Anda di halaman 1dari 17

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

NAPAK TILAS PENGHUNIAN AWAL GUNUNGSEWU


(upload: geoarkeologi.blog.ugm.ac.id, tanggal 23 Maret 2014)

Oleh:

J. Susetyo Edy Yuwono


Jurusan Arkeologi Fak. Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada

Kawasan Karst Gunungsewu memegang peran penting


dalam pembentukan budaya masyarakatnya sejak
Prasejarah hingga peradaban sekarang. Kapan mereka
muncul, kemana mereka menyebar, dan bagaimana
budaya mereka berproses, adalah serangkaian jejak
yang akhirnya membentuk kehidupan saat ini. Kekayaan
tradisi serta semangat dan kegigihan hidup yang dimiliki masyarakat
Gunungsewu adalah buah dari pengalaman historis nenek moyang
mereka, yang begitu sabar mengelola alam. Bentanglahan yang sekarang
tampak gersang ini sebenarnya adalah lahan pengetahuan yang sangat
subur, yang tidak pernah habis dipelajari lewat fisik alamnya yang unik
serta budaya dan kehidupan masyarakatnya yang tangguh.
Rona fisik kawasan karst tropis Gunungsewu
Salah satu bentanglahan karst terpenting di Jawa adalah Gunungsewu yang
terletak di zona paling selatan dari jajaran Pegunungan Selatan Jawa bagian timur.
Wilayahnya membentang dari Pantai Parangtritis di ujung barat hingga Teluk
Pacitan di ujung timur, di bagian paling selatan dari tiga wilayah kabupaten
sekaligus -- Kabupaten Gunungkidul (Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta),
Kabupaten Wonogiri (Propinsi Jawa Tengah), dan Kabupaten Pacitan (Propinsi
Jawa Timur).
Morfologi perbukitan karst masif ini menyimpan rekaman pembentukan
yang panjang, sejak paparan terumbu karang dan sedimen karbonat di dasar
Samudera Hindia terangkat tahap demi tahap menjadi daratan, melewati hitungan
waktu geologis. Pada stadia berikutnya bekerjalah kekuatan-kekuatan eksogen
melalui beragam proses geomorfologis dan klimatologis, mengukir rona
permukaan (eksokarst) dan bawah permukaan (endokarst) hingga menghasilkan
bentukan-bentukan

eksotik.

Ribuan

bukit

kerucut

berpuncak

membulat

Dimuat dalam Ekspedisi Geografi Indonesia Karst Gunungsewu 2011, Pusat Survei Sumberdaya Alam
Darat (PSSDAD), Bakosurtanal, hlm. 60-73.

napak tilas penghunian awal gunungsewu

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

(sinusoida) atau lancip (connical) membentuk konfigurasi unik dengan dataran


korosi, alur-alur lembah purba berpola labirin, dan beragam cekungan,
menciptakan kesan dan ekspresi topografi karstik yang berbeda dari bentanglahan
sekitarnya.
Di kedalaman buminya, sistem hidrologi batuan karbonat membentuk
lorong-lorong gua dengan variasi ornamennya yang unik. Sebagian sudah menjadi
lorong-lorong fosil bertingkat di perut-perut bukit, sementara lorong termuda di
level terbawah masih memainkan peran aktifnya sebagai sungai dan telaga
bawahtanah. Lorong-lorong aktif tersebut menjadi semacam lumbung
penyimpan air yang sebagian besar airnya masih terbuang percuma ke laut dalam
luahan debit yang tinggi, kendati di puncak kemarau. Perpaduan antara karakter
geologis dan proses-proses eksogen secara bertahap sejak awal Pleistosen ( 2
juta tahun lalu) terekam jelas melalui sistem perguaan bertingkat dengan jeramjeram sungai bawahtanah di dalam matriks batuan karbonat penyusunnya, yang
ketebalannya mencapai ratusan meter. Ketinggian bukit-bukit di permukaan kirakira hanya setengah hingga sepertiga bagian dari tebal keseluruhan sedimen
karbonat Formasi Wonosari penyusun Gunungsewu.
Rekaman proses alami yang masih dapat dibaca dan dicermati hingga
sekarang, hanyalah satu keunikan Gunungsewu pada ranah fisik kebumian. Bukan
itu saja, bentukan-bentukan major seperti aliran sungai purba, lorong gua (cave),
dan ceruk (rockshelter), ternyata juga menyimpan jejak-jejak budaya dan
kehidupan purba yang pernah berlangsung. Menjadi bukti awal kontak antara
manusia dan lingkungan fisik karst Gunungsewu. Lingkungan karst pada
umumnya memang memiliki andil besar dalam mempreservasi kandungan situs
arkeologis. Sisa-sisa budaya mulai tataran tertua (Prasejarah) sebagian besar tetap
terawetkan di dalam strata tanah gua yang relatif lebih aman dari gangguan dan
perubahan secara alami dibandingkan situs-situs terbuka (Straus, 1990; Yuwono,
2006). Hanya gangguan ekstrim lah yang mampu memporak-porandakan bahkan
menghapus bukti-bukti tersebut, misalnya melalui penambangan tanah dan batuan
gua.

napak tilas penghunian awal gunungsewu

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

Tapak Prasejarah Gunungsewu


Morfologi Gunungsewu mulai fenomenal di kalangan peneliti dan
pemerhati kebumian sejak Lehmann mempublikasikannya sebagai salah satu
tropic connical-kars type, TIPE GUNUNGSEWU (Lehmann, 1936). Sejak itulah
Gunungsewu tidak pernah sepi dari aktivitas penelitian dan penjelajahan.
Beberapa dekade terakhir Gunungsewu juga menjadi lahan yang menantang para
petualang gua, sekaligus menjanjikan bagi usaha penambangan batugamping,
kalsit, dan guano fosfat.
Riset arkeologis Gunungsewu sebenarnya sudah dirintis setahun sebelum
Lehmann mempublikasikan hasil studinya tentang morfologi Jawa, di mana
Gunungsewu menjadi salah satu masterpiece bahasannya. Di tahun 1935, jejak
kehidupan manusia tertua di Pegunungan Selatan berhasil diungkap oleh G.H.R.
von Koenigswald dan M.W.F. Tweede di K. Baksoka, salah satu sungai purba di
Pacitan, wilayah timur Gunungsewu. Meski tujuan mereka sebenarnya adalah
mencari sumber bahan artefak batu situs manusia purba Sangiran di utara
Surakarta, namun penemuan artefak batu Baksoka justru mengawali wacana
ilmiah tentang okupasi kawasan karst Gunungsewu.
Temuan artefak batu K. Baksoka mewakili rentang panjang kehidupan
Prasejarah, sejak tradisi batu tua (Paleolitik) hingga muda (Neolitik). F. Semah
(1998), menyimpulkan bahwa sebelum 180.000 tahun lalu Pacitan sudah dihuni
manusia (dalam Simanjuntak, 2002). Sisa-sisa pengerjaan artefak batu Pacitanian
yang ditemukan ribuan jumlahnya di sepanjang K. Baksoka dan sekitarnya, adalah
gambaran tak tersangkal dari besarnya populasi pemukim Prasejarah dan
sekaligus melimpahnya sumber kehidupan yang disediakan bumi karst Pacitan.
Bayangkan.! untuk apa mereka membuat peralatan berburu sebanyak
itu, jika lingkungan mereka tidak menyediakan hewan buruan dan sumber
makanan yang melimpah? Apakah daya dukung Pacitan mampu
menampung sejumlah besar pemukim selama ribuan generasi secara
menerus, jika lingkungannya miskin sumber pangan?
Seberapa besar daya jelajah pemukim Prasejarah Baksoka? belum satu ahli
pun mengetahuinya. Tetapi seberapa luas persebaran kelompok pemukim
Prasejarah di Gunungsewu sudah tergambar jelas. Hampir setiap titik di
Gunungsewu, mulai Parangtritis di sebelah barat hingga Teluk Pacitan di ujung
napak tilas penghunian awal gunungsewu

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

timur (sepanjang 90 km); mulai pesisir selatan hingga pedalaman karst paling
utara di wilayah Ponjong (sejauh 30 km), adalah titik-titik penghubung benang
merah penghunian awal Gunungsewu. Kawasan seluas lebih dari 126.000 hektar
ini menjadi kawasan arkeologis terluas dan terlengkap di Jawa untuk kurun waktu
Prasejarah. Morfoasosiasinya dengan bentanglahan sekitar, khususnya dengan dua
cekungan bekas danau purba yang mengapit wilayah pedalaman karst
Gunungsewu, yaitu Ledok Wonosari di barat dan Ledok Baturetno di timur, kian
memperpanjang skenario hunian hingga ke masa-masa sejarah.
Kapan mereka menyebar ke suluruh pelosok Gunungsewu, dan
bagaimanakah keragaman corak arkeologis di seluruh kawasan ini?
Baksoka adalah episode awal penghunian Gunungsewu. Ketika ekskavasi
arkeologis mulai merambah situs-situs gua di Pacitan dan Gunungkidul tahun
1990an, disusul situs-situs gua di Wonogiri tahun 2000an, gambaran corak
permukiman awal di Gunungsewu tampak kian beragam. Bukan situs terbuka
sepanjang sungai purba saja yang pernah diokupasi penduduk purba Gunungsewu,
melainkan juga gua-gua fosil dan ceruk-ceruk tebing. Namun sejauh ini belum
dijumpai pertanggalan hunian gua yang melebihi kepurbaan situs K. Basoka.
Corak budaya materinya pun berbeda. Bukan batu yang dominan, melainkan
perkakas dari tulang hewan, tanduk rusa, dan cangkang kerang. Ada pergeseran
tegas dari budaya batu ke budaya organik. Tulang hewan bukan merupakan
limbah perburuan atau sisa konsumsi semata, melainkan juga dimanfaatkan
sebagai sumber bahan pembuatan sarana adaptasi. Semakin intensif mereka
melalukan perburuan hewan, semakin melimpah pula sumber bahan pembuatan
alat.
Keberhasilan perburuan hewan pada masa itu juga didukung oleh
ketersediaan telaga-telaga alam yang tentunya juga diakses oleh koloni-koloni
hewan untuk minum dan berendam. Tlogo Guyangwarak di Punung, Tlogo Joho
dan Tlogo Digal di Pracimantoro, Tlogo Tritis dan Tlogo Gupakwarak di
Tanjungsari, Tlogo Beton di Ponjong, hanyalah sedikit contoh dari sekian banyak
telaga perennial yang memberi kemudahan dalam berburu. Pemilihan gua-gua di
sekitar telaga-telaga untuk bermukim adalah strategi adaptasi yang pas dan dapat
menjamin durasi hunian sekian ribu tahun lamanya.
napak tilas penghunian awal gunungsewu

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

Kesiapan sebuah gua untuk dihuni sangat dipengaruhi tingkat karstifikasi


batuan dan perubahan lingkungan global yang pernah terjadi, khususnya
perubahan iklim dari kala Pleistosen ke Holosen, dari 2 juta ke 10 ribu tahun lalu.
Dari pemahaman karstifikasi, gua arkeologis adalah gua fosil dengan dimensi
ruang yang memadai untuk dihuni. Pengertian gua fosil adalah lorong-lorong gua
kering yang sudah tidak lagi dialiri sungai bawahtanah setelah terbentuknya
lorong baru pada posisi lebih rendah. Ini berarti bahwa tahap karstifikasi dan
pengangkatan daratan sudah berjalan lanjut, menghasilkan lorong-lorong aktif
berikutnya pada level muka airtanah. Penurunan muka airtanah akibat
pengangkatan daratan akan diikuti pembentukan lorong aktif baru di bawah
lorong-lorong yang sudah ada. Begitu seterusnya, hingga jumlah tingkatan lorong
gua dapat mengindikasikan berapa kali pengangkatan daratan pernah terjadi.
Proses denudasi permukaan akibat pelarutan, erosi, hingga runtuhan yang
menyisakan bukit-bukit kerucut, berdampak pula pada pemotongan lorong-lorong
fosil. Mulut-mulut gua pun menganga di lereng-lereng bukit, beberapa di
antaranya bertingkat, dan menyediakan akses serta ruang untuk dihuni. Di
Gunungsewu, sudah terindikasi lebih dari seratus gua dari level pembentukan
yang bervariasi, yang berpotensi sebagai situs arkeologi.
Selama ini diyakini bahwa trend penghunian gua-gua masa Prasejarah
mulai berlangsung pada kisaran 12.000 hingga 10.000 tahun lalu, yang secara
kultural memasuki tahapan evolusi Mesolitik/Epipaleolitik/Preneolitik, sebagai
tahap peralihan di pertengahan jaman batu. Menurut kalender geologis, kisaran
angka tahun tersebut menandai awal kala Holosen, suatu episode pembuka dari
jaman yang masih kita alami hingga kini. Berbeda dengan kala Pleistosen
sebelumnya, kondisi Holosen relatif lebih tenang dan stabil. Jaman Es pun sudah
berlalu sekitar 8.000 tahun sebelumnya (Puncak Jaman Es terakhir atau Last
Glacial Maximum diidentifikasi berlangsung sekitar 20.000 tahun lalu (periksa:
Oppenheimer, 1998).
Perubahan iklim dan lingkungan ke babak awal Holosen ditengarai telah
menggeser beberapa spesies primata, khususnya orang-utan (Pongo pygmaeus)
dan siamang (Hylobates syndactylus) yang menjadi penciri hutan belantara
Tropis, tergantikan oleh kera (Macaca sp.) sebagai spesies khas penghuni hutan

napak tilas penghunian awal gunungsewu

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

terbuka (Vos, 1983; Forestier, 2007). Kondisi hutan terbuka memudahkan


masyarakat Prasejarah Baksoka, yang sudah mulai padat jumlahnya, menemukan
jalur-jalur persebaran ke arah barat dan mengakses gua-gua karst yang sudah siap
huni. Artinya, apa yang sudah dihasilkan oleh tahapan karstifikasi di Gunungsewu
saat itu, terutama jaringan lembah kering (labirin) dan mulut-mulut gua fosil di
lereng-lereng bukit kerucut, direspon oleh masyarakat Prasejarah untuk dijelajahi
dan ditempati. Sekali lagi, lingkungan hutan terbuka meningkatkan mobilitas
mereka sehingga dalam waktu relatif serentak berlangsunglah penghunian gua di
seluruh Gunungsewu.
Kera dan kelompok fauna yang oleh Bergh dkk. (1996) dikategorikan
sebagai Fauna Wajak atau Holocene Caves Composite, seperti gajah (Elephas
maximus), macan (Panthera tigris), kucing hutan (Felis bengalensis), badak Jawa
(Rhinoceros sondaicus), tapir (Tapirus indicus), kijang (Muntiacus muntjak), babi
hutan (Sus vittatus), landak (Acanthion brachyurnus), rusa Cervidae (Cervus
timorensis), dan banteng (Bibos sondaicus), adalah menu konsumsi manusia
Prasejarah selama ribuan tahun. Lingkungan hutan terbuka juga memudahkan
penghuni wilayah pedalaman mengakses sumber makanan laut. Tidak
mengherankan jika sisa-sisa cangkang kerang laut juga ditemukan di gua-gua
arkeologis daerah Ponjong Utara, yang 30-an km jauhnya dari pantai. Bukan
sebagai limbah makanan semata, melainkan juga sebagai perkakas hidup seharihari.
Semakin ke arah pedalaman ragam jenis kerang laut semakin berkurang,
namun kualitasnya semakin bagus. Ini berarti bahwa tidak semua jenis kerang laut
yang dikonsumsi komunitas pesisir juga ditemukan sisa-sisanya di pedalaman.
Hanya jenis-jenis kerang bercangkang besar dan tebal saja yang ditemukan di
situs-situs pedalaman, misalnya kerang Veneridae. Cangkang kerang jenis ini
selain berukuran besar juga tebal dan kuat untuk dijadikan alat serut. Garis-garis
pertumbuhan (growth lines) pada cangkangnya yang berpola oval-konsentris,
memungkinkan untuk menghasilkan pecahan-pecahan tertentu menyerupai
penggaruk. Bagi masyarakat pedalaman, jenis-jenis cangkang kerang laut tertentu
lebih difungsikan sebagai benda seni, perkakas hidup, dan kemungkinan juga alat
tukar. Sebaliknya, sisa-sisa pengkonsumsian kerang laut di gua-gua pesisir tidak

napak tilas penghunian awal gunungsewu

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

menunjukkan pola tertentu. Semua jenis yang dapat dikonsumsi ditemukan sisasisanya di gua-gua pesisir (Yuwono, 2008).
Salah satu tapak purba paling menarik di bagian tengah Gunungsewu,
yang menjadi koridor bagi para pemukim awal untuk bergerak keluar dari
Pacitan, dan menjamin relasi antara kelompok pedalaman dan pesisir,
adalah lembah kering yang dikenal sebagai Lembah Bengawan Solo
Purba.
Lembah kering ini diyakini sebagai bekas alur Bengawan Solo ketika
alirannya masih ke selatan dan bermuara di Teluk Sadeng, Samudera Hindia.
Bagian hulunya berada di tinggian-tinggian pegunungan di wilayah Giriwoyo,
Wonogiri, sama dengan hulu Bengawan Solo sekarang. Lembah Bengawan Solo
Purba sepanjang 31 km ini dibentuk oleh tiga segmen, yaitu: (1) Segmen
Giribelah sebagai segmen hulu, terletak di antara Giriwoyo dan Giribelah,
sepanjang 10,4 km; (2) Segmen Giritontro, terletak di tengah, mulai Giribelah
hingga Desa Melikan, sepanjang 12,5 km; dan (3) Segmen Sadeng sebagai
segmen hilir, terletak di antara Desa Melikan dan Teluk Sadeng, sepanjang 8 km
(Yuwono, 2008).
Sebagian Segmen Giribelah mulai Desa Bayemharjo ke bawah
memberikan akses untuk menembus wilayah pedalaman karst dari Pacitan ke
Wonogiri. Jalur alternatif lain dari Baksoka ke barat adalah melewati lembahlembah terdekat dengan pantai yang sebagian terhubung pula dengan Segmen
Giritontro dan Segmen Sadeng. Kedua segmen terakhir ini merupakan jalur utama
yang menghubungkan wilayah pedalaman karst Wonogiri di sekitar Ledok
Baturetno dengan pesisir Gunungkidul di sekitar Teluk Sadeng. Percabangan
lembah di utara Segmen Giritontro, di Desa Sumberagung, juga menjamin
tersedianya akses ke pedalaman karst Ponjong yang menjadi wilayah karst paling
utara di Gunungsewu bagian barat (Gunungkidul).
Perkembangan Lembah Bengawan Solo Purba diawali oleh perkembangan
sungai permukaan pada saat Gunungsewu terangkat ke atas muka laut. Seiring
dengan pengangkatan yang terus berlangsung, aliran air mengikis dasar sungai
hingga membentuk lembah yang dalam dan lebar. Proses pengangkatan di bagian
selatan mengakibatkan aliran sungai terhenti beberapa saat. Sebagian air yang
menggenang kemudian menyusup ke dalam lapisan batuan melalui retakannapak tilas penghunian awal gunungsewu

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

retakan dan terkonsentrasi di level airtanah, membentuk lorong-lorong sungai


bawahtanah baru. Sebagian air permukaan lainnya tetap terkonsentrasi di bekas
palung-palung sungai, membentuk telaga-telaga yang masih dapat dijumpai
hingga kini.
Cukup menarik bahwa permukiman di sepanjang Segmen Giritontro dan
Segmen Sadeng semuanya terkonsentrasi di dekat telaga, dan mengambil nama
yang sama dengan nama telaga. Permukiman-permukiman dimaksud adalah
Dusun Wotawati, Dusun Ngaluran, Dusun Mendak, Dusun Bakagung, Dusun
Tileng, dan Dusun Bakalan. Dusun-dusun sekitar telaga seperti itu sangat
mungkin merupakan dusun-dusun tua, sebelum permukiman semakin berkembang
ke masa selanjutnya. Di sepanjang Segmen Giribelah (segmen paling hulu), telaga
jarang dijumpai karena gradien lembahnya lebih tinggi dibanding kedua segmen
di bawahnya.
Dari masyarakat pemburu menuju masyarakat agraris
Potensi arkeologis Gunungsewu berada pada perpaduan unsur-unsur
bentanglahan seperti perbukitan karst, danau-danau purba di bagian utara (Ledok
Wonosari dan Ledok Baturetno), teluk-teluk di sepanjang pesisir selatan, telagatelaga dolin, dan jaringan lembah kering. Di antara unsur-unsur bentanglahan
tersebut, gua-gua horisontal dan ceruk-ceruk dangkal menyediakan ruang hunian
bagi komunitas pemukim awal Holosen selama 8.000 hingga 10.000 tahun.
Sementara pendahulu mereka di Pacitan sebagian masih mengokupasi wilayah
terbuka sepanjang Baksoka hingga ke Jaman Batu Baru (Neolitik). Ini dibuktikan
melalui temuan lokasi-lokasi perbengkelan alat-alat Neolitik yang mengandung
unsur-unsur beliung batu yang sudah diasah halus.
Sekilas tampak bahwa perkembangan budaya Prasejarah di Gunungsewu
bagian timur (Pacitan) relatif konstan. Budaya batu tetap dipertahankan secara
mantap hingga akhir Prasejarah. Perkembangannya hanya bersifat gradual, tanpa
menunjukkan loncatan budaya yang berarti. Sementara di Gunungsewu bagian
barat (Gunungkidul), budaya batu tidak lagi berkembang. Subsistensi perburuan
dan pengumpulan makanan lebih ditopang oleh perkembangan teknologi nonbatu, yaitu tulang hewan, tanduk rusa, dan cangkang kerang.

napak tilas penghunian awal gunungsewu

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

Lingkungan pesisir di selatan dan lingkungan danau purba di pedalaman


utara Gunungsewu juga menghasilkan varian budaya gua yang berbeda yang
satu mengembangkan Budaya Gua Pesisiran, yang lain mengembangkan
Budaya Gua Perairan Darat. Namun interaksi tetap terjalin dengan
memanfaatkan koridor-koridor lembah kering di bagian barat (wilayah
Tanjungsari dan Tepus) (Yuwono, 2009), yang menghubungkan wilayah teluk
dengan wilayah bibir danau purba Wonosari.
Kasus di Wonogiri pun tidak jauh berbeda. Budaya Gua Perairan Darat
yang terwakili oleh kompleks gua di sekitar Museum Karst Wonogiri (yaitu Gua
Tembus, Gua Mrico, Gua Potro/Bunder, Gua Gilap, dan Gua Tabuhan), ditopang
oleh keberadaan danau purba Baturetno, yang tetap terhubung dengan wilayah
pesisir melalui Lembah Giritontro dan Lembah Sadeng, bagian dari Lembah
Bengawan Solo Purba.
Mengeringnya danau purba Wonosari ketika hunian gua sudah lama
berlangsung, adalah kunci bagi perkembangan budaya di Gunungsewu bagian
barat. Di dataran aluvial bekas danau inilah masyarakat bermukim di
perkampungan dengan struktur sosial yang lebih kompleks. Dinamika budaya pun
semakin tampak pada perkembangan aspek religi dengan dibangunnya monumenmonumen batu besar (Megalitik). Tradisi penguburan dengan wadah peti kubur
batu mulai dikenal. Benda-benda perhiasan dan ragam bekal kubur lainnya yang
ditemukan di dalam konteks kubur membuktikan bahwa teknologi logam,
gerabah, dan manik-manik berbagai bahan sudah dikuasai. Hewan piaraan,
khususnya sapi atau kerbau sudah menempati posisi penting dalam sistem budaya
masyarakat agraris di daerah ini sejak akhir Prasejarah. SELAMAT DATANG
MASYARAKAT AGRARIS DI GUNUNGKIDUL.
Berbagi Air dengan Ternak:
Sepasang kakek-nenek Suwito (bukan nama sebenarnya) yang
ditemui di sebuah tegalan di Desa Kenteng, Ponjong,
Gunungkidul, saat Ekspedisi Geografi ini berlangsung,
mengisahkan kesuksesan ketiga anak mereka. Semuanya sudah
berkeluarga, sudah mempunyai pekerjaan tetap di Jakarta,
Solo, dan Gunungkidul. Kini mereka tinggal berdua di rumah,
jauh dari anak-anak. Meski setiap bulan mendapat kiriman

napak tilas penghunian awal gunungsewu

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

uang dari ketiga anaknya, namun rutinitas musim kemarau,


membuat gaplek, tetap mereka lakukan.
Sambil mengupas dan membelah ketela di tegalan sore itu,
Mbah Wito bercerita. Kulo mboten nyuwun werni-werni
sangking lare-lare. Kulo namung nyuwun ditumbaske sapi
setunggal mawon. Kangge konco wonten nggriyo (Saya tidak
minta apapun dari anak-anak. Saya hanya minta dibelikan sapi
satu saja. Untuk teman di rumah).
Sepasang kakek-nenek ini adalah prototipe orang Gunungsewu
asli, yang menganggap ternak, khususnya sapi, sebagai bagian
dari keluarga. Sapi harus selalu hadir di dalam kehidupan
mereka setiap saat. Meski itu berarti mereka harus rela
berbagi air dengannya saat kemarau tiba, saat air menjadi
barang paling langka dan paling mahal dalam daftar
belanjaan mereka.
Sejak Danau Purba Wonosari mengering, dan komunitas
manusia gua turun ke dataran aluvial bekas danau yang subur
itu, kehidupan agraris mulai dikembangkan. Perkakas
pertanian dari besi mulai dibuat, menggeser peran perkakas
tulang dan batu. Di Ledok Wonosari inilah rumah-rumah
sederhana sudah dibangun di perkampungan-perkampungan,
menggeser tradisi hunian gua yang sudah berlangsung
puluhan ribu tahun. Jejak-jejak perkampungan awal
barangkali masih dapat dilacak di lokasi-lokasi keramat
seperti resan (petilasan), bekas-bekas sendhang (mataair),
kompleks-kompleks kubur batu Megalitik, dan situs-situs candi
yang tersebar di lima wilayah kecamatan di Ledok Wonosari.
Hingga kini, beberapa lokasi tersebut tetap dimuliakan saat
ritual Rasulan berlangsung.
Pada tahap peradaban inilah, relasi fungsional - emosional
antara manusia dengan ternak (sapi) mulai menguat. Temuan
konsentrasi gigi sapi sebagai bekal kubur di salah satu peti
kubur batu Megalitik Gunungbang, Karangmojo, membuktikan
hal itu (Tim PTKA UGM, 1999). Sapi dipercaya sebagai
penyerta perjalanan arwah ke alam baka.......
Hingga sekarang, masyarakat karstik Gunungkidul masih
menempatkan ternak pada posisi yang sangat vital dalam
kehidupannya. Tercatat sejumlah ritual di banyak desa di
Gunungkidul yang khusus diperuntukkan bagi hewan ternak
dan alat-alat pertanian. Ritual GUMBREGAN misalnya
(berasal dari kata Gumbreg, salah satu nama wuku dari 30
wuku yang ada dalam satu tahun kalender Jawa), adalah ritual
adat yang rutin diselenggarakan setiap tahunnya, di samping
sejumlah ritual lainnya, di antaranya Rasulan, Bersih Dusun,
Bersih Sumber, dan Ruwatan.

napak tilas penghunian awal gunungsewu 10

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

Jika hari Gumbregan tiba, Sapi, kerbau, kambing, milik warga


dikumpulkan di tanah lapang, diberi penghormatan dengan
serangkaian doa, kemudian disusul pesta pora warga
menyantap sesajian berupa tumpeng, ingkung, dan sejumlah
makanan umbi-umbian hasil kebun. Ritual yang biasanya
diselenggarakan sore hari menjelang maghrib ini, adalah
bentuk permohonan kepada Nabi Sulaiman agar beliau
memberkahi ternak-ternak mereka. Sekaligus sebagai
ungkapan terima kasih kepada ternak dan peralatan pertanian
yang sudah membantu para petani dalam mengolah lahan
pertanian (PTKA UGM, 2002 & Puji Lestari, 2010).
Dusun-dusun yang tidak melaksanakan ritual Gumbregan,
tetap saja memberi porsi bagi ternak untuk ikut menikmati
berkah
perhelatan
adat.
Di
Gunungbang,
Karangmojo,misalnya, seusai ritual Bersih Sumber di
Sendhang Sejati (salah satu mataair di dusun tersebut),
rombongan kesenian berkeliling ke rumah-rumah warga
hingga malam hari. Tujuannya adalah untuk memberkahi
ternak dan sumur masing-masing warga.
................. Dan seperti yang terkesan dari penuturan kakeknenek Suwito sore itu, ikatan emosional mereka dengan ternak
tetap kuat hingga sekarang, meski mereka harus rela berbagi,
khususnya berbagi air yang semakin langka didapat.

napak tilas penghunian awal gunungsewu 11

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

Ilustrasi Foto:

Gua Lawa, Ponjong, Gunungkidul


Situs gua terbesar di Gunungkidul yang tidak terelakkan dari
kerusakan akibat penambangan guano-fosfat. Lebih dari 20
m ketebalan sedimen gua berikut kandungan arkeologisnya
lenyap. Sebuah kerugian besar yang TIDAK kita harapkan
terjadi di gua-gua lainnya (jse yuwono 2011).

Gua Lawa, Ponjong, Gunungkidul


Bagi simbah ini Gua Lawa adalah berkah, meskipun harus
mengangkat berkarung-karung guano-fosfat setiap harinya,
untuk memperoleh 80 ribu rupiah/hari. Itupun harus dibagi
bertiga atau berempat. Tetapi itulah kenyataan hidup
saudara-saudara kita di Gunungkidul (jse yuwono 2011).

napak tilas penghunian awal gunungsewu 12

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

Tlogo Beton, Ponjong, Gunungkidul


Ketika citra kekeringan di Gunungkidul kian menguat,
sebagian wilayah Ponjong membuktikan lain. Kekeringan
yang sudah memasuki pertengahan musimnya tidak terasa di
sini. Air ada di mana-mana. Sumber air ini pulalah yang
pernah dimanfaatkan para penghuni Gua Lawa yang hanya
berjarak 250-an meter ke arah tenggara untuk menjalani
kehidupannya sebagai para pemburu, meninggalkan jejakjejak kehidupannya di dalam ketebalan tanah Gua Lawa.
Sangat disayangkan, aktivitas penambangan telah
melenyapkannya (jse yuwono 2011).

Ekskavasi Song Blendrong, Ponjong, Gunungkidul


Situasi ekskavasi Song Blendrong, salah satu situs gua
hunian Prasejarah di wilayah pedalaman karst Gunungsewu.
Gambar inzet menunjukkan beberapa perkakas tulang
berbentuk lancipan yang pernah dimanfaatkan para penghuni
gua untuk menangani hasil buruan (Dok. PTKA UGM).
Hewan tidak hanya mengontrol pola diet komunitas manusia
Prasejarah di kawasan karst, tetapi sekaligus menyediakan
bahan bagi pembuatan artefak perburuan dan subsistensi
lainnya. Sejak kapan teknologi tulang ini menggeser budaya

napak tilas penghunian awal gunungsewu 13

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal


litik Pacitanian di bagian timur Gunungsewu (situs-situs
terbuka sepanjang Kali Baksoka)? Jawabannya terletak pada
pola pergeseran hunian (migrasi lokal) dari kawasan timur
Gunungsewu ke barat dari bentangalam terbuka memasuki
zona inti karst dengan gua-guanya - yang miskin bebatuan
selain kalsit dan karbonat, tetapi kaya akan fauna besar.
Dimensi waktu yang sering dijadikan patokan
berlangsungnya proses budaya ini adalah kala Holosen
(sekitar 10.000 tahun lalu), ketika proses karstifikasi di
Gunungsewu, khususnya wilayah pedalaman, sudah
menjelang stadia dewasa dengan gua-gua kering yang siap
dihuni.

Artefak Perburuan
Tanduk rusa pun dimanfaatkan sebagai sarana adaptasi
terhadap lingkungan karst sekitar gua. Ciri-ciri pengerjaan
tampak jelas di bagian ujung, berupa bekas penggosokan
untuk memperoleh tajaman tertentu (Gambar Kiri); Jenis
senjata lain yang mereka buat adalah mata panah berbahan
batu (Gambar Kanan). Meskipun artefak batu sudah menjadi
unsur minor di gua-gua arkeologis Gunungsewu bagian barat
(Gunungkidul), namun kehadirannya ikut memperkuat
dugaan bahwa subsistensi para penghuni gua di Gunungsewu
adalah sebagai pemburu binatang, memanfaatkan
sumberdaya fauna yang melimpah di sekitar gua hunian
(Dok. PTKA UGM).

napak tilas penghunian awal gunungsewu 14

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

Penghuni Situs Song Bentar, Ponjong, Gunungkidul


Fragmen tengkorak (kiri) dan sepasang rahang (kanan), hasil
ekskavasi tim PTKA UGM di Song Bentar, Ponjong, tahun
2002 (Dok. PTKA UGM).
Hasil analisis menunjukkan bagian tengkorak ini berasal dari
individu perempuan | umur 30-40 tahun | spesies: Homo
sapiens, tetapi masih memiliki ciri-ciri primirif (archaic) |
ras Mongolid tetapi masih terdapat unsur Australomelanesid
| tinggi badan sekitar 155 cm | pertanggalan relatif: 12.000
8.000 tahun lalu
(Analisis: dr. S. Boedhisampoerna Bioantropologi dan
Paleoantropologi UGM).

Penutup
Proses penghunian awal Gunungsewu dari Wilayah Baksoka di Pacitan
hingga Ledok Wonosari di Gunungkidul, tidak terlepas dari dinamika karstifikasi
dan perubahan iklim global yang pernah berlangsung selama Pleistosen hingga
Holosen. Dalam skenario penghunian tersebut, maraknya pemanfaatan gua
menempati episode peralihan yang panjang. Secara keilmuan, fenomena ini
mampu menyanggah teori Prasejarah yang selama ini dianut. Apa yang hingga
kini diyakini bahwa masyarakat pemburu hidup berpinda-pindah, sama sekali
tidak terbukti di Gunungsewu. Durasi hunian gua selama ribuan tahun tanpa jeda
membuktikan bahwa mereka sudah hidup menetap di lingkungan karst yang tidak
pernah kehabisan sumber pangan.
Sebagai tapak penting untuk merunut proses penghunian Gunungsewu,
situs-situs gua mendesak untuk dilindungi. Tingkat preservasi situs-situs gua
sebenarnya mampu menampilkan gambaran proses deposisi data secara utuh
selama penghunian gua berlangsung. Tersaji dalam kronosekuen endapan gua dari
bawah ke atas -- dari tua ke muda. Beberapa gua bahkan menyimpan lapisan
budaya (deposit arkeologis) hingga puluhan meter tebalnya, dengan durasi hunian

napak tilas penghunian awal gunungsewu 15

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

mencapai ribuan tahun. Namun kenyataannya, banyak gua yang rusak akibat
penambangan.
Di penghujung akhir Prasejarah, lingkungan danau yang sudah mengering
di wilayah Wonosari menjamin berkembangnya budaya agraris. Modal sosial bagi
perkembangan

peradaban

selanjutnya

terbentuk

di

wilayah

ledok

ini.

Ditemukannya situs-situs candi di Wonosari, Playen, Semanu, Ponjong, dan


Karangmojo, memposisikan Ledok Wonosari sebagai tempat berlangsungnya
sintesis budaya Gunungkidul. Banyak tradisi yang berakar pada sinkretisme antara
konsep Megalitik, Hindu, dan Islam, tetap dipertahankan hingga sekarang sebagai
budaya KARSTIK Gunungkidul yang khas.
Eksistensi tradisi seperti itu dapat menjadi modal untuk merunut sejarah
lokal Gunungkidul khususnya dan Gunungsewu umumnya. Apalagi sejumlah
toponimi yang merekam kemurahan lingkungan masa lalu, sejarah perdusunan,
tokoh-tokoh legenda, dan kejadian-kejadian bermakna historis lainnya masih
banyak dijumpai. Pelacakan mendalam semua tradisi dan toponimi di masa
mendatang memiliki prospek untuk membangkitkan kembali semangat kearifan
lingkungan, dan membantu napak tilas penghunian Gunungsewu, di samping
upaya arkeologis yang sudah dilakukan selama ini.

napak tilas penghunian awal gunungsewu 16

Ekspedisi Geografi Indonesia 2011, Bakosurtanal

Daftar Rujukan
Bergh, G. D. van den, J. de Vos, P. Y. Sondaar, F. Aziz, 1996, Pleistocene
Zoogeographic Evolution of Java (Indonesia) and Glacio-Eustatic Sea
Level Fluctuations: A Background for the Presence of Homo, IPPA
Bulletin 14, Chiang Mai Pappers, vol.1, p.7-21.
Forestier, H., 2007, Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu: Prasejarah Song Keplek
Gunungsewu, Jawa Timur, terj. G. Sirait, D. Perret, I. Budipranoto,
Kepustakaan Populer Gramedia, Institut de Recherche pour le
Developpement, Puslitarkenas, dan Forum Jakarta Paris, Jakarta.
Lehmann, H., 1936, Morphologische Studien auf Java: Geographische
Abhandlungen, Series 3, no. 9, p. 1114.
Lestari, P., 2010, Gumbregan. Seri Pendidikan Pusaka untuk Anak Daerah
Istimewa Yogyakarta, Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dan
Erfgoed Nederland (EN).
Oppenheimer, S., 1998, Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast
Asia, Phoenix, London.
Pradnyawan, D., H. Priswanto & I.S. Bimas, 2002, Laporan Survei Eksplorasi
Potensi Budaya, Historis, dan Arkeologis Kecamatan Ponjong 2002,
PTKA UGM The Toyota Foundation, Yogyakarta.
Simanjuntak, T., 2002, Gunungsewu in Prehistoric Times, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Straus, L. G., 1990. Underground Archaeology: Perspectives on Caves and
Rockshelter, dalam M.B. Schiffer (ed.). Archaeological Method and
Theory, vol.2, The University of Arizona Press, Tucson, p.255-304.
Vos, J. de, 1983, The Pongo Faunas from Java and Sumatra and their
Significance for Biostratigraphical and Paleo-ecological Interpretations,
Paleontology Proceeding B 86 (4), p.417-425.
Yuwono, J. S. E., 2006, Perspektif Geo-Arkeologi Kawasan Karst: Kasus
Gunungsewu, dalam I. Maryanto, M. Noerdjito, R. Ubaidillah (ed.),
Manajemen Bioregional: Karst, Masalah dan Pemecahannya, Puslit
Biologi LIPI, hlm. 181-203.
Yuwono, J. S. E., 2008, Lembah Giribelah Sadeng di Kawasan Karst
Gunungsewu: Karakter Lansekap dan Kandungan Informasinya
Proceeding PIA XI, IAAI, Solo, 13-16 Juni 2008, hlm. 698-707.
Yuwono, J. S. E., 2009, Late Pleistocene to Mid-holocene Coastal and Inland
Interaction in the Gunungsewu Karst, Yogyakarta, Bulletin of the IndoPacific Prehistory Association (IPPA Bulletin) vol.29 (2009), p. 33-44.
http://ejournal.anu.edu.au/index.php/bippa/
Beberapa hasil penelitian Tim Penelitian Terpadu Kawasan Arkeologis (PTKA)
Jurusan Arkeologi UGM di Gunungkidul, 1998 2002.

napak tilas penghunian awal gunungsewu 17

Anda mungkin juga menyukai