Anda di halaman 1dari 10

Prinsip dan Proses Perencanaan Kontinjensi

0 comments

Prinsip dan Proses Perencanaan Kontinjensi


Studi Kasus: London [1]
Oleh: Muhammad Rezki Hr
I. Pendahuluan
Segala sesuatu yang ada di dunia ini memiliki risiko terhadap bencana, baik itu entitas sosial
seperti individu, masyarakat, dan kota, atau pun sebuah sistem, seperti sistem komunikasi, sistem
infrastruktur, dll. Berbagai ahli yang bergerak dalam isu perubahan iklim memprediksikan bahwa
dengan adanya fenomena perubahan iklim risiko terjadinya bencana akan semakin meningkat ke
depannya. Perencanaan pada hakikatnya adalah alat yang digunakan untuk memastikan masa
depan yang lebih baik. Dalam konteks risiko bencana, masa depan yang lebih baik dicirikan
dengan kesiapan untuk menghadapi bencana, kemampuan untuk meminimalisir dampak
bencana, dan kemampuan pulih dengan baik, baik itu bagi entitas sosial atau pun sebuah sistem.
Salah satu instrumen perencanaan untuk memastikan masa depan yang lebih baik dalam
menghadapi berbagai risiko bencana adalah apa yang disebut dengan perencanaan kontinjensi
(contingency planning). Dalam tulisan ini akan disampaikan pembahasan mengenai prinsip dan
proses perencanaan kontinjensi pada konteks kota, dengan mengambil studi kasus London.
II. Tinjaun Pustaka
2.1 Pengertian Kontinjensi dan Perencanaan Kontinjensi

Kontinjensi (contingency) adalah suatu keadaan atau situasi yang diperkirakan akan segera
terjadi, tetapi mungkin juga tidak akan terjadi (Oxford Dictionary & BNPB, 2011). Sedankan
menurut Childs & Dietrich (2002) kontinjensi adalah:
The additional effort to be prepared for unexpected or quickly changing circumstances (Childs
& Dietrich, 2002: 241)
Perecanaan kontinjensi pada hakikatnya adalah suatu proses identifikasi dan penyusunan rencana
yang didasarkan pada keadaan kontinjensi tersebut. Beberapa lembaga internasional telah
memberikan definisi perencanaan kontinjensi yang lengkap, diantaranya:
1. UNISDR yang mendefinisikan perencanaan kontinjensi sebagai proses manajemen yang
menganalisis potensi kejadian atau sistuasi tertentu yang bisa mengancam masyarakat atau
lingkungan dan proses menetapkan pengaturan awal, agar mampu merespon ancaman tersebut
secara tepat waktu, efektif, dan sesuai (Vidiarina, undated).
2. IASC yang mendefinisikan perencanaan kontinjensi sebagai proses untuk menentukan tujuan,
pendekatan, dan prosedur program untuk menanggapi situasi yang diperkirakan akan terjadi,
termasuk mengidentifikasi kejadian tersebut dan membuat skenario serta rencana yang tepat
untuk mempersiapkan dan menanggapinya secara efektif (Vidiarina, undated).
3. IFRC yang mendefinisikan perencanaan kontinjensi sebagai proses untuk menentukan prosedur
operasional dalam merespon kejadian khusus atau risiko berdasarkan pada sumberdaya dan
kapasitas yang dimiliki dan memenuhi syarat sehingga respon bisa dilakukan secara tepat waktu,
efektif, dan sesuai (Vidiarina, undated).
Dari berbagai definisi di atas bisa diketahui bahwa tujuan utama dari perencanaan kontinjensi
adalah untuk meminimalisir dampak dari ketidakpastian dengan melakukan pengembangan
skenario dan proyeksi kebutuhan saat keadaan darurat terjadi. Suatu rencana kontinjensi
mungkin saja tidak pernah diaktifkan jika keadaan yang diperkirakan tidak pernah terjadi.
2.2 Penggunaan Perencanaan Kontinjesi
Perencanaan kontinjensi merupakan salah satu dari berbagai rencana yang digunakan dalam
siklus manajemen risiko. Berikut dijelaskan aktivitas yang dilakukan dan rencana yang
digunakan dari tahapan-tahapan siklus manajemen risiko:
Tabel 1: Aktivitas dan Rencana yang Digunakan dalam Siklus Manajemen Risiko

Siklus
Situasi tidak terjadi bencana
Situasi berpotensi bencana
Terjadi bencana
Setelah terjadi bencana
Sumber: BNPB (2011)

Aktivitas
Pencegahan dan mitigasi
Kesiapsiagaan
Tanggap darurat
Pemulihan

Rencana
Rencana mitigasi
Rencana kontinjensi
Rencana operasi
Rencana pemulihan

Dari tabel di atas bisa dilahat bahwa perencanaan kontinjensi dilakukan ketika terdapat potensi
untuk terjadinya bencanan atau pada tahap aktivitas kesiapsiagaan. Siklus manajemen risiko
tersebut (termasuk perencanaan kontijensi) selain digunakan dalam pengelolaan bencana
berbasis kewilayahan, biasanya juga digunakan dalam bidang militer, bisnis, dan proyek
pembangunan infrastruktur.
III. Studi Kasus
3.1 Perencanaan Kontinjensi dalam Emergency Management di London
Pada tahun 2001, dengan dilatari terjadinya berbagai kejadian bencana besar baik di dalam
maupun di luar negeri, pemerintah nasional Inggris melakukan perombakan besar-besar terhadap
kerangka kerja emergency management yang ada. Sebagai hasil dari perombakan tersebut,
lahirlah sistem emergency management yang baru baik pada level pusat atau pun daerah
(regional). London adalah salah satu regional yang ada di Inggris, sehingga London pun turut
menjalankan sistem emergency management yang baru tersebut.
Sebagai tindak lanjut dari adanya sistem emergency management yang baru, London pun melalui
sebuah lembaga yang bernama London Regional Resilience Forum menyiapkan berbagai
dokumen rencana dalam menghadapi keadaan gawat darurat yang mungkin terjadi. Berdasarkan
definisi perencanaan kontinjensi yang telah disampaikan di atas, diketahui bahwa sebagian besar
emergency plan yang diterbitkan di London adalah rencana kontinjensi. Pada sub bab berikut
akan dijelaskan jenis-jenis rencana kontinjensi yang ada di dalam emergency management yang
ada di London.
3.2 Rencana Kontijensi di London
Berbagai prosedur emergency management di London diatur di dalam berbagai dokumen yang
dinamai sebagai generic capabities-procedure plan yang disusun oleh London Regional

Resilience Forum. Terdapat banyak dokumen rencana yang tergolong sebagai generic
capabities-procedure plan dan delapan di antaranya merupakan rencana kontijensi. Berikut akan
dibawakan delapan rencana kontinjensi tersebut dan tujuan diterbitkannya.
Tabel 2: Delapan Rencana Kontinjensi untuk Prosedur Emergency Management
No Rencana Kontinjensi
1

Tujuan Diterbitkan

Media Public
1. Agar arus informasi publik ketika terjadi bencana
Information Protocol
bisa terawasi
2. Mengatur mekanisme pembentukan central press
team dan central press office ketika terjadi
bencana.
Mass Fatalities Plan 1. Mengatur mekanisme penanganan korban jiwa
dalam jumlah besar karena sebuah insiden.
2. Mengatur mekanisme respon terhadap insiden di
luar negeri yang mengharuskan pemulangan
sejumlah besar warga negara Inggris.
3. Rencana penyediaan fasilitas kamar mayat dan
fasilitas pendukung lainnya.
Mass Evacuation Plan1. Mengatur mekanisme evakuasi, terkhusus
mengenai jalur evakuasi yang digunakan.
2. Pengaturan tempat penampungan sementara yang
akan digunakan untuk evakuasi.

Site Clearance Plan

Disaster Fund Plan

Recovery
Management Protocol

Mass Casualty
Framework

Humanitarian
Assistance Plan

Mengantisipasi kejadian bencana yang akan


menyebabkan banyaknya puing/reruntuhan
(seperti kejadian 11 September) dengan cara
menyiapkan mekanisme pembersihan puingpuing reruntuhan tersebut.
Agar tidak terjadi kebingungan masalah
pendanaan dalam proses penanganan bencana.
Menyediakan kerangka kerja untuk kegiatan
pemulihan bencana, termasuk kerangka kerja
untuk impact assessment.
Memfasilitasi respon terhadap peristiwa sudden
impact yang konvensional (insiden yang
menyebabkan patah tulang, luka bakar, cedera,
dll) atau kondisi darurat yang menelan hingga
2.000 korban yang terjadi secara bersamaan di
beberapa lokasi.
Untuk memastikan bahwa perawatan psiko-sosial
diberikan dengan cara yang efektif yang
memenuhi kebutuhan mereka yang terkena
dampak keadaan darurat.

Sumber: Analisis (2012)


Selain delapan generic capabities-procedure plan di atas, London Regional Resilience Forum
juga menyusun dua rencana kontinjensi untuk ancaman khusus (specific hazard contingency
plan), yaitu ancaman banjir dan flu pandemi. Berdasarkan dokumen London Community Risk
Register ancama banjir dan flu pandemi adalah dua ancaman yang memiliki risiko tertinggi di
London sehingga diterbitkanlah kedua buah dokumen kontinjensi tersebut. Dokumen rencana
kontinjensi untuk ancaman flu pandemi berjudul Regional Resilience Flu Pandemic Response
Plan dan dokumen rencana kontinjensi untuk ancaman banjir berjudul Strategic Flood
Framework.
Tabel 3: Dua Rencana Kontinjensi untuk Ancaman Khusus
N
o
1

Nama Dokumen
Regional
Resilience Flu
Pandemic
Response Plan
Strategic Flood
Framework

Tujuan Dibuat
Untuk menyediakan kerangka strategis untuk
mendukung terintegrasinya persiapan dan respon
berbagai lembaga terhadap pandemi influenza untuk
meminimalkan dampak sosial dan ekonomi bagi
penduduk London dalam hal wabah pandemi
influenza.
Kerangka kerja dan panduan strategis untuk sub
regional yang ada di London dalam hal yang
mengatasi kejadian banjir, termasuk identifikasi area
berisiko tinggi banjir dan membuat rencana
operasional.

Sumber: Analisis (2012)


Dari seluruh dokumen rencana kontinjensi di atas terdapat tiga poin yang menjadi ciri khas
(prinsip) yang terdapat pada setiap dokumen rencana, yaitu:
A. Ketentuan Aktivasi Rencana
Dalam setiap dokumen rencana kontinjensi London terdapat satu bagian khusus yang
memberikan keterangan dalam kondisi seperti apa rencana akan diaktifkan dan siapa yang
berhak untuk memutuskan rencana akan diaktifkan atau tidak.

B. Pembagian Peran dan Tanggungjawab


Pada setiap rencana kontinjensi yang ada selalu ditetapkan lembaga-lembaga mana saja yang
akan dilibatkan ketika keadaan gawat darurat terjadi. Setelah ditetapkan lembaga mana saja yang
akan terlibat kemudian ditetapkan peran dan tanggungjawab masing-masing lembaga tersebut
pada setiap tahapannya.
C. Pembentukan Tim Koordinasi
Untuk setiap prosedur penanganan keadaan gawat darurat dibentuk tim koordinasi yang
beranggotakan berbagai lembaga yang memiliki peran dan tanggungjawab dalam kegiatan
tanggap darurat. Hampir di seluruh dokumen rencana kontinjensi yang ada dijelaskan mengenai
keanggotaan dan sturktur tim koordinasi (ketua, anggota, dst). Pembentukan tim koordinasi ini
ditujukan agar tindakan yang akan dilakukan ketika tanggap darurat bisa lebih terkoordinasi dan
terintegrasi serta untuk mempermudah pendistribusian dan penerapan rencana kontinjensi.
Contoh tim koordinasi adalah Gold Coordination Group untuk aksi tanggap darurat, Recovery
Coordination Group untuk kegiatan pemulihan, Mass Fatality Coordination Group untuk respon
terhadap kematian masal, Evacuation Coordination Group untuk kegiatan evakuasi, dst.
2.3 Proses Perencanaan Kontinjesi
Penyusunan rencana kontijensi pada dasarnya merupakan salah satu tahapan yang tak
terpisahkan dari tahapan lainnya dari proses manajemen risiko (risk management process) yang
ada di London. Oleh karena itu, untuk menjelaskan proses penyusunan rencana kontinjensi di
London, haruslah menjelaskan proses manajemen risiko yang ada di London.
Penjelasan mengenai proses manjemen risiko di Inggris (termasuk London) terdapat di dalam
sebuah dokumen panduan berjudul Emergency Preparedness yang diterbitkan oleh Cabinet
Office (2012). Di dalam panduan tersebut dijelaskan terdapat enam tahapan dari proses
manjemen risiko, yaitu:
A. Kontekstualisasi
Pada tahapan ini aktivitas yang dilakukan adalah mendefinisikan cakupan dari kegiatan
manajemen risiko sesuai arahan undang-undang yang mengaturnya (Civil Contingencies Act

2004) dan berbagai dokumen panduan yang berhubungan. Setelah itu barulah dilakukan
penentuan stakeholder yang akan terlibat dan penentuan tugas masing-masing stakeholder
tersebut. Bagian terpenting dari dari tahapan ini adalah pendeskripsian karakteristik wilayah
yang memiliki risiko (yang akan di nilai dan dimanajemen risikonya). Deskripsi itu mencakup
deskripsi mengenai tingkat kerentanan dan ketahanan (resiliency) dari segi sosial, lingkungan,
masyarakat, dan lokasi memiliki potensi bahaya (hazardous sites).
B. Identifikasi Bahaya dan Alokasi untuk Penilaian
Aktivitas pertama dari tahapan ini adalah mengidentifikasi ancaman-ancaman dan bahaya yang
mungkin muncul di London dalam rentang lima tahun ke depan. Setelah seluruhnya
teridentifikasi, London Regional Resilience Forum akan menentukan lembaga mana yang
bertanggungjawab untuk melakukan risk assessment secara detail dan rinci. Setelah penilaian
rinci tersebut selesai dilakukan oleh masing-masing lembaga, barulah setelahnya didiskusikan di
forum antar-lembaga di dalam London Regional Resilience Forum dan ditindaklanjuti dengan
menyusun risk register.
C. Analisis Risiko
Inti dari tahapan ini adalah menganalisis tingkat peluang atau kemungkinan terjadinya risiko dan
analisis besaran dampak yang akan ditimbulkan jika bahaya tertentu terjadi.
D. Evaluasi Risiko
Pada tahapan ini dilakukan ranking untuk seluruh risiko yang ada. Ranking dilakukan
berdasarkan pertimbangan tingkat peluang atau kemungkinan terjadinya risiko dan analisis
besaran dampak yang akan ditimbulkan. Setelah itu barulah dilakukan penilaian terhadap
kemampuan dan rencana mitigasi yang telah ada untuk bahaya dan ancaman tertentu. Akhir dari
tahapan ini adalah kesimpulan bahwa apakah risiko yang ada perlu untuk mendapatkan
penanganan ataukah tidak. Untuk risiko-risko yang perlu mendapatkan penanganan tim penilai
akan memberikan rekomendari kepada LRRF mengenai risiko mana yang akan mendapatkan
prioritas penanganan.
E. Penanganan Risiko

Pada tahapan ini penyusunan rencana kontijensi dilakukan yang diawali dengan perumusan
strategi pengurangan risiko bencana dengan mempertimbangkan gap antara besarnya risiko dan
besarnya sumber daya yang dimiliki untuk merespon risiko tersebut. Mempertimbangkan
besarnya risiko dan besarnya sumber daya yang dimiliki dilakukan dalam konteks sekarang dan
jangka panjang, sehingga akan terlahir kesimpulan tentang risiko mana yang harus ditangani
sekarang dan yang risiko mana yang harus ditangani dalam jangka panjang.
Dari tahapan ini akan muncul pula kesimpulan seberapa besar gap antara besarnya risiko dan
besarnya sumber daya yang dimiliki. Setelah itu, akan disepakati treatment yang akan digunakan
dan skenario penanganan yang akan dikembangkan. Mekanisme treatment dan skenario
penanganan tersebutlah yang pada akhirnya dituangkan di dalam rencana kontinjensi. Prioritas
mana yang akan ditangani harus melalui proses konsensus dan begitu juga treatment dan
skenario penanganan yang dipilih harus melalui proses konsesus berbagai stakeholder melalui
London Regional Resilience Forum.
F. Pemantauan dan Peninjauan Ulang
Pemantauan dan review terhadapa risiko dan penanganannya minimal dilakukan setiap tiga tahun
sekali dan boleh dilakukan lebih dari itu bila ada kebutuhan.
Secara ringkas keenam tahapan di atas bisa digambarkan demikian:
Gambar 1: Proses Manajemen Risiko
Sumber: LRT (2011)
Seluruh tahapan dalam proses manajemen risiko (termasuk juga penyusunan rencana kontinjensi)
dilakukan di bawah koordinasi dan pengawasan langsung dari London Regional Resilience
Forum.
IV. Penutup
4.1 Diskusi kasus Indonesia

Pemerintah Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tahun
2011 menerbitkan edisi kedua dari panduan penyusunan rencana kontinjensi untuk pemerintah
daerah. Dalam panduan tersebut dijelaskan bahwa terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan
dalam penyusunan rencana kontinjensi daerah. Tahapan-tahapan tersebut adalah:
Gambar 2: Proses Perencanaan Kontinjensi di Indonesia Menurut BNPB
Sumber: BNPB (2011)
Secara umum, proses penyusunan rencana kontinjensi sesuai arahan BNPB memiliki banyak
kesamaan dan sedikit perbedaan dengan proses penyusunan rencana kontinjensi yang ada di
London. Di antara perbedaan tersebut adalah pada jenis rencana kontinjensi yang disusun. Dari
penjelasan mengenai berbagai rencana kontinjensi di London yang telah disampaikan di atas,
bisa dilihat bahwa rencana kontinjensi di London ada yang disusun dalam rangka menghadapi
satu buah bahaya tertentu (singel hazard) dan ada yang bersifat prosedural (disusun untuk
menghadapi multiple hazard). Dalam panduan yang diberikan oleh BNPB pemerintah daerah
hanya diberikan arahan untuk membuat rencana kontinjensi untuk menghadapi satu buah bahaya
tertentu (singel hazard), seperti rencana kontinjensi yang telah disusun oleh Pemerintah
Kabupaten Sleman, yaitu rencana kontijensi terhadap risiko letusan Gunung Merapi.
Terdapat beberapa kota di Indonesia yang pada hakikatnya sangat butuh untuk membuat rencana
kontinjensi prosedural dalam rangka menghadapi berbagai risiko bencana (multiple hazard) yang
ada di kota. Contoh kota yang memiliki berbagai risiko bencana yang dinilai penting untuk
menyusun rencana kontinjensi prosedural adalah Jakarta. Terdapat berbagai risiko bencana yang
ada di Jakarta seperti banjir, gempa bumi, terorisme, dan berbagai bencana sosial seperti
kerusuhan. Contoh lainnya adalah kerjasama antara Kota Yogyakarta-Sleman-Bantul
(Kartamantul) yang memiliki risiko untuk terjadinya letusan gunung merapi, gempa bumi, dan
tsunami.
4.2 Perencanaan Kontijensi dan Perencanaan Wilayah
Terdapat hubungan timbal balik antara perencanaan kontijensi dan perencanaan wilayah.
Kedepannya perencanaan wilayah harus mulai mempertimbangkan perencanaan/pendekatan

kontinjensi dalam proses perumusuan rencana karena risiko bencana kota-kota di Indonesia juga
semakin meningkat dengan adanya fenomena perubahan iklim. Lebih jelasnya penilaian risiko
dan analisis kesenjangan sumber daya yang dilakukan dalam proses perencanaan kontinjensi bisa
memberikan masukan pada tahapan input dan analisis dalam proses perncanaan wilayah,
sehingga perencanaan wilayah bisa mengakomodasikan berbagai keperluan yang dibutuhkan
ketika keadaan darurat, seperti penataan ruang yang mempertimbangkan arah pergerakan
(manusia dan barang) ketika terjadi bencana, penguraian titik-titik kepadatan jika kota memiliki
risiko terhadap kejadian teror, memperbanyak ruang-ruang terbuka jika kota memiliki risiko
terhadap gempa, dll. Adapun perencanaan kontinjensi haruslah mengacu kepada berbagai
rencana dan kebijakan yang telah diterbitkan. Berikut gambaran lebih lanjut tentang hubungan
kedua perencanaan dari segi prosesnya:
Gambar 3: Hubungan Perencanaan Kontijensi dan Perencanaan Wilayah
Sumber: Analisis (2012)

Anda mungkin juga menyukai