ISI
Anatomi ujung saraf bebas dan sensoris neokortikal yang terkait dengan
sensasi suhu tetap utuh pada usia lanjut, demikian juga kecepatan hantarannya
juga tetap utuh (Sudoyo, et al, 2010). Tubuh secara normal melakukan proses
fisiologis ketika terpapar lingkungan yang dingin dengan mencegah kehilangan
panas tubuh dan meningkatkan produksi panas. Pada saat yang sama, seseorang
akan melakukan proteksi dari lingkungan dingin dengan menghangatkan tubuh
dan mencari perlindungan (Miller, 2012). Pencegahan kehilangan panas dan
meningkatkan produksi panas melalui mekanisme fisiologis, seperti menggigil,
kontraksi otot, vasokontriksi perifer, peningkatan denyut jantung, dilatasi
pembuluh darah di otot, mengisolasi jaringan yang lebih dalam dengan
subkutan, dan melepas hormon tiroksin serta hormon kortikosteroid oleh
kelenjar pituitari. Selanjutnya, aktivitas mencari perlindungan ketika terpapar
suhu dingin meliputi mengonsumsi air hangat, menggunakan pakaian tebal dan
hangat, dan memperbanyak aktivitas agar meningkatkan sirkulasi darah.
Namun, pada lansia terjadi perubahan proses penuaan mengakibatkan terjadi
penurunan produksi panas dan kehilangan panas, sehingga kemampuan lansia
merespon suhu dingin terganggu. Perubahan akibat penuaan yang terjadi yaitu
vasokontriksi yang tidak efisien, penurunan curah jantung, penurunan massa
otot, penurunan sirkulasi perifer, penurunan jaringan subkutan, dan
berkurangnya refleks menggigil (Miller, 2012). Efek dari perubahan tersebut
membuat tumpulnya persepsi terhadap suhu dingin dan kurangnya stimulus
untuk melakukan perlindungan terhadap perubahan suhu lingkungan (Miller,
2012).
Mekanisme normal untuk membuang panas pada suhu lingkungan yang
tinggi adalah dengan memproduksi keringat agar terjadi penguapan dan
pelebaran pembuluh darah perifer sehingga memfasilitasi pengeluaran panas
secara radiasi. Kemampuan lansia untuk menyesuaikan diri dan menanggapi
stres panas terjadi perubahan akibat penuaan yaitu penurunan proses
berkeringat dan penurunan fungsi kardiovaskular (Miller, 2012). Pada lansia
nilai ambang batas meningkat untuk dapat menimbulkan keringat, respon
berkurang ketika berkeringat terjadi dan sensasi yang tumpul terhadap
lingkungan yang hangat. Misalnya, respon berkeringat orang dewasa sehat usia
60 tahun adalah sekitar setengah dari pada orang dewasa dengan usia 20
tahunan. Perubahan kardiovaskular berhubungan dengan penuaan mengganggu
kemampuan menghasilkan vasodilatasi perifer untuk pembuangan panas,
akibatnya lansia lebih rentan terhadap stres panas karena mereka kurang
mampu beradaptasi dengan lingkungan yang panas (Miller, 2012)
Suhu tubuh inti pada usia lanjut cenderung lebih rendah daripada
dewasa muda, misalnya pada lansia suhu oral rata-rata adalah 36 oC (Sudoyo, et
al, 2010). Penurunan set point ini dilakukan oleh hipotalamus untuk
mengimbangi perubahan-perubahan akibat penuaan yang telah disebutkan di
atas, sehingga akan dianggap normal jika lansia memiliki suhu tubuh yang
cenderung rendah (Mauk, 2006). Namun akibat buruk yang mungkin terjadi
adalah kesadaran/ awareness lansia terhadap stimulus suhu menjadi lebih
lambat dan berkurang, sehingga respons tubuh juga akan menjadi lambat. Oleh
karena itu, pemantauan suhu pada lansia harus sesering mungkin, untuk
mencegah komplikasi akibat suhu yang abnormal (Outzen, 2009).
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Thermoregulasi pada Lansia
1. Perubahan suhu tubuh secara patofisiologis (Miller, 2012)
a. Hipothermia terjadi karena
1) Penurunan produksi panas pada ubuh lansia karena tidak adanya
aktivitas,
malnutrisi,
kerusakan
hormon
endokrin,
kondisi
neuromuskular.
2) Kehilangan produksi panas seperti adanya luka bakar, pelebaran
pembuluh darah.
3) Proses patologis susunan saraf pusat (Gangguan).
Kondisi medis sebagian besar terkait dengan hipotermia, (Miller, 2012)
seperti :
1) Gangguan kardiovaskular
2) Infeksi
3) Trauma
4) Gangguan endokrin
5) Gagal ginjal Kronik
6) Pengobatan (psikotropika), Benzodiazepin, antidepresan dan Minum
alkohol
b. Hypertermi terjadi karena:
1) Peningkatan produksi panas seperti pada hipertyroidisme, KAD,
gangguan kardiovaskuler, ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
infeksi
dan
minimnya
pengetahuan
terkait
dengan
termoregulation, maka akan terjadi sakit secara tiba tiba pada lansia (tidak
ketahuan). Contoh, perawat mengangap tidak ada infeksi pada lansia jika
tidak ada demam, (suhu 37 C) padahal suhu badan lansia lebih rendah
dibanding orang muda, hal ini bisa terlihat jelas pada saat siang hari yang
panas.
C. Gangguan Patologis yang Sering Terjadi pada Thermoregulasi Lansia
1. Hipotermia
Hipotermia didefinisikan sebagai suhu tubuh inti di bawah 35 0C dan
paling sering terjadi pada lansia (Touhy & Jett, 2014). Penurunan suhu
tubuh ini, selain diakibatkan oleh pajanan terhadap udara dingin, juga
disebabkan oleh berbagai faktor seperti malnutrisi, gangguan endokrin,
penurunan lemak tubuh, imobilitas fisik, obat-obatan, penyakit penyerta dan
gangguan pusat termoregulasi seperti pada kasus stroke. Contoh gangguan
endrokrin
yang
menjadi
faktor
predisposisi
hipotermia
adalah
dan
penurunan
laju
metabolisme
(Tabloski,
2014).
hipertermia yang terus meningkat adalah kejadian heat stroke atau serangan
panas, dimana lansia memiliki suhu inti di atas 40 0C dan menunjukkan
gejala seperti kelemahan, pusing, mual, sesak nafas, dan kulit terasa panas
dan kering yang dapat berujung pada gagal jantung, aritmia jantung, kejang,
penurunan fungsi neurologis, nekrosis hati, hipovolemia, dan syok. Kunci
utama tatalaksana pada kasus hipertermia berat adalah pendinginan cepat
dan mengusahakan suhu inti tubuh turun menjadi 39 0C pada satu jam
pertama. Pendinginan dapat dilakukan dengan cara berendam dalam air
dingin, kompres es, lavase lambung atau peritoneal dengan es, dan kipas.
Peningkatan fungsi neurologis merupakan tanda prognosis yang baik setelah
terapi. Pemberian antipiretik untuk lansia yang mengalami demam
sebaiknya dihindari, terutama yang disebabkan oleh infeksi (Outzen, 2009).
D. Pengkajian Thermoregulasi pada Lansia
Pengkajian merupakan suatu hal yang wajib dilakukan perawat untuk
mendapatkan informasi yang lengkap dari pasien. Informasi tersebut
membantu perawat untuk menetapkan diagnosa keperawatan yang tepat, untuk
pemberian intervensi yang tepat pula. Pengkajian termoregulasi pada lansia
mencakup batas normal suhu tubuh, faktor resiko perubahan suhu tubuh,
manifestasi hipotermia atau hipertermia, dan demam terhadap respon sakit.
Perawat menggunakan data ini untuk merencanakan intervensi dan pendidikan
kesehatan untuk mencegah hipotermia atau hipertermia. Pengkajian penting
untuk mendeteksi adanya infeksi lebih dini (Miller, 2012).
1. Mengkaji batas suhu tubuh normal.
Ukuran suhu tubuh bervariasi dimana suhu tubuh lebih rendah pada
saat tidur dan naik pada saat demam. Lansia normalnya memiliki suhu
tubuh yang rendah dan memiliki penurunan respon menggigil saat terjadi
infeksi, sehingga penting untuk menentukan suhu tubuh normal biasanya
dan menggolongkan sesuai dengan pola variasinya. Ada baiknya
menggunakan beberapa termometer untuk meyakinkan hasil yang
didapatkan. Perawat dapat menganjurkan lansia mengukur suhu tubuh
mereka dirumah dengan waktu yang berbeda dalam beberapa hari saat
mereka sehat dan membandingkannya ketika menunjukkan gejala sakit.
Prinsip pengkajian termoregulasi pada lansia (Miller, 2012):
pengukuran
10