Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit menular masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama di
negara berkembang. Salah satu penyakit menular tersebut adalah demam tifoid.
Penyakit ini merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Salmonella typhi.
Demam tifoid (thypoid fever atau tifus abdominalis) banyak ditemukan dalam
kehidupan masyarakat kita, baik diperkotaan maupun di pedesaan.
Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan sanitasi lingkungan yang kurang,
hygiene pribadi serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup. Bakteri
penyebab demam tifoid adalah Salmonella enterica serotipe typhi yang merupakan basil
gram negatif. Penularan bakteri ini terjadi secara fecal oral melalui makanan yang
terkontaminasi dan mengalami masa inkubasi dalam tubuh penderita selama 7-14 hari.
Selama masa inkubasi tersebut mungkin akan ditemukan gejala prodormal yaitu
perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian
menyusul gejala klinis seperti demam, gangguan pencernaan, dan gangguan kesadaran.
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella enteritica, khususnya serotype Salmonella typhi. Bakteri ini termasuk
kuman Gram negatif yang memiliki flagel, tidak berspora, motil, berbentuk batang,
berkapsul dan bersifat fakultatif anaerob dengan karakteristik antigen O, H dan Vi.
Penyebarannya terjadi secara fekal-oral melalui makanan ataupun minuman.Masa
inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari.
Salmonella typhi (S. typhi) mempunyai beberapa macam antigen yaitu antigen O
(somatik, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida yang biasa disebut endotoksin),
antigen H (flagella), antigen Vi dan Outer Membrane Proteins. Endotoksin dalam
sirkulasi diduga menyebabkan demam dan gejala toksik pada demam tifoid yang lama.
Kehadiran endotoksin dapat merangsang produksi sitokin. Produksi sitokin inilah yang
dapat menyebabkan gejala-gejala sistemik. Gejala tersebut antara lain demam, muntah,
sakit kepala, anoreksia, diare, konstipasi. Demam merupakan gejala sistemik yang
paling sering muncul pada kasus demam tifoid.
Usaha penanggulangan demam tifoid meliputi pengobatan dan pencegahan.
Pencegahan demam tifoid terdiri dari pencegahan primer, sekunder dan tersier. Untuk
mendukung keberhasilan penanggulangan demam tifoid diperlukan data lapangan yang
lengkap dan akurat melalui kegiatan surveilans.
Epidemiologi penyakit demam tifoid berdasarkan penelitian WHO tahun 2003
diperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan
insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun (WHO, 2004). `Berdasarkan profil
kesehatan Indonesia 2007 departemen kesehatan Republik Indonesia, memperlihatkan
bahwa 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di Rumah Sakit tahun 2006 bahwa
demam tifoid menurut kode Daftar Tabulasi Dasar (DTD) dan kode International
Classification of Diseases (ICD) adalah 72.804 dengan persentase 3,26%. Menduduki
peringkat ke 3 setelah penyakit diare dangan gastroenteritis oleh penyebab infeksi
tertentu dan demam berdarah dengue. Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) provinsi sumatera selatan tahun 2007, prevalensi demam tifoid klinis 1,3%,

kasus demam tifoid ini umumnya terdeteksi berdasarkan gejala klinis. Dari jurnal
lainnya didapatkan fakta bahwa, Salah satu rumah sakit terbesar di Kalimantan adalah
RSUD Ulin Banjarmasin yang merupakan rumah sakit rujukan di wilayah Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah. Selain itu, RSUD Ulin merupakan rumah sakit
pendidikan di Kalimantan Selatan.
Dari telaah kasus di beberapa rumah sakit besar, kasus tersangka demam tifoid
menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan
500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6%5,0%

Dengan meningkatnya kasus yang terjadi di Indonesia, para peneliti ingin


mengetahui hubungan demam thypoid dengan berbagai aspek yaitu, (1) distribusi
menurut umur dan gejala nya, (2) respon antibiotik terhadap pengobatan demam
thypoid tanpa komplikasi, (3) hubungan tingkat demam dengan pemeriksaan
hematologi, (4) analisis spasiotemporal, dan (5) karakteristik pasien demam thypoid.

BAB II
METODE PENELITIAN
NO. JUDUL JURNAL
1. DISTRIBUSI PENDERITA DEMAM
TIFOID MENURUT UMUR DAN
GEJALA ( Studi Kasus di RSI.Roemani )
2. Antibiotik Terapi Demam Tifoid Tanpa
Komplikasi pada Anak
3. HUBUNGAN TINGKAT DEMAM
DENGAN HASIL PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI PADA PENDERITA
DEMAM TIFOID
4. Karakteristik Tersangka Demam Tifoid
Pasien Rawat Inap di Rumah
Sakit Muhammadiyah Palembang
Periode Tahun 2010
5. ANALISIS SPASIOTEMPORAL
KASUS DEMAM TIFOID
DI KOTA SEMARANG

METODE PENELITIAN
Deskriptif analitik.

Kohort retrospektif
Deskriptif analitik

retrospective study

cross sectional

Penelitian deskriptif adalah salah satu jenis penelitian yang tujuannya untuk
menyajikan gambaran lengkap mengenai setting sosial atau dimaksudkan untuk
eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan
mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang
diteliti antara fenomena yang diuji. Dalam penelitian ini, peneliti telah memiliki definisi
jelas tentang subjek penelitian dan akan menggunakan pertanyaan who dalam
menggali informasi yang dibutuhkan. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah
menghasilkan
gambaran akurat tentang
sebuah kelompok
menggambarkan mekanisme sebuah proses atau hubungan, memberikan gambaran
lengkap baik dalam bentuk verbal atau numerikal, menyajikan informasi dasar akan
suatu hubungan, menciptakan seperangkat kategori dan mengklasifikasikan subjek
penelitian, menjelaskan seperangkat tahapan atau proses, serta untuk menyimpan
informasi bersifat kontradiktif mengenai subjek penelitian.
Studi kohort merupakan jenis penelitian epidemiologis non-eksperimental yang sering
digunakan untuk mempelajari hubungan antara faktor resiko dengan efek atau penyakit.
Model pendekatan yang digunakan pada rancangan kohort ialah pendekatan waktu
secara longitudinal atau time-period approach. Bila hanya diamati satu kelompok
subyek untuk memperlihatkan kejadian tertentu (misal insidens penyakit), maka hasil
studi kohort merupakan data deskriptif. Namun studi kohort lebih sering dipergunakan
untuk memperoleh hubungan antara satu atau lebih faktor risiko dengan penyakit atau

kejadian tertentu: dalam hal ini studi kohort bersifat anlitik. Pada penelitian kohort
kausa atau faktor risiko diidentifikasi lebih dahulu, kemudian tiap subyek diikuti sampai
periode tertentu untuk melihat terjadinya efek atau penyakit yang ditelitipada kelompok
subyek dengan faktor risiko dan pada kelompok subyek tanpa faktor risiko.

Penelitian kasus-kontrol (case-control study) sering juga disebut sebagai casecomparison study , case-compeer study, case-referent study, atau retrospective study
meupakan penelitian epidemiologis analitik observasional yang menelaah hubungan antara
efek (penyakit atau kondisi kesehatan) tertentu dengan faktor-faktor risiko tertentu. Desain
penelitian kasus-kontrol dapat digunakan untuk menilai berapa besar peran faktor risiko
dalam kejadian penyakit, seperti hubungan antara kejadian kanker serviks dengan perilaku
seksual, hubungan antara tuberkulosis pada anak dengan vaksinasi BCG, atau hubungan
antara status gizi bayi berusia 1 tahun dengan pemakaian KB suntik pada ibu. Dalam hal
kekuatan hubungan sebab akibat, studi kasus-kontrol ada di bawah desain eksperimental
dan studi kohort, namun lebih kuat daripada studi cross-sectional, karena pada studi
kasus-kontrol terdapat dimensi waktu, sedangkan studi cross-sectional tidak. Desain
kasus-kontrol mempunyai berbagai kelemahan, namun juga memiliki beberapa
keuntungan. Dengan perencanaan yang baik, pelaksanaan yang cermat, serta analisis
yang tepat, studi kasus-kontrol dapat memberikan sumbangan yang bermakna dalam
berbagai bidang kedokteran klinik, terutama untuk penyakit-penyakit yang jarang
ditemukan.

Cross sectional merupakan suatu bentuk studi observasional (non-eksperimental) yang


paling sering dilakukan. Kira-kira sepertiga artikel orisinil dalam jurnal kedokteran
merupakan laporan studi cross sectional. Dalam arti kata luas, studi cross sectional
mencakup semua jenis penelitian yang pengukuran variabel-variabelnya dilakukan
hanya satu kal, pada satu saat itu.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL PENELITIAN
NO.
1.

2.

JUDUL JURNAL
DISTRIBUSI
PENDERITA DEMAM
TIFOID MENURUT
UMUR DAN
GEJALA ( Studi Kasus
di RSI.Roemani )

HASIL PENELITIAN
Angka demam thypoid tertinggi pada kelompok
umur 15-24 tahun (28%0. Hal ini sesuai dengan
teori yang ditemukan ileh Junowo (1996), bahwa
insidensi tertinggi pada pasien berumur 12 tahun
keatas.
Hasil ini menunjukkan bahwa lama demam tifoid
terjadi antara 1-14 hari. Hal
tersebut sesuai pendapat Rampengan dan laurentz
(1992) bahwa lama demam tifoid
antara 1 minggu atau lebih.
Antibiotik
Terapi insidens demam tifoid pada laki-laki dan perempuan
Demam Tifoid Tanpa
hampir sama. Rerata usia pasien demam tifoid
Komplikasi pada Anak
terbanyak di atas 5 tahun. Lama demam sebelum
masuk rumah sakit berkisar antara 88,6 hari.
Rerata suhu tubuh saat masuk rumah sakit antara
37,60C 38,10C. Sebagian besar pasien telah
mendapatkan pengobatan sebelum masuk rumah
sakit.
Gejala klinis terbanyak diderita adalah anoreksia,
mual dan muntah, nyeri perut, serta batuk.
Rerata hasil laboratorium darah rutin yang berada
dalam batas normal.
Respons terapi berbagai antibiotik yang digunakan
dalam penelitian kami, yang dinilai dengan waktu
bebas panas, dan lama rawat di rumah sakit. Waktu
bebas panas paling pendek dicapai pada pasien yang
diberikan azitromisin yaitu 37,9 (SB 32,75) jam,
kemudian diikuti oleh kloramfenikol yaitu 40,3 (SB
28,3), tiamfenikol 45,27 (SB 38,05), dan sefiksim
50,81 (SB 32,3). Hasil Anova dengan uji F

menyatakan tidak terdapat perbedaan bermakna


rerata waktu bebas panas ke-4 jenis obat (p=0,348).
Rerata lama rawat paling singkat ditemukan pada
kelompok kloramfenikol, yaitu 4,42 (SB 1,26) hari,
disusul oleh kelompok azitromisin 4,56 (SB 1,27)
hari, kelompok tiamfenikol yaitu 4,75 (SB 1,73) dan
kelompok sefiksim 4,81 (SB1,63). Hasil Anova
dengan uji F menyatakan tidak terdapat perbedaan
bermakna rerata lama rawat ke-4 jenis obat
(p=0,600)
Pada pemeriksaan kadar hemoglobin ditemukan 24
orang penderita (81%) demam tifoid dengan kadar
hemoglobin normal dan 7 orang penderita (19%)
demam tifoid dengan kadar hemoglobin abnormal,
dimana pasien anemia sebanyak 3 orang dan pasien
polisitemia 4 orang. Dari data tersebut diketahui
bahwa kadar hemoglobin normal lebih banyak
daripada yang abnormal.
Pada pemeriksaan leukosit ditemukan 20 penderita
(65%) demam tifoid dengan kadar leukosit normal
dan 11 penderita (35%) demam tifoid dengan kadar
leukosit abnomal, dimana pasien leukopenia
sebanyak 3 orang dan leukositosis 8 orang. Dari
data tersebut diketahui bahwa penderita demam
tifoid dengan kadar leukosit normal lebih banyak
daripada penderita demam tifoid dengan kadar
leukosit abnormal.
Pada pemeriksaan trombosit ditemukan 22 penderita
demam tifoid (71%) dengan kadar trombosit normal
dan 9 penderita (29%) demam tifoid dengan kadar
trombosit abnomal, dimana pasien trombositopenia
sebanyak 5 orang dan trombositosis 4 orang. Dari
data tersebut diketahui bahwa penderita demam
tifoid dengan kadar trombosit normal lebih banyak
daripada penderita demam tifoid dengan kadar
trombosit abnormal.

3.

HUBUNGAN
TINGKAT
DEMAM
DENGAN
HASIL
PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI PADA
PENDERITA DEMAM
TIFOID

4.

Karakteristik Tersangka Pada penelitian tersebut kasus demam thypoid lebih


Demam Tifoid Pasien banyak pada perempuan dari pada laki-laki.
Rawat Inap di Rumah
Penelitian tersebut mendapatkan perbandingan jenis

5
.

Sakit
Muhammadiyah kelamin laki-laki dan perempuan adalah 1:1 dari 54
Palembang
Periode subjek yang diteliti.
Tahun 2010
Hasil penelitian juga belum bisa menyimpulkan
bahwa ada pengaruh jenis kelamin dalam insiden
demam thypoid.
ANALISIS
hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus demam
SPASIOTEMPORAL
thypoid terbanyak terdapat pada kecamatan
KASUS
DEMAM Semarang Barat dan Genuk dengan 21 kasus
TIFOID
(12,4%). Apabila dilihatdari sebaran kasus demam
DI KOTA SEMARANG thypoid berdasarkan umur, maka didapatkan hasil
jumlah terbanyak terjadi pada usia 0 sampai 10
tahun.

PEMBAHASAN
Dari kelima jurnal tersebut rerata tersangka yang terkena demam thypoid berumur 12
tahun keatas dan perbandingan antara perempuan dan laki-laki sama, yaitu 1:1. Dan
dengan hasil jurnal yang lainnya menyatakan tersangka yang paling banyak terkena
demam thypoid adalah anak berumur diatas 5 tahun. Gejala klinis demam tifoid sangat
bervariasi, dari ringan sampai dengan berat sehingga memerlukan perawatan di rumah
sakit. Variasi gejala tersebut disebabkan faktor galur Salmonella, status nutrisi, dan
imunologik pejamu serta lama sakit dirumah.
Pada jurnal hubungan antibiotik dengan lama nya fase demam dapat terlihat
tidak terdapat perbedaan antara waktu bebas demam dan lama rawat di rumah sakit pada
keempat kelompok antibiotik. Kloramfenikol dan tiamfenikol masih cukup sensitif
untuk demam tifoid. Tiamfenikol adalah turunan kloramfenikol yang juga aktif terhadap
spesies Salmonella dan dapat diberikan secara oral. Obat dapat diberikan dengan dosis
lebih kecil, interval lebih lama, dengan angka kekambuhan, dan pengidap kuman
(carrier) yang terjadi lebih sedikit. Walaupun dapat menyebabkan depresi sumsum
tulang, tetapi hampir tidak pernah terjadi anemia aplastik. Pada pasien demam tifoid
usia remaja dan dewasa didapatkan suhu kembali normal dalam waktu 3-5 hari dan
lama pengobatan sekitar 7-14 hari. Dalam pengobatan demam tifoid pada anak
tiamfenikol dapat dijadikan sebagai obat pilihan pertama menggantikan kloramfenikol,
walaupun masih perlu penelitian lebih lanjut oleh karena belum dapat dilihat angka
kekambuhan dan pengidap kuman setelah pengobatan.
Dan jika kita lihat dari hasil penelitian hubungan antara hasil pemeriksaan
hematologi dengan dema thypoid tidak terdapat antara tingkat demam dengan kadar
hemoglobin, hal ini dapat dipengaruhi oleh perbedaan pengaturan suhu tubuh individu
yang berbeda-beda.

BAB IV
KESIMPULAN
Dari kelima jurnal tersebut terdapat beberapa aspek yang sama yang di teliti
namun mendapat hasil yang berbeda, hal ini mungkin terjadi karena peneliti memilih
tempat penelitian yang berbeda dan mungkin karena perbedaan tempat dan lingkungan
serta pendidikan inilah yang menyebabkan perbedaan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai