Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I
PENDAHULUAN
Sistem endokrin merupakan sistem dan organ yang memproduksi hormon.
Kelenjar endokrin adalah kelenjar yang tidak mempunyai saluran keluar (ductus
exkretorius). Yang termasuk susunan endokrin ialah: hipotalamus, kelenjar
hipofisis (pituitaria), kelenjar pineal, kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid, kelenjar
timus, pulau-pulau langerhans pankreas, korteks dan medula anak ginjal, ovarium,
testis dan sel endokrin di saluran cerna yang disebut sel amine precursor uptake
and

decarboxylation

(sel

APUD).

Kelenjar

tiroid

berfungsi

untuk

mempertahankan tingkat metabolisme di berbagai jaringan agar optimal,


merangsang konsumsi oksigen pada sebagian besar sel ditubuh. .1
Struma nodosa atau struma adenomatosa terutama di temukan di daerah
pegunungan karena defisiensi iodium. Struma endemik ini dapat dicegah dengan
substitusi iodium. Di luar daerah endemik, struma nodosa ditemukan secara
insidental atau pada keluarga tertentu. Etiologinya umumnya multifaktorial.
Biasanya tiroid sudah membesar sejak usia muda dan berkembang menjadi
multinodular pada saat dewasa.
Struma multinodosa biasanya ditemukan pada wanita berusia lanjut, dan
perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia sampai bentuk involusi.
Kebanyakan struma multinodosa dapat dihambat oleh tiroksin.
Penderita struma nodosa biasanya tidak mengalami keluhan karena tidak
ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal, tetapi
kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi
jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya yang sering
berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di
leher. Sebagian penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya
tanpa gangguan. .2

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Identifikasi
Nama

: Tn.M

Jenis kelamin

: Laki-laki

Usia

: 33 tahun

Kebangsaan

: Indonesia

Agama

: Islam

Status

: Menikah

Pekerjaan

: Buruh Bangunan

Alamat

: Lr Omka no 986 kelurahan tlg lebuh OI

Tanggal masuk

: 21 Oktober 2013

No. RM

: 401626

2.2. Anamnesis
Keluhan Utama:
Timbul benjolan di leher depan
Riwayat Perjalanan Penyakit:
3 bulan SMRS os mengaku timbul benjolan dileher bagian depan
awalnya benjolan tersebut kecil sebesar kelereng dan semakin lama
semakin membesar dan terlihat jelas sebesar telur ayam hingga saat ini.
Keluhan lain seperti nyeri menelan tidak ada,jantung berdebar (-), keringat
berlebih (-), tidak tahan ditempat panas atau dingin (-), mudah marah (-),
gelisah (-), lelah (-), tremor (-). Pasien tidak merasakan adanya nyeri di
daerah leher. nafsu makan biasa, dan tidak ada penurunan berat badan.
Pasien mengaku tidak pernah tinggal didaerah yang penduduknya
mengalami keluhan yang sama.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal oleh
penderita.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga:
Dari keluarga tidak ada yang menderita Diabetes melitus (-),
Hipertensi (-), Jantung (-), Asma (-), Alergi obat (-).
Riwayat Kebiasaan :
Merokok (+). Minum alkohol (-). Olahraga (-).
2.3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Kesadaran
Tanda vital

Berat badan

: Tampak sakit ringan


: Compos mentis
:
Tekanan darah
Nadi
Pernapasan
Suhu
: 67 kg

: 130/80mmHg
: 82x/menit
: 20x/menit
: 36,4C

Status generalis

Kepala

: Normochepali, tidak ada deformitas


Mata : pupil isokor (+/+), palpebra edema (-/-), conjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflex cahaya (+/+), gerak
bola mata normal, eksopthalmus (-).

Mulut
Hidung
Telinga
Leher

: bibir pucat (-/-), lidah kotor (-/-)


: Nafas cuping hidung (-/-), epistaksis (-/-)
: gangguan pendengaran (-/-)
:Kelenjar getah bening tidak teraba membesar, kelenjar
tiroid teraba

membesar dan mengikuti pergerakan saat

menelan, JVP normal


Paru-paru
Inspeksi
Palpasi

: Kanan
: Simetris
Kiri
: Simetris
: Stemfremitus simetris kanan dan kiri sama

Perkusi
Auskulatasi

: Sonor pada kedua lapang paru


: Suara nafas vesiculer (+/+), ronchi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi
Palpasi

: Tidak tampak pulsasi ictus cordis


: Teraba ictus cordis pada sela iga V di linea midklavikula

Perkusi

kiri
: Batas kanan : sela iga V linea parasternalis kanan
Batas kiri
: sela iga V, 1 cm sebelah medial linea

Auskultasi

midclavikula kiri
Batas atas : sela iga II linea parasternal kiri
: Bunyi jantung I-II regular (+), murmur(-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi
Palpasi

: Simetris, datar, benjolan (-)


: Dinding perut
: nyeri tekan epigastrium (-), nyeri

Perkusi
Auskultasi

lepas (-)
Hepar
: tidak teraba membesar
Lien
: tidak teraba membesar
Ginjal
: Ballotement (-)
: Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)
: Bising usus (+) 3x/menit

Anggota Gerak
Anggota gerak atas
Otot
Tonus
Sendi
Gerakan
Kekuatan
Tremor
Oedem
Petechiae
Anggota gerak bawah
Otot
Tonus
Sendi
Gerakan
Kekuatan
Oedem

Kanan

Kiri

normotonus
normal
aktif
+5
(-)
(-)
(-)
Kanan

normotonus
normal
aktif
+5
(-)
(-)
(-)
Kiri

normotonus
normal
aktif
+5
(-)

normotonus
normal
aktif
+5
(-)

Petechiae

(-)

(-)

Status lokalis : Regio Coli


Inspeksi
Tampak benjolan pada daerah coli,ukuran 3x5 cm ,Benjolan berbentuk
bulat, berjumlah satu, warna seperti kulit disekitarnya, dan terlihat ikut
bergerak ke atas saat pasien menelan. Pembesaran KGB (-), jejas (-),

luka (-)
Palpasi
Teraba benjolan pada daerah coli. Benjolan berbatas tegas, berbentuk
bulat, berjumlah satu, teraba kenyal, permukaan licin, nyeri tekan (-),
tidak teraba hangat dan teraba bergerak ke atas saat pasien menelan.
Tidak teraba adanya pembesaran KGB.

2.4. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pre-operasi
Pemeriksaan
T3
T4
TSH

Hasil
0,78 ng/ml
6,12 ug/dl
1,59 ulu/ml

2.5 Diagnosis
Struma nodusa non toksik
2.6 Diagnosis Banding
Kista ductus tiroglussus
.7 Penatalaksanaan
Terapi Operatif

: thyroidektomi

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad functionam : Dubia ad Bonam

Nilai normal
0,8 - 2,0 ng/ml
4,5 - 12,0 ug/dl
0,47 - 5,01 ulu/ml

FOLLOW UP PRE OP 21 Oktober 2013


Subjektif :
Tampak dan teraba benjolan di leher bagian anterior
Objektif
Keadaan Umum

Tampak sakit sedang

Kesadaran

Composmentis

Tekanan Darah

130/80 mmHg

Suhu

36,1 0C

Nadi

79 x/menit

RR

22 x/menit

Asessment
Struma nodusa non toksik
FOLLOW UP POST OP 22 Oktober 2013
Subjektif :
Nyeri Post op
Objektif
Keadaan Umum

Tampak sakit sedang

Kesadaran

Compos mentis

Tekanan Darah

120/80 mmHg

Suhu

36,3 0C

Nadi

78 x/menit

RR

23 x/menit

Asessment
Struma nodusa non toksik

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Embriologi, Anatomi dan fisiologi tulang

Embriologi
Glandula thyroidea mula-mula berkembang dari penonjolan endodermal
pada garis tengah dasar pharynx, diantara tuberculum impar dan copula.
Nantinya penebalan ini berubah menjadi divertikulum yang disebut ductus
thyroglossalis. Dengan berlanjutnya perkembangan, duktus ini memanjang
dan ujung distalnya menjadi berlobus dua. Duktus ini merubah menjadi
tali padat dan bermigrasi menuruni leher, berjalan di sebelah anterior, atau
posterior terhadap os hyoideum yang sedang berkembang. Pada minggu ke
tujuh, tiba pada posisi akhirnya di dekat larynx dan trachea. Sementara itu
tali padat yang menghubungkan glandula thyroidea dengan lidah, terputus
dan lenyap. Tempat asal ductus tyroglossalis pada lidah menetap sebagai
suatu sumur yang disebut foramen caecum linquae. Kemudian, dua lobus
pada ujung terminal ductus thyroglossalis akan membesar sebagai akibat
proliferasi epitel dan membentuk glandula thyroidea.1

Anatomi
Glandula thyroidea terdiri atas lobus kiri dan kanan yang dihubungkan
oleh isthmus yang sempit. Setiap lobus berbentuk buah avokad, dengan

puncaknya ke atas sampai linea oblique cartilaginis thyroidea dan basisnya


terdapat dibawah, setinggi cincin trachea ke-4 atau ke-5. Glandula
thyroidea merupakan organ yang sangat vascular, dibungkus oleh selubung
yang berasal dari lamina pretrachealis. Selubung ini melekatkan kelenjar
ini ke larynx dan trakhea.2
Juga sering didapatkan lobus piramidalis, yang menjalar ke atas dari
isthmus, biasanya ke kiri garis tengah. Lobus ini merupakan sisa jaringan
embryonic thyroid yang ketinggalan pada waktu migrasi jaringan ini ke
bagian anterior di hipofaring. Bagian atas dari lobus ini dikenal sebagai
pole atas dari kelenjar tiroid, dan bagian bawah disebut sebagai pole
bawah. Suatu pita fibrosa atau muscular sering menghubungkan lobus
piramidalis dengan os hyoideum; jika ia muscular disebut sebagai m.
levator glandulae thyroidea.2
Berat tiroid pada orang dewasa normal adalah 10-30 gram tergantung
kepada ukuran tubuh dan suplai Iodium. Lebar dan panjang dari isthmus
sekitar 20 mm, dan ketebalannya 2-6 mm. Ukuran lobus lateral dari pole
superior ke inferior sekitar 4 cm. Lebarnya 15-20 mm, dan ketebalan 2039 mm. Kelenjar tiroid terletak antara fascia colli media dan fascia
prevertebralis. Di dalam ruangan yang sama terdapat trakea, esophagus,
pembuluh darah besar, dan saraf.2
Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan fascia pretrachealis dan
melingkari duapertiga bahkan sampai tigaperempat lingkaran. A. carotis
communis, v. jugularis interna, dan n. vagus terletak bersama di dalam
suatu ruang tertutup di laterodorsal tiroid. N. recurrens terletak di dorsal
sebelum masuk ke laring. N. phrenicus dan truncus symphaticus tidak
masuk ke dalam ruang antara fascia media dan prevertebralis. Limfe dari
kelenjar tiroid terutama dicurahkan ke lateral, ke dalam nl. cervicales
profundi. Beberapa pembuluh limfe berjalan turun ke nl. paratracheales.1
Seluruh cincin tiroid dibungkus oleh suatu lapisan jaringan yang
dinamakan true capsule. Sedangkan extension dari lapisan tengah fascia
servicalis profundus yang mengelilingi tiroid dinamakan false capsule atau
surgical capsule. Seluruh arteri dan vena, plexus limphaticus dan kelenjar

paratiroid terletak antara kedua kapsul tersebut. Ligamentum Berry


menjadi penghubung di bagian posterior antara kedua kapsul tersebut.
Ligamentum Berry menjadi penghubung di bagian posterior antara kedua
lobus tiroid.2
Aa. carotis superior dextra et sinistra, dan kedua aa. thyroidea inferior
dextra et sinistra memberikan vaskularisasi untuk tiroid. Kadang kala
dijumpai a. ima, cabang truncus brachiocephalica. Sistem vena berjalan
bersama arterinya, persarafan diatur oleh n. recurrens dan cabang dari n.
laryngeus superior, sedangkan sistem limfatik yang penting menerima
aliran limfe tiroid terdiri dari pembuluh limfe superior yang menerima
cairan limfe dari pinggir atas isthmus, sebagian besar permukaan medial
lobus lateral, dan permukaan ventral dan dorsal bagian atas lobus lateral
dan pembuluh limfe inferior yang menerima cairan limfe dari sebagian
besar isthmus dan bagian bawah lobus lateral.2
Pada pembedahan tiroid penting memperhatikan jalan arteri pada pool
atas kanan dan kiri, karena ligasi tinggi pada arteri tersebut dapat
mencederai

n.

laryngeus

superior, kerusakan

nervus

ini

dapat

mengakibatkan perubahan suara menjadi parau yang bersifat sementara


namun dapat pula permanen.2

10

Gambar 2.1 Kelenjar tyroid2


Fisiologi
Kelenjar tiroid menghasilkan hormone tiroid utama yaitu tiroksin (T4)
yang kemudian berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu triyodotironin (T3).
Iodium nonorganic yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku
hormone tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali sehingga
mempunyai afinitas yang sangat tinggi di dalam jaringan tiroid. Sebagian
besar T4 kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi sedangkan sisanya tetap
didalam kelenjar yang kemudian mengalami daur ulang. Di sirkulasi,
hormone tiroid akan terikat dengan protein yaitu globulin pengikat tiroid
(thyroid binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat albumin
(thyroxine binding prealbumine, TBPA).2
Hormon stimulator tiroid (thyroid stimulatimg hormone, TSH)
memegang peranan penting untuk mengatur sekresi dari kelenjar tiroid.
TSH dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Proses yang dikenal
sebagai negative feedback sangat penting dalam pengeluaran hormone
tiroid ke sirkulasi. Pada pemeriksaan akan terlihat adanya sel parafolikuler
yang menghasilkan kalsitonin yang berfungsi untuk mengatur metabolism
kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum terhadap tulang.2

Gambar 2.2 Fisiologi tiroid2

11

T4 yang beredar, diproduksi dan diseksresikan secara primer oleh


kelenjar tiroid, dan T3 yang kebanyakan berasal dari perubahan T4
menjadi T3 di hati, diikat oleh protein plasma, sebagian besar ikatan
tersebut adalah tiroksin yang berikatan dengan globulin (throxine bindingglobulin, TBG) dan sebagian kecil menjadi tiroksin yang berikatan dengan
prealbumin (thyroxine binding pre-albumin TBPA), dan sebagian kecil lagi
hormon yang dalam keadaan bebas inilah yang secara fisiologis berperan
penting, termasuk yang berfungsi dalam proses umpan balik.2
T3 dan T4 berbeda dalam jumlah total molekul iodium yang terkandung
(tiga untuk T3 dan empat untuk T4 ). Sebagian besar (90%) hormon tiroid
yang dilepaskan ke dalam darah adalah T4, tetapi T3 secara fisiologis lebih
bermakna. Baik T3 maupun T4 dibawa ke sel-sel sasaran mereka oleh
suatu protein plasma.2
Pembentukan dan Sekresi Hormon Tiroid
Ada 7 tahap, yaitu:4
1. Trapping
Proses ini terjadi melalui aktivitas pompa iodida yang terdapat pada
bagian basal sel folikel. Dimana dalam keadaan basal, sel tetap
berhubungan dengan pompa Na/K tetapi belum dalam keadaan aktif.
Pompa iodida ini bersifat energy dependent dan membutuhkan ATP.
Daya pemekatan konsentrasi iodida oleh pompa ini dapat mencapai 20100 kali kadar dalam serum darah. Pompa Na/K yang menjadi perantara
dalam transport aktif iodida ini dirangsang oleh TSH.
2. Oksidasi
Sebelum iodida dapat digunakan dalam sintesis hormon, iodida tersebut
harus dioksidasi terlebih dahulu menjadi bentuk aktif oleh suatu enzim
peroksidase. Bentuk aktif ini adalah iodium. Iodium ini kemudian akan
bergabung dengan residu tirosin membentuk monoiodotirosin yang
telah ada dan terikat pada molekul tiroglobulin (proses iodinasi).
Iodinasi tiroglobulin ini dipengaruhi oleh kadar iodium dalam plasma.
Sehingga makin tinggi kadar iodium intrasel maka akan makin banyak

12

pula iodium yang terikat sebaliknya makin sedikit iodium di intra sel,
iodium yang terikat akan berkurang sehingga pembentukan T3 akan
lebih banyak daripada T4.
3. Coupling
Dalam molekul tiroglobulin, monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin
(DIT) yang terbentuk dari proses iodinasi akan saling bergandengan
(coupling) sehingga akan membentuk triiodotironin (T3) dan tiroksin
(T4). Komponen tiroglobulin beserta tirosin dan iodium ini disintesis
dalam koloid melalui iodinasi dan kondensasi molekul tirosin yang
terikat pada ikatan di dalam tiroglobulin. Tiroglobulin dibentuk oleh
sel-sel tiroid dan dikeluarkan ke dalam koloid melalui proses
eksositosis granula.
4. Penimbunan (storage)
Produk yang telah terbentuk melalui proses coupling tersebut kemudian
akan disimpan di dalam koloid. Tiroglobulin (dimana di dalamnya
mengandung T3 dan T4), baru akan dikeluarkan apabila ada stimulasi
TSH.
5. Deiodinasi
Proses coupling yang terjadi juga menyisakan ikatan iodotirosin. Residu
ini kemudian akan mengalami deiodinasi menjadi tiroglobulin dan
residu tirosin serta iodida. Deiodinasi ini dimaksudkan untuk lebih
menghemat pemakaian iodium.
6. Proteolisis
TSH yang diproduksi oleh hipofisis anterior akan merangsang
pembentukan vesikel yang di dalamnya mengandung tiroglobulin. Atas
pengaruh TSH, lisosom akan mendekati tetes koloid dan mengaktifkan
enzim protease yang menyebabkan pelepasan T3 dan T4 serta
deiodinasi MIT dan DIT.
7. Pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid (releasing)
Proses ini dipengaruhi TSH. Hormon tiroid ini melewati membran basal
dan kemudian ditangkap oleh protein pembawa yang telah tersedia di

13

sirkulasi darah yaitu Thyroid Binding Protein (TBP) dan Thyroid


Binding Pre Albumin (TBPA). Hanya 0,35% dari T4 total dan 0,25%
dari T3 total yang berada dalam keadaan bebas. Ikatan T3 dengan TBP
kurang kuat daripada ikatan T4 dengan TBP. Pada keadaan normal
kadar T3 dan T4 total menggambarkan kadar hormon bebas. Namun
dalam keadaan tertentu jumlah protein pengikat bisa berubah. Pada
seorang lansia yang mendapatkan kortikosteroid untuk terapi suatu
penyakit kronik cenderung mengalami penurunan kadar T3 dan T4
bebas karena jumlah protein pembawa yang meningkat. Sebaliknya
pada seorang lansia yang menderita pemyakit ginjal dan hati yang
kronik maka kadar protein binding akan berkurang sehingga kadar T3
dan T4 bebas akan meningkat.
Fungsi kelenjar tiroid antara lain adalah menghasilkan hormon tiroid dan
menghasilkan hormon kalsitonin. Fungsi dari hormon tiroid antara lain :3,4
1. Proses metabolisme yaitu sebagai termoregulasi dan kalorigenik
2. Dalam metabolisme karbohidrat bersifat diabetogenik karena resorbsi
intestinal meningkat, cadangan glikogen hati meningkat dan glikogen
otot menipis serta degradasi insulin meningkat.
3. Dalam metabolisme lipid adalah mempercepat sintesis kolesterol, tetapi
ekskresi lipid di empedu ternyata jauh lebih cepat daripada sintesis
kolesterol sehingga didapatkan penurunan kadar kolesterol total.
4. Dalam metabolisme protein bersifat anabolik, tetapi dalam jumlah besar
bersifat katabolik.
5. Berperan dalam pembentukan vitamin A, yaitu konversi provitamin A
menjadi vitamin A di hati.
6. Berpengaruh terhadap perkembangan fetus
7. Berpengaruh terhadap konsumsi oksigen, produksi panas, dan
pembentukan radikal bebas
8. Efek terhadap kardiovaskuler,

simpatis,

paru-paru,

hematopoietik, gastrointestinal, skeletal, dan neuromuskuler.


9. Berpengaruh terhadap ovulasi.

sistem

14

3.2 Definisi Struma


Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid. Kata tiroid berasal dari bahasa
Yunani thyros yang berarti perisai atau berbentuk perisai.

3.3 Klasifikasi

Secara umum dibagi menjadi


KLASIFIKASI dan KARAKTERISTIK
1. Berdasarkan jumlah nodul
a. Struma nodus soliter
b. Struma multinodosa
2. Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif
a. Nodul dingin : bila tidak ada penangkapan iodium atau kurang
dari jaringan sekitarnya.
b. Nodul hangat : bila penangkapan iodium
sama dengan jaringan sekitarnya.
c. Nodul panas : bila penangkapan iodium
melebihi jaringan sekitarnya.
3. Berdasarkan konsistensi
a. Struma nodul lunak
b. Struma nodul kistik
c. Struma nodul keras
d. Struma nodul sangat keras
4. Berdasarkan manifestasi klinis
a. Struma non toksik

Diffuse : Endemic goiter, Gravida goiter

Nodosa : Neoplasma

15

b. Struma toksik

Diffuse : Grave disease

Nodosa : Tirotoksikosis
Toksik

Diffuse
Non Toksik

Struma

Toksik

Nodul

Non Toksik

Faalnya bisa :
1. Eutiroid (normal)
2. Hipotiroid (kurang dari normal)
3. Hipertiroid (berlebihan)
Istilah ini menunjukkan keadaan pada suatu saat, bukan gambaran dari
penyakitnya. Akan tetapi lebih tepat digunakan istilah klinik :
a. Non toksik

: yang dimaksud adalah eutiroid atau

hipotiroid.
b. Toksik

: yang dimaksud adalah hipertiroid.

Dikenal beberapa macam morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran


mikroskopiknya yang diketahui dengan palpasi atau auskultasi :
1. Bentuk kista : struma kistik
2. Bentuk noduler : struma nodosa
3. Bentuk diffusa : struma diffusa

16

4. Bentuk vascular : struma vaskulosa

Gejala-gejala dari hipertiroid :


1. Berat badan menurun
2. Banyak keringat
3. Emosional
4. Berdebar-debar
5. Sesak napas
6. Lemah otot
7. Diare
8. Gemetar
9. Haid tidak teratur
10. Rambut mudah rontok
11. Mata melotot
12. Kelenjar gondok membesar
Gejala-gejala dari hipotiroid
1. Penambahan berat badan
2. Sensitif pada udara dingin
3. Masalah mental
4. Penurunan kemampuan berbicara
5. Masalah jantung
6. Konstipasi (sulit buang air besar)
7. Menstruasi yang berlebihan
8. Masalah kulit dan rambut, Kulit cenderung menjadi kering dan kasar. Kelopak
mata, tangan dan kaki membengkak. Sebagian orang mengalami vitiligo
(bercak-bercak putih pada kulit). Rambut menjadi kering dan kusut serta
sebagian alis rontok. .4

Pemeriksaan Kelenjar Tiroid

17

Anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik, dan penilaian klinik mempunyai peran
yang penting dalam menentukan diagnosis penyakit tiroid.
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk tiroid terdiri dari inspeksi dan palpasi.
Bila tiroid teraba membesar, amati : kesimetrisan lobus kanan dan lobus kiri,
unilateral/bilateral,

apakah

berbentuk

nodul,

konsistensi,

ukuran,

batas,

permukaan, mobile/imobile, nyeri tekan, adakah kelainan kulit.

2. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan biokimia secara radioimunoasay yang dapat memberi


gambaran fungsi tiroid, yaitu dengan mengukur kadar T4, T3, TBG, dan TSH
dalam plasma.

18

Sidik radioaktif menggunakan unsur teknetium (Tc99m) atau yodium (I131)


dapat memperlihatkan gambaran jaringan tiroid yang berfungsi. Cara ini berguna
untuk menetapkan apakah kelenjar tiroid bersifat hiperfungsi, hipofungsi, atau
normal. Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan apakah nodul itu ganas atau
jinak.
Teknik ultrasonografi (USG) digunakan untuk menentukan apakah nodul
tiroid yang teraba pada palpasi adalah nodul tunggal atau multipel, dan
berkonsistensi padat atau kistik. Keuntungan USG : dapat dilakukan kapan saja,
tidak perlu persiapan, lebih aman, dapat dilakukan pada wanita hamil dan anakanak, dapat membedakan antara yang jinak dengan yang ganas. .3

Pemeriksaan sitologi nodul tiroid diperoleh dengan

Biopsi Aspirasi

Jarum Halus (Bajah) atau Fine Needle Aspiration (FNA). Cara pemeriksaan ini

19

berguna untuk menetapkan diagnosis karsinoma tiroid, tiroiditis, atau limfoma.


Keuntungan : tidak nyeri. Kerugian : dapat memberikan hasil negative palsu
Termografi adalah suatu metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran
susu kulit pada suatu tempat. Alatnya adalah Dynamic Telethermography.
Hasilnya disebut panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9 C dan
dingin apabila < 0,9 C. Cara pemeriksaan dengan termografi dibandingkan
dengan yang lain adalah yang paling sensisitif dan spesifik.
Petanda tumor (tumor marker). Dari semua petanda tumor yang telah
diuji hanya peninggian tiroglobulin (Tg) serum yang mempunyai nilai bermakna.
Kadar Tg serum normal 1,5-3,0 ng/ml. Pada kelainan jinak rata-rata 323 ng/ml
dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.
3.4 Struma Nodosa Non Toksik
Struma nodosa atau struma adenomatosa, terutama ditemukan di daerah
dekat pegunungan disebabkan karena defisiensi yodium. Struma endemic ini
dapat dicegah dengan substitusi yodium. Diluar daerah endemic, struma nodosa
karena insufisiensi yodium, struma nodosa ditemukan secara insidental atau pada
keluarga tertentu. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan
berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Struma multinodosa
biasanya terjadi pada wanita berusia lanjut dan perubahan yang terdapat pada
kelenjar berupa hyperplasia sampai bentuk involusi. Kebanyakan struma multi
nodosa dapat dihambat oleh tiroksin. .5
3.5 ETIOLOGI
1. Lingkungan
Defisiensi yodium : struma endemic
Obat-obatan
tiosianat,

:
lithium,

aminoglutetimid
Yodium yang berlebihan
Radiasi

sulfonylurea,

sulfonamide,

propitiourasil,

kobalt,

20

Stress fisiologik
Belum diketahui : florida, kalsium, singkong, kedelai
2. Imunology: Tiroiditis Hashimoto
3. Genetik

: Dishormonogenesis, refraksi jaringan terhadap hormone

tiroid
4. Virus

: Tiroiditis sub-akut

5. Infeksi

: Tiroiditis akut

3.6 PATOGENESIS
Defisiensi yodium atau gangguan kimia intratiroid dapat mengakibatkan
kapasitas kelenjar tiroid untuk mensekresi tiroksin terganggu, mengakibatkan
peningkatan kadar TSH dan hyperplasia dan hipertrofi folikel-folikel tiroid. Mulamula terjadi hyperplasia kemudian terjadi involusi. Hyperplasia dan involusi ini
terjadi fokal. Hyperplasia mungkin bergantian dengan fibrosis dan dapat timbul
nodul-nodul yang mengandung folikel-folikel tiroid. .5
3.7 GEJALA KLINIS
Biasanya penderita struma tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipo
atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tapi kebanyakan akan berkembang
menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan
kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma
dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian penderita
dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan. .6,7
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena
menonjol ke depan, sebagian yang lain dapat menyebabkan penyempitan trakea
jika pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan
pendorongan sampai jauh kearah kontralateral. Pendorongan demikian mungkin
tidak

mengakibatkan

gangguan

pernapasan.

Penyempitan

yang

berarti

menyebabkan gangguan pernapasan sampai akhirnya terjadi dispnoe dengan


stridor inspiratoar. .7

21

Biasanya

struma

adenomatosa

benigna

walaupun

besar,

tidak

menyebabkan gangguan neurologik, musculoskeletal, vaskuler atau menelan


karena tekanan atau dorongan.
Keluhan yang ada adalah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik
untuk menutup laring dan epiglottis sehingga tiroid terasa berat karena terfiksasi
pada trakea. .8

3.8 MANIFESTASI KLINIS


Anamnesa yang teliti, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan klinis
mempunyai peranan yang penting dalam menentukan diagnosis penyakit tiroid.
Dalam sejumlah keadaan klinik, diagnosis dan terapi dapat ditegakkan serta
dilakukan hampir tanpa pemeriksaan. Adanya massa keras dalam satu atau kedua
lobus tiroid dengan fiksasi ke struktur lebih profunda dan kulit, limfadenopati
keras penyerta, efek tekanan atas trakea dan esophagus serta kemungkinan
paralysis nervus recurren laryngeus sangat menggambarkan keganasan tiroid
invasive. Bila terjadi pembesaran di leher yang berasal dari tiroid, akan tampak
pembesaran ini bergerak naik turun waktu menelan.
Pemeriksaan status lokalis perlu disebutkan :
1. Jumlah nodul : satu(soliter), lebih dari satu (multiple)
2. Konsistensi

: lunak, kistik, keras, sangat keras

3. Nyeri pada penekanan : ada atau tidak


4. Perlekatan dengan sekitarnya : ada atau tidak
5. Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada atau tidak
Keganasan umumnya terjadi pada nodul yang soliter dan konsistensinya
keras sampai sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas, kecuali apabila
salah satu dari nodul tersebut lebih menonjol dan lebih keras dari pada yang
lainnya. Apabila suatu nodul nyeri pada penekanan dan mudah digerakkan,
kemungkinan terjadi suatu perdarahan ke dalam kista, suatu adenoma atau

22

tiroiditis, tetapi kalau nyeri dan sukar digerakkan kemungkinan besar suatu
karsinoma. .8
Nodul yang tidak nyeri, multiple dan bebas digerakkan mungkin
merupakan struma difus atau hyperplasia tiroid. Apabila nodul multiple tidak
nyeri tetapi tidak mudah digerakkan ada kemungkinan itu suatu keganasan.

Adanya limfadenopati mencurigakan suatu keganasan dengan anak sebar.

Struma nodular

3.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pengukuran hormon T3 T4 : T3 RU adalah normal, namun pengukuran TSH
dapat sedikit meninggi, begitu juga uptake iodium.
2. Pemeriksaan Sidik Tiroid
Hasil pemeriksaan dengan radioisotope adalah teraan ukuran, bentuk lokasi,
dan yang utama adalah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini,
pasien diberi NaI peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan
konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid.

23

Dari hasil sidik tiroid dapat dibedakan 3 bentuk yaitu nodul dingin, nodul
hangat dan nodul panas. Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan apakah
nodul itu ganas atau jinak.
Gambaran histologi : terlihat koloid
dalam

folikel

yang

membentuk

nodul-nodul

3. USG
Dengan USG dapat dibedakan antara yang padat, cair tetapi belum dapat
membedakan apakah suatu nodul ganas atau jinak. Kelainan yang dapat
diketahui seperti kista, adenoma/nodul padat, tiroiditis, kemungkinan
karsinoma.
4. Biopsi aspirasi jarum halus
Biopsi ini dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu
keganasan.
5. Termografi
Termografi adalah metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit
pada suatu tempat dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan
ini dilakukan khusus untuk kecurigaan keganasan. Hasilnya panas apabila
perbedaan panas dengan sekitarnya >0.9C dan dingin apabila <0.9C. Tanda
keganasan apabila semua hasilnya panas.
6. Petanda tumor
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peningkatan tiroglobulin (Tg) serum.
Kadar Tg serum normal 1.5-30 ng/ml, pada kelainan jinak rata-rata 323 ng/ml,
dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml. 9

24

3.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
Farmakoterapi
Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol.
Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol
dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan
tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan
metimazol. Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid.
Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi
biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi
dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah
struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin.
Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah menghambat
konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada
metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini,
PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan
penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol
adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding
PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal.7
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan
jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan
menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan
sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6
bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan. Untuk mencegah terjadinya
kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya diawali dengan
dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis
pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari).7
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150
mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg, 1

25

atau 2 kali sehari. Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan


methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan
dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg
setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 20
mg perhari.9
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis
tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU
dimulai dengan 3 x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai
dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah
periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan
biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai
dosis terkecil PTU 50mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang
masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas
dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum memberikan efek
perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis
maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya
seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis.7
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek
samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping
agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like
syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan.
Agranulositosis merupakan efek samping yang berat sehingga perlu
penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk
terapi alternatif yaitu yodium radioaktif. Agranulositosis biasanya ditandai
dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu
diberikan antibiotika.7
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi
dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic
edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi
timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai terapi perlu

26

pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati,
dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila
ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan
memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih
modalitas

pengobatan

yang

lain

seperti

131I

atau

operasi.

(1,2)

Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba
ganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau
sebaliknya.7
Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat
bermanfaat

untuk

mengendalikan

manifestasi

klinis

tirotoksikosis

(hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi


panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek
antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat -meskipun sedikitmenurunkan kadar T-3 melalui penghambatannya terhadap konversi T-4 ke
T-3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari.7
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta dengan
durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis
awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari
mempunyai efek serupa dengan propranolol. Pada umumnya obat penyekat
beta ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping yang dapat terjadi
antara lain nausea, sakit kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang
lebih jarang terjadi ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan
trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada
pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan
oleh fibrilasi atrium, juga pada keadaan bradiaritmia, fenomena Raynaud
dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin
oksidase.7,9
Obat-obatan anti tiroid dikenal 4 jenis antitiroid yang sering dipakai :
1. Methylthiouracil dosis 200 mg/hari

27

2. Propilthiouracil (PTU) dosis 300-600 mg/hari (sediaan 50mg dan 100


mg)
3. Thiamazole (methimazole) dosis 15 -30 mg/hari (sediaan 5 mg dan
10mg)
4. Carbimazole dosis 15-30 mg/hari (sediaan 5 mg dan 10 mg)
5. Dapat pula dipakai obat yang dapat menekan efek perifer dari hipertiroid
yakni propanolol

Pembedahan
Pembedahan struma dapat dibagi menjadi bedah diagnostik dan terapeutik.
Bedah
diagnostik berupa biopsi insisi atau biopsi eksisi. Bedah terapeutik
bersifat
ablatif berupa:
-

Tiroidektomi totalis: Pengangkatan semua kelenjar tiroid


-

Tiroidektomi subtotal: Pengangkatan sebagian besar lobus kanan dan


sebagian besar lobus kiri dari jaringan tiroid dengan masing-masing
disisakan kapsul posterior kurang lebih 3 gram.

Nearly total tiroidektomi : Pengangkatan hampir seluruh jaringan


kelenjar tiroid dengan meninggalkan sebagian kecil jaringan.

Subtotal lobektomi : Pengangkatan sebagian besar lobus kanan atau


kiri lalu disisakan 3 gram

Lobektomi totalis : Pengangkatan satu lobus tiroid kiri atau kanan

Tiroidektomi subtotalis : Pengangkatan sebagian besar lobus kanan/kiri


dengan meninggalkan kapsul posterior kurang lebih 3 gram.

Istmolobektomi : Pengangkatan satu lobus tiroid dengan istmus.

Radical Neck Disection :Pengangkatan seluruh jaringan limfoid di


daerah

leher

sisi

yang

bersangkutan

dengan

menyertakan

pengangkatan N. Acessorius, V. Jugularis eksterna dan interna, M.


Sternocleidomastoideus

dan M. Omohyoideus, kelenjar ludah

submandibularis dan tail parotis.

28

RND modifikasi 1 : RND dengan mempertahankan N. Accessorius

RND modifikasi 2 : RND dengan mempertahankan N. Accessorius dan


V. Jugularis interna

RND fungsional : RND dengan mempertahankan N. Accessorius, V.


Jugularis interna dan M. Sternocleidomastoideus

2. L-tiroksin selama 4-5 bulan


Preparat ini diberikan apabila terdapat nodul hangat, lalu dilakukan
pemeriksaan sidik tiroid ulang. Apabila nodul mengecil maka terapi
diteruskan. Namun apabila tidak mengecil atau bahkan membesar
dilakukan biopsi aspirasi atau operasi.
3. Biopsi aspirasi jarum halus
Cara ini dilakukan pada kista tiroid hingga nodul kurang dari 10 mm. 9

Komplikasi pembedahan

Saat kejadian
Langsung sewaktu
pembedahan

Segera pascabedah

Beberapa jam sampai

Komplikasi
perdarahan, cidera n rekurens uni atau bilateral,
cedera pada trakea, esophagus atau saraf di
leher,
terangkatnya seluruh kelenjar paratiroid,
terpotongnya duktus torasikus di leher kanan.
perdarahan dileher, perdarahan di mediastinum,
udem
laring,
kolaps
trakea,
krisis
tiroid/tirotoksikosis
hematom, infeksi luka, udem laring, paralisis

29

nevus rekurens
Beberapa hari pasca cedera nervus laringeus superior menjadi nyata,
bedah

hipokalsemia
hipotiroid, hipoparatiroidi/hipokalsemi, paralisis

Lama pasca bedah

nervus rekurent
cedera nervus laringeus superior, nekrosis kulit,
kebocoran torasikus

LANGKAH-LANGKAH DIAGNOSIS NODUL TIROID NON


TOKSIK DAN THERAPINYA

30

Nodul tiroid non toksik

Sidik tiroid

Panas

Hangat

Obsevarsi

Dingin

L-Thyroxin
4-5 bulan

Panas
Obsevarsi

USG
Kista

Padat

Campuran

FNA

FNA

FNA

Dingin
FNA

DAFTAR PUSTAKA
1

Sabiston,david. Buku Ajar Bedah. Bagian 1: hal 415- 425. Jakarta : EGC ;
1995

31

Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya.,


Dalam : Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.,FKUI., Jakarta.
3 Gardjito, Widjoseno et al (editor). 1997. Sistem Endokrin, dalam Buku Ajar
Ilmu Bedah. Hal. 925-945. Penerbit EGC. Jakarta
4

De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 2004., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.,
EGC., Jakarta.

Sadler GP., Clark OH., van Heerden JA., Farley DR., 1999., Thyroid and
Parathyroid., In : Schwartz. SI., et al., 1999., Principles of Surgery. Vol 2., 7th
Ed., McGraw-Hill., Newyork.

Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita Selekta


Kedokteran., Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta

Lee, Stephanie L., 2004., Goiter, Non Toxic., eMedicine.,


http://www.emedicine.com/med/topic919.html (diakses tanggal 26 oktober
2013)

Anonim, 1994., Struma Nodusa Non Toksik., Pedoman Diagnosis dan


Terapi., Lab/UPF Ilmu Bedah., RSUD Dokter Sutomo., Surabaya

K Rismadi. 2010.
Struma. Availbale at :
http://www.
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20013/4/Chapter%20II.pdf (diakses
tanggal 4 Juni 2013)

10 Sadler GP., Clark OH., van Heerden JA., Farley DR., 1999., Thyroid and
Parathyroid., In : Schwartz. SI., et al., 1999.,Principles of Surgery. Vol 2., 7th
Ed., McGraw-Hill., Newyork

Anda mungkin juga menyukai