Anda di halaman 1dari 12

GANGGUAN TERMOREGULASI PADA USIA LANJUT

Nelyan Mokoginta, Wasis Udaya

I. PENDAHULUAN
Kemampuan mengatur suhu berkurang dengan meningkatnya usia.1 Beberapa
laporan memperkirakan suhu inti tubuh menurun dan bervariasi dengan
bertambahnya usia.2 Suhu inti tubuh merupakan satu indikator yang paling kuat dan
stabil yang mencerminkan aktivitas irama sirkandian. Pengaturan suhu tubuh terjadi
secara terpadu di hipotalamus berdasarkan sinyal yang diterima kulit dan suhu inti
tubuh1,2
Gangguan pengaturan suhu pada orang tua ditunjukkan dengan berkurangnya
mekanisme hemostatik yang terjadi seiring bertambahnya usia.3 Karena dari studi-
studi epidemiologi memperkirakan banyak kematian akibat hipotermi dan hipertermi
pada orang tua, maka dipikirkan kecurigaaan apakah kemampuan kapasitas
termoregulasi pada orang tua terbatas atau karena berkurangnya toleransi ketahanan
fisiologi terhadap temperatur yang ekstrim4. Penting dibedakan perubahan-perubahan
terkait usia yang primer dan sekunder. Perubahan terkait usia primer adalah hal yang
juga terdapat pada usia lanjut sehat, atau setelah koreksi perubahan-perubahan
sekunder. Perubahan-perubahan terkait usia sekunder adalah hal yang bukan semata-
mata disebabkan oleh proses menua tetapi terhadap faktor-faktor yang mana orang
tua berada pada resiko tinggi.1
Penyebab penyakit yang meningkat selama masa suhu ekstrim yaitu gangguan
kardiovaskular dan penyakit infeksi.1,3 Di Inggris, kejadian hipotermi mendapat
perhatian besar di mana sering terjadi pada orang dewasa akibat suhu ruangan yang
yang rendah pada musim dingin. Di antara 3,6% orang tua usia 65 tahun yang masuk
ke rumah sakit, hampir 10% ditemukan kejadian hipotermi.5 Didapatkan pula pada
negara bagian utara, kejadian Chronic Heart Failure (CHF) terjadi pada puncak
musim dingin.6

1
II. TERMOREGULASI
Manusia berada di lingkungan yang suhunya lebih dingin daripada tubuh
mereka, sehingga ia harus terus menerus menghasilkan panas secara internal untuk
mempertahankan suhu tubuhnya. Pembentukan panas akhirnya bergantung pada
oksidasi bahan bakar metabolik yang berasal dari makanan. Karena fungsi sel peka
terhadap fluktuasi suhu internal, manusia secara homeostasis mempertahankan suhu
tubuh pada tingkat yang optimal bagi kelangsungan metabolisme yang stabil. Untuk
mempertahankan kandungan panas total yang konstan sehingga suhu inti stabil,
pemasukan panas ke tubuh harus seimbang dengan pengeluaran panas. Pertukaran
panas antara tubuh dan lingkungan berlangsung melalui radiasi, konduksi, konveksi
dan evaporasi.7
Hipotalamus berfungsi sebagai termostat tubuh. Sebagai pusat integrasi
termoregulasi tubuh, hipotalamus menerima informasi aferen mengenai suhu
diberbagai bagian tubuh dan memulai penyesuaian-penyesuaian terkoordinasi yang
sangat rumit dalam mekanisme penambahan dan pengurangan panas sesuai dengan
keperluan untuk mengkoreksi setiap penyimpangan suhu inti dari “ patokan normal “.
Hipotalamus harus terus menerus mendapat informasi mengenai suhu kulit dan suhu
inti melalui reseptor-reseptor khusus yang peka-suhu yang disebut termoreseptor.
Suhu inti dipantau oleh termoreseptor sentral yang terletak di hipotalamus itu sendiri
serta di tempat lain disusunan saraf pusat dan organ-organ abdomen. Termoreseptor
perifer memantau suhu kulit diseluruh tubuh dan menyalurkan informasi mengenai
perubahan suhu permukaan ke hipotalamus.7
Di hipotalamus diketahui terdapat dua pusat pengaturan suhu. Regio posterior
diaktifkan oleh suhu dingin dan kemudian memicu refleks-refleks yang
memperantarai produksi panas dan konservasi panas. Regio anterior, yang diaktifkan
oleh rasa hangat, memicu refleks-refleks yang memperantarai pengurangan panas.
Sebagai respons terhadap penurunan suhu inti yang disebabkan oleh pemajanan tubuh
ke lingkungan yang dingin, hipotalamus meningkatkan tonus otot rangka sehingga

2
segera timbul menggigil. Sedangkan pada situasi berlawanan yaitu pada pajanan
tubuh ke lingkungan panas, tonus otot secara refleks menurun dan gerakan volunter
dibatasi.7
Mekanisme pengurangan panas juga dapat dikontrol terutama oleh
hipotalamus. Jumlah panas yang dikeluarkan ke lingkungan melalui radiasi dan
konduksi-konveksi terutama ditentukan oleh gradien suhu antara kulit dan lingkungan
eksternal. Dalam proses termoregulasi, aliran darah kulit dapat sangat bervariasi.
Respons-respons vasomotor kulit dikoordinasikan oleh hipotalamus melalui keluaran
sistem saraf simpatis. Peningkatan aktivitas simpatis ke pembuluh kulit menghasilkan
vasokonstriksi sebagai respons terhadap pajanan dingin, sedangkan penurunan
aktivitas simpatis menimbulkan vasodilatasi pembuluh kulit sebagai respons terhadap
pajanan panas.7
Sistem saraf perifer kulit berperan pada homeostasis kulit dan penyakit.
Persarafan pada kulit sebagai pertahanan untuk melindungi tubuh dari lingkungan
luar. Saraf kulit juga berespon terhadap stimulus dari sirkulasi dan emosi.
Selanjutnya, sistem saraf pusat secara langsung melalui saraf eferen atau secara tidak
langsung melalui kelenjar adrenal atau sel imun berhubungan dengan fungsi kulit.
Saraf otonom simpatis mempengaruhi fungsi fisiologi dan patofisiologi kulit.8

III. TERMOREGULASI PADA USIA LANJUT


Pada kondisi sehat suhu inti tubuh pada kondisi istirahat, tidak berbeda antara
usia lanjut maupun dengan usia muda. Beberapa laporan memperkirakan terjadi
penurunan suhu inti tubuh dengan bertambahnya usia. Suhu inti tubuh yang rendah
juga dapat dipengaruhi nutrisi, penyakit dan obat-obatan. Suhu inti tubuh selama tidur
tergantung pada usia, rata-rata suhu inti tubuh selama periode pukul 02.00 sampai
dengan 08.00 secara signifikan lebih tinggi pada orang tua dengan usia 69±2 tahun.2
Selama periode malam hari, temperatur kulit pada orang tua sekitar 340C di mana
lebih tinggi dibanding pada siang hari.4

3
Respon fisiologi terhadap stres dingin yaitu dengan mengurangi kehilangan
panas dan meningkatkan produksi panas. Berkurangnya kesadaran pada usia lanjut
untuk mempertahankan suhu inti tubuh selama stres dingin, dipengaruhi oleh
melemahnya respon vasokonstriksi. Berkurangnya respon vasokonstriksi kulit secara
nyata pada telapak tangan, telapak kaki, bibir, telinga, dan pada badan dan anggota
gerak. Terdapat pula akibat penurunan resistensi perifer dan berkurangnya
termogenesis.2
Pada pemanasan lokal, meskipun terdapat banyak variasi pada tiap individu,
terdapat bukti yang jelas pengaruh usia terhadap fungsi respon pengeluaran kelenjar
keringat. Adanya tekstur dan penampakan kulit yang lebih halus serta kurang
mengkerut berperan pada kurang atau tidak adanya respon berkeringat pada usia
lanjut. Selain itu, pengaruh faktor lingkungan dan lamanya paparan sinar ultraviolet
dapat berinteraksi dengan menurunnya fungsi kelenjar keringat tersebut.2
Respon aliran darah pada kulit berkurang dengan bertambahnya usia. Weis
menyimpulkan bahwa pada kulit usia lanjut terjadi perfusi kutaneus yang rendah
berhubungan dengan menghilangnya fungsi pleksus kapiler. Selanjutnya pada
pemanasan lokal yang lebih lama didapatkan penurunan respon aliran darah kulit
diperkirakan karena perubahan struktur pembuluh kutaneus, serta perubahan bagian
epidermis kulit yang mendatar dan bahkan didapatkan hampir sangat halus pada usia
yang sudah sangat tua. Sedangkan pada respon kardiovaskular, pada studi yang
dilakukan Minson dan kawan-kawan, mendapatkan hubungan usia dengan
berkurangnya aliran darah kulit berhubungan dengan rendahnya peningkatan kardiak
output sebagaimana berkurangnya redistribusi aliran darah splanknik dan sirkulasi
renal.2
Manusia membutuhkan pengaturan terhadap temperatur tubuh dengan
membatasi fungsinya secara esensial untuk bertahan. Dalam termoregulasi, dikenal
termoregulasi behavioral sebagai pertahanan dan termoregulasi otonom sebagai
respon terhadap sistem saraf otonom. Studi dari De Groot dan Kenney
menggambarkan bahwa usia berhubungan dengan berkurangnya termoregulasi

4
otonom. Hal penting dan masuk akal diperkirakan bahwa akibat defisit termoregulasi
otonom pada usia lanjut dikompensasi melalui termoregulasi behavioral.4 Pada
kenyataannya, banyak individu usia lanjut yang tinggal sendiri dan memiliki
ketidakmampuan melakukan tindakan seperti mengganti pakaian tebal, pindah ke
lingkungan sejuk, meningkatkan asupan cairan akan meningkatkan resiko hipertermi
pada stres panas.1
Hubungan antara usia dengan berkurangnya respon simpatoneural dijelaskan
bahwa karena konsentrasi norepinefrin meningkat empat kali pada usia muda tapi
hanya meningkat dua kali pada usia lanjut selama stres dingin demikian pula respon
vasomotor terhadap norepinefrin menurun pada usia lanjut. Demikian pula pada
penurunan kemampuan produksi panas dan persepsi suhu yang memperlihatkan
bahwa mekanisme pertahanan terhadap dingin terganggu pada usia lanjut.9,10 Proses
menua berhubungan dengan menurunnya ambang batas dan kemampuan respon
maksimal terhadap vasokonstriksi, menurunnya kemampuan konsumsi total terhadap
oksigen dan pelepasan epinefrin, menurunnya respon vasomotor, dan penurunan
secara subjektif terhadap sensor suhu. 11
Pada suatu studi yang dilakukan Thompson dan kawan-kawan
memperkirakan berkurangnya sensitivitas reseptor adrenerjik dan kemampuan
vasokonstriksi kulit terhadap norepinefrin berhubungan dengan penuaan yang sehat.
12
Pada studi berikutnya didapatkan melalui penilaian respon pemberian noradrenalin
pada pendinginan lokal yang dilakukan pada usia lanjut, diperkirakan bahwa
berkurangnya respon vasokonstriksi dapat karena berkurangnya ketersediaan Ca+ atau
penurunan sensitivitas 𝛼 2C-adrenergik Reseptor (AR ).13
Meskipun tanpa proses patologi, penuaan manusia secara primer menurunkan
refleks vasokonstriksi dan vasodilatasi kulit. Hubungan usia dengan perubahan dalam
termoregulasi yang dikontrol melalui aliran darah pada kulit terjadi pada bermacam
refleks sepanjang cabang eferen seperti berkurangnya aliran simpatis, perubahan

5
sintesa neurotransmiter presinap, berkurangnya respon vaskular, dan gangguan pada
aliran signal second messenger ( endotel dan otot polos vaskular ). 14
Suhu yang rendah sangat berhubungan dengan prognosis yang buruk pada
pasien dengan gagal jantung. Suhu dingin yang ekstrim dapat menyebabkan
vasokonstriksi dan peningkatan heart rate dan tekanan darah pada gagal jantung.15
Temperatur di luar ruangan sangat mempengaruhi tekanan darah pada usia lanjut.
Didapatkan data bahwa pada usia yang sangat tua (lebih dari 80 tahun), terdapat
variasi peningkatan tekanan darah.16 Gangguan termoregulasi pada usia lanjut adalah
berupa hipotermi dan hipertermi. Berikut akan dibahas berbagai gejala, faktor-faktor
yang mempengaruhi dan penatalaksanan pada hipotermi dan hipertermi yang terjadi
pada usia lanjut.

IV. HIPOTERMI
Hipotermi didefinisikan sebagai temperatur tubuh inti (rektal, esofageal,
timpani ) kurang dari 350C ( 950F).1,3,5,17 Hipotermi terbagi atas dua yaitu hipotermi
primer dimana bila dianggap bahwa paparan ke dingin merupakan satu-satunya atau
faktor utama yang bertanggung jawab. Pada usia lanjut seringkali terdapat gangguan
regulasi temperatur yang fisiologik dan tidak sebagai akibat penyakit tertentu.
Hipotermi sekunder adalah bilamana dianggap bahwa hipotermi adalah akibat
penyakit yang mendasarinya, walaupun suhu badan yang rendah mungkin
dipresipitasi oleh paparan hawa dingin.1
Gangguan termoregulasi yakni kondisi-kondisi yang menurunkan produksi
panas seperti keadaan hipotiroidisme, hipopituitarisme, hipoadrenalisme,
hipoglikemia, anemia, malnutrisi, kelaparan, Imobilisasi/berkurangnya aktifitas,
ketoasidosis diabetikum, kondisi-kondisi yang meningkatkan kehilangan panas
seperti luka-luka terbuka, inflamasi umum di kulit, luka bakar, kondisi-kondisi yang
mengganggu kontrol termoregulasi sentral atau perifer seperti strok, tumor otak,
perdarahan subarachnoid, ensefalopati wernicke, uremia, neuropati, pneumonia, serta

6
obat-obat yang mengganggu termoregulasi seperti obat penenang, hipnotik sedatif
antidepresan dan alkohol.1,18

A. Gejala klinis
Gejala awal biasanya ringan dan tidak jelas. Tanda- tanda awal yang terjadi
pada suhu inti 32-350 C adalah kelelahan, kelemahan, melambatnya gerakan, apati,
bicara tidak jelas, kebingungan dan kulit dingin. Dengan bertambah beratnya
hipotermi dimana suhu tubuh inti 28-320C, didapatkan kulit menjadi dingin dan
sianosis, hipopnea, dan menurunnya kesadaran semakin jelas. Bradikardia, aritmia
atrial dan ventrikel serta hipotensi dapat terjadi. Refleks-refleks melambat dan pupil
kurang reaktif. Bisa terdapat edema umum dan poliuria atau oligouria. Akhirnya
dengan suhu tubuh turun kurang dari 280C, didapatkan kulit menjadi sangat dingin,
individu menjadi tidak responsif, kaku, tidak ada refleks dan terfiksir, pupil dilatasi.
Apnea dan fibrilasi ventrikel sering terjadi dan dapat disangka sudah
meninggal.1,5,17,18
Pada hipotermi berat, komplikasi yang paling fatal adalah aritmia dan henti
jantung dan napas. Kelainan EKG yang sering dijumpai pada hipotermi antara lain
bradikardi, pemanjangan interval PR, kompleks QRS dan segmen QT, fibrilasi
atrium, ekstra sistol ventrikel, fibrilasi ventrikel dan gelombang J yang abnormal
(gelombang Osborne). Gelombang J tidak patopnemonis pada hipotermi, karena
dapat juga ditemukan pada perdarahan subaraknoid dan kerusakan serebral lain dan
juga pada iskemik miokard.19 Komplikasi lain adalah bronkopneumonia, pneumonia
aspirasi, edema paru, pankreatitis, perdarahan gastrointestinal, nekrosis tubular ginjal
akut, trombosis intravaskular.1,3,5,17

B. Penatalaksanaan1,18
Pada perawatan gawat darurat, pasien dengan hipotermi harus segera
dipindahkan dari lingkungan dingin, daerah berangin, dan kontak dengan objek yang
dingin. Pakaian basah harus disingkirkan untuk mencegah kehilangan panas lebih

7
jauh. Monitor jantung harus segera dilakukan. Cairan intravena, lebih baik dextrosa
5%, natrium fisiologis, harus dihangatkan sebelum digunakan.
Pada temperatur 300C, sebaiknya perawatan dilakukan di ICU. Di atas itu,
perawatan cukup dilaksanakan di ruangan yang hangat, dengan menggunakan selimut
tebal. Hipotermia pada pasien usia lanjut awalnya harus ditatalaksana sebagai sebagai
penderita sepsis sampai terbukti tidak ada. Perawatan umum yang baik harus
dilaksanakan untuk mencegah aspirasi pneumonia. Berikan antibiotika spektrum luas
sebagai pencegahan tanpa menunggu hasil kultur darah. Gangguan elektrolit dan
cairan harus diwaspadai, dan segera diterapi begitu keadaan penderita stabil. Jalur
vena sentral harus dihindari karena menyebabkan iritabilitas miokard. Karena
metabolisme melambat, banyak obat memberikan sedikit efek pada saat hipotermi.
Kekurangan cairan bisa berat dan membutuhkan penggantian cairan saat pemanasan
terjadi. Gas darah harus diobservasi, untuk menilai fungsi pernafasan. Pada kasus
terjadi aritmia yang serius, asidosis, serta gangguan cairan dan elektrolit, biasanya
tanggapan terhadap terapi hanya setelah dilakukan pemanasan. Lebih baik
menstabilkan pasien dan segera melakukan teknik pemanasan spesifik.
Hipotermia ringan (> 320C) biasanya diberikan pemanasan pasif dengan
bahan penyekat/pengisolasi dan menempatkan pasien dilingkungan hangat (> 210C).
Pemanasan eksternal aktif (selimut listrik, matras hangat, dan botol air hangat,
berendam / mandi air hangat) merupakan teknik yang lebih cepat untuk pemanasan
daripada prosedur pasif. Pada hipotermi berat, pemansan aktif sangat diperlukan.
Terdapat berbagai teknik yang tersedia yaitu pemanasan dengan dialisis peritoneal,
dan teknik mediastinal lavag ketika sirrkulasi ekstrakorporeal membutuhkan unit
khusus di rumah sakit, juga terdapat resiko hipotensi dan perdarahan dengan
penggunaan heparin. Teknik lain yaitu dengan gastric lavage.

8
V. HIPERTERMI1
Hipertermi adalah peningkatan suhu tubuh di atas titik pengaturan
hipotalamus bila mekanisme pengeluaran panas terganggu (oleh obat atau penyakit)
atau dipengaruhi oleh panas eksternal ( lingkungan) atau internal (metabolik).
Gangguan sistem termoregulasi dapat berbeda tingkatannya, dapat akibat dari
proses penuaan, atau yang berhubungan dengan komorbiditas dan penyakit.
Selanjutnya, faktor komorbid yang signifikan, pengobatan dan faktor sosial
lingkungan merupakan resiko terhadap mekanisme hemostatik pada orang tua selama
terjadi gelombang panas. Sebagai contoh, berkurangnya gerak lebih membutuhkan
bantuan dalam melepaskan pakaian, lebih lanjut kondisi dimana individu kesulitan
penghasilan. Selanjutnya adanya penyakit kronik yang diderita seperti penyakit gagal
jantung kongestif, diabetes, penyakit paru kronik menahun, alkoholisme lebih lanjut
meningkatakan resiko.

A.Gejala klinik
Gejala awal kegagalan termoregulasi dapat tidak spesifik. Pada beberapa
individu dapat menunjukkan gejala lesu, lemas, pusing, anoreksia, mual, muntah,
nyeri kepala dan sesak. Dalam bentuk serangan akut, hipertermia dikenal sebagai
sengatan panas (heat stroke) dan didefinisikan sebagai kegagalan mempertahankan
suhu tubuh yang ditandai dengan suhu tubuh inti yang lebih 40,60C, disfungsi
susunan saraf pusat hebat (psikosis, delirium, koma) dan gejala anhidrosis berupa
kulit yang panas dan kering.1,17 Pada keadaan lanjut, dapat terjadi komplikasi
mencakup gagal jantung kongestif, aritmia jantung, edema serebral dengan kejang
dan defisit neurologis, nekrosis hepatoseluler dengan ikterus dan gagal hati,
hipokalemia, alkalosis respiratorik dan asidosis metabolik, serta hipovolemia dan
syok.

9
B.Penatalaksanan
Kunci mengatasi hipertemia adalah pendinginan cepat. Suhu tubuh inti
diturunkan mencapai 390C dalam jam pertama. Tujuan teknik pendinginan adalah
meningkatkan transfer panas dari kulit ke lingkungan. Penyembuhan fungsi sistem
saraf pusat selama pendinginan merupakan tanda prognosis yang baik dan bisa
diharapkan pada mayoritas pasien yang mendapat terapi agresif segera. Kerusakan
otak terjadi pada 20 % pasien dan dikaitkan dengan tingginya mortalitas.1

V. RINGKASAN
Kemampuan mengatur suhu pada usia lanjut berkurang dengan meningkatnya
usia. Beberapa laporan memperkirakan suhu inti tubuh menurun dan bervariasi
dengan bertambahnya usia. Pengaturan suhu tubuh terjadi secara terpadu di
hipotalamus berdasarkan sinyal yang diterima kulit dan suhu inti tubuh.
Berkurangnya kesadaran pada usia lanjut untuk mempertahankan suhu inti
tubuh selama stres dingin, dipengaruhi oleh melemahnya respon vasokonstriksi,
penurunan resistensi perifer dan berkurangnya termogenesis. Sedangkan pada stres
panas, meskipun terdapat banyak variasi pada tiap individu, terdapat bukti yang jelas
pengaruh usia pada respon fungsi kelenjar keringat. Demikian pula pada respon aliran
darah pada kulit terhadap pemanasan secara lokal berkurang dengan bertambahnya
usia. Demikian pula dengan respon kardiovaskular berhubungan dengan rendahnya
peningkatan kardiak output sebagaimana berkurangnya aliran darah splanknik dan
sirkulasi renal.
Terdapat faktor-faktor yang meningkatkan resiko hipotermi pada usia lanjut
seperti kondisi-kondisi yang menurunkan produksi panas, meningkatkan kehilangan
panas, mengganggu kontrol termoregulasi sentral dan perifer serta obat-obatan.
Sedangkan pada stres panas, tingkat dan kecepatan mekanisme kompensasi
hemostatik pada orang tua berkurang akibat penurunan kardiak output dan
menurunnya respon vasodilatasi pembuluh darah perifer. Baik hipotermi dan

10
hipertemi pada usia lanjut menunjukkan gejala klinis awal biasanya ringan dan tidak
jelas, oleh karenanya perlu kewaspadaan yang tinggi untuk penatalaksanaan yang
lebih tepat dan cepat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiati S, Kemalasari N. Regulasi Suhu Pada Usia Lanjut. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006:1341-1345
2. Kenney LW, Munce AT. Aging and Human Temperature Regulation. J A Physio
2003;95:2598-2603
3. Kane LR, Quslander GJ, Abrass BI, Resnick B. Disorders of Temperature
Regulation : Decreased Vitality. In: Essentials Clininical Geriatrics. 6th edition.
United States of America: McGraw-Hill, 2009;391-394
4. Van Someren WJE. Thermoregulation and aging. A J Physio Reg 2007;292:99-
102
5. Kuchel AG. Aging and Homeostatic Regulation. Halter BJ, QuslanderGJ,
Tinetti EM, Studenski S, High PK, Asthana S. In: Hazzard’s Geriatric Medicine
and Gerontology. 6th edition. United States of America: McGraw-Hill, 2009
;624-626
6. Inglis CS, Clark AR, et al. Hot Summers and Heart Failure : Seasonal Variations
in Morbidity and Mortality in Australian Heart Failure Patients ( 1994-2005).
Eur J Heart Fail 2008;10:540-549
7. Sherwood L. Keseimbangan Energi dan Pengaturan Suhu. Dalam : Fisiologi
Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedoktran EGC ;
1996:596-606
8. Roosterman D, George T et al. Neural Control Of Skin Function: The Skin as a
Neuroimmunoendocrine Organ. Am Physio Soc 2006;86:1309-1379
9. Dibona FG. Thermoregulation. Am J Physio Reg 2003;284:277-279
10. Persson BP. Aging. Am J Physio Reg 2002;282:1-2
11. Frank MS, Raja NS et al. Age-related Thermoregulatory Differences During
Core Cooling in Humans. Am J Physio Reg 2000;279:349-354
12. Thompson SC, Holowatz AL, Kenney LW. Cutaneous Vasoconstrictor
Responses to Norepinephrine are Attenuated in Older Humans. Am J Physio
Reg 2005;288:1108-1113
13. Thompson SC, Holowatz AL, Kenney LW. Attenuated Noradrenergic
Sensitivity During Local Cooling in Aged Human Skin. Am J Physio Reg
2005;564:313-319

11
14. Holowaatz AL, Kenney LW. Peripheral Mechanisms of Thermoregulatory
Control of Skin Blood Flow in Aged Humans. Am J Physio Reg 2010;109:1538-
1544
15. Nallamothu KB, Payvar S et al. Admission Body Temperature and Mortality in
Elderly Patients Hospitalized for Heart Failure. J Am Coll Cardio volume 47
.2006;12
16. Alperovitch A, Lacombe MJ et al. Relationship Between Blood Pressure and
Outdoor Temperature in a Large Sample of Elderly Individuals. Arch Intern
Med. Am Med Assoc 2009;169 (1):75-80
17. Martono HH. Gangguan Saraf Otonom. In: Boedhi-Darmojo R, Martono HH,
editors. Geriatri ( Ilmu Kesehatan Usia Lanjut ). Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004:166-173
18. Mccullough L, Arora S. Diagnosis and Treatment of Hypothermia. Am Fam
Physic 2004;70:2325-2331
19. Mallet L M. Pathophysiology of Accidental Hypothermia. Q J Med 2002;775-
785

12

Anda mungkin juga menyukai