Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Garuda Pancasila

Lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan


semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang negara Indonesia berbentuk
burung Garuda yang kepalanya menoleh ke sebelah kanan (dari sudut
pandang Garuda), perisai berbentuk menyerupai jantung yang digantung
dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika
yang berarti Berbeda-beda tetapi tetap satu ditulis di atas pita yang
dicengkeram oleh Garuda. Lambang ini dirancang oleh Sultan Hamid II
dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno,
dan diresmikan pemakaiannya sebagai lambang negara pertama kali pada
Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat tanggal 11 Februari 1950.
Setelah Perang
Kemerdekaan
Indonesia 1945-1949,
disusul
pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja
Bundar pada tahun 1949, dirasakan perlunya Indonesia (saat itu Republik
Indonesia Serikat) memiliki lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950
dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah
koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan
susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar
Dewantoro,
M
A
Pellaupessy,
Moh
Natsir,
dan RM
Ng
Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan
rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah
merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab
untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono
melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara
terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses
selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan
Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari
yang menampakkan pengaruh Jepang.
Garuda Pancasila sendiri adalah burung Garuda yang sudah dikenal
melalui mitologi kuno dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu kendaraan
Wishnu yang menyerupai burung elang rajawali. Garuda digunakan
sebagai Lambang Negara untuk menggambarkan bahwa Indonesia adalah
bangsa yang besar dan negara yang kuat.
Warna keemasan pada burung Garuda melambangkan keagungan dan
kejayaan.
Garuda memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang melambangkan
kekuatan dan tenaga pembangunan.

Jumlah bulu Garuda Pancasila melambangkan hari proklamasi


kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, antara lain:
17 helai bulu pada masing-masing sayap
8 helai bulu pada ekor
19 helai bulu di bawah perisai atau pada pangkal ekor
45 helai bulu di leher
Perisai adalah tameng yang telah lama dikenal dalam kebudayaan dan
peradaban Indonesia sebagai bagian senjata yang melambangkan
perjuangan, pertahanan, dan perlindungan diri untuk mencapai tujuan.
Di tengah-tengah perisai terdapat sebuah garis hitam tebal yang
melukiskan garis khatulistiwa yang menggambarkan lokasi Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yaitu negara tropis yang dilintasi garis
khatulistiwa membentang dari timur ke barat.
Warna dasar pada ruang perisai adalah warna bendera kebangsaan
Indonesia "merah-putih". Sedangkan pada bagian tengahnya berwarna
dasar hitam.
Pada perisai terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar negara
Pancasila. Pengaturan lambang pada ruang perisai adalah sebagai
berikut[5]:
Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di
bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima berlatar
hitam[6];
Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan
tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai
berlatar merah[7];
Sila Ketiga: Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di
bagian kiri atas perisai berlatar putih[8];
Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala
banteng[9] di bagian kanan atas perisai berlatar merah [10]; dan
Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan
dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai berlatar putih.

Pita bertuliskan semboyan Bhinneka Tunggal Ika

Kedua cakar Garuda Pancasila mencengkeram


bertuliskan "Bhinneka Tunggal Ika" berwarna hitam.

sehelai

pita

putih

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah kutipan dari Kakawin Sutasoma


karya Mpu Tantular. Kata "bhinneka" berarti beraneka ragam atau
berbeda-beda, kata "tunggal" berarti satu, kata "ika" berarti itu. Secara
harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang
bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya tetap adalah
satu kesatuan, bahwa di antara pusparagam bangsa Indonesia adalah
satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan
dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa,
agama dan kepercayaan.

Sejarah Nama Indonesia


Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan,
Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal
Kepulauan Hindia dan Asia Timur"), yang dikelola oleh James Richardson
Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari
Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi
bangsa
Inggris,
George
Samuel
Windsor
Earl
(1813-1865),
menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel
On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and MalayPolynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa
Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl
menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia
atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name),
sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan
India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau
Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman
71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa
Inggris):
"... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing
akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu)
daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat
untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon

(sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan
Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di
seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan
istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson
Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi
dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan
perlunya nama khas bagi kepulauan yang sekarang dikenal sebagai
Indonesia, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu
panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama
Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar
ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. [1] Dan itu
membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa
penduduk di kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang
dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak
pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa
Indonesia):
"Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya
dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni
"Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau
Hindia atau Kepulauan Hindia"
Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari
bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu
Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisantulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di
kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. [1]\
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama
Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln
des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan
Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika
mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku
Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana
Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu
ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum
dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indi tahun 1918. Pada
kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisantulisan Logan.

Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi


Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda
tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische
Persbureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga
diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van
Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti
dengan Indonesir ("orang Indonesia")..

Anda mungkin juga menyukai