Anda di halaman 1dari 9

BAB II

ISI

A. Perubahan Thermoregulasi pada Lansia


Suhu tubuh merupakan hal yang sangat penting bagi metabolisme dan
kerja organ pada manusia. Tubuh manusia mengatur suhu internal dalam
rentang yang sangat sempit, yaitu berkisar 35,5-37,7 oC sehingga manusia
bersifat homeotermik (Silverthorn, 2013). Mekanisme termoregulasi dapat
terjadi secara involunteer dan volunteer. Keseimbangan termoregulasi
involunteer dikontrol oleh hipotalamus, sebagai pusat termoregulator,
sedangkan secara volunteer manusia melakukan respon secara perilaku,
misalnya menggunakan pakaian tebal ketika udara dingin (Sherwood, 2012).
Untuk mendeteksi adanya perubahan suhu lingkungan, tubuh manusia
mempunyai sensor-sensor berupa neuron yang disebut termoreseptor.
Termoreseptor terdapat di perifer, yaitu di kulit dan di sentral, yaitu di
hipotalamus anterior, yang bertugas mengirim informasi perubahan suhu di
kulit dan di inti tubuh kepada hipotalamus (Silverthorn, 2013).
Termoregulasi atau kemampuan pengaturan suhu pada lansia berkurang
dengan meningkatnya usia (Sudoyo, et al., 2010). Semakin bertambahnya usia,
semakin besar perubahan irama sirkadian suhu tubuh dalam memproduksi dan
mengeluarkan panas. Suhu tubuh inti pada lansia maksimal pada sore hari dan
minimum pada dini hari, hal ini mencerminkan perubahan aktivitas irama
sirkadian (Sudoyo, et al., 2010). Touhy dan Jett (2014) juga mengungkapkan
bahwa dengan bertambahnya usia, akan terjadi penurunan amplitudo dari
semua respon endogen sirkadian, misalnya suhu tubuh, denyut jantung, tekanan
darah dan jumlah hormon. Perubahan-perubahan ini sesuai dengan teori jam
biologis, dimana jam biologis dikontrol oleh sebuah area di hipotalamus yang
disebut suprachiasmatic nucleus (SCN) yang berlokasi di dekat ventrikel
ketiga dan kiasma optik (Mauk, 2006).

Anatomi ujung saraf bebas dan sensoris neokortikal yang terkait dengan
sensasi suhu tetap utuh pada usia lanjut, demikian juga kecepatan hantarannya
juga tetap utuh (Sudoyo, et al, 2010). Tubuh secara normal melakukan proses
fisiologis ketika terpapar lingkungan yang dingin dengan mencegah kehilangan
panas tubuh dan meningkatkan produksi panas. Pada saat yang sama, seseorang
akan melakukan proteksi dari lingkungan dingin dengan menghangatkan tubuh
dan mencari perlindungan (Miller, 2012). Pencegahan kehilangan panas dan
meningkatkan produksi panas melalui mekanisme fisiologis, seperti menggigil,
kontraksi otot, vasokontriksi perifer, peningkatan denyut jantung, dilatasi
pembuluh darah di otot, mengisolasi jaringan yang lebih dalam dengan
subkutan, dan melepas hormon tiroksin serta hormon kortikosteroid oleh
kelenjar pituitari. Selanjutnya, aktivitas mencari perlindungan ketika terpapar
suhu dingin meliputi mengonsumsi air hangat, menggunakan pakaian tebal dan
hangat, dan memperbanyak aktivitas agar meningkatkan sirkulasi darah.
Namun, pada lansia terjadi perubahan proses penuaan mengakibatkan terjadi
penurunan produksi panas dan kehilangan panas, sehingga kemampuan lansia
merespon suhu dingin terganggu. Perubahan akibat penuaan yang terjadi yaitu
vasokontriksi yang tidak efisien, penurunan curah jantung, penurunan massa
otot, penurunan sirkulasi perifer, penurunan jaringan subkutan, dan
berkurangnya refleks menggigil (Miller, 2012). Efek dari perubahan tersebut
membuat tumpulnya persepsi terhadap suhu dingin dan kurangnya stimulus
untuk melakukan perlindungan terhadap perubahan suhu lingkungan (Miller,
2012).
Mekanisme normal untuk membuang panas pada suhu lingkungan yang
tinggi adalah dengan memproduksi keringat agar terjadi penguapan dan
pelebaran pembuluh darah perifer sehingga memfasilitasi pengeluaran panas
secara radiasi. Kemampuan lansia untuk menyesuaikan diri dan menanggapi
stres panas terjadi perubahan akibat penuaan yaitu penurunan proses
berkeringat dan penurunan fungsi kardiovaskular (Miller, 2012). Pada lansia
nilai ambang batas meningkat untuk dapat menimbulkan keringat, respon
berkurang ketika berkeringat terjadi dan sensasi yang tumpul terhadap
lingkungan yang hangat. Misalnya, respon berkeringat orang dewasa sehat usia

60 tahun adalah sekitar setengah dari pada orang dewasa dengan usia 20
tahunan. Perubahan kardiovaskular berhubungan dengan penuaan mengganggu
kemampuan menghasilkan vasodilatasi perifer untuk pembuangan panas,
akibatnya lansia lebih rentan terhadap stres panas karena mereka kurang
mampu beradaptasi dengan lingkungan yang panas (Miller, 2012)
Suhu tubuh inti pada usia lanjut cenderung lebih rendah daripada
dewasa muda, misalnya pada lansia suhu oral rata-rata adalah 36 oC (Sudoyo, et
al, 2010). Penurunan set point ini dilakukan oleh hipotalamus untuk
mengimbangi perubahan-perubahan akibat penuaan yang telah disebutkan di
atas, sehingga akan dianggap normal jika lansia memiliki suhu tubuh yang
cenderung rendah (Mauk, 2006). Namun akibat buruk yang mungkin terjadi
adalah kesadaran/ awareness lansia terhadap stimulus suhu menjadi lebih
lambat dan berkurang, sehingga respons tubuh juga akan menjadi lambat. Oleh
karena itu, pemantauan suhu pada lansia harus sesering mungkin, untuk
mencegah komplikasi akibat suhu yang abnormal (Outzen, 2009).
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Thermoregulasi pada Lansia
1. Perubahan suhu tubuh secara patofisiologis (Miller, 2012)
a. Hipothermia terjadi karena
1) Penurunan produksi panas pada ubuh lansia karena tidak adanya
aktivitas,

malnutrisi,

kerusakan

hormon

endokrin,

kondisi

neuromuskular.
2) Kehilangan produksi panas seperti adanya luka bakar, pelebaran
pembuluh darah.
3) Proses patologis susunan saraf pusat (Gangguan).
Kondisi medis sebagian besar terkait dengan hipotermia, (Miller, 2012)
seperti :
1) Gangguan kardiovaskular
2) Infeksi
3) Trauma
4) Gangguan endokrin
5) Gagal ginjal Kronik
6) Pengobatan (psikotropika), Benzodiazepin, antidepresan dan Minum
alkohol
b. Hypertermi terjadi karena:
1) Peningkatan produksi panas seperti pada hipertyroidisme, KAD,
gangguan kardiovaskuler, ketidak seimbangan cairan dan elektrolit

2) Pengobatan seperti Diuretik, obat antikolinergik, Beta adrenergik


Block,
3) Alkohol mempengaruhi melalui diuresis
c. Hipotermi dan hipertermi karena :
1) Usia diatas 75 tahun
2) Infeksi / sepsis
3) Penyakit kardiovaskular
4) Penyakit cerebrovaskular
2. Pengaruh lingkungan dan sosial ekonomi
Suhu lingkungan sangat mudah dalam mempengaruhi suhu badan
seorang lansia, terutama dengan usia diatas 75 tahun, baik hypotermi
maupun hypertermi. Suhu lingkungan /rumah dalam keadaan panas atau
dingin akan merubah suhu badan lansia, seperti pada keadaan dimana
ventilasi rumah tidak memadai.
Isolasi sosial akan mempermudah terjadinya hipotermi /hipertermi
pada lansia terutama lansia yang hidup sendiri atau sengaja mengasingkan
diri. Lansia yang tidak memiliki pengetahuan akan kondisi badanya akan
mudah sakit karena hypotermi maupun hipertermi. Begitu juga lansia yang
tidak memiliki rumah dan keluarga ( terlantar ) mudah terkena hipotermi
atau hipertemi.
3. Kurangnya Pengetahuan pada Lansia
Kurangnya pengetahuan akan mudah terjadi gangguan terhadap lansia
terkait dengan pengaturan suhu badan. Dan hal ini sangat berbeda dengan
orang usia yang belum dikatagorikan sebagai lansia. Contoh, pada
penggunaan AC pengaruh terhadap orang lanjut usia akan mudah terjadinya
hipotermi bila dibandingkan dengan orang yang masih muda, begitu juga
sebaliknya.
Adanya

infeksi

dan

minimnya

pengetahuan

terkait

dengan

termoregulation, maka akan terjadi sakit secara tiba tiba pada lansia (tidak
ketahuan). Contoh, perawat mengangap tidak ada infeksi pada lansia jika
tidak ada demam, (suhu 37 C) padahal suhu badan lansia lebih rendah
dibanding orang muda, hal ini bisa terlihat jelas pada saat siang hari yang
panas.
C. Gangguan Patologis yang Sering Terjadi pada Thermoregulasi Lansia
1. Hipotermia
Hipotermia didefinisikan sebagai suhu tubuh inti di bawah 35 0C dan
paling sering terjadi pada lansia (Touhy & Jett, 2014). Penurunan suhu

tubuh ini, selain diakibatkan oleh pajanan terhadap udara dingin, juga
disebabkan oleh berbagai faktor seperti malnutrisi, gangguan endokrin,
penurunan lemak tubuh, imobilitas fisik, obat-obatan, penyakit penyerta dan
gangguan pusat termoregulasi seperti pada kasus stroke. Contoh gangguan
endrokrin

yang

menjadi

faktor

predisposisi

hipotermia

adalah

hipotiroidisme yang menyebabkan penurunan laju metabolisme dan


kalorigenesis (Sudoyo, 2009). Obat-obatan yang diketahui mengganggu
termoregulasi contohnya adalah fenoziatin, barbiturate, benzodiazepine,
alkohol, dan golongan trisiklik (Miller, 2012; Sudoyo, 2009).
Faktor-faktor di atas diperparah dengan adanya gangguan respon
termoregulasi sentral maupun perifer pada lansia, seperti penurunan
sensitivitas terhadap dingin, berkurangnya respon menggigil, kegagalan
vasokontriksi,

dan

penurunan

laju

metabolisme

(Tabloski,

2014).

Hipotermia pada lansia umumnya dimanifestasikan dengan kondisi awal


berupa kelelahan, kelemahan, dan kulit teraba dingin. Gangguan irama
jantung, sianosis, bradipnea, dan bahkan penurunan kesadaran dapat terjadi
jika kondisi tersebut berlanjut. Komplikasi yang paling diantisipasi dari
hipotermia berat adalah aritmia serta henti jantung dan nafas (Sudoyo, 2009;
Touhy & Jett, 2014). Hal tersebut menyebabkan hipotermia berat
digolongkan menjadi salah satu kondisi kegawatan. Tatalaksana yang dapat
diberikan antara lain pemanasan pasif dengan memindahkan pasien ke
lingkungan hangat, pemanasan eksternal aktif dengan pemberian selimut
listrik atau matras hangat, dan pemanasan inti dengan lavase mediastinum,
pemanasan arteri vena rutin (CAVR), lavase gaster, dialisis peritoneal, dan
pemanasan inhalasi (Sudoyo, 2009).
2. Hipertermia
Kebalikan dari hipotermia, hipertemia adalah peningkatan suhu tubuh
di atas titik pengaturan hipotalamus, yakni di atas 37,2 0C per oral atau di
atas 37,5 0C per rektal (Miller, 2012). Penurunan fungsi kalenjar keringat,
intake cairan, aliran darah ke kulit, curah jantung, kejadian infeksi, dan
berkurangnya redistribusi aliran darah dari sirkulasi splanknikus dan ginjal
merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya hipertermia pada lansia
(Sudoyo, 2009). Komplikasi paling berbahaya yang dapat terjadi pada

hipertermia yang terus meningkat adalah kejadian heat stroke atau serangan
panas, dimana lansia memiliki suhu inti di atas 40 0C dan menunjukkan
gejala seperti kelemahan, pusing, mual, sesak nafas, dan kulit terasa panas
dan kering yang dapat berujung pada gagal jantung, aritmia jantung, kejang,
penurunan fungsi neurologis, nekrosis hati, hipovolemia, dan syok. Kunci
utama tatalaksana pada kasus hipertermia berat adalah pendinginan cepat
dan mengusahakan suhu inti tubuh turun menjadi 39 0C pada satu jam
pertama. Pendinginan dapat dilakukan dengan cara berendam dalam air
dingin, kompres es, lavase lambung atau peritoneal dengan es, dan kipas.
Peningkatan fungsi neurologis merupakan tanda prognosis yang baik setelah
terapi. Pemberian antipiretik untuk lansia yang mengalami demam
sebaiknya dihindari, terutama yang disebabkan oleh infeksi (Outzen, 2009).
D. Pengkajian Thermoregulasi pada Lansia
Pengkajian merupakan suatu hal yang wajib dilakukan perawat untuk
mendapatkan informasi yang lengkap dari pasien. Informasi tersebut
membantu perawat untuk menetapkan diagnosa keperawatan yang tepat, untuk
pemberian intervensi yang tepat pula. Pengkajian termoregulasi pada lansia
mencakup batas normal suhu tubuh, faktor resiko perubahan suhu tubuh,
manifestasi hipotermia atau hipertermia, dan demam terhadap respon sakit.
Perawat menggunakan data ini untuk merencanakan intervensi dan pendidikan
kesehatan untuk mencegah hipotermia atau hipertermia. Pengkajian penting
untuk mendeteksi adanya infeksi lebih dini (Miller, 2012).
1. Mengkaji batas suhu tubuh normal.
Ukuran suhu tubuh bervariasi dimana suhu tubuh lebih rendah pada
saat tidur dan naik pada saat demam. Lansia normalnya memiliki suhu
tubuh yang rendah dan memiliki penurunan respon menggigil saat terjadi
infeksi, sehingga penting untuk menentukan suhu tubuh normal biasanya
dan menggolongkan sesuai dengan pola variasinya. Ada baiknya
menggunakan beberapa termometer untuk meyakinkan hasil yang
didapatkan. Perawat dapat menganjurkan lansia mengukur suhu tubuh
mereka dirumah dengan waktu yang berbeda dalam beberapa hari saat
mereka sehat dan membandingkannya ketika menunjukkan gejala sakit.
Prinsip pengkajian termoregulasi pada lansia (Miller, 2012):

a. Dokumentasikan suhu tubuh normal dan variasi naik turunnya.


b. Dokumentasi temperatur saat ini dan penyimpangan dari dasar normal
c. Ikuti prosedur standar untuk menemukan temperatur yang akurat.
Gunakan termometer dengan temperatur dibawah 35C
d. Pertimbangkan pengaruh medikasi terhadap perubahan suhu.
e. Jangan berasumsi bahwa infeksi selalu diikuti oleh kenaikan suhu.
f. Garis bawahi, pada infeksi, penurunan fungsi atau perubahan status
mental mungkin merupakan indikator yang lebih akurat dibandingkan
perubahan temperatur.
g. Jangan berasumsi bahwa pada lansia akan memulai kompensasi atau
keluhan tidak nyaman ketika terpapar dengan suhu lingkungan yang
buruk.
2. Identifikasi faktor resiko terhadap perubahan termoregulasi.
Perawat mengidentifikasi faktor resiko termasuk medikasi dan
gangguan fisiologis, yang mempengaruhi hipotermia atau panas yang
disebabkan karena sakit, dengan mempertimbangkan batas bawah suhu
tubuh. Perawat dapat mengkaji lingkungan rumah lansia dengan
menanyakan pertanyaan yang relevan. Lansia yang tinggal di rumah
dengan ventilasi yang kurang beresiko hipertermi selama cuaca panas.
Sedangkan lansia yang tinggal di rumah yang kumuh dapat beresiko
hipotermi selama musim dingin.
Pertanyaan yang bisa perawat ajukan saat pengkajian untuk
mengetahui faktor resiko hipotermia ataupun hipertermia yaitu:
a. Apakah lansia mempunyai masalah kesehatan khusus pada cuaca
panas atau dingin?
b. Dapatkah lansia menjaga rumah atau ruangan dengan suhu yang
nyaman di musim panas atau musim dingin?
c. Apa yang dapat lansia lakukan untuk mengatasi suhu panas saat
musim panas?
d. Proteksi seperti apa yang lansia lakukan saat musim dingin?
e. Apakah lansia menerima bantuan medis saat panas atau dingin?
f. Apakah lansia pernah jatuh dan tidak sanggup bangun atau tidak
mendapatkan pertolongan?
Observasi untuk mengkaji faktor resiko hipotermia ataupun hipertermia :
a. Apakah individu minum alkohol atau mengkonsumsi obat yang
mempengaruhi temperature?
b. Apakah lansia hidup sendiri? Jika iya, berapa kali kontak dengan
dunia luar?

c. Apakah ada kodisi patologis yang mempengaruhi hipotermi


d.
e.
f.
g.
h.
i.

(gangguan endokrin, neurologi, atau kardiovaskular)?


Apakah intake cairan dan nutrisi memadai?
Apakah individu mengalami gangguan imobilisasi?
Apakah kondisi cuaca panas, lembab, atau polusi?
Apakah individu melakukan latihan aktif selama cuaca panas?
Apakah ada penyakit kronis yang mempengaruhi hipertermia?
Apakah individu beresiko hiponatremia atau hypokalemia akibat

pengobatan atau penyakit kronik?


3. Pengkajian hipotermia.
Hipotermia bila suhu dibawah 35 C. Cuaca mungkin dingin tetapi
lansia tidak menggigil kedinginan atau mengeluh merasa dingin. Lansia
dapat menjadi hipotermia terutama ada faktor resiko lain seperti kurang
gerak atau pengaruh obat. Tanda awal hipotermia tidak nampak, dan
pengkajian paling objektif yaitu dengan cara membandingkan suhu tubuh
sekarang dengan batas bawah suhu tubuh mereka biasanya. Hipotermia
tahap lanjut, memiliki tanda-tanda tambahan termasuk letargi, bicara pelo,
perubahan mental, muka bengkak, nadi pelan atau ireguler, tekanan darah
rendah, reflex tendon melemah, pernapasan pendek. Karakteristik dari
hipotermia berat yaitu kaku otot, gangguan fungsi perkemihan, dan yang
terburuk adalah stupor dan coma (Miller, 2012). Menurut NANDA (2014),
faktor terkait hipotermia antara lain konsumsi alkohol, kerusakan
hipotalamus, penurunan kecepatan metabolik, usia lansia, dan tidak ada
aktivitas.
4. Pengkajian hipertermia.
Tanda klinis hipertermi akibat penyakit dari rentang ringan seperti
sakit kepala sampai yang mengancam nyawa yaitu gangguan pernapasan
dan kardiovaskular. Tahap awal hipertermi, basanya ditandai dengan
perasaan tidak enak badan, letargi dan mengeluh sakit kepala, nausea, dan
nafsu makan berkurang. Kulit teraba hangat dan kering, tidak ada
pengeluaran keringat, terutama jika intake cairan kurang. Pada hipertermi
lanjut, terdapat beberapa tanda klinis yang menunjukkan perburukan
seperti pusing, dyspnea, takikardi, muntah, diare, kram otot, nyeri dada,
gangguan mental, dan tekanan nadi lemah (Miller, 2012). Menurut
NANDA (2014), faktor terkait hipertermi antara lain penurunan respon

berkeringat, dehidrasi, suhu lingkungan yang panas, sakit, peningkatan


metabolic rate, iskemia, sepsis, dan aktivitas yang padat.
Dalam pengukuran suhu tubuh, lama waktu

pengukuran

mempengaruhi hasil. Waktu yang baik + 10 menit untuk semua tempat


pemeriksaan (rektal, oral, axila). Hal-hal yang harus diperhatikan dalam
pembacaan hasil pengukuran suhu lewat mulut yaitu, apakah suhu
lingkungan dingin, apakah pasien baru saja makan atau minum, apakah
pasien bernapas lewat mulut, apakah pasien mendapat terapi inhalasi.
Untuk pemeriksaan melalui rektal yang perlu dipertimbangkan sirkulasi
rektal yang kurang, obesitas, dan kurang gerak. Pada axila dan
selangkangan perlu dipertanyakan suhu lingkungan sangat panas atau
dingin, permukaan sirkulasi kulit, kulit atau lemak yang kurang untuk
menutupi thermometer. Hasil pengukuran suhu tubuh yang baik pada
lansia adalah melalui rektal (Smith, 2003).
5. Pengkajian demam sebagai respon sakit.
Karena tanda demam sebagai respon infeksi tidak kelihatan, perawat
mengkaji perubahan suhu terhadap batas normal individu dan sebagai
gejala tambahan seperti fungsi atau perubahan status mental. Perawat
harus mengetahui bahwa regulasi temperatur pada orang muda tidak selalu
terjadi pada lansia. Sebagai contoh pada pneumonia selalu diikuti dengan
peningkatan suhu, tetapi itu tidak berlaku pada lansia. Untuk itu, perawat
harus waspada terutama perubahan suhu yang tidak terlihat dan tanda
demam lainnya (Miller, 2012).

10

Anda mungkin juga menyukai