Anda di halaman 1dari 21

PENDAHULUAN.

Thermoregulasi merupakan masalah yang perlu dipahami terutama pada pasien yang
akan menjalani operasi. Karena banyak hal yang dapat dipengaruhi karena perubahan
temperatur, baik itu hypotermi maupun hipertermi. Kasus-kasus yang muncul di bidang
anesthesi tidak banyak yang menonjol. Minimnya kasus yang dilaporkan bukan karena
ringannya efek yang terjadi karena adanya gangguan thermoregulasi tapi bisa juga karena
reaksi yang muncul tidak diketahui atau karena kecerobohan dalam penanganan perioperatif
dalam persiapan anesthesi dan penanganan kasus yang terjadi.
Pada referat ini kami mencoba menampilkan fisiologi yang berkaitan dengan
thermoregulasi, efek yang ditimbulkan terutama karena hypotermi juga pengaruhnya dengan
penggunaan agen-agen anesthesi.

SUHU TUBUH NORMAL.

Suhu tubuh dinyatakan normal apabila pada waktu pengukuran lewat oral 37°C
(98,7° F) dengan ± 0,2°C. Variasi suhu pada bagian tubuh tergantung dari lingkungan.
Ekstremitas akan lebih rendah dibandingkan suhu inti. Suhu inti diartikan sebagai suhu pada
organ vital dalam tubuh. Pengukuran suhu yang dilakukan pada rektal, oral, esofagus
maupun membrana tympani, suhu yang dihasilkan mencerminkan mendekati suhu inti yang
sebenarnya. Sedangkan pengukuran lewat aksila atau bagian kulit lainnya, hasilnya belum
mendekati suhu inti bila dibandingkan pengukuran lewat oral, rektal, membrana tympani
ataupun lewat esofagus. Suhu inti biasanya lebih tinggi 0,5°C dibandingkan suhu oral, rektal,
maupun suhu membrana tympani 2.
Terdapat fluktuasi sirkardian dari suhu inti tubuh yang bervariasi antara 0,5-0,7 °C.
Suhu tubuh lebih rendah saat tidur dibandingkan saat aktivitas. Pada wanita suhu basal akan
meningkat saat menjelang ovulasi. Secara klasik suhu akan meningkat pada kasus infeksi,
hiperthyroidi dan malignant hipertermi. Sebaliknya pada myxoedem menurunkan suhu basal
2
.

PEMBENTUKAN PANAS DAN KEHILANGAN PANAS


Menurut Guyton, 1994, panas secara terus menerus dihasilkan tubuh sebagai hasil
sampingan metabolisme, dan panas tubuh juga secara terus menerus dibuang kelingkungan
sekitar. Bila kecepatan pembentukan panas tepat seperti kecepatan kehilangan panas, orang
dikatakan berada dalam keseimbangan panas. Tetapi bila keduanya diluar keseimbangan
panas tubuh maka suhu tubuh jelas akan meningkat atau menurun. Pembentukan suhu tubuh
dipengaruhi oleh :
1. Laju metabolisme basal semua sel tubuh.
2. Peningkatan kecepatan metabolisme yang disebabkan oleh aktivitas otot, termasuk yang
disebabkan oleh menggigil.
3. Peningkatan metabolisme yang disebabkan oleh efek tiroksin pada sel.
4. Peningkatan metabolisme yang disebabkan oleh efek norefinefrin dan
perangsangan simpatis pada sel.
5. Peningkatan metabolisme yang disebabkan oleh peningkatan suhu sel-sel tubuh.
Laju metabolisme basal berarti kecepatan penggunaan energi dalam tubuh selama
istirahat absolut, tetapi orang dalam keadaan bangun. Cara yang biasa digunakan untuk
menentukan laju metabolisme basal, obyek harus dalam keadaan basal dan kemudian
mengukur kecepatan penggunaan oksigen.
Kontraksi otot maksimal yang berlangsung singkat pada salah satu otot melepaskan
panas sebanyak seratus kali panas yang dikeluarkan pada waktu istirahat selama beberapa
detik. Energi yang dibutuhkan oleh seorang laki-Iaki dengan berat badan 70 kg, dalam
keadaan berbaring sepanjang hari kira-kira 1650 kalori energi.
Fungsi dasar tiroksin adalah untuk meningkatkan laju aktivitas pada hampir semua
reaksi kimia dalam semua sel tubuh. Bila kelenjar tiroid mengekskresikan dalam jumlah
maksimal, laju metabolisme meningkat sampai 100 persen diatas normal.
Perangsangan saraf simpatis yang disertai pengeluaran norepinefrin dan epinefrin
meningkatkan laju metabolisme pada hampir semua jaringan tubuh. Hormon ini memiliki
efek langsung pada sel untuk menyebabkan glikogenolisis, dan hal ini mungkin bersamaan
dengan efek intrasel lain hormon tersebut dalam meningkatkan aktivitas seluler.
Perangsangan maksimal sistem saraf simpatis dapat meningkatkan laju metabolik.

2
Peningkatan suhu tubuh, apapun penyebabnya akan meningkatkan laju metabolisme, hal
ini karena semua reaksi kimia dalam tubuh meningkat dengan kecepatan reaksi rata-rata sekitar
130 persen, untuk setiap peningkatan suhu 1°C.
Kehilangan panas dipengaruhi oleh :
1. Radiasi
Kehilangan panas dalam bentuk radiasi berwujud sebagai sinar infra merah,
suatu jenis gelombang elektromagnetik. Semua masa didunia ini yang tidak bersuhu
0°C absolut memancarkan sinar seperti ini. Karena itu tubuh manusia memancarkan
sinar panas kesegala arah. Akan tetapi sinar panas juga dipancarkan oleh benda lain
kearah tubuh kita. Ini merupakan keadaan yang lazim. Apabila berada dalam musim
yang panas, dimana lingkungan lebih panas dari tubuh kita, maka lebih banyak radiasi
yang dipancarkan ketubuh kita dari pada yang dipancarkan oleh tubuh kita.
Kehilangan panas akibat radiasi sulit diukur karena tergantung dari suhu permukaan
tubuh kita dan suhu rata-rata lingkungan, dimana kita tidak bisa mengetahui dengan
pasti suhu keduanya, kecuali keadaan sekitar tubuh tersebut dikendalikan. Permukaan
tubuh manusia sangat menyerap panas. Tubuh manusia yang terkena panas perapian
dapat mengabsorbsi 97 % sinar yang mengenainya. Energi dari matahari dihantarkan
dalam bentuk sinar cahaya bukan sinar infra merah. Kira-kira 35% gelombang ini
dipantulkan dari kulit yang terang dan hanya sedikit dari yang kulit gelap, akibatnya
sinar matahari pada kulit gelap mengabsorbsi lebih banyak panas dari pada kulit
putih.

2. Konduksi

3
Adalah cara kehilangan panas melalui pembuangan langsung ke obyek lain ,
misalnya kekursi, pakaian atau obyek lainnya. Kehilangan dengan cara ini
sebenarnya juga ke udara dan cara ini yang dapat diukur, asal saja suhu udara sekitar
tubuh tidak sama dengan suhu tubuh. Pandangan ini berasumsi bahwa udara
merupakan pergerakan dari molekul-molekul yang bersentuhan dengan kulit.

3. Konveksi
Berbeda dengan konduksi, cara kehilangan panas ini berasumsi bahwa udara
berpindah seperti halnya arus yang mengalir menjauhi tubuh. Sebenarnya aliran arus
ini haruslah berkonduksi terlebih dahulu . Sejumlah kecil konveksi hampir selalu
terjadi sekitar tubuh karena kecenderungan udara yang dekat dengan kulit bergerak
keatas sewaktu udara tersebut dipanaskan. Oleh karena itu orang yang telanjang
dengan udara sejuk tanpa ada pergerakan udara yang nyata tetap kehilangan panas
sekitar 12 % dengan konduksi keudara selanjutnya dengan cara konveksi menjauhi
tubuh.

4. Evaporasi ( penguapan ).
Bila satu gram air menguap dari tubuh maka panas akan hilang sebesar 0,58
kalori. Air menguap dengan cara insensibel dari kulit dan paru dengan kecepatan
sekitar 600 ml perhari. Hal ini menyebabkan kehilangan panas secara kontinyu
dengan kecepatan antara 12 - 18 kalori perjam. Penguapan insensibel ini tidak dapat
dikontrol oleh tubuh dikarenakan sifat uap air yang mampu berdifusi melalui kulit dan
permukaan respirasi tanpa mengindahkan suhu tubuh 6,7,11.

PENGATURAN SUHU TUBUH.

Pada bayi baru lahir pusat pengatur suhu tubuh belum matur sehingga suhu
Iingkungan sangat berperan dalam mcnentukan suhu neonatus tersebut. Neonatus akan
memiliki pusat pengatur suhu tubuh dari yang bersifat poikilothermal menjadi
homoiothermal hunya membutuhkan beberapa jam saja. Tetapi menurut Collins 1996, bayi
umur kurang dari 6 bulan akan memiliki kecenderungan terjadi hipothermi secara spontan.
Suhu tubuh hampir seluruhnya diatur oleh mekanisme umpan balik saraf dan hampir
semua meknisme ini bekerja melalui pusat pengaturan suhu yang terletak pada hipotalamus.

4
Akan tetapi agar mekanisme umpan balik ini bekerja harus terdapat detektor suhu untuk
menentukan bila suhu tubuh menjadi terlalu panas atau terlalu dingin 7.
Mungkin reseptor suhu yang paling penting untuk mengatur suhu tubuh adalah neuron
peka panas khusus yang terletak pada area preoptik hoipotalamus. Neuron ini meningkatkan
impuls yang keluar bila suhu turun. Selain reseptor peka panas terdapat pula neuron reseptor
peka dingin yang ditemukan diberbagai bagian hipothalamus , septum dan substansia
retikularis otak tengah, yang semuanya meningkatkan kecepatan bila terkena dingin. Pada
kulit terdapat reseptor suhu kulit yang merupakan reseptor suhu panas dan dingin, yang
menghantarkan impuls ke medula spinalis dan kemudian ke daerah hipothalamus otak untuk
membantu mengatur suhu tubuh. Reseptor suhu pada medula spinalis, abdomen, dan
mungkin struktur interna lain tubuh, juga menghantarkan signal ke susunan saraf pusat untuk
membantu mengatur suhu tubuh.
Selain mekanisme diatas tubuh ternyata masih memiliki mekanisme lain untuk mengatur suhu
tubuh. Bila suhu interna tubuh terlalu tinggi , signal dari area preoptika otak memberi kesan psikis
terlalu panas. Bila tubuh terIalu dingin , signal dari kulit dan mungkin dari reseptor-reseptor perifer
menimbulkan perasaan dingin yang tidak enak. Oleh karena itu orang membuat penyesuaian yang
cocok untuk merasa nyaman 7.

MEKANISME KONSERVASI PANAS DAN DINGIN

Menurut Guyton (1994), bila inti tubuh didinginkan kira-kira dibawah 37°C , mekanisme
khusus bekerja mengkonversi panas yang telah ada dalam tubuh dan mekanisme lain juga timbul
untuk meningkatkan kecepatan pembentukan panas. Mekanisme itu adalah :
1. Vasokonstriksi pada kulit
Salah satu efek pertama adalah vasokonstriksi kuat pembuluh darah kulit diseluruh
tuhuh. Hal ini sebagai akibat pembebasan area simpatis hipotalamus posterior dari
penghambatan oleh signal panas preoptik, tetapi mungkin lebih banyak pengendalian yang
diberikan kulit dan medula spinalis.
Sebagai akibatnya area simpatis menjadi aktif berlebihan, dan terjadi vasokonstriksi
adrenergik yang kuat diseluruh tubuh. Vasokonstriksi ini jelas menghambat konduksi
panas dari bagian tubuh ke kulit. Akibatnya pada vasokonstriksi maksimal panas hanya
dapat meninggalkan tubuh langsung melalui lapisan isolator kulit. Efek ini menghemat
jumlah panas dalam tubuh.
2. Piloereksi

5
Dengan cara ini panas dikonversi bila hipothalamus didinginkan. Piloereksi ini tidak
penting bagi manusia karena jumlah rambutnya hanya sedikit. Tetapi pada hewan
tegaknya rambut ini membentuk lapisan isolator udara yang dekat dengan kulit sehingga
pemindahan panas kelingkungan dapat dikurangi.
3. Peniadaan keringat
Keringat sama sekali tidak terbentuk dengan termostat preoptik pada suhu
kira-kira 37°C. Jelas hal ini menyebabkan pendinginan secara penguapan dari
tubuh terhenti kecuali dari penguapan insensibel.
Bila suhu termostat tubuh turun dibawah 37 °C maka akan terjadi peningkatan
pembentukan panas. Beberapa cara untuk itu adalah :
1. Perangsangan menggigil oleh hipothalamus
Di hipothalamus ternyata ada pusat motorik primer untuk menggigil yang
terletak pada bagian dorsomedioposterior. Dekat dengan ventrikel ketiga. Area ini
pada keadasan normal dihambat oleh signal dari area termostat panas preoptik
tetapi dikendalikan oleh signal dari kulit dan medulla spinalis. Oleh karena itu
akibat rangsang dingin pusat menjadi aktif dan menghantarkan impuls melalui
traktus bilateral melalui menuruni batang otak masuk ke kolom lateral medula
spinalis dan akhirnya ke neuron motorik anterior.
Sebagai efeknya impuls ini meningkatkan tonus otot rangka di seluruh tubuh.
Akibat peningkatan metabolisme otot, pembentukan panas meningkat , dimana
seringkali meningkatkan pembentukan panas tubuh total sampai 50 % walaupun
belum menggigil.
Kemudian bila tonus otot meningkat diatas nilai kritis tertentu mulailah timbul
menggigil. Waktu menggigil maksimal, pembentukan panas tubuh dapat
meningkat sampai sebesar lima kali normal 7. Pada kondisi teranestesi ternyata
kejadian menggigil memerlukan suhu yang lebih rendah. Hal ini karena
disebabkan adanya depresi terhadap sistem saraf pusat dan penggunaan obat
pelumpuh otot, tetapi apabila durante anestesi muncul menggigil maka suhu lubuh
11
sudah mencapal dibawah 34° C .

2. Eksitasi kimia simpatis pembentukan panas.


Perangsangan simpatis pada pembuluh darah dapat meningkatkan segera

6
kecepatan metabolisme sel. Efek ini dinamakan termogenesis kimia dan diduga
sebagai akibat dari kemampuan epinefrin dan norepinefrin uncouple fosforilasi
oksidatif. Akibatnya harus banyak makanan yang dioksidasi untuk
menghasilkan jumlah ikatan fosfat berenergi tinggi yang dibutuhkan untuk
fungsi tubuh normal. Oleh karena itu kecepatan metabolisme sel meningkat.
Pada orang dewasa pembentukan panas dapat sampai 15 % 7 .

3 . Peningkatan pengeluaran tiroksin.


Adanya peningkatan penge1uaran tiroksin akan meningkatkan pula kecepatan
metabolisme sel diseluruh tubuh. Peningkatan metabolisme melalui mekanisme
tiroid ini tidak berlangsung segera tetapi memerlukan waktu beberapa minggu
untuk pembesaran kelenjar tiroid sebelum ia mencapai tingkat sekresi tiroksin
yang baru 7 .

4 . Non shivering thermogenesis.


Proses ini terjadi pada bayi. Bayi tidak memiliki kemampuan untuk
menggigil, tetapi memiliki mekanisme sendiri. Bayi dengan luas permukaan tubuh
yang lebih besar, dan kecepatan metabolisme yang lebih tinggi dibandingkan
dewasa maka lebih banyak memiliki kecenderungan kehilangan panas dibanding
dewasa. Kepentingannya dalam anestesi, bayi yang tidak memiliki kemampuan
menggigil ini, akan memiliki mekanisme sendiri untuk menjaga homeostasisnya.
Bayi akan memetabolisme lemak coklat (nonshivering thermogenesis), yang
diperantarai oleh peningkatan sekresi norepinefrin. Peningkatan metabolisme ini
juga diimbangi oleh peningkatan cardiac output (sampai 25 %). Peningkatan
norepinefrin juga menghasilkan vasokonstriksi perifer dan pulmonal, hal inilah
yang menjadi faktor predisposisi terjadinya hipoxemia pada anak 11.

TERMOREGULASI.
Untuk mempertahankan suhu inti tubuh, manusia menyeimbangkan produksi panas
dari metabolisme dan melepas panas ke lingkungan. Hypothalamus mempertahankan suhu
tubuh dengan range yang sempit yang dinamakan intertrheshold range. Kenaikan suhu akan
menyebabkan keluarnya keringat dan vasodilatasi sedangkan suhu yang rendah akan
menyebabkan vasokonstriksi dan terjadi shivering.

7
Pada dewasa termoregulasi melibatkkan control dari basal metabolisme, aktivitas
muskuler, peningkatan simpatis, peningkatan tonus vaskuler dan aktifasi hormonal. Shivering
di modulasi oleh hypothalamus yang terjadi secara spontan, asinkron, kontraksi yang tidak
teratur dari otot skeletal sebagai upaya untuk meningkatkan basal metabolik rate nya. Anak-
anak dibawah umur 3 bulan tidak terjadi shivering dan bergantung pada nonshivering
termogenesis untuk menaikkan respon kalori. Lemak coklat yang hanya terdapat pada bayi
merupakan tipe lemak yang unik yang dapat memproduksi energi 12.
Monitoring suhu merupakan standar monitoring dalam anesthesia. Resiko kehilangan
panas dan malignant hipertermia membutuhkan pengawasan suhu selama anesthesia.
Ruangan operasi yang dingin dapat menyebabkan kehilangan panas. General dan regional
anesthesia menghambat fungsi kontrol afferent dan efferent termoregulasi.

HIPOTERMIA.
Hipotermia adalah keadaan klinik dari suhu tubuh dibawah normal dimana tubuh
tidak cukup untuk memproduksi panas untuk menyiapkan energi untuk melangsungkan
fungsi dalam tubuh. Hipotermia didefinisikan sebagai suhu tubuh dibawah 36°C dan sering
terjadi selama pasien teranesthesi 12. Dibawah level ini shivering dan autonomik respon tidak
cukup untuk menkompensasi secara baik tanpa bantuan penghangat.
Didalam ruangan operasi, perubahan suhu ruangan yang dingin, penggunaan cairan
dan paparan tubuh pasien terhadap suhu ruangan yang dingin adalah penyebab utama dari
hipotermia. Satu unit darah yang didinginkan atau 1 liter larutan kristaloid yang sama dengan
suhu ruangan menurunkan suhu tubuh sekitar 0,25°C.
Penurunan suhu tubuh selama general anestesi terjadi selama jam pertama dari
anestesi( fase 1 ). Ini diikuti dengan penurunan secara bertahap selama 3-4 jam ( fase 2
12
) sampai mencapai titik keseimbangan ( fase 3 ) . Redistribusi panas dari pusat
kompartemen yang hangat ( abdomen, thorax ) untuk mendinginkan jaringan perifer
( lengan, tangan dan kaki ) disebabkan oleh anestesi yang menyebabkan vasodilatasi karena
adanya penurunan suhu awal. Selama fase ini kehilangan panas memainkan peranan dari
penurunan suhu.
Pada orang tua, bayi, pasien dengan penurunan kontrol autonomik vaskuler, luka
bakar, pasien dengan lesi di hipotalamus dan cidera tulang belakang terjadi disfungsi
autonomik yang menyebabkan hipotermia. Kelainan endokrin seperti hipothyroid juga
meningkatkan resiko ini. Pusat pengaturan suhu tubuh yang normal dan shivering dihambat

8
oleh anesthesi. Agen inhalasi anesthesi menyebabkan vasodilatasi yang akan meningkatkan
kehilangan panas.
Managemen hipotermia terdiri dari penghangatan pasiv dan aktif. Penghangatan
secara pasif memerlukan tindakan penutupan badan yang terekspose suhu ruangan untuk
meminimalisir kehilangan panas melalui radiasi dan konveksi. Tindakan secara aktif
dilakukan dengan cara pemberian larutan infus hangat, blanket atau lampu pada pasien
pediatri, menghangatkan humidifier pada sirkuit anestesi untuk menurunkan kehilangan
panas melalui evaporasi. Termasuk disini penggunaan cairan irigasi hangat untuk lavage
peritoneal atau irigasi bladder.
Hipotermia ringan ( 32-35˚C ) akan menurunkan basal metabolik, depresi sistem
saraf pusat, takikardi dan shivering mungkin terjadi. Pasien akan tampak dysarthria, amnesia,
ataxia adan apatis. Hipotermia berat ( 27-32 °C ) akan menyebabkan penurunan kesadaran,
deperesi ringan vital sign, aritmia dan cold diuresis. Hipotermia berat ( <27 ˚C ) akan
tampak koma, arefleksia, depresi vital sign.
Perioperatif hipotermia dihubungkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas
tergantung dari derajat penurunan suhu tubuh 12 ( dapat dilihat tabel dibawah ).:

9
Peningkatan produksi metabolik melalui shivering akan meningkatkan konsumsi
oksigen sebesar 300%. Hal ini tidak diinginkan pada pasien penyakit koroner dan gangguan
paru. Saturasi oksigen akan menurun yang cenderung akan menyebabkan iskemia miokardia
dan angina.
Hipotermia yang memburuk ditandai dengan penurunan heart rate, cardiac out put
dan konsumsi oksigen. Karbon dioksida dalam darah menurun 50% setiap penurunan suhu 8
˚C melewati stimulus respirasi yang kecil untuk terjadinya nafas spontan dan mengurangi
respiratory drive. pH darah meningkat 0,015 unit untuk setiap penurunan 1 ˚C.
11
Dalam kepustakaan lain disebutkan pengaruh hypotermia terhadap physiologi
manusia :

Phisiologic Effect of Hypotermia


CARDIOVASCULAR
↓ CO ( ↑ CO if shivering ), ↑ SVR, central redistribution of blood → CHF,bradycardia → Ventricular arrhytmias

METABOLIC
↓ Metabolic rate ( ↑ if shivering ), ↓ tissue perfusion → metabolic acidosis,lipolisis → ↑ FFA, ↓ glucose utilization
→hyperglicemia

10
PULMONARY
↑ PVR, ↓ hypoxic pulmonary vasoconstriction, ↑ anatomic dead space, ↓ ventilation ( apnea in newborns )

HEMATOLOGIC
↑ Blood viscosity, shift of oxygen dissociation curve to left ( ↓ oxygen availibilty )

NEOROLOGIC
↑ CVR, ↓ CBF, EEG slowing → coma, ↓ MAC, ↓ CMRO2

DRUG DISPOSITION
↓ Hepatic blood flow, ↓ hepatic metabolism, ↓ renal blood flow, ↓ excretion, ↑ solubility of anesthesia, ↑ duration of muscle
relaxan effect

SHIVERING ( Usually in recovery room )


↑ Oxygen consumption to 500%,↑ carbon dioxide prooduction
CBF, cerebral blood flow, CHF, congestif heart failure; CMR,cerebral metabolic rate for oxygen; CO,cardiac out put; CVR, cerebral
vascular resistance; EEG,electroencephalogram; FFA,free ftty acid; MAC,minimum alveolar concentration; SVR, sistemic vascular
resistance.
Modified from Kaplan RF; Hypotermia/Hypertermia, in Gravenstein N (ed ); Manual of Complication during Anesthesia, Philadelpia; JB
Lipppincott, 1991: 127

Hubungan Hipotermia dengan Agen Anesthesi.


Hipotermia mengubah farmakodinamik agen anesthesi, sebagai contoh durasi
vecuronium lebih lama 2 kali pada pasien yang ditandai dengan hipotermia 2 ˚C dari
temperatur inti tubuh 1, durasi ini melebihi pancuronium pada pasien yang temperaturnya
normal. Durasi atracurium kurang berpengaruh pada temperatur inti tubuh.
Kelarutan agen volatile anesthesi meningkat pada pasien hipotermi. Konsentrasi
minimum alveolar (MAC) dari halothan dan isofluran pada tikus percobaan menurun sekitar
5% setiap ˚C penurunan temperatur inti tubuh 1. MAC agen volatil anestesi menurun,
menyebabkan delayed emergence, mengantuk dan kebingungan. MAC agen inhalasi menurun
5-7 % untuk setiap penurunan 1˚C suhu tubuh tetapi kecepatan induksi dari agen inhalasi
tidak berubah.
Selama penggunaan infus propofol, plasma konsentrasi 30 % lebih besar pada pasien
hipotermi 3˚C. Hipotermi juga meningkatkan steady state plasma konsentrasi dari fentanyl
sekitar 5%/˚C 1. Efek dari hipotermia ringan pada metabolisme dan farmakodinamik dari
berbagai obat belum banyak yang dilaporkan. Bagaimanapun juga pengaruh terhadap muscle
relaxan, propofol dan fentanyl menunjukkan bahwa mempertahankan normotermia
intraoperatif akan menghasilkan recoveri time yang bisa diprediksi pada pasien yang
dioperasi.

Hubungan hipotermia dengan shivering.


Insiden tremor yaang menyerupai shivering postoperatif dilaporkan sekitar 40 %
tetapi akhir-akhir ini tampaknya kejadiannya menurun karena penggunaan opioid dan

11
kemampuan mempertahankan normotermi intraoperatif. Hal ini merupakan potensial
komplikasi yang serius dimana terjadi peningkatan konsumsi oksigen sekitar 100%.
Thermoregulatory shivering selalu dihubungkan dengan hipotermia pada inti tubuh dan
terjadinya vasokonstriksi shunting arteriovenous. Post anesthesi shivering yang terjadi dapat
diterapi dengan menghangatkan permukaan kulit juga dengan penggunaan berbagai obat
seperti; clonidin ( 75 µg, iv), ketanserin ( 10 mg, iv ), phisostigmin ( 0,04 mg/kg bb ),
tramadol ( 1 mg/kgbb), magnesium sulfat ( 30 mg/kgbb) 1.

Hubungan hipotermia dengan kejadian myocardial infark 1.


Dari penelitian terdahulu didapatkaan analisis multivariat bahwa pasien hipotermia
sepertinya mempunyai pengalaman terjadinya myocardial ischemia dan ventricular
1
arrhytmia. Penelitian lain dengan menggunakan data random prospektif oleh Frank dkk
menunjukkan pasien yang ditandai adanya penurunan 1,4˚C dari temperatur inti tubuh, 3 kali
lebih besar mendapatkan kejadian myocardial infark.
Hipotermia menyebabkan hipertensi dan takikardi pada pasien geriatri hal itu
meningkatkan resiko komplikasi pada jantung. Ini disebabkan karena pada pasien geriatri
terjadi peningkataan 3 kali lipat konsentrasi plasma norepinephrin.
Aliran darah hepar dan ginjal akan menurun selanjutnya terjadi metabolisme yang
lambat dan clearance obat-obatan menyebabkan perpanjangan efek obat. Konsumsi oksigen
cerebral metabolik akan menurun 7% untuk setiap penurunan 1 ˚C.

Hubungan Hipotermia dengan infeksi dan proses penyembuhan.


Hipotermia diduga memfasilitasi infeksi pada luka perioperasi melalui 2 cara.
Pertama, pasien yang mengalami hipotermi intraoperatif mencetuskan vasokonstriksi.
Termoregulasi vasokonstriksi ini secara signifikan menurunkan tekanan oksigen subcutan
pada pasien dan insiden infeksi berhubungan dengan tekanan oksigen di subcutan 8. Oksigen
juga sebagai substrat yang penting untuk cross-linking colagen yang berperan pada proses
penyembuhan. Kedua, hipotermia inti tubuh secara langsung mengganggu fungsi imun
termasuk produksi antibody T cell dan ’nonspesifik oxidative bacterial killing’ oleh
neutrophil.
Hipotermia akan menyebabkan proses penyembuhan luka lebih lambat karena infeksi
dan akan menambah durasi rawat inap 1 minggu dibanding pasien tanpa infeksi hal ini
berhubungan dengan gangguan sistem imun dan penurunan oksigen delivery daerah yang
luka karena terjadi vasokonstriksi. Tanda klinik dari hipotermi diringkas dalam tabel dibawah

12
12
;

Clinical sign of anesthesia


Early Sign Late sign
Shivering Altered mental status
Decreased sweating Muscle weakness
Vasoconstriction Decreased motor activity

Manifestasi EKG pada hipotermi sangat tergantung dari derajat penurunan suhu yang
terjadi, dapat disimpulkan pada tabel dibawah ini 12:

Electrocardiographic change with hypotermia


Mild Moderate Severe
Sinus bradicardia Prolonged P-R interval Prematur Vent. Contr..
Widened QRS compl. Atrioventricular block.
Prolonged Q-T Interval Spont. Atrial/Ventr. Fibrilation
Asystole

Pada bayi lebih sensitif terhadap hipotermi karena rasio luas permukaan tubuh yang
besar dibanding masa tubuhnya. Pada pasien pediatri hipotermi sebaiknya dihindari karena
dapat menyebabkan masalah serius post operasi. Pada keadaan teranestesi blood solubility
lebih besar pada suhu tubuh yang rendah sehingga pasien membutuhkan waktu yang lama
untuk pulih dan PaCO2 meningkat. PaCO2 yang tinggi ini terjadi karena hipoventilasi yang
disebabkan karena hipotermi.

HIPERTERMIA.
Hipertermia adalah peningkatan suhu 2˚C perjamnya. Ini dapat terjadi penggunaan
insulator atau obat antikolinergik agen inhalasi anestesi yang akan mempengaruhi fungsi
termoregulasi. Keadaan hipermetabolik seperti sepsis atau demam ( pyrogen endogen )
menjadi penyebab tersering. Bila ini terjadi harus diturunkan sebelum induksi anestesi.
Bacteriemia selama pembedahan dan tehnik penghangatan yang berlebihan merupakan
penyebab juga terjadinya hipertermia. Lesi sekunder pada hypothalamus karna trauma,

13
anoxia, tumor, hypertyroidism ( tyroid storm ) dan pheocromocytoma adalah jarang menjadi
penyebab. Neoroleptik malignant syndroma, reaksi transfusi dan penggunaan obat seperti
MAO inhibitor, kokain, amphetamin dan trisiklik antidepresan akan meningkatkan basal
metabolik yang meyebabkan hipertermia. Antikolinergik dan antihistamin menekan keluarnya
keringat sehingga meningkatkan suhu.
Hipertermia meningkatkan basal metabolik, metabolisme hepar dan menurunkan
waktu paruh obat-obatan anestesi. Keadaan hipermetabolik meningkatkan konsumsi oksigen,
ventilasi semenit, berkeringat, vasodilatasi. Volume intravaskuler dan venous return
berkurang. Heart rate meningkat 10 x/menit tiap kenaikan suhu 1˚C.
Penanganan terdiri dari pemberian suhu lingkungan yang dingin, blanket yang dingin,
larutan IV yang dingin, dan pemberian antipiretik. Penyebab hipertermi sebaiknya dicari dan
dikoreksi.

MONITORING SUHU
Pengukuran suhu inti tubuh ( membrana tympany, arteri pulmonalis, bagian distal
esophagus, dan nasopharyng ) digunakan selama operasi untuk memonitor hypotermia,
mencegah panas yang berlebihan, dan deteksi hipertermi maligna. Suhu Otot atau permukaan
tubuh digunakan untuk evaluasi vasomotion dan menjamin validitas monitoring
neoromuskuler perifer. Pengukuran kedua suhu tubuh, inti tubuh dan permukaan tubuh
diperlukan untuk menentukan efek pengaturan suhu karena perbedaan obat-obat anesthesi.
Umumnya komunitas kesehatan menggunakan termometer air raksa untuk mengukur suhu
tubuh. Termometer elektronik yang umum digunakan adalah ”thermistor dan thermocouples”.

KAPAN MONITORING SUHU DIPERLUKAN.


Temperatur inti tubuh sebaiknya diukur selama dilakukan regional anesthesi pada
pasien yang cendrung mengalami hipotermi seperti operasi pada intra abdomen. Monitoring
temperatur inti tubuh sebaiknya dilakukan pada general anesthesi yang berguna baik untuk
membantu deteksi hipertermi maligna ataupun menilai hypertermi dan hipotermi. Tanda
hipertermi maligna ditandai adanya takikardia dan peningkatan end-tidal pCO2. Meskipun
peningkatan suhu inti tubuh bukan tanda awal dari malignant hipertermi tetapi cukup
membantu diagnosis. Hypertermi intra operatif lebih sering ditemukan dibandingkan
hypertermi maligna dengan penyebab memberi penghangat yang berlebihan, demam karena
proses infeksi, perdarahan di ventrikel otak dan transfusi darah yang tidak cocok. Sejauh ini

14
penurunan suhu yang tidak disengaja paling sering terjadi selama perioperatif. Suhu tubuh
akan turun 0,5˚C - 1,5 ˚C terjadi 30 menit pertama setelah induksi. Suhu tubuh sebaiknya
dimonitor pada pasien yang menjalani anestesi umum lebih 30 menit dan semua pasien yang
menjalani pembedahan lebih dari 1 jam.

TEMPAT-TEMPAT MONITORING SUHU


Tempat yang ideal untuk mengukur suhu di arteri pulmonalis, bagian distal dari
esophagus, membrana tymphani dan nasopharynx. Ujung alat temperatur yang tergabung
dalam stetoskop esophagus harus diposisikan di titik yang paling jelas suaranya atau lebih
distal lagi untuk mendapatkan pembacaan yang akurat. Suhu tubuh juga dapat diperkirakan
dengan tingkat akurasi yang dapat dipercaya melalui suhu oral, aksiler, rectal dan kandung
kemih. Suhu permukaan kulit dapat dipertimbangkan lebih rendah dari suhu inti tubuh.
Namun begitu suhu permukaan tubuh gagal dalam memberi informasi tentang tanda klinis
awal dari hipermi maligna ( takikardi dan hiperkarbi) pada hewan percobaan dan belum
dievaluasi untuk tujuan ini pada manusia. Suhu rectal umumnya memberi korelasi yang baik
dengan suhu tubuh tetapi gagal dalam memberi informasi selama terjadi krisis hipertermi
maligna. Pada akhirnya monitoring suhu perrektal dan permukaan tubuh harus dilakukan
dalam pertimbangan tertentu.

PENGELOLAAN PRE, DURANTE dan PASCA OPERASI UNTUK


PENGATURAN TEMPERATUR PASIEN 14,15
1. Meminimalkan radiasi
1.1. Menggunakan alat inkubator pada neonatus.
1.2. Mengatur suhu ruang operasi:
- Neonatus ; 26,6 ˚C
- Bayi kurang dari 6 bulan; 25,5 ˚C
- Anak 6-12 tahun; 24,4 ˚C
1.3. Passive insulator;
- Warm isolated / wrapping ( plastik, poliethilen )
- Penutup 3 lapis ( mengurangi 50% heat loss )
1.4. Cutaneus warming:
- Menggunakan lampu pemanas ( infra red )
2. Meminimalkan Konduksi.

15
2.1. Warm matras
2.2. Penghatan cairan irigasi.
2.3. Pengangatan kain penutup / duk.
2.4. Menutup kepala.
2.5. I V fluid warmer
3. Meminimalkan konveksi.
3.1. Pengaturan suhu OK
3.2. Pengaturan aliran udara di OK
3.3. Inkubator
3.4. Warm blanket
3.5. Selalu menutup pintu Ok
3.6. Penutup kepala dan drpes operasi.
4. Meminimalkan Evaporasi.
4.1. Heated humidifier untuk mencegah heat loss melalui evaporasi.

PANDUAN MONITORING TEMPERATUR


Target utama monitoring temperatur dan manajemen temperatur perioperatif adalah
untuk mendeteksi gangguan temperatur dan mempertahankkan temperatur tubuh yang sesuai
selama anestesi. Hal-hal dibawah ini dapat dipakai sebagai panduan:
1. Temperatur tubuh sebaiknya diukur pada semua pasien yang dilakukan anestesi
umum lebih dari 30 menit.
2. Temperatur tubuh sebaiknya juga diukur selama anestesi regional jika ada
perubahan suhu tubuh yang direncanakan, dapat diantisipasi atau dicurigai.
3. Jika hipotermi tidak diindikasikan secara spesifik, sebuah usaha sebaiknya
dilakukan untuk mempertahankan suhu tubuh diatas 36˚C.
Dalam kepustakaan lain menyebutkan , Asosiasi Anesthesi Amerika memberikan
standar monitoring temperatur sebagai berikut 1:
1. Selama dilakukan anesthesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi temperatur
pasien sebaiknya dievaluasi secara kontinyu untuk menjaga temperatur inti
tubuh yang sesuai.
2. Setiap pasien yang dilakukan anesthesi sebaiknya temperaturnya dimonitor
jika secara klinik di duga ada perubahan temperatur.
3. Temperatur inti tubuh sebaiknya diukur pada pasien yang mendapatkan

16
anesthesi umum lebih dari 30 menit.
4. Temperatur inti tubuh pada anak-anak sebaiknya dimonitor.
5. Monitoring temperatur idealnya dengan mengukur suhu inti tubuh.
6. Usahakan untuk mempertahankan temperatur intraoperatif diatas 36◦C.
7. Pada pasien dewasa, penggunaan sistem penghangat aktif sebaiknya
dipertimbangkan bila operasi berlangsung lebih dari 30 menit atau bila
temperatur inti tubuh dibawah 36˚C.
8. Penggunaan irigasi dan infus hangat sebaiknya dipertimbangkan.

17
KESIMPULAN

1. Gangguan thermoregulasi merupakan masalah yang tidak sederhana.


2. Diperlukan pemahaman yang baik dalam hal terjadinya gangguaan thermoregulasi
perioperatif, durante dan post operasi.
3. Persiapan preoperasi yang baik untuk menghindari terjadinya gangguan
thermoregulasi.
4. Komunikasi terhadap dokter bedah/operator perlu dilakukan dalam hal pengaturan
suhu ruangan operasi dan penggunaan cairan untuk mencuci organ.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Andrea, K: Maintenance of Perioperatif Normotermia is Beneficial in Lee A,


Evidence-Based Practice of Anesthesiology, Saunders, Philadelphia, 2004,
p. 150-156.
2. Brown, BR: Inadvertent Hypotermia in the Surgical Patient in Nunn, General
Anesthesia, ed 4th, Butterworth and Co. London, 1989, p. 650-654.
3. Collin, VJ: Temperatur Regulation and Heat Problems in Collin, Phisiologic and
Pharmacologic Bases of Anesthesia, William and Wilkins, A Waverly Company, 1996,
p. 316-340.
4. Daniel, J: Temperatur Monitoring in The Miller RD, editor, Anesthesia, 6 th ed, New
York, Churcill Living Stone, 2005, p. 1571-1592.
5. Davies, PD: Temperatur in Basic Phisics and Measurement in Anesthesia, ed 4th, Clays
Ltd, St Ives, Great Britain, 1995, p. 114-124.
6. Francis, X: Temperatur Regulation in the Cotte MD, editor, A Practice of Anesthesia for
Infants and Children, W.B Saunders Company, Philadelphia, 1993, p. 31-37.
7. Guyton, AC: Suhu Tubuh, Pengaturaan Suhu dan Demam dalam Fisiologi Kedokteran,
Jakarta, EGC, 1994, p. 411-423.
8. Greif, R: Suplemental Perioperatif Oxygen to Reduce the Incidence of Surgical
Wound Infections, New England Journal Med, 2000, 342:161-167.
9. Lynda, J: Handbook of Nursing Diagnosis, 6 th, JB Lippincott Company, Philadelphia,
1995, p.14-23.
10. Morgan, GE: Clinical Anesthesia, 3 th, Applenton and Lange, Los Angeles, 2002, p. 707-
708.
11. Nikolaus, G: Phisiologic Disturbances Associated with Induce Hypotermia in
Complication in Anesthesia, Lippincott-Raven, New York, 1996, p. 131-138.
12. Rima, M: Monitoring in Adult Perioperative Anesthesia, Elsevier Mosby, Philadelphia,
2004, p. 102-124.
13. Buggy, DJ: Thermoregulation, Mild Perioperative Hypothermia and Post Anesthetic
Shivering, British Journal Anesthesia, 2000, 84; 615-628.
14. Plattner et al: Efficacy of Intraoperative Cooling Methods, Anesthesiology, 87;1089-
1090.
15. Sessler, Daniel; Temperatur Monitoring and Manajemen during Neuraxial of

19
Anesthesia, Anesthesia analgesia, 1999, 88: 243-245.
16. Sessler, Daniel; Central Thermoregulatory Inhibition by General Anesthesia,
Anesthesiology, 1991, 75: 557-559.

Referat

20
Maret 2007

MANAJEMEN TEMPERATUR PERIOPERATIF

Oleh

Eka Santoso

Peserta PPDS I Anesthesiologi dan Reanimasi


FK UGM / RSUP Dr. SARDJITO

Pembimbing Moderator

Dr. Sudadi Sp.An Dr. I GN Rai Artika Sp.An (K)

LABORATORIUM ANESTHESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA
RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA
2007

21

Anda mungkin juga menyukai