Anda di halaman 1dari 9

Anestesi Saat Persalinan

68Apakah
Mempengaruhi Hasil Persalinan?
B. Scott Segal, MD

PENDAHULUAN
Pada tahun 1847, hanya beberapa bulan setelah demonstrasi pertama kali tindakan anestesi,
James Simpson, seorang dokter obgin, memberikan ether pada wanita yang akan melahirkan.
Tindakannya cukup mengesankan dengan memberikan anelgesik yang diinduksi pada
pasiennya. Bagaimanapun, dalam jurnalnya, kasus ini ada catatan yang memprihatinkan
karena ada efek samping yang mungkin terjadi akibat anestesi pada persalinan.
Penting adanya untuk memastikan efek yang bisa saja terjadi, baik itu yang mempengaruhi
kerja otot uterus dan otot abdomen. Serta pengaruhnya terhadap neonatus, apakah
cenderung menyebabkan pendarahan atau komplikasi lain.
Hal tersebut telah dimulai sejak lebih dari satu setengah abad yang lalu, mungkin kontrovesi
terpanjang yang pernah terjadi dalam sejarah anestesi obstetrik, yang berlanjut hingga saat ini
baik pada lingkungan akademik maupun klinis.
PILIHAN-PILIHAN
Perdebatan modern berpusat pada beberapa isu utama :
1. Apakah anestesi regional untuk persalinan mempengaruhi lamanya persalinan atau
mempengaruhi dilatasi serviks? Dan apakah waktu pemberian anelgesik epidural
berperan dalam hal ini?
2. Apakah anestesi regional untuk persalinan meningkatkan risiko penggunaan
instrumen lain pada persalinan pervaginam?
3. Apakah anestesi regional untuk persalinan meningkatkan risiko SC?
Tidak ada studi khusus yang secara tepat bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, dan
metodologi masalah telah digunakan untuk mendukung bukti-bukti yang ada. Kendala
utamanya adalah faktor risiko terhadap persalinan yang disfungsional juga menyebabkan para
ibu meminta untuk dilakukan epidural. Bab ini akan mereview literatur yang tersedia, fokus
pada percobaan random yang terkontrol tapi dengan mempertimbangkan bentuk-bentuk bukti
lain dan menekankan kesimpulan berbeda yang dicapai dari hasil observasi dan model
prospektif acak.

BUKTI-BUKTI
Bukti berdasarkan angka kejadia dilatasi serviks dan waktu pemberian
Teori yang konvensional meyakini bahwa jika persalinan dimulai terlalu cepat (pada
fase laten), analgesik epidural menyebabkan persalinan lama atau bahkan menekan kemajuan
persalinan. Hebatnya, paradigma klinis yang telah diterima secara luas ini tidak pernah
dibuktikan dengan studi yang pasti. Asal-usulnya dapat ditelusuri pada serangkaian kasus
anestesi kaudal atau epidural pada persalinan, yang mungkin menghasilkan blok pada sakral
sampai lumbal. Pada laporan ini, walaupun beberapa wanita yang dilakukan blok sangat cepat
mungkin tidak ada kemajuan persalinan, tapi masih belum jelas apakah mereka akan
mengalami kemajuan yang lebih cepat tanpa blok tersebut.
Beberapa studi acak telah menemukan hubungan antara pemberian epidural lebih
awal dengan distosia. Thorp dkk membandingkan beberapa kelompok wanita nullipara yang
dikelompokkan oleh dilatasi serviks awal, dilatasi serviks saat diberikan analgesi, dan pilihan
epidural atau analgesi alternatif lainnya. Diantar wanita dengan dilatasi serviks <5cm dan
dilatasi serviks <1cm/jam, analgesi epidural berhubungan dengan peningkatan 6 kali lipat SC
akibat distosia. Perbandingan lain menunjukkan risiko yang relatif lebih sedikit atau tidak
berbeda sama sekali. Pada suatu analisis sekunder dari percobaan acak kelompok yang sama,
peningkatan risiko SC lebih besar pada wanita yang meminta analgesik lebih awal, walaupun
wanita tersebut tidak tidak ada dilatasi saat diberikan analgesik. Dengan metodologi case
control, Malone dkk menilai pemberian epidural pada dilatasi <2cm sebagai faktor risiko
yang signifikan terhadap terjadinya persalinan lama pada wanita nullipara (OR 42,7). Pada
studi observasional dengan menggunakan multivariat regresi (cenderung pada analisis skor)
untuk mengendalikan beberapa variabel secara simultan, Lieberman dkk menilai dilatasi
serviks <5cm dan station <0 pada saat pemberian epidural merupakan faktor risiko yang kuat
untuk dilakukan SC.
Bukti dari RCT telah gagal dalam memastikan penemuan ini (tabel 68-1). Chestnut
dkk mengacak wanita yang meminta analgesik epidural pada kelompok awal atau kelompok
lambat (dilatasi sekitar 4 dan 5 cm). Tidak ada perbedaan pada hasil persalinan terlihat pada
persalinan spontan dan pada persalinan diinduksi. Bagaimanapun, kelompok awal dan
kelompok lambat pada studi ini tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada dilatasi
serviks saat diberikan epidural. Ada tiga percobaan acak lagi pada wanita dengan pemberian
epidural atau opioid lebih awal sampai selesai persalinan atau opioid intratekal yang diikuti
oleh pemberian epidural. Pada masing-masing kemajuan dari tahap pertama persalinan
memiliki hasil yang sama bahkan lebih cepat pada kelompok awal dibandingkan dengan
kelompok lambat. Tidak ada perbedaan pada durasi tahap kedua atau bentuk persalinan
ditemukan pada semua percobaan. Perbedaan antara RCT dan studi retrospektif mungkin bisa
menyebabkan bias, pada wanita yang meminta analgesik lebih awal saat persalinan mungkin
merasakan nyeri karena faktor anatomik maupun fisiologik yang menyebabkan terjadinya
distosia.
Efek analgesik epidural pada dilatasi serviks dalam mempertahankan kemajuan
persalinan sangat minim. Beberapa studi retrospektif menemukan dilatasi serviks lebih

lambat yang mungkin dipengaruhi oleh bias tertentu. Meta analisis dari percobaan acak dari
analgesik epidural versus analgesik opioid menyimpulkan bahwa tahap pertama persalinan
tidak memanjang dengan pemberian analgesik epidural.

Bukti mengenai risiko dari persalinan per vaginam dengan instrumen


Insiden kejadian persalinan pervaginam dengan instrumen mungkin meningkatkan
angka pemberian analgesik epidural, walaupun dalam praktiknya bervariasi antara dokter
obgin dan rumah sakit, tabel 68-2 menunjukkan hasil dari 15 percobaan acak, dipublikasikan
dalam jurnal bahasa inggris, membandingkan analgesik epidural dengan opioid sistemik. 7
dari percobaan tersebut menemukan perbedaan yang signifikan. Bagaimanapun, penggunaan
forcep bervariasi dari 0% sampai 55% pada kelompok opioid dan dari 2% sampai 80% pada
kelompok epidural, menandakan variasi substansial pada model praktek. Memang, meta
analisis dari percobaan acak tersebut telah menemukan total angka persalinan dengan
instrumen dari 1,38 sampai 2,19 kali lebih banyak pada pasien dengan analgesik epidural,
tapi sangat bervariasi dari berbagai studi. Bahkan, ada bukti yang kuat bahwa banyak
persalinan dengan instrumen pada pasien dengan epidural dilakukan karena alasan selain
distosia, mungkin untuk tujuan pembelajaran. Baru-baru ini, Sharma dkk menunjukkan salah
satu percobaan terbaik dan terbaru mengenai angka kejadian persalinan dengan instrumen
meningkat dari 3% pada kelompok yang menerima opioid IV sampai 12% pada kelompok
epidural diantara 459 wanita nullipara. Pedoman penggunaan forcep sudah ada sebelum
dilakukannya studi ini.

Bukti mengenai risiko dari SC


Bukti terkait SC merupakan aspek yang paling penting dari isu ini yaitu efek dari
analgesik epidural pada persalinan. Percobaan acak dan studi observasional telah dilaporkan.
Data dari 15 studi acak dilaporkan dalam bentuk final dimana analgesik epidural
dibandingkan dengan opioid sistemik ditunjukkan pada tabel 68-2. Hanya 1 percobaan, ketika
dianalisis berdasarkan intent-to-treat, telah ditemukan perbedaan risiko SC. Yang lainnya,
Ramin dkk dulunya melaporkan berdasarkan protokol-kompliant, setelah mengeksklusi
analisis 1/3 dari pasien secara acak. Pada model ini, perbedaan signifikan pada angka
kejadian SC diobservasi. Sayangnya, alasan tidak terjadinya ketidakpatuhan tidak didapatkan.
Hal ini sama dengan beberapa pasien yang dieksklusi pada kelompok epidural yaitu pasien
risiko rendah yang bersalin dengan cepat tanpa membutuhkan analgesik. Sebaliknya,
beberapa pasien dengan opioid mungkin membutuhkan analgesik epidural sebab analgesik
yang tidak adekuat, nyeri persalinan yang lama. Oleh sebab itu, analisis protokol-kompliant
mungkin menekankan perbedaan diantara kelompok. Memang, penulis menuliskan suatu
revisi analisis berdasarkan intent-to-treat yang ditemukan tidak ada perbedaan pada SC,
ditunjukkan pada tabel 68-2.

Beberapa meta analisis dari berbagai kelompok dari RCT dan kadang mengandung
beberapa laporan hanya sebagai abstrak atau dalam bahasa selain bahasa inggris ditunjukkan
pada tabel 68-3. Meskipun terdiri dari beberapa studi yang berbeda, analisis ini telah
konsisten menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pada angka total persalinan SC atau
angka kejadian SC karena distosia.

Bukti lain terkait studi mengenai ketersediaan analgesik epidural pada suatu institusi
telah berubah. Hasil dari 11 studi ditunjukkan pada tabel 68-4. Tidak ada yang telah
menemukan hubungan antara manfaat analgesik epidural dan angka kejadian SC. Tidak
mengejutkan, suatu meta analisis menunjukkan tidak ada hubungan antara ketersediaan
analgesik epidural dengan dilakukannya SC. Walaupun tanpa diacak, studi kejadian sentinel
ini atau studi eksperiman alamiah ini menunjukkan keunikan tersendiri. Investigasi yang
dilakukan selama 2 dekade dan dipelajari secara luas oleh praktisi yang berbeda. Semua
pasien di rumah sakit dimasukkan, jadi validitas eksternal bukan masalah karena hal tersebut
mungkin saja ada pada RCT. Suatu asumsi terkait studi ini bahwa populasi pasien dan gaya
praktisi dokter obgin mulai berubah sedikit, atau secara perlahan, ketika dibandingkan
dengan ketersediaan dari analgesik epidural. Asumsi ini secara umum telah dibuktikan valid
tapi tidak semua studi kejadian sentinel dilakukan secara langsung, dan beberapa data
berubah pada populasi pasien.

Gaya Praktisi Obstetrik


Bukti telah terkumpul terkait pengurangan efek langsung dari analgesik epidural pada
persalinan, ditekankan pada petugas kesehatan obstetrik sebagai penentu utama risiko SC.
Suatu studi sebelumnya menunjukkan bahwa setelah nulliparitas, faktor risiko terbanyak
dilakukannya SC diantara wanita adalah tergantung dari siapa dokter obgin nya. Penemuan
lain telah melaporkan berbagai angka kejadian SC antara pasien tidak mampu dan pasien
dengan asuransi kesehatan swasta, meskipun angka kejadian yang sama dalam penggunaan
analgesik epidural. 3 studi telah melaporkan 50% penurunan angka kejadian SC di rumah
sakit berdasarkan ulasan sebelumnya, pendidikan dokter, dan publikasi individu operasi yang
dilakukan dokter obgin, sementara secara bersamaan meningkatkan angka penggunaan
analgesik epidural. Lainnya tidak menemukan hubungan antara 110 SC yang dilakukan
dokter obgin dan manfaat analgesik epidural diantara pasien mereka. 2 lainnya telah
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara angka penggunaan epidural dengan angka
kejadian SC di rumah sakit yang ada di Belgia dan Swiss.
Bagaimanapun, efek tidak langsung dari blok analgesik epidural bisa mempengaruhi
keputusan obstetrik yang dibuat sebagai metode persalinan. Contohnya, telah diketahui
bahwa pasien dengan blok epidural akan mengalami peningkatan suhu selama persalinan.
Demam maternal (sepsis) atau konsekuensi lainnya (seperti takikardi pada fetus) bisa menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan dokter obgin untuk melakukan SC. Sama halnnya
dengan hampir semua dokter anestesi yang meminta pasien tetap di tempat tidur setelah
pemberian blok epidural. Beberapa dokter obstetrik yakin bahwa ambulasi mempercepat
kemajuan persalinan dan oleh karena dengan adanya blok epidural dapat mengurangi dilatasi
serviks secara tidak langsung. Bagaimanapun, beberapa studi gagal untuk memastikan efek
yang bermanfaat berjalan saat persalinan, baik itu pada pasien dengan anelgesi regional
maupun yang tidak mendapatkannya. Akhirnya, hal tersebut menunjukkan bahwa pasien yang
meminta anelgesi epidural mungkin pasien yang cenderung mendapatkan intervensi khusus
pada proses persalinannya, termasuk persalinan pervaginam maupun SC.

KONTROVERSI
Kesulitan metodologi umum
Telah umum disetujui bahwa studi klinis yang ideal adalah prospektif, acak, doubleblind, dan placebo terkontrol. Tidak ada studi dari efek analgesi epidural pada persalinan dan
pada pedoman persalinan pun tidak ada standar untuk melakukannya. Semua studi sejauh ini
tidak ada yang menemukan kriteria tersebut, tapi malah ada studi perbandingan retrospektif
dari wanita yang dipilih untuk dilakukan analgesi epidural dengan yang tidak. Tapi
perbandingan seperti itu dapat menyebabkan bias. Bias didapatkan dari membandingkan 2
kelompok pasien yang tidak memiliki risiko yang sama. Pada kasus ini, hal yang perlu
diperhatikan adalah durasi persalinan, kebutuhan oksitosin, atau risiko SC. Masalah yang
sama timbul saat meninjau hasil secara retrospektif seperti trauma perineum, demam maternal
(sepsis), atau sepsis neonatal.
Memang peneliti harus menilai banyak karakteristik pasien yang meminta analgesi
epidural yang secara independen bisa memprediksi persalinan lama dan persalinan non
spontan. Hal-hal tersebut lebih sering terjadi pada nullipara, yang cenderung datang ke rumah
sakit lebih cepat dari persalinan dan dengan station fetus yang lebih tinggi, pasien tersebut
memiliki kecenderungan dilatasi serviks yang lebih lambat sebelum pemberian analgesi,
lebih sering menerima oksitosin untuk menginduksi atau augmentasi persalinan, melahirkan
bayi besar, dan diberikan analgesi epidural karena faktor risiko lain untuk dilakukan operasi
seperti gawat janin atau penyakit sistemik ibu. Floberg dkk menggunakan radiologi pelvik
untuk menunjukkan bahwa wanita yang meminta analgesi epidural memiliki pelvik yang
kecil, faktor risiko yang jelas untuk dilakukan SC.
Perbedaan lain yang sama pentingnya dan sering diperhatikan adalah nyeri saat
persalinan itu sendiri. Nyeri pada persalinan yang lebih awal berhubungan dengan persalinan
lama dan dilakukannya forcep atau SC. Tentu saja, nyeri yang berlebihan berhubungan
dengan seringnya dilakukan analgesi epidural. Peneliti juga menghubungkan kebutuhan
analgesi pada pasien yang telah menerima anelgesi epidural untuk persalinan terganggu.
Studi ini menunjukkan bahwa wanita yang membutuhkan blok lokal dengan dosis yang lebih
kuat cenderung mengalami persalinan yang lebih lambat dan meningkat risikonya dilakukan
SC. Panni dkk lebih jauh mengobservasi suatu demonstrasi anestesi lokal terhadap wanita
nullipara pada persalinan yang lebih awal yang selanjutnya ternyata perlu dilakukan SC
karena mengalami distosia dibandingkan dengan mereka yang melakukan persalinan per
vaginam. Yang lain telah mendemonstrasikan penemuan serupa pada wanita yang
mendapatkan anti nyeri IV meperidinie untuk analgesi persalinan.
Beberapa studi perbandingan retrospektif acak dari analgesi epidural dengan alternatif
(biasanya opioid IV) telah bermunculan. Walaupun studi ini menunjukkan pendekatan yang
lebih baik daripada perbandingan retrospektif, masih ada masalah yang ditemukan. Pertama,
tidak placebo kontrol yang digunakan. Melakukan percobaan prospektif acak dengan placebo
kontrol bisa mendatangkan masalah etikal, atau paling tidak bisa menyebabkan kesulitan
untuk mendapatkan persetujuan pasien dan meninimalkan pertukaran antar kelompok.

Karena opioid IV sendiri bisa mempengaruhi proses persalinan, percobaan ini tidak spesifik
menentukan pengaruh analgesi epidural pada kelahiran bayi. Meskipun begitu, analgesi
secara konsisten lebih baik dengan epidural daripada opioid sistemik. Oleh sebab itu, yang
kedua, masalah selanjutnya yaitu sulitnya menyamakan persepsi antara pasien, dokter obgin,
perawat, dan dokter anestesi terhadap perlu tidaknya blok epidural. Karena keputusan untuk
melakukan SC merupakan hal yang subjektif dimana keputusan dibuat oleh dokter obgin
tanpa keraguan. Dokter obgin dan bidan mungkin tidak menangani pasien mereka yang
diberikan analgesi epidural dengan pasien yang tidak diberikan analgesi epidural. Contohnya,
persalinan dengan forcep lebih sering dilakukan pada pasien dengan analgesi epidural karena
dokter obgin tahu bahwa pasien mereka akan lebih nyaman dan dapat merelaksasi otot pelvik
selama persalinan.
Ketiga, beberapa percobaan acak telah dilakukan. Mencari perbedaan pada angka
kejadian SC khusus 10% sampai 20% membutuhkan beberapa ratus pasien per kelompok.
Banyak percobaan yang telah menyimpulkan bahwa analgesi epidural tidak berpengaruh pada
angka kejadian SC. Oleh sebab itu, kesimpulan tersebut dapat setidaknya melibatkan ukuran
sampel yang kecil secara teori.
Keempat, pedoman merupakan masalah yang selalu terjadi. Sekitar 1/3 pasien pada
kebanyakan percobaan acak tidak menerima terapi. Analisis hanya pada pasien protokol
menimbulkan bias, karena pasien dikeluarkan dari kelompok epidural bisa saja mereka pasien
risiko rendah yang menjalani persalinan dengan nyeri minimal, walaupun mereka dikeluarkan
dari kelompok opioid bisa saja mereka pasien risiko tinggi yang mengalami persalinan lama
dan nyeri hebat. Analisis berdasarkan intent-to-treat, walaupun benar, tapi cukup
memusingkan ketika pasien dengan jumlah yang banyak gagal dalam menerima analgesik,
dan paling tidak mengurangi kekuatan statistik dari studi tersebut.
Yang terakhir, tidaklah mudah untuk menilai kemungkinan penemuan dari percobaan
acak yang dilakukan dengan baik pada persalinan pada umumnya dan pada populasi
persalinan (contohnya validitas eksternal). Kebanyakan pas ibu yang melahirkan memiliki
pendapat yang kuat mengenai keinginan mereka untuk mendapatkan analgesi dalam
persalinan. Pasien yang setuju melakukan percobaan acak (dimana mereka memiliki 50%
kemungkinan untuk tidak mendapatkan analgesi epidural) bisa saja membuat susunan pasien
yang mendapatkan analgesi saat persalinan dan hal tersebut tidak mewakili persalinan secara
umum dan populasi persalinan.
PEDOMAN
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) baru saja merevisi
pedoman terapi anestesi obstetriknya. Sebelumnya, ACOG menganjurkan analgesi epidural
ditunda sampai dilatasi serviks mencapai 4-5 cm. Dokter anestesi tidak dilibatkan dengan
baik dalam pembuatan pedoman ini dan bukti/referensi yang mendukung tidak lengkap.
Baru-baru ini, ACOG mengupdate pernyataan tersebut, tidak lagi mendukung penundaan
dengan pertimbangan takut malah akan meningkatkan risiko dilakukannya SC.

ACOG dan American Society of Anesthesiologists juga telah bergabung untuk mendukung
pernyataan bahwa keinginan ibu hamil merupakan indikasi yang cukup untuk memberikan
anti nyeri selama persalinan dan bahwa analgesi epidural biasanya metode yang dipilih.
SARAN PENULIS
-

Masalah metodologi cenderung terus membuat jawaban definitif terhadap kontroversi


efek dari analgesi epidural pada persalinan
Pemberian analgesi epidural lebih awal tidak menyebabkan persalinan lebih lama atau
meningkatkan kejadian SC. Jika tidak ada kontraindikasi, wanita harus ditawarkan
epidural kapanpun nyeri persalinan dirasakan cukup sering
Analgesi epidural minimal mempengaruhi kemajuan persalinan. Tahap kedua
memanjang sampai 15 menit, tahap pertama mungkin tidak memanjang, atau <30
menit
Persalinan per vaginam dengan instrumen mungkin saja meningkat karena analgesi
epidural efektif. Variasi dalam praktek obstetrik, bagaimanapun, menjadikannya sulit
untuk menilai besarnya risiko dari pasien tersebut
Risiko SC tidak meningkat karena pemberian analgesi epidural
Penilaian efek tidak langsung dari pemberian epidural pada praktek dokter obgin atau
pada proses pengambilan keputusan terhadap pasien bisa membuat kita lebih
memahami kemungkinan efek dari analgesi epidural pada persalinan

Anda mungkin juga menyukai