Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Genetika Mendel disaring dari konsepsi-konsepsi yang sangat erat
kaitannya dengan beberapa konsep, antara lain Hukum Pemisahan Mendel,
Hukum pilihan bebas Mendel, Populasi Mendel, dan gen-gen Mendel. Dalam
artian lain genetika Mendel adalah genetika yang mengkaji hukum-hukum
pewarisan Mendel serta aspek-aspek lain yang terkait dalam batas populasi
Mendel (Corebima, 2013). Volpe (1981) dalam Corebima (2013) menyatakan
bahwa selama pembentukan gamet, anggota suatu pasang gen akan memisah
satu sama lain, dan inilah yang dikenal sebagai hukum pemisahan Mendel.
Dilengkapi oleh Ayala dkk. (1984) bahwa kedua faktor (gen) untuk setiap
sifat tidak bergabung dengan cara apapun tetapi berdiri sendiri selama hidup
individu dan berpisah saat pembentukan gamet sehingga separuh gamet
mengandung satu gen dan separu hnya lagi mengandung gen lain.
Ditinjau dari cara pewarisan sifat induk kepada anaknya tidak selalu
sama atau berbeda-beda berdasarkan gen yang ada pada induk. Ada sifat yang
dominan sempurna, dominan tidak sempurna. Sifat dominan apabila
kehadiran gen yang mengendalikan sifat ini menutupi ekspresi gen yang
mengendalikan sifat lawannya yang resesif sehingga yang menutupi
ekspresinya tidak tampak. Sifat resesif baru tampak jika kedua gen resesif
berkumpul dalam satu individu. Gen-gen yang mengendalikan sifat ini
terdapat berpasangan yaitu pada sepasang kromosom homolog yang disebut
sebagai gen-gen sealela. Hukum pilihan bebas Mendel menyebutkan bahwa
faktor-faktor yang menentukan karakter-karakter berbeda diwariskan secara
bebas satu sama lain yang menghasilkan persilangan yang tampak pada F2
dengan rasio mendekati 9:3:3:1. Namun kenyataannya beberapa cara
penurunan sifat tidak mengikuti hukum Mendel. Namun kenyataannya
beberapa cara penurunan sifat tidak mengikuti hukum Mendel. Telah
diketahui bahwa interaksi kedua pasang kromosom tidak selalu bersifat
dominan dan resesif. Beberapa contoh interaksi telah dapat ditunjukkan,
misalnya interaksi dominan tidak sempurna yaitu sifat yang muncul
merupakan sifat antara dari gen dominan dan gen resesif. Interaksi
kodominan menghasilkan sifat yang berbeda dari induknya.
1

Dari hal tersebut, maka dilakukan suatu penelitian persilangan


Drosophila melanogaster se >< wa dan vg >< m beserta resiproknya
hingga didapatkan hasil filial 1 dan filial 2. Dalam perjalanannya ternyata
hasil yang didapat juga menunjukkan adanya pautan kelamin sehingga dalam
penelitian ini digunakan judul Fenomena Interaksi Antara Faktor (Gen) Pada
Persilangan Drosophila melanogaster Strain se >< wa dan vg >< m
beserta resiproknya
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1.2.1 bagaimana perbandingan jumlah fenotip F1 (keturunan pertama) dari
persilangan D. melanogaster strain se >< wa dan vg >< m beserta
resiproknya?
1.2.2 bagaimana perbandingan jumlah fenotip jumlah F2 (keturunan kedua) dari
persilangan D. melanogaster strain se >< wa dan vg >< m beserta
resiproknya?
1.2.3 bagaimana fenomena yang terjadi pada persilangan F1 dan F2 D.
melanogaster strain se >< wa dan vg >< m beserta resiproknya?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 mengetahui perbandingan jumlah fenotip F1 (keturunan pertama) dari
persilangan D. melanogaster strain se >< wa dan vg >< m beserta
1.3.2

resiproknya
mengetahui perbandingan jumlah fenotip jumlah F2 (keturunan kedua)
dari persilangan D. melanogaster strain se >< wa dan vg >< m

1.3.3

beserta resiproknya
mengetahui fenomena yang terjadi pada persilangan F1 dan F2 D.
melanogaster strain se >< wa dan vg >< m beserta resiproknya

1.4 Kegunaan Penelitian


Kegunaan dari penelitian ini antara lain:
1.4.1
Bagi Mahasiswa Biologi
1.4.1.1 Memperluas wawasan mengenai fenomena apa yang terjadi pada
persilangan D. melanogaster strain se >< wa dan vg >< m beserta
resiproknya

1.4.1.2 Memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai adanya fenomena


interaksi gen pada persilangan D. melanogaster se >< wa dan vg
1.4.2
1.4.2.1

>< m beserta resiproknya


Bagi Peneliti
Memberikan informasi mengenai keturunan F1 dan F2 pada persilangan

1.4.2.2

D.melanogaster strain se >< wa dan vg >< m beserta resiproknya


Meningkatkan ketelitian, kesabaran, kejujuran, keiklasan, dan rasa tidak

1.4.2.3

mudah putus asa dalam menjalankan berbagai kegiatan penelitian ini.


Mampu meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan, bahwa dari makluk
ciptaannya mampu dijadikan sebagai obyek penelitian yang sangat
menakjubkan.

1.5 Asumsi Penelitian


Asumsi pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.5.1
umur D. melanogaster pada setiap strain yang digunakan adalah sama.
1.5.2
semua kondisi lingkungan seperti suhu, cahaya, tempat biakan, dan
1.5.3

kelembapan dianggap sama.


kondisi medium yang digunakan selama penelitian adalah sama.

1.6 Batasan Masalah


1.6.1
Strain D. melanogaster yang digunakan dalam penelitian ini adalah strain
wa, se, m dan vg dari persilangan Drosophila melanogaster strain se ><
wa dan vg >< m beserta resiproknya beserta resiproknya yang
1.6.2

diperoleh dari laboratorium Genetika jurusan Biologi FMIPA UM.


Pengamatan fenotip pada penelitian ini hanya terbatas pada warna mata
pada persilangan strain wa dan se dan sayap pada persilangan strain m dan

1.6.3

vg
Penelitian hanya mengamati fenotip F1 dan F2 pada D.melanogaster strain
se >< wa dan vg >< m beserta resiproknya

1.7 Definisi Istilah


1.7.1
Strain merupakan suatu kelompok intra spesifik yang memiliki hanya satu
atau sejumlah kecil ciri berbeda, biasanya secara genetik dalam keadaan
1.7.2

homozigot untuk ciri-ciri tersebut atau gamet murni (Campbell, 2002).


Proyek ini menggunakan empat strain D.melanogaster yaitu wa, se, m, dan
vg. Strain wa merupakan lalat buah dengan badan berwarna kuning
kecoklatan dan mata berwarna orange. Strain se merupakan lalat buah
dengan badan berwarna kuning kecoklatan dan mata coklat. Strain m
merupakan lalat buah dengan badan berwarna kuning kecoklatan dan

sayap tidak menutupi tubuh. Strain vg merupakan lalat buah dengan badan
1.7.3

berwarna kuning kecoklatan dan sayap tereduksi.


Filial 1 merupakan keturunan generasi pertama yang didapat dari hasil
persilangan parental strain wa >< se beserta resiproknya dan m ><

1.7.4

vg beserta resiproknya
Filial 2 merupakan keturunan generasi kedua yang didapat dari hasil

1.7.5

persilangan sesama filial 1.


Fenotip menurut Ayala dalam Corebima (2013) merupakan karakterkarakter yang dapat diamati pada suatu individu (yang merupakan

1.7.6

interaksi antara genotip dan lingkungan tempat hidup dan berkembang).


Genotip menurut Ayala dalam Corebima (2013) merupakan keseluruhan
jumlah informasi genetik yang terkandung pada suatu makhluk dalam
hubungannya dengan satu atau berbeda lokus gen yang sedang menjadi

1.7.7

perhatian.
Interaksi gen (faktor) adalah kaitan atau gabungan beberapa faktor yang

1.7.8

mengontrol kemunculan suatu sifat (Corebima, 2013).


Epistasis adalah interaksi faktor-faktor (gen) yang berbeda (tidak se alela)

1.7.9

(Corebima, 2013).
Dominan adalah suatu sifat yang dapat mengalahkan sifat yang lain

1.7.10

(Corebima, 2013).
Resesif adalah suatu sifat yang dikalahkan oleh sifat yang lain (Coerbima,

1.7.11

2013).
Homozigot adalah karakter yang dikontrol oleh dua gen (sepasang) identik

1.7.12

(berlainan) (Corebima, 2013).


Heterozigot adalah karakter yang dikontrol oleh dua gen (sepasang) tidak

1.7.13

identik (berlainan) (Corebima, 2013).


Penulisan sifat dominan digunakan simbol (+) sedangkan penulis sifat
resesif tidak digunakan symbol

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Drosophila melanogaster
2.1.1. Sitematika Drosophila melanogaster
Menurut Miller (2000) sistematika pada Drosophila melanogaster adalah
sebagai berikut:
Kingdom
Filum
Kelas
Bangsa
Suku
Marga
Jenis

: Animalia
: Arthropoda
: Insecta
: Diptera
: Drosophilidae
: Drosophila
: Drosophila melanogaster

Gambar 1 : Drosophila sp Betina dan Jantan Normal


(Chyb sylwester dan Nicolas Gompel , 2013 )
D.melanogaster merupakan hewan yang tersebar di berbagai benua
kecuali Antartica. Habitatnya tersebar luas hampir pada semua wilayah
bersuhu sedang. Drosophila berasal dari kata suka embun yang
menunjukkan bahwa spesises ini membutuhkan lingkungan yang lembab
(Miller, 2000).
D.melanogaster dewasa merupakan hasil dari metamorphosis. Spesies
ini ditutupi oleh eksoskeleton, punya tiga segmen tubuh dan 3 pasang kaki.
Hewan dewasanya secara normal berwana kuning kecoklatan, berukuran
panjang 2 mm dan lebar 2 mm. Ia punya kepala bulat dengan (secara
normal) mata majemuk berwarna merah, tiga mata tunggal dan antenna
pendek. Hewan betina lebih besar sedikit daripada jantan. Ada garis hitam
pada permukaan dorsal pada abdomennya yang bisa menunjukkan
perbedaan antara jantan dan betina. Jantan punya pigmen hitam yang lebih
banyak pada ujung posterior abdomen D.melanogaster punya sepasang

sayap yang terbentuk dari segmen tengah pada toraksnya. Larvanya


berwarna putih, tidak berkaki dan kepalanya tampak (Miller, 2000).
Reproduksi D.melanogaster sangat cepat. sepasang lalat dapat
menghasilkan ratusan

anak dalam beberapa minggu. Anak itu segera

matang secara seksual dalam satu minggu (Lutz, 1948 di dalam Miller,
2000). Spesies ini bertelur dan kemudian menjadi larva, pupa dan dewasa.
Drosophila melanogaster adalah organisme model yang cocok
digunakan untuk penelitian genetika, biokimia, biologi molecular, fisiologi
dan sebagainya (Ayala, dkk, 2010). Hal ini karena hewan ini memiliki
siklus hidup yang cepat dan variasi strain yang banyak. Ayala, dkk (2010)
menyatakan bahwa antara tahun 1940-1970 sejumlah penelitian yang
dilakukan oleh para peneliti telah meningkatkan jumlah dan kompleksitas
mutan-mutan D.melanogaster.
D.melanogaster strain m memiliki sayap yang pendek sedangkan
strain vg memiliki sayap yang tereduksi dan terletak pada alel yang berbeda
yakni kromosom I pada lokus 36,1 (strain m) dan kromosom II pada lokus
67,0 (strain vg) (Klug & Cummings, 2012). Miniatur menghasilkan sayap
yang lebih pendek dan sempit daripada normal tetapi bentuk mendekati
normal. Vestigial sayap dikurangi untuk tunggul kecil yang diadakan
terentang. Sayap miniatur dewasa sekitar dua pertiga ukuran normal dan
sayap vestigial adalah kurang dari seperempat ukuran normal (Villee, 1946).
D.melanogaster strain wa memiliki mata bewarna orange sedangkan
strain se memiliki mata bewarna ungu kehitaman dan terletak pada alel yang
berbeda yakni kromosom I pada lokus 1,5 (strain wa) dan kromosom III
lokus 26,0 (strain se) (Klug & Cummings, 2012). Strain wa memiliki ciri
fenotip mata berfaset halus, warna mata orange, warna tubuh coklat
kekuningan dan sayap menutupi tubuh sedangkan untuk strain se memiliki
ciri fenotip mata berfaset halus, warna mata coklat, warna tubuh coklat
kekuningan dan sayap menutupi tubuh.
2.2. Hukum Mendel II (Hukum Pilihan Bebas Mendel)
Menurut Corebima (2013) hukum Pilihan Bebas Mendel ditemukan
berdasarkan percobaan Mendel terhadap kacang ercis dengan dua sifat beda/
persilangan dihibrida. Pada salah satu percobaannya tanaman ercis biji

bulat dan kuning disilangkan dengan tanaman ercis biji keriput dan hijau.
Hasil F1 adalah seluruhnya bulat dan hijau. Pada F2 hasil yang muncul ada
dua kemungkinan dimana jika:
1. Ciri yang berasal dari satu induk akan diwariskan bersama-sama maka
hasilnya hanya ada dua macam fenotip yaitu bulat kuning dan keriput hijau
dengan rasio 3:1
2. Ciri yang berasal dari satu induk akan diwariskan secara bebas satu sama
lain maka akan ada empat macam fenotip dengan rasio 9:3:3:1 yaitu bulat
kuning, bulat hijau, keriput kuning dan keriput hijau.
Maka Mendel pun menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang
menentukan karakter-karakter berbeda diwariskan secara bebas satu sama
lain yang disebut sebagai Hukum Pilihan Bebas Mendel (Corebima,
2013).
2.3. Pautan Kelamin
Pautan kelamin pertama ditemukan oleh T.H Morgan dan C.B Bridges
pada 1910. T.H Morgan punya D.melanogaster bermata putih yang
tergolong galur murni. Jiksa strain bermata merah betina disilangkan dengan
strain bermata putih jantan, maka F1 yang muncul bermata merah
seluruhnya (faktor mata merah mendominasi). Jika F1 disilangkan
sesamanya maka bagian bermata merah dan bagian bermata putih.
Setelah diperiksa lebih teliti seluruh betina bermata merah dan separuh
jantan bermata merah dan separuhnya lagi bermata putih (Corebima, 2013).
Apabila strain bermata putih betina disilangkan dengan strain bermata
merah jantan, maka hasilnya berlainan. Tidak seluruhnya F1 bermata merah.
Hasilnya separuh F1 bermata merah dan separuhnya bermata putih, selain
itu seluruh F1 betina bermata merah dan seluruh F1 jantan bermata putih.
Jika F1 disilangkan sesamanya maka separuh F2 bermata putih dan separuh
lagi bermata merah, F2 jantan bermata merah sama jumlahnya dengan F2
betina bermata merah dan F2 jantan bermata putih sama jumlahnya dengan
F2 merah bermata putih (Corebima, 2013).
Hal ini dapat dijelaskan bahwa faktor mata terpaut pada kromosom X
dan kromosom kelamin jantan (Y) tidak mengandung faktor watna mata
tersebut (Corebima, 2013).

2.4. Pemetaan Kromosom Drosophila melanogaster


Menurut Corebima 2013, model pemetaan kromosom pertama kali
diperkenalkan oleh A.H. Stutevant yang terbukti menjadi dasar atau acuan
seluruh upayah pemetaan genetic. Peta kromosom pada Drosophila
melanogaster yang dihasilkan oleh A.H. Stutevant, dkk, titunjukan pada
gambar berikut :

Gambar : Peta Kromosom Drosopila melanogaster


(Sumber : Corebima, 2013)
2.5. Enzim

Enzim merupakan suatu protein yang berfungsi sebagai katalisator.


Suatu katalis adalah agen kimiawi yang mengubah laju reaksi tanpa harus
ikut bereaksi. Tanpa enzim, jalur-jalur metabolism akan menjadi macet.
Enzim dapat bekerja sesuai dengan substratnya. Misalnya enzim DNA
polimerase hanya bertugas untuk memanjangkan cabang DNA baru hasil
replikasi (Campbell dkk. 2002: 98108)
Enzim memiliki karakter-karakter tertentu. Enzim hanya bekerja pada
substrat tertentu.

Enzim menggunakan berbagai mekanisme untuk

menurunkan energi aktivasi dan mempercepat reaksi. Semakin banyak


molekul substrat yang tersedia, semakin sering molekul-molekul tersebut
memasuki tempat aktif molekul enzim. Apabila suatu populasi enzim telah
jenuh, satu-satunya cara untuk meningkatkan produktivitas adalah dengan
menambah lebih banyak lagi enzim. Aktivitas suatu enzim dipengaruhi oleh
faktor lingkungan umum seperti suhu dan pH, dan faktor kimiawi tertentu
yang secara khusus mempengaruhi enzim tersebut. Kerja enzim tersebut
menuruti sifat protein yang bekerja pada suhu optimum. Lingkungan yang
tidak cocok dapat menyebabkan protein enzim rusak (Cambell dkk. 2002:
100101).
Protein merupakan produk utama dari gen. Akibat aktivitas dari protein
dapat kita lihat dari fenotip-fenotip yang dapat kita amati. Jika suatu gen
termutasi dimana urutan nukleotida dari gen tersebut berubah dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan dari protein yang dihasilkan. Hal
tersebut dapat mengakibatkan perubahan dari aktivitas protein dan fenotip
yang kita amati. Jika mutasi yang terjadi menyebabkan suatu protein tidak
berfungsi , maka mutan yang dihasilkan bersifat resesif.
Sebagai contoh, jika di dalam sel terjadi proses reaksi V X Y
Z (dapat dilihat dari gambar 1.1 di bawah), kemudian terjadi mutasi pada
enzim yang mengkatalisis X Y sehingga enzim tersebut tidak berfungsi,
maka senyawa V dan Z tidak akan diproduksi. Bila senyawa X tidak dapat
diubah menjadi senyawa lain oleh enzim lain di dalam sel, maka senyawa X
akan bertumpuk di dalam sel (dapat dilihat pada gambar 1.2 di bawah).
Hilangnya senyawa Y dan Z dari dalam sel dan menumpuknya senyawa X di
dalam sel akan mempengaruhi fenotip yang kita amati.

10

Semua enzim berfungsi


V

Enzim1
2

Enzim2

Enzim3

Gen yang mengkode enzim 2 termutasi


V

Enzim1

Enzim2

Enzim 2 tidak ada atau tidak berfungsi


Gambar 2. Pengaruh mutasi suatu gen konsentrasi senyawa di dalam sel.3
Kromatografi Pigmen mata Drosophila (Christian, G.D. : 1994)
2.6. Interaksi Gen
Salah satu kajian pewarisan sifat yang menyimpang dari rasio Mendel
adalah adanya interaksi gen. Dimana dewasa ini diketahui bahwa karakter
atau sifat makhluk hidup muncul sebagai suatu produk dari rangkaian reaksi
biokimia yang bercabang-cabang, dan setiap tahap reaksi biokimia yang
dikatalisis oleh enzim. Enzim tersebut tersusun atas polipeptidapolipeptida
yang pembentukannya dikontrol oleh faktor atau gen. Dengan demikian
tidak ada satu sifat atau karakter yang dikontrol oleh satu faktor atau satu
unit karakter (gen), tetapi pengontrolan sifat (karakter) tersebut oleh satu
faktor atau unit karakter dianggap benar dalam batas satu unit tahap reaksi
biokimia (Corebima, 2013). F1 akan menunjukkan fenotip yang berbeda
dengan kedua induknya namun jika disilangkan dengan sesama F1 maka F2
akan memperlihatkan rasio 9:3:3:1 dan akan muncul dua tipe fenotip yang
tidak dimiliki oleh kedua induk. Hasil rasio ini menunjukkan bahwa
persilangan yang telah dilakukan tergolong persilangan dihibrida. Dalam hal

11

ini disimpulkan bahwa kedua induk akan menyumbangkan satu pasang gen
(Corebima, 2013).

Gambar 3: Bagan reaksi interaksi gen yang melibatkan enzim


(Elrod dan Stansfield, 2007)
Jika ada gen yang menunjukkan bermacam-macam independen namun
tidak bertindak independen dalam ekspresi fenotipik mereka, sebaliknya,
efek dari gen pada satu lokus tergantung pada kehadiran gen pada lokus
lainnya. Jenis interaksi antara efek gen pada lokus yang berbeda (gen yang
tidak sealel) disebut interaksi gen. Dengan interaksi gen, produk gen pada
lokus yang berbeda bergabung untuk menghasilkan fenotipe baru yang tidak
dapat diprediksi dari efek tunggal lokus saja. Dalam pertimbangan interaksi
gen akan fokus terutama pada interaksi antara efek gen pada dua lokus,
meskipun interaksi antara gen pada tiga, empat, atau lebih lokus yang umum
(Pierce, 2008).
Istilah interaksi gen ini sering digunakan untuk mengekspresikan
gagasan bahwa beberapa gen mempengaruhi karakteristik tertentu. Ini tidak
berarti bahwa jika ada dua gen atau lebih

atau produk mereka selalu

langsung berinteraksi satu sama lain untuk mempengaruhi fenotip tertentu.


Sebaliknya, istilah tersebut berarti bahwa fungsi seluler berbagai produk gen
berkontribusi terhadap pengembangan fenotipe umum. Sebagai contoh,
pengembangan organ seperti mata serangga sangat kompleks dan mengarah
ke struktur dengan beberapa manifestasi fenotipik, misalnya, untuk mata
memiliki ukuran, bentuk, tekstur, dan warna tertentu. Perkembangan mata
adalah kaskade peristiwa perkembangan kompleks yang mengarah pada
pembentukan organ itu. Proses ini menggambarkan perkembangan konsep
epigenesis,

dimana

setiap

langkah

pembangunan

meningkatkan

12

kompleksitas organ atau fitur kemenarikan dan berada di bawah kendali


seerta pengaruh banyak gen (Klug and Cummings, 2012).
2.7. Epistasis
Kadang-kadang pengaruh interaksi gen adalah bahwa satu gen masker
(menyembunyikan) pengaruh gen lain pada lokus yang berbeda, sebuah
fenomena yang dikenal sebagai epistasis. Fenomena ini mirip dengan
dominasi, kecuali dominasi yang memerlukan masking gen pada lokus (gen
alel) yang sama. Dalam epistasis, gen yang melakukan penutupan atas gen
lain disebut gen epistatik sedangkan gen yang disembuyikan adalah gen
hipostatik (Pierce, 2008).
Gen epistatik mungkin resesif atau dominan dalam efek mereka.Sifat
dominan dan sifat resesif merupakan interaksi antara dua faktor (gen)
penyusun suatu pasang faktor (gen). Menurut Gardner dkk. (1984)
menyebutkan bahwa Epistasis adalah interaksi antara faktor-faktor (gen)
yang berbeda (tidak se alela). Pada peristiwa epistasis sudah mulai
dijelaskan dalam jalur reaksi biokimiawi yang melibatkan enzim.

13

Gambar 4: Daftar Interaksi Epistasis Drosopila melanogaster


(Sumber : Corebima, 2013)
Sebagai contoh, kehadiran homozigot dari resesif alel dapat mencegah
atau mengesampingkan ekspresi alel lainnya pada lokus kedua (atau
beberapa lokus lainnya). Dalam hal ini, alel pada lokus pertama dikatakan
epistatik bagi mereka pada lokus kedua, dan alel pada lokus kedua adalah
hipostatik kepada mereka pada lokus pertama. Seperti yang akan kita lihat,
ada beberapa variasi pada tema ini. Dalam contoh lain, alel dominan pada
lokus pertama mungkin epistatik untuk ekspresi alel pada lokus gen kedua.
Contoh ketiga misalnya dua pasang gen dapat melengkapi satu sama lain
sehingga setidaknya satu alel dominan dalam setiap pasangan wajib
mengekspresikan fenotipe tertentu.
Contoh lain yang menarik yaitu sebuah fenotip tak terduga timbul pada
generasi F2 adalah warisan dari warna mata di Drosophila melanogaster.
Seperti disebutkan sebelumnya, tipe liar warna mata merah bata. Ketika dua
mutan resesif autosomal, coklat dan merah, disilangkan, generasi F1 terdiri
dari lalat dengan tipe liar warna mata. Pada generasi F2, lalat liar, merah,
coklat, dan putih bermata ditemukan dalam rasio 9: 3: 3: 1.
Sementara rasio ini secara numerik sama dengan rasio dihibrid Mendel
yang hanya melibatkan satu karakter yaitu mata warna. Ini merupakan
perbedaan penting untuk diperhatikan ketika rasio dihibrid modifikasi yang
dihasilkan dari interaksi gen yang dipelajari.
Persilangan Drosophila melanogaster adalah contoh yang sangat baik
dari interaksi gen karena dasar biokimia warna mata dalam hal ini organisme
telah ditentukan. Drosophila, sebagai arthropoda khas, memiliki mata
majemuk yang terdiri dari ratusan unit visual yang disebut ommatidia
individu. Warna mata wildtype disebabkan oleh deposisi dan pencampuran
dua kelompok pigmen terpisah di setiap ommatidium yaitu brightred
drosopterins dan xanthommatins coklat. Setiap jenis pigmen diproduksi oleh
jalur biosintesis yang terpisah. Setiap langkah dari masing-masing jalur
dikatalisis oleh enzim yang terpisah dan dengan demikian di bawah kendali
gen yang terpisah.

14

Gambar 5: Proses Biokimia Pigmentasi Mata Drosophila melanogaster


( Klug and Cummings, 2012)
Penjelasan teoritis dari gambar diatas berdasarkan biokimia dasar
dihasilkannya fenotipe warna empat mata diproduksi saat persilangan
antara Drosophila dengan mata coklat dan mata merah. Di hadapan
setidaknya satu tipe liar bw + alel, enzim diproduksi yang mengubah
substansi b ke c, dan drosopterin pigmen disintesis. Di hadapan sedikitnya
satu tipe liar st + alel, substansi e diubah menjadi f, dan xanthommatin
pigmen disintesis. Kehadiran homozigot resesif dari alel mutan st atau bw
menutup sintesis molekul pigmen masing-masing. Salah satu, keduanya,
atau tidak dari jalur ini dapat diblokir, tergantung pada genotipe tersebut.

15

BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Konseptual
Pada peristiwa interaksi antara faktor (gen) ciri-ciri yang berasal dari satu
induk akan diwariskan berdasarkan keadaan faktor dominan dan resesif. Pada
peristiwa interaksi antara faktor (gen)

(Corebima, 2013). Persilangan

Drosophila melanogaster antara strain wa, se, m dan vg bertujuan untuk


mengetahui fenotip keturunan pertama (F1) dan keturunan kedua (F2) pada
persilangan vg><m dan resiproknya serta persilangan se><wa beserta
resiproknya serta untuk mengetahui apakah rasio F2 dari masing-masing
persilangan mengalami fenomena interaksi gen yaitu epistasis.

Sifat organisme ditentukan oleh faktor genetik y

Faktor-faktor (gen) yang berinteraksi dalam mengontrol satu sifat yang sam

Persilangan vg><m dan resiproknya serta pe

F1 persilangan
vg><m
menghasilkan
fenotip N menghasilka
heterozigot d
F1 persilangan
m><vg
dan persilangan
wa><se

F2 persilangan m><vg menghasilkan fenotip N : vg : m : vg-m = 9:3:3:1 dan persilangan wa


F2 persilangan vg><m dan menghasilkan fenotip N : wa : se : w

Terjadi interaksi

16

3.2. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Perbandingan jumlah fenotip F1 (keturunan pertama) dari persilangan D.

melanogaster strain vg><m menghasilkan fenotip N heterozigot dan m


(1:1) dan persilangan se ><wa menghasilkan fenotip N heterozigot dan
wa (1:1) serta perbandingan jumlah fenotip F1 persilangan m><vg dan
persilangan wa><se menghasilkan 100% fenotip N heterozigot.
2. Perbandingan jumlah fenotip jumlah F2 (keturunan kedua) dari persilangan D.
melanogaster persilangan vg><m dan menghasilkan fenotip N : wa : se :
wa se = 6:6:2:2 dan persilangan se ><wa menghasilkan fenotip N : m : vg
: m-vg = 6:6:2:2 serta persilangan m><vg menghasilkan fenotip N : vg :
m : vg-m = 9:3:3:1 dan persilangan wa><se menghasilkan fenotip N : se :
wa : se-wa = 9:3:3:1
3. Fenomena yang terjadi pada hasil persilangan Filial 1 dan Filial 2 adalah
peristiwa Interaksi Gen (Epistasis)

17

BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian yang kami lakukan ini merupakan jenis penelitian deskriptif
observatif, karena penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung
pada objek yakni pada hasil F1 dan F2 dari persilangan Drosophila melanogaster
se >< wa dan vg >< m beserta resiproknya yang dilakukan sebanyak enam
kali ulangan. Hasil dari masing-masing strain pada masing-masing ulangan
diamati fenomena yang terjadi.
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian
4.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian ini mulai dilakukan pada tanggal 9 Januari 2015.
4.2.2 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di dalam Laboratorium Genetika ruang 310 Jurusan
Biologi FMIPA UM.
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh species Drosophila
melanogaster yang ada pada Laboratorium Genetika ruang 310 Jurusan Biologi
FMIPA UM. Sampel pada penelitian ini adalah Drosophila melanogaster strain se
, wa ,vg, dan m.
4.4 Alat dan Bahan
4.4.1 Alat
1. Mikroskop stereo
2. Pisau
3. Botol selai
4. Kuas
5. Selang ampul
6. Plastik
7. Blender
8. Timbangan
9. Kain kasa
10. Pena
4.4.2 Bahan
1. Air
2. Pisang raja mala
3. Gula merah
4. Tape singkong

11.
Panci
12.
Kompor gas
13.
Kardus
14.
Pengaduk kayu
15.
Gunting
16.
Cutter
17.
Kertas pupasi
18. Sendok
19. Buku
20. Wadah plastik
6.
7.

Tissue
Fermipan

18

5. Drosophila melanogaster strain se , wa ,vg, dan m.


4.5 Prosedur Kerja
4.5.1 Pembuatan Medium untuk 1 Resep
1. Menyiapkan bahan antara lain pisang raja mala, gula merah, dan tape
singkong.
2. Menimbang bahan dengan timbangan terigu, pisang raja mala 700 gr, tape
singkong 200 gr, dan gula merah 100 gr.
3. Memotong pisang dengan ukuran kecil-kecil, menambahkan tape singkong,
dan diberi sedikit air kemudian dihaluskan menggunakan blender.
4. Memotong gula merah dengan ukuran kecil-kecil, melarutkannya dengan cara
menambah air kemudian dipanaskan di atas komporsampai gula merah
terlarut seluruhnya.
5. Menyiapkan panci besar di atas kompor, setelah itu memasak bahan yang
dihaluskan dengan blender (pisang raja mala + tape singkong), gula merah
ditambahkan setelah bahan tersebut muncul gelembung (panas).
6. Menunggu selama 45 menit dihitung mulai saat bahan tersebut dipanaskan.
7. Setelah 45 menit, memasukkan medium ke dalam botol selai dan langsung
menutup botol selai menggunakan spons.
8. Setelah itu didinginkan dengan merendam botol selai di dalam air.
9. Setelah dingin membersihkan uap air yang ada di botol dengan menggunakan
tisue.
10. Menambahkan 3-4 butir yeast (fermipan) ke dalam botol yang berisi medium
dan juga memasukkan kertas pupasi.
11. Menutup botol medium dengan spons kembali.
4.5.2 Peremajaan Stock Induk
1. Menyiapkan botol yang telah berisi medium.
2. Menyiapkan lalat stock dari Laboratorium Genetika strain se, wa, m dan vg.
3. Memasukkan lalat minimal 3 pasang masing-masing botol 1 strain ke botol
selai yang telah berisi medium.
4. Memberi label sesuai strain dan tanggal peremajaan strain.
5. Jika ada pupa yang berwarna hitam, pupa tersebut dimasukkan ke dalam
selang ampul.
6. Menunggu hingga menetas.
7. Ampulan hanya bisa dipakai untuk persilangan sampai usia 2 hari.
4.5.3 Pengamatan Fenotip Awal

19

1. Mengambil 1-2 ekor lalat stock strain se, wa, m dan vg dengan cara
menyedotnya menggunakan selang plastik.
2. Memasukkan dalam plastik bening.
3. Mengamati fenotip dibawah mikroskop stereo.
4. Mencatat dan menggambar hasil pengamatan.
4.5.4 Persilangan se >< wa dan vg >< m Beserta Resiproknya
1. Menyiapkan bobtol yang telah berisi medium sesuai dengan jumlah
persilangan dan jumlah ulangan.
2. Menyilangkan lalat yang berasal dari ampulan.
3. Menyilangkan lalat Drosophila melanogaster strain se >< wa dan vg
>< m beserta resiproknya yang dimasukkan ke dalam botol selai berisi
medium.
4. Memberi label pada botol sesuai dengan jenis persilangan, tanggal
persilangan, dan ulangan keberapa.
5. Melepas individu pada masing-masing persilangan setelah persilangan
berumur 2 hari.
6. Memindah individu ke medium baru setelah muncul larva pada botol
persilangan (pemindahan dilakukan setiap muncul larva pada medium lama
dan sampai individu mati, minimal 4 kali pemindahan).
7. Semua F1 diamati fenotipnya, dihitung jumlah jantan dan betina pada tiap
strain, diamati selama 7 hari. Beberapa pupa yang telah menghitam diampul
untuk persilangan menghasilkan F2.
8. Mencatat hasil pengamatan dan dimasukkan ke dalam tabel.
4.5.5 Persilangan F1 untuk menghasilkan F2
1. Dari hasil persilangan F1, sebagian pupa yang menghitam di ampul untuk
digunakan dalam persilangan F2.
2. Dari hasil ampulan yang sudah menetas, hasil ampulan yang berupa
disilangkan dengan . Kemudian dimasukkan ke dalam botol medium yang
sudah disiapkan dan dilakukan selama 6 kali ulangan.
3. Memberi label pada botol yang bertuliskan tanggal persilangan, ulangan
keberapa, dan memberi keterangan mengenai strain apa yang disilangkan.
4. Melepas jantan setelah dua hari.
5. Setelah muncul larva pada botol persilangan, maka induk dipindahkan ke
botol medium baru. Pemindahan dilakukan setiap muncul larva pada medium
lama dan sampai individu mati, minimal 4 kali pemindahan.
6. Pada botol persilangan yang sudah terdapat pupa, botol tersebut dibiarkan
sampai pupa menetas. Mengamati fenotip hasil anakan yang muncul dan

20

menghitung jumlahnya. Jantan dan betinanya dihitung pada tiap strain, dan
ulangan. Pengamatan fenotip tersebut dilakukan selama 7 hari.
7. Mencatat hasil pengamatan dan dimasukkan ke dalam tabel.
4.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
melakukan pengamatan fenotip yang meliputi warna mata pada persilangan strain
se >< wa beserta resiproknya dan keadaan sayap pada persilangan strain vg
>< m beserta resiproknya pada keturunan F1 dan F2 secara langsung dan
jumlah keturunan jantan dan betina pada F1 dan F2 dari hasil persilangan se ><
wa dan vg >< m beserta resiproknya. Penghitungan jumlah keturunan jantan
dan betina ini dilakukan selama 7 hari untuk masing-masing ulangan dan
memasukkan data pada tabel hasil pengamatan.
4.7 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan
rekonstruksi persilangan F1 sampai F2, dilanjutkan dengan membandingkan rasio
dari kedua persilangan. Setelah data sudah lengkap, data dianalisis menggunakan
analisis

statistik

yakni

menghitung

dengan

analisis

chi-square

dengan

perbandingan untuk filial 1 persilangan strain se >< wa dan vg >< m 1:1


sedangkan untuk filil 2 persilangan strain se >< wa dan vg >< m memiliki
perbandigan 6:2:2:2. dan untuk persilangan strain wa >< se dan m >< vg
memiliki perbandingan 9:3:3:1

21

Bab V
Data dan Analisa Data
5.1.

Data Hasil Pengamatan


Strain Drosophila yang digunakan dalam penelitian ini adalah strain m,
vg, se, dan wa, yang memiliki ciri fenotip antara lain adalah sebagai berikut :
1. Strain m
Warna Mata

: Merah

Faset Mata

: Halus

Warna Tubuh : Kuning Kecoklatan


Sayap

: Menutupi tubuh tidak sempurna (sayap pendek)

2. Strain vg
Warna mata

: Merah

Faset Mata

: Halus

Warna Tubuh : Kuning Kecoklatan


Sayap

: Menutupi tubuh tidak sempurna (kedua

sayap tereduksi)
3. Strain se
Warna Mata

: Cokelat Kehitaman

Faset Mata

: Halus

Warna Tubuh : Kuning Kecoklatan


Sayap

: Menutupi secara sempurna

4. Strain wa
Warna Mata

: Orange

Faset Mata

: Halus

Warna Tubuh : Kuning Kecoklatan


Sayap

: Menutupi secara sempurna

22

Tabel 1: Data Perhitungan Anakan F1


Persilangan

Fenotip

m >< vg

Sex

N
N
m
N
wa
N
N
N

vg >< m
se >< wa
wa >< se

1
31
18
35
28
19
21
13
7

Ulangan
2
3
22
6
27
5
70
20
60
18
47
25
45
26
8
14
8
20

Keterangan :
(-) : Masih Dalam Proses Pengumpulan Data
5.2.

Analisa Data

Rekontruksi Kromosom pada persilangan m >< vg


P1

m >< vg
vg+
vg+

Genotip

m vg+ , > vg+

Gamet

m+
m+

vg
vg

m+ vg

F1
m vg+

> vg+

m+ vg

m vg

P2

m
m

Gamet :

vg
vg

(N heterozigot)
m+
vg+
m
vg

(N heterozigot)
vg+
m+
vg

(N heterozigot)
N >< N

(N heterozigot)

Genotip

vg
vg

vg
vg

m
m

vg
vg

Jumlah
4
10
7
17
32
44
46
-

69
57
142
138
135
138
35
35

23

: m+ vg+ ; m+ vg ; > vg+ ; > vg


: m+ vg+ ; m+ vg ; m vg+ ; m vg

F2

m+ vg+

m+ vg+
+

(N heterozigot)
m+
m+

> vg+

m
m+

vg+
vg+

m+ vg

m+ vg

m
m+

vg+
vg

(N heterozigot)
m+
m+

> vg
+

vg+
vg+

vg+
vg

(N heterozigot)

(N heterozigot)
m+

vg
vg

m+

vg
vg

(vg)
(vg)

vg
vg

vg
vg

(N heterozigot)
m vg+

(N heterozigot)
m+
m

vg+
vg+

m vg

(N heterozigot)
m+
m

m+
m

vg+
vg+

vg+
vg

(m)

(m)

vg
vg

(N heterozigot)
m+
m

(vg)

vg
vg

vg+
vg

(m)

vg
vg

(mvg)

24

vg+
vg+

(N heterozigot)
N : m : vg : mvg
9:3:3:1
Rekontruksi Kromosom pada persilangan vg >< m
P1

vg >< m
+

Genotip

vg
vg

m+ vg , > vg

Gamet

vg
vg+

m
m

m vg+

F1
m+ vg

> vg

m vg+

m vg+

P2
Genotip

m+
m

vg+
vg

(N heterozigot)
+
+
m
vg
m
vg

(m)
vg+
m
vg

(N heterozigot)

(m)

m >< N
m

vg+
vg ;

m+
m

Gamet :
: m vg+ ; m vg ; > vg+ ; > vg
: m+ vg+ ; m+ vg ; m vg+ ; m vg
F2

vg
vg

vg+
vg

25

m vg+

m vg

> vg+

> vg

m+
m

m+
m

m+

m+

vg+
vg+

vg+
vg

m+ vg+

vg
vg

vg
vg+

m vg

(N heterozigot)
+
m
m

(N heterozigot)
+

m
m

(N heterozigot)
m+

vg
vg

vg
vg

(N heterozigot)
+

vg
vg

m
m

m
m

vg+
vg

(m)

(m)

(m)
m vg

m
m

vg
vg

(mvg)

6 : 6 : 2: 2
Rekontruksi Kromosom pada persilangan wa >< se
wa >< se

vg
vg+

vg
vg

(m)

(m)

N : m : vg : mvg

P1

vg
vg

vg+
vg

m vg+

m+

(vg)

(vg)

(N heterozigot)
+
vg
m
vg+
m

(N heterozigot)

vg+
vg

(m)

vg
vg

(mvg)

26

se +
se +

wa

Genotip

wa se+ , > se+

Gamet

wa+
wa+

se
se

wa+ se

F1

wa se+

wa
wa

wa

se +
se

se
se

(N heterozigot)
wa+
wa

(N heterozigot)

se +
se

se +
se

(N heterozigot)

(N heterozigot)

wa + se

a+

w se

P2

> se+
+

wa+

N >< N
wa+

Genotip

se +
se

wa+
wa

se +
se

Gamet :
: wa+ se+ ; wa+ se ; > se+ ; > se
: wa+ se+ ; wa+ se ; wa se+ ; wase
F2

wa + se+

wa + se

> se+

> se

27

wa + se+

wa+
wa+

se +
se +

wa + se

(N)
wa+
wa+

wa+
wa+

se
se

(N heterozigot)
wa+
wa+

wa+

wa +

se +
se +

se +
se

(N heterozigot)

(N)
wa+

se
se

wa+

se
se

(se)
(se)

se
se

se
se

(N heterozigot)
a

w se

(N heterozigot)
wa+
wa

se
+
se

wa+
wa

se +
se +

wa

(w )

se
se

se +
se

wa

(wa)

(N heterozigot)

(N heterozigot)
wa se

wa+
wa

wa+
wa

(se)

se
se +

(N heterozigot)

se
se

wa

se +
se

(wa)

wa

se
se

(wa se)

28

N : wa : se : wa se
9:3:3:1
Rekontruksi Kromosom pada persilangan se >< wa
se >< wa

P1

wa+

Genotip

se
se

wa+ se , > se

Gamet

se +
se +

wa
wa
wa se+

F1
wa + se

> se

wa se+

wa
wa

wa

se
se

( wa)

se +
se

w se

(N heterozigot)
wa+
wa

wa

se +
se

(wa)

se
se

(N heterozigot)
P2
Genotip

wa >< se
wa

se +
se

Gamet :
: wa se+ ; wa se ; > se+ ; > se

wa+
wa

se +
se

29

: wa + se+ ; wa + se ; wa se+ ; wa se

F2

wa se+

wa se

> se+

> se

wa+
wa

wa+
wa

wa+

wa +

se +
se

se +
se +

se +
se

wa + se+

se
+
se

wa + se

(N heterozigot)

(N heterozigot)
wa+
wa

wa
wa

(N heterozigot)
wa+

se
se

se
se

(N heterozigot)
se +
wa
se +
wa

(N heterozigot)
+

se
se

wa
wa

(wa)

(wa)
+
se
wa
se
wa

wa
wa

se
se

(wa se)

(w )

N : wa : se : wa se
6
5.3.

se
se

se +
se

wa se+

wa+

(se)

(se)

wa se+

(N heterozigot)

Analisis Chi-Square
1. Persilangan vg >< m

: 6 : 2: 2

se +
se +

wa

(wa)
+
se
wa
se

(w )

se +
se

wa

(wa)
wa

se
se

(wa se)

30

Persilangan

Fenoti
p
m
N

vg >< m

Sex

1
35
28

Ulangan
2
3
70
20
60
18

4
17
32

Jumlah

Total

Total

142
138

280

Uji Chi-Square (Pautan Kelamin)


Fh N =

1
2

x 280 = 140

Fh m =

1
2

x 280 =

140

Fenotip

fo

Fh

142

140

138

140

fofh

(fofh)2

(fo fh)
fh

0,02857143

-2

0,02857143

X 2 tabel (db)

0,05714286

= fenotip (N, m) 1

= 2-1
=1
X 2 hitung (0,05714286) < X 2

tabel 0,05 (3,841), hipotesis

penelitian diterima sehingga rasio F1 pada persilangan vg >< m tidak


menyimpang dari rasio 1:1
2. Persilangan se >< wa
Persilangan
a

se >< w

Fenoti
p
wa
N

Sex

Uji Chi-Square (Pautan Kelamin)

1
19
21

Ulangan
2
3
47
25
45
26

4
44
46

Total
135
138

Jumlah
Total
273

31

Fh w =

1
2

x 273 = 136,5

Fh N=

1
2

x 273 =

136,5

Fenotip

fo

Fh

wa

135

136,5

138

136,5

fofh

(fo fh)
fh

1,5

2,25

0,01648352

-1,5

2,25

0,01648352

X 2 tabel (db)

(fofh)

0.03296703

= fenotip (wa,N ) 1

= 2-1
=1
X 2 hitung (0.03296703) < X 2

tabel 0,05 (3,841), hipotesis

penelitian diterima sehingga rasio F1 pada persilangan se >< wa tidak


menyimpang dari rasio 1:1

Bab VI
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini fenomena yang terlihat adalah interaksi gen. Hal ini
dapat diketahui dengan melihat rekontruksi kromosom hasil persilangan F1 pada
F2 dari persilangan strain vg >< m dan se >< wa beserta resiproknya.

32

A. Persilangan vg >< m beserta resiproknya


Berdasarkan analisis chi-square dan hasil rekonstruksi persilangan vg
>< m menghasilkan anakan F1 yang semua keturunannya muncul fenotip strain
m dan N dengan perbandingan 1:1. Sedangkan F2 berdasarkan hasil
rekonstruksi persilangan menghasilkan anakan yang muncul berfenotip strain N,
m, vg, dan mvg dengan rasio 6:6:2:2. Hal ini tidak sesuai dengan hukum Mendel II
karena terjadi pautan kelamin yang disebabkan oleh sifat fenotip yang ada pada
induk betina diwariskan dan terekspresikan pada turunan jantan (Rothwell,1991
dalam Corebima 2013), dan yang ada pada induk jantan diwariskan (tidak
diekspresikan) melalui turunan betina keturunan jantan F2 dan diekspresikan
(Gardner dkk, 1991). Sedangkan untuk resiproknya yakni persilangan m >< vg
menghasilkan F1 yang semua keturunannya muncul fenotip strain N dan N
(Normal Heterozygot). Hasil persilangan tesebut memperlihatkan turunan yang
memiliki mata normal yang tidak dimiliki oleh kedua induk. Hasil persilangan
akan menghasilkan rasio 9:3:3:1 dengan fenotip yang muncul yaitu strain N, m,
vg, dan mvg dengan rasio 9:3:3:1. Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa
ada anakan yang memiliki hasil interaksi antara faktor (gen). Hasil anakan mvg
adalah hasil interaksi antara pasangan faktor (gen) m dan vg. Oleh karena itu
dapat disimpulkan bahwa memang ada faktor-faktor (Gen) yang berinteraksi
dalam mengontrol satu sifat sama dan tidak selalu sesuatu sifat hanya dikontrol
oleh satu faktor (gen) (Corebima, 2013).
Pada persilangan ini memiliki satu sifat beda yakni terletak pada sayap,
strain m memiliki sayap yang pendek sedangkan strain vg memiliki sayap yang
tereduksi dan terletak pada alel yang berbeda yakni kromosom I pada lokus 36,1
(strain m) dan kromosom II pada lokus 67,0 (strain vg) (Klug & Cummings,
2012). Miniatur menghasilkan sayap yang lebih pendek dan sempit daripada
normal tetapi bentuk mendekati normal. Vestigial sayap dikurangi untuk tunggul
kecil yang diadakan terentang. Sayap miniatur dewasa sekitar dua pertiga ukuran
normal dan sayap vestigial adalah kurang dari seperempat ukuran normal (Villee,
1946).
Secara umum pembentukan sayap pada Drosophila melanogaster
dipengaruhi oleh sintesis biokimia yang melibatkan enzim tertentu dari tiap strain

33

yang nantinya akan dikode oleh gen tertentu. Hasil pengkodean gen yang nantinya
akan menyebabkan terjadinya diferensiasi salah satunya adalah bentuk sayap yang
berbeda-beda dari suatu persilangan. Dari persilangan tersebut terjadi interaksi
antar gen yang akan terekspresi melalui fenotip keturunan yang dihasilkan (F1
ataupun F2). Jalur reaksi biokimia pembentukan sayap dapat dijelaskan dengan
dua jalur konsep yang berbeda yaitu satu jalur dan dua jalur dari suatu persilangan
sebagai berikut ini :

Gambar 6: Contoh Jalur Reaksi Biokimiawi Epistasis (Gardner dkk, 1984


dalam Corebima, 2013)
Gambar

Gambar 7: Jalur Reaksi Biokimiawi yang Memiliki Rasio 15:1


(Gardner, 1984 dalam Corebima 2013)

34

Dari gambar 6 tersebut dapat dianalogikan pada persilangan D.


melanogaster strain m dan vg , yang menunjukan bahwa ada interaksi gen antara
gen m yang menghasilkan enzim m yang menjadi precursor yang kemudian
membentuk zat antara, jika zat antara ini bertemu dengan enzim vg yang
dihasilkan oleh gen vg maka akan menghasilkan suatu produk atau anakan yang
berfenotip strain normal. Apabila dari reaksi biokimia tersebut zat antara tidak
terekspresikan atau terbentuk maka hanya enzim vg tidak dapat bertemu dengan
zat antara sehingga hanya akan menghasilkan anakan berfenotip strain m, begitu
juga sebaliknya. Jika enzim m dan vg tidak diproduksi maka keduanya akan
menghasilkan anakan yang memiliki dua jenis mutan (double mutan) yaitu
berfenotip strain mvg (sayap pendek dan terangkat). Sedangkan pada reaksi
biokimia gambar 7 menunjukan bahwa ada interaksi gen antara gen m yang
menghasilkan enzim m dan gen vg yang menghasilkan enzim vg dimana kedua
jenis enzim yang dihasilkan ini nantinya akan bergabung tanpa adanya zat antara
menghasilkan anakan yang berfenotip strain normal. Apabila dari reaksi biokimia
tersebut hanya enzim m yang dapat terekspresikan maka akan terbentuk anakan
yang berfenotip strain m, begitu juga sebaliknya. Jika enzim m dan vg tidak
diproduksi maka keduanya akan menghasilkan anakan yang memiliki dua jenis
mutan (double mutan) yaitu berfenotip strain mvg (sayap pendek dan tereduksi).
Dari analogi kedua gambar (gambar 6 dan 7) dapat disimpulkan bahwa proses
pembentukan sayap tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor gen saja tetapi
dipengaruhi oleh lebih dari satu faktor gen sehingga jika salah satu faktor gen
untuk proses pembentukan sayap tidak dihasilkan maka akan terbentuk sayap
yang tidak normal.
B. Persilangan se >< wa beserta resiproknya
Berdasarkan analisis chi-square dan hasil rekonstruksi persilangani se
>< wa menghasilkan anakan F1 yang semua keturunannya muncul fenotip
strain wa dan N dengan perbandingan 1:1. Sedangkan F2 berdasarkan hasil
rekonstruksi persilangan anakan yang muncul berfenotip strain N, wa, se, dan
wase dengan rasio 6:6:2:2. Hal ini tidak sesuai dengan hukum Mendel II karena
terjadi pautan kelamin yang disebabkan oleh sifat fenotip yang ada pada induk

35

betina diwariskan dan terekspresikan pada turunan jantan (Rothwell,1991 dalam


Corebima 2013), dan yang ada pada induk jantan diwariskan (tidak diekspresikan)
melalui turunan betina keturunan jantan F2 dan diekspresikan (Gardner dkk, 1991
dalam Corebima 2013). Sedangkan untuk resiproknya yakni persilangan wa ><
se menghasilkan F1 yang semua keturunannya muncul fenotip strain N dan
N (Normal Heterozygot). Hasil persilangan tesebut memperlihatkan turunan
yang memiliki mata normal yang tidak dimiliki oleh kedua induk. Hasil
persilangan akan menghasilkan rasio 9:3:3:1 dengan fenotip yang muncul yaitu
strain N, wa, se, dan wase dengan rasio 9:3:3:1. Berdasarkan hasil tersebut dapat
dilihat bahwa ada anakan yang memiliki hasil interaksi antara faktor (gen). Hasil
anakan wase adalah hasil interaksi antara pasangan faktor (gen) wa dan se. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa memang ada faktor-faktor (Gen) yang
berinteraksi dalam mengontrol satu sifat sama dan tidak selalu sesuatu sifat hanya
dikontrol oleh satu faktor (gen) (Corebima, 2013).
Pada persilangan strain se >< wa beserta resiproknya memiliki satu
sifat beda yakni terletak pada mata, strain wa memiliki mata bewarna orange
sedangkan strain se memiliki mata bewarna ungu kehitaman dan terletak pada alel
yang berbeda yakni kromosom I pada lokus 1,5 (strain wa) dan kromosom III
lokus 26,0 (strain se) (Klug & Cummings, 2012). Menurut Snustad & Simmons
(2012) pembentukan warna mata pada D. melanogaster dipengaruhi oleh adanya
sintesis polipeptida yang akan mengatur pigmentasi mata.
Drosophila, sebagai arthropoda khas, memiliki mata majemuk yang terdiri
dari ratusan unit visual yang disebut ommatidia individu. Warna mata wildtype
disebabkan oleh deposisi dan pencampuran dua kelompok pigmen terpisah di
setiap ommatidium yaitu brightred drosopterins dan xanthommatins coklat. Setiap
jenis pigmen diproduksi oleh jalur biosintesis yang terpisah. Setiap langkah dari
masing-masing jalur dikatalisis oleh enzim yang terpisah dan dengan demikian di
bawah kendali gen yang terpisah (Klug and Cummings, 2012).
Pembentukan warna mata pada Drosophila melanogaster dapat dijelaskan
melalui reaksi biokimia dimana warna mata dipengaruhi oleh pigmen-pigmen
mata, hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa Kehadiran pigmenpigmen mata pteridin menyebabkan warna mata pada Drosophila melanogaster

36

berwarna merah. Pteridin pada lalat buah terdiri dari dua kelompok yaitu
drosopterin dan ommokrom.
Pigmen mata pteridin disintesis dari prekusor GTP, sedangkan
ommochrome disintesis dari triptofan. Pteridin merupakan salah satu campuran
yang dapat dipisahkan berdasarkan prinsip kromatografi dan dapat diidentifikasi
di bawah sinar ultraviolet (UV) (Rong & Golic 1998: 1551; Anderson 2000: 1).
Proses pembentukan warna mata pada drosophila dapat dijelaskan melalui
reaksi biokimia yang dari suatu persilangan Drosophila melanogaster sebagai
berikut :

Gambar 8: Rekasi Biokimia Pada Pigmen Mata Drosopila melanogaster


(Klug and Cummings, 2012)

Selanjutnya dari gambar tersebut dapat dianalogikan pada Drosophila


melanogaster strain wa dan se. strain wa yang menjadi precursor 1 nantinya
akan menghasilkan enzim wa yang memiliki pigmen bewarna orange
(ptedridin). Sedangkan strain se yang akan menjadi precursor 2 nantinya akan
menghasilkan enzim se yang memiliki pigmen bewarna ungu kehitaman
(ommokrom). Apabila kedua enzim yang dihasilkan oleh wa maupun se
bergabung maka akan menghasilkan anakan yang memiliki fenotip mata
normal yaitu merah, sedangkan jika salah satu enzim gagal di ekspresikan
maka hanya akan menghasilkan anakan yang memiliki fenotip seperti enzim
yang dapat terekspresikan. Sedangkan jika kedua enzim tersebut tidak dapat

37

terekspresikan maka akan menghasilkan anakan yang memiliki dua mutan


pada matanya . Hal tersebut dapat diperjelas melaui gambar berikut ini :

Gambar 9: Rekasi Biokimia Pada Pigmen Mata D. melanogaster


(Klug & Cummings, 2012)
Pada Gambar diatas mutasi coklat, ketika dalam keadaan homozigot
akan terjadi interupsi jalur yang mengarah ke sintesis pigmen brightred .
Sebagai hasilnya kini hanya pigmen xanthommatin yang dihasilkan sehingga
yang dihasilkan adalah fenotip mata berwarna coklat. Mutasi merah, yang
mempengaruhi gen yang terletak pada kromosom terpisah, menyela jalur
mengarah ke sintesis dari xanthommatins coklat dan membuat warna mata
merah terang pada lalat mutan homozigot (Klug and Cummings, 2012).
Setiap mutasi tampaknya menyebabkan produksi nonfungsional
enzim. Lalat yang mengalami mutan ganda dan homozigot untuk kedua
coklat dan merah akan membuat tidak fungsionalnya enzim sehingga tidak
ada pigmen yang dihasilkan. Perlu diperhatikan bahwa tidak adanya

38

pigmen pada lalat ini adalah bukan karena mutasi yang terpaut pada
kromosom X tetapi disebabkan karena tidak berhasilnya proses sintesis
pigmen. Pada dasarnya prekusor untuk membentuk pigmentasi mata
diproduksi tetapi tidak dapat diangkut ke dalam sel yang membentuk
ommatidia tersebut (Klug and Cummings, 2012). Jadi dapat dikatakan
bahwa sebagian besar dari alel dominan berfungsi sebagai pengendalian
fungsi enzim yang berperan dalam katalisasi proses biokimia.
Sedangkan alel resesif menghasilkan enzim nonfungsional yang tidak
dapat mengkatalis langkah tertentu dalam pigmentasi mata. Untuk
individu yang Normal heterozigot tetap bisa menghasilkan enzim yang
sebagian fungsional dan berdasarkan hasil studi setengah saja dari alel
dominan sudah cukup untuk pigmentasi warna mata normal (Tamarin,
2001).

39

BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Kesimpulan sementara dari penelitian ini adalah:
7.1.1. Fenotip yang muncul pada keturunan pertama (F1) dari hasil
persilangan se >< wa adalah jantan bermata orange (wa) dan
betina bermata merah (N) dengan perbandingan 1:1
Fenotip yang muncul pada keturunan pertama (F1) dari hasil
persilangan wa >< se adalah seluruhnya mata berwarna merah
Fenotip yang muncul pada keturunan pertama (F1) dari hasil
persilangan vg >< m adalah jantan dengan sayap tidak menutupi
tubuh secara sempurna (m) dan betina dengan sayap menutupi tubuh
secara sempurna (N) dengan perbandingan 1:1
Fenotip yang muncul pada keturunan pertama (F1) dari hasil
persilangan m >< vg adalah seluruhnya bermata merah
7.1.2. Fenotip yang muncul pada keturunan pertama (F2) dari hasil
persilangan se >< wa adalah strain N, wa, se, dan wa-se dengan
perbandingan 6:6:2:2 .
Fenotip yang muncul pada keturunan pertama (F2) dari hasil
persilangan wa >< se adalah strain N, wa, se, dan wa-se dengan
perbandingan 9:3:3:1
Fenotip yang muncul pada keturunan pertama (F2) dari hasil
persilangan vg >< m adalah strain N, m, vg, dan m-vg dengan
perbandingan 6:6:2:2
Fenotip yang muncul pada keturunan pertama (F2) dari hasil
persilangan m >< vg adalah strain N, m, vg, dan m-vg dengan
perbandingan 9:3:3:1
7.1.3. Fenomena yang muncul pada peristiwa persilangan se >< wa dan
vg >< m beserta resiproknya adalah fenomena interaksi antara
faktor (gen)
7.2 Saran
7.2.1. Dalam melakukan penelitian mengenai Drosophila melanogaster ini
diperlukan adanya kesabaran, ketelitian, dan kecekatan dalam bekerja.
Selain itu kekompakan antar individu dalam kelompok juga menjadi
hal yang sangat penting. Terutama hal tersebut diperlukan saat proses

40

pengamatan fenotip, peremajaan, pengampulan, dan persilangan, agar


waktu dapat digunakan dengan seefisien mungkin dan mendapat hasil
yang optimal.
7.2.2. Dalam mengerjakan proyek ini juga harus memperhatikan faktorfaktor luar yang mungkin bisa mengganggu seperti serangga, semut,
atau yang lainnya.
7.2.3. Dalam proyek ini sebisa mungkin memang harus sampai botol D agar
rasio yang dihasilkan sesuai. Selain itu minimalisir kesalahan
pengamatan sehingga hasil yang didapat akurat

41

DAFTAR RUJUKAN

Ayala, Francisco.J; Michan; Layla; Sortibran, America.C; Rodriguez-Arnaiz,


Rosario. 2010. Global Drosophila Research: a Bibliometric Analysis.
Dros.Inf.Srv. 93: 232-243.
Cambell,N.A.,J.B.Reece, L.G Mitchel. 2002. Biologi. Terjemahan dari Biology :
Oleh Lestari, dkk. Jakarta : Erlangga.
Christian, G. D. 1994. Analytical Chemistry, 5th Edition. New York
Corebima, A. D. 2013. Genetika Mendel. Surabaya: Airlangga University press.
Gardner, Eldon. J, dkk. 1984. Principles Of Genetics. New York : John Wiley &
Sons.
Kimball, John W. 1992. Biologi. Jakarta : Erlangga
Klug, W.S. & M.R. Cummings. 2012. Concepts of Genetics. 4th ed. Engelwood
Cliffs:Prentice Hall Inc.,(e-book)
Miller,

Conrad.
2000.
Drosophila
melanogaster.
(www.animaldiversity.org, diakses 25 Maret 2015)

(Online),

Pierce, Benjamin A. 2008. Genetics: A Conceptual Approach.USA: WH Freeman


(e-book)
Psidelsky._____.Pigment Pathway of Drosophila melanogaster. (Online),
(http://chsweb.lr.k12.nj.us/psidelsky/chromatography%20reference.htm,
diakses 25 Maret 2015)
Rong, Y.S., Golic, J.G. 1998. Genetics. (http://genetics.org/cgi/reprint/150/4/1551,
diakses 25 Maret 2015)
Snustad, D. Peter and Simmons, J, Michael.2012.Principle of Genetics.USA: John
Wiley & Sons Inc, (e-book)
Tamarin.2001.Principle of Genetics 7th Edition. USA: Mc.Graw-Hill (e-book)
Villee, Claude A. 1946. The Genetic Control Of Growth Metabolism. PROC. N.
A.
S.
Genetics
VOL.
32.(Online),
(http://www.pnas.org/content/32/9/241.full.pdf, diakses 25 Maret 2015)
Yatim, Wildan. 1991. Biologi Modern Biologi Sel. Bandung: Penerbit Tarsito
Bandung

Anda mungkin juga menyukai