Anda di halaman 1dari 64

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Penurunan Kesadaran
1.1 Definisi Penurunan Kesadaran
Kesadaran adalah suatu keadaan dimana seseorang sadar
penuh atas dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Penurunan
kesadaran atau koma menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas
otak dan sebagai final common pathway dari gagal organ seperti
kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal
otak dengan akibat kematian.
Tingkat kesadaran secara kualitatif dapat dibagi menjadi
kompos mentis, apatis, somnolen, stupor, dan koma. Kompos mentis
berarti keadaan seseorang sadar penuh dan dapat menjawab
pertanyaan tentang dirinya dan lingkungannya. Apatis berarti keadaan
seseorang tidak peduli, acuh tak acuh dan segan berhubungan dengan
orang lain dan lingkungannya. Somnolen berarti seseorang dalam
keadaan mengantuk dan cenderung tertidur, masih dapat dibangunkan
dengan rangsangan dan mampu memberikan jawaban secara verbal,
namun mudah tertidur kembali. Sopor/stupor berarti kesadaran hilang,
hanya berbaring dengan mata tertutup, tidak menunjukkan reaksi bila
dibangunkan, kecuali dengan rangsang nyeri. Koma berarti kesadaran
hilang, tidak memberikan reaksi walaupun dengan semua rangsangan
(verbal, taktil, dan nyeri) dari luar.
1.2. Menentukan penurunan kesadaran secara kuantitatif
Secara kuantitatif, kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS) yang meliputi pemeriksaan untuk
Penglihatan/ Mata (E), Pemeriksaan Motorik (M) dan Verbal (V).
Pemeriksaan ini mempunyai nilai terendah 3 dan nilai tertinggi 15.
1.3. Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk penglihatan/ mata:
E1 tidak membuka mata dengan rangsang nyeri
E2 membuka mata dengan rangsang nyeri

E3 membuka mata dengan rangsang suara


E4 membuka mata spontan
Motorik:
M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri
M2 reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeri
M3 reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri
M4 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai
sasaran
M5 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran
M6 reaksi motorik sesuai perintah
Verbal:
V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri
(none)
V2 respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)
V3 respon kata dengan rangsang nyeri (words)
V4 bicara dengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat
(confused)
V5 bicara dengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)
Jika nilai GCS 14-13 menandakan somnolen, 12-9 sopor, dan
kurang dari 8 menandakan koma.
1.2. Klasifikasi Penurunan Kesadaran
Faktor penyebab penurubab kesadaran dapat dibagi menjadi empat
golongan besar, yakni lesi supratentorial, lesi infratentorial, metabolik dan
kelainan psikiatrik.
Ensefalopati metabolik adalah gangguan neuropsikiatrik akibat
penyakit metabolik otak (Dorland, 2010). Ensefalopati metabolik adalah
pengertian umum keadaan klinis yang ditandai dengan :
1.
2.
3.
4.

Penurunan kesadaran sedang sampai berat


Gangguan neuropsikiatrik : kejang, lateralisasi
Kelainan fungsi neurotransmitter otak
Tanpa disertai tanda-tanda infeksi bakterial yang jelas
Secara umum, penyebab ensefalopati metabolik dibagi menjadi

intoksikasi obat atau ketergantungan obat, abnormalitas elektrolit dan


glukosa, disfungsi organ mayor (seperti hepar, ginjal, paru, dan endokrin),

defisiensi nutrisi, terpapar terhadap toksin,sindrom paraneoplastik (Varelas


& Graffagrino, 2013).
Tabel 1.1 Etiologi Ensefalopati Metabolik (Suspanc, Vargek-solter, & Demarin,
2003)
Hipoksia
Iskemia

Penyakit Sitemik

Agen Toksik

1.3.

Etiologi
- Anemia
- Penyakit Paru
- Hipoventilasi alveolar
- Penyakit kardiovaskuler (termasuk cardiac arrest)
- Aritmia
- Penyakit mikrovaskular
- Hipotensi
- Hipertensi
- Penyakit hepar
- Penyait ginjal
- Penyait pankratikus
- Malnutrisi (defisiensi vitamin)
- Disfungsi endokrin (hipoglikemia atau hiperglikemia dan keadaan
-

hiperosmolar)
Gangguan keseimbangan cairan, asam basa, dan elektrolit
Vaskulitis
Infeksi dan sepsis
Keganasan (Sindrom paraneoplastik)
Alkohol, sedatif (barbiturat, narkotik, da obat penenang)
Pengobatan
psikiatri
(antidepresan
trisiklik,
obat-obat

antikolinergik, Fenotiazin, MAO Inhibitor


Logam berat
Organofosfat, bensin
Obat-obat lain (Kortikosteroid, penisilin, anti konvulsan)

Patofisiologi
Berbagai mekanisme dapat berkontribusi terhadap terjadinya ensefalopati,

namun faktor toksik, anoksik, dan metabolik merupakan mekanisme tersering dan
signifikan.
Hipoksia
Neuron membutuhkan suplai oksigen dan glukosa untuk mempertahankan
gradien neurotransmitter dan ion. Perubahan tekanan oksigen memiliki efek yang
cepat dan langsung pada saluran ion membran yang sebagian terkait dengan
fosforilasi. Beberapa saluran ion mengalami down regulation untuk mengurangi

saluran ion dan mengurangi kebutuhan energi selular. Beberapa saluran ion
mengalami up regulation yang menimbulkan depolarisasi dan kematian sel.
Hiperkapnia dan hipokapnia
. Hiperkapnia dapat menyebabkan vasodilatasi serebral dan peningkatan
tekanan cairan serebrospinal. Sedangkan hipokapnia yang terjadi akibat
hiperventilasi dapat menimbulkan vasokonstriksi serebral, penurunan ketersediaan
oksigen, dan perubahan keseimbangan ion kalsium. Hal ini dapat menyebabkan
penurunan kesadaran, tremor, gangguan penglihatan dan palpitasi. Adapun
kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan terjadi hiperventilasi diantaranya koma
hepatikum, lesi batang otak, dan penyait kardiopulmoner tertentu (Teresa & Chua,
2010).
Gangguan homeostasis glukosa
Glukosa diperlukan bagi fungsi neuronal. Penyaluran glukosa, laktat,
maupun piruvat ke otak memerlukan transport spesifik tertentu berupa GLUTS
dan MCTs. Jumlah dari molekul transporter tersebut membatasi penetrasi glukosa
ke dalam sel. GLUT 1 terletak pada daerah sawar otak dan GLUT 3 terletak pada
membran neuronal (Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
Sebagaimana pada kondisi hipoksia dan iskemia, hipoglikemia juga
menginduksi terjadinya kerusakan otak. Untuk dapat mempertahankan gradien
neurotransmitter dan ion, neuron membutuhkan suplai glukosa dan oksigen secara
konstan. Apabila terjadi hipoglikemik, maka terjadilah gangguan pada gradien
neurotransmitter dan ion.
Gangguan metabolisme asam-basa
Konsentrasi pottasium ekstraselular otak memiliki efek besar terhadap
eksitabilitas serebral, tetapi gangguan serebral amat jarang pada pasien
hiperkalemia ataupun hipokalemia. Deplesi pottasium dapat mengakibatkan
kelemahan otot. Pada kasus yang berat, kelemahan otot mengalami progresi
menjadi kuadripegia, gagal nafas mirip dengan Guillan Barre syndrome. (Teresa
& Chua, 2010).
Kalsium merupakan kation ekstraselular utama. Kadar kalsium serum baik
rendah maupun tinggi dapat menimbulkan gangguan neurologis. Secara umum

gejala neurologis berhubungan dengan kadar kalsium terionisasi dengan jumlah


2,5 mg/dl atau kurang.
Hepatic encephalopathy
Kerusakan hati baik akut maupun kronik aka menginisisasi terjadinya
serangkaian keluhan neuropsikiatrik yang disebut dengan ensefalopati hepatik.
Terdapat 2 faktor terpenting pada patogenesis ensefalopati yakni peningkatan
konsentrasi amonia pada plasma maupun otak. Di otak, amonia akan diubah
menjadi glutamine yang siklusnya berjalan dari astrosit sampai neuron, dan
selanjutnya akan diubah menjadi glutamate. Setelah pelepasan glutamate ke celah
sinaptik, reuptake terjadi pada astrosit. Penurunan konsumsi oksigen dan
metabolisme glukosa terjadi secara sekunder pada ensefalopati hepatikum
(Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
Gagal ginjal
Sejauh ini, ensefalopati tersebut bisa muncul akibat uremia. Terjadi
akumulasi asam organik toksik pada sistem saraf pusat. Asam-asam yang
memasuki otak ini akan mengubah fungsi pompa ion sodium natrium. Aliran
darah serebral juga menunjukkan defek pada penggunaan oksigen. Defek ini
mungkin muncul karena peningkatan permeabilitas otak dan gangguan fungsi
membran sehingga memungkinkan produk-produk toksik memasuki jaringan otak
(Suspanc, Vargek-solter, & Demarin, 2003).
1.4.

Tatalaksana
Penanganan ensefalopati meliputi menstabilkan pasien dan cepat

mengobati kondisi yang mendasari yang menyebabkan terjadinya ensefalopati dan


memberikan perawatan suportif. Pada pasien dalam keadaan koma, maka
diperlukan tindakan emergensi umum meliputi (Bates,2003; Sumantri, 2009):
1.
2.

Menjaga jalan napas (airway)


Amankan oksigenasi
Pasien koma idealnya harus mempertahankan PaO2 lebih tinggi dari
100mmHg dan PaCO2 antara 35 dan 40mmHg.

3.

Pertahankan sirkulasi

Pertahankan tekanan darah arterial rerata (mean arterial pressure/MAP;


1/3 sistolik + 2/3 diastolik) antara 70 dan 80mmHG dengan
mempergunankan obat-obatan hipertensif dan atau hipotensif seperlunya.
Secara umum, hipertensi tidak boleh diterapi langsung kecuali tekanan
diastolik di atas 120mmHg.
4.

Ukur kadar glukosa


Kadar glukosa harus dipertahankan secara ketat antara 80 dan 110mg/dL,
Infus glukosa dan air (dekstrosa 5% atau 10%) sangat disarankan untuk
diberikan sampai situasi stabil.

5.

Hentikan kejang
Kejang umum dapat diterapi dengan lorazepam (sampai 0,1mg/kg) atau
diazepam (0,1-0,3mg/kg) intravena.

6.

Perbaiki keseimbangan asam basa


Pada keadaan asidosis atau alkalosis metabolik, kadar pH biasanya akan
kembali ke keadaan normal dengan memperbaiki penyebabnya sesegera
mungkin karena asidosis metabolik dapat menekan fungsi jantung dan
alkalosis metabolik dapat mengganggu fungsi pernapasan.
7.

Sesuaikan suhu tubuh


Suhu tubuh di atas 38,5C pada pasien hipertermia harus diturunkan
dengan menggunakan antipiretik. Hipotermia signifikan (di bawah 34C)
dihangatkan secara bertahap untuk mempertahankan suhu tubuh di atas
35C.

8.

Pemberian antidotum spesifik


Banyak pasien datang ke unit gawat darurat dalam keadaan koma yang
disebabkan oleh overdosis obat-obatan. Salah satu diantara sekian banyak
obat-obatan sedatif, alkohol, opioid, penenang, opioid dan halusinogen
dapat dikonsumsi tunggal atau dengan kombinasi.
Tabel 2.2 Antidotum dan indikasi pemakaian (Sumantri, 2009)

Antidotum
Nalokson
Flumazenill
Fisostigmin

Indikasi
Overdosis opioid
Overdosis benzodiazepine
Overdosis
antikolinergik

(gamma-

hidroksibutirat)
Keracunan metanol, etilen glikol
Overdosis trisiklik
Overdosis sianida
Hipoglikemia karena sulfonilurea

Fomepizol
Glukagon
Hidroksokobalamin
Okreotid

2. Hematemesis Melena
2.1 Definisi
Hematemesis melena adalah suatu kondisi di mana pasien mengalami
muntah darah yang disertai dengan buang air besar (BAB) bercampur darah
dan berwarna hitam. Hematemesis melena merupakan suatu perdarahan yang
terjadi pada saluran cerna bagian atas (SCBA) dan merupakan keadaan gawat
darurat yang sering dijumpai di tiap rumah sakit di seluruh dunia termasuk
Indonesia. Pendarahan dapat terjadi karena pecahnya varises esofagus,
gastritis erosif atau ulkus peptikum.
2.2 Etiologi
Beberapa penyebab timbulnya hematemesis melena :
1. Kelainan di esophagus
a. Pecahnya varises esophagus
Perdarahan varises secara khas terjadi mendadak dan masif,
kehilangan darah gastrointestinal kronik jarang ditemukan. Perdarahan
varises esofagus atau lambung biasanya disebabkan oleh hipertensi
portal yang terjadi sekunder akibat sirosis hepatis. Sifat perdarahan
hematemesisnya

mendadak

dan

masif,

tanpa

didahului

nyeri

epigastrium. Darah berwarna kehitaman dan tidak akan membeku


karena sudah tercampur asam lambung. Setelah hematemesis selalu
disusul dengan melena.
b. Karsinoma esophagus
Karsinoma esophagus lebih sering menunjukkan keluhan
melena daripada hematemesis. Pasien juga mengeluh disfagia, badan
mengurus dan anemis.
c. Sindrom Mallory-Weiss

Riwayat medis ditandai oleh gejala muntah tanpa isi (vomitus


tanpa darah). Karena laserasi aktif disertai ulserasi, maka timbul
perdarahan. Sifat perdarahan hematemesis tidak masif, timbul setelah
pasien berulangkali muntah hebat, lalu disusul rasa nyeri di
epigastrium.
d. Esofagitis dan tukak esophagus
Esofagitis yang menimbulkan perdarahan lebih sering bersifat
intermiten atau kronis, biasanya ringan, sehingga lebih sering timbul
melena daripada hemetemesis.
2. Kelainan di lambung
a. Gastritis erosiva hemoragika
Penyebab terbanyak adalah akibat obat-obatan yang mengiritasi
mukosa lambung atau obat yang merangsang timbulnya tukak
(ulcerogenic drugs). Misalnya obat-obat golongan salisilat seperti
Aspirin, Ibuprofen, obat bintang tujuh dan lainnya. Obat-obatan lain
yang juga dapat menimbulkan hematemesis yaitu : golongan
kortikosteroid, butazolidin, reserpin, spironolakton dan lain-lain.
b.

Tukak lambung
Tukak lambung lebih sering menimbulkan perdarahan terutama

di angulus dan prepilorus bila dibandingkan dengan tukak duodeni.


Biasanya sebelum hematemesis dan melena, pasien mengeluh nyeri dan
pedih di ulu hati selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.. Sifat
hematemesis tidak begitu masif, lalu disusul melena
3. Kelainan di duodenum
a. Tukak duodeni
Tukak duodeni yang menyebabkan perdarahan panendoskopi
terletak di bulbus. Sebagian pasien mengeluhkan hematemesis dan
melena.Sebelum perdarahan, pasien mengeluh nyeri dan pedih di perut
atas agak ke kanan. Keluhan ini juga dirasakan waktu tengah malam
saat sedang tidur pulas sehingga terbangun.

b. Karsinoma papilla Vateri


Karsinoma papilla Vateri merupakan penyebaran karsinoma di
ampula menyebabkan penyumbatan saluran empedu dan saluran
pancreas yang umumnya sudah dalam fase lanjut. Gejala yang timbul
selain kolestatik ekstrahepatal, juga dapat menimbulkan perdarahan
tersembunyi (occult bleeding), sangat jarang timbul hematemesis.
2.3 Patofisiologi
Untuk

mencari

penyebab

perdarahan

saluran

cerna

dapat

dikembalikan pada faktor-faktor penyebab perdarahan, yaitu:


1. Faktor pembuluh darah (vasculopathy) seperti pada tukak peptik, pecahnya
varises esophagus
2. Faktor trombosit (trombopathy) seperti pada Idiopathic Thrombocytopenia
Purpura (ITP)
3. Faktor kekurangan zat pembekuan darah (coagulopathy) seperti pada
hemophilia, sirosis hati, dan lain-lain
Khusus pada pecahnya varises esophagus ada 2 teori :
1. Teori erosi

pecahnya pembuluh darah karena

erosi dari makanan kasar (berserat tinggi dan kasar) atau


konsumsi NSAID
2. Teori erupsi :

karena tekanan vena porta terlalu

tinggi, atau peningkatan tekanan intraabdomen yang tibatiba karena mengedan, mengangkat barang berat, dan lainlain.
2.4 Manifestasi Klinis
Gejala terjadi akibat perubahan morfologi dan lebih menggambarkan
beratnya kerusakan yang terjadi dari pada etiologinya. Didapatkan gejala dan
tanda sebagai berikut :
1. Gejala-gejala intestinal yang tidak khas seperti anoreksia, mual, muntah
dan diare.
2. Demam, berat badan turun, lekas lelah.
3. Ascites,edema

4. Ikterus, kadang-kadang urin menjadi lebih tua warnanya atau kecoklatan


5. Hepatomegali, bila telah lanjut hati dapat mengecilkarena fibrosis. Bila
secara klinis didapati adanya demam, ikterus dan asites, dimana demam
bukan oleh sebab-sebab lain, ditambahkan sirosis dalam keadaan aktif.
Hati-hati akan kemungkinan timbulnya prekoma dan koma hepatikum.
6. Kelainan pembuluh darah seperti kolateral-kolateral didinding, koput
medusa, wasir dan varises esofagus.
7. Kelainan endokrin yang merupakan tanda dari hiperestrogenisme yaitu:
a. Impotensi, atrosi testis, ginekomastia, hilangnya rambut axila dan
pubis.
b. Amenore, hiperpigmentasi areola mamae
c. Spider nevi dan eritema
d. Hiperpigmentasi
2.5 Diagnosis
1. Anamnesis
a. Sejak kapan terjadi perdarahan, perkiraan jumlah, durasi dan frekuensi
perdarahan
b. Riwayat perdarahan sebelumnya dan riwayat perdarahan dalam
keluarga
c. Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain
d. Riwayat muntah berulang yang awalnya tidak berdarah (Sindrom
Mallory-Weiss)
e. Konsumsi jamu dan obat (NSAID dan antikoagulan yang menyebabkan
nyeri atau pedih di epigastrium yang berhubungan dengan makanan)
f. Kebiasaan minum alkohol (gastritis, ulkus peptic, kadang varises)
g. Kemungkinan penyakit hati kronis, demam dengue, tifoid, gagal ginjal
kronik, diabetes mellitus, hipertensi, alergi obat
h. Riwayat tranfusi sebelumnya
2. Pemeriksaan fisik
Langkah awal adalah menentukan berat perdarahan dengan fokus
pada status hemodinamik, pemeriksaannya meliputi:
a. Tekanan darah dan nadi posisi baring
b. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
c. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin)

d. Kelayakan napas dan tingkat kesadaran


e. Produksi urin
Perdarahan akut dalam jumlah besar (> 20% volume intravaskuler)
mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda:
a. Hipotensi (<90/60 mmHg atau MAP <70 mmHg) dengan frekuensi nadi
b.
c.
d.
e.
f.

> 100 x/menit


Tekanan diastole ortostatik turun >10 mmHg, sistole turun >20 mmHg.
Frekuensi nadi ortostatik meningkat >15 x/menit
Akral dingin
Kesadaran turun
Anuria atau oligouria (produksi urin <30 ml/jam)
Khusus untuk penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi) perlu

dilakukan evaluasi jumlah perdarahan, dengan criteria:


Perdarahan (%)
<8
8 15
15 25
25 40
>40

Keadaan hemodinamik
Hemodinamik stabil
Hipotensi ortostatik
Renjatan (syok)
Renjatan + penurunan kesadaran
Moribund (physiology futility)

Selanjutnya pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan adalah:


a. Stigmata penyakit hati kronis (ikterus, spider naevi, ascites,
splenomegali, eritema palmaris, edema tungkai)
b. Colok dubur karena warna feses memiliki nilai prognostik
c. Aspirat dari nasogastric tube (NGT) memiliki nilai prognostik
mortalitas dengan interpretasi :
1) Aspirat putih keruh : perdarahan tidak aktif
2) Aspirat merah marun : perdarahan masif (mungkin perdarahan arteri)
d. Suhu badan dan perdarahan di tempat lain
e. Tanda kulit dan mukosa penyakit sistemik yang bisa disertai perdarahan
saluran cerna (pigmentasi mukokutaneus pada sindrom Peutz-Jeghers)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes darah : darah perifer lengkap, cross-match jika diperlukan tranfusi
b. Hemostasis lengkap untuk menyingkirkan kelainan faktor pembekuan
primer atau sekunder : CTBT, PT/PPT, APTT
c. Elektrolit : Na, K, Cl
d. Faal hati : cholinesterase, albumin/ globulin, SGOT/SGPT
e. EKG& foto thoraks: identifikasi penyakit jantung (iskemik), paru
kronis

f. Endoskopi : gold standart untuk menegakkan diagnosis dan sebagai


pengobatan endoskopik awal. Selain itu juga memberikan informasi
prognostik dengan mengidentifikasi stigmata perdarahan
2.6 Tatalaksana
Pengobatan penderita perdarahan saluran cerna bagian atas harus
sedini mungkin dan sebaiknya dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan
pengawasan yang teliti dan pertolongan yang lebih baik. Pengobatan
penderita perdarahan saluran cerna bagian atas meliputi:
1. Pengawasan dan pengobatan
a. Penderita

harus

diistirahatkan

mutlak

b. Penderita dipuasakan selama perdarahan masih berlangsung dan bila


perdarahan berhenti dapat diberikan makanan cair. Infus cairan langsung
dipasang

dan diberikan larutan garam fisiologis NaCl 0,9 % selama

belum tersedia darah.


c. Pengawasan

terhadap

tekanan

darah, nadi, kesadaran penderita

dan bila perlu dipasang CVP monitor.


d. Transfusi
dan

darah

diperlukan

mempertahankan

untuk

kadar

mengganti

hemoglobin

darah yang hilang

50 - 70 % nilai normal.

e. Pemberian obat-obatan hemostatik seperti vitamin K 4x10mg/hari,


karbasokrom

(Adona AC),

antagonis (simetidin

atau

antasida dan golongan H2


ranitidin)

reseptor

berguna untuk menanggulangi

perdarahan
f. Dilakukan klisma atau lavemen dengan air biasa disertai
antibiotika

yang

tidak

diserap

oleh

pemberian

usus, sebagai tindakan

sterilisasi usus. Tindakan ini dilakukan untuk

mencegah terjadinya

peningkatan produksi amoniak oleh bakteri usus dan ini dapat


menimbulkan ensefalopati hepatik.
2. Pemasangan pipa nasogastrik
Tujuan pemasangan
cairan

pipa naso gastrik adalah untuk aspirasi

lambung, lavage (umbah

lambung)

dengan

air , dan

pemberian obat-obatan. Pemberian air pada kumbah lambung akan


menyebabkan

vasokontriksi

lokal sehingga

diharapkan terjadi

penurunan

aliran darah di mukosa lambung, dengan demikian

perdarahan

akan

berulang

berhenti. Umbah

kali memakai air

lambung ini akan dilakukan

sebanyak 100- 150 ml sampai cairan

aspirasi berwarna jernih dan bila perlu tindakan ini dapat


setiap 1 - 2 jam. Pemeriksaan

endoskopi

diulang

dapat segera dilakukan

setelah cairan aspirasi lambung sudah jernih.


3. Pemberian pitresin (vasopresin)
Pitresin
pitresin

per

mempunyai

efek

vasokoktriksi, pada

pemberian

infuse akan mengakibatkan kontriksi pembuluh darah

dan splanknikus sehingga menurunkan tekanan vena porta, dengan


demikian diharapkan perdarahan varises dapat berhenti.
1.7 Komplikasi
a. Encelofati
b. Asites
c. Sirosis Hepatis
d. Koma hepatik (suatu sindrom neuropsikiatrik yang ditandai dengan
perubahan kesadaran, penurunan intelektual, dan kelainan neurologis
yang menyertai kelainan parenkim hati)
e. Syok hipovolemik (kehilangan volume darah sirkulasi sehingga curah
jantung dan tekanan darah menurun)
f.

Aspirasi pneumoni (infeksi paru yang terjadi akibat cairan yang masuk
saluran napas)

g. Anemi posthemoragik (kehilangan darah yang mendadak dan tidak


disadari).
3. Sirosis Hepatis
3.1.Definisi :
Istilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata
Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow). Sirosis hati dapat dikatakan
sebagai berikut yaitu suatu keadaan disorganisassi yang difuse dari struktur hati

yang normal akibat nodul regeneratif yang dikelilingi jaringan mengalami


fibrosis.
3.2.Etiologi
1. Virus hepatitis (B,C,dan D)
2. Alkohol
3. Kelainan metabolik : Hemakhomatosis, Penyakit Wilson, Defisiensi Alphalantitripsin,

Glikonosis

type-IV,

Galaktosemia,

Tirosinemia
4. Kolestasis Saluran empedu
5. Sumbatan saluran vena hepatica : Sindroma Budd-Chiari, Payah jantung
6. Gangguan Imunitas (Hepatitis Lupoid)
7. Toksin dan obat-obatan (misalnya : metotetrexat, amiodaron,INH)
8. Kriptogenik
9. Malnutrisi

3.3.Patofisiologi
Mekanisme yang terjadi pada sirosis hepatis antara lain kematian
sel-sel hepatosit, regenerasi, dan fibrosis progresif. Sirosis hepatis pada
mulanya berawal dari kematian sel hepatosit yang disebabkan oleh
berbagai macam faktor. Sebagai respons terhadap kematian sel-sel
hepatosit, maka tubuh akan melakukan regenerasi terhadap sel-sel yang
mati tersebut. Dalam kaitannya dengan fibrosis, hepar normal mengandung
kolagen interstisium (tipe I, III, dan IV) di saluran porta, sekitar vena
sentralis, dan kadang-kadang di parenkim. Pada sirosis, kolagen tipe I dan
III serta komponen lain matriks ekstrasel mengendap di semua bagian

lobulus dan sel-sel endotel sinusoid kehilangan fenestrasinya. Juga terjadi


pirau vena porta ke vena hepatika dan arteri hepatika ke vena porta. Proses
ini pada dasarnya mengubah sinusoid dari saluran endotel yang berlubang
dengan pertukaran bebas antara plasma dan hepatosit, menjadi vaskular
tekanan tinggi, beraliran cepat tanpa pertukaran zat terlarut.
3.4.Dasar Diagnosis
Minimal 5 dari manifestasi (kriteria Haryono-Subandiri) :
Hepatoseluler

Hipertensi Portal

- Sklera ikterik

- Varices Oesofagus

- Spider nevi

- Splenomegali

- Ginecomastia

- Kolateral dinding perut

- Atrofi Testis

- Acites

- Palmar Eritem

- Hemoroid

Tabel 1. Manifestasi Klinis Sirosis Hepatis


3.4.Klasifikasi Sirosis
a. Fungsional
1. Sirosis hati kompensata : belum terlihat gejala-gejala yang nyata.
Biasanya stadium ini ditemukan pada saat pemeriksaan screening.
2. Sirosis hati Dekompensata : dikenal dengan Active Sirosis hati, dan
stadium ini biasanya gejala-gejala sudah jelas, misalnya ; ascites,
edema dan ikterus
b.Klasifikasi Morfologik
1. Makronoduler (Ireguler, multilobuler)

2. Mikronoduler (reguler, monolobuler)


3. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler
3.4.Komplikasi
1. Hipertensi Portal
2. Asites
3. Peritonitis Bakterial Spontan. Komplikasi ini paling sering dijumpai yaitu
infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder
intra abdominal. Biasanya terdapat asites dengan nyeri abdomen serta
demam.
4. Varises esophagus dan hemoroid. Varises esophagus merupakan salah satu
manifestasi hipertensi porta yang cukup berbahaya. Sekitar 20-40% pasien
sirosis dengan varises esophagus pecah menimbulkan perdarahan4.
5. Ensefalopati Hepatik. Ensefalopati hepatic merupakan kelainan neuropsikiatri
akibat disfungsi hati. Mula-mula ada gangguan tidur kemudian berlanjut
sampai gangguan kesadaran dan koma
6. Sindroma Hepatorenal. Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi
ginjal akut berupa oligouri, peningkatan ureum, kreatinin, tanpa adanya
kelainan organic ginjal.
3.5.Tatalaksana :

Asites
1. Tirah baring
2. Diet rendah garam : sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari
3. Diuretic : spiroolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretic
bisa dimonitor dengan penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa
edem kaki) atau 1,0 kg/hari (dengan edema kaki).
Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat, dapat
dikombinasi dengan furosemide 20-40 mg/hari (dosis
max.160 mg/hari)
4. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar (4-6 liter),
diikuti dengan pemberian albumin.

Peritonitis Bakterial Spontan


Diberikan antibiotik glongan cephalosporin generasi III seperti
cefotaksim secara parenteral selama lima hari atau quinolon
secara oral. Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk
profilaksis dapat diberikan norfloxacin (400 mg/hari) selama
2-3 minggu.

Varises Esofagus
1. Sebelum dan sesudah berdarah, bisa diberikan obat
penyekat beta (propanolol)
2. Waktu

perdarahan

akut,

bisa

diberikan

preparat

somatostatin atau okreotid, diteruskan dengan tindakan


skleroterapi atau ligasi endoskopi

Ensefalopati Hepatik
1. Laktulosa untuk mengeluarkan ammonia
2. Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil
ammonia
3. Diet rendah protein 0,5 gram.kgBB/hari, terutama
diberikan yang kaya asam amino rantai cabang

Sindrom Hepatorenal
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk SHR.
Oleh karena itu, pencegahan terjadinya SHR harus mendapat
perhatian utama berupa hindari pemakaian diuretic agresif,
parasentesis asites, dan restriksi cairan yang berlebihan.

3.6.Prognosis
Klasifikasi Child Pug
Chil-pugh skor digunakan untuk menilai risiko kematian perioperatif pada
pasien dengan sirosis hepatis dikaitkan dengan derajat keparahan dari
sirosisnya. Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan
Child A,B, dan C berturut-turut 100%,80%, 60%

Tabel 2.2. Klasifikasi Child Pugh


Intepretasi :
- Class A : tanpa gangguan fungsi hati, respon normal untuk semua operasi,
kemampuan regenerasi hati normal
- Class B : ada beberapa gangguan pada fungsi hati, tidak ada perubahan
respon pada semua jenis operasi, terdapat keterbatasan regenerasi hati dan
merupakan kontraindikasi untuk reseksi hati yang luas
- Class C : gangguan yang berat pada fungsi hati, respon yang buruk pada
semua jenis operasi, kontraindikasi untuk reseksi hati.

4. Diabetes Melitus Tipe II


3.1.

Definisi
Diabetes Mellitus Tipe II merupakan penyakit hiperglikemi
akibat insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin
sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin
tetap di hasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus
tipe II dianggap sebagai non insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) (Corwin, 2001).

3.2.

Etiologi
Menurut Smeltzer & Bare (2002) DM tipe II disebabkan
kegagalan relatif sel dan resisten insulin. Resisten insulin adalah
turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi
glikosa oleh hati. Sel tidak mampu mengimbangi resistensi
insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defensiensi relatif insulin.

3.3.

Faktor resiko
Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe II

(Smeltzer & Bare, 2002) antara lain:


a. Kelainan genetik
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang
mengidap diabetes, karena gen yang mengakibatkan tubuh tak
dapat menghasilkan insulin dengan baik.
b. Usia
DM tipe II sering muncul setelah usia 30 tahun ke atas dan
pada mereka yang berat badannya berlebihan sehingga
tubuhnya tidak peka terhadap insulin.
c. Gaya hidup stress
Stres kronis cenderung membuat seseorang makan makanan
yang

manis-manis

untuk

meningkatkan

kadar

lemak

seretonin otak. Seretonin ini mempunyai efek penenang


sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi gula dan lemak
berbahaya bagj mereka yang beresiko mengidap penyakit
DM tipe II.
d. Pola makan yang salah
Pada penderita DM tipe II terjadi obesitas (gemuk
berlebihan) yang dapat mengakibatkan gangguan kerja
insulin (resistensi insulin).

3.4.

Manifestasi Klinis
Menurut Pusat Diabetes dan Nutrisi Sutomo (2004), gejala
klinis khas seperti poliuria (banyak kencing), polidipsia (banyak
minum), polifagia (banyak makan), rasa lemas dan turunnya berat
badan merupakan petunjuk yang penting dalam mendiagnosa
diabetes mellitus. Hal yang sering menyebabkan pasien datang
berobat ke dokter dan kemudian mendiagnosa sebagai diabetes
mellitus ialah keluhan-keluhan berikut:
-Keluhan kulit: gatal-gatal, bisul
- Kelainan ginekologis : keputihan
- Kesemutan: rasa gatal
- Kelemahan tubuh
- Luka atau bisul yang tidak sembuh-sembuh
- Infeksi saluran kemih
Kelainan kulit berupa gatal-gatal, biasanya terjadi didaerah
genital ataupun lipatan kulit seperti didaerah ketiak dan dibawah
payudara, biasanya akibat tumbuhnya jamur. Sering pula
dikeluhkan timbulnya bisul-bisul atau luka yang lama yang tidak
mau sembuh. Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele seperti:
luka lecet karena sepatu, tertusuk peniti dan sebagainya. Pada
wanita,

keputihan

merupakan

salah

satu

keluhan

yang

menyebabkan pasien datang kedokter ahli kebidanan dan sesudah


diperiksa ternyata diabetes mellitus yang menjadi latar belakang
keluhan tersebut. Juga dalam hal ini, jamur terutama Candida,
merupakan penyebab tersering timbulnya keluhan keputihan ini.
Rasa kebas dan kesemutan akibat sudah terjadinya neuropati,
merupakan juga keluhan pasien, disamping keluhan lemah dan
mudah merasa lelah. Pada pasien lakilaki terkadang timbul
keluhan impotensi yang menyebabkan pasien tersebut dating
berobat kedokter

3.5.

Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis diabetes mellitus pada pasien
dengan keluhan khas (poliuria, polidipsia dan penurunan berat
badan) cukup dilakukan dengan pemeriksaan kadar glukosa
darah. Apabila kadar glukosa darah kapiler pada waktu puasa >
120 mg/dl atau 2 jam sesudah makan > 200 mg/dl setelah diberi
beban glukosa oral 75 gram, maka pasien tersebut dinyatakan
menderita diabetes mellitus. Mereka yang tidak mempunyai
keluhan khas, tetapi menunjukkan hasil pemeriksaan kadar gula
darah > 200 mg/dl masih memerlukan pemeriksaan paling sedikit
sekali.

3.6.

Terapi
Gambar 2.1. Alogaritma Terapi DM Tipe 2
3.7.

Komplikasi

Kardiopati. Diabetes dapat meningkatkan risiko beragam masalah


kardiovaskular lainnya, termasuk penyakit arteri koroner dengan
nyeri di dada (angina), sakit jantung, stroke, menyempitnya arteri
(aterosklerosis), dan tekanan darah tinggi.

Neuropati. Gula yang berlebihan dapat membahayakan pembuluh


darah kecil (kapiler) yang menutrisi saraf Anda, terutama di kaki.
Ini dapat menyebabkan kesemutan, mati rasa, terbakar atau nyeri
dari ujung kaki dan menjalar ke atas. Gula darah yang tidak
terkontrol dengan baik menyebabkan Anda dapat mati rasa di kaki
salah satu atau kedua kaki. Kerusakan saraf yang mempengaruhi
saluran pencernaan dapat menyebabkan beberapa masalah seperti
mual, muntah, diare, atau sembelit. Untuk pria, masalah tersebut
bisa berupa disfungsi ereksi.

Nefropati. Ginjal mengandung banyak gugusan pembuluh darah


yang menyaring limbah dari darah Anda. Diabetes dapat
membahayakan sistem penyaringan yang halus ini. Beberapa
kerusakan dapat mengakibatkan gagal ginjal atau penyakit ginjal
stadium akhir yang dapat dipulihkan, namun ini membutuhkan
dialisis atau transplantasi ginjal.

Kerusakan Mata. Diabetes dapat membahayakan jaringan darah


di retina (diabetes retinopati), dan berkemungkinan menyebabkan
kebutaan. Diabetes juga dapat meningkatkan kerusakan berat
pada penglihatan, seperti katarak dan glaukoma.

Kerusakan kaki. Kerusakan saraf atau aliran darah di kaki dapat


meningkatkan risiko komplikasi kaki. Jika tidak dirawat, goresan
dan luka di kaki dapat menjadi infeksi serius, yang susah diobati
dan dapat berakibat amputasi kaki.

Kondisi

Mulut

dan

Kulit. Menderita

diabetes

dapat

mengakibatkan Anda rentan terhadap masalah kulit, termasuk


infeksi bakteri dan jamur.

Komplikasi Kehamilan. Kadar gula yang tinggi dapat berbahaya


bagi anak dan bayi. Anda mempunyai risiko yang tinggi untuk
keguguran, kelahiran, dan cacat lahir jika kadar gula Anda tidak
dikontrol dengan baik. Untuk sang ibu, diabetes dapat
meningkatkan

risiko

akan

ketoasidosis

diabetik,

diabetes

retinopati, kehamilan darah tinggi, dan preeklamasia.


5. Diabetes Kidney Disease (DKD) Stage V
4.1 Definisi
Nefropati Diabetika adalah komplikasi Diabetes mellitus pada ginjal yang
dapat berakhir sebagai gagal ginjal. Keadaan ini akan dijumpai pada 35-45%
penderita diabetes militus terutama pada DM tipe I. Hipertensi merupakan
suatu tanda telah adanya komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler pada
Diabetes. Pasien - pasien diabetes tipe II sering mempunyai tekanan darah
lebih tinggi atau sama dengan 150/90mmHg. Beberapa penelitian klinik
menunjukkan hubungan erat tekanan darah dengan kejadian serta mortalitas
kardiovaskuler, progresifitas nefropati, dan retinopati (kebutaan).
4.2. Etiologi.
Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari
penyakit DM dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung
terjadinya Nefropati Diabetika. Hipertensi yang tak terkontrol dapat
meningkatkan progresifitas untuk mencapai fase Nefropati Diabetika yang
lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika).
4.3. Faktor Risiko

Tidak semua pasien DM tipe I dan II berakhir dengan Nefropati Diabetika.


Dari studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor resiko
antara lain:
1. Hipertensi dan prediposisi genetika
2. Kepekaan (susceptibility) Nefropati Diabetika
a. Antigen HLA (human leukosit antigen)
Kelompok penderita diabetes dengan nefropati lebih sering
mempunyai Ag tipe HLA-B9
b.Glukose trasporter (GLUT)
Setiap penderita DM yang mempunyai GLUT 1-5 mempunyai
potensi untuk mendapat Nefropati Diabetik.
4. Hiperglikemia
5.

Konsumsi protein hewani

4.4. Patofisiologi
Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah
pembesaran ukuran ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan
direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus membawa natrium, bersamaan
dengan efek insulin yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium, akan
menyebabkan volume ekstrasel meningkat, terjalah hiperfiltrasi. Pada
diabetes, arteriole eferen, lebih sensitive terhadap pengaruh angiotensin II
dibanding arteriole aferen,dan mungkin inilah yang dapat menerangkan
mengapa pada diabetes yang tidak terkendali tekanan intraglomeruler naik
dan ada hiperfiltrasi glomerus.
4.5. Gambaran Klinik
Progresifitas kelainan ginjal pada diabetes militus tipe I (IDDM)
dapat dibedakan dalam 5 tahap:
Tahap

Kondisi Ginjal

AER

LFG

TD

Prognosis

Hipertrofi/Hiperfungsi

Reversible

Kelainan struktur

/N

Mungkin reversible

Mikroalbuminuria persisten

20 200 mg/mnt

Makroalbuminuria

>200 mg/mnt

/N
Rendah

Hipertensi

persisten
5

Mungkin reversible
Mungkin bisa
stabilsasi

Uremia

Tinggi/Rendah

< 10 ml/mnt

Hipertensi

Kesintasan 2 th 50%

Ket : AER = Albumin Excretion Rate, LFG = Laju Filtrasi Glomerulus, N = Normal, TD = Tekanan Darah

4.6 Diagnosis
Diagnosis Nefropati Diabetika dapat dibuat apabila dipenuhi
persyaratan seperti di bawah ini:
1. DM
2. Retinopati Diabetika
3. Proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2
minggu tanpa penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria
1x pemeriksaan plus kadar kreatinin serum >2,5mg/dl
Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada:
1. Anamnesis
Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun
keluhan tidak khas dari gejala penyakit diabetes. Keluhan khas
berupa poliuri, polidipsi, polipagi, penurunan berat badan. Keluhan
tidak khas berupa: kesemutan, luka sukar sembuh, gatal-gatal pada
kulit, ginekomastia, impotens.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Mata Pada Nefropati Diabetika didapatkan
kelainan pada retina yang merupakan tanda retinopati yang
spesifik dengan pemeriksaan Funduskopi, berupa :
1). Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran
darah dalam kapiler retina.
2). Mikroaneusisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama
daerah kapiler vena.
3). Eksudat berupa : Hard exudate, Cotton wool patches.

4). Shunt artesi-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri


karena obstruksi kapiler.
5). Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan
permeabilitas mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.
6). Neovaskularisasi
Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V)
atau CRF end stage, didapatkan perubahan pada :
Cor

: cardiomegali

Pulmo

: oedem pulmo

3. Pemeriksaan Laboratorium Proteinuria yang persisten selama 2


kali pemeriksaan dengan interval 2 minggu tanpa ditemukan
penyebab proteinuria yang lain atau proteinuria satu kali
pemeriksaan plus kadar kreatinin serum > 2,5 mg/dl.
4.7. Tatalaksana
Tabel 4.Penatalaksanaan pasien PGK Diabetik Nefropati GFRnya.
Derajat

GFR
(ml/min/1,73
m2)
90

Rencana Tatalaksana

60-89

Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi perburukan fungsi


ginjal, memperkecil resiko kardiovaskular
Menghambat perburukan fungsi ginjal

30-59

Evaluasi dan terapi komplikasi

15-29

Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

<15

Terapi pengganti ginjal

A. Nefropati Diabetik Pemula (Incipatien diabetic nephropathy)


1. Pengendalian hiperglikemia
a. Diet
Variasi diet dengan pembatasan protein hewani bersifat
individual

tergantung

dari

penyakit

penyerta

Hiperkolesterolemia Urolitiasis (misal batu kalsium)


Hiperurikemia dan artritis Gout Hipertensi esensial
b. Pengendalian hiperglikemia
R - Insulin

R - Obat antidiabetik oral (OADO)


R 2. Pengendalian hipertensi
`

Target < 130/80 mmHg


R a. Golongan penghambat enzim angiotensin-coverting (EAC)
R b. Golongan antagonis kalsium
R c. Obat-obat antihipertensi lainnya dapat diberikan tetapi harus
memperhatikan kondisi setiap pasien :
-

Blokade -kardioselektif dengan aktivitaas intrinsik


simpatetik minimal misal atenolol.

Antagonis reseptor -II misal prozoasin dan doxazosin.

Vasodilator murni seperti apresolin, minosidil kontra


indikati untnuk pasien yang sudah diketahui mengidap
infark miokard.

3. Mikroalbuminuria
a. Pembatasan protein hewani
Pembatasan konsumsi protein hewani (0,6-0,8 per kg BB
per hari) dapat mengurangi nefromegali, memperbaiki
struktur ginjal pada nefropati diabetik (ND) stadium dini.
B. Nefropati diabetik nyata (overt diabetic nephropathy)
1. Manajemen Utama (esensi)
a. Pengendalian hipertensi
1) Diet rendah garam (DRG)
Diet rendah garam (DRG) < 5 g/ hari penting untuk
mencegah retensi Na+ (sembab dan hipertensi) dan
meningkatkan efektivitas obat antihipertensi yang lebih
proten.
2) Obat antihipertensi
b. Antiproteinuria
1) Diet rendah protein (DRP)
DRP (0,6-0,8 gram per kg BB per hari) sangat penting
untuk mencegah progresivitas penurunan faal ginjal.

2) Obat antihipertensi Semua obat antihipertensi dapat


menurunkan tekanan darah sistemik, tetapi tidak semua
obat antihipertensi mempunyai potensi untuk mengurangi
ekskresi proteinuria.
a) Penghambat EAC
b) Antagonis kalsium
c) Kombinasi penghambat EAC dan antagonis kalsium
non dihydropyridine.
3) Optimalisasi terapi hiperglikemia
Keadaan hiperglikemi harus segera dikendalikan menjadi
normoglikemia dengan parameter HbA1c dengan insulin
atau obat antidiabetik oral (OADO).
2. Managemen Substitusi
Program managemen substitusi tergantung dari kompliaksi
kronis

lainnya

yang

berhubungan

dengan

penyakit

makroangiopati dan mikroangiopati lainnya


a) Retinopati diabetik
Terapi fotokoagulasi
b) Penyakit sistem kardiovaskuler
Penyakit jantung kongestif
Penyakit jantung iskemik/infark
c) Bencana serebrovaskuler Stroke emboli/hemoragik
d) Pengendalian hiperlipidemia
Dianjrkan golongan sinvastatin karena dapat mengurangi
konsentrasi kolesterol-LDL. Target LDL kolestrol <100mg/dl
pada DM dan <70 mg/dl dgn kelainan kardiovaskular
C. Nefropati diabetik tahap akhir (End Stage diabetic nephropathy)
Gagal ginjal termasuk (GGT) diabetik. Pemilihan macam terapi
pengganti ginjal yang bersifat individual tergantung dari umur,
penyakit penyertaa dan faktor indeks ko-morbiditas.
1. Dialisis
a. Hemodialysis

Dilakukan selama 3-5 jam


Indikasi :
Uremic syndr
Overload yang tidak respon dengan diueretik
Hiperkalemi (k>5)
Asidosis metabolik
Timbul gejala neurologi (kejang/neuropati)
GFR<15 ml/menit
Kreatinin serum > 8mg/dl
Peritoneal Dialysis (PD)
CAPD
CCPD
2. Transplatasi Ginjal
5. Anemia
4.1.

Definisi
Anemia adalah keadaan berkurangnya sel darah merah atau
konsentrasi hemoglobin (Hb) di bawah nilai normal sesuai usia dan jenis
kelamin. Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan
dengan gejala klinis yang sering tidak khas. Berdasarkan derajat dari
anemia

maka

WHO

dan

National

Cancer

mengklasifikasikan anemia menjadi 4 kelompok, yakni :

4.2 Etiologi

Institute

(NCI)

Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :


1) Gangguan pembentukan eritrosit
Gangguan pembentukan eritrosit terjadi apabila terdapat
defisiensi substansi tertentu seperti mineral (besi, tembaga),
vitamin (B12, asam folat), asam amino, serta gangguan pada
sumsum tulang.
2) Perdarahan baik akut maupun kronis mengakibatkan penurunan
total sel darah merah dalam sirkulasi.
3) Hemolisis yakni proses penghancuran eritrosit.
4.3 Klasifikasi
Berdasarkan

gambaran

morfologik,

anemia

diklasifikasikan

menjadi tiga jenis anemia:


1) Anemia normositik normokrom.
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena
perdarahan akut, hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif
metastatik pada sumsum tulang. Terjadi penurunan jumlah eritrosit
tidak disertai dengan perubahan konsentrasi hemoglobin (Indeks
eritrosit normal: MCV 73 101 fl, MCH 23 31 pg , MCHC 26
35 %), bentuk dan ukuran eritrosit.
2) Anemia makrositik hiperkrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari
normal dan hiperkrom karena konsentrasi hemoglobinnya lebih
dari normal. (Indeks eritrosit MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg,
MCHC = > 35 %). Ditemukan pada anemia megaloblastik
(defisiensi vitamin B12, asam folat), serta anemia makrositik nonmegaloblastik (penyakit hati, dan myelodisplasia)
3) Anemia mikrositik hipokrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari
normal dan mengandung konsentrasi hemoglobin yang kurang dari
normal. (Indeks eritrosit : MCV < 73 fl, MCH < 23 pg, MCHC 26
- 35 %). Penyebab anemia mikrositik hipokrom: 1) Berkurangnya

zat besi: Anemia Defisiensi Besi. 2) Berkurangnya sintesis globin:


Thalasemia dan Hemoglobinopati. 3) Berkurangnya sintesis heme:
Anemia Sideroblastik.
4.4. Manifestasi Klinis
Menurut Handayani dan Haribowo (2008), gejala anemia dibagi
menjadi tiga golongan besar yaitu sebagai berikut:
1) Gejala Umum anemia
Gejala anemia disebut juga sebagai sindrom anemia atau Anemic
syndrome. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan
mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin.
Gejala-gejala tersebut apabila diklasifikasikan menurut organ yang
terkena adalah:

Sistem Kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi,


sesak napas saat beraktivitas, angina pektoris, dan gagal jantung.

Sistem Saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata


berkunang-kunang, kelemahan otot, iritabilitas, lesu, serta
perasaan dingin pada ekstremitas.

Sistem Urogenital: gangguan haid dan libido menurun.

Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit


menurun, serta rambut tipis dan halus.

2) Gejala Khas
a) Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis
angularis.
b) Anemia defisisensi asam folat: lidah merah (buffy tongue)
c) Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali.
d) Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda
infeksi.
4.5. Tatalaksana
Jenis-jenis terapi yang dapat diberikan adalah:
a. Terapi gawat darurat

Pada kasus anemia dengan payah jantung atau ancaman


payah jantung, maka harus segera diberikan terapi darurat
dengan transfusi sel darah merah yang dimampatkan (PRC)
untuk mencegah perburukan payah jantung tersebut.
b. Terapi khas untuk masing-masing anemia
Terapi ini bergantung pada jenis anemia yang dijumpai,
misalnya preparat besi untuk anemia defisiensi besi.
c. Terapi kausal
Terapi kausal merupakan terapi untuk mengobati penyakit
dasar yang menjadi penyebab anemia. Misalnya, anemia
defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang
harus diberikan obat anti-cacing tambang.
d. Terapi ex-juvantivus (empiris)
Terapi yang terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat
dipastikan, jika terapi ini berhasil, berarti diagnosis dapat
dikuatkan. Terapi hanya dilakukan jika tidak tersedia fasilitas
diagnosis yang mencukupi. Setelah diagnosis ditegakan maka
dibuat rencana pemberian terapi dapat berupa
5. Ikterik
5.1.

Definisi
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu
bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila
konsentrasi bilirubin serum >5mg/dL (Cloherty, 2004). Pada orang
dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2mg/dL. Ikterus
lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit,
sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar
bilirubin serum total. Tahapan metabolisme bilirubin terbagi menjadi 5
fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor plasma, liver uptake,
konjugasi, dan ekskresi bilier. Ikterus disebabkan oleh gangguan pada
salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.

5.2.

Etiologi
Penyebab ikterus dapat dibagi kepada tiga fase yaitu:
Ikterus Prahepatik
Produksi bilirubin yang meningkat yang terjadi pada
hemolisis sel darah merah. Peningkatan pembentukan bilirubin
dapat disebabkan oleh: Kelainan sel darah merah, Infeksi seperti
malaria, sepsis, Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat
obatan, maupun yang berasal dari dalam tubuh seperti yang
terjadi pada reaksi transfuse dan eritroblastosis fetalis.
Ikterus Pascahepatik
Bendungan pada saluran empedu akan menyebabkan
peninggian bilirubin konjugasi yang larut dalam air. Akibatnya
bilirubin regurgitasi kembali kedalam sel hati dan terus memasuki
peredaran darah, masuk ke ginjal dan di eksresikan oleh ginjal
sehingga ditemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena ada
bendungan pengeluaran bilirubin kedalam saluran pencernaan
berkurang sehingga tinja akan berwarna dempul karena tidak
mengandung sterkobilin.
Ikterus Hepatoseluler
Kerusakan sel hati menyebabkan konjugasi bilirubin
terganggu sehingga bilirubin direk akan meningkat dan juga
menyebabkan bendungan di dalam hati sehingga bilirubin darah
akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian
menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam
aliran darah. Kerusakan sel hati terjadi pada keadaan: hepatitis,
sirosis hepatic, tumor, bahan kimia, dll.

5.3.

Patofisiologi
A. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek
1. Over produksi
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah
merah yang sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan
meningkatkan produksi bilirubin. Konjugasi dan transfer

bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak


terkonjugasi/indirek

melampaui

kemampuan

sel

hati.

Akibatnya bilirubin indirek meningkat dalam darah. Karena


bilirubin indirek tidak larut dalam air maka tidak dapat
diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria.
Tetapi

pembentukkan

urobilinogen

meningkat

yang

mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam urine feces (warna


gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik : hemoglobin
abnormal (cickle sel anemia), kelainan eritrosit (sferositosis
heriditer), antibodi serum (Rh. Inkompatibilitas transfusi), dan
malaria tropika berat.
2. Penurunan ambilan hepatik
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan
memisahkannya dari albumin dan berikatan dengan protein
penerima. Beberapa obat-obatan seperti asam flavaspidat,
novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini.
3. Penurunan konjugasi hepatic
Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi
peningkatan bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan
karena defisiensi enzim glukoronil transferase. Terjadi pada :
Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler Najjar I, Sindroma Crigler
Najjar II.
B.

Hiperbilirubinemia konjugasi/direk
Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat
penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu. Gangguan ekskresi
bilirubin dapat disebabkan oleh kelainan intrahepatik dan
ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh
hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke
dalam sirkulasi sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia.
Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan dengan : Hepatitis, sirosis

hepatis, alkohol, leptospirosis, kolestatis obat (CPZ), klroform,


obat anestesi dan tumor hati multiple.
Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan
hiperbilirubinemia

terkonjugasi

yang

disertai

bilirubinuria.

Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial.


Obstruksi total dapat disertai tinja yang akolik. Penyebab
tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah :
-

Obstruksi saluran empedu didalam hepar : sirosis hepatis,


abses hati, hepatokolangitis, tumor maligna primer dan
sekunder.

Obstruksi didalam lumen sal.empedu : batu empedu, askaris


Kelainan di dinding saluram empedu : atresia bawaan,
striktur traumatik, tumor saluran empedu.

Tekanan dari luar saluran empedu : Tumor caput pancreas,


tumor Ampula Vatery, pancreatitis.

5.4.

Diagnosis
Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan fisik sangat penting
untuk menegakkan diagnosis penyakit dengan keluhan ikterus. Tahap
awal ketika akan mengadakan penilaian klinis seorang pasien dengan
ikterus adalah tergantung kepada apakah hiperbilirubinemia bersifat
konjugasi atau tak terkonjugasi. Jika ikterus ringan tanpa warna air seni
yang gelap harus difikirkan kemungkinan adanya hiperbilirubinemia
indirect yang mungkin disebabkan oleh hemolisis, sindroma dan bukan
karena penyakit hepatobilier. Keadaan ikterus yang lebih berat dengan
disertai warna urin yang gelap menandakan penyakit hati atau bilier. Jika
ikterus berjalan sangat progresif perlu difikirkan segera bahwa kolestasis
lebih bersifat ke arah sumbatan ekstrahepatik (batu saluran empedu atau
keganasan kaput pankreas).
Jika sumbatan karena keganasan pankreas sering timbul kuning
yang tidak disertai gajala keluhan sakit perut (painless jaundice). Kadangkadang bila bilirubin telah mencapai kadar yang lebih tinggi, warna

kuning pada sklera mata sering memberi kesan yang berbeda dimana
ikterus lebih memberi kesan kehijauan (greenish jaundice) pada kolestasis
ekstrahepatik dan kekuningan (yellowish jaundice) pada kolestasis
intrahepatik. Ikterus yang disertai demam, dan terdapat fase prodromal
seperti anoreksia, malaise, dan nyeri tekan hepar menandakan hepatitis.
Ikterus yang disertai rasa gatal menandakan kemungkinan adanya suatu
penyakit xanthomatous atau suatu sirosis biliary primer. Ikterus dan
anemia menandakan adanya suatu anemia hemolitik
5.5.

Pemeriksaan Penunjang

Darah rutin
Pemeriksaan darah dilakukan unutk mengetahui adanya suatu
anemia dan juga keadaan infeksi

Urin Tes yang sederhana yang dapat kita lakukan adalah melihat
warna urin dan melihat apakah terdapat bilirubin di dalam urin
atau tidak.

Bilirubin
Penyebab ikterus yang tergolong prehepatik akan menyebabkan
peningkatan bilirubin indirek. Kelainan intrahepatik dapat
berakibat

hiperbilirubin

indirek

maupun

direk.

Kelainan

posthepatik dapat meningkatkan bilirubin direk.

Aminotransferase dan alkali fosfatase

Tes serologi hepatitis virus


IgM hepatitis A adalah pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis A
akut. Hepatitis B akut ditandai oleh adanya HBSAg dan deteksi
DNA hepatitis B.

Biopsi hati
Histologi hati tetap merupakan pemeriksaan definitif untuk ikterus
hepatoseluler dan beberapa kasus ikterus kolestatik (sirosis biliaris
primer, kolestasis intrahepatik akibat obat-obatan (drug induced)

Tabel 2.2. Perbedaan Ikterus hemolitik, heptoseluler dan


obstruktif
5.6 Tatalaksana
Pengobatan Pengobatan jaundice sangat tergantung penyakit
dasar penyebabnya. Jika penyebabnya adalah penyakit hati (misalnya
hepatitis virus), biasanya jaundice akan menghilang sejalan dengan
perbaikan penyakitnya. Beberapa gejala yang cukup mengganggu
misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik, pengobatan
penyebab dasarnya sudah mencukupi. Jika penyebabnya adalah sumbatan
bilier ekstra-hepatik biasanya membutuhkan tindakan pembedahan,
ekstraksi batu empedu di duktus, atau insersi stent, dan drainase via kateter
untuk striktura (sering keganasan) atau daerah penyempitan sebagian.
Untuk sumbatan maligna yang non-operabel, drainase bilier paliatif dapat
dilakukan melalui stent yang ditempatkan melalui hati (transhepatik) atau
secara endoskopik (ERCP). Papilotomi endoskopik dengan pengeluaran
batu telah menggantikan laparatomi pada pasien dengan batu di duktus
kholedokus. Pemecahan batu di saluran empedu mungkin diperlukan
untuk membantu pengeluaran batu di saluran empedu

6. Hepatitis B
6.1. Etiologi
Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). Virus ini
pertama kali ditemukan oleh Blumberg pacta tahun 1965 dan di kenal
dengan nama antigen Australia. Virus ini termasuk DNA virus. Lapisan
luar terdiri atas antigen HBsAg yang membungkus partikel inti (core).
Pada inti terdapat DNA VHB Polimerase. Pada partikel inti terdapat
Hepatitis B core antigen (HBcAg) dan Hepatitis B e antigen (HBeAg).
Antigen permukaan (HBsAg) terdiri atas lipo protein dan menurut sifat
imunologik proteinnya virus.
6.2. Sumber dan Cara Penularan
Sumber Penularan :
- Darah
- Saliva
- Kontak dengan mukosa penderita virus hepatitis B
- Feces dan urine
- Lain-lain: Sisir, pisau cukur, selimut, alat makan, alat kedokteran
yang terkontaminasi virus hepatitis B.
Cara Penularan :
a. Parenteral : dimana terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya
melalui tusuk jarum atau benda yang sudah tercemar virus hepatitis B
dan pembuatan tattoo
b. Non Parenteral : karena persentuhan yang erat dengan benda yang
tercemar virus hepatitis B.
6.3. Gejala Klinis
A. Perjalanan hepatitis B akut terjadi dalam empat (4) tahap yang
timbul sebagai akibat dari proses peradangan pada hati yaitu :
1. Masa Inkubasi

Masa inkubasi yang merupakan waktu antara saat penularan infeksi


dan saat timbulnya gejala/ikterus, berkisar antara 1-6 bulan, biasanya
60-75 hari. Makin besar dosis virus yang ditularkan, makin pendek
masa inkubasi.
2. Fase Prodromal
Fase ini adalah waktu antara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan
timbulnya gejala dan ikterus. Keluhan yang sering terjadi seperti :
malaise, rasa lemas, lelah, anoreksia, mual, muntah, terjadi perubahan
pada indera perasa dan penciuman, panas yang tidak tinggi, nyeri
kepala, nyeri otot-otot, rasa tidak enak/nyeri di abdomen, dan
perubahan warna urine menjadi cokelat, dapat dilihat antara 1-5 hari
sebelum timbul ikterus, fase prodromal ini berlangsung antara 3-14
hari
3. Fase Ikterus
Dengan timbulnya ikterus, keluhan-keluhan prodromal secara
berangsur akan berkurang, kadang rasa malaise, anoreksia masih terus
berlangsung, dan nyeri abdomen kanan atas bertambah. Untuk deteksi
ikterus, sebaliknya dilihat pada sklera mata. Lama berlangsungnya
ikterus dapat berkisar antara 1-6 minggu.
4. Fase Penyembuhan
Fase penyembuhan diawali dengan menghilangnya ikterus dan
keluhankeluhan, walaupun rasa malaise dan cepat lelah kadang masih
terus dirasakan, hepatomegali dan rasa nyerinya juga berkurang. Fase
penyembuhan lamanya berkisar antara 2-21 minggu.
C. Hepatitis B Kronis
Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut
lebih dari enam bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan
hepatitis B kronik dibagi menjadi tiga (3) fase penting yaitu :
1. Fase Imunotoleransi
Pada masa anak-anak atau pada dewasa muda, sistem imun tubuh
toleren terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam darah tinggi,

tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Pada fase ini, VHB
ada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi.
2. Fase Imunoaktif (Fase clearance)
Pada sekitar 30% individu dengan persisten dengan VHB akibat
terjadinya replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses
nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi Alanine Amino
Transferase (ALT). Pada keadaan ini pasien sudah mulai kehilangan
toleransi imun terhadap VHB.
3.

Fase Residual
Pada fase ini tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan
pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari individu
tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB
tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini titer
HBsAg rendah dengan HBeAg yang menjadi negatif dan anti HBe
yang menjadi positif, serta konsentrasi ALT normal.

6.4. Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium yang paling sering digunakan adalah
metode Elisa. Metode Elisa digunakan untuk mengetahui adanya
kerusakan pada hati melalui pemeriksaan enzimatik. Dalam keadaan
normal terdapat keseimbangan antara pembentukan enzim dengan
penghancurannya. Apabila terjadi kerusakan sel dan peninggian
permeabilitas membran sel, enzim akan banyak keluar ke ruangan
ekstra sel, keadaan inilah yang membantu diagnosa dalam mengetahui
kadar enzim tersebut dalam darah. Penderita hepatitis B juga
mengalami peningkatan kadar bilirubin, kadar alkaline fosfat.
Pemeriksaan enzim yang sering dilakukan untuk mengetahui kelainan
hati adalah pemeriksaan SGPT dan SGOT (Serum Glutamic Pirivuc
Transaminase

dan

Serum

Glutamic

Oksalat

Transaminase).

Pemeriksaan SGPT lebih spesifik untuk mengetahui kelainan hati


karena jumlah SGPT dalam hati lebih banyak daripada SGOT.

Kejadian hepatitis akut ditandai dengan peningkatan SGPT dan


SGOT 10-20 kali dari normal, dengan SGPT lebih tinggi dari SGOT.
SGPT dan SGOT normal adalah < 42 U/L dan 41 U/L. Pada hepatitis
kronis kadar SGPT meningkat 5-10 kali dari normal. Berikut ini
adalah berbagai macam pertanda serologik infeksi VHB yaitu
1. HBsAg (Hepatitis B Surface Antigen)
Yaitu suatu protein yang merupakan selubung luar partikel VHB.
HBsAg yang positif menunjukkan bahwa pada saat itu yang
bersangkutan mengidap infeksi VHB.
2. Anti-HBs Antibodi terhadap HBsAg.
Antibodi ini baru muncul setelah HBsAg menghilang. Anti
HBsAg yang positif

menunjukkan bahwa individu yang

bersangkutan telah kebal terhadap infeksi VHB baik yang terjadi


setelah suatu infeksi VHB alami atau setelah dilakukan imunisasi
hepatitis
3. Anti Hbc Antibodi terhadap protein core.
Antibodi ini pertama kali muncul pada semua kasus dengan
infeksi VHB pada saat ini (current infection) atau infeksi pada
masa yang lalu (past infection). Anti HBc dapat muncul dalam
bentuk IgM anti HBc yang sering muncul pada hepatitis B akut.
Namun karena IgM anti HBc bisa kembali menjadi positif pada
hepatitis kronik dengan reaktivasi, IgM anti HBc tidak dapat
dipakai untuk membedakan hepatitis akut dengan hepatitis kronik
secara mutlak.
4. HBeAg
Semua protein non-struktural dari VHB (bukan merupakan bagian
dari VHB) yang disekresikan ke dalam darah dan merupakan
produk gen precore dan gen core. Positifnya HBeAg merupakan
petunjuk adanya aktivasi replikasi VHB yang tinggi dari seorang
individu HBsAg positif.
5. Anti HBe Antibodi yang timbul terhadap HBeAg pada infeksi
VHB.

Positifnya anti HBe menunjukkan bahwa VHB ada dalam fase


non-replikatif.
6. DNA VHB
Positifnya DNA VHB dalam serum menunjukkan adanya partikel
VHB yang utuh dalam tubuh penderita. DNA VHB adalah petanda
jumlah virus yang paling peka.
HBsAg

Anti HBs

Anti
HBc

HBeAg

Anti HBe

DNA VHB

Hepatitis Akut

(+)

(-)

IgM

(+)

(-)

(+)

Riwayat
Hepatitis B
(sembuh)

(-)

(-)

IgM

(+)atau (-)

(+)atau (-)

(+)

Imunisasi

(-)

(+)

IgG

(-)

(+)atau (-)

(-)

Hepatitis
kronis HbeAg
(+)

(+)

(-)

IgG

(+)

(-)

(+)

Hepatitis
kronis HbeAg
(-)

(+)

(-)

IgG

(-)

(+)

(+)atau (-)

Tabel 3.1 Penanda Serologis Hepatitis B


6.5.

Penatalaksanaan
1. Pencegahan Primer
Pemberian imunisasi hepatitis B dapat dilakukan baik
secara pasif maupun aktif. Imunisasi pasif dilakukan dengan
memberikan hepatitis B Imunoglobulin (HBIg) yang akan
memberikan perlindungan sampai 6 bulan. Imunisasi aktif
dilakukan dengan vaksinasi hepatitis B
2. Pencegahan Sekunder
a. Monitoring secara berkala terhadap penderita yang belum
memerlukan pengobatan.
b.

Pegobatan

dengan

Interferon,

Lamivudin,

Adefovir,

Telbivudin, Entecavir, atau Tenofovir bagi penderita yang telah

memenuhi kriteria terapi, dari hasil pemeriksaan DNA VHB,


HBeAg dan ALT.
c. Disinfeksi terhadap bekas cairan tubuh dari penderita.
d. Isolasi tidak diperlukan
e. Imunisasi pasif pada orang yang terpajan cairan tubuh
penderita
3. Pencegahan Tersier
Sebagian besar pencegahan penderita hepatitis B akut akan
membaik atau sembuh sempurna tanpa meninggalkan bekas. Tetapi
sebagian kecil akan menetap dan menjadi kronis, kemudian menjadi
buruk atau mengalami kegagalan faal hati. Biasanya penderita dengan
gejala seperti ini akan berakhir dengan meninggal dunia. Usaha yang
dilakukan untuk mengatasi hal tersebut maka perlu diadakan
pemeriksaan berkala. Sebelum dilaksanakan pembedahan, pada waktu
pembedahan, dan pasca pembedahan
7. Hepatitis C
1.1. Etiologi
Penyebab penyakit adalah virus hepatitis C (HCV) yang
merupakan virus RNA dengan amplop, diklasifikasikan ke dalam
genus berbeda (Hepacavirus) dari famili Flaviviridae. Gejala
penyakit ini umumnya insidious,bisa disertai anoreksida, gangguan
abdominal tidak jelas, mual dan muntah-muntah, berlanjut menjadi
icterus (jaundience) lebih jarang jika dibandingkan dengan
Hepatitis B.
7.2

Manifestasi Klinis
Meskipun infeksi pertama mungkin asimtomatis (lebih dari
90% kasus) atau ringan, namun sebagian besar (diantara 50%-80%
kasus) akan menjadi kronis. Pada orang yang mengalamin infeksi
kronis, sekitar separuh dapat berkembang menjadi cirrhosis atau
kanker hati. Prevelnsi HCV berhubungan langsung dengan

prevelansi orang yang menggunakan jarum suntik bersama


dikalangan pecandu obat terlarang dan prevelensi kebiasaan
menggunakan alat suntik yang tidak steril ditempat pelayanan
kesehatan.
7.3

Diagnosis
Antibodi terhadap HCV biasanya terdeteksi setelah 6-7 minggu

setelah virus tersebut masuk kedalam tubuh, walaupun kadang kala untuk
beberapa orang dibutuhkan tiga bulan aatu lebih. Bila tes antibodi HCV
positif, tes ulang dilakukan untuk konfirmasi. Tes konfirmasi ini dapat tes
antibodi lain atau tes PCR. Bila tes positif untuk antibodi HCV, ini berarti
pernah terkena virus tersebut pada suatu waktu. Karena kurang lebih 20%
orang yang terinfeksi HCV sembuh tanpa memakai obat biasanya setelah 6
bulan setelah terinfeksi.
7.4.

Tatalaksana
Pengobatan Hepatitis C sedini mungkin sangatlah penting.

Meskipun tubuh anda telah melakukan perlawanan terhadap infeksi, tetapi


hanya 15% yang berhasil, pengobatan tetap diperlukan untuk mencegah
Hepatitis C kronis dan membantu mengurangi kemungkinan hati menjadi
rusak. Diagnosis dan pengobatan awal sangatlah mendesak dan penting.
Tujuan pengobatan dari Hepatitis C adalah menghilangkan virus dari tubuh
anda sedini mungkin untuk mencegah perkembangan yang memburuk dan
stadium akhir penyakit hati.
a.

Interferon alfa
Adalah suatu protein yang dibuat secara alami oleh tubuh
manusia untuk meningkatkan sistem daya tahan tubuh/imunitas
dan mengatur fungsi sel lainnya. Obat yang direkomendasikan
untuk penyakit Hepatitis C kronis adalah dari inteferon alfa bisa
dalam bentuk alami ataupun sintetisnya.

b.

Pegylated interferon alfa

Dibuat dengan menggabungkan molekul yang larut air yang


disebut "polyethylene glycol (PEG)" dengan molekul interferon
alfa. Modifikasi interferon alfa ini lebih lama ada dalam tubuh,
dan lebih efektif dalam membuat respon bertahan terhadap virus
dari pasien Hepatitis C kronis.
c.

Ribavirin
Adalah obat anti virus yang digunakan bersama interferon
alfa untuk pengobatan Hepatitis C kronis. Ribavirin bila dipakai
tunggal tidak efektif melawan virus Hepatitis C, tetapi dengan
kombinasi interferon alfa, lebih efektif daripada inteferon alfa
sendiri. Penderita dikatakan memiliki respon melawan virus jika
jumlah virus Hepatitis C begitu rendah sehingga tidak terdeteksi
pada tes standar RNA virus Hepatitis C dan jika level tersebut
tetap tidak terdeteksi selama lebih dari 6 bulan setelah pengobatan
selesai.
Pengobatan HCV biasanya berjalan selama 3-12 bulan.
Tujuan pengobatan HCV adalah untuk memberantas virus, dan
tetap bebas virus selama enam bulan setelah pengobatan selesai.
Hal ini disebut tanggapan virologi tetap (sustained virological
response / SVR).

2. Hiperkalemia
8.1 Defenisi
Disebut hiperkalemia bila kadar kalium dalam plasma lebih
5mEq/l. Dalam keadaan normal jarang terjadi hiperkalemia oleh karena
adanya mekanisme adaptasi oleh tubuh.
8.2. Etiologi
Penyebab hiperkalemia disebabkan:
1. Keluarnya kalium dari intrasel ke ekstrasel
2. Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal

Kalium keluar dari sel dapat terjadi pada keadaan asidosis


metabolik bukan oleh asidosis organik (ketoasedosis,asedosis laktat).
Defisiensi insulin, katabolisme meningkat, pemakaian obat penghanbat
adrenerdik, pseudo hiperkalemia akibat penganbilan contoh darah di
laboratorium yang mengakibatkan sel darah merah lisis dan pada latihan
olahraga.
Berkurangnya ekresi kalium melalui ginjal terjadi pada keadaan
hipoaldostironisme, gagal ginjal, deprisi volume sirkulasi efektif ,
pemakaian siklosporin.
Hiperkalemia mengacu pada konsentrasi kalium serum yang lebih
tinggi dari normal. Seperti hipokalemia, hal ini sering terjadi karena
penyebab iatrogenic(dirangsang oleh pengobatan).
Sebelum mempertimbangkan penyebab nyata hiperkalemia, harus
diketahui bahwa ada beberapa penyebab hiperkalemia palsu (pseudo).
Yang paling sering adalah penggunaan turniket yang terlalu kencang di
sekitar ekstrimitas ketika mengambil sample darah dan hemolisis sample
sebelum analisa. Penyebab lain termasuk leukositosis dan trombositosis
dan pengambilan darah tepat diatas tempat infus kalium.
Penyebab utama hipekalemia adalah penurunan ekskresi kalium
ginjal. Karena itu, hiperkalemia yang bermakna umumnya terjadi pada
pasien gagal ginjal yang tidak diobati, terutama jika kalium dilepaskan
dari sel-sel selama proses infeksi atau adanya smber kalium eksogen yang
berlebihan, seperti dalam diet atau dalam pengobatan. Difesiensi
kostikostiroid adrenal menyebabkan kehilangan natrium dan retensi
kalium,

karena

itu,

hipoaldostironisme

dan

penyakit

Addison

menimbulkan predisposisi terhadap hiperkalemia.


8.3.

Manefestasi Klinis
Sejauh ini efek hiperkalemia yang paling penting secara klinis
adalah efeknya pada miokardium. Efek pada jantung selalu timbul jika
kadar kalium 8 mEg/L (51=8 mmol/L) atau lebih tinggi. Jika konsentrasi
kalium plasma meningkat,timbul gangguan pada konduksi jantung.

Perubahan paling dini, sering terjadi pada kadar kalium serum lebih tinggi
dari 6 mEg/L(51=6mmol/L), adalah gelombang T yang tinggi, sempit,
deprisi dan pemendekkan interval QT. Jika kadar kalium serum terus
meningkat, interval PR menjadi memanjang dan diikuti dengan
menghilangnya gelombang P. Akhirnya, terdapat dekomposisi dan
pemanjangan komplek QRS. Disritmia ventrikuler dan henti jantung
mungkin terjadi kapan saja dalam keadaan ini.
Hiperkalemia berat menyebabkan kelemahan otot skeletal dan bahkan
paralysis, yang berhubungan dengan blok depolarisasi pada otot. Sama
halnya, konduksi ventrikuler melambat. Meskipun hiperkalemia memiliki
efek yang nyata pada system neuro muskular perifer, hiperkalemia
mempunyai efek kecil pada system saraf pusat. Kelemahan yang cepat
pada muskular asenden mengakibatkan plasid kuadriplasia telah
dilaporkan terjadi pada pasien-pasien yang mengalami hiperkalemia.
8.4.

Tatalaksana
1. Mengatasi pengaruh hiperkalemia pada membran sel,dengan cara
memberikan kalsium intravena. Dalam beberapa menit kasium
langsung melindungi membran akibat hiperkalemia. Pada keadaan
hiperkalemia yang berat sambil menunggu efek insulin/ bikarbonat
yang diberikan (baru bekerja setelah 30 60 menit).Kalsium dapat
diberikan melalui tetesan infuse kalsium intravena.10 ml calcium
Quconats diberikan intravena dalam waktu 2 3 menit dengan monitor
EKG.Bila perubahan EKG akibat hiperkalemia masih ada,kalsium

2.

glukonat dapat diulang setelah 5 menit.


Memacu masuknya kembali kalium dari ekstra ke intra sel,dengan
cara:
a. Pemberian insulin 10 unit dalam glukosa 40 %.Lalu ikuti dengan
inus Doktrosa 5 % untuk mencegah terjadinya hipoglikemia.Insulin
akan memicu pompa Nak ATPase memasukan kalium kedalam
sel.Sel glukosa doktrosa akan memicu pengeluaran insulin Endogen.
b. Pemberian Natrium bikarbonat yang akan meningkatkan ph
sistemik.Peningkatan ph akan merangsang ion H keluar dari dalam
sel yang kemudian menyebabkan ion K masuk kedalam sel.Dalam

keadaan tanpa asidosis metabolic. Naitrium Bikarbonat diberikan 50


MEq untuk selama 10 menit.Bila ada asidosis metabolic disesuaikan
dengan keadaan asidosis metabolic yang ada.
c. Pemberian B agonis baik secara inhalasi maupun tetesan intravena.B
agonis akan merangsang pompa Nak ATPase.Kalium masuk
kedalam sel.Albuterol diberikan 10 20 mg.
3. Mengeluarkan kelebihan kalium dari tubuh:
a.
Pemberian diuretic loop (furosemid) dan trasid, sipatnya hanya
b.

9.

sementara.
Pemberian Resin menular dapat diberikan peroral maupun

supositoria.
c.
Hemodialisis
Hiperkalsemia
1.1 Definisi
Hipokalsemia adalah konsentrasi serum kalsium kurang dari 8,5 mg/dl.
Ketidakmampuan untuk mengakses simpanan kalsium tulang akibat
disfungsi,

supresi,

atau

pengangkatan

kelenjar

paratiriod

dapat

menimbulkan hipokalsemia. Selain itu hipokalsemia bisa disebabkan oleh


defisiensi vitamin D, sehingga menyebabkan penurunan absorpsi kalsium
dalam diet. Peningkatan ikatan protein kalsium serum akibat penurunan
H+ dapat menimbulkan hipokalsemia, karena gagal ginjal dapat
menyebabkan kenaikkan kadar fospat. (Corwin, Elizabeth J, 2009)
Hipokalsemia menyebabkan gangguan fungsi neuromuskulus, berupa
spasme dan kram otot, dan kebas serta kesemutan di ekstremitas.
Hipotensi dan penurunan curah jantung merupakan tanda terkenanya
sistem kardiovaskular. Dapat muncul pula nyeri tulang, deformitas dan
fraktur. Osteomalasia dan riketsia pada masa kanak-kanak dapat terjadi.
Hipokalsemia dapat terjadi karena reduksi kalsium total tubuh atau
reduksi persentase kalsium yang teronisasi. Kadar kalsium total mungkin
menurun karena peningkatan kehilangan kalsium, penurunan masukan
sekunder terhadap perubahan absorpsi usus, atau perubahan pengaturan
(misalnya hipoparatiroidisme). Peningkatan kadaar fosfor dan penurunan
kadar magnesium dapat mencetuskan hipokalsemia. Kalsium dan fosfor
mempunyai hubungan resiprokal : saat salah satu meningkat, yang lain

cenderung menurun. Hipomagnesemia dapat menyebabkan hipokalsemia


karena penurunan kerja hormon paratiroid. (Carpenito, 2000)
9.2. Etiologi Hipokalsemia
Hipokalsemia transien dapat terjadi dengan pemberian darah bersitrat,
karena sitrat dapat bergabung dengan kalsium berionisasi dan secara
sementara membuangnya dari sirkulasi. (Brunner & Suddarth, 2002)
Hipoklasemia umumnya terjadi pada pasien dengan gagal ginjal karena
pasien ini sering mengalami kenaikan kadar serum fosfat. Hiperfosfatemia
biasanya menyebabkan penurunan resiprokal dalam kadar serum kalsium.
Penyebab lain hipokalsemia dapat mencakup konsumsi vitamin D yang
tidak adekuat, defisiensi magnesium, karsinoma medula tiroid, kadar
albumin serum yang rendah, dan alkalosis. Medikasi yang dapat
memprediposisi kepada hipokalsemia termasuk antasid yang mengandung
aluminium, aminoglikosida, kafein, sisplatin, kortikosteroid, mitramisin,
fosfat, isoniasid, dan diuretik loop.
Osteoporosis berkaitan dengan masukan kalsium rendah dalam waktu
yang lama dan menunjukan kekurangan kalsium tubuh total, meskipun
kadar kalsium serum biasanya normal.
9.3.

Manisfestasi Klinis
Gejala

utama

hipokalsemia

adalah

peningkatan

iritabilitas

neuromuskuler yang dapat kesemutan pada ujung-ujung jari dan sekitar


mulut. Sensasi semutan dapat terjadi pada ujung jari-jari, sekitar mulut,
dan yang jarang yang terjadi adalah pada kaki. Dapat terjadi spasme otot
ekstremitas dan wajah. Nyeri dapat terjadi sebagai akibat dari spasme ini.

Tanda Trousseau dapat ditimbulkan dengan mengembangkan cuff


tekanan darah pada lengan atas sampai sekitar 20 mmHg di atas
tekanan sistolik, dalam 2 sampai 5 menit spasme korpopedal akan
terjadi karena iskemia pada saraf ulnar.

Tanda Chvostek terdiri atas kedutan pada otot yang dipersarafi oleh
saraf fasial ketika saraf tersebut ditekan sekitar 2 cm sebelah anterior
ke arah daun telinga, tepat di bawah arkus zigomatikus.

Kejang dapat terjadi karena hipokalsemia meningkatkan irritabilitas


sistem saraf pusat juga saraf perifer.

Perubahan lain yang berkaitan dengan hipokalsemia termasuk


perubahan-perubahan mental seperti depresi, emosional, kerusakan
memori, ketam pikir dan bahkan halusinasi. Interval QT yang
memanjang tampak pada gambar EKG karena elongasi segmen ST,
bentuk takikardia ventrikular yang di sebut Torsades de Pointes dapat
terjadi.

9.4.

Tatalaksana
1. Pengobatan penyebab dasar.
2. Penggantian kalsium.
Hipokalsemia simtomatik adalah kedaruratan, membutuhkan
pemberian segera kalsium intravena. Garam kalsium parenteral
termasuk kalsium glukonat, kalsium klorida dan kalsium gluseptat.
Pemberian infus intravena kalsium yang terlalu cepat dapat
menginduksi henti jantung, yang didahului oleh brakikardia.
3. Terapi vitamin D dapat dilakukan untuk meningkatkan absorbsi
ion kalsium dari traktus GI.
Antasid

hidroksida

alumunium

dapat

diresepkan

untuk

menurunkan kadar fosfor yang meningkat sebelum mengobati


hipokalsemia.
4. Meningkatkan masukan diet kalsium sampai setidaknya 1000
hingga 1500 mg/hari pada orang dewasa sangat di anjurkan
( produk dari susu; sayuran berdaun hijau, salmon kaleng, sadin,
dan oyster segar ). Jika tetani tidak memberikan respons
terhadap kalsium IV maka kadar magnesium yang rendah di gali
sebagai kemungkinan penyebab tetani

10.

Peningkatan Enzim Transaminase


Enzim aspartat aminotransferase (AST) disebut juga serum
glutamat oksaloasetat transaminase (SGOT) merupakan enzim
mitokondria yang berfungsi mengkatalisis pemindahan bolak balik
gugus amino dari asam aspartat ke asam alfa oksaloasetat. Enzim
SGOT dan SGPT mencerminkan keutuhan sel-sel hati. Adanya
peningkatan enzim hati tersebut dapat mencerminkan tingkat
kerusakan sel-sel hati. Makin tinggi peningkatan kadar enzim
SGOT dan SGPT semakin tinggi tingkat kerusakan sel-sel hati.
Kerusakan

membran

sel

menyebabkan

enzim

Glutamat

Oksaloasetat Transaminase keluar dari sitoplasma yang rusak, dan


jumlahnya meningkat didalam darah. Sehingga dapat dijadikan
indikator kerusakan hati. Kadar enzim SGOT akan meningkat
apabila terjadi kerusakan sel yang akut seperti nekrosis
hepatoselular seperti gangguan fungsi hati dan saluran empedu,
penyakit jantung dan pembuluh darah, serta gangguan fungsi ginjal
dan pankreas. SGOT banyak terdapat pada mitokondria dan
sitoplasma sel hati, otot jantung, dan ginjal. Jaringan hati
merupakan satu-satunya sel dengan konsentrasi SGPT yang tinggi,
sedangkan ginjal, jantung, dan otot rangka mengandung kadar
sedang. SGPT dalam jumlah yang lebih sedikit dijumpai di
pancreas, paru, limpa, dan eritrosit. Hapatosit mengandung SGOT
tiga sampai empat kali lebih banyak daripada SGPT
Terdapat beberapa kondisi yang dapat meningkatkan SGOT, yaitu :
a. Peningkatan tinggi (>5 kali nilai normal) : Kerusakan hepatoseluler
akut, infark miokard, kolaps sirkulasi, pankreatitis akut.
b. Peningkatan sedang (3-5 kali nilai normal) : obstruksi saluran
empedu, aritmia jantung, gagal jantung kongestif, tumor hati
c. Peningkatan ringan : Perikarditis, sirosis, cerebrovascular accident
Beberapa kondisi yang dapat meningkatkan SGPT, dibedakan
menjadi tiga, yaitu:
a. Peningkatan > 20 kali normal : Hepatitis viral akut, nekrosis hati
( toksisitas obat atau kimia)
b. Peningkatan 3-10 kali normal : Hepatitis kronis aktif, sumbatan
empedu ekstra hepatik, infark miokard

c. Peningkatan 1-3 kali normal : Pankreatitis, perlemakan hati, sirosis


biliaris
11. Bradikardi Asimptomatis
1.1

Definisi
Bradikardia adalah kondisi di mana jantung penderita
berdetak lebih lambat dari kondisi normal. Umumnya, detak
jantung normal pada orang dewasa saat beristirahat adalah 60
sampai 100 kali per menit. Sedangkan jantung penderita
bradikardia berdetak di bawah 60 kali per menit.
Pada beberapa orang, detak jantung yang lambat tidak
menyebabkan masalah medis. Namun pada sebagian orang lainnya,
bradikardia bisa merupakan tanda adanya gangguan sistem
kelistrikan jantung.
Bradikardia bisa menjadi penyakit serius, bahkan bisa sebabkan
kematian, jika jantung sampai tidak bisa memompa oksigen yang
cukup ke tubuh. Pada beberapa kasus, bradikardia bisa tidak
memperlihatkan gejala atau komplikasi apa pun.

11.2 Gejala Bradikardia


Gejala adalah sesuatu yang dirasakan dan diceritakan oleh
penderita. Jika bradikardia sampai menyebabkan pasokan oksigen
ke tubuh dan otak tidak cukup, maka penderita biasanya merasakan
beberapa gejala-gejala berikut ini:

Pingsan.

Pusing.

Gangguan ingatan.

Lemas.

Napas pendek atau sesak napas.

1.2

Sulit berkonsentrasi.

Sakit pada dada.

Kebingungan.

Mudah lelah saat beraktivitas fisik.

Etiologi
Sesuatu yang mengganggu impuls listrik pengontrol tempo detak
jantung akan menjadi penyebab bradikardia. Banyak hal yang
menyebabkan gangguan tersebut, beberapa di antaranya adalah:

Ketidakseimbangan elektrolit tubuh yang dibutuhkan untuk


menghasilkan impuls listrik.

Hipotiroid.

Rusaknya jaringan jantung akibat usia, serangan jantung, atau


penyakit tertentu.

Tekanan darah tinggi atau hipertensi.

Kelainan jantung saat lahir.

Infeksi pada jaringan jantung.

Komplikasi saat pembedahan jantung.

Gangguan napas berulang saat tidur.

Penyakit inflamasi, seperti demam rematik atau lupus.

Penimbunan zat besi pada organ tubuh.

11.3 Diagnosis Bradikardia


Diagnosis merupakan langkah dokter untuk mengidentifikasi
penyakit atau kondisi yang menjelaskan gejala dan tanda-tanda yang
dialami oleh pasien. Beberapa langkah yang umumnya dilakukan dokter
untuk mendiagnosis bradikardia adalah:

Elektrokardiogram. Ini adalah alat utama untuk mendiagnosis


bradikardia. Sensor-sensor kecil ditempel pada dada dan tangan pasien
untuk merekam sinyal-sinyal listrik yang mengalir melewati jantung. Dokter
juga mungkin mengawasi denyut jantung saat Anda sedang berolahraga.

Uji laboratorium dan tes lainnya. Dokter mungkin akan meminta pasien
menjalani tes darah untuk mengidentifikasi kondisi medis seperti
hipotiroidisme, ketidakseimbangan elektrolit, dan infeksi.

11.4Pengobatan dan Pencegahan Bradikardia


Jenis pengobatan bradikardia akan disesuaikan dengan faktor
penyebab, tingkat keparahan dan jenis gangguan listrik yang mengganggu
jantung penderita. Jika bradikardia tidak menyebabkan munculnya gejala,
mungkin dokter tidak mengambil tindakan pengobatan.
Jika penyebab bradikardia adalah obat-obatan tertentu, umumnya dokter
akan segera mencari alternatif obat lain sebagai penggantinya, atau
menyesuaikan kembali dosis yang sesuai dengan kondisi tubuh penderita
bradikardia.

BAB III
PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan


penurunan kesadaran sejak 2 hari SMRS. Pasien tampak mengantuk
sepanjang hari, sulit nyambung ketika diajak bicara, bicara meracau.
Terkadang pasien dapat diajak bicara namun kembali tidur lagi. Kelemahan
anggota gerak disangkal. Bicara pelo ataupun mulut merot disangkal. Pada

pemeriksaan fisik pupil isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya
(+/+), tidak ditemukan kelemahan anggota gerak. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan Hb 3.9 g/dl; Hct 12 %; Leukosit 12,6 ribu/ul;
Eritrosit 1.38 juta/ul; PT 20.1 detik, SGOT 358 u/l, SGPT 228 u/l, Albumin ,
2.6 g/dl, Bilirubin total 5,2 mg/dl; Creatinine 14.7 mg/dl, Ureum 359
mg/dL, Protein Total 6.3, Kalium 7.2 mmol/L, Calsium ion 0.52 mmol/L.
Dari gejala klinis diatas, diperkirakan bahwa penurunan
kesadaran pada pasien bukan disebabkan oleh faktor neurologik, melainkan
disebabkan oleh faktor metabolik (ensefalopati metabolik). Secara umum,
penyebab

ensefalopati

metabolik

dibagi

menjadi

intoksikasi

obat,

abnormalitas elektrolit dan glukosa, disfungsi organ mayor (seperti hepar,


ginjal, paru, dan endokrin) dan defisiensi nutrisi. Pada pasien terjadi
abnormalitas elektrolit dan glukosa, berupa peningkatan kalium serta
penurunan kalsium. Hal tersebut berkaitan dengan disfungsi organ mayor
pada pasien berupa sirosis hati oleh karena hepatitis b dan c kronik, serta
gagal ginjal yang disebabkan oleh diabetes melitus dalam waktu lama.
Kerusakan hati baik akut maupun kronik akan menginisisasi terjadinya
ensefalopati hepatik. Terdapat 2 faktor terpenting pada patogenesis
ensefalopati yakni peningkatan konsentrasi amonia pada plasma maupun
otak. Di otak, amonia akan diubah menjadi glutamine yang siklusnya
berjalan dari astrosit sampai neuron, dan selanjutnya akan diubah menjadi
glutamate. Setelah pelepasan glutamate ke celah sinaptik, reuptake terjadi
pada astrosit. Penurunan konsumsi oksigen dan metabolisme glukosa terjadi
secara sekunder pada ensefalopati hepatikum (Suspanc, Vargek-solter, &
Demarin, 2003).
Tabel 3. Stadium ensefalopati hepatik sesuai kriteria West Haven

Pada kondisi gagal ginjal, ensefalopati muncul akibat uremia. Terjadi


akumulasi asam organik toksik pada sistem saraf pusat. Salah satu dari
berbagai

toksin

Senyawa guanidine

uremik
didapatkan

adalah

senyawa

meningkat dalam

guanidine .
serum,

cairan

serebrospinal, dan otak pasien uremik. Asam-asam yang memasuki otak ini
akan mengubah fungsi pompa ion sodium natrium, meningkatkan
permeabilitas otak dan gangguan fungsi membran sehingga memungkinkan
produk-produk toksik memasuki jaringan otak. Ensefalopati uremia biasanya
diawali dengan terjadinya sindroma uremikum, yakni kumpulan tanda dan
gejala pada insufisiensi ginjal progresif dan GFR menurun hingga < 10
ml/menit (<10% dari normal) dan puncaknya pada ESRD (end stage renal
disease). Pada pasien didapatkan sindroma uremikum berupa gangguan
elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia), ganguan perdarahan (hematemesis
melena), gatal pada kulit, mual muntah, anoreksia dan penurunan berat badan.
Pasien mengaaku BAB dan muntah berwarna hitam 7 hari sebelumnya.
Konsistensi BAB lunak warna hitam kemerahan bila disiram air, berbau amis
sebanyak -1 gelas belimbing tiap kali BAB. Muntah 1-2 hari sekali warna
kehitaman bercampur makanan sebanyak -1 gelas belimbing tiap kali
muntah. Pasien biasa BAK 1-2x sehari sebanyak 100cc, warna seperti air
the. 5 bulan SMRS pasien mengaku mata terlihat kuning, kemudian 1 bulan
SMRS memberat hingga kuning seluruh tubuh. Ia merasakkan tubuhnya
mudah lelah. Perut dirasakkan semakin membesar. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan adanya kunjungtiva pucat, sclera ikterik, tubuh kuning, liver span
14cm, area traube pekak, nyeri tekan abdomen (+) di regio hypocondriaca

dextra, STLD (+). Pada pemeriksaan penunjang yakni USG terakhir pada
tanggal 28 Agustus 2016 didapatkan hepatomegali dan acites.
Dari gejala klinis yang ditemukan pada pasien, dapat dikatakan bahwa
pasien mengalami hematemesis melena. Hematemesis melena adalah suatu
kondisi di mana pasien mengalami muntah darah yang disertai dengan buang
air besar (BAB) bercampur darah dan berwarna hitam seperti ter.
Hematemesis Hematemesis melena merupakan suatu perdarahan yang terjadi
pada saluran cerna bagian atas (SCBA) berdasarkan etiologinya dapat
dikelompokkan menjadi perdarahan variceal dan non variceal. Perdarahan
variceal diantaranya disebabkan oleh varises esophagus, varises duodenum
ataupun varises lambung, biasanya disebabkan oleh hipertensi portal yang
terjadi sekunder akibat sirosis hepatis. Sifat perdarahan hematemesisnya
mendadak dan masif, tanpa didahului nyeri epigastrium. Darah berwarna
kehitaman dan tidak akan membeku karena sudah tercampur asam lambung.
Setelah hematemesis selalu disusul dengan melena. Sedangkan perdarahan
non variceal diantaranya disebabkan oleh gastropati, ulkus peptikum, gastritis
erosif, tukak duodenum ataupun sindrom Mallory-Weiss. Sifat perdarahannya
pun tidak massif. Pada pasien ini kemungkinnan terjadi perdarahan baik
variceal ataupun non variceal. Perdarahan variceal pada pasien dicetuskan
oleh adanya sirosis hepatis yang disebabkan oleh hepatitis b dan hepatitis c
kronik. Sirosis hepatis menyebabkan peningkatan tekanan porta > 10 mmHg
yang memicu terbentuknya vena kolateral pada esophagus, lambung, rectum
dan bagian anterior dinding abdomen. Apabila keadaan ini terjadi terus
menerus, menyebabkan dilatasi progresif dari vena yang pada akhirnya terjadi
ruptur dengan manifestasi perdarahan. Melena terjadi apabila terdapat
perdarahan 100 200 cc. Hematemesis terjadi apabila volume darah telah
melebihi daya tampung ambung (> 200 cc). Penggolongan child pugh pada
sirosis hati ditentukan berdasarkan pemeriksaan fisik dan lab. Dari
pemeriksaan fisik ditemukan adanya ensefalopati dan acites. Hasil
pemeriksaan laboratorium berupa peningkatan enzim transaminase (SGOT
358 u/l, SGPT 228 u/l), penurunan albumin (2.6 g/dl), peningkatan kadar
bilirubin (5,2 mg/dl) serta pemanjangan PT (20.1 sekon). Berdasarkan temuan

tersebut didapatkan nilai child pugh sebesar 13, yang tergolong dalam
kelompok sirosis hepatis child pugh C. Chil-pugh skor digunakan untuk
menilai risiko kematian perioperatif pada pasien dengan sirosis hepatis
dikaitkan dengan derajat keparahan dari sirosisnya. Child pugh C
menunjukkan gangguan yang berat pada fungsi hati, respon yang buruk pada
semua jenis operasi, kontraindikasi untuk reseksi hati dengan angka
kelangsungan hidup 60%.
Perdarahan non variceal pada pasien ini dapat disebabkan oleh
gastropati akibat neuropati otonom sebagai komplikasi dari DM yang diderita
pasien selama 6 tahun terakhir. Selain itu, kadar ureum yang tinggi pada
paasien menyebabkan peningkatan sekresi asam lambung, sehingga
menimbulkan gastritis erosif yang turut memicu terjadinya perdarahan berupa
hematemesis melena.
4 bulan SMRS pasien mengalami keluhan nyeri perut, mual muntah,
tidak mau makan, dan bicara meracau. Pasien mondok di DKT lalu dirujuk ke
RSDM dan dinyatakan gagal ginjal, rutin cuci darah 2x seminggu. 3 SMRS
pasien dinyatakan
mengidap hepatitis. Sudah 2 tahun ini pasien mengaku bahwa ia menderita
sakit gula. Ia mengatakan kerap mengkonsumsi 3 macam jenis obat yang
diminum 3x sehari. Dari pemeriksaan fisik diperoleh batas jantung kesan
melebar ke arah caudolateral, EKG menunjukkan sinus bradikardi 50x/menit,
LAD -70, Pemeriksaan laboratorium diperoleh Creatinine 14.7 mg/dl, Ureum
359 mg/dL, Protein Total 6.3, Kalium 7.2 mmol/L, Calsium ion 0.52 mmol/L.
Pada USG diperoleh parenchymal renal disease bilateral, hiperplasi prostat,
dan cystitis,
Berdasarkan gambaran klinis di atas, diperkirakan penyakit gagal ginjal
pada pasien berkaitan dengan riwayat diabetes mellitus yang telah diderita
selama 6 tahun terakhir. Nefropati Diabetika adalah komplikasi Diabetes
mellitus pada ginjal yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal. Keadaan ini
akan dijumpai pada 35-45% penderita diabetes militus terutama pada DM tipe
I. Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah
pembesaran ukuran ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan

direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus membawa natrium, bersamaan


dengan efek insulin yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium, akan
menyebabkan volume ekstrasel meningkat, terjalah hiperfiltrasi. Pada
diabetes, arteriole eferen, lebih sensitive terhadap pengaruh angiotensin II
dibanding arteriole aferen,dan mungkin inilah yang dapat menerangkan
mengapa pada diabetes yang tidak terkendali tekanan intraglomeruler naik
dan ada hiperfiltrasi glomerus. Progresifitas kelainan ginjal pada diabetes
militus tipe I (IDDM) dapat dibedakan dalam 5 tahap, yakni :
Tahap

Kondisi Ginjal

AER

LFG

TD

Hipertrofi/Hiperfungsi

Reversible

Kelainan struktur

/N

Mungkin reversible

Mikroalbuminuria persisten

20 200 mg/mnt

/N

Mungkin reversible

Makroalbuminuria

>200 mg/mnt

Rendah

Prognosis

Hipertensi

persisten
5

Uremia

Mungkin bisa
stabilsasi

Tinggi/Rendah

< 10 ml/mnt

Hipertensi

Kesintasan 2 th 50%

Ket : AER = Albumin Excretion Rate, LFG = Laju Filtrasi Glomerulus, N = Normal, TD = Tekanan Darah

Diagnosis nefropati diabetika dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan


seperti di bawah ini:
DM , retinopati diabetika, proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan
interval 2 minggu tanpa penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x
pemeriksaan plus kadar kreatinin serum >2,5mg/dl. Pada pasien belum dilakukan
funduskopi untuk menilai ada tidaknye retinopati, namun pasien mengeluhkan
pandangan matanya kabur. Didapatkan protein total yang meningkat yakni
6.3.Pada pasien diperoleh GFR sebesar 3.4 ml/menit, pemeriksaan fisik dan
rontgen thorax menunjukkan adanya kardiomegali yang semakin menunjang
diagnosis bahwa pasien sudah memasuki stadium end satge, yakni DKD stage V.

Pada juga mengalami anemia normositik normokromik (Hb 3.9 g/dl; Hct 12 %;
Eritrosit 1.38 juta/ul) yang disebabkan oleh karena perdarahan akut. berupa
hematemesis

dan

melena.

Pada

pasiem

juga

ditemukan

ikterik

dan

hepatosplenomegali, air kencing berwarna seperti teh. Hal ini menandakan adanya
gangguan pada hepatobilier. Ikterik pada pasien disebabkan oleh meningkatnya
jumlah bilirubin terkonjugasi. Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi
akibat penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu. Gangguan ekskresi bilirubin
dapat disebabkan oleh kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik. Tergaggunya
ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya
kembali bilirubin ke dalam sirkulasi sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia.
Pada pasien hal ini dapat disebabkan oleh intrahepatik akibat hepatitis kronik dan
sirosis hepatis.
Hepatitis B dan hepatitis C pada pasien dapat disebabkan oleh keadaan
imunokompremaise akibat penyakit diabetes mellitus yang diderita dalam waktu
cukup lama. Pada pasien hepatitis B terdapat dalam fase Imunoaktif ditandai
dengan HbsAg (+). Terjadinya replikasi HBV yang berkepanjangan dan proses
nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi Alanine Amino Transferase
(ALT). Pada keadaan ini pasien sudah mulai kehilangan toleransi imun terhadap
HBV. Manifestasi klinis berupa ikterik, lemas, letih, penurunan nafsu makan.
Anti HCV (+) menunjukkan bahwa saat itu pasien terpapar oleh virus hepatitis C.
Pada pasien terjadi ketidakseimbangan elektrolit berupa hierkalemia dan
hipokalsemia. Hiperkalemia bila kadar kalium dalam plasma lebih 5mEq/l.
Hiperkalemia terjadi pada pasien karena adanya gagal ginjal sehingga terjadi
penurunan ekskresi kalium ginjal yang meningkatkan kadar kalium pada sirkulasi.
Perubahan paling dini, sering terjadi pada kadar kalium serum lebih tinggi dari 6
mEg/L(51=6mmol/L), adalah gelombang T yang tinggi, sempit, deprisi dan
pemendekkan interval QT. Jika kadar kalium serum terus meningkat, interval PR
menjadi memanjang dan diikuti dengan menghilangnya gelombang P. Akhirnya,
terdapat dekomposisi dan pemanjangan komplek QRS. Disritmia ventrikuler dan
henti jantung mungkin terjadi kapan saja dalam keadaan ini.
Hipokalsemia dapat terjadi karena reduksi kalsium total tubuh atau
reduksi persentase kalsium yang teronisasi. Kadar kalsium total mungkin menurun

karena peningkatan kehilangan kalsium. Hipokalsemia pada pasien berhubungan


dengan adanya gagal ginjal akibat nefropati diabetikum. Pada pasien gagal ginjal,
terjadi hiperphosfatemia, dimana fosfat akan berikatan dengan kalsium, sehingga
menyebabkan kadar kalsium darah menurun. Penurunan kadar kalsium darah
menyebabkan disekresikannya hormone paratiroid sehingga terjadi pembongkaran
kalsium dalam tulang. Apabila hal tersebut terjadi terus-meneru menyebabkan
osteodystrophy. Gejala utama hipokalsemia adalah peningkatan iritabilitas
neuromuskuler yang dapat kesemutan pada ujung-ujung jari dan sekitar mulut.
Sensasi semutan dapat terjadi pada ujung jari-jari, sekitar mulut, dan yang jarang
yang terjadi adalah pada kaki. Dapat terjadi spasme otot ekstremitas dan wajah.

DAFTAR PUSTAKA
Sutadi SM. Sirosis hati. Usu repository. 2003. [cited on 2011
February 23rd]. Available from : URL : http:// repository.usu.ac.id/
bitstream/ 123456789 /3386/1/ penydalam-srimaryani5.pdf
Suyono,Sufiana,Heru,Novianto,Riza,Musrifah. Sonografi sirosis
hepatis di RSUD Dr. Moewardi. Kalbe. 2006. [cited on 2011 February
23rd].

Available

from

URL

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09_150_Sonografisirosishepatis.pdf/
09_150_Sonografisirosishepatis.html
Raymon

T.Chung,

Daniel

K.Podolsky.

Cirrhosis

and

its

complications. In : Kasper DL et.al, eds. Harrisons Principles of Internal


Medicine. 16th Edition. USA : Mc-Graw Hill; 2005. p. 1858-62.
Nurdjanah Sitti. Sirosis hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI; 2006. hal. 443-53.
Amiruddin Rifai. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Sudoyo AW
et.al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat
Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI; 2006. hal. 4156.
Faiz O, Moffat D. The liver, gall-bladder, biliary tree. In : Anatomy
at a glance. USA: Blackwell Publishing Company; 2002. p. 445.
Lindseth,

Glenda

N.

Gangguan

Hati,

Kandung

Empedu, dan Pankreas. Dalam : Sylvia A.Price et.al, eds.


Patofisiologi. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC ; 2006. Hal.472-5.
Netter FH. Surface and bed of liver. In : Atlas of Human Anatomy.
4th Edition. USA : Saunders Elsevier; 2006. p. 287.
Douglas Eder. Histology. In : Laboratory Atlas of Anatomy and
Physiology. 4th Edition. USA : McGraw-Hill Science; 2001. p.35

Hall & Guyton. Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta :


Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. hal. 902-6.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Hati dan saluran empedu Dalam
: Hartanto H, Darmaniah N, Wulandari N. Robbins Buku Ajar Patologi. 7 th
Edition. Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. hal.
671-2.
Taylor CR. Cirrhosis. emedicine. 2009. [cited on 2011 February
23rd].

Available

from:

URL

http://emedicine.medscape.com/article/366426-overview
Marc S. Sabatine, Sirosis dalam Buku Saku Klinis, The
Massachusetts General Hospital Handbook of Internal Medicine, 2004,
p.106-10
David C. Dale, Daniel D.Fedeman, AMP Medicine 2007 Edition,
Washington D.C., 2007,p.IX : 1-26

Anda mungkin juga menyukai