Anda di halaman 1dari 10

HUBUNGAN KADAR GULA DARAH PUASA DENGAN KEPARAHAN PENYAKIT

SINDROM GULLAIN-BARRE
Ying Wang, Guihong Li, Siyu Yang, Xiaoyi Gu, Xinyu Li, Mingyang Liu,
Xiujuan Wu, Yun Guan, Rayomand Press, Jie Zhu, Hong-Liang Zhang
Abstrak
Objektif
Hubungan potensial antara diabetes dan Sindrom Gullain-Barre (SGB) telah diketahui dalam
beberapa studi kasus. Secara retrospektif, kami menganalisis gejala klinis dari pasien SGB
dalam kohort yang luas untuk memahami hubungan antara level plasma gula darah puasa
(GDP) saat fase akut dan keparahan dari SGB.
Metode
Sebanyak 314 pasien SGB dibagi dalam 2 grup, satu grup dengan GDP normal dan grup
lainnya dengan kadar GDP tinggi berdasarkan GDP standar internasional.
Hasil
Skala disabilitas SGB dinilai secara positif, Konsil Penelitian Kedokteran (KPK) dinilai
secara negatif bila dihubungkan dengan kadar GDP, tetapi tidak untuk kadar HbA1c darah
atau konsentrasi glukosa cairan serebrospinal (CSS). Kadar GDP yang relatif tinggi
diobservasi pada pasien SGB usia muda dan tua, dan sering didapatkan pasien dengan
karakter klinis berupa keterlibatan saraf kranial, defisit autonom, sesak, dan ketergantungan
terhadap ventilator. Kadar GDP yang tinggi saat dirawat berhubungan dengan prognosis
jangka pendek yang buruk yang dinilai oleh KPK dan skala disabilitas saat selesai rawat inap.
Kesimpulan
Data kami menunjukan GDP pada fase akut SGB berhubungan dengan keparahan SGB dan
dapat memprediksi prognosis SGB jangka pendek.
Pendahuluan
Penelitian dari beberapa studi sebelumnya menemukan hubungan potensial antara kadar gula
darah dan SGB. Beberapa pasien dengan SGB dapat mengalami hiperinsulinemia dan
hiperglikemia selama fase paralitik dari penyakit SGB meski tidak diterapi dengan
kortikosteroid. Kebutuhan terapi insulin jangka pendek, indeks massa tubuh (IMT) yang
meningkat, glukosa basal yang meningkat, mengindikasikan bahwa resistensi insulin adalah
gejala predominan pada gangguan toleransi glukosa dari pasien SGB dan diabetes. Respons
imun yang menyimpang membuktikan keadaan kritis dalam patogenesis SGB dan diabetes.
Gangliosida diekspresikan pada sistem saraf perifer (nodus Ranvier dan aksolemma) dan sel

Islet, dan autoantibodi untuk gangliosida juga terdapat dalam pasien SGB dan diabetes
mellitus tipe 1 (DM tipe 1). Periferin adalah protein filamen intermediet tipe 3 yang terutama
terdapat pada neuron sistem saraf perifer. Sebagian besar pasien dengan periferin-IgG
seropositif memiliki disfungsi autonom dan endokrinopati. Sitokin memiliki peran penting
dalam patogenesis dan perkembangan terjadinya SGB dan diabetes. Selain itu, prevalensi
neuropati pada pasien dengan diabetes adalah 30%, dan lebih dari 50% pasien akhirnya akan
berkembang menjadi neuropati selama tahapan penyakitnya. Diabetes merusak saraf perifer
melalui berbagai alur. Meskipun bukti yang dikumpulkan menunjukkan hubungan potensial
antara SGB dan diabetes, hubungan ini tidak dieksplorasi secara sistematis pada pasien
dengan kohort yang luas. Oleh sebab itu, secara retrospektif kami menganalisis gejala klinis
dari pasien SGB dalam kohort yang luas untuk memahami hubungan antara level plasma gula
darah puasa (GDP) saat fase akut dan keparahan dari SGB.
Subjek dan Metode
Studi ini disetujui oleh komite etik First Hospital of Jilin University, Changchun, China.
Meski persetujuan tertulis tidak diperoleh, informasi pasien telah di lakukan anonimisasi dan
deidentifikasi.
Subjek Studi
Studi ini berdasarkan studi kohort pada 518 pasien SGB yang dirawat di Departemen
Neurologi First Hospital of Jilin University dari tahun 2003 sampai 2010. Pasien dengan usia
dibawah 18 tahun diekslusi karena terdapat perbedaan karakteristik klinis dengan pasien
dewasa. Selain itu, pasien dengan diagnosis Sindrom Miller Fisher atau polineuropati
demielinasi inflamasi kronis (PDIK) dan pasien dengan terapi kortikosteroid juga diekslusi.
Hasil akhir didapatkan pasien SGB sebanyak 350 pasien. Keadaa demografis, gejala klinis,
pemeriksaan neurologis, hasil laboratorium, dan terapi juga dikumpulkan (Gambar 1).

Evaluasi Keparahan Penyakit dan Gangguan Fungsional


Defisit fungsi motorik pada pasien dideskripsikan dengan skala disabilitas SGB, sebuah skala
yang diterima untuk disabilitas pasien SGB dari rentang 0 sampai 6 (sebagai berikut: 0:
keadaan sehat; 1: gejala ringan dan mampu berlari; 2: mampu berjalan 5 meter atau lebih
tanpa bantuan tetapi tidak dapat berlari; 3: mampu berjalan 5 meter pada tempat terbuka
dengan bantuan; 4: terbaring atau dengan kursi roda; 5: membutuhkan ventilasi pendukung
setiap hari; 6: meninggal. Kelemahan ekstremitas dapat diekspresikan menggunakan skor
total dari KPK dari 6 otot bilateral lengan dan tungkai, mulai dari 0 (tetraplegic) sampai 60
(kekuatan normal). Titik terendah SGB didefinisikan sebagai total skor KPK terendah.
Kelemahan ringan didefinisikan sebagai total skor KPK 55 dan tetraplegik sebagai total skor
0.
Pemeriksaan Laboratorium untuk Glukosa

Sampel darah pasien puasa diambil pada pukul 5.30 6.00 pagi. Kadar GDP pada 304 pasien
SGB ditentukan menggunakan glukometer One Touch (Johnson & Johnson Company, USA).
Rentang nilai ancuan dimulai dari 3.9 mmol/L sampai 6.1 mmol/L. Hemoglobin A1c
(HbA1c) diukur menggunakan DCA Vantage-HbA1c analisis (Siemens, Eschborn, Jerman),
rentang nilai acuan adalah 4.8% sampai 6.0%. Semua data laboratorium didapatkan saat
pasien masuk untuk dirawat. Pungsi lumbal dilakukan pada 191 dari 350 pasien pada 2-3
minggu setelah onset penyakit. Rentang nilai acuan glukosa CSS adalah 0.18 mmol/L sampa
0.58 mmol/L.
Analisis Statistik
Analisis statistik dilakukan dengan SPSS versi 18.0 (SPSS, IBM, West Grove, PA, USA). The
Chi Square atau tes Fisher digunakan untuk menguji perbedaan proposi, test Student-t untuk
variabel kontinyu normal dan test Mann-Whitney untuk variabel kualitatif. Korelasi
diekspresikan oleh koefisien tingkat korelasi Pearson (r) atau koefisien tingkat korelasi
Spearman (rs). Untuk semua test statistik, nilai p dua sisi <0.05 dianggap signifikan secara
spesifik.
Hasil
Gejala Klinis Pasien dengan GDP Tinggi
Sebanyak 304 subjek pada studi GDP dibagi menjadi 2 grup (Gambar 1). Sebanyak 217
pasien dengan konsentrasi GDP antara 3.9 mmol/L sampai 6.1 mmol/L ditentukan sebagai
grup GDP normal dan 87 pasien dengan konsentrasi GDP lebih dari 6.1 mmol/L ditentukan
sebagai grup GDP tinggi. Gejala klinis pasien dengan GDP tinggi dan GDP normal
ditampilkan dalam Tabel 1. Keparahan defisit motorik secara signifikan berbeda antara kedua
grup (Gambar 2A-C). Selain itu, pasien dari grup GDP tinggi memiliki kecenderugan
memiliki keterlibatan saraf kranial, defisit autonom (denyut nadi atau tekanan darah labil),
dispnea, dan ketergantungan ventilator (p<0.05) (Gambar 2D).

Fig 2. The GBS disability scale scores at nadir from 1 to 6 corresponded to 11.62%, 14.42%, 20.47%, 46.51%, 6.51%
and 0.47% in the normal FPG group and to 8.33%, 3.57%, 15.48%, 44.05%, 26.19% and 2.38% of all patients in the
high FPG group. The GBS disability scale score in the high FPG group was higher than that in the normal FPG group (p =
0.002). (B) Weakness in extremities was expressed using the MRC sum score of six bilateral muscles in arms and legs,
ranging from 0 (teraparalytic) to 60 (normal strength). The MRC sum score for each level from 010 to 5160 corresponded
to 5.11%, 6.51%, 11.63%, 15.35%, 31.63% and 29.77% in the normal FPG group, while it was 14.30%, 9.52%, 9.52%,
22.61%, 27.38% and 16.67% in the high FPG group, indicating that the MRC sum score was rather lower in the high FPG
group (p = 0.000). (C) The MRC sum score at study entry for each level from 010 to 5160 corresponded to 1.87%, 4.21%,
8.88%, 15.42%, 32.24% and 37.38% in the normal FPG group, while it was 8.24%, 7.06%, 10.59%, 16.47%, 32.94% and
24.71% in the high FPG group. (D) Patients in the high FPG group had a tendentiousness of cranial nerve involvement,
autonomic deficits, dyspnea, and ventilator dependence. The percentages of cranial nerve involvement, autonomic deficits,
dyspnea and ventilator dependence were 25.12%, 39.63%, 49.77%, 21.20% and 6.45% in the normal FPG group, while it
was 37.93%, 52.87%, 71.26%, 40.23% and 26.44% in the high FPG group (p < 0.05). *p < 0.05, **p < 0.01, *** p < 0.001.

Pada grup GDP tinggi, kelemahan simetris tampak pada hampir semua pasien: 75 (89.29%)
memiliki hasil total skor KPK yang sama pada kedua sisi, dan kelemahan terendah pada
keparahan ringan dengan nilai 10 (11.90%) sampai tetraplegik (total skor KPK 0) pada 11
(13.10%) pasien. Titik terendah total skor KPK secara signifikan lebih tinggi daripada pasien
dengan refleks yang menurun (p=0.058). Selain itu, pemeriksaan CSS rutin dilakukan pada
39 pasien dan studi konduksi saraf pada 21 dari 87 pasien dengan grup GDP tinggi (Tabel 1).
Grup GDP tinggi dibagi menjadi 2 grup: yaitu grup GDP tinggi 1 dan 2. Grup GDP tinggi 1
terdiri atas 40 pasien SGB dengan kadar GDP lebih dari 7.0 mmol/L dengan potensi
gangguan toleransi glukosa. Sedangkan, grup GDP tinggi 2 terdiri atas 47 pasien SGB dengan
kadar GDP 6.1 mmol/L sampai 7.0 mmol/L. Meskipun tidak ada perbedaan signifikan pada
karakteristik klinis yang dideteksi pada kedua grup, pasien dari grup GDP tinggi 1 cenderung
memiliki gejala klinis lebih berat dengan dinilai oleh gejala klinis dan total skor KPK/ skala
disabilitas SGB (Tabel 2).

Hubungan antara Kadar GDP dan Keparahan SGB


Total skor KPK, skala disabilitas SGB dan durasi dirawat di rumah sakit berhubungan dengan
kadar GDP (rs= -0.115, p= 0.047; rs= 0.167, p= 0.004; rs= 0.186, p= 0.001). Model regresi
linear/regresi logistik digunakan untuk menggambarkan hubungan antara kadar GDP dan
total skor KPK/skala disabilitas SGB (R2= 0.023, p= 0.05; R2= 0.14, p= 0.049). Tidak ada
hubungan yang ditemukan antara kadar GDP dan konsentrasi protein atau IgG dalam CSS.
Hubungan antara Kadar Glukosa CSS/HbA1c dan Keparahan SGB
Sebanyak 191 pasien dengan data laboratorium kadar glukosa CSS dibagi menjadi 2 grup.
Pasien dengan konsentrasi glukosa CSS lebih dari 4.1 mmol/L ditentukan menjadi grup
glukosa CSS tinggi, dan sisanya adalah grup glukosa CSS normal. Secara analaog, 14 pasien
dengan proporsi HbA1c diatas 6.0% diklasifikan sebagai grup HbA1c tinggi, dan sisanya
sebanyak 16 pasien sebagai grup HbA1c normal. Perbandingan gejala klinis ditampilkan
dalam Gambar 3A. Median total skor KPK pada grup glukosa CSS tinggi pada titik terendah
adalah 42 dan IQR pada 32-48. Secara respektif, skala disabilitas SGB dari 1-6 adalah
11.63%, 8.47%, 23.28%, 49.74%, 6.88%, dan 0%. Hubungan antara total skor KPK/skala
disabilitas SGB dan konsentrasi glukosa CSS ditampilkan pada Gambar 3B dan 3C. Tidak
ada perbedaan statistik yang tampak pada studi HbA1c, namun pasien dengan manifestasi
klinis yang berat cenderung memiliki kadar HbA1c tinggi (Gambar 3D).

Fig 3. Relationship between the levels of CSF glucose/HbA1c and the severity of GBS. (A) 191 patients with available
laboratory data of glucose in CSF were divided into two groups. Patients with CSF glucose concentration higher than 4.1
mmol/L fell into the high CSF glucose group, and the others into the normal CSF group. A high level of CSF glucose
appeared in the patients who demonstrated cranial nerve involvement, hypoesthesia and autonomic deficits (3.90 mmol/L,
3.93 mmol/L and 3.87 mmol/L vs 3.68 mmol/L, 3.68 mmol/L and 3.67 mmol/L) (p < 0.05). (B) Relationships between CSF
glucose concentration and the MRC sum score at nadir were measured by the linear regression (R2 = 0.03, p = 0.469). (C)
The logistic regression was done to examine the relationship between the CSF glucose concentration and the GBS disability
scale score (R2 = 0.003, p = 0.449). (D) The logistic regression was performed to explore the relationship between the
HbA1c proportion and the GBS disability scale score (R2 = 0.029, p = 0.377).

Kadar GDP saat Dirawat sebagai Prediksi Prognosis Jangka Pendek


Hubungan antara kadar GDP saat pasien masuk rumah sakit (dirawat) dan skala disabilitas
SGB/ total skor KP telah dieksplorasi dengan baik. Durasi median antara kadar GDP saat
dirawat dan saat puncak penyakit/saat selesai rawat didapatkan pada hari ke-2 dan ke-14
dengan IQR 0-4 dan 9-21. Pada saat selesai rawat, median total skor KPK adalah 52 dengan
IQR 44-60, dan 16 skor meningkat dibandingkan dengan titik terendah total skor KPK. Skala
disabilitas SGB sesuai pada 31.92%, 22.70%, 16.13%, 25.98%, 2.13%, dan 1.06% dari 1
sampai 6 secara respektif dan secara umum naik sebanyak 2 poin dibandingkan dengan
puncak. Menariknya, GDP saat pasien dirawat berhubungan dengan skor disabilitas SGB dan
total skor KPK pada ekstremitas bawah (rs= 0.147, p= 0.013; rs= -0.123, p= 0.041) saat
selesai rawat (keluar rumah sakit). Namun, tidak ada korelasi yang ditemukan antara GDP
dan dan total skor KPK. Model regresi linear/regresi logistik menunjukan hubungan

negatif/positif antara kadar GDP saat pasien dirawat dan total skor KPK pada ekstremitas
bawah/skala disabilitas SGB saat selesai rawat (R2= 0.010, p= 0.099; R2= 0.016, p= 0.033).
Pembahasan
SGB adalah polineuropati yang berhubungan dengan imunitas. Beberapa studi pendahulu
telah menemukan hubungan potensial antara diabetes dan SGB. Analisis retrospektif kami
menginidkasikan bahwa kadar GDP saat pasien dirawat secara positif berhubungan dengan
keparahan SGB saat pasien selesai rawat. Secara jelas, kelemahan berat, keterlibatan saraf
kranial, defisit autonom, dan dispnea berhubungan dengan kadar GDP pada fase akut SGB.
SGB dan DM tipe 1 dapat memiliki alur sistemik imun yang sama. Baik SGB maupun DM
tipe 1 dapat dipicu oleh vaksinasi. Gangliosida terdapat pada sistem saraf dan pankreas,
sementara antibodi antigangliosida terdapat pada serum pasien dengan SGB dan DM tipe 1.
Selain itu, diabetes berhubungan dengan kadar sitokin darah termasuk IL-1, IL-6, IL-12, IL17, IL-18, TNF-, dan IFN-, yang dapat menjadi media adaptasi fisiologis dari produksi
insulin dan resistensi insulin. Sitokin tersebut terlibat dalam patogenesis SGB juga.
Peningkatan C-reactive protein (CRP), sebagai biomarker berbagai kondisi infeksi dan
inflamasi, diobservasi pada pasien SGB. Sebagai konsekuensinya, keadaan inflamasi sistemik
pada SGB dapat memicu peningkatan sementara dari kadar GDP. Secara bersamaan, kami
mengemukakan bahwa inflamasi sistemik dapat diakibatkan oleh SGB dan diabetes, dan SGB
dapat bertambah parah akibat inflamasi sistemik. Baik stress fisiologis dan psikologis dapat
berperan pada gangguan metabolik yang memicu hiperglikemia pada SGB. Diabetes adalah
komplikasi yang jarang dari SGB dan ketoasidosis diabetikum dapat mendahului SGB.
Namun demikian, kadar glukosa CSS tidak berhubungandengan keparahan SGB dalam studi
kami. Kerusakan sawar darah otak yang berbeda dapat menyebabkan kebocoran glukosa dari
darah ke CSS yang menyebabkan keadaan yang meluas sehingga dapat membiaskan hasil
studi kami. Studi kami memiliki beberapa keterbatasan. Sebab studi kami merupakan studi
retrospektif alami, kami mencatat GDP hanya saat pasien dirawat dan tidak memantar
fluktuasi GDP selama keadaan klinis SGB. Selain tiu, pengukuran HbA1c dilakukan pada
beberapa pasien secara relatif dan data laboratorium penting untuk diabetes seperti tes
toleransi glukosa oral (TTGO) tidak tersedia. Tetapi, besar sampel dan detil data klinis dari
pasien SGB mendukung validitas kesimpulan kami. Sebagai kesimpulan, terdapat hubungan
antara GDP dan keparahan klinis SGB. Hubungan ini dapat bersifat multifaktorial seperti
kadar sitokin proinflamasi yang tinggi, stress berlebihan, hiperkortisolisme, dan disfungsi
autonom berat dengan elevasi simpatetik dan pengeluaran epinefrin serta hormon stress

lainnya, dapat menjadi penjelasan yang memungkinkan tentang hal ini. Studi lebih lanjut
diharapkan untuk mengidentifikasi hubungan kausal antara GDP dan SGB.

Anda mungkin juga menyukai