Anda di halaman 1dari 10

BAB II

KONSEP TEORI

2.1 Perubahan Anatomi dan Fisiologis Saluran Pernapasan pada Lansia


Perubahan fisiologis dapat terjadi pada lansia seiring dengan pertambahan
usia, dimana sudah terdapat penurunan fungsi fisiologis tubuh akibat perubahan
pada fungsi organ-organ vital termasuk salah satunya adalah organ pernapasan.
Beberapa perubahan pada fungsi fisiologis tubuh terkait usia lansia sulit
dibedakan dengan

pengaruh proses penyakit atau faktor dari luar yang

mempengaruhi status kesehatan seseorang menjadi sangat rentan terhadap suatu


penyakit. Hal ini dikarenakan menurunnya imunitas pada lansia dan faktor resiko
seperti gangguan mobilisasi (Touhy, Theris A., 2014).
Terdapat beberapa perubahan anatomi yang terjadi dengan penuaan
(Stanley, Mickey & Beare, Patricia, G., 2006) dan (Miller, Carol A., 2012), antara
lain :
2.1.1

Saluran napas bagian atas


Perubahan pada saluran hidung dimana terjadi perubahan bentuk

pada jaringan ikat sehingga bentuk hidung terlihat pilar hidung, ini bisa
membuat penyimpangan pada septum dan mengganggu aliran udara yang
melalui hidung. Pada usia lanjut mendengkur sering terjadi akibat
perubahan sptum ini yang berkontribusi menggunakan pernapsan memalui
mulut. Kemudian adanya perubahan bentuk tubinat hidung menjadi lebih
kecil dikarenakan aliran darah ke hidung mulai berkurang. Berkurangnya
sekresi kelenjar sub mukosa yang berfungsi untuk mencairkan lendir tebal
yang di produksi oleh sel goblet, meskipun pada lansia sehat hal ini akan
tetap terjadi penurunan sekresi ini. Dengan adanya perubahan turbinate,
aliran darah, serta penurunan sekresi kelenjar sub mukosa penyaingan
udara yang masuk ke paru tidak maksimal sehingga banya partikel-partikel
yang tidak dapat disaring sehingga merangsang reflek batuk serta
membuat tidak nyaman pada daerah tenggorakan. Pengapuran tulang
rawan menyebabkan daerah trakea menjadi kaku. Penurunan reflek batuk

dan jumlah saraf laryngeal membuat penurunan juga terhadap reflek


muntah.
2.1.2 Perubahan dinding dada dan struktur tulang
Perubahan pada struktur tulang belakang dan perubahan pada
komposisi tulang rusuk yang menjadi osteoporosis, kalsifikasi pada
kartilago kosta dan pernapasan yang melemah. Perubahan pada struktur
tulang belakang misalnya pada pasien lanjut usia yang mengalami
kyphosis, pemendekan pada thorax, dinding dada mengalami kekakuan,
dan peningkatan diameter anteroposterior dada. Hal ini membuat
penurunan pada efesiensi pernapasan, berkurangnya inspirasi maksimal
dan ekspirasi, penggunaan diagfragma dan aksesoris alat bantu napas yang
akan membuat tekanan intra abdominal meningkat yang akan membuat
penggunaan energi lebih banyak.
2.1.3 Perubahan struktur dan fungsi paru
Paru-paru pada orang lanjut lansia akan menjadi lebih kecil terjadi
penurunan pada jaringan parenkim paru. Perubahan alveoli semakin
membesar dan dinding alveoli menjadi lebih tipis, proses ini disebut
sebagai ductectasia yang membuat 4% luas permukaan alveolar
perdecade yang akan membuat peningkatan ruang mati (tabel perubahan
yang terjadi pada anatomi sistem respirasi pada lansia terlampir).
Perubahan anatomi dan fisiologi ini sesuai dengan teori menua dimana
akan terjadi penurunan secara bertahap dan progresif pada dewasa hingga berakhir
pada kematian. Ada beberapa teori yang sesuai dengan penurunan anatomi dan
fisiologi ini di antaranya ; teori wear and tear, teori radikal bebas, teori
neuroendocrine, teori imunitas, teori genetik.
2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi sistem respirasi lansia
Touhy & Jett (2014) mengatakan bahwa perubahan fungsi fisiologis pada
lansia menyebabkan resiko yang lebih besar terpaparnya masalah pernapasan,
terutama infeksi pada saluran pernapasan dan resiko kematian yang lebih tinggi
dibandingkan dengan manusia yang berusia lebih muda. Miller (2012)
menambahkan bahwa sulit untuk membedakan efek perubahan fisiologis tersebut
terhadap masalah kesehatan yang terjadi disebabkan oleh proses penyakit dan
pengaruh ekstenal seperti merokok, meskipun pengaruh tersebut terjadi
disepanjang rentang kehidupan, tetapi efeknya terjadi ketika menua dengan faktor
4

perubahan yang berkaitan dengan usia, seperti perubahan respon imunitas atau
perubahan mobilitas.
Terdapat 4 kriteria untuk mengatakan bahwa suatu kemunduran fungsi
tubuh disebabkan oleh proses menua dan bukan disebabkan oleh penyakit yang
menyertai proses menua (Pranarka & Martono, 2011), yaitu :

Kemunduran fungsi dan kemampuan tubuh harus bersifat universal,

umum terjadi pada setiap orang


Proses menua disebabkan oleh faktor intrinsik, artinya perubahan fungsi
sel dan jaringan disebabkan oleh penyimpangan yang terjadi didalam

sel, bukan oleh faktor eksterna.


Proses menua terjadi secara progresif, berkelanjutan, berangsur lambat

dan tidak dapat berbalik lagi.


Proses menua bersifat proses kemunduran atau kerusakan (injury)
Beberapa faktor yang memperburuk fungsi paru (Miller, 2012), yaitu :
Perokok aktif dan pasif
Rokok yang terbakar melepaskan gas beracun, seperti karbon
monoksida, hydrogen cyanide dan nitrogen dioxide. Selain itu,
tembakau yang diakar juga melepaskan tobacco tar yang mengandung
nikotin dan zat kimia berbahaya lainnya yang dapat menyebabkan
bronkokonstriksi. Perokok pasif merupakan seseorang yang terpapar
asap

orang

karena

berada

dilingkungan

perokok

dan

ikut

menghirupnya.
Penurunan respon imunitas yang akibatnya dapat meningkatkan
mordibilitas dan mortalitas pada lansia dengan pneumonia dan infeksi
saluran napas bawah lainnya.
Perubahan muskoskeletal juga berpengaruh yaitu perubahan ekspansi
toraks yang juga dapat meningkatkan resiko gangguan fungsi
respirasi.
Obat-obatan tertentu meningkatkan resiko gangguan fungsi respirasi,
contohnya obat sedatif dan anticholinergic yang dapat memberi efek
kering pada mukus disaluran napas atas serta obat ACE inhibitors
dapat menyebabkan batuk kering.
Pranarka & Martono (2011) menambahkan 4 faktor lain, yaitu :

Obesitas mempengaruhi kinerja sistem respirasi menjadi tidak


optimal. Pada obesitas terjadi penumpukan lemak dileher, dada dan
dinding perut sehingga dapat mengganggu pengembangan dinding
dada sehingga terjadi keterbatasan gerakan pernapasan.
Imobilitas dapat menyebabkan kekakuan / keterbatasan gerak saat
otot-otot berkontraksi sehingga kapasitas vital atau volum paru relatif
berkurang. Faktor-faktor yang menimbulkan imobilitas paru adalah
efusi pleura, pneumotoraks, tumor paru dan lain-lain.
Operasi (tidak semua). Operasi yang memepengaruhi faal paru : (1)
pembedahan toraks (jantung & paru), (2) pembedahan abdomen
bagian atas dan (3) jenis obat anastesi tertentu.
Infeksi paru yang berulang akan memperburuk kondisi fungsi paru.
2.3 Gangguan patologis yang sering terjadi pada sistem respirasi lansia
Touhy, Theris A, (2014) mengatakan bahwa pada dasarnya penyakit pada
sistem pernapasan mencakup penyakit infeksi, penyakit akut atau kronik dan yang
menyerang saluran napas bagian atas atau bagian bawah yang dikenal dengan
istilah obstruktif (hambatan aliran udara akibat sumbatan atau penyempitan pada
struktur anatomi pernapasan) dan restriktif (menyebabkan penurunan kapasital
total paru akibat penurunan ekspansi paru).
2.3.1

COPD
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan

penyakit tertinggi ke 4 yang menyebabkan kematian di USA dengan 8090% disebabkan karena riwayat perokok (Miller, C.A, 2012). Batuk,
sesak, wheezing dan peningkatan produksi sputum merupakan tanda-tanda
klinis yang dapat ditemukan pada kondisi COPD. Kondisi ini menjadi
sangat cepat berkembang dan menimbulkan kumpulan gejala yang
memperberat keadaan lansia. Dampak penyakit ini pada lansia adalah
semakin sering dilakukan perawatan dan menjadi lebih lama waktu
perawatannya.
COPD merupakan resiko penyakit yang dapat timbul pada lansia
dengan riwayat merokok. COPD adalah sekelompok penyakit meliputi
emfisema, bronkhitis kronis, dan asma yang ditandai dengan adanya
obstruksi jalan napas kronik yang mengganggu aliran udara pada
6

pernapasan normal (Miller, C.A, 2012). Riwayat merokok merupakan


salah satu faktor utama yang beresiko menyebabkan COPD selain faktorfaktor lain yang meliputi : genetik, status ekonomi rendah, perokok pasif
dan terpapar polusi, serta riwayat penyakit paru pada masa kecil. Meredite,
Wallace (2008) memaparkan bahwa riwayat merokok adalah faktor
pemberat yang meningkatkan resiko terjadinya pernyakit pada pernapasan
seperti yang dijelaskan diatas.
Tanda dan gejala pada tipe penyakit COPD dapat bervariasi. Pada
emfisema, klien akan tampak kemerahan (pink puffer) dan tidak
mengalami penumpukan sputum yang banyak karena permasalahan ada di
alveoli bukan kemampuan untuk menghirup oksigen masuk ke paru-paru.
Lain hal dengan bronkhitis dengan jumlah sputum banyak , batuk dan
pucat bahkan sianosis akibat kekurangan oksigen (blue blotted). Pada
ashtma terjadi konstriksi bronkial sehingga udara terjebak di paru-paru.
2.3.2

Infeksi pada respirasi


Infeksi merupakan salah satu penyebab penyakit pada saluran
pernapasan. Penyakit infeksi ini bisa disebabkan oleh bakteri ataupun virus
yang sering diperberat oleh penyakit kronik lain akibat penurunan daya
tahan tubuh pada lansia. Gejala-gejala yang seringkali muncul tidak seperti
gejala infeksi pada umumnya yaitu demam dan batuk serta gejala klasik
lainnya, namun lansia akan cenderung mengaami letargi, penurunan fungsi
fisik dan kognitif serta menurunnya keinginan untuk makan dan minum
(Tabolski, P.A, 2014).
Pneumonia dan influenza berada di urutan ke-9 penyebab kematian
pada individu usia diatas 65 tahun dengan variasi ras dan etnik (Touhy,
Theris A, 2014). Beberapa kondisi yang dapat meningkatkan resiko
pneumonia menurut Caterino, (2008) dalam Miller, C.A, (2012) meliputi :
Malnutrisi, perokok tembakau, penyakit paru, penyakit neurologi,
pengguna obat-obatan penenang (sedative), penyakit gagal jantung
kongestif, dan lansia yang ada dalam perawatan lama.
Aspirasi pneumonia yang juga merupakan komplikasi dari COPD
adalah suatu kondisi yang serius terjadi pada lansia dikarenakan efek
perawatan jangka panjang dengan status kesehatan yang menurun. Faktor7

faktor yang meningkatkan resiko pneumonia aspirasi adalah disphagia,


pemberian makan via NGT, malnutrisi, dehidrasi, oral hygiene yang
buruk, penurunan refleks batuk, imunitas yang buruk dan penurunan
tingkat kesadaran, kelemahan fisik secara umum.
2.3.3

Tuberkulosis
Menurut Stanley,M., Beare, P. G. (2006) bahwa tuberkulosis pada

lansia tampak tidak khas dan sulit dideteksi karena seringkali disalah
artikan terkait penurunan fungsi tubuh pada lansia. TB pada lansia bersifat
dorman atau reaktifasi akibat penurunan daya tahan tubuh.
2.3.4

Kanker paru
Kanker

paru

merupakan

penyebab

kematian

utama

yang

berhubungan dengan keganasan. Setidaknya ada 12 tipe tumor yang


mengarah pada komdisi kanker paru (Tabolski, P.A, 2014). Jenis kanker
yang terdapat di percabangan utama bronkus disebut karsinoma sel
skuamosa, jenis ini bermetastasis pada bagian rongga dada, berkembang
dan menyebar dengan sangat lambat.
Lansia dengan kanker paru mungkin dipertimbangkan untuk
dilakukan pembedahan bila tidak diperberat oleh penyakit lain. Tindakan
yang dilakukan bila klien lansia memiliki penyakit penyerta adalah
kemotherapi, radiasi ion pada thora atau paliatif care.
2.3.5

Emboli Paru
Emboli paru terjadi akibat adanya oklusi pada vaskularisasi paru

dengan terdapatnya embolus yang terdiri dari trombus, udara, dan serpihan
jaringan atau lemak (Mauk, K. L., 2006). Aliran darah yang terhambat
masuk ke paru mengakibatkan terjadinya gangguan pertukaran gas
sehingga menyebabkan gangguan pernapasan, gagal jantung dan kematian.
Pada lansia gangguan emboli paru terjadi berkaitan dengan DVT.
Faktor resiko terjadinya emboli paru adalah adanya gangguan pada
pembekuan darah, imobilitas, dehidrasi, pembedahan, perubahan pada
pembuluh darah (aterosklerosis), dan obesitas. Perawat berperan penting
dalam pencegahan emboli paru dengan mengidentifikasi dan mengurangi

fsktor resiko terjadinya emboli. Latihan ROM dinilai penting dilakukan


untuk mengurangi resiko emboli paru.
2.4 Pengkajian Masalah Respirasi Terhadap Lansia
Perawat dalam melakukan pengkajian sudah seharusnya lebih cermat
dalam membedakan variasi manifestasi infeksi saluran nafas bawah pada lansia.
Perbedaan pengkajian pada lansia yaitu dari segi pengalaman atau riwayat hidup
lansia, kaji mengenai lingkungan dan perilaku atau kecenderungan terhadap
tobacco. Hal tersebut harus dilakukan dengan tetap memperhatikan sikap dan
penghormatan kepada lansia dan akan bermanfaat untuk menentukan promosi
kesehatan yang benar. (Miller, 2012).
2.4.1
2.4.2

Anamnesa (terlampir)
Riwayat Penyakit Sekarang
Mengkaji riwayat penyakit sekarang dengan bertanya kepada klien

mengenai masalah pernapasan yang dialami sekarang; apakah mempunyai


asma; masalah batuk dan karakteristik, jika terdapat batuk; karakteristik
sesak jika klien mengalami, seperti sesak ketika berkegiatan dan sesak
ketika berbaring pada malam hari; usaha klien untuk mengurangi sesak;
lalu pola istirahat dan tidur yang berhubungan dengan sesak.
2.4.3 Riwayat Penyakit Masa Lalu
Risiko yang mempengaruhi gangguan sistem pernapasan di masa
lalu karena diakibatkan oleh merokok, faktor lingkungan (misalnya,
polusi, udara kering, asap rokok), serta tempat pekerjaan (Miller, 2012).
Jadi yang perlu dilakukan oleh lansia adalah menjauhi daerah daerah yang
memilik faktor resiko tinggi terjadinya polusi, dan manghindari rokok
yang dapat merusak tubuh dan menimbulkan penyakit.
2.4.4

Pengkajian Riwayat Merokok


Riwayat merokok pada lansia sangat penting untuk dikaji lebih

dalam, seperti usia lansia terpapar rokok dan pengetahuan mereka


mengenai bahaya merokok dan kerugian lainnya. Karena bisa jadi sewaktu
pertama memulai adalah waktu di mana belum ada issue kesehatan yang
ramai digalakkan seperti sekarang, efek rokok pun belum dirasakan, dan
masih menjadi trend masa itu. Misalnya, orang yang lahir pada tahun 1910
sampai 1930, tahun tersebut merupakan pertama kali merokok di publikasi

tanpa ada pengetahuan mengenai efek rokok itu sendiri. Awal tahun
1920an merokok menjadi kebiasaan yang populer bagi laki-laki di United
States dan hal itu terjadi sekitar empat sampai lima dekade sebelum
akhirnya efek rokok teridentifikasi. (Miller, 2012)
Langkah-langkah pengkajian menurut Miller (2012) yang bisa
dilakukan, yaitu periksa tanda-tanda vital, pulse oxymetri, suara paru,
bentuk dan pergerakan dada, batuk produktif atau tidak, edema perifer;
kaji pola napas dan keluhan dyspnea; kaji adakah hipoksemia atau
hipoksia; kaji pasien dengan usia lebih dari 40 tahun dengan beberapa
pertanyaan seperti, apakah klien mempunyai aktivitas yang memperberat
atau yang menjadi pencetus sesak napas, apakah klien mempunyai batuk
yang tetap dan produksi sputum, apakah klien mempunyai riwayat infeksi
pernapasan; advokasi klien untuk melakukan tes spirometri; dan pada klien
yang menggunakan inhaler, kaji teknik pemakaian apakah sudah benar.
Pengkajian yang dilakukan pada lansia dengan riwayat merokok,
yaitu dengan teknik wawancara. Beberapa pertanyaan yang bisa menjadi
guideline seperti pertanyaan tentang perilaku merokok, mengenai
pengetahuan resiko merokok, dan sikap terhadap rokok. (Miller, 2012)
Pertanyaan tentang perilaku merokok seperti pertanyaan berapa
lama klien merokok, seberapa banyak, jenis rokok, dan apakah merokok
tobako jenis lainnya. Lalu pertanyaan untuk mengkaji pengetahuan klien
mengenai resiko merokok seperti, apakah klien mengetahui bahaya
merokok, apakah klien memikirkan akan terkena dampak rokok, dan
pendapat klien mengenai keuntungan berhenti merokok.
Terakhir mengenai sikap merokok, pengkajian dengan beberapa
pertanyaan seperti apakah klien pernah berpikir untuk berhenti merokok
atau pendapat mengenai hal tersebut, pernahkah tenaga kesehatan pernah
memberitahu klien untuk berhenti merokok, apakah klien pernah berusaha
berhenti merokok (minta klien untuk menceritakan pengalamannya), dan
apakah klien tertarik untuk lebih mengetahui informasi bagaimana berhenti
merokok. (Miller, 2012).
2.4.5 Pemeriksaan Fisik

10

Pengkajian pada umumnya dilakukan dengan tahap yang sama,


tidak berbeda antara usia, mulai inspeksi, perkusi, palpasi dan asukultasi.
Hanya ada sedikit temuan yang berbeda, seperti pada frekuensi pernapasan
sedikit lebih di bawah normal (kurang dari 16 kali per menit), peningkatan
diameter anteroposterior, kifosis, peningkatan resonansi ketika diperkusi,
intensitas suara paru yang berkurang (Miller, 2012).
Pemeriksaan secara menyeluruh yang bisa dilakukan yaitu head to
toe dan pengkajian per sistem. Periksa bagian tangan adakah pewarnaan
nikotin, sianosis perifer, tremor, dan nadi yang kuat (menunjukkan retensi
CO2). Wajah dan leher diperiksa adakah kelenjar getah bening dan
gambaran penyakit sistemik. Lalu periksa konjungtiva, lidah dan bibir
untuk tanda anemia dan sianosis sentral. Pada pembuluh darah vena dapat
diukur JVP dan perubahan saat respirasi. Periksa deviasi trakea dn stridor.(
Ward, et al., 2008;Gallo, Bogner, Fulmer, & Paveza, 2006),
Perbedaan dalam pemeriksaan fisik dapat menjadi perhatian khusus
untuk melakukan pengkajian. Melakukan pengkajian fisik pada lansia
khususnya sistem respirasi. Pertama ketika mengkaji pola napas, lakukan
tidak hanya dalam satu posisi, ketika duduk, berdiri, berjalan, atau saat
merubah posisi. Lakukan juga observasi bentuk dada dan gerakan torakal.
Jika perawat mempunyai kesempatan untuk observasi fase istirahat dan
tidur, maka perawat dapat mengkaji sleep apneu yang dialami klien dan
gangguan lain pada saat tidur. (Miller, 2012., Tabloski, 2014)
Pemeriksaan dengan palpasi periksa adanya nyeri tekan, dan
periksa area apeks serta ekspansi dada (normal >3 cm) dengan teknik
tactile dan vocal fremitus. Dengan tactile fremitus, observasi gerakan dada
dan juga penggunaaan otot tambahan. Vocal fremitus yaitu dengan
merasakan vibrasi di area dada yang pada pasien COPD akan sedikit
menurun. Perkusi bertujuan untuk menilai bunyi pekak dan hiperresonansi. (Ward, Ward, Leach, & Wiener, 2008; Tabloski, 2014)
Pemeriksaan

selanjutnya

auskultasi.

Pada

saat

melakukan

auskultasi, mintalah klien untuk posisi duduk tegap, batuk terlebih dahulu,
dan tarik napas panjang dengan mulut terbuka ketika diauskultasi.

11

Auskultasi dimulai dari apex paru lalu bandingkan suara antara paru satu
dengan yang lainnya. Normalnya ketika auskultasi bagian anterior lalu
posterior, bagian apex ke bawah sampai iga ke delapan tidak didapatkan
wheezing, krekels, pleural rub, dan ronki. Wheezing terkadang ditemukan
saat inspirasi juga ekspirasi sebagai tanda adanya kesulitan pergerakan
udara. Hal tersebut disebabkan karena penyempitan jalan napas oleh
spasme, penumpukan mukosa, dan edema. Ketika tidak terdengar suara
napas ini mengindikasikan air trapping atau pergerakan udara lemah atau
tidak ada. (Miller, 2012; Tabloski, 2014)
2.4.6

Pemeriksaan Diagnostik
Spirometri
Analisa Gas Darah
Kultur sputum
Sebelum tes spirometri, pemeriksaan tambahan dilakukan :
Chest-radiography (X-Ray)
Periksa darah lengkap untuk identifikasi anemia dan polisitemia
Hitung BMI
Pemeriksaan lain (terlampir)

12

Anda mungkin juga menyukai