Anda di halaman 1dari 26

MANAJEMEN ANESTESI PADA OBSTRUCTIVE

SLEEP APNEA ( OSA )

Oleh:
Dr. Adryan Yoga Artanto

Pembimbing :
Dr. dr. Purwoko, Sp.An, KAKV, KAO.

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDISURAKARTA
2018

1
2
BAB I
PENDAHULUAN

Tidur adalah hilangnya kesadaran periodik secara alami selama kekuatan


tubuh dipulihkan. Namun, otak memiliki aktivitas yang beragam di setiap
tahapannya (Zaremba; Chamberlin; Eikermann 2015). Bernapas saat tidur
memiliki risiko, karena aktivitas otot dilator pernapasan atas menurun selama
tidur dibandingkan saat terjaga, khususnya selama periode tidur REM.
Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah suatu kelainan yang umum yang
mengganggu system pernafasan selama kondisi tidur. OSA menyerang segala
usia, tapi resiko semakin meningkat pada usia menengah dan usia lanjut.
Pasien dengan OSA secara tidak sadar pernafasannya berhenti atau menurun
secara berulang – ulang ketika tidur. Penurunan pola nafas ini adalah hasil
dari pengulangan parsial atau lengkap sumbatan jalan nafas karena rongga
saluran jalan nafas yang sempit (Semelka; Wilson; Floyd, 2016).
Penelitian yang dilakukan di Jakarta pada tahun 2013, meneliti 202
subjek berusia diatas 35 hingga 73 tahun yang tidak memiliki riwayat stroke,
kemudian dilakukan screening OSA dengan kuesioner stop-bang, didapatkan
hasil 100 (49.5%) subjek merupakan resiko tinggi OSA (Gunawan; Harris,
2014). Polysomnography (PSG) adalah metode yang dapat menentukan
secara seksama tahapan tidur yang sesungguhnya dan alat sumber diagnostik
(termasuk gold standard) dan dibutuhkan untuk mendiagnosis beberapa
gangguan tidur. Standar yang sering digunakan saat ini untuk pengukuran
tidur adalah mendatangi laboratorium tidur PSG dengan teknisis yang terlatih.
Namun, telah terbukti bahwa lebih banyak pasien yang berpotensi menderita
obstructive sleep apnea (OSA) daripada yang selama ini terlihat di pusat
pelayanan tidur (Zaremba; Chamberlin; Eikermann 2015).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Obstructive Sleep Apnea (OSA) didefinisikan sebagai gangguan bernapas
saat tidur yang dikarakteristikkan dengan obstruksi jalannapas atas
berkepanjangan dan/ atau obstruksi komplit intermitten yang mengganggu
ventilasi normal selama tidur (Cote, 2015). OSA adalah tipe yang paling
umum dari gangguan pernapasan saat tidur, yang diukur dari gangguan
respirasi per jam tidur. Kejadian OSA ini juga mengubah respon terhadap
karbon dioksidaPenjumlahan kejadian terakait respirasi saat malam hari
dibutuhkan karena rendahnya jumlah apnea pendek dan hypoapnea dapat
terjadi hingga lima kali per jamnya pada subjek sehat. Pengukuran apnea
hypopnea index (AHI) dan respiratory disturbance index (RDI) seperti di
bawah ini, dapat untuk menghitung tingkat keparahan gangguan bernapas saat
tidur (Zaremba; Chamberlin; Eikermann 2015).

Gambar 1. AHI dan RDI

Gambar 2. Tingkat keparahan sleep apnea berdasarkan RDI atau AHI

4
2.2. Epidemiologi
OSA dengan gejala siang hari mempengaruhi 0,3% sampai 5% dari
populasi umum. Obesitas adalah satu faktor risiko utama untuk OSA,
prevalensinya mungkin terus meningkat seiring tingkat obesitas yang lebih
tinggi di populasi umum. Prevalensi gangguan bernapas saat tidur tanpa
gejala siang hari bahkan lebih tinggi, dengan angka hingga 9% pada wanita
dan 24% pada pria antara usia 30 dan 60 tahun dan sering tidak dikenali.
Insidensi pada anak-anak, puncaknya terjadi pada 2-5tahun. Hipertrofi tonsil
dan adenoid menjadi penyabab utama pada OSA anak-anak(Zaremba;
Chamberlin; Eikermann 2015).
Selain obesitas dan lansia, risiko OSA juga terjadi pada subjek dengan
komorbiditas misalnya stroke, infark miokard dan pasien bedah. Tergantung
pada metodologi, tingkat OSA pada pasien bedah adalah antara 45% dan 75%
(Zaremba; Chamberlin; Eikermann 2015).
Prevalensi OSA sedang hingga berat (AHI > 15) sekitar 13% pada laki –
laki dan 6% pada perempuan. 80% dari pasien OSA tidak terdeteksi dan
terdiagnosa karena minimnya screening OSA, salah satu resiko yang
menyertai adalah penyakit dan kematian akibat kardiovaskular. 60% dari total
kemungkinan OSA tidak terdeteksi oleh dokter anestesi dalam lingkup
perioperative (Miller; Pardo, 2011).

2.3. Gejala klinis


Sekitar sepertiga pasien dengan OSA mengeluhkan tanda-tanda dan
gejala khas yang terjadi selama terjaga. Terbangun dengan mulut kering, sakit
kepala di pagi hari, kantuk di siang hari, tertidur selama situasi monoton
(mis., menonton televisi), serta gangguan subjektif fungsi kognitif sering
dilaporkan. Kombinasi gejala OSA saat siang ini biasanya disebut sebagai
sindrom OSA (OSAS) (Zaremba; Chamberlin; Eikermann 2015).
Tanda-tanda dan gejala tidur terkait OSAS termasuk adanya periode jeda
saat bernafas atau mendengkur, dan tingginya jumlah terjaga pada malam
hari, sebagian besar dilaporkan sebagai pseudonocturia dengan terkadang

5
disertai keluhan takikardi atau gangguan pernapasan saat bangun (sensasi
tersedak) dan gejala lainnya.
Selama pemeriksaan klinis yang menunjukkan pasien berisiko untuk
OSA antara lain: kelainan kraniofasial yang mempengaruhi jalan napas, atau
struktur anatomi wajah lainnya yang membatasi diameter saluran napas atas.
Lingkar leher 43,2 cm (17 inci) pada pria atau 40,6 cm (16 inci) pada wanita
telah terbukti berhubungan dengan peningkatan risiko OSA. Mengingat
ragamnya mekanisme patofisiologi OSA, pasien yang ramping juga tidak
terhindar untuk memiliki OSA atau OSAS (Zaremba; Chamberlin; Eikermann
2015).

2.4. Faktor Risiko dan Komorbid


Faktor predisposisi pada OSA yaitu obesitas, usia, jenis kelamin laki-laki,
faktor yang memicu pembengkakan jaringan superfisial dari saluran napas
bagian atas (merokok), rinitis alergi, dan tonus otot dilator saluran napas atas
menurun yang disebabkan oleh depresan (Zaremba; Chamberlin; Eikermann
2015).
OSA selalu dikaitkan dengan komorbid antara lain, gangguan
kardiovaskuler jangka panjang seperti iskemik miokard, gagal jantung,
hipertensi, artimia, cidera serebrovaskular, sindrom metabolic, resistensi
insulin, refluks gaster and obesitas; deformitas kraniofasialseperti makroglosi,
retrognathia, hypoplasia midfasial; gangguan endokrin seperti hipotiroid,
sindrom cushing; demografik baik laki – laki, usia diatas 50 tahun, serta gaya
hidup layaknya merokok dan minum alcohol (Miller;Prado, 2011).

2.5. Patofisiologi
Kondisi terkait pernapasan selama OSA ditandai dengan penurunan
aliran udara dengan usaha pernapasan yang menetap sama karena
berkurangnya diameter intraluminal dari saluran pernapasan atas. Otot-otot
yang terlibat dalam respirasi, berdasarkan fungsi anatominya yaitu pada dua
kelompok: otot saluran napas bagian atas dan otot pompa pernapasan.

6
Otot dilator pernapasan atas mengimbangi tekanan inspirasi negatif yang
dihasilkan otot pemompa untuk membiarkan aliran udara selama inspirasi.
Patensi dari saluran udara bagian atas dipertahankan dengan
menyeimbangkan kekuatan dilatasi (dihasilkan oleh otot-otot saluran napas
bagian atas) dan kekuatan untuk kolaps (yaitu tekanan intraluminal negatif
dihasilkan oleh pompa pernafasan selama inspirasi dan kekuatan yang
menekan ekstrasuminal dari jaringan sekitarnya)(Zaremba; Chamberlin;
Eikermann 2015).

Gambar 3. Hubungan patensi saluran napas bagian atas dan aktivasi pompa pernafasan.
Selama terjaga, kekuatan dari otot-otot saluran napas bagian atas (balon hijau, kekuatan
dilatasi) mengimbangi kekuatan untuk kolaps pada saluran nafas atas oleh tekanan
ekstraluminal dan tekanan inspirasi negatif yang dihasilkan oleh otot-otot pompa pernapasan
(warana oranye [kekuatan untuk kolaps). Pada OSA, onset tidur (jarum biru) menyebabkan
penurunan patensi saluran napas atas dengan mengurangi kekuatan dilatasi.

Patensi saluran napas atas dipengaruhi beberapa hal: otot dilator saluran
pernapasan atas, kerentanan struktur anatomis terhadap kekuatan yang
membuat kolaps, tekanan intralumen yang membuat kolaps, stimulus terjaga
dan tidur, stimulus respirasi.
Yang paling banyak dipelajari dari otot-otot saluran napas bagian atas
adalah otot genioglossus dan tensor palatini. Struktur saluran napas pharyng
dibentuk dengan jaringan lunak yang distabilkan oleh struktur tulang, seperti
mandibula dan tulang belakang, untk membuat saluran ini kolaps,
membutuhkan kekuatan ekstralumen, seperti hematoma, edema, atau massa
periferal. Manifestasi pharyngeal dari obesitas dapat menekan jalan nafas.
Selain itu, kelainan kraniofasial dapat semakin meningkatkan efek kolaps
yang berlebihan dari jaringan lunak ekstralumen faring pada pasien obese dan

7
menyebabkan kolaps faring dan OSA. Saluran napas atas juga cenderung
lebih mudah kolaps pada posisi supinasi daripada posisi lateral atau posisi
duduk. Sebagai tambahan, pemberian cairan intravena yang berlebih dapat
mempengaruhi patensi jalur napas atas. Dalam keadaan sadar, sukarelawan
yang sehat, inflasi celana antisyok menggeser begitu banyak cairan dari
ekstremitas bawah sehingga lingkar leher meningkat, faring menyempit, dan
jalan nafas atas memiliki ambang batas yang lebih rendah untuk kolaps
(Zaremba; Chamberlin; Eikermann 2015).
Komponen lain yang penting dari patensi saluran napas adalah interaksi
antara volume paru dan kemampuan kolapsnya saluran napas bagian atas.
Volume paru ekspirasi akhir yang lebih tinggi berhubungan dengan
penurunan resistensi saluran napas bagian atas terhadap aliran udara pada
manusia yang sehat, dan peningkatan dimensi lumen saluran nafas atas pada
subjek dengan dan tanpa OSA. Secara efektif, traksi trakea memungkinkan
otot pompa pernafasan untuk berkontribusi terhadap patensi saluran napas
atas. (Zaremba; Chamberlin; Eikermann 2015).
Pompa pernafasan adalah penggerak aksi yang terkendali dari inspirasi
dan ekspiraasi. Ini adalah kekuatan yang memperluas rongga toraks dan
menciptakan tekanan intratoraks negatif untuk menarik napas, dan, bila
diperlukan, tekanan intratoraks positif untuk menghembuskan napas dengan
cepat. Tekanan intratoraks negatif diubah menjadi tekanan intraluminal
negatif di saluran napas bagian atas, memaksa saluran udara untuk kolaps
segera setelah tekanan ini turun di bawah nilai kritis.Meskipun tekanan udara
kritis ini biasanya negatif (sekitar –5 cm H2O) pada kontrol sehat yang
lumpuh, jalan nafas atas pada pasien dengan OSA telah terbukti kolaps ketika
lumpuh, dan tekanan intraluminal positif diperlukan untuk membuka kembali
jalan napas pada pasien dengan OSA (Zaremba; Chamberlin; Eikermann
2015).
Rangsangan pernapasan adalah stimulus rangsangan dari tidur yang
terjadi karena peningkatan kumulatif dan progresif dalam rangsangan yang
berkaitan dengan pernapasan (hipoksia, hiperkapnia, dan usaha pernapasan).

8
Tiga input utama yang berkontribusi pada rangasangan pengembalian
pernapasan setelah apnea :
1. Kemoreseptor perifer dan sentral sensitif terhadap tekanan parsial
oksigen dan karbon dioksida
2. Sensor di saluran napas atas responsif terhadap tekanan negatif yang
dihasilkan oleh pompa pernapasan
3. Input kortikal yang terkait langsung dengan keadaan sadar atau
terjaga(Zaremba; Chamberlin; Eikermann 2015).
Yang penting, apnea obstruktif, seperti pada OSA, bisa diakhiri dengan
peningkatan pergerakan ke otot-otot pernapasan yang tidak melibatkan
rangsangan kortikal.

Gambar 4. Efek rangsangan pernapasan pada saluran udara bagian atas dan pompa
pernafasan otot-otot. Perangsangan pernapasan terdiri dari tiga input utama: penghasil pola
respirasi pusat yang mengolah aferen kemoreseptor perifer dan pusat, refeleks respon
terhadap besarnya tekanan negatif di saluran napas yang dihasilkan oleh otot pompa
pernafasan, dan kekuatan dari stimulus terjaga. Faktor yang berbeda dapat mengganggu
rangsangan respirasi, seperti patologi pada tidur dan neurologis, anesthesi dan opioid. Panah
biru menunjukkan efek rangsangan; panah kuning menunjukkan efek penghambatan. MN,
motor neuron.

2.6. Terapi
Perawatan yang adekuat dari OSA memperbaiki saturasi oksigen di
malam hari serta durasi dan kualitas tidur, yang berarti mengurangi kantuk di

9
siang hari dan gangguan siang hari fungsional yamg terkait, dan peningkatan
kualitas hidup. Keberhasilan terapi OSA mengurangi risiko kardiovaskular,
meningkatkan sensitivitas insulin, dan meningkatkan kinerja neurobehavioral.
Oleh karena itu semua pasien dengan diagnosis OSA harus ditawarkan
perawatan yang adekuat segera setelah diagnosis OSA ditetapkan dan tingkat
keparahannya telah ditentukan oleh pengujian obyektif (yaitu, PSG).
Meskipun pilihan pengobatan yang berbeda untuk OSA telah dikembangkan
selama dekade terakhir ventilasi non-invasif dengan tekanan saluran napas
positif (Positive Airway Pressure: PAP) masih merupakan pengobatan yang
paling efektif untuk OSA pada semua tingkat keparahan (Zaremba;
Chamberlin; Eikermann 2015).
Ventilasi noninvasif sebagai pengobatan untuk gangguan pernapasan saat
tidur biasanya diterapkan secara kontinu (yaitu, continous posiitve airway
[CPAP]), yang dosisnya secara dependen membalikkan obstruksi jalan napas
bagian atas yang berhubungan dengan tidur. Tingkat CPAP yang diperlukan
untuk terapi OSA bervariasi antara 5 dan 20 cm H2O dan berbeda untuk
setiap pasien. Namun efektivitas terapi ini, bergantung pada kepatuhan
pasien, karena efek samping lokalnya berupa ketidaknyamanan pada hidung
dan muka oleh masker. Ketika diterapkan pada aliran tekanan tinggo, jumlah
aliran udara dapat mencegah pasien dari tertidur ketika menggunakan alat ini.
Periode dari tekanan yang naik bertahap diterapkan bervariasi dari 5 sampai
45 menit sehingga membuat pasien mudah tertidur. Namun, memang
ditemukan pada beberapa pasien yang mengalami kesulitan saat
menghembuskan nafas melawan aliran CPAP yang tinggi. Untuk
menghindari masalah tersebut, dapat mengkombinasikan terapi EPAP yang
rendah dan IPAP yang tinggi (Zaremba; Chamberlin; Eikermann 2015).
Dalam beberapa kasus, satu tingkat tekanan CPAP tidak adekuat untuk
terapi sleep apnea. Alat PAP dengan tingkat tekanan dinamik dapat
mensukseskan terapi, khususnya pada pasien dengan gangguan bernapas saat
tidur pada tahapan tidur yang berbeda. Alat ini mengukur variabel yang
berbeda yang berhubungan dengan hypopnea, seperti vibrasi dinding pharing,

10
mendengkur dan kerterbatasan aliran inspirasi dan meningkatkan tekanan
aliran hingga tanda dan gejala hypopnea menghilang.

Gambar 5. MRI saluran pernapasan atas manusia selama penggunaan CPAP pada beberapa
tingkatan. MRI tersebut menunjukkan dosedependent meningkatkan diameter saluran napas
atas.

Terapi PAP direkomendasikan untuk pasien yang menderita OSA sedang


hingga berat dan menjadi terapi pilihan untuk OSA ringan. Namun, pasien
mungkin membutuhkan metode yang berbeda. Sebagai contohnya, pasien
dengan apnea campuran (obstructive dan sentral) atau sebagian besar apnea
sentral membutuhkan kontrol lebih (kontrol frekuensi atau waktu), ventilasi
non invasif dengan frekuensi respirasi atau waktu respirasi minimal yang
sudah dikenal yang secara otomatis menginduksi inspirasi selanjutnya
(ventilasi) apabila pasien tidak menginduksi napas selanjutnya dalam
parameter yang sudah ditetapkan.
Terdapat pula beberapa alternatif terapi untuk OSA. Oral appliances
(OAs) direkomendasikan untuk OSA ringan hingga sedang yang tidak toleran
pada terapi CPAP. Terdapat dua desain yatiu (1) reposisi mandibula, yang
mempertahankan mandibula pada posisi maju (setidaknya ada protrusi 50%
dari kemungkinan pemanjangan maksimal direkomendasikan) dan (2) alat
penahan lidah yang dapat menyebabkan reposisi lidah menjadi posisi maju
tanpa penonjolan mandibula (Zaremba; Chamberlin; Eikermann 2015).

11
Dalam sejarah, terapi pembedahan menjadi pilihan satu-satunya
meskipun efektivitasnya rendah. Akan tetapi, tonsilektomi bermanfaat pada
pasien dewasa dengan OSA yang berasal dari hipertrofi tonsil dan
adenotonsilektomi direkomendasikan pada anak dengan OSA dan hipertrofi
adenotonsilar. Tes tidur berulang setelah operasi tetap direkomendasikan
untuk memastikan efek terapi jangka panjang (Zaremba; Chamberlin;
Eikermann 2015).
Stimulasi elektrik untuk otot saluran pernapasan atas merupakan
pendekatan terbaru untuk terapi OSA, namun bukan menjadi terapi lini
pertama. Stimulasi nervus hypoglosus menginduksi peningkatan aliran udara
cukup besar untuk menghilangkan keterbatasan aliran udara inspirasi karena
kolapsnya saluran napas selama OSA (Zaremba; Chamberlin; Eikermann
2015).
Simpanan lemak pharing menyebabkan penurunan patensi jalan napas,
menjadi faktor risiko obesitas, penurunan berat badan menyebabkan
penurunan Pcrit dan keparahan OSA dan direkomendasikan sebagai terapi
adjuvan untuk semua pasien overweight dengan OSA. Penurunan berat badan
jangka panjang menjadi lebih efektif ketika dibersamai dengan operasi
penurunan berat badan, operasi bariatrik yang dipertimbangkan sebagai terapi
adjavun pada pasien yang sangat obese (BMI ≥ 40kg/m2) atau dengan BMI 35
kg/m2 yang memiliki komorbid. Oksigen saat ini bukan menjadi terapi utama
namun bisa dijadikan terapi adjuvan pada beberapa pasien (Zaremba;
Chamberlin; Eikermann 2015).
Selama periode perioperatif, pasien dengan OSA lebih cenderung
mengalami komplikasi daripada pasien sehat seperti. Kuisioner STOP-Bang
dapat membantu skrining OSA (Wijeysundera; Sweitzer, 2015). Selain itu,
skrining bisa dilakukan dengan pemeriksaan oksimetri semalaman dan
pemeriksaan PSG. Apabila ternyata pasien menderita OSA, dapat dilakukan
terapi CPAP yang dimulai di rumah dan dilanjutkan hingga periode
perioperatif (Eckmann, 2015). Kesulitan oleh ahli anesthesi kadang terjadi
karena tidak semua pasien anak-anak yang berisiko menjalani evaluasi PSG,

12
dimana merupakan gold standard. Pasien anak-anak yang menjalani operasi
siang hari lebih berisiko daripada yang menjalani operasi saat pagi hari.
Pasien OSA cenderung mudah mengalami hipoksia pada malam 2 atau 3
pasca operasi, interval waktu selama delirium pascaoperasi menjadi
manifestasi paling sering.

Gambar 6. Kuisioner STOP-Bang

13
Gambar 7. Alur klinis pada manajemen perioperatif pasien dengan gangguan bernapas
saat tidur.

Berikut merupakan persiapan yang diperlukan untuk pasien dengan OSA.


Pasien harus dioksigenasi sebelumnya secara efisien sebeulum injeksi obat
anesthesi. Dalam posisi supinasi, pada pasien obesitas pernah dilaporkan
terjadinya rhabdomyolisis dari tekanan di muskulus gluteus yang berakhir
menjadi gagal ginjal dan kematian. Untuk posisi pronasi, harus dilakukan
pengecekan di beberapa titik poin penekanan dengan pemberian penyanggah,
namunn jaringan kulit meregang juga tetap masih bisa terjadi yang kemudian
mengakibtakan nekrosis dan infeksi. Pada posisi litotomi, bisa menggunakan
pemijak kaki, dan untuk mengurangi risiko kompartemen sindrom, durasi
kaki di kaki pemijak harus sesingkat mungkin (Eckmann, 2015).
Pada pasien OSA karena obesitas, kesulitan laryngoskopi dan intubasi
biasanya berasal dari pasien yang pendek, leher tebal, lidah besar dan jaringan
lunak pharyng yang berlebihan secara signifikan. Intubasi yang sulit, dalam
beberapa penilitian terjadi kontroversi, apakah timbul karena obesitas atau
skor Mallampati yang tinggi. Konklusi terakhir, ditemukan bahwa intubasi
sulit dilakukan pasien pada obesitas, dengan skor Mallampati memiliki
spesifitas rendah. Selama intubasi, pasien diposisikan semirecumbent (elevasi
30 derajat) dengan kepala posisi sniffing. Posisisi sniffing dan reverse

14
Trendelenburg lebih dipilih sebelum intubasi, yang memperbaiki pengelolaan
jalan napas pharyng pasif pada pasien dengan OSA dan meningkatkan
kapasitas residu fungsional (Zaremba; Chamberlin; Eikermann (2015);
Eckmann (2015)).
Pada pasien obesitas, komplians paru dan sistem resppirasinya rendah,
oleh karenanya cenderung mudah mengalami desaturasi oksigen
cepat,khusunya saat periode apnea seperti yang terjadi saat induksi anesthesi
umum. Adanya OSA sendiri, tidak dengan bebas meningkatkan risiko
desaturasi selama tindakan pencegahan dilakukan dengan tepat. Setelah
intubasi yang sukses, manuver rekrutmen paru dan pemakaian postexpiratory
positive airway pressure untuk menjaga volume paru selama operasi dapat
dipertimbangkan (Eckmann, 2015).
Penggunaan CPAP 10cm H2O selama preoksigenasi dengan pasien posisi
supinasi menghasilkan PaO2 yang lebih tinggi setelah intubasi dan
mengurangi jumlah atelektasis. Kombinasi CPAP preoksigenasi dan PEEP
atau ventilasi mekanik setelah induksi secaara signifikan meningkatkan durasi
nonhypoksemik apnea dari 2 menit menjadi 3 menit. Pasien dengan posisi
head-up memiliki PaO2 yang lebih tinggi setelah preoksigenasi, sesat sebelum
induksi. Obesitas berkaitan dengan defek pertukaran gas bergantung pada
rasio pinggang- pinggul, suatu indeks distribusi jaringan lemak di sekitar
thoraks. Penelitian selanjutnya, menunjukkan pasien laki-laki lebih memiliki
pertukaran gas yang rendah dibanding perempuan (Eckmann, 2015).
Beberapa sedatif dan opioid anesthesi, GABAergic hipnotik dan sedativ
mengganggu patensi jalan napas atas. Namun dalam penelitian terbaru,
memperlihatkan bahwa barbiturat dan isoflurane, lebih aman daripada yang
lain seperti propofol. Agen anesthesi seperti opioid, propofol dan
benzodiazepine memiliki respon yang berlebihan pada pasien dengan OSA.
Obat tersebut mungkin mengurangi tonus muskularis pharyng yang penting
untuk mempertahankan patensi jalan napas. Anak anak yang terintubasi
dengan napsa spontan dengan riwayat OSA, terjadi depresi ventilasi dan
beberapa apnea dengan fentanyl IV 0.5μg/kg. Data tersebut bisa dijadikan

15
pertimbangan. Ketamine mengakhiri gangguan patensi jalan napas selama
hilangnya kesadaran dan tidur. Anesthesi dan narkotik kerja cepat dan
ventilasi nondepressor seperti á2-agonist dexmedetomidine lebih dipilih pada
pasien dengan OSA untuk mengurangi risiko gangguan residu jalan napas
atas setelah anesthesi berakhir(Zaremba; Chamberlin; Eikermann 2015). Obat
penghambat neuromuskular tidak terdepolarisasi harus dititrasi secara optimal
dengan pengawasan transmisi neuromuskular kuantitatif untuk menghindari
blokade neuromuskular residu, dimana meningkatkan risiko komplikasi
respirasi pascaoperasi (Zaremba; Chamberlin; Eikermann 2015). Dosis obat
seperti propofol, vecuronium , rocuronium dan remifentanil menggunakan
dasar IBW, sedangkan dosis midazolam, succinylcholine,cisatracurium,
fentanyl, dan sufentanil menggunakan TBW (Butterworth, 2018).
Pada pasien dengan obesitas, risiko aspirasi masih menjadi bahan
perdebatan. Namun, jika memang risiko aspirasi sudah terlihat, dapat
digunakan profilaksis agonis reseptor histamine(H2) atau proton pump
inhibitor.
OSA terjadi selama periode tidur dan tersedasi, oleh karenanya ekstubasi
harus ditunda sampai pemulihan kesadaran yang dilihat dari kemampuan
pasien dalam mengikuti perintah setelah bebas dari anesthesi. Pasien harus
diposisikan elevasi 45 derajat, dengan alternatif posisi badan lateral. Ventilasi
noninvasif merupakan terapi yang memungkinkan pada kegagalan napas
selama postoperasi dan membantu mencegah deoksigenasi dan perkembangan
edema paru tekanan negatif postoperasi. Selain itu juga dapat mencegah efek
depresan respirasi dari opioid (Zaremba; Chamberlin; Eikermann 2015).
Sebelum pergi dari unit perawatan postanesthesi, tanda vital harus
kembali dalam nilai antara 20% dari nilai preanesthesia dan uji coba dengan
udara ruang harus dilakukan. Terapi adekuat perlu dilakukan untuk mual dan
nyeri, skor nyeri ≤40%; skor Aldrete ≥8 (Zaremba; Chamberlin; Eikermann
2015).
Terapi nyeri menjadi perhatian spesial selama periode pascaoperasi.
Opioid dapat mengurangi fungsi respirasi dan perhatian khusus ketika

16
dikombinasikan dengan sedatif atau hipnotik. Apabila tidak ada
kontraindikasi, anesthesi regional dan analgesik nonopioid harus
dipertibangkan untuk mengurangi penggunaan opioid jika mungkin. Tujuan
utamanya adalah pengelolaan jalan respirasi yang adekuat, yang dapat dicapai
dengan terapi opioid selama efek stimulis nyeri dan opioid pada alur respirasi
berada di keseimbangan optimal (Zaremba; Chamberlin; Eikermann 2015).

17
Rangkaian Prosedur Anesthesi Spesial untuk pasien yang Memiliki
Gangguan Bernapas saat Tidur

Periode Preanesthesi
Mempertimbangkan teknik anesthesi regional yang dapat meminimalkan
kemungkinan sedasi postoperasi

Strategi Induksi
Pengawasan: capnogram, pengukuran volume tidal
Posisi Sniffing
Posisi reverse trendelenburg
Mempertimbangkan intubasi tanpa NMBA tidak terdepolarisasi,
pertimbangkan succinylcholine
Manuver triple airway dengan dua tangan
Manuver rekrutmen paru segera setelah intubasi dan pemakaian PEEP
untuk menjaga volume paru selama operasi
PCV dengan PEEP
Anesthesi dan narkotik kerja singkat lebih diutamalan
Menjauhi penggunaan NMBA steroid dosis tinggi

Manajemen Intraoperatif
Ketika memungkinkan, penggunaan sedatif dan narkotik harus dikurangi
Agen yang mengurangi efek yang menggangu patensi jalan napas dapat
dipertimbangkan (ketamine, pentobarbital)
Blokade neuromuskular harus diawasi
Blokade neuromuskular residu harus dibalik

Ekstubasi dan Unit Perawatan Postanesthesi


Pasien harus bisa kooperatif sebelum ekstubasi. Pertimbangkan
memposisikan pasien di tempat tidur PACU dengan posisi badan 45
derajat, atau posisi lateral
Dalam kondisi gangguan fungsi respirasi, suatu rencana butuh untuk
ditegaskan dan didokumentasikan utuk pengawasan dan terapi, termasuk
pertimbangan ventilasi noninvasif
Pasien dapat dipulangkan dari lingkungan pengawasan jika memeuhi
kriteria berikut: tanda vital berada dalam 20% dari ambang awal, skor
nyeri ≤40% dan skor Aldrete ≥8 dan melewati uji coba udara ruang.

Terapi Nyeri
Mempertimbangkan obat AINS utnuk mengurangi penggunaan opioid jika
memungkinakan dan tidak dalam kontraindikasi
Memberi perhatian ketika menggabungkan opioid dengan sedatif atau
hipnotik.

18
Pada pasien anak-anak, analgesia dapat disediakan dengan kombinasi
asetaminophen oral preoperatif atau per rektal yang diberikan setelah induksi
dan morfin dosis rendah (33-50μg/kg). Beberapa ahli anesthesi lebih memilih
opioid kerja singkat seperti fentanyl untuk meminimalkan depresi respirasi
dan memberikan opioid tambahan kerja lama saat di PACU. Ketorolac
menyediakan analgesia tanpa efek respirasi, namun berkaitan dengan
peningkatan insidens perdarahan pasca operasi apabila diberikan sebelum
mencapai hemostasis. Mual dan muntah pasca operasi umumnya di terapi
dengan antagonis serotonin 5-HT3, sementara bengkak pasca operasi (dengan
muntah) di terapi dengan dexamethasone (0.0625 hingga 0.15 mg/kg).
sedangkan obat analgesia paling umum dibawa pulang adalah acetaminophen
dengan kodein (Cote, 2015).

2.7. Manajemen Perioperatif


Manajemen perioperative OSA sangat penting di dalam menentukan
outcome tindakan yang kita lakukan ke pasien. Society of Anesthesia and
Sleep Medicine (SASM) pada tahun 2016 memberikan guidelines tentang
manajemen perioperative pada OSA.

Guideline SASM (Society of Anesthesia and Sleep Medicine)

19
2.7.1. Manajemen Pre dan durante operatif
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang mendalam merupakan kunci
penting dalam screening OSA, dalam anamnesa kita fokuskan mencari
grading dari OSA, dan apabila ada data dari pemeriksaan tidur atau
polisomnograf apabila ada.
Pasien dengan OSA yang lamamungkin sudah mulai timbul tanda
dan gejala dari komorbid, termasuk obesitas, sindrom metabolic,
hipertensi yang tidak terkontrol, aritmia, CVA dan gagal jantung. Langkah
asesmen preoperative juga melihat adanya signifikan hipoksemia,
hiperkarbia, polisitemia dan cor pulmonal. Adanya sindrom obesitas
hipoventilasi (OHS) dan pulmoner hipertensi harus diketahui saat
pemeriksaan awal. Resiko gagal nafas pada pasien OHS dan OSA
meningkat 10x lipat dibanding OSA saja.
Pasien OSA mungkin menggunakan Positif Airway Device (PAP)
untuk terapi, seperti C-PAP. Dengan menggunakan alat PAP ini selama

20
kondisi tidur maka dapat mengetahui data mengenai airflow, perubahan
tekanan, atau tahanan di jalan nafas. Indikasi dilakukan PAP terapi antara
lain pada pasien sindrom obesitas hipoventilasi, pulmonary hipertensi
berat, resting hipoksemia yang tidak terkait dengan penyakit
kardiovaskular. Meta analisa dari 6 penelitian dengan 904 subyek,
mengevaluasi penggunaan CPAP preoperative dan dilihat dari post
operasinya, penggunaan CPAP preoperative secara signifikan mengurangi
AHI post operatif dan mengurangi length of stay (LOS) pasien tersebut
(Miller; Pardo, 2018).

Gambar 8. Manajemen Preoperatif pada pasien suspek dan terdiagnosa OSA

Guideline terbaru mengenai CPAP pada pasien terdiagnosa OSA


sedang hingga berat, dilanjutkan penggunaannya dirumah sakit hingga

21
menjelang operasi. Pemeriksaan polisomnografi merupakan gold standar
utuk OSA, tapi untuk pemeriksaan tersebut membutuhkan alat dan biaya
yang tidak murah maka dibuatlah metode untuk diagnosa OSA, sesuai
ASA 2014 guideline dibentuklah evaluasi preoperative yang komprehensif
termasuk melihat rekam medis, anamnesa dengan pasien dan keluarga,
screening protocol dan pemeriksaan fisik. Resiko perioperative diprediksi
dengan system berbasis skoring berdasar derajat OSA, tingkat invasive
prosedur, dan kebutuhan penggunaan opiate. Skor lain yang sudah valid
dipakai untuk kegiatan operasi adalah STOP-bang kuesioner, kuesioner
Berlin dan Perioperatif Sleep Apnea Prediction (P-SAP) (Miller; Prado,
2018).
Pada pasien dengan suspek OSA, dilakukan pemeriksaan fisik yang
terfokus untuk mendapat tanda dan gejala OSA. Pada pasien emergensi
yang membutuhkan operasi darurat, bisa dilakukan operasi tanpa menunda
untuk penyelamatan nyawa dengan mengaktifkan mitigasi resiko
perioperative. Pada pasien elektif menurut 2016 SASM, tidak adanya bukti
kuat untuk menunda atau membatalkan operasi karena menunggu
penegakan diagnosa ASA, maka pasien bisa dianggap resiko tinggi OSA,
kecuali didapatkan tanda OSA derajat berat. Untuk memaksimalkan
preoperasi bisa dilakukan pemeriksaan penunjang untuk kardiopulmonar.
Jika semua pemeriksaan sudah optimal maka pasien dengan curiga OSA,
terdiagnosa OSA baik terterapi atau belum bisa dilakukan tindakan operasi
dengan memperhatikan penyulit saat tindakan pembiusan dan persiapan
monitoring post operasi (Miller; Prado, 2018).
Strategi mitigasi resiko perioperative adalah meliputi, pemberian
sedasi tanpa monitor sebaiknya dihindari, untuk saat pembiusan
dipersiapkan untuk difficult airway, menurut ASA perlu tim khusus
meliputipersonel yang terlatih, perlengkapan airway yang advance saat
melakukan manejemen jalan nafas.preinduksi oksigenasi yang adekuat,
posisi kepala elevasi, menurunkan resiko aspirasi asam lambung missal
pemberian proton pump inhibitor, antacid, dan intubasi dengan rapid

22
sequence induction dengan penekanan krikoid. Penggunaan obat anestesi
jangka panjang diminimalisir, dan utamakan penggunaan obat jangka
pendek seperti propofol, remifentanyl, dan desflurane. Hipertensi
pulmonary dapat timbul dan pasien dengan gagal jantung kanan dan usaha
kompensasi yang kurang maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan
tambahan. Penting untuk mencegah oeningkatan tekanan arteri pulmonal
dengan cara mencegah hiperkarbi, hipoksemia, hipotermi, dan asidosis.
Penggunaan opiate dapat menyebabkan opiate induce depresi nafas,
sebaiknya menggunakan analgetik non opiate seperti acetaminophen,
NSAID, opiate lemah seperti tramadol, anticonvulsant, kortikosteroid,
NMDA, dan a2 adrenergic agonist. Ekstubasi dilakukan dengan menilai
tidak adanya residu blockade neuromuscular pad apasien yang sadar penuh
yang mengikuti perintah, setelah ekstubasi pasien sebaiknya diposisikan
semiupright atau lateral. Anestesi regional atau local untuk post operasi
dapat mengurangi kebutuhan opiate, dan menghindari manipulasi di jalan
nafas serta mengurangi kebutuhan analgesi sedasi post operasi. Pasien
yang mendapat terapi PAP sebelum operasi sebaiknya dilanjutkan
terapinya saat operasi dibawah sedasi ringan hingga sedang, untuk sedasi
berat sebaiknya ada patensi jalan nafas (Miller; Prado, 2018).

2.7.2. Manajemen Post Operatif


Post operasi dengan OSA dipengaruhi oleh operasi itu sendiri,
derajat OSA, dan kebutuhan opiate parenteral post operasi. Pasien dengan
derajat OSA yang lebih besar dengan penggunaan opiate jumlah yang
lebih banyak maka membutuhkan monitoring lebih lama dibandingan yang
tidak. Berdasarkan guideline SASM 2016, pasien dengan diagnosa atau
suspek OSA dengan anestesi umum maka membutuhkan monitoring lebih
lanjut di PACU dengan pengukuran saturasi oksigen. Tidak ada sumber
yang menyatakan berapa lama di monitoring di PACU, tapi dengan
pengawasan monitoring yang baik di PACU selama 60 menit pada
ruangan yang tenang setelah kriteria modifikasi aldrete terpenuhi. Jika ada

23
(1) episode apnea selama 10 detik atau lebih, (2) bradipnea dengan RR
kurang dari 8x/mnt, (3) mismatch analgesi dan sedasi, (4)desaturasi
berulang dengan SpO2 kurang dari 90%, maka resiko komplikasi respirasi
maka perlu dievaluasi dan monitoring lebih lanjut di ruangan dengan
monitor. PAP terapi untuk post operasi dilanjutkan apabila sebelumnya
mendapat PAP terapi (Miller; Prado, 2018).

Gambar 9. Manajemen OSA Postoperatif

BAB III.
KESIMPULAN

24
Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan kejadian yang repetitive baik
parsial maupun total sumbatan pada jalan nafas yang berlangsung kronis. Hal ini
dapat menyebabkan beberapa komplikasi pada saat tindakan anestesi. Perlu
dilakukan persiapan preoperative yang baik, meliputi screening, persiapan pre-
operasi dengan mencari komorbid, melakukan tata laksana guna mencapai
keadaan yang optimal dan mempersiapakan kemungkinan penyulit saat operasi.
Manajemen dalam ruang operasi meliputi persiapan sebelum pembiusan baik
dengan anestesi umum maupun regional anestesi, persiapan obat – obatan anestesi
dan rencana ekstubasi serta manajemen perawatan di ruang pulih sadar.
Manajemen pasien dengan OSA yang baik akan mengurangi resiko kejadian
tak diharapkan selama proses perioperative, selain itu juga perlu dilakukan
monitoring berkelanjutan pasca operasi untuk mendapatkan hasil pasca oeprasi
yang baik sesuai yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

25
Cote, CJ. 2015. Pediatric Anesthesia on Miller’s Anesthesia. 8 th Ed. Phildelpia:
Elsevier Saunders
Eckmann DM. 2015 Anesthesia for Bariatric Surgery on Miller’s Anesthesia. 8 th
Ed. Phildelpia: Elsevier Saunders
Wijeysundera DN, Sweitzer BJ. 2015. Preoperative Evaluation. on Miller’s
Anesthesia. 8th Ed. Phildelpia: Elsevier Saunders
Zaremba S, Chamberlin NL dan Eikermann M. 2015. Sleep Medicine on Miller’s
Anesthesia. 8th Ed. Phildelpia: Elsevier Saunders
Semelka, Wilson J, dan Floyd R, 2016, Diagnosis and Treatmen of Obstructivev
Sleep Apnea in Adults. Pensylvania: Excela Latrobe Hospital
Gunawan PY; Harris S; Octaviana F; Herqutanto, 2013, Prevalensi Obstructive
Sleep Apnea dengan Kuesioner STOP-BANG dan Resiko Stroke pada
Populasi Normal, Jakarta
Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. 2018. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. Edisi 6. McGraw-Hill Education
Miller RD, Pardo MC. 2018. 7th Basics of Anesthesia, edisi 7. Elsevier

26

Anda mungkin juga menyukai