalah museum ini memiliki deretan
botol-botol sampel gula hasil produksi
pabrik gula Gondang Baru yang hingga
saat ini menjadi acuan standar mutu
bagi pabrik-pabrik gula lainnya.
Ini karena gula yang diproduksi
pabrik kita (Gondang Baru), masih
menggunakan sistem produksi
karbonatasi rangkap. Jadi sistem ini
sistem yang paling tua, jadinya gula
yang dihasilkan juga punya standar
kemurnian yang tinggi, ujar sang
pemandu.
Ruang selanjutnya Anda akan
dihadapkan dengan miniatur pabrik
gula Gondang Baru. Miniatur ini
dibuat sangat detail dan membuat
Anda merasa penasaran untuk melihat
pabrik gula yang memang berada
tidak jauh dari museum ini. Disini
pemandu kembali menjelaskan step
by step dalam memproduksi gula.
Hal ini dapat membantu Anda dalam
memahami proses produksi gula
agar tidak lost pada saat Anda berada
di pabrik gula Gondang Baru yang
sesungguhnya.
Sampai di akhir ruangan,
ditampilkan potret para pemimpin
Gondang Winagoen sejak pabrik ini
dinasionalisasikan oleh negara pada
tahun 1960-an. Dilengkapi dengan
sketsa ruang kerja direktur, Anda
akan merasakan suasana yang unik
seperti layaknya Anda berada tepat di

ruangan seorang direktur Gondang


Winangoen.
Ada salah satu foto yang menarik,
yakni foto dari Mangkunegaran
IV. Dalam sejarah industri gula
Indonesia, beliau merupakan figur
yang penting. Beliau merupakan satusatunya warga pribumi yang memiliki
pabrik gula pada masa kolonial.
Di masa itu sebagian besar pabrik
gula berada dibawah kepemilikan
asing, kepemilikan pabrik gula oleh
Mangkunegaran IV merupakan salah
satu fakta sejarah yang signifikan.
Tur museum gula berakhir di
ruangan ini. Bagi anda yang berminat,
anda dapat melanjutkan tur dengan
mengunjungi pabrik gula untuk
melihat bagaimana pabrik gula
beroperasi, dan kemudian anda
juga dapat melepas lelah dengan
bersantai di caf yang disediakan oleh
manajemen. l

General Information:
Wisata Agro Goendang Winangoen
Jalan Klaten Jogja Km. 5 Plawikan,
Jogonalan, Klaten
0272 326057/322328
Twitter: @wisata_edukasi FB: Wisata Agro
Gondang Winangoen (Klaten)
Opening hours: 8am 5pm (everyday)
Admission: IDR 5.000 (domestic tourists),
IDR 10.000 (foreign tourists)

Fre

sh

a
e
d
I
h
s
e
r
F
Bu
sin
ess

Fresh News

Alamat Redaksi :
Apartemen The Boulevard Lt. UG C-1
Jl. KH. Fakhrudin No. 5 Jakarta Pusat 10250
Telp/ Fax (021) 31991482 . Email: insightsugar@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai