Anda di halaman 1dari 10

Termoregulasi dan Patofisiologi Demam

Muhammad Prasetio Wardoyo

Kelompok Diskusi 13 – 1506723635

Pendahuluan

Suhu tubuh kita diatur secara konstan untuk bertahan dalam situasi tertentu. Hal ini
disebabkan berbagai reaksi dan fungsi dalam tubuh membutuhkan rentang suhu yang tepat
agar dapat bekerja secara optimal. Peningkatan suhu tubuh dapat menyebabkan terjadinya
malfungsi saraf dan denaturasi protein. Sementara itu, penurunan suhu tubuh secara
berlebihan dapat berdampak pada turunnya metabolisme ke tingkat yang fatal.1

Akan tetapi, pada kondisi infeksi, trauma, atau inflamasi, zat-zat pirogen akan dilepaskan.
Pelepasan pirogen ini akan mempengaruhi pengaturan suhu tubuh, menyebabkan terjadinya
peningkatan suhu tubuh dari normalnya.1,2 Hal ini lazim kita sebut sebagai demam. Demam
adalah gejala klinis tertua yang diketahui oleh manusia.3 Selain itu, demam adalah gejala
yang paling banyak menyebabkan pasien datang ke dokter. 2 Oleh karena itu, untuk
mempersiapkan diri kita sebagai seorang dokter di masa depan, kita harus mengetahui
bagaimana demam dapat terjadi.

Variasi Suhu Tubuh Manusia

Gambar 1. Perkiraan suhu inti tubuh normal dalam berbagai kondisi.4


Sebenarnya, setiap bagian tubuh kita memiliki suhu yang beragam. Berdasarkan suhunya,
tubuh kita dapat dibagi menjadi dua bagian; inti dan selubung. Inti tubuh, yang melingkupi
organ-organ abdomen dan toraks, sistem saraf pusat, dan otot, umumnya memiliki suhu yang
relatif konstan, yakni sekitar 37,8oC. Hal ini penting mengingat di inti tubuh ini, terjadi
berbagai fungsi dan reaksi penting yang membutuhkan kinerja yang konstan. Sementara itu,
selubung tubuh, yang meliputi kulit dan jaringan lemak subkutan, memiliki suhu yang relatif
lebih rendah dan memiliki rentang yang lebih luas. Kondisi sedemikian rupa terjadi dengan
maksud untuk membantu mempertahankan suhu inti tubuh tetap konstan. Perbedaan
karakteristik suhu inti dan selubung tubuh ini menyebabkan pengukuran suhu tubuh
dilakukan dengan cara-cara tertentu sehingga suhu tubuh dapat terukur, seperti di ketiak,
mulut, rektum, arteri temporal, atau cara lainnya.1

Selain itu, variasi suhu tubuh juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain. Ritme tubuh kita
menyebabkan adanya kecenderungan suhu tubuh pada sore hari lebih tinggi dibandingkan
pada pagi hari. Siklus menstruasi juga ditemukan berhubungan dengan fluktuasi suhu tubuh
pada perempuan, di mana suhu tubuh perempuan di paruh terakhir siklus menstruasinya
cenderung lebih tinggi. Olahraga juga menyebabkan terjadinya peningkatan suhu secara
signifikan, di mana kinerja tambahan yang dilakukan oleh otot menyebabkan suhu tubuh
pada saat berolahraga dapat mencapai 40oC. Selain itu, beberapa faktor lain yang
mempengaruhi variasi suhu tubuh manusia adalah usia tua dan paparan suhu ekstrem.1

Mekanisme Pengaturan Suhu Tubuh

Untuk mempertahankan suhu tubuh manusia pada rentang tertentu, keseimbangan harus
terjadi antara kalor yang diterima tubuh, baik dari produksi kalor dalam tubuh dan masukan
kalor dari lingkungan, dan kalor yang dilepas tubuh ke lingkungan. Apabila ada perubahan di
satu sisi, baik dari kalor yang diterima ataupun kalor yang dilepas, harus ada mekanisme
kompensasi yang akan memperbaiki kesetimbangan kalor tubuh. Oleh karena itu, mekanisme
perpindahan kalor dari tubuh menuju lingkungan, baik secara konduksi, konveksi, radiasi,
ataupun evaporasi, menjadi bagian yang penting dalam menjaga kesetimbangan suhu tubuh.1
Gambar 2. Jaras utama pengaturan suhu tubuh.1

Dalam mengendalikan suhunya, tubuh kita memiliki reseptor suhu di sentral dan perifernya.
Reseptor suhu sentral terletak di area preoptik hipotalamus anterior. Di bagian hipotalamus
ini, terdapat dua tipe neuron; neuron yang sensitif terhadap suhu tinggi, yang mencakup
sebagian besar neuron di bagian ini, dan neuron yang sensitif terhadap suhu rendah. Ketika
terjadi peningkatan suhu, neuron yang sensitif terhadap suhu tinggi akan mengalami
peningkatan impuls. Sebaliknya, ketika suhu turun, neuron yang sensitif terhadap suhu
rendah akan mengalami peningkatan impuls. Sinyal yang dihasilkan reseptor sentral ini
memiliki dampak yang kuat dalam mengendalikan suhu tubuh.4

Reseptor perifer terletak di kulit dan beberapa jaringan dalam yang spesifik di dalam tubuh,
seperti medulla spinalis, organ visera abdomen, serta di dan di sekitar vena-vena besar di
abdomen bagian atas dan toraks. Reseptor suhu di kulit tergolong dalam kelompok kanal
kation keluarga transient receptor potential (TRP), seperti halnya pada neuron
somatosensoris dan sel-sel epidermis. Tidak seperti reseptor sentral, reseptor perifer lebih
dominan dalam menerima stimulus suhu rendah dibandingkan dengan suhu tinggi. Oleh
karena itu, terdapat hipotesis bahwa reseptor perifer di kulit dan jaringan dalam bertujuan
untuk mencegah terjadinya hipotermia.4

Kedua stimulus suhu yang diterima oleh reseptor suhu sentral dan perifer akan diolah di
hipotalamus posterior, setinggi korpus mamillaris. Dari bagian hipotalamus ini pula, respons
terhadap suhu tubuh akMeduan dikendalikan. Paling tidak, ada empat jaras yang akan
diaktifkan oleh hipotalamus, yakni aktivasi kelenjar keringat, perubahan ukuran pembuluh
darah di kulit, perubahan produksi kalor internal, dan perubahan perilaku.1

Produksi keringat pada dasarnya adalah proses evaporasi aktif yang dikendalikan oleh sistem
saraf simpatik. Produksi keringat sangat berperan dalam mengendalikan suhu tubuh,
mengingat pada kondisi suhu lingkungan lebih tinggi daripada suhu tubuh, evaporasi keringat
menjadi solusi untuk melawan kalor yang diterima dari lingkungan. Keringat yang dihasilkan
oleh tubuh bervariasi, tergantung dengan kebutuhan pendinginan suhu tubuh. Namun, peran
keringat dalam evaporasi aktif hanya tercapai apabila keringat tidak tersapu dari kulit dan
udara pada lingkungan masih dapat menampung uap air. Tanpa adanya kedua hal ini, peran
keringat dalam evaporasi aktif tidak akan efektif.1

Terdapat dua kelenjar keringat; kelenjar ekrin dan kelenjat apokrin. Kelenjar ekrin tersebar di
seluruh tubuh dan menghasilkan sekret yang tidak berbau, encer dan dilengkapi oleh
dermisidin, peptida antimikroba yang membantu mempertahankan infeksi pada kulit yang
mungkin terjadi. Kelenjar apokrin utamanya tersebar di ketiak dan area kemaluan serta
menghasilkan sekret yang kental dan kaya dengan substansi organik, seperti protein dan lipid.
Kedua kelenjar ini diaktifkan melalui sistem saraf simpatik. Namun, serat saraf simpatik
postganglionik yang mempersarafi kelenjar ekrin melepaskan asetilkolin sebagai
neurotransmitternya, bukan norepinefrin seperti pada normalnya.1

Pada saat kelenjar ekrin terstimulasi, bagian glandular dari kelenjar akan menghasilkan sekret
yang menyerupai plasma, namun tanpa protein terkandung di dalamnya. Dalam perjalanan
sekret dari bagian glandular menuju permukaan tubuh, sekret akan melalui duktus, di mana
elektrolit dalam sekret direabsorpsi, sehingga keringat akan mengandung elektrolit yang lebih
rendah. Pada kondisi produksi sekret yang banyak, elektrolit dalam sekret umumnya akan
berada pada tingkat yang lebih tinggi, mengingat proses reabsorpsi yang terjadi di duktus
tidak dapat mengimbangi kecepatan sekret dilepaskan. Kondisi yang berbeda ditemukan pada
pasien yang telah beradaptasi pada lingkungan/iklim yang ditempatinya, di mana peningkatan
sekret yang dilepaskan tidak menyebabkan elektrolit dalam sekret meningkat. Justru,
elektrolit dalam sekret menurun karena kendali aldosteron dalam mempertahankan elektrolit
tubuh.4

Perubahan ukuran pembuluh darah di kulit, dalam hal ini vasokonstriksi dan vasodilatasi,
merupakan salah satu langkah awal yang terjadi dalam pengendalian suhu tubuh. Perubahan
ukuran pembuluh darah di kulit berdampak pada seberapa banyak kalor yang terbuang dari
tubuh ke lingkungan. Hal ini disebabkan perubahan ukuran pembuluh darah di kulit berperan
dalam mengatur seberapa besar sifat insulator yang dimiliki kulit dan membantu menciptakan
gradasi suhu antara kulit dan lingkungan.1

Pada saat jaras simpatis teraktivasi, pembuluh darah di kulit akan mengalami vasokonstriksi
yang menyebabkan lebih sedikit darah yang dibawa masuk ke pembuluh darah kulit. Hal ini
akan menyebabkan (1) tidak banyak kalor dari inti tubuh yang dibawa oleh darah mencapai
kulit dan (2) sifat insulator kulit lebih besar, sehingga memampukan kalor dalam tubuh tetap
berada dalam tubuh. Sebaliknya, pada saat jaras simpatis terhambat, pembuluh darah di kulit
akan mengalami vasodilatasi yang menyebabkan lebih banyak darah yang masuk ke dalam
pembuluh darah di kulit. Sebagai akibatnya, (1) kalor yang dibawa oleh darah akan
menyebabkan suhu kulit meningkat yang memunculkan gradasi suhu antara kulit dan
lingkungan dan memungkinkan pelepasan kalor dari kulit ke lingkungan, dan (2) sifat
insulator kulit lebih kecil, menyebabkan kalor dari inti tubuh lebih mungkin untuk keluar
menuju lingkungan.1

Produksi kalor internal pada dasarnya merupakan sumber utama kalor yang dimiliki oleh
tubuh manusia. Selain organ abdomen dan toraks, kinerja otot rangka dan berbagai reaksi
kimia yang terjadi dalam tubuh kita berperan dalam menghasilkan energi. Untuk mencapai
tujuan ini, terdapat dua mekanisme produksi kalor internal yang berperan dalam
meningkatkan kalor dalam tubuh kita, yakni reaksi menggigil dan termogenesis kimiawi.1

Reaksi menggigil terjadi apabila terdapat penurunan suhu inti tubuh sebagai akibat paparan
suhu rendah dari lingkungan. Paparan suhu rendah menyebabkan hipotalamus mengeluarkan
stimulus melalui jaras desendens yang berakhir di otot rangka. Stimulus ini pada awalnya
akan memicu peningkatan tonus otot yang disusul oleh kontraksi cepat yang berlangsung
sebanyak sepuluh hingga dua puluh kali perdetiknya. Reaksi ini akan menyebabkan seluruh
energi yang dibebaskan oleh otot diubah menjadi kalor, mengingat tidak ada kinerja yang
dilakukan dalam kontraksi tersebut. Reaksi ini dapat menghasilkan peningkatan produksi
suhu internal hingga lima kali lipat. Kebalikan dari reaksi ini adalah penurunan tonus otot
sebagai refleks paparan terhadap suhu tinggi.1

Selain itu, reaksi kimia yang terjadi pada jaringan lemak juga dapat menghasilkan energi,
khususnya pada kondisi di mana reaksi menggigil tidak menimbulkan jumlah kalor yang
cukup ataupun saat reaksi menggigil tidak terjadi, misalkan pada bayi baru lahir. Reaksi ini
disebut sebagai termogenesis kimiawi. Reaksi ini dipicu oleh stimulus suhu rendah yang
diterima oleh sistem saraf simpatis dan diteruskan untuk mengaktivasi jaringan lemak coklat.
Jaringan lemak coklat memiliki mitokondria yang mengandung termogenin, protein yang
berperan dalam menghalangi sistem transpor elektron merubah energi menjadi ATP. Sebagai
akibatnya, mitokondria lemak coklat akan mengubah seluruh energi menjadi kalor. Cadangan
lemak coklat paling banyak ditemui pada saat bayi dan menurun seiring waktu. Akan tetapi,
ditemukan bahwa hormon irisin, yang dilepaskan pada saat berolahraga, dapat menyebabkan
mitokondria jaringan lemak putih memiliki sifat yang menyerupai lemak coklat.1

Sebagai bagian dari sistem limbik, hipotalamus juga dapat mempengaruhi emosi dan perilaku
seseorang, sehingga menghasilkan aksi yang dapat menurunkan ataupun meningkatkan suhu
tubuh. Misalkan, dalam kondisi suhu lingkungan yang tinggi, kita terkadang berusaha untuk
mandi, minum minuman dingin, ataupun menggunakan pakaian yang berwarna cerah.
Sebaliknya, pada suhu yang dingin, kita sering menggosok-gosokkan tangan atau lebih
banyak bergerak dari pada biasanya.1

Patofisiologi Demam

Demam didefinisikan sebagai kondisi peningkatan suhu inti tubuh, yang seringkali, meski
tidak harus, adalah bagian dari respons tubuh terhadap infeksi ataupun substansi lain yang
dianggap patogen.5 Literatur lainnya mendefinisikan bahwa seorang dewasa atau anak
terindikasi demam apabila hasil pemeriksaan suhu rektal menunjukkan angka di atas 38 oC
atau hasil pemeriksaan suhu ketiak menunjukkan angka di atas 37,5oC.2,6 Demam berbeda
dengan hipertermia. Pada kondisi demam, terjadi peningkatan suhu tubuh sebagai akibat
naiknya rentang suhu yang ditentukan oleh bagian termoregulatori hipotalamus, disebut juga
sebagai suhu set-point. Sementara itu, pada kondisi hipertermia, suhu tubuh mengalami
peningkatan hingga melebihi suhu set-point, misalkan pada saat kita berolahraga.2,7
Gambar 3. Grafik termoregulasi pada kondisi hipertermia (atas) dan demam (bawah). Garis
putus-putus menggambarkan suhu set-point, garis gelombang menunjukkan suhu tubuh, dan
tanda panah menggambarkan arah pengendalian suhu tubuh.7

Terjadinya demam dipengaruhi oleh berbagai substansi eksogen dan endogen. Beberapa di
antaranya bersifat pirogen, yang secara langsung ataupun tidak langsung menyebabkan
terjadinya demam, namun beberapa lainnya bersifat kriogen yang bersifat menahan
peningkatan suhu secara berlebihan.2

Pirogen digolongkan berdasarkan sumbernya, yakni pirogen eksogen dan pirogen endogen.
Pirogen eksogen berasal dari bagian, keseluruhan, atau substansi racun yang dihasilkan
patogen yang bersangkutan, seperti lipopolisakarida, yang merupakan komponen dinding
bakteri gram negatif, atau enterotoksin, yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Pirogen
endogen umumnya adalah sitokin yang dilepaskan oleh sel-sel imun sebagai respons terhadap
paparan pirogen eksige, seperti interleukin (IL)-6, IL-1, dan interferon gamma (INF-γ).
Namun, beberapa pirogen endogen dapat teraktivasi tanpa harus diinduksi terlebih dahulu
oleh pirogen eksogen.2

Kriogen berfungsi dalam menghalangi efek merusak yang dapat ditimbulkan oleh demam.
Terdapat beberapa contoh kriogen, sebagai molekul yang menahan peningkatan suhu yang
berlebihan. Beberapa di antaranya adalah sitokin anti inflamasi, seperti IL-10, hormon, dan
banyak substansi neuroendokrin lainnya. Substansi kriogen melaksanakan fungsinya melalui
penghambatan sintesis sitokin pirogenik, penghalangan reseptor sitokin, dan meningkatkan
sensitivitas neuron yang sensitif dengan suhu tinggi.2

Gambar 4. Jaras terjadinya demam.2

Terdapat dua jaras yang berujung pada terjadinya demam, yakni jaras humoral dan jaras
neural. Jaras humoral terjadi dengan melibatkan molekul terkait patogen atau sitokin
pirogenik. Jaras humoral dengan melibatkan molekul terkait patogen dimulai dengan
perikatan molekul patogen dengan toll-like receptor 4 (TLR-4) yang akan memicu pelepasan
prostaglandin E2. Prostaglandin E2, sebuah molekul kecil yang dapat menembus sawar
darah-otak, berikatan dengan reseptor EP3 di area pre-optik, menyebabkan neuron di
hipotalamus anterior teraktivasi, dan meningkatkan suhu set-point dari yang seharusnya. Di
sisi lain, sitokin pirogenik dapat memicu demam baik dengan berikatan dengan reseptor
sitokin di luar otak dan mengaktifkan pelepasan prostaglandin E2 ataupun dengan menyerang
langsung sawar darah-otak, berikatan dengan reseptor sitokin di pembuluh darah, sel glia, dan
neuron di otak. Dengan demikian, sintesis prostaglanding E2 akan meningkat dan akan ada
lebih banyak sitokin yang dilepastan ke darah.2

Pada jaras neural, demam dapat terjadi dengan penghantaran sinyal melalui saraf perifer,
seperti saraf sensori kulit dan saraf vagus. Hal ini terjadi karena inflamasi di suatu lokasi
menyebabkan PGE2 terlokalisasi di tempat tersebut, memicu aktivasi saraf sensori kulit yang
sensitif terhadap suhu dingin, dan menyebabkan sinyal dari saraf tersebut diteruskan ke
bagian hipotalamus yang berperan dalam pengaturan suhu. Transmisi sinyal melalui saraf
vagus lebih rumit, di mana pirogen yang bersirkulasi mengaktivasi sistem komplemen yang
lebih lanjut akan memicu sel Kuppfer di hati melepaskan mediator endogen, di antaranya
adalah sitokin pirogenik. Sitokin pirogenik ini akan mengaktivasi saraf vagus cabang hepatik
yang akan menyampaikan sinyal ke nukleus traktus solitarius. Sinyal yang sampai di nukleus
traktus solitarius akan diteruskan ke area preoptik di hipotalamus melalui jalur norepinefrin
ventral. Hal ini akan menyebabkan pelepasan norepinefrin intrapreoptik dan menyebabkan
peningkatan suhu.2

Referensi

1. Sherwood L. Energy balance and temperature regulation. In: Human physiology: from
cells to systems. 9th edition. Boston, MA, USA: Cengage Learning; 2016.

2. Ogoina D. Fever, fever patterns and diseases called ‘fever’ – A review. J Infect Public
Health. 2011 Aug 1;4(3):108–24.

3. Mackowiak PA. Temperature regulation and the pathogenesis of fever. In: Mandell GL,
Bennett JE, Dolin R, editors. Mandell, Douglas, and Bennett’s principles and practice of
infectious diseases. 7th ed. Philadelphia, Pa.: Churchill Livingstone/Elsevier; 2010.
4. Hall JE. Body temperature regulation and fever. In: Guyton and Hall textbook of medical
physiology. 13th ed. Philadelphia, PA: Elsevier; 2016.

5. Blatteis C, Boulant J, Cabanac M, Cannon B, Freedman R, Gordon C, et al. Glossary of


terms for thermal physiology. Jpn J Physiol. 2001;51(2):245–80.

6. Cimpello LB, Goldman DL, Khine H. Fever pathophysiology. Clin Pediatr Emerg Med.
2000 Mar 1;1(2):84–93.

7. Cannon JG. Perspective on fever: The basic science and conventional medicine.
Complement Ther Med. 2013 Apr;21:S54–60.

Anda mungkin juga menyukai