Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

ST ELEVATION INFARK MIOKARD (STEMI)


DI RUANG CVCU RSSA

Disusun Oleh :
VENI ISTIANI
125070200111033

PROGAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2016

1. ANATOMI FISIOLOGI JANTUNG


Jantung berbentuk seperti pir/kerucut seperti piramida terbalik dengan
basis (superior-posterior ICS-II) berada di atas dan apeks ( anterior-inferior
ICS V) berada di bawah. Pada basis jantung terdapat aorta, batang nadi
paru, pembuluh balik atas dan bawah. Jantung sebagai pusat sistem
kardiovaskuler terletak di rongga dada (cavum thoraks) sebelah kiri yang
terlindung oleh costae tepatnya pada mediastinum. Beratnya pada orang
dewasa sekitar 250-350 gram. Jantung difiksasi pada tempatnya agar tidak
mudah berpindah tempat. Penyokong jantung utama adalah paru yang
menekan jantung dari samping, diafragma menyokong dari bawah, pembuluh
darah yang keluar masuk dari jantung, sehingga jantung tidak mudah
berpindah. Faktor yang mempengaruhi kedudukan jantung yaitu, umur,
bentuk rongga dada, letak diafragma dan perubahan posisi tubuh
Otot jantung terdiri atas 3 lapisan yaitu:
a. Luar/pericardium
Berfungsi sebagai pelindung jantung atau merupakan kantong
pembungkus jantung yang terletak di mediastinum, di belakang korpus
sterni dan rawan iga II- IV yang terdiri dari 2 lapisan fibrosa dan serosa
yaitu lapisan parietal dan viseral. Diantara dua lapisan jantung ini terdapat
lendir, untuk menjaga gesekan pericardium tetap licin
b. Tengah/ miokardium
Lapisan otot jantung yang menerima darah dari arteri koronaria.
Susunan miokardium yaitu:
Otot atria: Sangat tipis dan kurang teratur, disusun oleh dua lapisan.
Lapisan dalam mencakup serabut-serabut berbentuk lingkaran dan

lapisan luar mencakup kedua atria.


Otot ventrikuler: membentuk bilik jantung dimulai dari cincin

antrioventikuler sampai ke apeks jantung.


Otot atrioventrikuler: Dinding pemisah antara serambi dan bilik (atrium
dan ventrikel).

c. Dalam / Endokardium
Dinding dalam atrium yang diliputi oleh membrane yang mengilat,
terdiri dari jaringan endotel atau selaput lendir endokardium kecuali
aurikula dan bagian depan sinus vena kava.

Ruang-ruang jantung
Jantung terdiri dari empat ruang yaitu:
a Atrium dekstra: Terdiri dari rongga utama dan aurikula di luar,
bagian dalamnya membentuk krista terminalis.
1. Muara atrium kanan terdiri dari:
Vena cava superior
Vena cava inferior
Sinus koronarius
Osteum atrioventrikuler dekstra
2. Sisa fetal atrium kanan: fossa ovalis dan annulus ovalis
b Ventrikel dekstra: berhubungan dengan atrium kanan melalui
osteum atrioventrikel dekstrum dan dengan traktus pulmonalis
melalui osteum pulmonalis. Dinding ventrikel kanan jauh lebih tebal
dari atrium kanan terdiri dari:
1 Valvula triskuspidal
2 Valvula pulmonalis
c Atrium sinistra: Terdiri dari rongga utama dan aurikula
d Ventrikel sinistra: Berhubungan dengan atrium sinistra melalui
osteum atrioventrikuler sinistra dan dengan aorta melalui osteum
aorta terdiri dari:
1 Valvula mitralis
2 Valvula semilunaris aorta
Peredaran darah jantung
Vena kava superior dan vena kava inferior mengalirkan darah ke
atrium dekstra yang datang dari seluruh tubuh. Arteri pulmonalis membawa
darah dari ventrikel dekstra masuk ke paru-paru (pulmo). Antara ventrikel
sinistra dan arteri pulmonalis terdapat katup vlavula semilunaris arteri

pulmonalis. Vena pulmonalis membawa darah dari paru-paru masuk ke atrium


sinitra. Aorta (pembuluh darah terbesar) membawa darah dari ventrikel
sinistra dan aorta terdapat sebuah katup valvulasemilunaris aorta.
Peredaran darah jantung terdiri dari 3 yaitu:
a Arteri koronaria kanan: berasal dari sinus anterior aorta berjalan kedepan
antara trunkus pulmonalis dan aurikula memberikan cabang-cabang ke
atrium dekstra dan ventrikel kanan.
b Arteri koronaria kiri: lebih besar dari arteri koronaria dekstra
c Aliran vena jantung: sebagian darah dari dinding jantung mengalir ke
atrium kanan melalui sinus koronarius yang terletak dibagian belakang
sulkus atrioventrikularis merupakan lanjutan dari vena.

2. DEFINISI
STEMI

merupakan

sindrom

klinis

yang

didefinisikan

sebagai

karakteristik gejala iskemia miokard disertai dengan hasil EKG persisten


disertai biomarker jantung yang positif. Elevasi segmen ST secara diagnostik
tanpa disertai adanya left ventricular hyperthrophy (LVH) ataupun left bundle
branch block (LBBB) menurut European Society of Cardiology/ ACCF/ AHA/
World Heart Federation Task Force for the Universal Defintion of Myocardial
Infaction yaitu elevasi segmen ST baru dengan kenaikan J point 2 mm (0.2
mV) pada laki-laki dan 1,5 mm (0.15 mV) pada wanita di lead V2-V3 dan
atau 1 mm (0,10 mV) pada sadapan dada atau sadapan ekstremitas.

Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi
secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh
faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Sudoyo, 2010).
3. EPIDEMIOLOGI
Didunia, Penyakit jantung kororner (PJK) adalah penyakit yang paling
sering menyebabkan kematian. Sebanyak 7 juta penduduk dunia meninggal
akibat PJK, mencakup 12,8% dari keseluruhan penyebab kematian.
Kejadiannya lebih sering pada pria dengan umur antara 45 sampai 65 tahun,
dan tidak ada perbedaan dengan wanita setelah umur 65 di tahun ke 46.
Berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi penyakit jantung koroner di
Indonesia tahun 2013 sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar 883.447 orang
(DEPKES, 2015).

Berdasarkan estimasi WHO (2004) lebih dari 220.000

kematian di Indonesia diakibatkan oleh penyakit jantung iskemik dan


diperkirakan terjadi 105 kematian akibat penyakit jantung iskemik per 100.000
penduduk pada tahun 2002 (WHO,2014). Mortalitas dan morbiditas STEMI di
Indonesia masih tinggi akibat tingginya prevalensi diabetes, hipertensi,
merokok, serta lamanya durasi keterlambatan antara onset gejala dengan
penanganan pertama karena alasan logistic maupun finansial (Juwana,
2009).
4. ETIOLOGI
Terjadinya Infark miokard akut biasanya dikarenakan aterosklerosis
pembuluh darah koroner. Nekrosis miokard akut terjadi akibat penyumbatan
total arteri koronaria oleh trombus yang terbentuk pada plak aterosklerosis
yang tidak stabil. Ini semua juga sering mengikuti ruptur plak pada arteri
koroner dengan stenosis ringan. Penurunan aliran darah koroner dapat juga
disebabkan oleh syok dan hemoragic. Ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen miokard merupakan dasar dari terjadinya proses iskemik
tersebut ( Sudoyo Aru, 2009). Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga
disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner,
abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit inflamasi
sistemik (Sudoyo Aru, 2009).

5. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko dari sindom coroner akut dapat dibagi menjadi dua, yaitu
faktor yang tidak

dapat diubah (unmodifiable) dan yang dapat diubah

(modifiable). Faktor yang tidak dapat diubah meliputi (Price SA, Wilson LM,
2012):
a Usia
Kerentanan

terhadap

aterosklerosis

koroner

meningkat

seiring

bertambahnya usia. Namun demikian jarang timbul penyakit serius


sebelum umur 40 tahun, sedangkan mulai usia 40-60 tahun insiden
miokard infark meningkat 5 kali lipat.
b Jenis kelamin laki-laki
Laki-laki usia 35-44 tahun memiliki kecenderungan 5-6 kali dibanding
perempuan untuk terkena penyakit jantung koroner. Dengan asumsi
faktor esterogen pada wanita yang mempengaruhi kadar lipid, dengan
menurunkan kadar LDL-C, meningkatkan HDL-C serta trigliserida.
Disparitas ini akan berkurang seiring dengan pertambahan usia,
dengan wanita 10 tahun kemudian. Walaupun begitu wanita cenderung
lebih mendapati PJK yang lebih kompleks karena pertambahan umur
yang lebih tua disertai lebih banyak faktor komorbiditas
c. Riwayat penyakit penyakit jantung koroner pada keluarga
Faktor yang dapat diubah, antara lain (Jackson G, 2008) :
a Hiperlipidemia (Hiperlipidemia dengan batas atas LDL-C 130-159 mg/dl
dan tinggi apabila mencapai >160 mg/dl.dan kadar HDL-C rendah (<40
mg/dl). Resiko aterogenik yaitu kadar tinggi kolesterol LDL yang dapat
teroksidasi dan menimbulkan deposisi di sirkulasi pembuluh darah.
Sedangkan kadar kolesterol HDL yang rendah dapat meningkatkan
resiko karena faktor protektif dari HDL yang rendah seiring dengan
kadarnya yang kurang.
b Hipertensi (Hipertensi dengan hasil >140/90 mmHg atau pada obat
antihipertensi). Peningkatan tekanan darah menjadi resiko independen
dalam penyakit jantung coroner. Framingham menyatakan bahwa
terdapat peningkatan resiko dua kali lipat pada orang dengan tekanan
darah lebih dari 160/95 mmHg dibandingkan dengan orang yang
c

normotensi.
Merokok
Resiko merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang dihisap perhari,
bukan pada lama merokok. Merokok lebih dari satu pak rokok sehari

meningkatan resiko dua kali lipat terhadap penyakit aterosklerosis


koroner daripada mereka yang tidak merokok.
d Diabetes mellitus
Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolesmia memungkinan
timbulnya aterosklerosis dan berkaitan dengan proliferasi sel otot polos
pembuluh

darah

arteri

koroner, sintesis

kolesterol,

trigliserida,

fosfolipid, peningkatan kadaar LDL-C dan kadar HDL-C yang rendah.


e Obesitas
Makanan dengan kalori yang tinggi kalori, lemak total, lemak jenuh,
gula dan garan berperan dalam terjadinya hyperlipidemia dan obesitas
yang secara langsung meningkatkan kerja jantung dan kebutuhan
oksigen. Hal ini diperberat dengan gaya hidup pasif (sedentary lifestyle)
yang berperan dalam resistensi insulin, peningkatan resiko gagal
jantung setara dengan hiperlipidemia. Seseorang yang dengan
sedentary lifestyle memiliki resiko 30-50% lebih besar untuk mengalami
hipertensi.
f

Hiperhomosisteinemia
Kadar homosistein atau asam amino alamiah tubuh yang tinggi (>15
mmol/L) berkaitan dengan disfungsi endotel dan gangguan fungsi
trombosit serta vasodilator dinding pembuluh darah. Defisiensi asam
folat dan vitamin B6,B12 berperan dalam hiperhomosisteinemia.

6. PATOFISIOLOGI
Infark mikard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika
aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada
plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat
yang berkembang secara lambat biasanya tidak metnicu STEMI karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi ipjuri vaskular, di
mana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan
akumulasi lipid (Sudoyo Aru,2009).
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis
mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik
memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur
yang mengakibatkan oklusi arteri koroner (Sudoyo Aru,2009). Pada STEMI
gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya

menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respons terhadap trombolitik


(Sudoyo Aru, 2009).

Keterangan gambar:
1) Lesi inisiasi dan akumulasi lipid ekstraselular dalam intima;
2) Evolusi stadium fibrofatty
3) Lesi progresi dengan ekspresi prokoagulan dan lemahnya fibrous cap.
Sindrom koroner akut berkembang jika plak vulnerabel dan risiko tinggi
mengalami disrupsi pada fibrous cap.
4) Disrupsi plak adalah rangsangan terhadap trombogenesis. Resorpsi
trombus dilanjutkan dengan akumulasi kolagen dan pertumbuhan sel
otot polos.
5) Selanjutnya

disrupsi

plak

vulnerabel

atau

plak

risiko

tinggi

mengakibatkan pasien mengalami nyeri iskemia akibat penurunan


aliran arteri koroner epikardial yang terlibat. Reduksi aliran dapat
menyebabkan oklusi trombus total (bawah kanan) atau oklusi trombus
subtotal (bawah kiri) Pasien dengan nyeri iskemia dapat berupa elevasi
ST atau tanpa elevasi segmen ST pada EKG. Pasien dengan elevasi
ST sebagian besar berkembang menjadi infark miokard gelombang Q,
sebagian kecil berkembang menjadi infark miokard gelombang non Q.
Pasien tanpa elevasi segmen ST dapat mengalami angina pektoris tak
stabil atau infark miokard akut tanpa elevasi ST. Sebagian besar
pasien dengan NSTEMI berkembang menjadi infark miokard non Q,

dan sebagian kecil menjadi infark miokard gelombang Q (Sudoyo Aru,


2009).
Dari keterangan diatas dapat kita ketahui bahwa proses aterosklerosis
atau dapat disebut aterogenesis merupakan hal yang berperan penting dalam
penyakit sindroma koroner akut termasuk di dalamnya infark miokard akut
dengan elevasi ST. Berikut ini akan dibahas selanjutnya mengenai
aterosklerosis dan patofisiologinya.
Aterosklerosis
Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri
koronaria yang paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan
penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteri koronaria, sehingga secara
progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen menyempit maka
resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan aliran
darah miokardium. Bila penyakit ini semakin lanjut, maka penyempitan lumen
akan diikuti perubahan pembuluh darah yang mengurangi kemampuan
pembuluh
penyediaan

untuk
dan

melebar.

Dengan

kebutuhan

oksigen

demikian
menjadi

keseimbangan
tidak

stabil

antara

sehingga

membahayakan miokardium ( Price and Wilson, 2005).


Lesi biasanya diklasifikasikan sebagai endapan lemak, plak fibrosa, dan
lesi komplikata , sebagai berikut:

1) Endapan lemak, yang terbentuk sebagai tanda awal aterosklerosis,


dicirikan dengan penimbunan makrofag dan sel-sel otot polos terisi
lemak (terutama kolesterol oleat) pada daerah fokal tunika intima

(lapisan terdalam arteri). Makrofag tersebut akan memfagosit lemak


dan berubah menjadi foam sel. Sebagian endapan lemak berkurang,
tetapi yang lain berkembang menjadi plak fibrosa (Price and Wilson,
2005)
2) Plak fibrosa (atau plak ateromatosa) merupakan daerah penebalan
tunika intima yang meninggi dan dapat diraba yang mencerminkan lesi
paling khas aterosklerosis. Biasanya, plak fibrosa berbentuk kubah
dengan permukaan opak dan mengilat yang menyembul ke arah lumen
sehingga menyebabkan obstruksi. Plak fibrosa terdiri atas inti pusat
lipid dan debris sel nekrotik yang ditutupi pleh jaringan fibromuskular
mengandung banyak sel-sel otot polos dan kolagen. Sejalan dengan
semakin matangnya lesi, terjadi pembatasan aliran darah koroner dari
ekspansi abluminal, remodeling vaskular, dan stenosis luminal. Setelah
itu terjadi perbaikan plak dan disrupsi berulang yang menyebabkan
rentan timbulnya fenomena yang disebut "ruptur plak" dan akhirnya
trombosis vena (Price and Wilson,2005 )
3) Lesi lanjut atau komplikata terjadi bila suatu plak fibrosa rentan
mengalami gangguan akibat kalsifikasi, nekrosis sel, perdarahan,
trombosis, atau ulserasi dan dapat menyebabkan infark miokardium
(Price and Wilson, 2005).
Meskipun penyempitan lumen berlangsung progresif dan kemampuan
pembuluh darah untuk berespons juga berkurang, manifestasi klinis penyakit
belum tampak sampai proses aterogenik mencapai tingkat lanjut. Lesi
bermakna secara klinis yang

mengakibatkan iskemia dan disfungsi

miokardium biasanya menyumbat lebih dari 75% lumen pembuluh darah


(Gleadle Jonathan, 2007).
Penting diketahui bahwa lesi-lesi aterosklerotik biasanya berkembang
pada segmen epikardial di sebelah proksimal dari arteria koronaria, yaitu
pada tempat lengkungan tajam, percabangan, atau perlekatan. Lesi-lesi ini
cenderung terlokalisasi dan fokal dalam penyebarannya tetapi, pada tahap
lanjut, lesi-lesi yang tersebar difus menjadi menonjol (Price and Wilson,
2005).
7. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis pada SKA biasanya diliputi oleh 5 gejala, antara lain:

a Chest

discomfort

(retrosternal,

tightness,heaviness,

pressure),

disebabkan adanya peningkatan asam laktat, serotonin dan adenosine


mengaktivasi reseptor nyeri perifer di C7-T4
b Takikardia, akibat Abnornalitas ion transport pada miosit menyebabkan
aritmia, akumulasi metabolit lokal dan miokard iskemia yg memicu
respon saraf simpatis
c Dyspnea, karena gangguan relaksasi ventrikel kiri, peningkatan
tekanan diastolik ventrikel kiri sebabkan aliran balik arteri pulmonalis
yang menyebabkan kongesti paru
d Diaphoresis, disebebkan oleh peningkatan respon tonus simpatis,
akibat serangan akut iskemia
e Mual / muntah , peningkatan tonus parasimpatis saat iskemia akut
Sementara manifestasi klinis antara angina pektoris tidak stabil, NSTEMI dan
STEMI dapat dibedakan berdasarkan tabel (Tanto C , 2014) :
Angina

NSTEMI

STEMI

Pektoris
Tidak Stabil
Keluhan Klinis:
-Angina

Presentasi klinis menyerupai SKA

saat

istirahat,

durasi pada

umumnya.

Namun

kadang

lebih dari sama dengan 20 menit, pasien datang dengan gejala atipikal:
atau

nyeri dada pada lengan atau bahu,

-Angina

pertama

aktivitas

fisik

kali

hingga sesak nafas akut, sinkop atau aritmia

menjadi

sangat

terbatas, atau

Pasien dengan STEMI biasanya telah

-Angina progresif: pasien dengan memiliki riwayat angina atau PJK, usia
angina stabil, terjadi perburukan, lanjut, dan kebanyakan laki - laki
frekuensi
lebih

lebih

lama,

sering,

muncul

durasi
dengan

aktivitas ringan
-Angina pada SKA sering disertai
dnegan keringat dingin (respon
simpatis),mual
(stimulasi

dan

vagal),

muntah

serta

rasa

lemas. Pada populasi lansia (>75


tahun), perempuan, dan diabetes

kadang keluhan tidak jelas.


Pemeriksaan fisik :
Seringkali

-Sebagian besar pasien gelisah dan

normal.

Pada cemas,

ekstremitas

pucat

disertai

beberapa kasus dapat ditemui keringat dingin, kombinasi nyeri dada


tanda

tanda

kongesti

instabilitas hemodinamik

dan substernal > 30 menit dan banyak


keringat dicurigai kuat adanya STEMI
-Sekitar pasien

infark anterior

mempunyai manifestasi hiperaktivitas


saraf

simpatis

hipotensi)
pasien

(takikardidan/atau

dan

infark

parasimpatis

hampir
inferior

setengah
menunjkkan

(bradikardi

dan/atau

hipotensi)
-S4

dan

S3

gallop,

penurunan

intensitas S1 dan split paradoksikal


S2, murmur midsistolik atau

late

sistolik apikal yang bersifat sementara


karena disfungsi katup mitral dan
pericardial friction rub.
-Klasifikasi
untuk

Killip

dapat

mengevaluasi

digunakan

hemodinamik

dan prognosis pasien SKA


Pemeriksaan EKG (dalam 10 - Elevasi segmen ST lebih dari sama
menit pertama):
-Gambaran

dengan 0,1mV yang dihitung mulai


ST

depresi, dari titik J, paad dua atau lebih

horizontal maupun down sloping, sdapan

sesuai

regio

dinding

yang lebih dari sama dengan ventrikelnya. Namun khusus pada


0,05mV pada dua atau lebih sadapan

V2-V3,

batasan

elevasi

sadapan sesuai regio dinding menjadi lebih dari sama dnegan 0,2
ventrikelnya,

dan/atau

inversi mV pada laki laki usia lebih dari

gelombang T lebih dari sama sama dengan 40 tahun, lebih dari


dengan
gelombang

0,1
R

mV

dengan sama dengan 0,25 mV pada laki laki

prominen

atau berusia < 40 tahun, atau lebih dari

rasio R/S <1

sama

dengan

0,15

mV

pada

-Pada keadaan teretntu EKG 12 perempuan


sadapan dapat normal, terutama
pada iskemia posterior (V7-V9) EKG pada STEMI merupakan EKG
atau ventrikel kanan (sadapan yang
V3R-V4R) yang terisolasi
-Dianjurkan
serial

jam

Sebagian

besar

dnegan

presentasi

awal

pasien

pemeriksaan

setiap

berevolusi.

EKG elevasi segmen ST mengalami evolusi


untuk menjadi gelombang Q pada EKG.

mendeteksi kondisi iskemia yang


dinamis
Pemeriksaan

Peningkatan

Biomarka

troponin T dan diagnosis

Jantung :

/atau CKMB (4-6 (untuk diagnosis dan melihat luas

Tidak

ada jam

peningkatan
troponin

Peningkatan

troponin

akut)

(untuk

dan/atau

CKMB

setelah infark)

onset)
T

dan/atau
CKMB
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Diagnosis ditegakkan melalui

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

pemeriksaan penunjang (EKG) dan marka jantung.


a Anamnesis
Angina tipikal
Gambaran angina tipikal adalah rasa tertekan/berat daerah
retrosternal

yang

menjalar

ke

lengan

kiri,

leher,

area

interskapularis, bahu atau epigastrium, berlangsung intermitten


atau persisten (>20 menit). Sering disertai dengan diaphoresis,

mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas dan sinkop.


Angina Atipikal
Gambaran angina atipikal adalah nyeri dipenjalaran angina
tipikal, gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang
tidak dapat dijelaskan,lemah mendadak. Keluhan ini sering
ditemui pada golongan muda (25-40 tahun) dan tua (>75 tahun),
wanita, penderita diabetes, gagal ginjal kronik, atau demensia.

Keluhan ini patut dicurigai menjadi angina equivalen apabila


ditemukan setelah dipicu oleh aktivitas.
Keluhan di perkuat apabila ditemukan karakteristik seperti:
Pria
Diketahui memiliki penyakit aterosklerosis non coroner (penyakir

arterial perifer)
Memiliki riwayat pernah mengalami infark miokard, coronary

bypass ataupun PCI (Percutaneous Coronary Intervention)


Memiliki faktor resiko ; hipertensi, merokok, dyslipidemia,
diabetes mellitus, riwayat penyakit jantung coroner dikeluarga,
atau klasifikasi resiko menurut NCEP

Nyeri bukan khas iskemia berupa nyeri pleuritik (tajam


saat inspirasi atau respirasi), nyeri abdomen tengah atau
bawah, nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan 1 jari, nyeri dada
akibat pergerakan tubu, nyeri dada dengan durasi beberapa
detik, nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah.
b EKG
Gambaran infark miokard menjadi kuat jika ditemukan
gambaran EKG
Concordant, spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah:

Gambaran LBBB baru + elevasi segmen ST


1 mm pada sadapan dengan QRS kompleks
positif

Gambaran depresi segmen ST 1 mm di V1

V3
Discordant, spesifisitas dan sensitivitas rendah :
ST segmen diskordan dengan kompleks QRS
negatif

1 Jika tidak didapatkan elevasi segmen ST, maka


kemungkinan dapat berupa NSTEMI / Angina pektoris
tidak stabil, spesifisitas tinggi :
2 Depresi segmen ST 0,05 mm di sadapan V1-V3 dan
0,1mV di sadapan lainnya.
3 Elevasi segmen ST yang persisten (<20 menit)
4 Inversi gelombang T yang simetris 0,2 mV
Sementara lokasi iskemia atau infark dapat di lihat
berdasarkan sadapan EKG

Pemeriksaan marka jantung


Pemeriksaan marka jantung yang digunakan dalam
diagnosis SKA adalah Creatinine-Kinase MB (CK-MB) dan
Troponin I/T. CK-MB dapat meningkat pada kerusakan sel
otot skeletal, menyebabkan spesifisitas lebih rendah dengan
waktu paruh yang singkat (48 jam). Sementara Troponin I/T
merupakan marka terhadap nekrosis sel miosit jantung.
Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya
nekrosis miosit, tidak dapat membedakan etiologi (koroner
atau nonkoroner). Pada disfungsi ginjal tropoin I memiliki
spesifisitas yang lebih tinggi dbandingkan dengan troponin T.
Tabel Marka Jantung (Troponin I):
Penyebab

Tanda

Non- Kardiak

Sepsis, luka bakar, gagal napas,


penyakit neurologic akut, emboli

Troponin

paru,

I/T

hipertensi

pulmone,

kemoterapi, insufisiensi ginjal


Kardiak
Pada

Takiaritmia, trauma kardiak, gagal

jantung,
nekrosis miokard, pemeriksaan

CK-MB atau

troponin I/T memiliki kadar yang normal 4-6 jam setelah


awitan SKA. Dapat diulang 8-12 jam setelah awitan angina,
jika awitan tidak dapat jelas ditentukan maka pemeriksaan
diulang 4-6 jam setelah awitan SKA.
Definitif sindrom koroner akut jika :

Angina tipikal
EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostic untuk
STEMI, depresi ST atau inversi gelombang T yang

diagnostic
Peningkatan marka jantung

9. PENATALAKSANAAN
a Perawatan di IGD
Dengan adanya

anamnesis

mengenai

keluhan

pasien,

terapi

sementara dapat diberikan sebelum menegakkan diagnosis sindrom


koroner akut dengan adanya keluhan angina tipikal sambil menunggu
hasil EKG atau marka jantung . Penilaian ABC (Airway, Breathing
Circulation) dan berikan terapi sementara yang dapat disingkat MONA
(Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin). Terapi ini tidak harus diberikan
bersamaan semua atau bersamaan.
1. Oksigen diberiksan segera pada pasien dengan saturasi oksigen (SO 2)
<

95%.

Oksigen

dapat

diberikan

jam

pertama

tanpa

mempertimbangkan hasil SO2


2. Aspirin diberikan dengan dosis 160-320 mg pada semua pasien (tanpa
mengetahui intoleransinya). Uncoated aspirin lebih baik mengingat
absorbsi sublingual yang lebih cepat
3. Anti reseptor ADP : ticagrelor peroral (loading 180 mg, maintenance 90
mg dua kali sehari, kecuali pasien STEMI yang berencana dilakukan
terapi

fibrinolitik)

atau

clopidogrel

peroral

(loading

300

mg,

maintenance 75 mg perhari). Clopidogrel lebih disarankan pada pasien


degan terapi fibrinolitik.
4. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual diberikan pada pasien
dengan nyeri dada yang tidak hilang sesampai di unit gawat darurat.
Pemberian dapat diulang sampai maksimal 3 kali apabila nyeri dada
tidak berkurang. Pemberian secara intravena dilakukan apabila pasien
tidak responsif terhadap tiga kali pemberian sublingual. ISDN (Isosorbit
Dinitrat) dapat dipakai sebagai pengganti NTG.
5. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diberikan jika pasien tidak
responsif terhadap tiga kali pemberian NTG.

Gambar Algoritma Penanganan Sindrom Koroner Akut


Anamnesis adanya gejala atipikal lebih dari 20 menit atau gejala
yang

tidak

berkurang

setelah

pemberian

nitrogliserin

disertai

perekaman EKG 10 menit sejak pasien datang dengan gambaran


khas ST elevasi menunjukkan perlunya tindakan segera. Dengan
selang waktu (delay) dari kontak medis pertama hingga pemberian
terapi reperfusi 30 menit untuk fibrinolysis dan 90 menit untuk
primary PCI (Percutaneous Coronary Intervention) ( 60 menit untuk
pasien yang datang dengan onset 120 menit atau pasien resiko
tinggi dengan infark anterior besar). Sementara apabila terdapat rumah
sakit yang mempu melakukan PCI, delay yang diharapakan adalah
60 menit (door to balloon) antara datangnya pasien sampai PCI
dimulai.

b Terapi Reperfusi
Terapi reperfusi pilihan meliputi non farmakologis / PCI (Percutaneous
Coronary Intervention) atau farmakologis / terapi fibrinolitik.
1 PCI (Percutaneous Coronary Intervention)
PCI adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibanding
fibrinolisis apabila terdapat fasilitas dan tim yang mampu menangani
PCI dalam 120 menit sejak kontak medis pertama. PCI diindikasikan
untuk pasien dengan gagal jantung, akut yang berat, syok kardiogenik.
Terapi reperfusi diindikasikan untuk semua pasien dengan durasi
gejala < 12 jam disertai dengan elevasi segmen ST persisten atau new
LBBB. Terapi reperfusi (sebaiknya PCI) diindikasikan bila terdapat bukti
iskemia yang sedang terjadi, bahkan jika gejala mungkin telah timbul >
12 jam setelah onset atau bila nyeri dan perubahan EKG terlihat
terhambat. Terapi reperfusi dengan PCI dapat dipertimbangkan pada
pasien stabil yang dtang dalam 12-24 jam sejak awitan gejala. Tidak
disarankan untuk melakukan PCI rutin pada arteri yang tersumbat
sepenuhnya lebih dari 24 jam setelah awitan pada pasien stabil tanpa
gejala iskemia (tanpa memandang sudah diberikan fibrinolitik atau
belum).
PCI memiliki keuntungan yang berbeda pada tiap pasien, dan
merupakan pilihan dengan benefit terbesar bagi pasien dengan resiko
tinggi. Maka itu penilaian faktor resiko untuk menentukan intervensi
memiliki peran penting untuk mengidentifikasi pasien dengan resiko
tinggi yang terapinya dapat dioptimalkan. TIMI Score for STEMI
(Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) score for ST Elevation
Myocard Infaction) adalah penilaian singkat berdasarkan data klinis
saat kedatangan pasien pertama kali di rumah sakit. Skor 0-4 termasuk
resiko rendah, dan resiko tinggi bila 5 poin.

Sebelum tindakan PCI diperikan obat- obatan pre-prosedural


berupa:

Anti platelet : aspirin peroral 160-320 mg


Anti reseptor ADP : ticagrelor peroral (loading 180 mg,
maintenance 90 mg dua kali sehari) jika

tidak tersedia atau

kontraindikasi dapat diberi clopidogrel peroral (loading 600 mg,

maintenance 150 mg perhari)


Anti koagulan : unfractioned heparin (UFH dengan atau tanpa
penghambat ADP) harus diberikan pada pasien yang tidak
mendapat enoksaparin. Fondaparinux tidak disarankan untuk

PCI
2 Terapi Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik diindikasikan dalam 12 jam sejak awitan gejala
pada pasien tanpa kontraindikasi apabila PCI tidak dapat dilakukan
oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis
pertama. Perlu dipertimbangkan apabila pasien datang lebih awal <2

jam sejak awitan gejala dengan infark luas dan resiko perdarahan
rendah apabila kontak medis pertama hingga balloon inflation >90
menit.

Obat

yang

diberikan

bersifat

spesifik

terhadap

fibrin

(tenekteplase, alteplase, reteplase) yang lebih disarankan dibanding


kurang spefisik terhadap fibrin (streptokinase). Pemberian anti-platelet
(aspirin) dan anti DAP (clopidogrel) diberikan secara bersamaan.
Pemberian antikoagulan disarankan untuk pasien STEMI yang di beri
fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama pasien di
rawat di rumah sakit hingga hari ke 8. Pilihan utama adalah
enoksaparin subkutan atau UFH (Unfraction Heparin) secara bolus iv
sesuai berat badan. Untuk pasien yang diberikan streptokinase
disarankan untuk memberikan fondaparinux dalam bolus iv diikutin
dengan dosis subkutan dalam 24 jam selanjutnya. Semua pasien perlu
dirujuk ke rumah sakit yang menyediakan PCI setelah terapi fibrinolitik.
Apabila terapi fibrinolitik gagal ( <50% perbaikan segmen ST setelah
60 menit), maka dilakukan PCI rescue. PCI emergency dilakukan
apabila terjadi iskemia rekuren atau bukti bahwa terjadI reokulsi
setelah fibrinolisis berhasil.
Obat-obatan yang digunakan pada terapi STEMI sebagai berikut :
Golon
gan
Anti
platele
t

Nama
Aspirin

Clopid
ogrel

Nama
Dagang
Aspilet
Ascardia
(loading
dose 162325
mg
p.o
Maintenan
ce : 75162
mg/hari )
CPG
(Loading
dose 300600
mg
p.o
75 mg/hari
p.o selama

Fungsi
Penghambat
COX
-1
(Menggangu
siklus
cyclooxygenase
, menghambat
thromboxane A2
dan
hambat
agregasi
trombosit)
Penghambat
reseptor P2Y12
(Hambat
Adenosine
5Diphosphate
dengan reseptor
P2Y12
untuk

Kontraindikasi

Varices
esophagus
Trombositop
enia
72 jam post
operasi
besar
dengan
resiko
perdarahan
Perdarahan
akut
Penyakit
liver
terdekompe
nasasi
Kehamilan /

Anti
koagul
an

Unfrac
tioned
Hepari
n
(UFH)

Lowmolec
ularweight
hepari
n
(LMW
H)
Fonda
parinu
x
Bivalru
din

Anti
trombo
litik

Strept
okinas
e (Sk)

12 bulan)

inisiasi agregasi
trombosit)

Bolus
IV
60-7U/kgBB
(max.
5000 U),
lanjut infus
12-15
U/kgBB/ja
m)
Lovenox
1 mg/kgBB
SC
20/40/60
mg
/
0.2/0.4/0.6
mL

Mengkatalisis
anti-thrombin
(AT/AT III) dan
menyebabkan
inaktivasi
thrombin
Prolong aPTT

48
post
partum

Arixtra (2,5 Hambat faktor


mg/sc/hari) Xa indirek

Bivalrudin
Bolus
IV
0,1
mg/kgBB
Dilanjutkan
infus 0,25
mg/kgBB/j
am
1,5 juta U
dalam 100
mL
Dextrose
5%
atau
NaCl 0,9%
dalam
waktu 3060 menit

Hambat
Xa direk

faktor

Mengaktifkan
plasminogen
menjadi plasmin
dan
mendegradasi
fibrin

Diathesa
hemorragik
Hipertensi
berat
Perdarahan
cerebrovasc
ular
Ulkus aktif
pada
gastrointesti
nal, saluran
napas, dan
saluran
kemih
Operasi
pada system
saraf pusat
Fasilitas
laboratorium
yang kurang
Pasien yang
tidak
kooperatif
Kehamilan

Altepla
se
(tPA)

Bolus 15
mg
Intravena
0,75
/
kgBB
selama 30
menit,
dilanjutkan
0,5 mg /
kgBB
selama 60
menit
Dosis total
tidak
melebihi
100 mg
Anti
Beta
Concor
ischem blocke 1.25
mg
ic
rs
dan
di
(Bisopr titrasi
olol)

Menurunkan
demand
oksigen,
menurunkan
laju
jantung,
kontraktilitas
dan
tekanan
darah
*Kontraindikasi
(tekanan darah
sistolik
<90
mmHg,
bradikardia,
blockade
jantung, asma,
gagal jantung)

Low output
state
Resiko syok
kardiogenik
(HR
<60
mmHg,
tekanan
darah
sistolik
<
120 mmHg)
Asma aktif
PR interval >
0,24 sec
Blokade
jantung tipe
2 atau 3

Obat-obat pada SKA


Kontraindikasi Absolut
Kontraindikasi Relatif
Stroke hemoragik / stroke TIA (Transcient Ischemic
yang

penyebabnya

diketahui,

dengan

kapanpun
Stroke iskemik
terakhir

belum dalam 6 bulan terakhir


awitan
bulan Pemakaian antikoagulan oral

Attack)

Kerusakan

system

saraf Kehamilan / 1 minggu post-partum

sentral dan neoplasma


Trauma operasi/ kepala berat Tempat tusukan yang tidak dapat
dalam 3 minggu terakhir
dikompresi
Perdarahan saluran cerna Resusitasi traumatic
dalam 1 bulan terakhir
Penyakit perdarahan

Hipertensi refrakter (sistolik > 180


mmHg)

Diseksi aorta

Penyakit hati lanjut


Ulkus peptikum aktif

c Tatalaksana Setelah Penanganan STEMI


Penatalaksanaan setelah STEMI dapat dibagi menjadi beberapa:
1 Berhenti merokok. Menyarankan pasien untuk berhenti merokok,
dan menghindari ekspose asap rokok pada lingkungan sehari-hari.
2 Kontrol Tekanan darah.
Mengkontrol tekanan darah agar stabil < 140/90 mmHg atau <
130/80 mmHg pada pasien dengan diabetes atau gagal ginjal kronis.
Inisasi perubahan gaya hidup sehat pada semua pasien (pengaturan
berat badan dengan aktivitas fisik, hindari konsumsi rokok, reduksi
garam pada diet dan meningkatkan konsumsi buah-buahan). Mulai
pemberian beta blocker dana tau ACE inhibitor bila tekanan darah
140/90 mmHg atau 130/80 pada pasien dengan diabetes atau gagal
ginjal kronik, lalu tambahkan thiazide atau yang lain sesuai
kebutuhan.
3 Managemen Lipid
Mengkontrol kadar lipid LDL-C <100 mg/dl dan non HDL-C
(kolesterol total HDL-C) <130 mg/dl pada pasien dengan trigliserid
200 mg/dl
Mulai diet dengan mengurangi makanan berlemak. Kolesterol

200 mg/dl per hari pada semua pasien


Mulai aktivitas fisik dan pengurangan berat badan
Periksa profil lipid pada pasien saat puasa dalam 24 jam
setelah masuk rumah sakit. Untuk pasien rawat, terapi
sebelum pasien pulang harus megikuti :
Kadar LDL-C harus < 100 mgdl
Bila kadar LDL-C basal
100 mg/dl, inisiasi
pemberian obat (atorvastation 10-80 mg/hari)

Jika kadar trigliserida 150 mg//dl atau kadar HDL


40 mg.dl inisiasi pengaturan berat badan, aktivitas fisik
dan berhenti merokok.
4 Aktivitas fisik ( 30 menit minimal 5 hari dalam seminggu)
Menyarankan 30-60 menit aktivitas fisik aerobik dengan intensitas
sedang setiap hari dan diselingi dengan peningkatan aktivitas pada
kegiatan sehari-hari
5 Pengaturan berat badan sesuai BMI
Penyesuaian berat badan dengan BMI normal antara, 18,5 24,9 kg
per m2 dengan lingkar pinggang untuk wanita < 80 cm dan pria < 90
cm
6 Terapi antiplatelet dan antikoagulan
Mulai aspirin dengan dosis 75-162 mg/ hari pada semua

pasien kecuali terdapat kontraindikasi


Pemberian clopidogrel jangka panjang dengan dosis 75
mg/hari

disarankan

mempertimbangkan

pada
apakah

pasien
pasien

STEMI,

tanpa

mendapat

terapi

fibrinolitik atau tidak


Terapi warfarin diberikan dengan indikasi (fibrilasi atriu,

thrombus pada ventrikel kiri).


7 ACE inhibitor
Pemberian ACE inhibitor di mulai pada pasien dengan LVEF < 40%
dan pada pasien dengan hipertensi, diabetes, atau gagal ginjal
kecuali terdapat kontraindikasi
8 Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Mulai pemberian ARB pada pasien yang intoleran terhadap ACEI
dan pasien dengan LVEF < 40%.
9 Aldosterone blockers
Mulai pemberian aldosterone blocker pada pasien tanpa disfungsi
ginjal atau hyperkalemia yang sudah mendapat dosis terapeutik dari
ACEI dan beta blocker.

DAFTAR PUSTAKA
Campbell-Scherer DL, Green LA. ACC/HA Guideline Update for the Management
of ST-Elevation yocardial Infarction. Am Fam Physician [Internet]. 2009
[updated 2009 Jun 15; cited 2015 Aug 20]; 79(12): 1080-1086
Gleadle Jonathan. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:
Penerbit Erlangga; 2007.h.166;170-71;112-3
Jackson G. Acute Coronary Syndrome. New York: Oxford Press; 2008. p 4-10.
Juwana YB, Wirianta J, Ottervanger JP, et al. Primary coronary intervention for
ST-elevation myocardial infarction in Indonesia and the Netherlands: a
comparison. Neth Heart J [Internet]. 2009 Nov [cited 2015 Aug 20];
17(11): 418421
Pacheco HG, Mendoza AA, Sangabriel AA, et al. The TIMI risk score for STEMI
predicts in-hospital mortality and adverse events in patients without
cardiogenic shock under-going primary angioplasty. Arch Cardiol Mex
[Internet].

2012;82(1):7-13.

Available

from:

http://www.revespcardiol.org/contenidos/static/premio_cardio/archivoscardiologia-mexico.pdf
Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut [Internet]. Jakarta : Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia; 2015 [cited 2015 Aug 15].
Available

from:

http://www.inaheart.org/upload/file/Pedoman_tatalaksana_Sindrom_Kor
oner_Akut_2015.pdf
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi : Konsel Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th ed.
Jakarta : EGC;2012. p 579-584.

Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi
ke-6. Jakarta: EGC; 2005.h.578-87
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI [Internet]. Jakarta :
Kementrian Kesehatan RI ; 2015 [cited 2015 August 20]. Available from
: http://www.depkes.go.id/article/print/15021800003/situasi-kesehatanjantung.html
Sudoyo Aru W, et all. Infark Miokard dengan Elevasi ST. Idrus Alwi(eds). Buku ajar
IPD. Jilid 2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia;2009.h.1741-54.
World Health Organization Noncommunicable Disease Country Profiles
[Internet]. Geneva : World Health Organization; 2014[cited 2015 Aug
21]. Available from: http://www.who.int/nmh/countries/idn_en.pdf

Anda mungkin juga menyukai