Anda di halaman 1dari 2

Apa lagi setelah UN?

Oleh : Ahmad Syalabi Mujahid, S.Si*


Hampir satu bulan sudah para murid kita di kelas XII melewati rangkaian
Ujian tingkat akhir. Mulai dari pelaksaanaan Ujian Nasional dari tanggal Maret
hingga Maret 2010, disusul kemudian dengan rangkaian Ujian Sekolah yang
berbentuk ujian tulis maupun praktik. Ada guratan kelelahan dan ekspresi penuh
kejutan yang terekam dari mimik muka mereka setelah menjalani berbagai ujian
tersebut. Kita berharap mimik muka dan ekspresi tersebut tercipta dalam makna yang
positif, dan bukan sebaliknya.
Khalayak luas sudah mafhum tentang carut marut pelaksanaan Ujian
Nasional kali ini. Sejak awal, hiruk pikuk yang meributkan akankah UN tetap
dilaksanakan tahun 2010 sudah mulai diperbincangkan di ruang publik. Penolakan
demi penolakan tak membuat Kementrian Pendidikan Nasional gentar untuk tetap
melaksanakan Ujian Nasional 2010. Padahal, berbagai argumen dan bukti-bukti nyata
telah disodorkan para penolak UN untuk meyakinkan pemerintah bahwa Ujian
Nasional tak banyak memberi harapan dan justru sebaliknya malah menyisakan
beragam persoalan.
Persoalan di daerah terkait pelaksanaan Ujian Nasional adalah persolan
gengsi dan mempertahankan reputasi. Ujian Nasional meskipun disebut-sebut bukan
sebagai salah satu tolok ukur kelulusan siswa toh pada kenyataannya di tengah
masyarakat, dibuat-buat sebagai satu-satunya parameter kelulusan siswa. Dan lebih
parah lagi, hasil Ujian Nasional di-agung-agungkan sebagai ukuran kualitas
lembaga penyelenggara pendidikan yakni institusi skolah atau bahkan dalam skala
lebih luas, nilai itu dijadikan semacam bukti prestasi pendidikan bagi suatu daerah
atas daerah lain. Pola pikir seperti itu demikian menggurita mulai dari tingkat pennetu
kebijakan tertinggi di daerah sampai tingkat masyarakat kelas bawah sekalipun.
Tentu tidak salah menjadikan UN sebagai parameter kualitas pendidikan
karena kita memang memerlukan ukuran yang rigid untuk itu. Apalagi jika hasil UN
itu kemudian dijadikan bahan evaluasi untuk mengembangkan pendidikan bagi
mereka yang terbukti secara sah dan meyakinkan memiliki nilai pencapaian hasil UN
yang tidak sesuai dengan standar. Namun apakah idealisme itu masih bisa kita
saksikan saat ini? Tentu sebagian besar dari kita akan menggelengkan kepala jika
dihadapkan pada pertanayaan tersebut. UN bukan lagi hal yang sakral sebab
pelaksanaannya sangat jauh dari kriteria ideal.
Tak perlu disembunyikan bagaimana guru yang ketakutan akan tekanan
kepala sekolah agar pencapaian kelulusan siswanya tahun ini lebih tinggi atau bahkan
dipatok harus seratus persen lulus tanpa memperdulikan kemampuan siswanya. Atau
lihat pula bagaimana siswa yang pada umur terhitung belia dan memiliki hak bermain
harus kehilangan haknya hanya untuk mengejar materi yang diajarkan sang guru
melalui les-les tambahan di sekolahnya. Atau justru lebih mengerikan lagi, bagaimana
jika hasil Ujian Nasional benar-benar dijadikan sebagai tolok ukur prestasi suatu
daerah atas daerah lain? Tentu akan lebih mengorbankan banyak hal lagi yang
akhirnya justru berakibat fatal. Nilai sportifitas hilang, nilai kejujuran pun hilang,
tergadai oleh sebuah target besar pencapaian kelululan siswa yang seratus persen.
Jika sudah demikian tak ada makna lagi mengadakan seremonial
pengambilan sumpah karena kita memang tidak terbiasa disumpah. Kalaupun itu
sumpah, mungkin hanya sumpah nasional yang tak jarang kita sendiri
menganggapnya sebagai janji kecil semata. Kita memang salah namun bijaknya kita
belajar dari kesalahan itu.

Ide awal Ujian Nasional saya yakini positif. Kitalah sebagai pelaku yang
kemudian mencorengnya sendiri. Dan tampaknya upaya pencorengan itu demikian
hebatnya sampai melahirkan cerita-cerita miris tentang kecurangan dan kriminilasasi
di sekitar pelaksanaan UN. Kalau sudah demikian, mau dibawa murid-murid itu yang
menampakkan mimik muka kelelahan dan ekspresi keterkejutan mereka karena
mereka menjadi pelaku langsung atas drama ini. Nah, apa lagi setelah UN?
*Staf Pengajar di SMA DM Praya

Anda mungkin juga menyukai