PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Genetika Mendel disaring dari konsepsi-konsepsi yang sangat erat
kaitannya dengan beberapa konsep, antara lain Hukum Pemisahan Mendel,
Hukum pilihan bebas Mendel, Populasi Mendel, dan gen-gen Mendel. Dalam
artian lain genetika Mendel adalah genetika yang mengkaji hukum-hukum
pewarisan Mendel serta aspek-aspek lain yang terkait dalam batas populasi
Mendel (Corebima, 2013). Volpe (1981) dalam Corebima (2013) menyatakan
bahwa selama pembentukan gamet, anggota suatu pasang gen akan memisah
satu sama lain, dan inilah yang dikenal sebagai hukum pemisahan Mendel.
Dilengkapi oleh Ayala dkk. (1984) bahwa kedua faktor (gen) untuk setiap
sifat tidak bergabung dengan cara apapun tetapi berdiri sendiri selama hidup
individu dan berpisah saat pembentukan gamet sehingga separuh gamet
mengandung satu gen dan separu hnya lagi mengandung gen lain.
Ditinjau dari cara pewarisan sifat induk kepada anaknya tidak selalu
sama atau berbeda-beda berdasarkan gen yang ada pada induk. Ada sifat yang
dominan sempurna, dominan tidak sempurna. Sifat dominan apabila
kehadiran gen yang mengendalikan sifat ini menutupi ekspresi gen yang
mengendalikan sifat lawannya yang resesif sehingga yang menutupi
ekspresinya tidak tampak. Sifat resesif baru tampak jika kedua gen resesif
berkumpul dalam satu individu. Gen-gen yang mengendalikan sifat ini
terdapat berpasangan yaitu pada sepasang kromosom homolog yang disebut
sebagai gen-gen sealela. Hukum pilihan bebas Mendel menyebutkan bahwa
faktor-faktor yang menentukan karakter-karakter berbeda diwariskan secara
bebas satu sama lain yang menghasilkan persilangan yang tampak pada F2
dengan rasio mendekati 9:3:3:1. Namun kenyataannya beberapa cara
penurunan sifat tidak mengikuti hukum Mendel. Namun kenyataannya
beberapa cara penurunan sifat tidak mengikuti hukum Mendel. Telah
diketahui bahwa interaksi kedua pasang kromosom tidak selalu bersifat
dominan dan resesif. Beberapa contoh interaksi telah dapat ditunjukkan,
misalnya interaksi dominan tidak sempurna yaitu sifat yang muncul
merupakan sifat antara dari gen dominan dan gen resesif. Interaksi
kodominan menghasilkan sifat yang berbeda dari induknya.
1
resiproknya
mengetahui perbandingan jumlah fenotip jumlah F2 (keturunan kedua)
dari persilangan D. melanogaster strain se >< wa dan vg >< m
1.3.3
beserta resiproknya
mengetahui fenomena yang terjadi pada persilangan F1 dan F2 D.
melanogaster strain se >< wa dan vg >< m beserta resiproknya
1.4.2.2
1.4.2.3
1.6.3
vg
Penelitian hanya mengamati fenotip F1 dan F2 pada D.melanogaster strain
se >< wa dan vg >< m beserta resiproknya
sayap tidak menutupi tubuh. Strain vg merupakan lalat buah dengan badan
1.7.3
1.7.4
vg beserta resiproknya
Filial 2 merupakan keturunan generasi kedua yang didapat dari hasil
1.7.5
1.7.6
1.7.7
perhatian.
Interaksi gen (faktor) adalah kaitan atau gabungan beberapa faktor yang
1.7.8
1.7.9
(Corebima, 2013).
Dominan adalah suatu sifat yang dapat mengalahkan sifat yang lain
1.7.10
(Corebima, 2013).
Resesif adalah suatu sifat yang dikalahkan oleh sifat yang lain (Coerbima,
1.7.11
2013).
Homozigot adalah karakter yang dikontrol oleh dua gen (sepasang) identik
1.7.12
1.7.13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Drosophila melanogaster
2.1.1. Sitematika Drosophila melanogaster
Menurut Miller (2000) sistematika pada Drosophila melanogaster adalah
sebagai berikut:
Kingdom
Filum
Kelas
Bangsa
Suku
Marga
Jenis
: Animalia
: Arthropoda
: Insecta
: Diptera
: Drosophilidae
: Drosophila
: Drosophila melanogaster
matang secara seksual dalam satu minggu (Lutz, 1948 di dalam Miller,
2000). Spesies ini bertelur dan kemudian menjadi larva, pupa dan dewasa.
Drosophila melanogaster adalah organisme model yang cocok
digunakan untuk penelitian genetika, biokimia, biologi molecular, fisiologi
dan sebagainya (Ayala, dkk, 2010). Hal ini karena hewan ini memiliki
siklus hidup yang cepat dan variasi strain yang banyak. Ayala, dkk (2010)
menyatakan bahwa antara tahun 1940-1970 sejumlah penelitian yang
dilakukan oleh para peneliti telah meningkatkan jumlah dan kompleksitas
mutan-mutan D.melanogaster.
D.melanogaster strain m memiliki sayap yang pendek sedangkan
strain vg memiliki sayap yang tereduksi dan terletak pada alel yang berbeda
yakni kromosom I pada lokus 36,1 (strain m) dan kromosom II pada lokus
67,0 (strain vg) (Klug & Cummings, 2012). Miniatur menghasilkan sayap
yang lebih pendek dan sempit daripada normal tetapi bentuk mendekati
normal. Vestigial sayap dikurangi untuk tunggul kecil yang diadakan
terentang. Sayap miniatur dewasa sekitar dua pertiga ukuran normal dan
sayap vestigial adalah kurang dari seperempat ukuran normal (Villee, 1946).
D.melanogaster strain wa memiliki mata bewarna orange sedangkan
strain se memiliki mata bewarna ungu kehitaman dan terletak pada alel yang
berbeda yakni kromosom I pada lokus 1,5 (strain wa) dan kromosom III
lokus 26,0 (strain se) (Klug & Cummings, 2012). Strain wa memiliki ciri
fenotip mata berfaset halus, warna mata orange, warna tubuh coklat
kekuningan dan sayap menutupi tubuh sedangkan untuk strain se memiliki
ciri fenotip mata berfaset halus, warna mata coklat, warna tubuh coklat
kekuningan dan sayap menutupi tubuh.
2.2. Hukum Mendel II (Hukum Pilihan Bebas Mendel)
Menurut Corebima (2013) hukum Pilihan Bebas Mendel ditemukan
berdasarkan percobaan Mendel terhadap kacang ercis dengan dua sifat beda/
persilangan dihibrida. Pada salah satu percobaannya tanaman ercis biji
bulat dan kuning disilangkan dengan tanaman ercis biji keriput dan hijau.
Hasil F1 adalah seluruhnya bulat dan hijau. Pada F2 hasil yang muncul ada
dua kemungkinan dimana jika:
1. Ciri yang berasal dari satu induk akan diwariskan bersama-sama maka
hasilnya hanya ada dua macam fenotip yaitu bulat kuning dan keriput hijau
dengan rasio 3:1
2. Ciri yang berasal dari satu induk akan diwariskan secara bebas satu sama
lain maka akan ada empat macam fenotip dengan rasio 9:3:3:1 yaitu bulat
kuning, bulat hijau, keriput kuning dan keriput hijau.
Maka Mendel pun menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang
menentukan karakter-karakter berbeda diwariskan secara bebas satu sama
lain yang disebut sebagai Hukum Pilihan Bebas Mendel (Corebima,
2013).
2.3. Pautan Kelamin
Pautan kelamin pertama ditemukan oleh T.H Morgan dan C.B Bridges
pada 1910. T.H Morgan punya D.melanogaster bermata putih yang
tergolong galur murni. Jiksa strain bermata merah betina disilangkan dengan
strain bermata putih jantan, maka F1 yang muncul bermata merah
seluruhnya (faktor mata merah mendominasi). Jika F1 disilangkan
sesamanya maka bagian bermata merah dan bagian bermata putih.
Setelah diperiksa lebih teliti seluruh betina bermata merah dan separuh
jantan bermata merah dan separuhnya lagi bermata putih (Corebima, 2013).
Apabila strain bermata putih betina disilangkan dengan strain bermata
merah jantan, maka hasilnya berlainan. Tidak seluruhnya F1 bermata merah.
Hasilnya separuh F1 bermata merah dan separuhnya bermata putih, selain
itu seluruh F1 betina bermata merah dan seluruh F1 jantan bermata putih.
Jika F1 disilangkan sesamanya maka separuh F2 bermata putih dan separuh
lagi bermata merah, F2 jantan bermata merah sama jumlahnya dengan F2
betina bermata merah dan F2 jantan bermata putih sama jumlahnya dengan
F2 merah bermata putih (Corebima, 2013).
Hal ini dapat dijelaskan bahwa faktor mata terpaut pada kromosom X
dan kromosom kelamin jantan (Y) tidak mengandung faktor watna mata
tersebut (Corebima, 2013).
10
Enzim1
2
Enzim2
Enzim3
Enzim1
Enzim2
11
ini disimpulkan bahwa kedua induk akan menyumbangkan satu pasang gen
(Corebima, 2013).
dimana
setiap
langkah
pembangunan
meningkatkan
12
13
14
15
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
3.1. Kerangka Konseptual
Pada peristiwa interaksi antara faktor (gen) ciri-ciri yang berasal dari satu
induk akan diwariskan berdasarkan keadaan faktor dominan dan resesif. Pada
peristiwa interaksi antara faktor (gen)
Faktor-faktor (gen) yang berinteraksi dalam mengontrol satu sifat yang sam
F1 persilangan
vg><m
menghasilkan
fenotip N menghasilka
heterozigot d
F1 persilangan
m><vg
dan persilangan
wa><se
Terjadi interaksi
16
3.2. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Perbandingan jumlah fenotip F1 (keturunan pertama) dari persilangan D.
17
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian yang kami lakukan ini merupakan jenis penelitian deskriptif
observatif, karena penelitian ini dilakukan dengan pengamatan secara langsung
pada objek yakni pada hasil F1 dan F2 dari persilangan Drosophila melanogaster
se >< wa dan vg >< m beserta resiproknya yang dilakukan sebanyak enam
kali ulangan. Hasil dari masing-masing strain pada masing-masing ulangan
diamati fenomena yang terjadi.
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian
4.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian ini mulai dilakukan pada tanggal 9 Januari 2015.
4.2.2 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di dalam Laboratorium Genetika ruang 310 Jurusan
Biologi FMIPA UM.
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh species Drosophila
melanogaster yang ada pada Laboratorium Genetika ruang 310 Jurusan Biologi
FMIPA UM. Sampel pada penelitian ini adalah Drosophila melanogaster strain se
, wa ,vg, dan m.
4.4 Alat dan Bahan
4.4.1 Alat
1. Mikroskop stereo
2. Pisau
3. Botol selai
4. Kuas
5. Selang ampul
6. Plastik
7. Blender
8. Timbangan
9. Kain kasa
10. Pena
4.4.2 Bahan
1. Air
2. Pisang raja mala
3. Gula merah
4. Tape singkong
11.
Panci
12.
Kompor gas
13.
Kardus
14.
Pengaduk kayu
15.
Gunting
16.
Cutter
17.
Kertas pupasi
18. Sendok
19. Buku
20. Wadah plastik
6.
7.
Tissue
Fermipan
18
19
1. Mengambil 1-2 ekor lalat stock strain se, wa, m dan vg dengan cara
menyedotnya menggunakan selang plastik.
2. Memasukkan dalam plastik bening.
3. Mengamati fenotip dibawah mikroskop stereo.
4. Mencatat dan menggambar hasil pengamatan.
4.5.4 Persilangan se >< wa dan vg >< m Beserta Resiproknya
1. Menyiapkan bobtol yang telah berisi medium sesuai dengan jumlah
persilangan dan jumlah ulangan.
2. Menyilangkan lalat yang berasal dari ampulan.
3. Menyilangkan lalat Drosophila melanogaster strain se >< wa dan vg
>< m beserta resiproknya yang dimasukkan ke dalam botol selai berisi
medium.
4. Memberi label pada botol sesuai dengan jenis persilangan, tanggal
persilangan, dan ulangan keberapa.
5. Melepas individu pada masing-masing persilangan setelah persilangan
berumur 2 hari.
6. Memindah individu ke medium baru setelah muncul larva pada botol
persilangan (pemindahan dilakukan setiap muncul larva pada medium lama
dan sampai individu mati, minimal 4 kali pemindahan).
7. Semua F1 diamati fenotipnya, dihitung jumlah jantan dan betina pada tiap
strain, diamati selama 7 hari. Beberapa pupa yang telah menghitam diampul
untuk persilangan menghasilkan F2.
8. Mencatat hasil pengamatan dan dimasukkan ke dalam tabel.
4.5.5 Persilangan F1 untuk menghasilkan F2
1. Dari hasil persilangan F1, sebagian pupa yang menghitam di ampul untuk
digunakan dalam persilangan F2.
2. Dari hasil ampulan yang sudah menetas, hasil ampulan yang berupa
disilangkan dengan . Kemudian dimasukkan ke dalam botol medium yang
sudah disiapkan dan dilakukan selama 6 kali ulangan.
3. Memberi label pada botol yang bertuliskan tanggal persilangan, ulangan
keberapa, dan memberi keterangan mengenai strain apa yang disilangkan.
4. Melepas jantan setelah dua hari.
5. Setelah muncul larva pada botol persilangan, maka induk dipindahkan ke
botol medium baru. Pemindahan dilakukan setiap muncul larva pada medium
lama dan sampai individu mati, minimal 4 kali pemindahan.
6. Pada botol persilangan yang sudah terdapat pupa, botol tersebut dibiarkan
sampai pupa menetas. Mengamati fenotip hasil anakan yang muncul dan
20
menghitung jumlahnya. Jantan dan betinanya dihitung pada tiap strain, dan
ulangan. Pengamatan fenotip tersebut dilakukan selama 7 hari.
7. Mencatat hasil pengamatan dan dimasukkan ke dalam tabel.
4.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
melakukan pengamatan fenotip yang meliputi warna mata pada persilangan strain
se >< wa beserta resiproknya dan keadaan sayap pada persilangan strain vg
>< m beserta resiproknya pada keturunan F1 dan F2 secara langsung dan
jumlah keturunan jantan dan betina pada F1 dan F2 dari hasil persilangan se ><
wa dan vg >< m beserta resiproknya. Penghitungan jumlah keturunan jantan
dan betina ini dilakukan selama 7 hari untuk masing-masing ulangan dan
memasukkan data pada tabel hasil pengamatan.
4.7 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan
rekonstruksi persilangan F1 sampai F2, dilanjutkan dengan membandingkan rasio
dari kedua persilangan. Setelah data sudah lengkap, data dianalisis menggunakan
analisis
statistik
yakni
menghitung
dengan
analisis
chi-square
dengan
21
Bab V
Data dan Analisa Data
5.1.
: Merah
Faset Mata
: Halus
2. Strain vg
Warna mata
: Merah
Faset Mata
: Halus
sayap tereduksi)
3. Strain se
Warna Mata
: Cokelat Kehitaman
Faset Mata
: Halus
4. Strain wa
Warna Mata
: Orange
Faset Mata
: Halus
22
Fenotip
m >< vg
Sex
N
N
m
N
wa
N
N
N
vg >< m
se >< wa
wa >< se
1
31
18
35
28
19
21
13
7
Ulangan
2
3
22
6
27
5
70
20
60
18
47
25
45
26
8
14
8
20
Keterangan :
(-) : Masih Dalam Proses Pengumpulan Data
5.2.
Analisa Data
m >< vg
vg+
vg+
Genotip
Gamet
m+
m+
vg
vg
m+ vg
F1
m vg+
> vg+
m+ vg
m vg
P2
m
m
Gamet :
vg
vg
(N heterozigot)
m+
vg+
m
vg
(N heterozigot)
vg+
m+
vg
(N heterozigot)
N >< N
(N heterozigot)
Genotip
vg
vg
vg
vg
m
m
vg
vg
Jumlah
4
10
7
17
32
44
46
-
69
57
142
138
135
138
35
35
23
F2
m+ vg+
m+ vg+
+
(N heterozigot)
m+
m+
> vg+
m
m+
vg+
vg+
m+ vg
m+ vg
m
m+
vg+
vg
(N heterozigot)
m+
m+
> vg
+
vg+
vg+
vg+
vg
(N heterozigot)
(N heterozigot)
m+
vg
vg
m+
vg
vg
(vg)
(vg)
vg
vg
vg
vg
(N heterozigot)
m vg+
(N heterozigot)
m+
m
vg+
vg+
m vg
(N heterozigot)
m+
m
m+
m
vg+
vg+
vg+
vg
(m)
(m)
vg
vg
(N heterozigot)
m+
m
(vg)
vg
vg
vg+
vg
(m)
vg
vg
(mvg)
24
vg+
vg+
(N heterozigot)
N : m : vg : mvg
9:3:3:1
Rekontruksi Kromosom pada persilangan vg >< m
P1
vg >< m
+
Genotip
vg
vg
m+ vg , > vg
Gamet
vg
vg+
m
m
m vg+
F1
m+ vg
> vg
m vg+
m vg+
P2
Genotip
m+
m
vg+
vg
(N heterozigot)
+
+
m
vg
m
vg
(m)
vg+
m
vg
(N heterozigot)
(m)
m >< N
m
vg+
vg ;
m+
m
Gamet :
: m vg+ ; m vg ; > vg+ ; > vg
: m+ vg+ ; m+ vg ; m vg+ ; m vg
F2
vg
vg
vg+
vg
25
m vg+
m vg
> vg+
> vg
m+
m
m+
m
m+
m+
vg+
vg+
vg+
vg
m+ vg+
vg
vg
vg
vg+
m vg
(N heterozigot)
+
m
m
(N heterozigot)
+
m
m
(N heterozigot)
m+
vg
vg
vg
vg
(N heterozigot)
+
vg
vg
m
m
m
m
vg+
vg
(m)
(m)
(m)
m vg
m
m
vg
vg
(mvg)
6 : 6 : 2: 2
Rekontruksi Kromosom pada persilangan wa >< se
wa >< se
vg
vg+
vg
vg
(m)
(m)
N : m : vg : mvg
P1
vg
vg
vg+
vg
m vg+
m+
(vg)
(vg)
(N heterozigot)
+
vg
m
vg+
m
(N heterozigot)
vg+
vg
(m)
vg
vg
(mvg)
26
se +
se +
wa
Genotip
Gamet
wa+
wa+
se
se
wa+ se
F1
wa se+
wa
wa
wa
se +
se
se
se
(N heterozigot)
wa+
wa
(N heterozigot)
se +
se
se +
se
(N heterozigot)
(N heterozigot)
wa + se
a+
w se
P2
> se+
+
wa+
N >< N
wa+
Genotip
se +
se
wa+
wa
se +
se
Gamet :
: wa+ se+ ; wa+ se ; > se+ ; > se
: wa+ se+ ; wa+ se ; wa se+ ; wase
F2
wa + se+
wa + se
> se+
> se
27
wa + se+
wa+
wa+
se +
se +
wa + se
(N)
wa+
wa+
wa+
wa+
se
se
(N heterozigot)
wa+
wa+
wa+
wa +
se +
se +
se +
se
(N heterozigot)
(N)
wa+
se
se
wa+
se
se
(se)
(se)
se
se
se
se
(N heterozigot)
a
w se
(N heterozigot)
wa+
wa
se
+
se
wa+
wa
se +
se +
wa
(w )
se
se
se +
se
wa
(wa)
(N heterozigot)
(N heterozigot)
wa se
wa+
wa
wa+
wa
(se)
se
se +
(N heterozigot)
se
se
wa
se +
se
(wa)
wa
se
se
(wa se)
28
N : wa : se : wa se
9:3:3:1
Rekontruksi Kromosom pada persilangan se >< wa
se >< wa
P1
wa+
Genotip
se
se
wa+ se , > se
Gamet
se +
se +
wa
wa
wa se+
F1
wa + se
> se
wa se+
wa
wa
wa
se
se
( wa)
se +
se
w se
(N heterozigot)
wa+
wa
wa
se +
se
(wa)
se
se
(N heterozigot)
P2
Genotip
wa >< se
wa
se +
se
Gamet :
: wa se+ ; wa se ; > se+ ; > se
wa+
wa
se +
se
29
: wa + se+ ; wa + se ; wa se+ ; wa se
F2
wa se+
wa se
> se+
> se
wa+
wa
wa+
wa
wa+
wa +
se +
se
se +
se +
se +
se
wa + se+
se
+
se
wa + se
(N heterozigot)
(N heterozigot)
wa+
wa
wa
wa
(N heterozigot)
wa+
se
se
se
se
(N heterozigot)
se +
wa
se +
wa
(N heterozigot)
+
se
se
wa
wa
(wa)
(wa)
+
se
wa
se
wa
wa
wa
se
se
(wa se)
(w )
N : wa : se : wa se
6
5.3.
se
se
se +
se
wa se+
wa+
(se)
(se)
wa se+
(N heterozigot)
Analisis Chi-Square
1. Persilangan vg >< m
: 6 : 2: 2
se +
se +
wa
(wa)
+
se
wa
se
(w )
se +
se
wa
(wa)
wa
se
se
(wa se)
30
Persilangan
Fenoti
p
m
N
vg >< m
Sex
1
35
28
Ulangan
2
3
70
20
60
18
4
17
32
Jumlah
Total
Total
142
138
280
1
2
x 280 = 140
Fh m =
1
2
x 280 =
140
Fenotip
fo
Fh
142
140
138
140
fofh
(fofh)2
(fo fh)
fh
0,02857143
-2
0,02857143
X 2 tabel (db)
0,05714286
= fenotip (N, m) 1
= 2-1
=1
X 2 hitung (0,05714286) < X 2
se >< w
Fenoti
p
wa
N
Sex
1
19
21
Ulangan
2
3
47
25
45
26
4
44
46
Total
135
138
Jumlah
Total
273
31
Fh w =
1
2
x 273 = 136,5
Fh N=
1
2
x 273 =
136,5
Fenotip
fo
Fh
wa
135
136,5
138
136,5
fofh
(fo fh)
fh
1,5
2,25
0,01648352
-1,5
2,25
0,01648352
X 2 tabel (db)
(fofh)
0.03296703
= fenotip (wa,N ) 1
= 2-1
=1
X 2 hitung (0.03296703) < X 2
Bab VI
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini fenomena yang terlihat adalah interaksi gen. Hal ini
dapat diketahui dengan melihat rekontruksi kromosom hasil persilangan F1 pada
F2 dari persilangan strain vg >< m dan se >< wa beserta resiproknya.
32
33
yang nantinya akan dikode oleh gen tertentu. Hasil pengkodean gen yang nantinya
akan menyebabkan terjadinya diferensiasi salah satunya adalah bentuk sayap yang
berbeda-beda dari suatu persilangan. Dari persilangan tersebut terjadi interaksi
antar gen yang akan terekspresi melalui fenotip keturunan yang dihasilkan (F1
ataupun F2). Jalur reaksi biokimia pembentukan sayap dapat dijelaskan dengan
dua jalur konsep yang berbeda yaitu satu jalur dan dua jalur dari suatu persilangan
sebagai berikut ini :
34
35
36
berwarna merah. Pteridin pada lalat buah terdiri dari dua kelompok yaitu
drosopterin dan ommokrom.
Pigmen mata pteridin disintesis dari prekusor GTP, sedangkan
ommochrome disintesis dari triptofan. Pteridin merupakan salah satu campuran
yang dapat dipisahkan berdasarkan prinsip kromatografi dan dapat diidentifikasi
di bawah sinar ultraviolet (UV) (Rong & Golic 1998: 1551; Anderson 2000: 1).
Proses pembentukan warna mata pada drosophila dapat dijelaskan melalui
reaksi biokimia yang dari suatu persilangan Drosophila melanogaster sebagai
berikut :
37
38
pigmen pada lalat ini adalah bukan karena mutasi yang terpaut pada
kromosom X tetapi disebabkan karena tidak berhasilnya proses sintesis
pigmen. Pada dasarnya prekusor untuk membentuk pigmentasi mata
diproduksi tetapi tidak dapat diangkut ke dalam sel yang membentuk
ommatidia tersebut (Klug and Cummings, 2012). Jadi dapat dikatakan
bahwa sebagian besar dari alel dominan berfungsi sebagai pengendalian
fungsi enzim yang berperan dalam katalisasi proses biokimia.
Sedangkan alel resesif menghasilkan enzim nonfungsional yang tidak
dapat mengkatalis langkah tertentu dalam pigmentasi mata. Untuk
individu yang Normal heterozigot tetap bisa menghasilkan enzim yang
sebagian fungsional dan berdasarkan hasil studi setengah saja dari alel
dominan sudah cukup untuk pigmentasi warna mata normal (Tamarin,
2001).
39
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Kesimpulan sementara dari penelitian ini adalah:
7.1.1. Fenotip yang muncul pada keturunan pertama (F1) dari hasil
persilangan se >< wa adalah jantan bermata orange (wa) dan
betina bermata merah (N) dengan perbandingan 1:1
Fenotip yang muncul pada keturunan pertama (F1) dari hasil
persilangan wa >< se adalah seluruhnya mata berwarna merah
Fenotip yang muncul pada keturunan pertama (F1) dari hasil
persilangan vg >< m adalah jantan dengan sayap tidak menutupi
tubuh secara sempurna (m) dan betina dengan sayap menutupi tubuh
secara sempurna (N) dengan perbandingan 1:1
Fenotip yang muncul pada keturunan pertama (F1) dari hasil
persilangan m >< vg adalah seluruhnya bermata merah
7.1.2. Fenotip yang muncul pada keturunan pertama (F2) dari hasil
persilangan se >< wa adalah strain N, wa, se, dan wa-se dengan
perbandingan 6:6:2:2 .
Fenotip yang muncul pada keturunan pertama (F2) dari hasil
persilangan wa >< se adalah strain N, wa, se, dan wa-se dengan
perbandingan 9:3:3:1
Fenotip yang muncul pada keturunan pertama (F2) dari hasil
persilangan vg >< m adalah strain N, m, vg, dan m-vg dengan
perbandingan 6:6:2:2
Fenotip yang muncul pada keturunan pertama (F2) dari hasil
persilangan m >< vg adalah strain N, m, vg, dan m-vg dengan
perbandingan 9:3:3:1
7.1.3. Fenomena yang muncul pada peristiwa persilangan se >< wa dan
vg >< m beserta resiproknya adalah fenomena interaksi antara
faktor (gen)
7.2 Saran
7.2.1. Dalam melakukan penelitian mengenai Drosophila melanogaster ini
diperlukan adanya kesabaran, ketelitian, dan kecekatan dalam bekerja.
Selain itu kekompakan antar individu dalam kelompok juga menjadi
hal yang sangat penting. Terutama hal tersebut diperlukan saat proses
40
41
DAFTAR RUJUKAN
Conrad.
2000.
Drosophila
melanogaster.
(www.animaldiversity.org, diakses 25 Maret 2015)
(Online),