Bab Ii - Iii
Bab Ii - Iii
TINJAUAN PUSTAKA
1. Penurunan Kesadaran
1.1 Definisi Penurunan Kesadaran
Kesadaran adalah suatu keadaan dimana seseorang sadar
penuh atas dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Penurunan
kesadaran atau koma menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas
otak dan sebagai final common pathway dari gagal organ seperti
kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal
otak dengan akibat kematian.
Tingkat kesadaran secara kualitatif dapat dibagi menjadi
kompos mentis, apatis, somnolen, stupor, dan koma. Kompos mentis
berarti keadaan seseorang sadar penuh dan dapat menjawab
pertanyaan tentang dirinya dan lingkungannya. Apatis berarti keadaan
seseorang tidak peduli, acuh tak acuh dan segan berhubungan dengan
orang lain dan lingkungannya. Somnolen berarti seseorang dalam
keadaan mengantuk dan cenderung tertidur, masih dapat dibangunkan
dengan rangsangan dan mampu memberikan jawaban secara verbal,
namun mudah tertidur kembali. Sopor/stupor berarti kesadaran hilang,
hanya berbaring dengan mata tertutup, tidak menunjukkan reaksi bila
dibangunkan, kecuali dengan rangsang nyeri. Koma berarti kesadaran
hilang, tidak memberikan reaksi walaupun dengan semua rangsangan
(verbal, taktil, dan nyeri) dari luar.
1.2. Menentukan penurunan kesadaran secara kuantitatif
Secara kuantitatif, kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS) yang meliputi pemeriksaan untuk
Penglihatan/ Mata (E), Pemeriksaan Motorik (M) dan Verbal (V).
Pemeriksaan ini mempunyai nilai terendah 3 dan nilai tertinggi 15.
1.3. Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk penglihatan/ mata:
E1 tidak membuka mata dengan rangsang nyeri
E2 membuka mata dengan rangsang nyeri
Penyakit Sitemik
Agen Toksik
1.3.
Etiologi
- Anemia
- Penyakit Paru
- Hipoventilasi alveolar
- Penyakit kardiovaskuler (termasuk cardiac arrest)
- Aritmia
- Penyakit mikrovaskular
- Hipotensi
- Hipertensi
- Penyakit hepar
- Penyait ginjal
- Penyait pankratikus
- Malnutrisi (defisiensi vitamin)
- Disfungsi endokrin (hipoglikemia atau hiperglikemia dan keadaan
-
hiperosmolar)
Gangguan keseimbangan cairan, asam basa, dan elektrolit
Vaskulitis
Infeksi dan sepsis
Keganasan (Sindrom paraneoplastik)
Alkohol, sedatif (barbiturat, narkotik, da obat penenang)
Pengobatan
psikiatri
(antidepresan
trisiklik,
obat-obat
Patofisiologi
Berbagai mekanisme dapat berkontribusi terhadap terjadinya ensefalopati,
namun faktor toksik, anoksik, dan metabolik merupakan mekanisme tersering dan
signifikan.
Hipoksia
Neuron membutuhkan suplai oksigen dan glukosa untuk mempertahankan
gradien neurotransmitter dan ion. Perubahan tekanan oksigen memiliki efek yang
cepat dan langsung pada saluran ion membran yang sebagian terkait dengan
fosforilasi. Beberapa saluran ion mengalami down regulation untuk mengurangi
saluran ion dan mengurangi kebutuhan energi selular. Beberapa saluran ion
mengalami up regulation yang menimbulkan depolarisasi dan kematian sel.
Hiperkapnia dan hipokapnia
. Hiperkapnia dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan peningkatan
tekanan cairan serebrospinal. Sedangkan hipokapnia yang terjadi akibat
hiperventilasi dapat menimbulkan vasokonstriksi serebral, penurunan ketersediaan
oksigen, dan perubahan keseimbangan ion kalsium. Hal ini dapat menyebabkan
penurunan kesadaran, tremor, gangguan penglihatan dan palpitasi. Adapun
kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan terjadi hiperventilasi diantaranya koma
hepatikum, lesi batang otak, dan penyait kardiopulmoner tertentu (Teresa & Chua,
2010).
Gangguan homeostasis glukosa
Glukosa diperlukan bagi fungsi neuronal. Penyaluran glukosa, laktat,
maupun piruvat ke otak memerlukan transport spesifik tertentu berupa GLUTS
dan MCTs. Jumlah dari molekul transporter tersebut membatasi penetrasi glukosa
ke dalam sel. GLUT 1 terletak pada daerah sawar otak dan GLUT 3 terletak pada
membran neuronal (Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
Sebagaimana pada kondisi hipoksia dan iskemia, hipoglikemia juga
menginduksi terjadinya kerusakan otak. Untuk dapat mempertahankan gradien
neurotransmitter dan ion, neuron membutuhkan suplai glukosa dan oksigen secara
konstan. Apabila terjadi hipoglikemik, maka terjadilah gangguan pada gradien
neurotransmitter dan ion.
Gangguan metabolisme asam-basa
Konsentrasi pottasium ekstraselular otak memiliki efek besar terhadap
eksitabilitas serebral, tetapi gangguan serebral amat jarang pada pasien
hiperkalemia ataupun hipokalemia. Deplesi pottasium dapat mengakibatkan
kelemahan otot. Pada kasus yang berat, kelemahan otot mengalami progresi
menjadi kuadripegia, gagal nafas mirip dengan Guillan Barre syndrome. (Teresa
& Chua, 2010).
Kalsium merupakan kation ekstraselular utama. Kadar kalsium serum baik
rendah maupun tinggi dapat menimbulkan gangguan neurologis. Secara umum
Tatalaksana
Penanganan ensefalopati meliputi menstabilkan pasien dan cepat
3.
Pertahankan sirkulasi
5.
Hentikan kejang
Kejang umum dapat diterapi dengan lorazepam (sampai 0,1mg/kg) atau
diazepam (0,1-0,3mg/kg) intravena.
6.
8.
Antidotum
Nalokson
Flumazenill
Fisostigmin
Indikasi
Overdosis opioid
Overdosis benzodiazepine
Overdosis
antikolinergik
(gamma-
hidroksibutirat)
Keracunan metanol, etilen glikol
Overdosis trisiklik
Overdosis sianida
Hipoglikemia karena sulfonilurea
Fomepizol
Glukagon
Hidroksokobalamin
Okreotid
2. Hematemesis Melena
2.1 Definisi
Hematemesis melena adalah suatu kondisi di mana pasien mengalami
muntah darah yang disertai dengan buang air besar (BAB) bercampur darah
dan berwarna hitam. Hematemesis melena merupakan suatu perdarahan yang
terjadi pada saluran cerna bagian atas (SCBA) dan merupakan keadaan gawat
darurat yang sering dijumpai di tiap rumah sakit di seluruh dunia termasuk
Indonesia. Pendarahan dapat terjadi karena pecahnya varises esofagus,
gastritis erosif atau ulkus peptikum.
2.2 Etiologi
Beberapa penyebab timbulnya hematemesis melena :
1. Kelainan di esophagus
a. Pecahnya varises esophagus
Perdarahan varises secara khas terjadi mendadak dan masif,
kehilangan darah gastrointestinal kronik jarang ditemukan. Perdarahan
varises esofagus atau lambung biasanya disebabkan oleh hipertensi
portal yang terjadi sekunder akibat sirosis hepatis. Sifat perdarahan
hematemesisnya
mendadak
dan
masif,
tanpa
didahului
nyeri
Tukak lambung
Tukak lambung lebih sering menimbulkan perdarahan terutama
mencari
penyebab
perdarahan
saluran
cerna
dapat
tinggi, atau peningkatan tekanan intraabdomen yang tibatiba karena mengedan, mengangkat barang berat, dan lainlain.
2.4 Manifestasi Klinis
Gejala terjadi akibat perubahan morfologi dan lebih menggambarkan
beratnya kerusakan yang terjadi dari pada etiologinya. Didapatkan gejala dan
tanda sebagai berikut :
1. Gejala-gejala intestinal yang tidak khas seperti anoreksia, mual, muntah
dan diare.
2. Demam, berat badan turun, lekas lelah.
3. Ascites,edema
Keadaan hemodinamik
Hemodinamik stabil
Hipotensi ortostatik
Renjatan (syok)
Renjatan + penurunan kesadaran
Moribund (physiology futility)
harus
diistirahatkan
mutlak
terhadap
tekanan
darah
diperlukan
mempertahankan
untuk
kadar
mengganti
hemoglobin
50 - 70 % nilai normal.
(Adona AC),
antagonis (simetidin
atau
reseptor
perdarahan
f. Dilakukan klisma atau lavemen dengan air biasa disertai
antibiotika
yang
tidak
diserap
oleh
pemberian
mencegah terjadinya
lambung)
dengan
air , dan
vasokontriksi
lokal sehingga
diharapkan terjadi
penurunan
perdarahan
akan
berulang
berhenti. Umbah
endoskopi
diulang
per
mempunyai
efek
vasokoktriksi, pada
pemberian
Aspirasi pneumoni (infeksi paru yang terjadi akibat cairan yang masuk
saluran napas)
Glikonosis
type-IV,
Galaktosemia,
Tirosinemia
4. Kolestasis Saluran empedu
5. Sumbatan saluran vena hepatica : Sindroma Budd-Chiari, Payah jantung
6. Gangguan Imunitas (Hepatitis Lupoid)
7. Toksin dan obat-obatan (misalnya : metotetrexat, amiodaron,INH)
8. Kriptogenik
9. Malnutrisi
3.3.Patofisiologi
Mekanisme yang terjadi pada sirosis hepatis antara lain kematian
sel-sel hepatosit, regenerasi, dan fibrosis progresif. Sirosis hepatis pada
mulanya berawal dari kematian sel hepatosit yang disebabkan oleh
berbagai macam faktor. Sebagai respons terhadap kematian sel-sel
hepatosit, maka tubuh akan melakukan regenerasi terhadap sel-sel yang
mati tersebut. Dalam kaitannya dengan fibrosis, hepar normal mengandung
kolagen interstisium (tipe I, III, dan IV) di saluran porta, sekitar vena
sentralis, dan kadang-kadang di parenkim. Pada sirosis, kolagen tipe I dan
III serta komponen lain matriks ekstrasel mengendap di semua bagian
Hipertensi Portal
- Sklera ikterik
- Varices Oesofagus
- Spider nevi
- Splenomegali
- Ginecomastia
- Atrofi Testis
- Acites
- Palmar Eritem
- Hemoroid
Asites
1. Tirah baring
2. Diet rendah garam : sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari
3. Diuretic : spiroolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretic
bisa dimonitor dengan penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa
edem kaki) atau 1,0 kg/hari (dengan edema kaki).
Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat, dapat
dikombinasi dengan furosemide 20-40 mg/hari (dosis
max.160 mg/hari)
4. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar (4-6 liter),
diikuti dengan pemberian albumin.
Varises Esofagus
1. Sebelum dan sesudah berdarah, bisa diberikan obat
penyekat beta (propanolol)
2. Waktu
perdarahan
akut,
bisa
diberikan
preparat
Ensefalopati Hepatik
1. Laktulosa untuk mengeluarkan ammonia
2. Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil
ammonia
3. Diet rendah protein 0,5 gram.kgBB/hari, terutama
diberikan yang kaya asam amino rantai cabang
Sindrom Hepatorenal
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk SHR.
Oleh karena itu, pencegahan terjadinya SHR harus mendapat
perhatian utama berupa hindari pemakaian diuretic agresif,
parasentesis asites, dan restriksi cairan yang berlebihan.
3.6.Prognosis
Klasifikasi Child Pug
Chil-pugh skor digunakan untuk menilai risiko kematian perioperatif pada
pasien dengan sirosis hepatis dikaitkan dengan derajat keparahan dari
sirosisnya. Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan
Child A,B, dan C berturut-turut 100%,80%, 60%
Definisi
Diabetes Mellitus Tipe II merupakan penyakit hiperglikemi
akibat insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin
sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin
tetap di hasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus
tipe II dianggap sebagai non insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) (Corwin, 2001).
3.2.
Etiologi
Menurut Smeltzer & Bare (2002) DM tipe II disebabkan
kegagalan relatif sel dan resisten insulin. Resisten insulin adalah
turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi
glikosa oleh hati. Sel tidak mampu mengimbangi resistensi
insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defensiensi relatif insulin.
3.3.
Faktor resiko
Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe II
manis-manis
untuk
meningkatkan
kadar
lemak
3.4.
Manifestasi Klinis
Menurut Pusat Diabetes dan Nutrisi Sutomo (2004), gejala
klinis khas seperti poliuria (banyak kencing), polidipsia (banyak
minum), polifagia (banyak makan), rasa lemas dan turunnya berat
badan merupakan petunjuk yang penting dalam mendiagnosa
diabetes mellitus. Hal yang sering menyebabkan pasien datang
berobat ke dokter dan kemudian mendiagnosa sebagai diabetes
mellitus ialah keluhan-keluhan berikut:
-Keluhan kulit: gatal-gatal, bisul
- Kelainan ginekologis : keputihan
- Kesemutan: rasa gatal
- Kelemahan tubuh
- Luka atau bisul yang tidak sembuh-sembuh
- Infeksi saluran kemih
Kelainan kulit berupa gatal-gatal, biasanya terjadi didaerah
genital ataupun lipatan kulit seperti didaerah ketiak dan dibawah
payudara, biasanya akibat tumbuhnya jamur. Sering pula
dikeluhkan timbulnya bisul-bisul atau luka yang lama yang tidak
mau sembuh. Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele seperti:
luka lecet karena sepatu, tertusuk peniti dan sebagainya. Pada
wanita,
keputihan
merupakan
salah
satu
keluhan
yang
3.5.
Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis diabetes mellitus pada pasien
dengan keluhan khas (poliuria, polidipsia dan penurunan berat
badan) cukup dilakukan dengan pemeriksaan kadar glukosa
darah. Apabila kadar glukosa darah kapiler pada waktu puasa >
120 mg/dl atau 2 jam sesudah makan > 200 mg/dl setelah diberi
beban glukosa oral 75 gram, maka pasien tersebut dinyatakan
menderita diabetes mellitus. Mereka yang tidak mempunyai
keluhan khas, tetapi menunjukkan hasil pemeriksaan kadar gula
darah > 200 mg/dl masih memerlukan pemeriksaan paling sedikit
sekali.
3.6.
Terapi
Gambar 2.1. Alogaritma Terapi DM Tipe 2
3.7.
Komplikasi
Kondisi
Mulut
dan
Kulit. Menderita
diabetes
dapat
risiko
akan
ketoasidosis
diabetik,
diabetes
4.4. Patofisiologi
Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah
pembesaran ukuran ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan
direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus membawa natrium, bersamaan
dengan efek insulin yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium, akan
menyebabkan volume ekstrasel meningkat, terjalah hiperfiltrasi. Pada
diabetes, arteriole eferen, lebih sensitive terhadap pengaruh angiotensin II
dibanding arteriole aferen,dan mungkin inilah yang dapat menerangkan
mengapa pada diabetes yang tidak terkendali tekanan intraglomeruler naik
dan ada hiperfiltrasi glomerus.
4.5. Gambaran Klinik
Progresifitas kelainan ginjal pada diabetes militus tipe I (IDDM)
dapat dibedakan dalam 5 tahap:
Tahap
Kondisi Ginjal
AER
LFG
TD
Prognosis
Hipertrofi/Hiperfungsi
Reversible
Kelainan struktur
/N
Mungkin reversible
Mikroalbuminuria persisten
20 200 mg/mnt
Makroalbuminuria
>200 mg/mnt
/N
Rendah
Hipertensi
persisten
5
Mungkin reversible
Mungkin bisa
stabilsasi
Uremia
Tinggi/Rendah
< 10 ml/mnt
Hipertensi
Kesintasan 2 th 50%
Ket : AER = Albumin Excretion Rate, LFG = Laju Filtrasi Glomerulus, N = Normal, TD = Tekanan Darah
4.6 Diagnosis
Diagnosis Nefropati Diabetika dapat dibuat apabila dipenuhi
persyaratan seperti di bawah ini:
1. DM
2. Retinopati Diabetika
3. Proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2
minggu tanpa penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria
1x pemeriksaan plus kadar kreatinin serum >2,5mg/dl
Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada:
1. Anamnesis
Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun
keluhan tidak khas dari gejala penyakit diabetes. Keluhan khas
berupa poliuri, polidipsi, polipagi, penurunan berat badan. Keluhan
tidak khas berupa: kesemutan, luka sukar sembuh, gatal-gatal pada
kulit, ginekomastia, impotens.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Mata Pada Nefropati Diabetika didapatkan
kelainan pada retina yang merupakan tanda retinopati yang
spesifik dengan pemeriksaan Funduskopi, berupa :
1). Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran
darah dalam kapiler retina.
2). Mikroaneusisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama
daerah kapiler vena.
3). Eksudat berupa : Hard exudate, Cotton wool patches.
: cardiomegali
Pulmo
: oedem pulmo
GFR
(ml/min/1,73
m2)
90
Rencana Tatalaksana
60-89
30-59
15-29
<15
tergantung
dari
penyakit
penyerta
3. Mikroalbuminuria
a. Pembatasan protein hewani
Pembatasan konsumsi protein hewani (0,6-0,8 per kg BB
per hari) dapat mengurangi nefromegali, memperbaiki
struktur ginjal pada nefropati diabetik (ND) stadium dini.
B. Nefropati diabetik nyata (overt diabetic nephropathy)
1. Manajemen Utama (esensi)
a. Pengendalian hipertensi
1) Diet rendah garam (DRG)
Diet rendah garam (DRG) < 5 g/ hari penting untuk
mencegah retensi Na+ (sembab dan hipertensi) dan
meningkatkan efektivitas obat antihipertensi yang lebih
proten.
2) Obat antihipertensi
b. Antiproteinuria
1) Diet rendah protein (DRP)
DRP (0,6-0,8 gram per kg BB per hari) sangat penting
untuk mencegah progresivitas penurunan faal ginjal.
lainnya
yang
berhubungan
dengan
penyakit
Definisi
Anemia adalah keadaan berkurangnya sel darah merah atau
konsentrasi hemoglobin (Hb) di bawah nilai normal sesuai usia dan jenis
kelamin. Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan
dengan gejala klinis yang sering tidak khas. Berdasarkan derajat dari
anemia
maka
WHO
dan
National
Cancer
4.2 Etiologi
Institute
(NCI)
gambaran
morfologik,
anemia
diklasifikasikan
2) Gejala Khas
a) Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis
angularis.
b) Anemia defisisensi asam folat: lidah merah (buffy tongue)
c) Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali.
d) Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda
infeksi.
4.5. Tatalaksana
Jenis-jenis terapi yang dapat diberikan adalah:
a. Terapi gawat darurat
Definisi
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu
bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila
konsentrasi bilirubin serum >5mg/dL (Cloherty, 2004). Pada orang
dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2mg/dL. Ikterus
lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit,
sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar
bilirubin serum total. Tahapan metabolisme bilirubin terbagi menjadi 5
fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor plasma, liver uptake,
konjugasi, dan ekskresi bilier. Ikterus disebabkan oleh gangguan pada
salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.
5.2.
Etiologi
Penyebab ikterus dapat dibagi kepada tiga fase yaitu:
Ikterus Prahepatik
Produksi bilirubin yang meningkat yang terjadi pada
hemolisis sel darah merah. Peningkatan pembentukan bilirubin
dapat disebabkan oleh: Kelainan sel darah merah, Infeksi seperti
malaria, sepsis, Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat
obatan, maupun yang berasal dari dalam tubuh seperti yang
terjadi pada reaksi transfuse dan eritroblastosis fetalis.
Ikterus Pascahepatik
Bendungan pada saluran empedu akan menyebabkan
peninggian bilirubin konjugasi yang larut dalam air. Akibatnya
bilirubin regurgitasi kembali kedalam sel hati dan terus memasuki
peredaran darah, masuk ke ginjal dan di eksresikan oleh ginjal
sehingga ditemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena ada
bendungan pengeluaran bilirubin kedalam saluran pencernaan
berkurang sehingga tinja akan berwarna dempul karena tidak
mengandung sterkobilin.
Ikterus Hepatoseluler
Kerusakan sel hati menyebabkan konjugasi bilirubin
terganggu sehingga bilirubin direk akan meningkat dan juga
menyebabkan bendungan di dalam hati sehingga bilirubin darah
akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian
menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam
aliran darah. Kerusakan sel hati terjadi pada keadaan: hepatitis,
sirosis hepatic, tumor, bahan kimia, dll.
5.3.
Patofisiologi
A. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek
1. Over produksi
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah
merah yang sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan
meningkatkan produksi bilirubin. Konjugasi dan transfer
melampaui
kemampuan
sel
hati.
pembentukkan
urobilinogen
meningkat
yang
Hiperbilirubinemia konjugasi/direk
Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat
penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu. Gangguan ekskresi
bilirubin dapat disebabkan oleh kelainan intrahepatik dan
ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh
hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke
dalam sirkulasi sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia.
Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan dengan : Hepatitis, sirosis
terkonjugasi
yang
disertai
bilirubinuria.
5.4.
Diagnosis
Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan fisik sangat penting
untuk menegakkan diagnosis penyakit dengan keluhan ikterus. Tahap
awal ketika akan mengadakan penilaian klinis seorang pasien dengan
ikterus adalah tergantung kepada apakah hiperbilirubinemia bersifat
konjugasi atau tak terkonjugasi. Jika ikterus ringan tanpa warna air seni
yang gelap harus difikirkan kemungkinan adanya hiperbilirubinemia
indirect yang mungkin disebabkan oleh hemolisis, sindroma dan bukan
karena penyakit hepatobilier. Keadaan ikterus yang lebih berat dengan
disertai warna urin yang gelap menandakan penyakit hati atau bilier. Jika
ikterus berjalan sangat progresif perlu difikirkan segera bahwa kolestasis
lebih bersifat ke arah sumbatan ekstrahepatik (batu saluran empedu atau
keganasan kaput pankreas).
Jika sumbatan karena keganasan pankreas sering timbul kuning
yang tidak disertai gajala keluhan sakit perut (painless jaundice). Kadangkadang bila bilirubin telah mencapai kadar yang lebih tinggi, warna
kuning pada sklera mata sering memberi kesan yang berbeda dimana
ikterus lebih memberi kesan kehijauan (greenish jaundice) pada kolestasis
ekstrahepatik dan kekuningan (yellowish jaundice) pada kolestasis
intrahepatik. Ikterus yang disertai demam, dan terdapat fase prodromal
seperti anoreksia, malaise, dan nyeri tekan hepar menandakan hepatitis.
Ikterus yang disertai rasa gatal menandakan kemungkinan adanya suatu
penyakit xanthomatous atau suatu sirosis biliary primer. Ikterus dan
anemia menandakan adanya suatu anemia hemolitik
5.5.
Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin
Pemeriksaan darah dilakukan unutk mengetahui adanya suatu
anemia dan juga keadaan infeksi
Urin Tes yang sederhana yang dapat kita lakukan adalah melihat
warna urin dan melihat apakah terdapat bilirubin di dalam urin
atau tidak.
Bilirubin
Penyebab ikterus yang tergolong prehepatik akan menyebabkan
peningkatan bilirubin indirek. Kelainan intrahepatik dapat
berakibat
hiperbilirubin
indirek
maupun
direk.
Kelainan
Biopsi hati
Histologi hati tetap merupakan pemeriksaan definitif untuk ikterus
hepatoseluler dan beberapa kasus ikterus kolestatik (sirosis biliaris
primer, kolestasis intrahepatik akibat obat-obatan (drug induced)
6. Hepatitis B
6.1. Etiologi
Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). Virus ini
pertama kali ditemukan oleh Blumberg pacta tahun 1965 dan di kenal
dengan nama antigen Australia. Virus ini termasuk DNA virus. Lapisan
luar terdiri atas antigen HBsAg yang membungkus partikel inti (core).
Pada inti terdapat DNA VHB Polimerase. Pada partikel inti terdapat
Hepatitis B core antigen (HBcAg) dan Hepatitis B e antigen (HBeAg).
Antigen permukaan (HBsAg) terdiri atas lipo protein dan menurut sifat
imunologik proteinnya virus.
6.2. Sumber dan Cara Penularan
Sumber Penularan :
- Darah
- Saliva
- Kontak dengan mukosa penderita virus hepatitis B
- Feces dan urine
- Lain-lain: Sisir, pisau cukur, selimut, alat makan, alat kedokteran
yang terkontaminasi virus hepatitis B.
Cara Penularan :
a. Parenteral : dimana terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya
melalui tusuk jarum atau benda yang sudah tercemar virus hepatitis B
dan pembuatan tattoo
b. Non Parenteral : karena persentuhan yang erat dengan benda yang
tercemar virus hepatitis B.
6.3. Gejala Klinis
A. Perjalanan hepatitis B akut terjadi dalam empat (4) tahap yang
timbul sebagai akibat dari proses peradangan pada hati yaitu :
1. Masa Inkubasi
tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Pada fase ini, VHB
ada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi.
2. Fase Imunoaktif (Fase clearance)
Pada sekitar 30% individu dengan persisten dengan VHB akibat
terjadinya replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses
nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi Alanine Amino
Transferase (ALT). Pada keadaan ini pasien sudah mulai kehilangan
toleransi imun terhadap VHB.
3.
Fase Residual
Pada fase ini tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan
pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari individu
tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB
tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini titer
HBsAg rendah dengan HBeAg yang menjadi negatif dan anti HBe
yang menjadi positif, serta konsentrasi ALT normal.
dan
Serum
Glutamic
Oksalat
Transaminase).
Anti HBs
Anti
HBc
HBeAg
Anti HBe
DNA VHB
Hepatitis Akut
(+)
(-)
IgM
(+)
(-)
(+)
Riwayat
Hepatitis B
(sembuh)
(-)
(-)
IgM
(+)atau (-)
(+)atau (-)
(+)
Imunisasi
(-)
(+)
IgG
(-)
(+)atau (-)
(-)
Hepatitis
kronis HbeAg
(+)
(+)
(-)
IgG
(+)
(-)
(+)
Hepatitis
kronis HbeAg
(-)
(+)
(-)
IgG
(-)
(+)
(+)atau (-)
Penatalaksanaan
1. Pencegahan Primer
Pemberian imunisasi hepatitis B dapat dilakukan baik
secara pasif maupun aktif. Imunisasi pasif dilakukan dengan
memberikan hepatitis B Imunoglobulin (HBIg) yang akan
memberikan perlindungan sampai 6 bulan. Imunisasi aktif
dilakukan dengan vaksinasi hepatitis B
2. Pencegahan Sekunder
a. Monitoring secara berkala terhadap penderita yang belum
memerlukan pengobatan.
b.
Pegobatan
dengan
Interferon,
Lamivudin,
Adefovir,
Manifestasi Klinis
Meskipun infeksi pertama mungkin asimtomatis (lebih dari
90% kasus) atau ringan, namun sebagian besar (diantara 50%-80%
kasus) akan menjadi kronis. Pada orang yang mengalamin infeksi
kronis, sekitar separuh dapat berkembang menjadi cirrhosis atau
kanker hati. Prevelnsi HCV berhubungan langsung dengan
Diagnosis
Antibodi terhadap HCV biasanya terdeteksi setelah 6-7 minggu
setelah virus tersebut masuk kedalam tubuh, walaupun kadang kala untuk
beberapa orang dibutuhkan tiga bulan aatu lebih. Bila tes antibodi HCV
positif, tes ulang dilakukan untuk konfirmasi. Tes konfirmasi ini dapat tes
antibodi lain atau tes PCR. Bila tes positif untuk antibodi HCV, ini berarti
pernah terkena virus tersebut pada suatu waktu. Karena kurang lebih 20%
orang yang terinfeksi HCV sembuh tanpa memakai obat biasanya setelah 6
bulan setelah terinfeksi.
7.4.
Tatalaksana
Pengobatan Hepatitis C sedini mungkin sangatlah penting.
Interferon alfa
Adalah suatu protein yang dibuat secara alami oleh tubuh
manusia untuk meningkatkan sistem daya tahan tubuh/imunitas
dan mengatur fungsi sel lainnya. Obat yang direkomendasikan
untuk penyakit Hepatitis C kronis adalah dari inteferon alfa bisa
dalam bentuk alami ataupun sintetisnya.
b.
Ribavirin
Adalah obat anti virus yang digunakan bersama interferon
alfa untuk pengobatan Hepatitis C kronis. Ribavirin bila dipakai
tunggal tidak efektif melawan virus Hepatitis C, tetapi dengan
kombinasi interferon alfa, lebih efektif daripada inteferon alfa
sendiri. Penderita dikatakan memiliki respon melawan virus jika
jumlah virus Hepatitis C begitu rendah sehingga tidak terdeteksi
pada tes standar RNA virus Hepatitis C dan jika level tersebut
tetap tidak terdeteksi selama lebih dari 6 bulan setelah pengobatan
selesai.
Pengobatan HCV biasanya berjalan selama 3-12 bulan.
Tujuan pengobatan HCV adalah untuk memberantas virus, dan
tetap bebas virus selama enam bulan setelah pengobatan selesai.
Hal ini disebut tanggapan virologi tetap (sustained virological
response / SVR).
2. Hiperkalemia
8.1 Defenisi
Disebut hiperkalemia bila kadar kalium dalam plasma lebih
5mEq/l. Dalam keadaan normal jarang terjadi hiperkalemia oleh karena
adanya mekanisme adaptasi oleh tubuh.
8.2. Etiologi
Penyebab hiperkalemia disebabkan:
1. Keluarnya kalium dari intrasel ke ekstrasel
2. Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal
karena
itu,
hipoaldostironisme
dan
penyakit
Addison
Manefestasi Klinis
Sejauh ini efek hiperkalemia yang paling penting secara klinis
adalah efeknya pada miokardium. Efek pada jantung selalu timbul jika
kadar kalium 8 mEg/L (51=8 mmol/L) atau lebih tinggi. Jika konsentrasi
kalium plasma meningkat,timbul gangguan pada konduksi jantung.
Perubahan paling dini, sering terjadi pada kadar kalium serum lebih tinggi
dari 6 mEg/L(51=6mmol/L), adalah gelombang T yang tinggi, sempit,
deprisi dan pemendekkan interval QT. Jika kadar kalium serum terus
meningkat, interval PR menjadi memanjang dan diikuti dengan
menghilangnya gelombang P. Akhirnya, terdapat dekomposisi dan
pemanjangan komplek QRS. Disritmia ventrikuler dan henti jantung
mungkin terjadi kapan saja dalam keadaan ini.
Hiperkalemia berat menyebabkan kelemahan otot skeletal dan bahkan
paralysis, yang berhubungan dengan blok depolarisasi pada otot. Sama
halnya, konduksi ventrikuler melambat. Meskipun hiperkalemia memiliki
efek yang nyata pada system neuro muskular perifer, hiperkalemia
mempunyai efek kecil pada system saraf pusat. Kelemahan yang cepat
pada muskular asenden mengakibatkan plasid kuadriplasia telah
dilaporkan terjadi pada pasien-pasien yang mengalami hiperkalemia.
8.4.
Tatalaksana
1. Mengatasi pengaruh hiperkalemia pada membran sel,dengan cara
memberikan kalsium intravena. Dalam beberapa menit kasium
langsung melindungi membran akibat hiperkalemia. Pada keadaan
hiperkalemia yang berat sambil menunggu efek insulin/ bikarbonat
yang diberikan (baru bekerja setelah 30 60 menit).Kalsium dapat
diberikan melalui tetesan infuse kalsium intravena.10 ml calcium
Quconats diberikan intravena dalam waktu 2 3 menit dengan monitor
EKG.Bila perubahan EKG akibat hiperkalemia masih ada,kalsium
2.
9.
sementara.
Pemberian Resin menular dapat diberikan peroral maupun
supositoria.
c.
Hemodialisis
Hiperkalsemia
1.1 Definisi
Hipokalsemia adalah konsentrasi serum kalsium kurang dari 8,5 mg/dl.
Ketidakmampuan untuk mengakses simpanan kalsium tulang akibat
disfungsi,
supresi,
atau
pengangkatan
kelenjar
paratiriod
dapat
Manisfestasi Klinis
Gejala
utama
hipokalsemia
adalah
peningkatan
iritabilitas
Tanda Chvostek terdiri atas kedutan pada otot yang dipersarafi oleh
saraf fasial ketika saraf tersebut ditekan sekitar 2 cm sebelah anterior
ke arah daun telinga, tepat di bawah arkus zigomatikus.
9.4.
Tatalaksana
1. Pengobatan penyebab dasar.
2. Penggantian kalsium.
Hipokalsemia simtomatik adalah kedaruratan, membutuhkan
pemberian segera kalsium intravena. Garam kalsium parenteral
termasuk kalsium glukonat, kalsium klorida dan kalsium gluseptat.
Pemberian infus intravena kalsium yang terlalu cepat dapat
menginduksi henti jantung, yang didahului oleh brakikardia.
3. Terapi vitamin D dapat dilakukan untuk meningkatkan absorbsi
ion kalsium dari traktus GI.
Antasid
hidroksida
alumunium
dapat
diresepkan
untuk
10.
membran
sel
menyebabkan
enzim
Glutamat
Definisi
Bradikardia adalah kondisi di mana jantung penderita
berdetak lebih lambat dari kondisi normal. Umumnya, detak
jantung normal pada orang dewasa saat beristirahat adalah 60
sampai 100 kali per menit. Sedangkan jantung penderita
bradikardia berdetak di bawah 60 kali per menit.
Pada beberapa orang, detak jantung yang lambat tidak
menyebabkan masalah medis. Namun pada sebagian orang lainnya,
bradikardia bisa merupakan tanda adanya gangguan sistem
kelistrikan jantung.
Bradikardia bisa menjadi penyakit serius, bahkan bisa sebabkan
kematian, jika jantung sampai tidak bisa memompa oksigen yang
cukup ke tubuh. Pada beberapa kasus, bradikardia bisa tidak
memperlihatkan gejala atau komplikasi apa pun.
Pingsan.
Pusing.
Gangguan ingatan.
Lemas.
1.2
Sulit berkonsentrasi.
Kebingungan.
Etiologi
Sesuatu yang mengganggu impuls listrik pengontrol tempo detak
jantung akan menjadi penyebab bradikardia. Banyak hal yang
menyebabkan gangguan tersebut, beberapa di antaranya adalah:
Hipotiroid.
Uji laboratorium dan tes lainnya. Dokter mungkin akan meminta pasien
menjalani tes darah untuk mengidentifikasi kondisi medis seperti
hipotiroidisme, ketidakseimbangan elektrolit, dan infeksi.
BAB III
PEMBAHASAN
pemeriksaan fisik pupil isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya
(+/+), tidak ditemukan kelemahan anggota gerak. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan Hb 3.9 g/dl; Hct 12 %; Leukosit 12,6 ribu/ul;
Eritrosit 1.38 juta/ul; PT 20.1 detik, SGOT 358 u/l, SGPT 228 u/l, Albumin ,
2.6 g/dl, Bilirubin total 5,2 mg/dl; Creatinine 14.7 mg/dl, Ureum 359
mg/dL, Protein Total 6.3, Kalium 7.2 mmol/L, Calsium ion 0.52 mmol/L.
Dari gejala klinis diatas, diperkirakan bahwa penurunan
kesadaran pada pasien bukan disebabkan oleh faktor neurologik, melainkan
disebabkan oleh faktor metabolik (ensefalopati metabolik). Secara umum,
penyebab
ensefalopati
metabolik
dibagi
menjadi
intoksikasi
obat,
toksin
Senyawa guanidine
uremik
didapatkan
adalah
senyawa
meningkat dalam
guanidine .
serum,
cairan
serebrospinal, dan otak pasien uremik. Asam-asam yang memasuki otak ini
akan mengubah fungsi pompa ion sodium natrium, meningkatkan
permeabilitas otak dan gangguan fungsi membran sehingga memungkinkan
produk-produk toksik memasuki jaringan otak. Ensefalopati uremia biasanya
diawali dengan terjadinya sindroma uremikum, yakni kumpulan tanda dan
gejala pada insufisiensi ginjal progresif dan GFR menurun hingga < 10
ml/menit (<10% dari normal) dan puncaknya pada ESRD (end stage renal
disease). Pada pasien didapatkan sindroma uremikum berupa gangguan
elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia), ganguan perdarahan (hematemesis
melena), gatal pada kulit, mual muntah, anoreksia dan penurunan berat badan.
Pasien mengaaku BAB dan muntah berwarna hitam 7 hari sebelumnya.
Konsistensi BAB lunak warna hitam kemerahan bila disiram air, berbau amis
sebanyak -1 gelas belimbing tiap kali BAB. Muntah 1-2 hari sekali warna
kehitaman bercampur makanan sebanyak -1 gelas belimbing tiap kali
muntah. Pasien biasa BAK 1-2x sehari sebanyak 100cc, warna seperti air
the. 5 bulan SMRS pasien mengaku mata terlihat kuning, kemudian 1 bulan
SMRS memberat hingga kuning seluruh tubuh. Ia merasakkan tubuhnya
mudah lelah. Perut dirasakkan semakin membesar. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan adanya kunjungtiva pucat, sclera ikterik, tubuh kuning, liver span
14cm, area traube pekak, nyeri tekan abdomen (+) di regio hypocondriaca
dextra, STLD (+). Pada pemeriksaan penunjang yakni USG terakhir pada
tanggal 28 Agustus 2016 didapatkan hepatomegali dan acites.
Dari gejala klinis yang ditemukan pada pasien, dapat dikatakan bahwa
pasien mengalami hematemesis melena. Hematemesis melena adalah suatu
kondisi di mana pasien mengalami muntah darah yang disertai dengan buang
air besar (BAB) bercampur darah dan berwarna hitam seperti ter.
Hematemesis Hematemesis melena merupakan suatu perdarahan yang terjadi
pada saluran cerna bagian atas (SCBA) berdasarkan etiologinya dapat
dikelompokkan menjadi perdarahan variceal dan non variceal. Perdarahan
variceal diantaranya disebabkan oleh varises esophagus, varises duodenum
ataupun varises lambung, biasanya disebabkan oleh hipertensi portal yang
terjadi sekunder akibat sirosis hepatis. Sifat perdarahan hematemesisnya
mendadak dan masif, tanpa didahului nyeri epigastrium. Darah berwarna
kehitaman dan tidak akan membeku karena sudah tercampur asam lambung.
Setelah hematemesis selalu disusul dengan melena. Sedangkan perdarahan
non variceal diantaranya disebabkan oleh gastropati, ulkus peptikum, gastritis
erosif, tukak duodenum ataupun sindrom Mallory-Weiss. Sifat perdarahannya
pun tidak massif. Pada pasien ini kemungkinnan terjadi perdarahan baik
variceal ataupun non variceal. Perdarahan variceal pada pasien dicetuskan
oleh adanya sirosis hepatis yang disebabkan oleh hepatitis b dan hepatitis c
kronik. Sirosis hepatis menyebabkan peningkatan tekanan porta > 10 mmHg
yang memicu terbentuknya vena kolateral pada esophagus, lambung, rectum
dan bagian anterior dinding abdomen. Apabila keadaan ini terjadi terus
menerus, menyebabkan dilatasi progresif dari vena yang pada akhirnya terjadi
ruptur dengan manifestasi perdarahan. Melena terjadi apabila terdapat
perdarahan 100 200 cc. Hematemesis terjadi apabila volume darah telah
melebihi daya tampung ambung (> 200 cc). Penggolongan child pugh pada
sirosis hati ditentukan berdasarkan pemeriksaan fisik dan lab. Dari
pemeriksaan fisik ditemukan adanya ensefalopati dan acites. Hasil
pemeriksaan laboratorium berupa peningkatan enzim transaminase (SGOT
358 u/l, SGPT 228 u/l), penurunan albumin (2.6 g/dl), peningkatan kadar
bilirubin (5,2 mg/dl) serta pemanjangan PT (20.1 sekon). Berdasarkan temuan
tersebut didapatkan nilai child pugh sebesar 13, yang tergolong dalam
kelompok sirosis hepatis child pugh C. Chil-pugh skor digunakan untuk
menilai risiko kematian perioperatif pada pasien dengan sirosis hepatis
dikaitkan dengan derajat keparahan dari sirosisnya. Child pugh C
menunjukkan gangguan yang berat pada fungsi hati, respon yang buruk pada
semua jenis operasi, kontraindikasi untuk reseksi hati dengan angka
kelangsungan hidup 60%.
Perdarahan non variceal pada pasien ini dapat disebabkan oleh
gastropati akibat neuropati otonom sebagai komplikasi dari DM yang diderita
pasien selama 6 tahun terakhir. Selain itu, kadar ureum yang tinggi pada
paasien menyebabkan peningkatan sekresi asam lambung, sehingga
menimbulkan gastritis erosif yang turut memicu terjadinya perdarahan berupa
hematemesis melena.
4 bulan SMRS pasien mengalami keluhan nyeri perut, mual muntah,
tidak mau makan, dan bicara meracau. Pasien mondok di DKT lalu dirujuk ke
RSDM dan dinyatakan gagal ginjal, rutin cuci darah 2x seminggu. 3 SMRS
pasien dinyatakan
mengidap hepatitis. Sudah 2 tahun ini pasien mengaku bahwa ia menderita
sakit gula. Ia mengatakan kerap mengkonsumsi 3 macam jenis obat yang
diminum 3x sehari. Dari pemeriksaan fisik diperoleh batas jantung kesan
melebar ke arah caudolateral, EKG menunjukkan sinus bradikardi 50x/menit,
LAD -70, Pemeriksaan laboratorium diperoleh Creatinine 14.7 mg/dl, Ureum
359 mg/dL, Protein Total 6.3, Kalium 7.2 mmol/L, Calsium ion 0.52 mmol/L.
Pada USG diperoleh parenchymal renal disease bilateral, hiperplasi prostat,
dan cystitis,
Berdasarkan gambaran klinis di atas, diperkirakan penyakit gagal ginjal
pada pasien berkaitan dengan riwayat diabetes mellitus yang telah diderita
selama 6 tahun terakhir. Nefropati Diabetika adalah komplikasi Diabetes
mellitus pada ginjal yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal. Keadaan ini
akan dijumpai pada 35-45% penderita diabetes militus terutama pada DM tipe
I. Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah
pembesaran ukuran ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan
Kondisi Ginjal
AER
LFG
TD
Hipertrofi/Hiperfungsi
Reversible
Kelainan struktur
/N
Mungkin reversible
Mikroalbuminuria persisten
20 200 mg/mnt
/N
Mungkin reversible
Makroalbuminuria
>200 mg/mnt
Rendah
Prognosis
Hipertensi
persisten
5
Uremia
Mungkin bisa
stabilsasi
Tinggi/Rendah
< 10 ml/mnt
Hipertensi
Kesintasan 2 th 50%
Ket : AER = Albumin Excretion Rate, LFG = Laju Filtrasi Glomerulus, N = Normal, TD = Tekanan Darah
Pada juga mengalami anemia normositik normokromik (Hb 3.9 g/dl; Hct 12 %;
Eritrosit 1.38 juta/ul) yang disebabkan oleh karena perdarahan akut. berupa
hematemesis
dan
melena.
Pada
pasiem
juga
ditemukan
ikterik
dan
hepatosplenomegali, air kencing berwarna seperti teh. Hal ini menandakan adanya
gangguan pada hepatobilier. Ikterik pada pasien disebabkan oleh meningkatnya
jumlah bilirubin terkonjugasi. Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi
akibat penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu. Gangguan ekskresi bilirubin
dapat disebabkan oleh kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik. Tergaggunya
ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya
kembali bilirubin ke dalam sirkulasi sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia.
Pada pasien hal ini dapat disebabkan oleh intrahepatik akibat hepatitis kronik dan
sirosis hepatis.
Hepatitis B dan hepatitis C pada pasien dapat disebabkan oleh keadaan
imunokompremaise akibat penyakit diabetes mellitus yang diderita dalam waktu
cukup lama. Pada pasien hepatitis B terdapat dalam fase Imunoaktif ditandai
dengan HbsAg (+). Terjadinya replikasi HBV yang berkepanjangan dan proses
nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi Alanine Amino Transferase
(ALT). Pada keadaan ini pasien sudah mulai kehilangan toleransi imun terhadap
HBV. Manifestasi klinis berupa ikterik, lemas, letih, penurunan nafsu makan.
Anti HCV (+) menunjukkan bahwa saat itu pasien terpapar oleh virus hepatitis C.
Pada pasien terjadi ketidakseimbangan elektrolit berupa hierkalemia dan
hipokalsemia. Hiperkalemia bila kadar kalium dalam plasma lebih 5mEq/l.
Hiperkalemia terjadi pada pasien karena adanya gagal ginjal sehingga terjadi
penurunan ekskresi kalium ginjal yang meningkatkan kadar kalium pada sirkulasi.
Perubahan paling dini, sering terjadi pada kadar kalium serum lebih tinggi dari 6
mEg/L(51=6mmol/L), adalah gelombang T yang tinggi, sempit, deprisi dan
pemendekkan interval QT. Jika kadar kalium serum terus meningkat, interval PR
menjadi memanjang dan diikuti dengan menghilangnya gelombang P. Akhirnya,
terdapat dekomposisi dan pemanjangan komplek QRS. Disritmia ventrikuler dan
henti jantung mungkin terjadi kapan saja dalam keadaan ini.
Hipokalsemia dapat terjadi karena reduksi kalsium total tubuh atau
reduksi persentase kalsium yang teronisasi. Kadar kalsium total mungkin menurun
DAFTAR PUSTAKA
Sutadi SM. Sirosis hati. Usu repository. 2003. [cited on 2011
February 23rd]. Available from : URL : http:// repository.usu.ac.id/
bitstream/ 123456789 /3386/1/ penydalam-srimaryani5.pdf
Suyono,Sufiana,Heru,Novianto,Riza,Musrifah. Sonografi sirosis
hepatis di RSUD Dr. Moewardi. Kalbe. 2006. [cited on 2011 February
23rd].
Available
from
URL
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09_150_Sonografisirosishepatis.pdf/
09_150_Sonografisirosishepatis.html
Raymon
T.Chung,
Daniel
K.Podolsky.
Cirrhosis
and
its
Glenda
N.
Gangguan
Hati,
Kandung
Available
from:
URL
http://emedicine.medscape.com/article/366426-overview
Marc S. Sabatine, Sirosis dalam Buku Saku Klinis, The
Massachusetts General Hospital Handbook of Internal Medicine, 2004,
p.106-10
David C. Dale, Daniel D.Fedeman, AMP Medicine 2007 Edition,
Washington D.C., 2007,p.IX : 1-26