Oleh:
eksotik.
Ribuan
bukit
kerucut
berpuncak
membulat
Dimuat dalam Ekspedisi Geografi Indonesia Karst Gunungsewu 2011, Pusat Survei Sumberdaya Alam
Darat (PSSDAD), Bakosurtanal, hlm. 60-73.
timur (sepanjang 90 km); mulai pesisir selatan hingga pedalaman karst paling
utara di wilayah Ponjong (sejauh 30 km), adalah titik-titik penghubung benang
merah penghunian awal Gunungsewu. Kawasan seluas lebih dari 126.000 hektar
ini menjadi kawasan arkeologis terluas dan terlengkap di Jawa untuk kurun waktu
Prasejarah. Morfoasosiasinya dengan bentanglahan sekitar, khususnya dengan dua
cekungan bekas danau purba yang mengapit wilayah pedalaman karst
Gunungsewu, yaitu Ledok Wonosari di barat dan Ledok Baturetno di timur, kian
memperpanjang skenario hunian hingga ke masa-masa sejarah.
Kapan mereka menyebar ke suluruh pelosok Gunungsewu, dan
bagaimanakah keragaman corak arkeologis di seluruh kawasan ini?
Baksoka adalah episode awal penghunian Gunungsewu. Ketika ekskavasi
arkeologis mulai merambah situs-situs gua di Pacitan dan Gunungkidul tahun
1990an, disusul situs-situs gua di Wonogiri tahun 2000an, gambaran corak
permukiman awal di Gunungsewu tampak kian beragam. Bukan situs terbuka
sepanjang sungai purba saja yang pernah diokupasi penduduk purba Gunungsewu,
melainkan juga gua-gua fosil dan ceruk-ceruk tebing. Namun sejauh ini belum
dijumpai pertanggalan hunian gua yang melebihi kepurbaan situs K. Basoka.
Corak budaya materinya pun berbeda. Bukan batu yang dominan, melainkan
perkakas dari tulang hewan, tanduk rusa, dan cangkang kerang. Ada pergeseran
tegas dari budaya batu ke budaya organik. Tulang hewan bukan merupakan
limbah perburuan atau sisa konsumsi semata, melainkan juga dimanfaatkan
sebagai sumber bahan pembuatan sarana adaptasi. Semakin intensif mereka
melalukan perburuan hewan, semakin melimpah pula sumber bahan pembuatan
alat.
Keberhasilan perburuan hewan pada masa itu juga didukung oleh
ketersediaan telaga-telaga alam yang tentunya juga diakses oleh koloni-koloni
hewan untuk minum dan berendam. Tlogo Guyangwarak di Punung, Tlogo Joho
dan Tlogo Digal di Pracimantoro, Tlogo Tritis dan Tlogo Gupakwarak di
Tanjungsari, Tlogo Beton di Ponjong, hanyalah sedikit contoh dari sekian banyak
telaga perennial yang memberi kemudahan dalam berburu. Pemilihan gua-gua di
sekitar telaga-telaga untuk bermukim adalah strategi adaptasi yang pas dan dapat
menjamin durasi hunian sekian ribu tahun lamanya.
napak tilas penghunian awal gunungsewu
menunjukkan pola tertentu. Semua jenis yang dapat dikonsumsi ditemukan sisasisanya di gua-gua pesisir (Yuwono, 2008).
Salah satu tapak purba paling menarik di bagian tengah Gunungsewu,
yang menjadi koridor bagi para pemukim awal untuk bergerak keluar dari
Pacitan, dan menjamin relasi antara kelompok pedalaman dan pesisir,
adalah lembah kering yang dikenal sebagai Lembah Bengawan Solo
Purba.
Lembah kering ini diyakini sebagai bekas alur Bengawan Solo ketika
alirannya masih ke selatan dan bermuara di Teluk Sadeng, Samudera Hindia.
Bagian hulunya berada di tinggian-tinggian pegunungan di wilayah Giriwoyo,
Wonogiri, sama dengan hulu Bengawan Solo sekarang. Lembah Bengawan Solo
Purba sepanjang 31 km ini dibentuk oleh tiga segmen, yaitu: (1) Segmen
Giribelah sebagai segmen hulu, terletak di antara Giriwoyo dan Giribelah,
sepanjang 10,4 km; (2) Segmen Giritontro, terletak di tengah, mulai Giribelah
hingga Desa Melikan, sepanjang 12,5 km; dan (3) Segmen Sadeng sebagai
segmen hilir, terletak di antara Desa Melikan dan Teluk Sadeng, sepanjang 8 km
(Yuwono, 2008).
Sebagian Segmen Giribelah mulai Desa Bayemharjo ke bawah
memberikan akses untuk menembus wilayah pedalaman karst dari Pacitan ke
Wonogiri. Jalur alternatif lain dari Baksoka ke barat adalah melewati lembahlembah terdekat dengan pantai yang sebagian terhubung pula dengan Segmen
Giritontro dan Segmen Sadeng. Kedua segmen terakhir ini merupakan jalur utama
yang menghubungkan wilayah pedalaman karst Wonogiri di sekitar Ledok
Baturetno dengan pesisir Gunungkidul di sekitar Teluk Sadeng. Percabangan
lembah di utara Segmen Giritontro, di Desa Sumberagung, juga menjamin
tersedianya akses ke pedalaman karst Ponjong yang menjadi wilayah karst paling
utara di Gunungsewu bagian barat (Gunungkidul).
Perkembangan Lembah Bengawan Solo Purba diawali oleh perkembangan
sungai permukaan pada saat Gunungsewu terangkat ke atas muka laut. Seiring
dengan pengangkatan yang terus berlangsung, aliran air mengikis dasar sungai
hingga membentuk lembah yang dalam dan lebar. Proses pengangkatan di bagian
selatan mengakibatkan aliran sungai terhenti beberapa saat. Sebagian air yang
menggenang kemudian menyusup ke dalam lapisan batuan melalui retakannapak tilas penghunian awal gunungsewu
Ilustrasi Foto:
Artefak Perburuan
Tanduk rusa pun dimanfaatkan sebagai sarana adaptasi
terhadap lingkungan karst sekitar gua. Ciri-ciri pengerjaan
tampak jelas di bagian ujung, berupa bekas penggosokan
untuk memperoleh tajaman tertentu (Gambar Kiri); Jenis
senjata lain yang mereka buat adalah mata panah berbahan
batu (Gambar Kanan). Meskipun artefak batu sudah menjadi
unsur minor di gua-gua arkeologis Gunungsewu bagian barat
(Gunungkidul), namun kehadirannya ikut memperkuat
dugaan bahwa subsistensi para penghuni gua di Gunungsewu
adalah sebagai pemburu binatang, memanfaatkan
sumberdaya fauna yang melimpah di sekitar gua hunian
(Dok. PTKA UGM).
Penutup
Proses penghunian awal Gunungsewu dari Wilayah Baksoka di Pacitan
hingga Ledok Wonosari di Gunungkidul, tidak terlepas dari dinamika karstifikasi
dan perubahan iklim global yang pernah berlangsung selama Pleistosen hingga
Holosen. Dalam skenario penghunian tersebut, maraknya pemanfaatan gua
menempati episode peralihan yang panjang. Secara keilmuan, fenomena ini
mampu menyanggah teori Prasejarah yang selama ini dianut. Apa yang hingga
kini diyakini bahwa masyarakat pemburu hidup berpinda-pindah, sama sekali
tidak terbukti di Gunungsewu. Durasi hunian gua selama ribuan tahun tanpa jeda
membuktikan bahwa mereka sudah hidup menetap di lingkungan karst yang tidak
pernah kehabisan sumber pangan.
Sebagai tapak penting untuk merunut proses penghunian Gunungsewu,
situs-situs gua mendesak untuk dilindungi. Tingkat preservasi situs-situs gua
sebenarnya mampu menampilkan gambaran proses deposisi data secara utuh
selama penghunian gua berlangsung. Tersaji dalam kronosekuen endapan gua dari
bawah ke atas -- dari tua ke muda. Beberapa gua bahkan menyimpan lapisan
budaya (deposit arkeologis) hingga puluhan meter tebalnya, dengan durasi hunian
mencapai ribuan tahun. Namun kenyataannya, banyak gua yang rusak akibat
penambangan.
Di penghujung akhir Prasejarah, lingkungan danau yang sudah mengering
di wilayah Wonosari menjamin berkembangnya budaya agraris. Modal sosial bagi
perkembangan
peradaban
selanjutnya
terbentuk
di
wilayah
ledok
ini.
Daftar Rujukan
Bergh, G. D. van den, J. de Vos, P. Y. Sondaar, F. Aziz, 1996, Pleistocene
Zoogeographic Evolution of Java (Indonesia) and Glacio-Eustatic Sea
Level Fluctuations: A Background for the Presence of Homo, IPPA
Bulletin 14, Chiang Mai Pappers, vol.1, p.7-21.
Forestier, H., 2007, Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu: Prasejarah Song Keplek
Gunungsewu, Jawa Timur, terj. G. Sirait, D. Perret, I. Budipranoto,
Kepustakaan Populer Gramedia, Institut de Recherche pour le
Developpement, Puslitarkenas, dan Forum Jakarta Paris, Jakarta.
Lehmann, H., 1936, Morphologische Studien auf Java: Geographische
Abhandlungen, Series 3, no. 9, p. 1114.
Lestari, P., 2010, Gumbregan. Seri Pendidikan Pusaka untuk Anak Daerah
Istimewa Yogyakarta, Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dan
Erfgoed Nederland (EN).
Oppenheimer, S., 1998, Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast
Asia, Phoenix, London.
Pradnyawan, D., H. Priswanto & I.S. Bimas, 2002, Laporan Survei Eksplorasi
Potensi Budaya, Historis, dan Arkeologis Kecamatan Ponjong 2002,
PTKA UGM The Toyota Foundation, Yogyakarta.
Simanjuntak, T., 2002, Gunungsewu in Prehistoric Times, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Straus, L. G., 1990. Underground Archaeology: Perspectives on Caves and
Rockshelter, dalam M.B. Schiffer (ed.). Archaeological Method and
Theory, vol.2, The University of Arizona Press, Tucson, p.255-304.
Vos, J. de, 1983, The Pongo Faunas from Java and Sumatra and their
Significance for Biostratigraphical and Paleo-ecological Interpretations,
Paleontology Proceeding B 86 (4), p.417-425.
Yuwono, J. S. E., 2006, Perspektif Geo-Arkeologi Kawasan Karst: Kasus
Gunungsewu, dalam I. Maryanto, M. Noerdjito, R. Ubaidillah (ed.),
Manajemen Bioregional: Karst, Masalah dan Pemecahannya, Puslit
Biologi LIPI, hlm. 181-203.
Yuwono, J. S. E., 2008, Lembah Giribelah Sadeng di Kawasan Karst
Gunungsewu: Karakter Lansekap dan Kandungan Informasinya
Proceeding PIA XI, IAAI, Solo, 13-16 Juni 2008, hlm. 698-707.
Yuwono, J. S. E., 2009, Late Pleistocene to Mid-holocene Coastal and Inland
Interaction in the Gunungsewu Karst, Yogyakarta, Bulletin of the IndoPacific Prehistory Association (IPPA Bulletin) vol.29 (2009), p. 33-44.
http://ejournal.anu.edu.au/index.php/bippa/
Beberapa hasil penelitian Tim Penelitian Terpadu Kawasan Arkeologis (PTKA)
Jurusan Arkeologi UGM di Gunungkidul, 1998 2002.