Anda di halaman 1dari 10

Kekuasaan Negara versus

Kekuasaan Perusahaan-perusahaan
oleh Ali Sugihardjanto
Rawamangun, 20 Mei 2000
[ Direktur Pusat Studi Ekonomi Internasional, Lahir di Wonosobo, 2 Mei 1947, Sarjana Ekonomi
Universitas Gajah Mada, 1973, Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara, Jakarta, 1974-1978, Ecole des Hautes
Etudes en Sciences Sociales Paris, Perancis, 1990-1998 ]
Artikel ini diambil dari Jurnal Kritik, Jurnal Pembaruan Sosialisme
Volume 1/Tahun I, Juni-Juli 2000

Sebenarnya, sudah terlalu banyak komentar di mass-media akan krisis aktual dewasa ini,
terutama dari sudut pandang "ilmu ekonomi" sejak pertengahan tahun lalu. Sayangnya, komentarkomentar itu, tidak mampu memberikan penjelasan dan proposisi yang berarti. Kaum cerdik
cendekia, elit kekuasaan dan pakar ekonomi kita, yang didominasi pemikiran visi jangka pendek
dan dominasi pemikiran mahzab neo klasik, ternyata tidak mampu memberikan jalan keluar.
Sungguh menyedihkan.
Mereka, terutama sebagian besar ahli ekonomi yang mewarisi pemikiran ilmu ekonomi mazhab
neo klasik alias arus besar, ternyata telah mereduksi krisis aktual berkepanjangan kehidupan
berbangsa, yang berdimensi sangat kompleks & lengkap terjalin dengan krisis kehidupan sosialpolitik-budaya- ekonomi, menjadi hanya krisis ekonomi, krisis finansial dan krisis moneter
(krismon). Disamping itu, para ahli ekonomi Indonesia terbengong-bengong, namun tetap
berbicara banyak melalui mass media, mencoba memberikan proposisi, usulan-usulan, deklarasi
ataupun manifestasi yang makin membingungkan pembacanya karena pendapatnya terlalu
teoritik, memberhalakan mekanisme pasar, berbeda dengan realita, ataupun mendekati absurditas.
Meminjam ungkapan bahasa Perancis: c'etait beaucoup de bruit pour pas grand-chose!
Tentu saja, mereka mengajukan solusi-solusi terhadap krisis, sesuai dengan ilmu ekonomi arus
besar yang dipelajarinya, dan pada dasarnya tidak akan jauh berbeda dengan pendapat lembagalembaga internasional seperti: IMF dan World Bank. Yaitu, mengembalikan mekanisme pasar dan
atau menerapkan liberalisme ekonomi sebagai satu-satunya mekanisme dalam membawa
ekonomi bangsa pada liberalisme kehidupan ekonomi tanpa batas. Guna memuluskan jalan itu,
semboyan-semboyan yang menuntut penghapusan sejauh mungkin peran politik pemerintah
terhadap mekanisme pasar, yang di sebut sebagai deregulasi dan atau usaha-usaha privatisasi
disuarakan tanpa henti. Hal ini, bertepatan/sejajar dengan pengalaman individual dan kolektif
bangsa yang buruk atas realita regulasi, yang dilakukan rezim-rezim yang pernah memerintah di
republik Indonesia, melalui praktek-praktek KKN.
Namun jalan neo klasik ini, sebenarnya secara epistimologis tidak kuat, karena tabiat sejarah
panjangnya akan sampai: diujung akumulasi dan ekspansi kapital, pemiskinan kelas pekerja dan
krisis-krisis. Memamng mazhab ini sangat dominan dalam ilmu ekonomi, karena sebagai mazhab
mereka didukung oleh kekuatan riel yang sangat dominan, seperti: Multinational Corporation, G7, OECD, IMF, World Bank, dan tentu saja mekanisme internasional akumulasi kekuasaan dan
kapital selama 500 tahun. Secara teoritis mazhab ini memiliki ciri-ciri khusus semisal: analisa

jangka pendek, hiper-spesialisasi, sangat dogmatis kepada market mechanism, efisiensi tak
berujung dan liberalisasi kehidupan ekonomi dunia, yang sangat menguntungkan pihak-pihak
yang kuat.
Konsekwensi epistimologis mazhab ini, tidak mengenal diagnosa: analisa jangka panjang, analisa
sejarah, analisa sosiologis, analisa budaya dan analisa politik. Seolah-olah dalam kehidupan
modern ini yang terpenting adalah jalan ekonomi investasi alias efisiensi, dan waktu jangka
pendek alias hari ini, kalau tidak hendak mengatakan disiplin-disiplin lain dianggap tak berguna
dan hanya pantas ditaruh dalam keranjang sampah berlabel ceteris paribus.
Sistem kapitalis, atau liberalisasi ekonomi sebagai salah satu penyebab krisis, tentu saja tak
pernah disinggung karena akan merugikan kepentingan pendukung-pendukung mazhab neoklasik. Sebagai gantinya, sangat logis untuk menimpakan penyebab krisis pada intervensi negara,
yang memang dengan mudah dapat ditemukan contohnya pada kehidupan sehari-hari. Padahal,
hukum-hukum sejarah dan penelitian jangka panjang atas peradaban materiel atau sistem
ekonomi kapitalis, menegaskan bahwa: sejarah peradaban materiel ini memiliki tiga unsur yang
tak terpisahkan: kelas dominan, konsentrasi kekayaan dan krisis itu sendiri, sebagai mekanisme
yang built-up dalam sistem kapitalis.
Sesungguhnya, di saat ini, terlalu dini untuk meramal dan menuliskan kematian peran negara
dalam membela kepentingan umum. Sebaliknya pula, adalah terlalu riskan untuk menyatakan
kemenangan ada pada mazhab neo klasik atau sistem ekonomi kapitalis, mengingat kenyataan
empiris pada tanda-tanda zaman: berbagai krisis, kemiskinan massal, ketimpangan, langkanya
kesempatan kerja dan lain-lain malapetaka akibat sistem kapitalis. Satu-satunya yang dapat
dikatakan secara pasti tentang sistem kapitalis dan pembela-pembelanya kaum neo liberal dan
nyaris mendekati kebenaran adalah bahwa, "mereka tak akan mengantarkan kita pada
Kesejahteraan Umum dan Keadilan Sosial". Dengan kata lain, meskipun sampai saat ini peran
Negara yang mampu membela kepentingan umum hanya merupakan impian, tetapi paling kurang
peran Negara adalah bentuk pemikiran terbaik untuk menjaga kepentingan bersama.
Maksud artikel ini, lebih banyak ditujukan sebagai usaha menyebarkan pandangan kritis terhadap
baik utopi ataupun realita peran negara dalam membela kepentingan umum di dalam sistem
ekonomi kapitalis global. Atau artikel ini, tidak di fokuskan sebagai pembahasan jalan keluar dari
krisis, tetapi lebih ditujukan sebagai pengantar untuk berbagai perdebatan dengan topik:
Kekuasaan Negara versus Kekuasaan Perusahaan-Perusahaan.

Globalisasi Kapital
Sejak tahun-tahun 1980-1990, penyatuan dan unifikasi dunia akan model tunggal pembangunan,
melalui kemajuan komunikasi, transportasi dan lomba-lomba memasukkan investasi dan hutang
ke dunia ketiga, telah mengakibatkan makin eratnya nasib warga dunia terjerat dalam rantai
sistem ekonomi kapitalis global. Sebagai konsekwensinya: tingginya rentabilitas untuk investor
asing dan partner domestiknya, rendahnya gaji kaum buruh dan rendahnya harga bahan-bahan
mentah. Agar lebih jelas, pada kesempatan ini, saya mencoba menggambarkan secara ringkas
bagaimana "sistem ekonomi dunia" yang sebenarnya merupakan organisasi hubungan eksplotasi
negara-negara selatan oleh negara-negara utara. Sistem tersebut, adalah hasil dari
pengorganisasian ekonomi yang di bentuk di Eropa barat, beberapa waktu setelah revolusi
industri dan disebarkan sedikit demi sedikit hingga ke seluruh dunia. Maka, bila dikotomi UtaraSelatan dipakai dalam demitosisasi Sistem Perekonomian Dunia maka hendaknya dicamkan
betul, bahwa sistem ini adalah hasil/cetak biru dari sistem yang dibangun oleh kombinasi:

kekuatan negara-negara & kekuatan-kekuatan akumulasi kapital belahan bumi Utara, demi
kepentingannya.
Sebelum melakukan identifikasi ciri-ciri dari "sistem perekonomian dunia", yang menerangkan
hubungan eksplotasi antara negara-negara utara atas negara-negara selatan yang kita kenal masa
kini, saya ingin mengingatkan bahwa ciri-ciri sistem tadi adalah original dan belum pernah ada
pada sistem-sistem yang eksis sebelumnya. Dengan demikian, kita hendaknya memahami sistem
tersebut sebagai benar-benar khusus untuk masa sekarang, dengan keterbatasan historis.
Karena itu, kendati pun sistem ini bukan berarti sebagai sesuatu yang mutlak perlu, namun
kehadirannya sebagai satu-satunya organisasi rasional yang dapat dipahami, menyebabkan
(nyaris) semua lapisan masyarakat dunia menobatkannya sebagai kenyataan modern yang
terpenting. Sepintas pada awalnya, kita beroleh kesan umum yang baik tentang ciri-ciri sistem
tersebut, misalnya, pada keseluruhan hubungan yang meliputi hubungan tukar-menukar antara
berbagai negara di benua-benua di muka bumi, antara lain: hubungan perdagangan, arus modal,
migrasi atau perpindahan tenaga kerja, transfer atau pertukaran teknologi, pertukaran/kerjasama
ilmu pengetahuan dan kebudayaan, perkumpulan, organisasi bersama dan penyertaan dalam
aturan main. Tetapi kemudian, muncul beberapa ciri sangat baru dan sungguh berbeda dari ciri
sebelumnya yaitu, bukan lagi menata bagaimana saling berhubungan, melainkan bagaimana
intensifikasi dan perluasannya pada bidang-bidang yang makin beragam, beserta kemajuan
generalisasinya (dalam artian, proses makin berkurangnya aktivitas ekonomi yang berada di luar
jaringan perdagangan). Secara garis besar, "sistem ekonomi dunia" mungkin dapat dipahami
sebagai satu jaringan yang makin penuh sesak bukan hanya oleh perdagangan, tetapi juga oleh
institusi, dan tentu saja oleh hubungan kekuasaan antara berbagai aktor-aktor yang aktif dalam
semua arena pergumulan/adu kekuatan di dalam ekonomi dunia.
Ciri-ciri "sistem ekonomi dunia" tersebut dapat diringkas dalam 4 kata; pertama, promthen
(dimaksudkan, menuju suatu penguasaan tanpa batas atas kekuatan-kekuatan materiel dari alam
semesta untuk manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan manusia) yang juga merupakan simbol
penaklukan teknologi, dan ambisi tak bertepi, menuju suatu progres materiel tanpa akhir.
Kemudian, ide progres materiel tanpa akhir, bergabung dengan keyakinan akan adanya
kemungkinan sebuah kemajuan sosial, dan mereka lalu bermtamorphose (berubah bentuk)
menjadi satu ide baru yang kemudian benar-benar akan merubah dunia, dimulai sejak abad
aufklrung/pencerahan dan revolusi industri.
Ciri kedua, "sistem ekonomi dunia" yang dinamakan productiviste, bukan hanya karena sistem ini
memproduksikan barang dan jasa untuk kepentingan manusia saja, tetapi ia juga meletakkan
progres teknologi tanpa batas, guna melayani pertambahan terus-menerus dari berbagai jumlah
barang. Ciri tersebut mengandung arti, penggunaan jumlah yang selalu bertambah atas barangbarang dan jasa-jasa, ke arah bertambahnya keragaman yang diperuntukkan bagi jumlah
konsumen yang terus menerus pula meningkat. Masyarakat seolah-olah dihukum untuk selalu
memproduksi dan mengkonsumsikannya, melalui kenaikan jumlah produksi dan konsumsi yang
tak habis-habisnya.
Bergabungnya promthen dengan productiviste akan melahirkan ciri ketiga, expansioniste, yang
secara mutlak menuntut keuntungan pada resources, memobilisasi tanpa batas keuntungankeuntungan faktor-faktor produksi. Konsekwensi dari expansioniste tadi, melahirkan rasa tidak
puas kepada organisasi yang statis selama ini, padahal pemobilisasian faktor-faktor produksi
mengharuskannya menembus dan merambah seluruh daerah geografi dan daerah aktivitas,
terutama melalui kolonialisme dan imperialisme. Akibatnya, penaklukan kemudian dilihat

sebagai hal yang lumrah dan absah, suatu penjajahan dengan menggunakan kekuatan-kekuatan
industri, militer atau promosi/iklan untuk konsumen.
Marchand yang merupakan ciri keempat dari "sistem ekonomi dunia", mendasarkan aktivitasnya
melalui dua cara, pertama (bagian terbesar), pada perdagangan internasional, dan kedua, pada
pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam pelaksanaannya, ciri yang keempat ini memerlukan dua
bentuk aturan main; pemilikan prive dan solvabilitas. Dengan begitu, apabila pemilikan
bersama/publik dikebiri, dan mereka yang memiliki harta dan kemampuan lebih mantap
diistimewakan dari mereka lainnya yang kurang solvable, maka akan terjadi mekanisme
pengucilan. Mekanisme tersebut berjalan melalui proses perniagaan di dalam satu masyarakat
yang diatur oleh market mechanism, di dalam masyarakat yang mempunyai sifat-sifat dasar
rivalitas (rasa bersaing) di antara para anggotanya.
Keempat ciri "sistem ekonomi dunia" itu, pada hakekatnya merupakan dan sepadan (compatible)
dengan proses akumulasi kapital dalam skala mondial, yaitu dasar utama dari eksploitasi model
lama mau pun model mutakhir. Lebih tepatnya, ciri-ciri tadi berfungsi sebagai alat untuk
mendorong sistem kolonialisme ke tingkat yang lebih canggih dan sempurna.
Dalam rangka mempertahankan dominasi yang telah berlangsung selama berabad-abad, negaranegara utara juga butuh penyebarluasan model indutrialisasi, berupa konsepsi tunggal
development/pembangunan yang diperkenalkan sebagai model lebih unggul dibanding modelmodel yang ada (harap dibaca, sebagai satu-satunya model rasional yang mungkin). Hal mana
telah diterima secara aklamasi oleh elit dan cendekiawan Negara untuk kepetingan pribadinya.
Pada intinya, model industrialisasi ini tidak akan menjawab kebutuhan/tujuan yang beragam,
apalagi kepentingan warga negara negara-negara selatan. Model tersebut justru adalah satu proses
akumulasi, sekaligus upaya pengucilan yang berlangsung tanpa batas waktu. Meminjam kata lain,
"sistem ekonomi dunia" dengan model tunggal pembangunannya, tentu saja telah membayangkan
konsepsi kwantitatif dari kemajuan materiel yang lebih tinggi, atau dapat diterjemahkan melalui
peningkatan keragaman jumlah barang niaga yang ditawarkan melalui pasar individu konsumen,
tanpa peran Negara dalam merealisasikan Kesejahteraan Umum.
Keadaan ini, lantas mengakibatkan transformasi cara berproduksi, dengan tujuan agar
pertumbuhan tanpa batas dapat dimungkinkan melalui cara mobilisasi intensif berbagai bahan
mentah, pembagian kerja/spesialisasi, kemajuan teknologi dan akumulasi kapital yang semuanya
kemudian tersohor sebagai industrialisasi atau modernisasi. Metode ini, seiring dengan pelbagai
peristiwa di dunia selama lebih dari 200 tahun, telah menyebar ke seluruh dunia dan secara
bertahap warga masyarakat dunia tiba pada sikap penerimaan total, pada suatu kondisi sine qua
non. Sebagai hasilnya, nasib negara-negara selatan seakan telah digariskan, untuk mengikuti arah
tunggal menuju satu "sistem ekonomi dunia", terutama dengan diterimanya mekanisme
modernisasi yang bercirikan promthen, productiviste, expansion dan marchand. Ibarat dua sisi
sebuah mata uang, maka "sistem ekonomi dunia" pada satu sisinya, telah tampil beserta
civilisation matrielle, yang secara luas diakui telah sukses mengantarkan masyarakat negaranegara utara ke tingkat hidup yang tinggi, namun di sisi lain, sistem ini justru menambah parah
kemiskinan di negara-negara selatan sambil mengantarkan tugas Negara hanya mendukung
kepentingan modal raksasa, melalui pemberhalaan investasi. Dalam bahasa lain, Negara ikut
berkomplot sebagai produsen pembangunan (dveloppement), sekaligus produsen
keterbelakangan masyarakat (sous dveloppement) mayoritas dunia.
Pertanyaan penting yang mengganggu, benarkah sejarah perjuangan anti eksplotasi telah tiba
kepada akhirnya? Lalu, mana hasil-hasil peninggalan perjuangan emansipatoris dan jalan panjang

kesadaran pada nilai-nilai kemanusiaan? Nampaknya, aksioma bahwasanya infrastruktur ekonomi


menentukan aturan-aturan pada super struktur politik dan sosial, mempunyai alasan. Banyak
bukti telah menggambarkan dominasi ekonomi atas kehidupan politik, sosial dan budaya masa
kini. Misalnya ciri-ciri kehidupan sosial sehari-hari pada hubungan penggajian, spesialisasi, kelas
dominan dan konsentrasi kekayaan, pada kehidupan politik dengan peran super power dan
institusi-institusi internasional dalam menyelesaikan sengketa politik, dan pada kehidupan
kulturil di mana kekayaan sebagai simbol prestise, konsumerisme.
Dominasi ekonomi melalui sistem perekonomian dunia versi Bank Dunia, IMF dan segelintir
institusi ekonomi tersohor dunia lainnya, ternyata telah memperlebar jurang antara kelompok
negara-negara miskin dengan kelompok kecil negara-negara kaya. Jurang itu, bagaimana pun,
menyebabkan penderitaan kepada kedua kelompok bangsa-bangsa di dunia tadi, dan terutama
menghantui hidup sesehari kelompok negara-negara miskin sebagai pengalaman buruk mereka
yang tak kunjung habis. Pemisah yang menganga lebar dan dalam itu, juga dapat dilihat secara
lebih gamblang pada ketimpangan perdagangan dunia. Misalnya, di tahun 1993 saja, sepertiga
dari arus perdagangan mondial (senilai 1.100 milyar dolar) merupakan transaksi intern di antara
institusi-institusi ekonomi dunia tersebut bersama dengan 35.000 perusahaan internasional dan
170.000 perusahaan filialnya masing-masing. Mereka itu semua, meraup chiffre d'affaires (turn
over) lebih dari 25% dari GDP mondial, hal yang jarang dibahas dalam arus komunikasi sekarang
dan nampaknya dianggap sebagai satu hal yang sudah selayaknya.
Kalaulah kita cukup cermat meneliti sistem kapitalis, yang telah dibangun selama 500 tahun dan
berhasil eksist diseluruh penjuru dunia, maka akan ditemukan berbagai paradigma baru akibat
hegomoni sistem, termasuk dalam peran Negara dalam membela kepentingan umum.
Nampaknya sejarah panjang, tradisi eksplotasi sang Utara terhadap si Selatan melalui sistem
kapitalis: stabilitas, adjustment structuril dan budaya materiel, ternyata makin mengurangi peran
negara. Atau dengan kata lain, negara tidak lagi mampu berperan sebagai lapisan ozon
melindungi masyarakat dari sinar infra merah (harap dibaca sistem kapitalis), dan atau masih
belum mampu membawa masyarakat ke ujung/tikungan jalan baru yang menuju masyarakat
dunia yang lebih berkesejahteraan umum dan berkeadilan sosial.

Sejarah Panjang Hubungan Negara dan Pasar


Menurut sejarahnya, Kapitalisme lahir di Eropa, para ahli sejarah menyamakan tanggal lahirnya
dengan revolusi industri, bertepatan pula dengan penghapusan perbudakan dunia di abad XV dan
XVI, dan atau, Revolusi Perdagangan di Abad Pertengahan. Memang sebelum pusat-pusat
perdagangan seperti Venisia, Genoa, Lubeck, Hamburg, Roma dan Athena belum mengenal
tehnik perdagangan luar negeri dan keuangan internasional, bangsa-bangsa Punisia dan Samaria
telah mewariskan ilmu-ilmu tersebut kepada pedagang-pedagang Eropa. Pada waktu itu, menurut
Immanuel Wallerstein dalam bukunya: Le Systeme du monde du XVe siecle a nos jours, tentu
saja perdagangan dunia dan keuangan international, belum masuk dalam bangunan sebuah sistem
ekonomi struktural dan beorientasi menuju akumulasi modal tak bertepi. Pada masa itu pula,
keadaan pusat-pusat pemerintahan/negara dalam keadaan lemah, akibatnya pengembangan
kekuatan ekonomi dibangun di negara-negara kota, dengan kebebasan penuh dari perdagangan
dari pengaruh dan aturan-aturan pusat kekuasaan. Ekspansi berbagai jaringan perdagangan yang
kemudian menyebabkan arus besar penghapusan perbudakan pada abad XV dan XVI, sejajar
dengan akumulasi kekayaan akan tetapi tidak sejajar cara-cara kepentingan kehidupan publik.
Kondisi ini, pada pertama kalinya menempatkan market mechanism sebagai ganti hukum-hukum
Negara imperial, yang mengatur perdagangan pada masa itu. Kehancuran kekuasaan politik dan

kekuasaan agama oleh kekuatan ekonomi adalah perubahan terpenting dan mendasar, yang
memungkinkan berkembangnya sistem kapitalis.
Karl Polanyi, dalam karyanya: La Grande Transformation: Aux origines politiques et
economiques de notre temps, mengemukakan: perubahan di atas bukanlah hasil dari
pembongkaran politik dalam negeri, melainkan evolusi penetrasi Market Mechanism pada sebuah
perubahan menuju ke luar negeri melalui masyarakat dalam negeri. Dengan kata lain, sangatlah
penting ruang terbuka oleh perdagangan-perdagangan dengan dunia luar dan bukan oleh regulasiregulasi pemerintah yang mengganggu kepentingan kapitalisme.
Kemudian, tiba masanya persekutuan antara kaum pedagang dan kaum pengusaha dengan
Negara-negara (dalam artian sebagai fasilisator), yang menghasilkan akselerasi perkembangan
akumulasi keuntungan dan modal sampai ribuan kali turn over perdagangan. Ini terjadi pada masa
industrialisasi dan internasionalisasi kolonial, namun disini peran Negara tidak akan
menguntungkan masyarakat banyak, kalaulah tidak dipaksa atau dipertentangkan dengan
kekuatan masyarakat itu sendiri (buruh, tani dan lain-lain).
Pada paruh pertama abad XX, timbul reaksi mazhab Keynesian, yang membuka kesempatan
Negara berperan, tentu dengan kondisi ada kekuatan-kekuatan masyarakat yang berjuang, seeperti
perjuangan buruh untuk menetapkan upah minimum, cuti hamil dibayar dan lain-lain. Pada
periode ini, kekuatan Negara hampir sejajar dengan kekuatan ekonomi, tentu saja dengan syarat
ada perjuangan masyarakat atau kondisi Negara yang bukan: diktatur, feodal alias adanya deakumulasi kekuasaan (yang biasa disebut demokrasi). Namun dengan sampainya kita pada era
setelah 1980-an, kembali terjadi tendensi yang amat sangat memberatkan kepentingan umum,
terutama dengan globalisasi kapital, melalui keterbukaan ekonomi dan kebutuhan investasi
sebagai satu-satunya jalan pembangunan. Negara kembali bersekutu dengan kekuatan ekonomi,
dalam artian pembantu dan garantor kepentingan kekkuatan-kekuatan ekonomi, yang tentu saja
berlawanan dengan kepentingan umum.
Dengan kata lain sesudah tahun 80-an, kehidupan riel masyarakat dunia ditandai, dengan
hancurnya peran negara dalam melakukan regulasi-regulasi untuk kepentingan umum, baik oleh
perkembangan berbagai institusi adi kuasa (MNC), umpamanya melalui G-7, ataupun oleh sebab
kondisi politik Negara yang masih bersifat diktatur, feodal dan lain sebagainya.

Batas-batas Konsep Kekuasaan Negara


Bait keempat dari preambule/mukadimah undang-undang dasar negara republik Indonesia 1945,
yang dibacakan pertama kali di dalam sidang Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai sehari setelah
proklamasi kemerdekaan, menggambarkan secara jelas tugas-tugas negara muda ini, yaitu:
"... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ... "
Perihal bentuk negara yang diinginkan oleh para bapak pendiri republik, dengan jelas tertera pula
pada bab I (bentuk dan kedaulatan) persisnya pada pasal 1 & 2 sebagai berikut:
"Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Kedaulatan adalah ditangan
rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat."

Jean-Jacques Rouseau sendiri (1717-1778), sudah mebayangkan pada masa itu, bahwasanya
Negara atau l'Etat adalah: "kesatuan emosi dan kejiwaan yang merupakan ekspresi terbaik dari
kehidupan bersama/bermasyarakat". Pandangan tersebut, bukan merupakan satu-satunya
pencerminan optimis atas Negara ideal, karena para pembela lainnya tentang pemikiran peran
Negara menuju ke masyarakat adil dan makmur, merupakan bagian terbesar pemikir mengenai
peran Negara, sedikitnya hingga abad ke XX. Pendek kata, para cerdik pandai dan masyarakat
umumnya, masih cenderung percaya bahwa Negara memiliki kapasitas untuk mengantarkan
masyarakat pada agatosopia (a good place to live in), melalui pengaturan-pengaturan. Perdebatanperdebatan di masa itu, lebih banyak diwarnai oleh bentuk Negara yang bagaimana yang lebih
mampu melakukan regulasi-regulasi menuju kepada kehidupan bermasyarakat yang terbaik.
Di satu pihak, Montesquieu yang terkenal dengan publikasinya De l'Esprit des lois, mengkritik
keras bentuk-bentuk negara yaitu despotisme oriental dan monarki absolut (ala Louis XIV), dan
membela perlunya pembagian kekuasan, disebut kemudian sebagai trias politica (eksekutif,
legislatif dan judikatif). Yang jelas, Montesquieu mewakili pemikiran mazhab kontinental dalam
memecahkan krisis besar tahun 1929 dengan cara politik atau persisnya melalui de-akumulasi
kekuasaan alias demokrasi-sejati, dibanding mazhab anglo-saxon yang mementingkan effisiensi
melalui industrialisasi.
Sementara perdebatan teori mengenai peran Negara antara mazhab besar kontinental dan anglosaxon, berlangsung terus sampai sekarang, di mana masing-masing memiliki kelompok pembela
dan hanya terkadang terdapat perubahan-perubahan yang kemudian menjadi sintesa (baru);
padahal di dalam kehidupan nyata ekonomi dunia khususnya sejak revolusi industri, lahir hal
yang berbeda. Kehidupan ekonomi global tersebut justru tumbuh menyerupai perkembangan
manusia, di mana antara periode anak-anak dan dewasa, terdapat perubahan yang sangat berbeda
melalui pertumbuhan anak yang cepat dan nyaris bukan sintesa dari perubahan-perubahan sang
anak ketika ia masih bayi. Perubahan ekonomi dunia yang amat sulit dikenali dari akarnya itu,
terutama terjadi dalam hal peran keuangan, perbankan dan perdagangan global.
Pada kasus Eropa misalnya, para bankir adalah kelompok profesi yang dinilai punya fungsi kunci
di dalam revolusi industri. Mereka mengawali usaha-usahanya sebagai lembaga financial di
benua tersebut, dan tumbuh perlahan bersamaan dengan beragam penemuan teknik, mesin dan
pabrik, untuk kemudian mulai ikut membiayai ekspedisi-ekspedisi ekspansionis dan atau
penaklukan-penaklukan (khususnya keluar Eropa), melakukan perdagangan luar negeri, bahkan
eksplotasi ekonomi di hampir seluruh kawasan dunia. Kemajuan teknologi angkutan publik dan
telekomunikasi satelit, ditambah suksesnya produksi massal, telah menggiring ekonomi dunia
kepada satu sistem ekonomi dengan akumulasi kapital yang mirip gurita raksasa, dan pada
akhirnya kini, sistem tersebut berhasil memperoleh kedaulatan yang lebih besar dari kedaulatan
Negara, apalagi terhadap negara-negara selatan.
Namun, setelah tahun 80-an apa pun hasil-hasil pembahasan teori dan perdebatan akademis di
laboratorium para cendekia dan bijak bestari dunia saat ini, satu hal terpenting sudah terjadi dan
secara sepakat mereka bersama mengakui, bahwasanya peran Negara modern telah merosot.
Alasan pertama, peran itu menciut karena Negara modern sangat membutuhkan para pemilik
modal yang ternama sebagai multinational corporation (MNC) untuk pembangunan di dalam
negeri. Padahal, Negara hanya mungkin mengundang para rangkayo MNC melalui bermacam
konsesi, di samping keuntungan-keuntungan komparatif. Yang kedua, Negara yang kendati pun
mewakili seluruh kuasa rakyatnya, terbukti (lebih sering) tidak mampu mencegah (apalagi
melarang) para para pemilik modal raksasa tadi untuk memindahkan aktivitas ekonomi mereka ke
lokasi lain yang lebih murah dan yang menguntungkannya. Kalau dibalik jadi begini: peran dan

kekuasaan Negara hanya mungkin dipahami, sejauh ia tidak dipertentangkan dengan para pemilik
modal (MNC).
Penyebab lain dari merosotnya peran Negara, boleh dikatakan berakar dari organisasi negara itu
sendiri, antara lain: birokrasi yang tidak efisien, fungsi birokrasi sebagai service public lantas
sangat berkurang ketika ia berubah menjadi kasta white collar, pemerintah yang lebih
mementingkan untuk mempertahankan kekuasaannya ketimbang melindungi & memajukan
rakyat, kurangnya pemerataan pendapatan, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Semua jenis
disfonctions tersebut, menyebabkan Negara berjalan makin menjauh dari tugas utamanya yang
telah tercantum di dalam konsep Negara ideal, dalam membela kepentingan umum.
Dalam keadaan disfonction, Negara akan mengalami banyak kesulitan untuk mengintegrasikan
bangsanya kepada "sistem ekonomi dunia" yang dimotori oleh akumulasi kapital global, dengan
ciri terpenting: produksi massal, konsumsi massal dan promosi. Sementara itu menurut Karl Marx
tentang Teori Kapitalisme, yang dapat dibaca pada Das Kapital, "sistem produksi dan
perdagangan mereproduksi sendiri secara spontan, sebagai mekanisme automatis, dan Negara
mungkin ikut memproduksi sistem kapitalis pada periode akumulasi primitif. Namun kapitalisme
mereproduksi sendiri kondisi untuk eksistensinya".
Entah karena Negara tidak mampu berfungsi sebagai "lapisan ozon" yang memayungi warganya
dari bahaya sinar infra merah (harap dibaca: eksplotasi ekonomi), ataukah ada alasan lainnya
(sifat diktatur, feodal, bathil dan zalim), tapi yang lebih sering terjadi, Negara justru berada pada
posisi yang (ikut) membantu eksplotasi ekonomi.
Keadaan di atas tadi, menyebabkan pula beberapa pemikir ekonomi modern bertanya: apakah
mungkin lebih baik mengikuti pengembangan dari pemikiran Neo Liberalisme. Robert Nozick
contohnya, menghendaki adanya minimal state, di mana Negara hanya berfungsi secara minimal
yaitu "sebagai polisi" saja, persis sesuai dengan keinginan "pakar ekonomi" mazhab Neo Klasik,
sehingga memungkinkan maksimisasi kegunaan (max ) atas proses produksi dan perdagangan
dengan aturan main Hukum Rimba. Atau, kalau ingin memilih maximal state, timbul pertanyaan:
syarat-syarat apa saja yang diperlukan oleh maximal state (sebagai lawan minimal state) agar ia
dapat berfungsi dengan benar? Dalam hal ini Norberto Bobbio mencoba menjawab: "Negara
adalah, di mana kekuasaan publik diatur oleh norma-norma umum (yang fundamental maupun
konstitusional) dan ia harus dijalankan di dalam pengaturan undang-undang, yang mana warga
negara mempunyai hak perlindungan dari jalan lain untuk menuju kepada satu pengadilan yang
mandiri dalam upaya menegakkan aturan main dan berjaga dari penyalahgunaan atau tindakan
berlebihan dari kekuasaan".
Melalui sedikit pemaparan secara ringkas sejarah kekuatan Negara dan kekuatan ekonomi pada
jaman globalisasi kapital dan/atau "sistem sosial liberal modern", keprihatinan timbul, karena
ketika kelompok negara-negara selatan termasuk Indonesia mengenal dan "dipaksa" menerima
Kapitalisme Global, serta sejenisnya sebagai model tunggal pembangunan dunia, sistem produksi
tadi justru sedang menuju pada posisi anti-klimaks kejayaannya. Sehingga, bila di awal
pertumbuhannya, sistem Kapitalis memberi kesejahteraan berlimpah kepada kelompok negaranegara utara, maka di usia senjanya, "sistem ekonomi tunggal dunia" tadi telah menimbulkan
ketimpangan sosial, dominasi sistem teknik, menghapuskan kesempatan kerja dan bahkan
pengucilan, yang semuanya bermuara pada eksplotasi ekonomi.
Kesedihan yang lain, sampai sekarang belum ada kritik yang benar-benar mendasar terhadap
Sistem Kapitalis, yang telah menjadi kenyataan riel sistem ekonomi dunia yang expansioniste dan

productiviste bersama motor-motornya: ekonomi pasar, masyarakat konsumsi, beserta hubungan


kekuasaan dengan pengeksplotasian. Dengan demikian, kita lantas membayangkan betapa berat
tugas-tugas yang harus dihadapi oleh para pembela mazhab kontinental untuk menemukan
alternatif atas Konsep Negara sebagai lapisan ozon, yang melindungi masyarakat banyak
terhadap kekejaman sinar infra merah (baca: kekejaman sistem kapitalis).

Mencari Kemungkinan-kemungkinan Terjauh Konsep Negara Ideal


Oleh karena sempitnya halaman pada artikel ini, saya hanya bisa menganjurkan untuk
mempelajari konsep-konsep Negara, menurut Marx, Offe, Habermas dan Poulantzas, agar dalam
menyusun konsep negara tetap sebelah kiri jalan, tidak telarut dalam kedigdayaan sistem
Kapitalis seperti penganut mazhab Neo Klasik. Saya sendiri hanya mampu memajukan proposisiproposisi untuk bahan diskusi: mencari konsep Negara Ideal yang mampu membela kepentingan
umum, seperti dibawah ini:
Pertama, atas krisis struktural fungsi Negara, mengharuskan akal dan budi kita bertanya akankah
ada jalan keluar ekonomi untuk globalisasi sistem kapitalis? jawaban atas pertanyaan tadi tentu
saja menghasilkan banyak kesangsian: pertama-tama tergantung bagaimana maximisasi peran
Negara dapat eksist dan atau berfungsi, dengan seluruh institusi kepentingan yang mungkin
menuju transisi demokrasi riel (de-akumulasi kekuasaan).
Kedua, arus besar mazab ekonomi tidak memiliki jalan keluar alternatif, selain menyerahkan
terutama pada usaha menyusun sistem sosial yang sosialistis dan mengharamkan liberalisasi
ekonomi, mekanisme pasar dan krisis-krisis yang lain.
Ketiga, oleh karena kompleksitas masyarakat sekarang, sudah seharusnya ilmu ekonomi
meningkatkan diri menjadi meta ekonomi, dalam artian sebagai ilmu ia harus berdiri pada
keempat elemen yaitu ;empirisme, rationalisme, imaginasi dan verifikasi, bukan hanya salah satu
elemen saja.
Keempat, perubahan dalam masyarakat ternyata merupakan hasil interaksi institusi-institusi
disertai kepentingan masing-masing, sedangkan hasil interaksi itu sangat berbau kekebetulan
sosial. Agar dapat menghadapi fenomena masyarakat ini, maka sudah saatnya penyusunan
Konsep Negara Ideal, meningkatkan methode analisanya yang merupakan implikasi dari
konfrontasi dan tukar menukar metode, dalam sudut pandang diantara berbagai disiplin ilmu
(metoda interdisipliner).
Kelima, kompleksitas hubungan-hubungan fenomena Negara yang berkait dengan Norma
semisal: keadilan sosial, dalam artian luas mengharuskan Negara memasuki dimensi-dimensi:
kemanusiaan, sosial budaya dan ekologi.
Keenam, Konsep Negara Ideal paling tidak harus mengandung kemampuan untuk melakukan
relasi-regulasi terhadap Pasar Modal. dengan alasan ketika sistem Kapitalis menjadi
Megakapitalis (sistem Kapitalis Global), maka sudah sepantasnya Negara membangun politik
regulasi dalam tingkat yang sangat tinggi, untuk mengimbanginya.
Akhirnya pencarian paradigma baru tentang Negara Ideal harus berkait dengan usaha-usaha yang
arif dan serius, seperti: memberikan dimensi sosiologis, politik dan budaya dalam kerangka
interdisipliner, meta ekonomi dan menghindari dogmatisme akan keampuhan mekanisme pasar.
Maka sebagai jalan keluar krisis aktual Negara, proposisinya sebaiknya berakar jua dari

keharusan menemukan sebuah cara memerintah baru beserta realita kondisi kehidupan kesadaran
warga untuk memperjuangkan kepentingannya.

Anda mungkin juga menyukai