Anda di halaman 1dari 10

Objek Bahasan Ilmu Fiqh

Objek pembahasan ilmu fiqh adalah aspek hukum setiap perbuatan mukalaf serta
dalil dari setiap perbuatan tersebut (dalil tafshili).
Seorang ahli fiqh mambahas tentang bagaimana seorang mukalaf melaksanan
shalat, puasa, naik haji dan lain-lain yang berkaitan dengan fiqh ibadah mahdhah,
bagaimana melaksanakan kewajiban-kewajiban rumah tangganya, apa yang haris
dilakukan terhadap harta anggota keluarga yang meninggal dunia dan sebagainya,
yang menjadi objek pembahasan al-Ahwal al-Syakhshiyah (Hukum Keluarga).
Mereka juga membahas bagaimana cara melakukan mumalah dalam arti sempit
(Hukum Perdata), seperti jual beli, sewa-menyewa, patungan, dan lain sebagainya.
Maksiat apa saja yang dilarang serta sanksinya apabila larangan itu dilanggar, atau
bila kewajiban tidak dilaksanakan oleh sorang mukalaf dan lain-lain pembahasan
yang berkaitan dengan fiqh jinayah (Hukum Pidana). Ke lembaga mana saja seorang
mukalaf bias mengadukan masalahnya apabila dia merasa dirugikan atau merasa
diperlakukan secara tidak adil, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan ahkam
al-qadha (hukum Acara). Bagaimana perbuatan mukalaf di dalam melakukan
hubungan hukum dengan masyarakatnya, lembaga-lembaga yang ada di dalam
mesyarakatnya, dengan pemimpinnya dan lain-lain yang berhubungan dengan fiqhsiyasah.
Pokok pembahasan diatas hanya merupakan garis besar gambaran betapa luasnya
objek pembahasan ilmu fiqh itu, itu semua dibahas oleh para fuqaha dalam kitabkitab fiqh yang ribuan judul banyaknya. Setiap judul ada yang 1 jilid, 2 jilid, bahkan
ada yang sampai puluhan jilid. Setiap jilidnya ada yang teridiri 400 sampai 600
halaman, tapi tidak jarang yang ribuan halaman. Ada juga kitab fiqh yang hanya
puluhan halaman saja.
Untuk sekedar memperkenalkan, beberapa judul kitab fiqh itu antara lain :
1. Al-Mabsuth karangan Syams al-Din al-Syarkhasi.
2. Al-Kharaj karangan Imam Abu Yusuf.
3. BadaI al-Shani Tartib al-SyarI karangan Ala al-Din al-Kasani.
4. Radd al-Mukhtar ala Dur al-Mukhtar karangan Ibn Abd al-Din.
5. Al-Siyar al-Kabir karangan Muhammad bin Hasan al-Syaybani.
6. Al-Mudawannah al-Kubra karangan Sahnun.
7. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid karya Ibn Rusyd
8. Al-Umm karangan Imam al-Syafii
9. Tuhfah al-Muhaj ala Syarh al-Minhaj, karya Ibn Hajar al-Haytami.
10.Al-Muhadzdzab karangan Abi Ishaq al-Syirazi.
11.Al-Mughni karangan Ibn Quddamah.
12.Ilam al-Muwaqiin an Rabb al-Alamin karangan Ibn a-Qayim.
Aspek hukum setiap perbuatan mukalaf serta dalil-dalil yang menunjuk kepada tiap
perbuatan itu menjadi objek pembahasan ilmmu fiqh. Kemudian, menghasilkan

penilaian terhadap perbuatan mukalaf tersebut, yaitu salah satu dari al-ahkam alkhamsah (wajib, sunnah, kebolehan, makruh, dan haram).
Sebagai contoh sederhana: Shalat itu wajib dalilnya aqmu al-shalah. Jual beli itu
boleh, dalilnya ahalla Allah al-bay. Jadi, melakukan shalat itu (maksudnya yan
lima waktu) adalah wajib, melakukan jual beli itu boleh. Aqimu al-shalah dan
ahalla Allah al-bay disebut dalil tashili. Artinya, menunjuk kepada satu perbuatan
tertentu, yaitu perbuatan shalat dan perbuatan jual beli. Ini menjadi objek
pembahasan fiqh.1
Metodologi Ilmu Fiqh
Adapun objek pembahasan ushul fiqh adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
metode yang digunakan oleh faqih (ahli hukum islam) di dalam mengeluarkan
hukum dari dalilnya. Jadi, ushul fiqh membahas dan menjelaskan cara-cara beristinbath: Bagaimana caranya menetapkan hukum dalil-dalilnya.
Dari objek pembahasan tersebut, bisa diuraikan lebih jauh seperti ditemukan dalam
kitab-kitab ushul fiqh. Oleh karena ushul fiqh berbicara tentang bagaimana
mengeluarkan hukum, maka di dalam ushul fiqh dibicarakan tentang hukum baik
takrif-nya maupun pembagiannya, yaitu hukum taklifi dan hukum wadi. hukum
taklifi, pada prinsipnya, terdiri dari : al-ijab, al-nadb, al-tahrim, al-kaharah, dan alibahah. Sedangkan yang dibicarakan dalam hukum wadI terdiri dari: sebab, syarat,
al-mani, syah, dan bathal. Dan ada pula yang memasukan dalam bab ini tentang
azimah dan rukhshah.
Bagaimana caranya hukum itu itu dikeluarkan dari dalil-dalilnya? Inilah inti dari
pembahasan ushul fiqh. Di dalam bagian ini, dibahas tentang dalil-dalil hukum,
seperti hal-hal sekitar al-Quran, al-Sunnah, Ijma, Qiyas, Istihsan, al-Maslahah alMursalah, al-Urf, al-Istishhab, Syara umat sebelum kita, mazhab Shahabi, saddu
al-dzariah dan lain sebagainya yang berkaitan dengan dalil-dalil Syara.
Adapun dalam hal yang berkaitan dengan cara mengeluarkan hukum dari dalil,
dibahas tentang kaidah bahasa:
1. tinjauan tentang jelas dan tidak jelasnya satu kata yang menunjukan kepada
maksud tertentu, seperti ada kata yang dhahir, nash, mufashar, muhkam, da nada
pula yang khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih.
2. tinjauan tentang cara memahami kata-kata dalam satu nash, apakah dengan
manthuq-nya atau dengan mahfum-nya (dengan tersurat atau tersirat).
Tinjauan tentang ruang lingkup satu kata tertentu, seperti lafal yang am atau khas.
1 Djazuli, H.A, Ilmu Fiqh (Penggalian, perkembangan, dan penerapan hukum Islam), Jakarta:
Prenada Media Group, 2005. Halaman 19-21.

4. tinjauan tentang bentuk katanya, seperti amr (perintah), nahyu (larangan).


5. dibahas pula kaidah-kaidah tau prinsip-prinsip yang perlu mendapatkan perhatian
serius dalam memecahkan masalah-masalah yang tidak ada nash-nya, seperti:
maaqshid al-syariah, hak Allah, dan hak adami. Dan sudah tentu dibicarakan pula
hal-hal sekitar ijtihad dan berkaitan dengan ijtihad, seperti tingkatan-tingkatan
mujtahid, tentang taqlid dan ittiba.
6. pembahasan di sekitar hakim, yaiut pembahasan yang menjelaskan Allah SWT,
sebagai dzat yang menetapkan hukum. Hukum Allah ini disampaikan melalui
Rasulullah SAW.
7. pembahasan tentang mahkam fih, yaitu pembahasan sekitar perbuatan mukalaf
yang diberi hukum (perbuatan hukum). Di antaranya dibicarakan tentang syarat sah
taklif, seperti taklif itu harus diketahui oleh mukalaf, harus mungkin dilaksanakan,
dan taklif tersebut harus dating dari yang mempunyai kewenangan mentaklif.
8. pembahasan tentang mahkam alayh, yaitu orang mukalaf yang dibebani hukum.
Singkatnya pembahasan tentang subjek hukum.
9. pembahasan yang menjelaskan tentang manusia itu memiliki ahliyah al-wujub,
karena kemanusiaannya, janin sekalipun harus dihormati hak-haknya. Dan
pembahasan tentang ahliyah al-ada, yaitu orang mempunyai kewenangan
bertindak hukum tertentu; orang mukalaf mempunyai ahliyah al-ada secara penuh.
Di samping itu di bahas puka tentang orang-orang yang ahliyah-nya kurang, serta
hambatan-hambatan ahliya-nya, seperti orang gila.
Sepintas lalu tidak semua sistematika kitab Ushul Fiqh itu sama, walaupun uraian di
atas umunya menjadi perhatian para ulama ahli Ushul.
Di samping itu kecenderungan kuat para ahli ushul fiqh bukan saja memerhatikan
cara-cara penarikan hkum dari Al-Quran dan Hadist, juga berusaha agar cara
tersebut (thuruq al-istinbat) bias dipertanggungjawabkan. Dalam arti cara-cara
tersebut adalah cara berfikir hukum menurut Al-Quran dan Hadist. Hal ini
dibuktikan dengan selalu ditunjukannya ayat Al-Quran atau Hadist tentang ijma,
qiyas,istihsan, maslahah, mursalah, dan lain sebagainya. Sudah tentu tidak semua
ulama setuju dengan seluruh cara istinbat ini. Akan tetapi kenyataanya hamper
seluruh dunia islam menggunakan ushul fiqh dalam penarikan hukum, setidaktidaknya sebagian dari ushul fiqh. Ulama yang tidak menyetujui ushul fiqh pun,
apabila diperhatikan hasil ijtihadnya, secara implisit menggunakan ushul fiqh.
Banyak sekali kitab ushul fiqh yang dikarang ulama-ulama dahulu maupun yang
disusun oleh ulama-ulama sekarang di antaranya:
1. Al-risalah, karangan imam Syafii

2. Irsyad al-Fuhul ila Tahqiqi al-Haqq min Ilm al-Ushul, karangan Muhammad bin Ali
bin Muhammad al-Syawkani
3. Al-Mustashfa min Ilm al-Ushul, karangan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
bin Muhammad al-Ghazali.
4. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, karangan Abu Ishaq al-Syathibi
5. Al-Madkhal ila ilm Ushul al-Fiqh, karangan Dr. Muhammad Maruf al-Daulabi.
6. Ushul al-Fiqh al-Islami, karangan Zaki al-Din Syaban.
7.Ibn Ushul al-Fiqh, karangan Abd al-Wahab Kholaf
Kaidah bahasa dan kaidah ushul lainnya, yang biasa digunakan oleh para ulama di
dalam menentukan hukum, patut dipelajari secara seksama.
Di dalam ushul fiqh anatara lain ada kaidah bahasa yang berbunyi:

Pada dasarnya bentuk kata nahyu (larangan) itu menunjukan haram


Kaidah ini bias diterapkan kepada berbagai macam ayat atai hadist yang memakai
bentuk kata larangan, seperti ayat:

Janganlah kamu mengatakan ah pada ibu bapakmu. (al-isra ayat 32)

Janganlah kamu mendekati zina. (al-isra ayat 32)


Kedua ayat tersebut menunjukkan haramnya durhaka dan haramnya mendekati
zina.
Kaidah di atas bersifat umum, namun ada kekecualiaanya, yaitu apabila bentuk
kata larangan tadi mengandung qarinah (tanda) yang menyimpangkan haram pada
maksud yang lain. Seperti dalam ayat:

wahai Tuhan kami janganlah Engkau siksa kami bila kami terlupa dan tersalah.
(al-baqarah ayat 286)
Dalam ayat ini, tidak berarti Allah melarang memberikan hukuman, tetapi berarti
doa, karena berupa permohonan dari yang lebih rendah (manusia) kepada yang
Maha Tinggi (Allah SWT).
Kaidah lain :

Pada pokoknya sesuatu perkataan diartikan dengan arti yang sesungguhnya


(hakikatnya).
Contoh
Seseorang memberikan hibah kepada anaknya, padahal dia juga mempunyai cucu
dan menantu. Maka cucu dan menantu tadi tidak termasuk yang berhak terhadap
hibah tersebut. Sebab lafal anak pada hakikatnya tidak termasuk cucu dan
menantu.
Apabila tidak bias diartikan dengan arti yang sesungguhnya, bias bergeser kepada
arti kiasan, sesuai dengan kaidah :

Apabila sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka sesuatu nash harus
diartikan dengan arti kiasan.

Istri-istrimu adalah pakaian bagimu (para suami) dan kamu para suami adalah
pakaian bagi istri-istrimu. (al-baqarah ayat 187)
Dalam ayat tersebut bukan mengandung arti yang sesungguhnya (hakikatnya),
tetapi diartikan dengan antara suami-istri harus bergaul dengan baik dan saling
menjaga kehormatannya.
Ada kaidah ushul fiqh yang berbunyi :

Hukum itu selalu mengikuti illat hukum. Ada dan tidak adanya hukum tergantung
kepada ada dan tidak adanya illat hukum.
Seperti khamar itu haram karena memabukan. Dalam hal ini, jadi illat hukum adalah
memabukan. Maka setiap minuman yang memabukkan adalah haram.
Dalam Ushul Fiqh sering satu masalah bias didekati dengan berbagai cara. Untuk
memilih mana yang paling tepat di antara cara-cara tersebut dalam memecahkan
satu kasus tertentu sangat tergantung kepada kecermatan dan pengamatan yang
tajam dari seorang mujtahid terhadap maslah tersebut dan kepada seni berijtihad.
Agar hasil ijtihadnya tidak hanya sekedar benar dan akurat, tetapi juga baik dan
indah, memiliki kearifan yang tinggi. Oleh karena itu, para mujtahid selalu
melakukan shalat itikharah sebelum memberikan fatwanya, sebagai usaha terakhir
di dalam proses ijtihad.
Dengan demikian dalam proses ijtihad itu segala potensi insani seorang mujtahid
dikerhakan untuk meraih sebanyak mungkin nilai-nilai samawi. Sebab pada
akhirnya hasil ijtihad yang paling mendekati kepada kebenaran, kebaikan,
keindahan dan kearifan adalah yang paling banyak meraih nilai-nilai uluhiyah. 2
Tujuan Ilmu Fiqh
Tujuan akhir ilmu fiqh adalah untuk mencapai keridhoan Allah SWT. Dengan
melaksanakan syariah-Nya di muka bumi ini, sebagai pedoman hidupp individual,
hidup berkeluarga, maupun hidup bermasyarakat.
Orang sering bertanya, bagaimana hukumannya ini atau itu ? Pertanyaan ini sudah
tentu di dorong oleh keinginan agar segala sikap dan tingkah lakunya sesuai
dengan Syariah yang pada akhirnya mengharapkan keridhoan Allah SWT.
Agar hidup sesuai dengan Syariah, maka dalam kehidupan harus terlaksana nilainilai keadilan, kemaslahtan, mengandung rahmat dan hikmah.
Untuk itu Imam al-Syatibi telah melakukan istiqra (penelitian) yang digali dari AlQuran maupun Sunnah, yang menyimpulkan bahwa tujuan hukum Islam (maqashid
al-Syariah) di dunia ada lima hal, yang dikenal dengan al-maqashid al-Khamsah
yaitu :
1. Memelihara agama (Hifdz al-Din). Yang dimaksud dengan agama disini adalah
agama dalam arti sempit (ibadah mahdhah) yaitu hubungan manusia dengan Allah
SWT, termasuk didalamnya aturan tentang syahadat, shalat, zakat, puasa, haji, dan
aturan lainnya yang meliputi hubungan manusia dengan Allah SWT, dan larangan
yang meninggalkannya.
2 Djazuli, H.A, Ilmu Fiqh (Penggalian, perkembangan, dan penerapan hukum Islam),
Jakarta: Prenada Media Group, 2005. Halaman 21-26.

2. memelihara diri (Hifdz al-Nafs). Termasuk di dalam bagian kedua ini, larangan
membunuh diri sendiri dan membunuh orang lain, larangan menghina dan lain
sebagainya, dan kewajiban menjaga diri.
3. memelihara keturunan dan kehormatan (Hifdz al-nas/ird). Seperti aturan-aturan
tentang pernikahan, larangan perzinaan, dan lain-lain.
4. memelihara harta (Hifdz al-mal). Termasuk bagian ini, kewajiban kasb al-halal,
larangan mencuri, dan menghasab harta orang lain.
5. memelihara akal (Hifdz al-Aql). Termasuk di dalamnya larangan meminum
minuman keras, dan kewajiban menuntut ilmu.
Pengertian al-hifdz di dalam maqashid ini mempunyai dua aspek yaitu :
1. aspek yang menguatkan unsur-unsur maqashid dan mengokohkan prinsipprinsipnya. Melaksanakan segala perintah serta meninggalkan yang dilarang sesuai
dengan aturannya, termasuk dalam aspek yang pertama ini. Aspek ini disebut
aspek Min janib al-Wujud yaitu segala pengaturan dan usaha menguatkan dan
mengembangkan eksistensi maqashidu syariah.
2. Aspek yang menghalangi hilangnya maqashid. Di sinilah letaknya fiqh jinayat
yang memberikan sanksi kepada setiap orang yang melakukan jarimah (tindak
pidana), dan disini pula letaknya amar maruf nahi munkar. Aspek ini disebut aspek
Min janibal al-adam, yaitu segala peraturan dan usaha agar maqashid syariah ini
tidak sirna dari muka bumi.
Untuk kelima hal di atas, ada aturan-aturan yang bersifat dharuriyat yaitu aturan
pokok, ada aturan-aturan yang bersidat hajiyaat yaitu yang bersifat keringanan, da
nada aturan-aturan yang tahsiniyaat yaitu aturan-aturan yang membawa kepada
keindahan di dalam hidup.
Yang dimaksud dengan aturan yang dharuriyat adalah aturan yang tidak bias tidak
mesti ada agar tercapai kemaslahatan hidup. Apabila aturan yang dharuriyaat ini
hilang, maka kemaslahatan tidak akan mantap bahkan akan mengarah
kemafsadatan. Termasuk yang dharuriyaat adalah masalah-masalah keimanan,
aturan-aturan pokok didalam ibadah mahdhah, memelihara diri, akal, keturunan
dan harta.
Adapun yang dimaksud dengan aturan yang hajiyaat adalah aturan-aturan yang
bertujuan agar hidup ini tidak dirasakan sempit dan sulit, tetapi memiliki keluasan
dan fleksibelitas. Contohnya aturan-aturan yang berkaitan dengan aturan rukhshah,
boleh jama dan qashar bagi yang berpergian, boleh melakukan indent atau bay alsalm dalam muamalah, adanya atura membayar diyat bagi orang yang dimaafkan

oleh wali si terbunuh dalam kasus pembunuhan. Adanya aturan wali Hakim di dalam
pernikaha dan aturan lainnya.
Aturan-aturan tahsiniyaat adalah aturan-aturan yang terkait erat dengan sikap dan
tingkah laku yang terpuji, mendorong manusia untuk berakhlak al-karimah dan
menjauhkannya dari al-akhlaq al-madzmumah (siap dan tingkah laku yang tercela).
Contoh aturan tahsiniyaat ini adalah aturan-aturan yang berkaitan dengan thaharah
dan ibadah-ibadah sunnah dalam ibadah mahdhah; menutup aurat, sopan santun
dalam cara makan, minum, berpakaian. Larangan membunuh anak-anak, para
wanita dan pendeta di dalam peperangan. 3
Dari maqashidu syariah tersebut jelas bahwa fungsi hukum Islam adalah:
1. mengarahkan kehidupan manusia kepada al-maqahid al-khamsah, dalam arti
yang seluas-luasnya. Jadi, yang termasuk kepada Hifdz al-din adalah segala usaha
dan pengaturan yang mengarah kepada terlaksananya hubungan manusia dengan
Tuhan dengan cara yang lebih khusyu dan pengembangan sarana-sarana
keagamaan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Termasuk kepada Hifdz
al-Nafs, pembangunan nilai-nilai spiritual manusia. Termasuk kepada Hifdz Nasl,
usaha-usaha yang mengarah kepada terbentuknya generaasi mendatang yang lebih
baik. Termasuk Hifdz al-Mal, menyejahterakan kehidupan materiil seluruh manusia,
termasuk kebutuhan dasarnya, Hifdz Al-aql mendewasakan manusia di dalam
berfikir, bersikap, dan beremosi. Seua ini mengarah kepada terciptanya masyarakat
manusia yang sejahtera lahir-batin, stabil, dinamis dan diwarnai oleh al-Akhlak alkarimah yang indah.
2. mengontrol kehidupan masyarakat dengan aturan-aturan terperinci yang telah
ditegaskan oleg Al-Quran dan Hadist atau hasil ijtihad para ulama.
Tujuan mempelajari Ushul Fiqh
Dari uraian sebelumnya, sepintas telah tergambar bahwa ilmu ushul fiqh memiliki
peran yang amat penting dalam menggali dan menemukan ketentuan-ketentuan
hukum islam/fiqh dari sumber hukum islam itu sendiri, yaitu firman Allah dan hadis
Nabi SAW, mengenai peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi.
Dengan menggunakan analogi ushul fiqh sebagai bagian dari proses produksi, sulit
membayangkan suatu barang/produk dapat dihasilkan, tanpa adanya alat/ mesin
produksi yang menghasilkan suatu produk, dimana ushul fiqh berperan sebagai
mesin produksi tersebut. Karena itu, secara metodologis dapat dikatakan,
seseorang baru dapat dikatakan sebagai ahli hukum islam/ulama fiqh, apabila
menguasai ilmu ushul fiqh. Sebaliknya, orang yang hanya mengetahui ilmu fiqh
3 Al-Syatibi, Abu Ishaq, Al-Muwafaqat fi Ushul Syariah, al-Maktabah Al-Tijariyah alKubra, tanpa tahun, Juz II, halaman 8-11.

tanpa menguasai ilmu ushul fiqh, dapat dengan mudah keliru dan salah dalam
menerapkan pengetahuannya pada kasus-kasus hukum yang dihadapkan
kepadanya. Sebab, pengetahuan fiqhnya itu hanya berdasarkan hafalan saja, tanpa
landasan yang kokoh dan pemahaman yang mendalam terhadap prinsip-prinsip
hukum islam.
Berdasarkan uraian di atas, secara singkat dapat dikatakan, tujuan utama
mempelajari ushul fiqh ialah, untuk menerapkan kaidah-kaidah ushul fiqh pada
dalil-dalil syara, baik Alquran maupun sunnah sehingga menghasilkan hukumhukum syara
Keberhasilan seorang ulama yang menerapkan ilmu ushul fiqh untuk menghasilkan
hukum-hukum syara itu sendiri mengandung tiga kemungkinan sebagai berikut.
Kemungkinan pertama, hukum-hukum yang dihasilkan itu pada hakikatnya
merupakan pengulangan dari apa yang telah dihasilkan para ulama mujtahid
terdahulu. Dalam hal ini, penerapan ilmu ushul fiqh yang dilaksanakan mengandung
makna, memahami cara-cara menemukan hukum melalui ushul fiqh yang
dipraktikan para ulama mujtahid yang lalu.
Kemungkinan kedua, dengan menerapkan ilmu ushul fiqh, dapat menghasilkan
hukum-hukum yang berbeda dengan apa yang ditemukan ulama terdahulu.
Kemungkinan ini dapat terjadi, disebabkan adanya perbedaan waktu atau tempat
atau keadaan dari peristiwa hukum yang terjadi pada masa ulama yang dahulu
dengan waktu atau tempat atau keadaan yang dialami sekarang ini. Dengan
demikian, meskipun secara sepintas terlihat bahwa peristiwanya sama, tetapi
hukum yang dihasilkan dapat berbeda.
Kemungkinan ketiga, hukum-hukum yang dihasilkan itu sama sekali baru, dan
belum pernah dihasilkan oleh para mujtahid dahulu. Dalam konteks ini, ushul fiqh
digunakan untuk menjawab persoalan hukum atas peristiwa-peristiwa yang baru
muncul dewasa ini, di mana pada masa lalu sama sekali belum pernah terjadi
peristiwanya, sehingga terhadap peristiwa itu tidak ditemukan hukumnya dalam
kitab-kitab fiqh warisan para ulama sebelumnya. Misalnya, hukum-hukum fiqh yang
berkaitan dengan bidang kedokteran, ekonomi, dan politik.
Disamping tiga kemungkinan di atas, maka dengan mempelajari ilmu ushul fiqh,
kita dapat pula menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk melakukan
perbandingan (muqaranah, comparative) terhadap hukum-hukum fiqh yang telah
ada. Pada gilirannya langkah ini dapat pula menghasilkan pendapat yang dianggap
paling kuat dan relevan dengan kebutuhan hukum masa kini. 4
Kegunaan Mempelajari Ilmu Fiqh

4 Rahman Dahlan, Abd. Ushul Fiqh, Jakarta: AMZAH, 2010. Halaman 18-20

Kegunaan mempelajari Ilmu Fiqh sama pentingnya dengan kegunaan mempelajari


ushul fiqh dan kaidah fiqh.
Kegunaan mempelajari ushul fiqh adalah untuk mengetahui hukum dengan jalan
yakin dan pasti tau dengan jalan dzan yaitu perkiraan yang lebih kuat pada
kebenaran. Di samping itu, mempelajari ushul fiqh juga sangat berguna untuk
menghindarkan diri dari mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui alas analasannya. Dengan kata lain untuk menghindarkan diri dari taklid.
Adapun mempelajari kaidah fiqh berguna untuk menentukan sikap dan kearifan
dalam menarik kesimpulan serta menerapkan aturan-aturan fiqh terhadap
kenyataan-kenyataan yang ada, sehingga tidak menimbulkan ekses yang tidak
perlu karena diperhatikan skala prioritas penerapannya. Tidak bersikap ifrath yaitu
lebih dari batas dan tidak pula bersikap tafrith yaitu kurang dari batas.
Selanjutnya kegunaan mempelajari ilmu fiqh, bias dirumuskan sebagai berikut :
1. mempelajari ilmu fiqh berguna dalam memberi pemahaman tentang berbagai
aturan secara mendalam.
Dengan mengetahui ilmu fiqh kita akan tahu aturan-aturan secara rinci mengenai
kewajiban dan tanggung jawab manusia terhadap Tuhannya, hak dan kewajibannya
dalam rumah tangga dan hak serta kewajibannya dalam hidup bermasyarakat. Kita
akan tahu cara-cara bersuci, cara-cara shalat, zakat, puasa, haji, meminang, nikah,
talak, rujuk, pembagian warisan, jual beli, sewa-menyewa, hukum-hukum bagi
orang yang melanggar ketentuan ajaran islam, aturan-aturan kepemimpinan, dan
lain sebagainya.
2. mempelajari ilmu fiqh berguna sebagai patokan untuk untuk bersikap dalam
menjalani hidup dan kehidupan.
Dengan mengetahui ilmu fiqh, kita akan tahu mana perbuatan-perbuatan yang
wajib, sunnat, mubah, makruh, dan haram, mana perbuatan-perbuatan yang sah
dan mana yang batal. Singkatnya, dengan mengetahui dan memahami ilmu fiqh
kita berusaha untuk bersikap dan bertingkah laku menuju kepada yang diridhoi
Allah SWT, karena tujuan akhir ilmu fiqh adalah untuk mencapai keridhoan Allah
dengan melaksanakan Syariat-Nya.5

5 Djazuli, H.A, Ilmu Fiqh (Penggalian, perkembangan, dan penerapan hukum Islam),
Jakarta: Prenada Media Group, 2005. Halaman 31-32.

Anda mungkin juga menyukai