Anda di halaman 1dari 14

Ekstrak Daun Sambiloto (Andrographis Paniculata) Dalam Mengendalikan

Pertumbuhan Bakteri Aeromonas hydrophila, Edwardsiella tarda dan


Jamur Saprolegnia sp. Secara In Vitro
(Antimicrobial Activity of Extract of Sambilotos Leaf (Andrographis paniculata) to
Aeromonas hydrophila, Edwardsiella tarda and Saprolegnia sp. In Vitro)
Lihardo Sinaga1, Dwi Suryanto2, Indra Lesmana3
1

Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera


Utara, (Email : lihardosinaga92@gmail.com)
2
Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia 20155
3
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera
Utara, Medan, Indonesia 20155

ABSTRACT
This study was aimed to know antimicrobial potential of extract of sambilotos Leaf
(Andrographis paniculata) to bacteria Aeromonas hydrophila, Edwardsiella tarda and
Saprolegnia sp. and to know the extract toxicity to brine shrimp (Artemia salina).
Sambilotos leaf was extracted using methanol, ethyl acetate and n-Hexane. Antimicrobial
activity test was done using diffusion discs method. To know the compunds contained in the
extract phytochemical test was conducted. The chemical compound test showed that extract
of sambilotos leaf contained terpenoid/steroid and saponin. The extracts inhibit the growth
of Aeromonas hydrophila and Edwardsiella tarda but Saprolegnia sp. Ethyl acetate extract
showed to have maximum inhibition to Aeromonas hydrophila of 9,11 10,78 mm and
Edwardsiella tarda of 6,10 9,50 mm respectivity. All extract showed to have LC50<1000
g/ml. Toxicity of n-hexane extract was highest to Artemia salina with LC50 of 118,6 ppm.
Keywords : Antimicrobial activity, Aeromonas hydrophila, Edwardsiella tarda
Andrographis paniculata, Saprolegnia sp.
PENDAHULUAN
Keberadaan penyakit di dalam
lingkungan perairan merupakan salah satu
kendala di dalam pengembangan di sektor
budidaya perikanan. Penyakit tersebut
diantaranya penyakit infeksi atau menular
yang disebabkan oleh organisme patogen
dan penyakit non-infeksi yang berasal dari
pengaruh faktor fisika dan kimia
lingkungan, pakan dan metabolisme, stress
sebagai bagian reaksi psikologis ikan.
Keberhasilan budidaya ikan terkait
dengan pemeliharaan lingkungan dan daya
tahan organisme budidaya terhadap
serangan bakteri patogen. Salah satu
bakteri yang umum dijumpai pada

ekosistem perairan dan mempunyai


peranan sebagai pembawa penyakit bagi
organisme air pada kondisi lingkungan
yang stabil yaitu bakteri Aeromonas
hydrophila
dan
Edwardsiella
tarda. Dimana bakteri tersebut bersifat
patogen pada ikan air tawar seperti ikan
nila pada kondisi kualitas air yang buruk.
Salah satu kendala yang dihadapi dalam
budidaya intensif adalah penyakit ikan,
dimana menimbulkan kerugian ekonomi
bagi para pembudidaya ikan. Salah satu
jenis penyakit yang sering dijumpai pada
organisme budidaya adalah penyakit
bakterial
yang
disebabkan
oleh
bakteri Aeromonas hydrophilla dan bakteri

Edwardsiella tarda, dimana merupakan


bakteri
patogen
penyebab
Motil
Aeromonas
Septicemia (MAS)
dan
Edwardslliosis, terutama untuk spesies
ikan air tawar.
Dari
penelitian
yang
telah
dilakukan Sawitti dkk (2013) menyatakan
kandungan yang dipercaya dapat melawan
penyakit
adalah
andrographolide.
Disamping
itu,
daun
sambiloto
mengandung saponin, alkaloid dan tanin.
Kandungan kimia lain yang terdapat pada
daun adalah lactone, paniculin, dan
kalmegin. (Sawitti dkk., 2013).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian telah dilaksanakan dari
bulan Agustus Oktober 2015. Ekstraksi
dan uji fitokimia daun sambiloto dan uji
aktivitas antibakteri di Balai Karantina
Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan
Hasil Perikanan Kelas I Medan II. Uji
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) di
Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD)
Balai Benih Ikan (BBI), Medan
Tuntungan, kota Medan.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah pisau, timbangan
analitik, stoples kaca, gelas ukur, corong,
blender,
labu
Erlenmeyer,
vortex,
aluminium foil, rotary evaporator, spatula,
cawan petri, karet gelang, pipet tetes,
tabung reaksi, rak tabung reaksi, hot plate,
ayakan, Beaker glass, cotton bud,
Autoclave,
laminar
air
flow,
refrigerator/lemari es, sprayer, api bunsen,
jarum ose, pinset, magnetic stirrer, tisu,
kapas, kertas cakram, mikropipet, jangka
sorong, inkubator, waterbath (penangas
air), botol vial sebagai wadah Artemia
salina dalam uji BSLT.
Adapun bahan yang digunakan
adalah pelarut n-heksana (non polar), etil
asetat (semi polar), metanol (polar), daun
sambiloto, akuades steril, alkohol 70%,
spirtus, biakan bakteri A. hydrophila, E.
tarda dan jamur Saprolegnia sp. yang
diperoleh dari Balai Karantina Ikan

Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil


Perikanan Kelas I Medan II, kista A.
salina, klorofom, amoniak, asam sulfat,
asam asetat anhidrat, pereaksi dragendorf,
pereaksi bouchardat, pereaksi mayer,
pereaksi wagner, standar triterpenoid dan
-sitosterol, HCl 2 N, air laut, Dimethyl
sulfoxide (DMSO), Potato Dextrose Agar
(PDA), Tryptic Soy Agar (TSA),
kloramfenikol, nistatin, larutan Mc.
Farland 0.5, larutan NaCl 0,9 %.
Ekstraksi Daun Sambiloto
Daun Sambiloto yang masih muda
(diambil dari bagian pucuk tanaman) yang
sudah dikumpulkan terlebih dahulu
ditimbang beratnya. Pada penelitian ini
digunakan daun sambiloto yang utuh
dengan berat 3,5 Kg. Daun sambiloto yang
sudah dikumpulkan terlebih dahulu dicuci
sampai bersih. Daun sambiloto dipotong
kecil-kecil kira-kira lebarnya 1 cm dan
diiris setipis mungkin, hal ini dimaksudkan
untuk mempercepat proses pengeringan
daun sambiloto. Proses pengolahan bahan
alamiah yang dipergunakan sebagai obat
dengan melalui cara pengeringan disebut
simplisia.
Daun sambiloto yang sudah
terpotong-potong dikeringanginkan. Proses
selanjutnya menghaluskan daun sambiloto
yang telah kering dengan menggunakan
blender dan diperoeh serbuk halus seberat
1,2 Kg.
Pembuatan Ekstrak Daun Sambiloto
Langkah
selanjutnya
adalah
ekstraksi bahan aktif dengan metode
maserasi
tunggal
sesuai
dengan
kepolarannya. Serbuk sampel masingmasing direndam dengan 2 liter pelarut etil
asetat dan 2 liter pelarut metanol dan 2
liter n-heksana di dalam toples kemudian
ditutup selama 48 jam. Setelah 48 jam
masa perendaman, sampel disaring dengan
kapas sehingga diperoleh filtrat dan
ampas. Filtrat yang diperoleh dievaporasi
pelarutnya menggunakan penangas air
(water bath) agar seluruh pelarutnya habis
menguap. Ekstrak tersebut kemudian
disimpan di dalam beaker glass yang
ditutup dengan alumunium foil.

Uji Fitokimia
Analisis
fitokimia
dilakukan
berdasarkan Harborne (1987) :
Identifikasi Alkaloid
Sampel dari masing-masing pelarut
ekstrak yaitu metanol, etil asetat dan nheksana dicampur dengan 5 ml kloroform
dan 5 ml amoniak kemudian dipanaskan,
dikocok dan disaring. Ditambahkan 5 tetes
asam sulfat 2 N pada masing-masing
filtrat, kemudian kocok dan didiamkan.
Bagian atas dari masing-masing filtrat
diambil dan diuji dengan pereaksi Meyer,
Wagner, dan Dragendorf. Terbentuknya
endapan jingga, cokelat, dan putih
menunjukkan adanya alkaloid.
Identifikasi Flavonoid
Sampel dari masing-masing pelarut
ekstrak yaitu metanol, etil asetat dan nheksana dicampur dengan 5 ml etanol,
dikocok, dipanaskan, dan dikocok lagi
kemudian
disaring.
Kemudian
ditambahkan Mg 0,2 g dan 3 tetes HCl
pada masing-masing filtrat. Terbentuknya
warna merah pada lapisan etanol
menunjukkan adanya flavonoid.
Identifikasi Saponin
Sampel dari masing-masing pelarut
ekstrak yaitu metanol, etil asetat dan nheksana dididihkan dengan 20 ml air
dalam penangas air. Filtrat dikocok dan
didiamkan selama 15 menit. Terbentuknya
busa yang stabil berarti positif terdapat
saponin.
Identifikasi Steroid
Sampel dari masing-masing pelarut
ekstrak yaitu metanol, etil asetat dan nheksana diekstrak dengan etanol dan
ditambah 2 ml asam sulfat pekat dan 2 ml
asam asetat anhidrat. Perubahan warna
dari ungu ke biru atau hijau menunjukkan
adanya steroid.
Identifikasi Titerpenoid
Sampel dari masing-masing pelarut
ekstrak yaitu metanol, etil asetat dan nheksana dicampur dengan 2 ml kloroform
dan 3 ml asam sulfat pekat. Terbentuknya
warna merah kecoklatan pada antar

permukaan
menunjukkan
adanya
triterpenoid.
Identifikasi Tanin
Sampel dari masing-masing pelarut
ekstrak yaitu metanol, etil asetat dan nheksana didihkan dengan 20 ml air lalu
disaring. Setelah itu ditambahkan beberapa
tetes feriklorida 1% dan terbentuknya
warna coklat kehijauan atau biru
kehitaman menunjukkan adanya tanin.
Uji Aktivitas Antibakteri dan Antifungi
Bakteri A. hydropila dan E. tarda
diremajakan masing-masing dengan cara
menggoreskan
jarum
ose
yang
mengandung bakteri A. hydropila pada 1
cawan petri yang berisi media TSA dan E.
tarda pada petri yang lainnya secara
aseptis. Setelah itu dinkubasi selama 24
48 jam pada suhu 37oC. Untuk peremajaan
jamur Saprolegnia sp. dilakukan dengan
mengambil potongan kecil miselium
menggunakan blade dan menanamnya
secara aseptis pada media PDA. Setelah itu
diinkubasi pada suhu 27oC selama 2 3
hari.
Bakteri yang telah diremajakan
diambil biakannya menggunakan jarum
ose dan disuspensikan ke dalam tabung
reaksi berisi 3 ml larutan NaCl 0,9%.
Suspensi yang terbentuk disetarakan
dengan larutan baku Mc. Farland 0.5 yang
ekuivalen dengan suspensi sel bakteri
dengan konsentrasi 1,5 108 cfu/ml
(Andrews, 2008).
Konsentrasi larutan uji yang
digunakan adalah 10%, 30%, 40% dan 60
(b/v). Konsentrasi 60% dibuat dengan cara
menimbang ekstrak daun Sambiloto
sebanyak 0,6 g yang dilarutkan dengan 1
ml DMSO. Larutan dengan konsentrasi
10% dan 30%, 40% dibuat dengan cara
pengenceran dari konsentrasi 60%
menggunakan 0,5 ml DMSO. Kontrol
negatif digunakan DMSO dan kontrol
positif digunakan kloramfenikol (30
g/ml) untuk bakteri dan nistatin (100
g/ml) untuk jamur.
Pengujian antibakteri dilakukan
dengan menggunakan metode disc
diffusion (tes Kirby-Bauer). Cutton bud

steril dimasukkan ke dalam tabung reaksi


yang berisi suspensi bakteri kemudian
dioleskan pada media TSA. Setelah olesan
bakteri
mengering,
kertas
cakram
(diameter 6 mm) yang telah direndam
ekstrak selama 1 jam pada berbagai
konsentrasi ditiriskan dan diletakkan di
atas media yang berisi olesan bakteri
dengan sedikit ditekan agar cakram
menempel pada permukaan media
(Gambar 2). Selanjutnya diinkubasi pada
suhu 37oC selama 24 48 jam.
Uji terhadap Saprolegnia sp.
dilakukan dengan cara mengambil
potongan kecil miselium dengan bentuk
kubus dan menanamkannya di media PDA
dengan posisi di tengah. Kertas cakram
yang telah berisi ekstrak dengan berbagai
konsentrasi diletakkan di sekitar potongan
jamur tersebut dengan jarak yang sama
(Gambar 3). Setelah itu diinkubasi pada
suhu 27oC selama 2 3 hari.
Pengukuran Zona Hambat
Menurut Pratiwi (2008), aktivitas
antibakteri dinyatakan terhambat apabila
terbentuk zona bening di sekeliling kertas
cakram.
Diameter
zona
hambat
dideskripsikan dengan Gambar 1 di bawah
ini:

Gambar 1.Perhitungan diameter zona


hambat antibakteri.
Keterangan :
a : Diameter kertas cakram (6 mm)
b : Diameter zona hambat yang
terbentuk (mm)
c : Daerah yang ditumbuhi bakteri
Aktivitas
antifungi
ditentukan
dengan rumus uji antagonis yaitu dengan
mengukur jari-jari pertumbuhan hifa
normal di kurang dengan jari-jari
pertumbuhan hifa yang terhambat oleh
ekstrak (Suryanto dkk., 2011).

Gambar 2. Perhitungan zona hambat


jamur Saprolegnia sp.
Keterangan :
a : Pertumbuhan koloni jamur.
b : Zona hambat ekstrak daun
sambiloto terhadap jamur.
c : Blank disc yang telah berisi
ekstrak
d : Letak koloni jamur yang ditanam.
x : Koloni jamur yang terhambat
pertumbuhannya (mm).
y : Koloni jamur yang
pertumbuhannya normal (mm).
y x : Jari-jari zona hambat (mm).
Uji Toksisitas Ekstrak dengan Metode
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
Kista Artemia salina ditetaskan di
dalam bejana yang sudah diisi 3 liter air
laut buatan bersalinitas 35 ppt. Bejana
dilengkapi dengan alat aerasi dan kista
dibiarkan menetas pada suhu 25oC, setelah
48 jam hewan uji siap untuk digunakan.
Larutan induk dibuat dengan melarutkan
20 mg sampel dalam 2 ml DMSO. Larutan
uji 1000 ppm dibuat dengan memipet
larutan induk sebanyak 500 l, sedangkan
larutan uji 100 ppm dan 10 ppm dibuat
dengan memipet 50 l dan 5 l dari larutan
induk.
Setiap konsentrasi uji ditambahkan
air laut 2 ml kemudian masukkan 10
ekor A. salina ke dalam setiap vial dan
cukupkan volumenya sampai 5 ml dengan
air laut. Masing-masing konsentrasi uji
dibuat 3 ulangan termasuk kontrol positif
(DMSO) dan kontrol negatif (air laut).
Setelah 24 jam dilakukan pengamatan
terhadap kematian A. salina.
Analisis Data
Pengujian aktivitas antibakteri data
hasil pengukuran zona bening dirataratakan dan dianalisis dengan metode

deskipstif dalam bentuk tabel dan gambar.


Pengaruh pemberian ekstrak daun
Sambiloto pada berbagai konsentrasi uji
terhadap toksisitas A. salina dihitung
dengan analisis probit untuk menetukan
LC50. Perhitungan LC50 dilakukan dengan
persamaan regresi linear y = a + bx yang
didapatkan dari grafik hubungan antara log
konsentrasi dengan mortalitas probit
menggunakan program Microsoft excel.

Hasil
Uji Fitokimia Ekstrak Daun Sambiloto
Hasil pengujian fitokimia ekstrak
daun sambiloto dengan menggunakan
pelarut metanol, etil asetat dan n-heksana
memperlihatkan bahwa hanya sebagian
dari ekstrak daun sambiloto mengandung
senyawa metabolit sekunder seperti
terpen/steroid
dan
saponin.
Hasil
pengujian
fitokimia
ekstrak
daun
sambiloto dengan masing-masing pelarut
dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Daun Sambiloto


Golongan
Senyawa

Pereaksi

Ekstrak
Metanol

Ekstrak
Etil asetat

Ekstrak
n-heksana

Fenolik/Flavonoid/
Tanin

FeCl3

+
+
merah
kecoklatan
-

+
+
merah kecoklatan

Bouchardat

tidak ada
perubahan
+
+
merah
kecoklatan
-

Dragendroff

Mayer

Terpen/ Steroid

Lieberman-Bouchard
Ceriumsulfat(CeSO4)
/ TLC

Alkaloid

Wenger
Aqua-HCl

Saponin

Uji Biokimia Bakteri Aeromonas


hydrophila dan Edwardsiella tarda
Berdasarkan pada uji biokima yang
telah dilakukan dengan menggunakan
beberapa parameter, diketahui bahwa

+
(adanya busa)

bakteri yang diidentifikasi adalah bakteri


Edwardsiella tarda dan Aeromonas
hydrophia. Hasil uji biokimia bakteri E.
tarda dan A. hydrophila dapat dilihat pada
Tabel 2 dan Tabel 3 di bawah.

Tabel 2. Hasil uji biokimia bakteri Edwardsiella tarda


Parameter
Oksidase
Katalase
O/F
H2S
MR/VP
Urease
LIA
TSIA
SCA
Sulfida, Indol, Motility
Motil, Indol, Ornitin
Gelatin
Glukosa
Inositol

Hasil
+
F
+
MR (+) / VP (-)
H2S, Gas, K/A
+
(+) (+) (+)
(+) (+) (+)
-

Arabinosa
Sorbitol
Manitol
Maltosa

+
+
+
+

Keterangan :
O/F : Oksidasi/Fermentasi
TSIA : Triple Sugar Iron Agar
SIM : Sulfida Indol Motility
MIO : Motilitas Indol Ornitin

SCA
LIA

: Simons Citrate Agar


: Lysin Iron Agar

Tabel 3. Hasil uji biokimia bakteri Aeromonas hydrophila


Perameter
Oksidase
Katalase
O/F
H2S
MR/VP
Urease
LIA
TSIA
SCA
Sulfida, Indol, Motility
Motil, Indol, Ornitin
Gelatin
Glukosa
Inositol
Arabinosa
Sorbitol
Manitol
Maltosa

Pengamatan Slide Culture Jamur


Saprolegnia sp.
Berdasarkan
pengamatan
slide
culture yang telah dilakukan dengan
menggunakan media PDA dan jamur yang

Hasil
+
+
O/F
MR (+) / VP (-)
+
Ungu tua (+) / H2S (-)
K/A
(-) (+) (+)
(+) (+) (-)
+
+
+
+
+

telah diremajakan, diketahui bahwa jamur


yang
diidentifikasi
adalah
jamur
Saprolegnia sp. (Kordi, 2004). Hasil dari
pengamatan
slide
culture
jamur
Saprolegnia sp. dapat dilihat pada Gambar
3 di bawah.

b
a
a

Gambar 3. Hasil pengamatan slide culture jamur Saprolegnia sp. a) sporangium yang mulai
terbentuk pada pengamatan hari ke 3, b) sporangium yang sudah terbentuk pada
pengamatan hari ke 6
Uji Aktivitas Antimikroba Daun
Sambiloto
Pengujian aktivitas antimikroba daun
sambiloto dilakukan dengan metode difusi
cakram dengan menggunakan blanc disc
yang berukuran 6 mm. Ekstrak daun
sambiloto menunjukkan adanya zona

hambat pada kedua mikroba uji yaitu


bakteri A. hydrophila dan E. tarda
sedangkan pada jamur Saprolegnia sp.
tidak terjadi penghambatan. Aktivitas
antimikroba
dapat
dilihat
dengan
mengamati zona bening yang terbentuk di
sekitar
cakram
dan
menghambat

pertumbuhan bakteri dan jamur. Zona


hambat bakteri A. hydrophila dan E. tarda
dapat dilihat setelah masa inkubasi selama

24 jam. Hasil pengujian aktivitas


antimikroba dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil pengamatan antimikroba dengan metode difusi


Mikroba Uji

Konsentrasi
Metanol

A. hydrophila

E. tarda

Saprolegnia sp.

DMSO
10%
30%
40%
60%
Klorampenikol
DMSO
10%
30%
40%
60%
Klorampenikol
DMSO
10%
30%
40%
60%
Nistatin

6,16
7,10
7.27
7.36

8,08
8,26
8,30
8,43

0
0
0
0

Uji Toksisitas Daun Sambiloto


Hasil pengujian ekstrak daun
sambiloto
terhadap
A.
salina
memperlihatkan
tingginya
jumlah
kematian pada kisaran LC50 antara 100

Diameter Zona Hambat (mm)


Etil Asetat
n-Heksana
0
9,11
6,45
9,49
7,15
9,87
7,56
10,78
8,27
30,15
0
6,10
7,43
6,41
7,83
7,48
8,53
9,50
8,81
31,06
0
0
0
0
0
0
0
0
0
9,95

1000 ppm. Hasil uji toksisitas berdasarkan


konsentrasi ekstrak daun sambiloto dengan
masing-masing pelarut dapat dilihat pada
Tabel 5.

Tabel 5. Hasil uji toksisitas ekstrak daun sambiloto dengan metode Brine Shrimp Lethality
(BSLT)
Pelarut

Metanol

Etil asetat

n-heksana

Konsentrasi
(ppm)
10
100
1000
10
100
1000
10
100
1000

Total
Populasi
(ekor)
30
30
30
30
30
30
30
30
30

Pembahasan
Ekstraksi Daun Sambiloto
Ekstraksi daun sambiloto dilakukan
dengan menggunakan tiga pelarut, yaitu
metanol, etil asetat dan n-heksana. Hasil
ekstraksi
daun
sambiloto
dengan
menggunakan pelarut metanol diperoleh

Jumlah
Kematian
(ekor)
8
16
26
8
13
24
7
16
21

LC50
(ppm)

64,5

100

118,6

pekat sebanyak 20 gram dengan warna


hijau tua, pelarut etil asetat menghasilkan
ekstrak pekat sebanyak 20 gram dengan
warna hitam dan pelarut n-heksana
menghasilkan ekstrak pekat sebanyak 10
gram dengan warna hijau kecokelatan.
Achmadi (1992) ekstraksi adalah peristiwa

pemindahan zat terlarut (solute) antara dua


pelarut yang tidak saling bercampur
dengan tujuan untuk memperoleh ekstrak
yang murni.
Untuk
mengetahui
senyawa
fitokimia yang terkandung dalam daun
sambiloto
ini
dilakukan
dengan
menggunakan tiga pelarut yang sifat
kepolarannya berbeda. Hal tersebut
dilakukan karena setiap pelarut dengan
sifat kepolarannya masing-masing akan
melarutkan atau menarik komponenkomponen yang berbeda termasuk
komponen aktif yang berfungsi sebagai
antimikroba maupun antifungi. Dari
penelitian yang telah dilakukan didapatkan
hasil ekstraksi yang paling banyak
dihasilkan oleh pelarut metanol yang
bersifat polar dan etil asetat yang bersifat
semi polar. Kataren (1986) meyatakan
jenis dan mutu pelarut yang digunakan
menentukan keberhasilan proses ekstraksi.
Uji Fitokimia Daun Sambiloto
Uji fitokimia dilakukan untuk
mengetahui senyawa aktif yang dapat
berpotensi
sebagai
penghambat
pertumbuhan bakteri dan fungi. Dari uji
fitokimia yang telah dilakukan dalam
penelitian ini didapatkan hasil bahwa
senyawa aktif yang terdapat dalam daun
sambiloto adalah golongan senyawa
Terpen/Steroid pada seluruh ekstrak yaitu
ekstrak Metanol, Etil asetat dan n-heksana
dan golongan senyawa Saponin untuk
ekstrak Metanol. Berdasarkan hasil uji
daya hambat yang telah dilakukan dalam
penelitian ini didapatkan bahwa senyawa
Terpen/Steroid dan Saponin mampu
menghambat
pertumbuhan
bakteri
Aeromonas hydrophila dan Edwardsiella
tarda dengan besar zona hambat yang
berbeda pada masing-masing pelarut
ekstrak yang digunakan.
Penelitian Dwijayanti dkk (2014)
menyatakan
senyawa
golongan
Terpen/Steroid dan Saponin mempunyai
kemampuan
dalam
menghambat
pertumbuhan bakteri. Cara kerja senyawa
tersebut dalam menghambat pertumbuhan
bakteri adalah dengan cara mengganggu

proses terbentuknya membran atau dinding


sel. Berdasarkan mekanisme tersebut maka
senyawa Terpen/Steroid dan Saponin
bersifat bakteriostatik.
Uji Biokimia Bakteri Edwardsiella tarda
dan Aeromonas hydrophila
Uji biokimia merupakan cara atau
perlakuan
yang
dilakukan
untuk
mengidentifikasi dan mendeterminasi
suatu biakan murni bakteri hasil isolasi
melalui sifat-sifat fisiologinya. Uji
biokimia yang dilakukan menggunakan
dua isolasi bakteri, yaitu bakteri
Edwardsiella tarda dan Aeromonas
hydrophila.
Uji biokimia ini dilakukan untuk
mengetahui pertumbuhan sel, metabolisme
sel, fungsi sel serta mengetahui pengaruh
suatu bahan terhadap genetik sel dari
bakteri Aeromonas hydrophila dan
Edwardsiella tarda secara In Vitro (Uji
yang dilakukan di luar tubuh mahluk
hidup).
Berdasarkan hasil uji biokimia yang
telah dilakukan pada bakteri Aeromonas
hydrophila dan Edwardsiella tarda pada
Tabel 2 dan Tabel 3, dapat dilihat bahwa
terdapat kesamaan dan perbedaan yang
signifikan dari pertumbuhan sel dan fungsi
sel dari bakteri Aeromonas hydrophila dan
Edwardsiella tarda pada delapan belas
media yang digunakan pada uji biokimia
ini.
Bakteri Edwardsiella tarda dapat
hidup secara Fermentasi (tanpa O2)
sementara bakteri Aeromonas hydrophila
mampu
hidup
secara
Oksidasi
(memerlukan
oksigen)
dan
secara
Fermentasi (tanpa O2) pada uji O/F
(Oksidasi/Fermentasi)
yang
telah
dilakukan. Uji ini juga menggunakan
cairan parafin yang berfungsi menghalangi
masuknya O2 pada media uji O/F yang
digunakan.
Uji SIM dan MIO yang dilakukan
menunjukkan bahwa bakteri Aeromonas
hydrophila dan Edwardsiella tarda
keduanya sama-sama mempunyai alat
gerak yang disebut flagel. Hal ini
diperkuat dengan bukti hasil pengamatan

uji biokimia yang menunjukkan adanya


pergerakan bakteri pada media SIM dan
MIO yang ditandai dengan persebaran
warna putih pada bekas tusukan jarum ose
yang diinokulasikan pada media. Maka
dari itu, bakteri ini dapat menyebar dengan
cepat pada tubuh inang yang disinggahinya
dengan alat gerak flagel tersebut.
Penelitian Pane (2013) menyatakan bahwa
tahapan bakteri gram negatif dalam
menginfeksi
ikan
adalah
dengan
menempel pada sisik ikan tersebut yang
kemudian menghasilkan zat kitin yang
merusak sisik ikan tersebut sehingga
menimbulkan luka pada tubuh ikan. Maka
bakteri masuk ke dalam tubuh ikan ke
jaringan yang lebih dalam dengan
menggunakan alat gerak flagel dan
menyebabkan penyebarannya sangat cepat.
Disamping itu, bakteri Aeromonas
hydrophila dan Edwardsiella tarda
keduanya dapat memfermentasi asam
campuran (metilen glikon) dari proses
fermentasi glukosa yang terkandung dalam
media uji MR, tetapi tidak dapat
membentuk asetil metil karbinol dari hasil
fermentasi glukosa pada media Vp.
Sedangkan dari hasil uji TSIA yang berisi
tiga macam karbohidrat yaitu glukosa,
laktosa dan sukrosa dapat dilihat bahwa
bakteri Aeromonas hydrophila dan
Edwardsiella tarda keduanya hanya dapat
memfermentasi glukosa yang ditandai
dengan perubahan warna media menjadi
kuning pada dasar media dalam suasana
asam dan pada bagian lereng media
berwarna merah dalam suasana basa.
Sementara pada uji TSIA ini juga
menunjukkan bahwa bakteri Edwardsiella
tarda mampu menghasilkan gas H2S yang
ditunjukkan dengan munculnya warna
hitam pada bagian media sedangkan
bakteri Aeromonas hydrophila tidak
menghasilkan gas H2S. Bila dilihat dari
organisme
yang
terinfeksi
bakteri
Edwardsiella tarda menunjukkan pada
bagian tubuh yang terserang terdapat
pembengkakan yang berisi gas H2S. Jika
bagian tubuh yang membengkak tersebut
pecah akan mengeluarkan bau busuk.

Dalam penelitian Ratnawati dkk (2013)


yang menyatakan bahwa penyakit
Edwardsillosis yang berasal dari bakteri
Edwardsiella tarda menunjukkan gejala
seperti perubahan warna kulit dan terdapat
pembengkakan pada bagian tubuh
organisme yang terinfeksi.
Sementara uji gula-gula yang teridiri
dari glukosa, inositol, arabinosa, sorbitol,
manitol dan maltosa menunjukkan bahwa
kedua bakteri mampu memfermentasikan
masing-masing gula (maltosa, manitol,
sorbitol dan arabinosa) membentuk asam
yang dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel
4. Sementara untuk bakteri Edwardsiella
tarda menunjukkan bahwa bakteri ini tidak
dapat memfermentasikan glukosa dan
inositol membentuk asam. Sedangkan pada
bakteri Aeromonas hydrophila mampu
memfermentasikan glukosa membentuk
asam tetapi tidak dapat memfermentasikan
inositol membentuk asam sama seperti
bakteri Edwardsiella tarda. Hasil uji
biokimia yang telah dilakukan ini
menunjukkan hasil yang sama pada
penelitian Kismiyati dkk (2009) yang
mengisolasi bakteri gram negatif dari ikan
maskoki.
Pengamatan
Slide Culture Jamur
Saprolegnia sp.
Slide
Culture
(kultur
slide)
merupakan teknik yang sangat penting
dalam identifikasi fungi. Slide culture
adalah teknik menumbuhkan fungi pada
slide dengan perlakuan tertentu. Perlakuan
yang di maksud di antaranya adalah fungi
ditumbuhkan pada sepotong agar dan
diletakkan di atas kaca benda. Tujuan slide
culture
adalah
melihat
morfologi
mikroskopis fungi, yang terdiri dari bentuk
hifa, sporangium.
Hasil pengamatan pada hari ke tiga
menunjukkan
pertumbuhan
benangbenang halus (hifa) hingga pada hari ke
empat. Setelah pada hari ke lima
pengamatan,
terlihat
bahwa
telah
terbentuknya sporangium pada ujung hifa
tang
telah
tumbuh
sebelumnya.
Sporangium yang telah tumbuh ini
bentuknya cenderung lonjong yang

terdapat pada ujung-ujung hifa (Gambar


3). Sporangium inilah yang kemudian
pecah dan menghasilkan spora-spora yang
baru yang kemudian tumbuh menyebar
memenuhi media PDA pada cawan petri
Sehingga setelah dilakukan pengecekan
barulah diketahui bahwa jamur yang telah
diremajakan adalah jamur Saprolegnia sp.
Ningsih (2011) menyatakan bahwa
jamur Saprolegnia sp. memiliki
siklus
kehidupan diploid, baik dengan reproduksi
seksual
maupun
aseksual,
spora
dari Saprolegnia sp. akan
melepaskan
zoospore utama. Dalam beberapa menit,
zoospore ini akan melakukan encyst,
berkecambah, dan melepaskan zoospore
lainnya. Zoospora yang kedua ini memiliki
siklus yang lebih lama selama dispersal
terjadi. Saprolegnia sp. terus melakukan
encyst dan melepaskan spora-spora baru
didalam proses yang disebut dengan
polyplanetism sampai bisa menemukan
substrat yang cocok.
Ketika media ditemukan tepat, maka
rambut-rambut yang menutupi spora akan
mengunci kedalam substrat tersebut
sehingga fase reproduksi seksualnya dapat
dimulai.
Uji Aktifitas Antimikroba Daun
Sambiloto
Uji aktifitas antimikroba dalam
menghambat pertumbuhan bakteri dan
jamur ditunjukkan oleh ukuran areal
bening yang membentuk lingkaran
disekitar kertas cakram yang kemudian
dapat dihitung diameter penghambatnya.
Terbentuknya area bening disebabkan
karena adanya senyawa antimikroba pada
ekstrak
daun
sambiloto
sehingga
pertumbuhan bakteri dan jamur terhambat.
Hasil uji aktivitas antimikroba
terhadap bakteri A. hydrophila, E. tarda
dan jamur Saprolegnia sp. menunjukkan
bahwa pada kontrol negatif menggunakan
DMSO tidak membentuk zona bening atau
zona hambat di sekitar kertas cakram pada
ketiga mikroba tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa palarut DMSO tidak
memiliki aktivitas antimikroba.

Pengujian
aktivitas
antibakteri
menggunakan
kloramfenikol
sebagai
kontrol positif dimana hasil pengujiannya
menunjukkan adanya zona hambat yaitu
sebesar 30,15 mm untuk bakteri A.
hydrophila dan sebesar 31,06 mm untuk
bakteri E. tarda.
Siswandono dan Soekardjo (1995)
menyatakan
bahwa
kloramfenikol
merupakan antibiotik yang
mempunyai
aktifitas bakteriostatik dan pada dosis
tinggi bersifat bakterisid.
Aktivitas antibakterinya bekerja
dengan menghambat
sintesis
protein
dengan jalan meningkatkan ribosom
subunit 50S yang merupakan langkah
penting dalam pembentukan ikatan
peptida. Kloramfenikol efektif terhadap
bakteri aerob gram positif dan beberapa
bakteri aerob gram negatif.
Pengujian
aktivitas
antijamur
menggunakan nistatin sebagai kontrol
positif
dimana
hasil
pengujian
menunjukkan adanya zona hambat pada
sekitar cakram yaitu sebesar 9,95 mm
untuk jamur Saprolegnia sp. Pelczar dan
Chan (2005) menyatakan bahwa cara kerja
nistatin adalah merusak sel-sel khamir,
juga sel cendawan lain dengan cara
bergabung dengan sterol yang terdapat
dalam
membran
sel.
Hal
ini
mengakibatkan kacaunya organisasi di
dalam struktur molekuler membran, diikuti
dengan gangguan pada fungsinya.
Pengujian aktivitas ekstrak metanol
menunjukkan
bahwa
hambatan
pertumbuhan terbesar terdapat pada
bakteri E. tarda yaitu sebesar 8,43 mm
pada konsentrasi 60%, kemudian bakteri
A. hydrophila sebesar 7,36 mm, sedangkan
untuk jamur Saprolegnia sp. tidak terjadi
hambatan pada semua konsentrasi yang
diberikan dalam seluruh ekstrak daun
sambiloto.
Adanya
aktivitas
antimikroba
tersebut kemungkinan disebabkan karena
adanya kerja dari senyawa-senyawa
metabolit sekunder yang terkandung di
dalam daun sambiloto. Lukistyowati
(2012) menyatakan zona hambat yang

dihasilkan dari larutan sambiloto diduga


karena kandungan senyawa utama
andrographolide yang berperan sebagai
antibiotik dan antibakteri. Perbedaan luas
hambatan
disebabkan
oleh
bahan
penyusun dinding atau membran sel dari
setiap mikroba uji yang berbeda.
Pengujian aktivitas ekstrak etil asetat
menunjukkan bahwa hambatan terbesar
terdapat pada bakteri A. hydrophila yaitu
sebesar 10,78 mm dan bakteri E. tarda
sebesar 9,50 mm pada konsentrasi 60%,
sedangkan pengujian aktivitas ekstrak nheksana
menunjukkan
hambatan
pertumbuhan terbesar terjadi pada bakteri
E. tarda yaitu sebesar 8,81 mm dan bakteri
A. hydrophila yaitu sebesar 8,27 mm pada
konsentrasi 60%. Jika dibandingkan
dengan zona hambat yang dihasilkan oleh
chloramphenicol sebagai kontrol positif,
ekstrak metanol, etil asetat dan n-heksana
menghasilkan zona hambat yang lebih
kecil. Meskipun zona hambat yang
dihasilkan lebih kecil dari kontrol positif,
hasil penelitian ini menunjukkan daun
sambiloto dapat menghambat pertumbuhan
bakteri A. hydrophila dan E. tarda.
Sawitti dkk (2013) menyatakan kecilnya
zona hambat yang terbentuk dapat
dipengaruhi pula oleh mutu ekstrak daun.
Mutu ekstrak dipengaruhi oleh dua faktor
utama yaitu faktor biologi dan faktor
kimia.
Pengujian
antimikroba
yang
dilakukan terhadap jamur Saprolegnia sp.
tidak mengalami penghambatan sama
sekali pada seluruh ekstrak daun
sambiloto. Hal ini di duga karena ekstrak
daun sambiloto ini hanya mengandung
senyawa metabolit sekunder terpen/steroid
untuk seluruh pelarut dan saponin untuk
pelarut methanol yang berfungsi hanya
sebagai antibakteri.
Krisnata
dkk
(2014)
dalam
penelitiannya menyatakan senyawa yang
berfungsi sebagai antibakteri dan antifungi
adalah senyawa golongan flavonoid.
Flavonoid merupakan golongan terbesar
dari senyawa fenol, senyawa fenol
mempunyai sifat efektif menghambat

pertumbuhan virus, bakteri dan jamur.


Mekanisme kerja flavonoid dalam
menghambat pertumbuhan bakteri dan
fungi adalah flavonoid menyebabkan
terjadinya kerusakan permeabilitas dinding
sel bakteri dan fungi dan flavonoid mampu
menghambat motilitas bakteri dan fungi
tersebut.
Uji Toksisitas Ekstrak Daun Sambiloto
Uji toksisitas dengan metode BSLT
merupakan suatu uji yang digunakan untuk
mengetahui
senyawa
aktif
yang
terkandung di dalam ekstrak suatu
tanaman. Suatu ekstrak dianggap toksik
apabila memiliki nilai LC50<1000 ppm,
sedangkan untuk senyawa murni dikatakan
toksik jika LC50< 200 ppm (Meyer dkk.,
1982).
Uji toksisitas terhadap Artemia
salina dengan ekstrak metanol dilakukan
dengan tiga kali ulangan pada masingmasing konsentrasi 10, 100, 1000 ppm.
Pada konsentrasi 10, 100, 1000 ppm
jumlah kematian berturut-turut mencapai
8, 16 dan 26 ekor dengan total populasi 30
ekor pada setiap konsentrasi. Kematian
larva udang ini diduga karena pemberian
ekstrak daun sambiloto yang mengandung
senyawa metabolit sekunder dan lemahnya
daya tahan tubuh larva tersebut. Meilani
(2006) menyatakan larva udang sangat
peka terhadap apapun yang berada di
lingkungannya dan berkembang dengan
sangat cepat menyerupai pertumbuhan sel
kanker. Keadaan membran kulitnya yang
sangat tipis memungkinkan terjadinya
difusi zat dari lingkungan yang
mempengaruhi metabolisme di dalam
tubuhnya. Oleh karena itu, penambahan
zat ekstraktif yang diduga mengandung
senyawa bioaktif dan berpotensi sebagai
senyawa
obat
diharapkan
mampu
mengganggu
metabolisme
dan
menyebabkan kematian larva udang. Hasil
analisis
persen
kematian
yang
dikonversikan ke nilai probit dan
menghitung persamaan regresi linier untuk
mendapatkan nilai LC50, didapatkan nilai
LC50 pada ekstrak metanol sebesar 64,5
ppm. Sehingga hasil BSLT ekstrak

metanol dikatagorikan toksik terhadap A.


salina.
Uji toksisitas terhadap A. salina
dengan ekstrak etil asetat dilakukan
dengan tiga kali ulangan pada masingmasing konsentrasi 10, 100, 1000 ppm.
Pada konsentrasi 10, 100, 1000 ppm
jumlah kematian berturut-turut mencapai
8, 13 dan 24 ekor dengan total populasi 30
ekor pada setiap konsentrasi. Hasil analisis
persen kematian yang dikonversikan ke
nilai probit dan menghitung persamaan
regresi linier untuk mendapatkan nilai
LC50, didapatkan nilai LC50 pada ekstrak
etil asetat sebesar 100 ppm. Sehingga uji
BSLT ekstrak etil asetat dikatagorikan
toksik terhadap A. salina begitu juga
dengan hasil uji BSLT n-heksana yang
didapatkan nilai LC50 nya sebesar 118,6
ppm.
Purba dkk (2013) mengatakan
tingkat kematian dapat ditentukan secara
langsung
melalui
perbandingan
konsentrasi yang berkisar dari konsentrasi
terendah hingga konsentrasi tertinggi.
Dengan kata lain, kematian A. salina
disebabkan oleh peningkatan konsentrasi
dalam sampel.
Kematian A. salina dalam botol vial
karena pemberian konsentrasi yang
semakin tinggi mengalami gerakan yang
tidak teratur. Artemia salina dalam botol
vial ini tetap aktif bergerak, akan tetapi
gerakannya berputar-putar, sedangkan A.
salina yang berada dalam botol vial
sebagai kontrol tidak memberikan
kematian sama sekali dalam waktu 24 jam
pengamatan. Hal ini membuktikan
kematian A. salina disebabkan oleh sifat
toksik dari ketiga ekstrak daun sambiloto.
Harborne (1994), menyebutkan semakin
tinggi konsentrasi ekstrak maka sifat
toksiknya akan semakin tinggi.
Berdasarkan pada uji BSLT yang
telah dilakukan, ekstrak daun sambiloto
seluruhnya dikategorikan toksik terhadap
A. salina dengan toksisitas yang paling
tinggi pada ekstrak n-heksana dan paling
kecil pada ekstrak metanol. Perbedaan
tingkat toksisitas tersebut disebabkan oleh

senyawa
metabolit
sekunder
yang
terkandung di dalam ekstrak tersebut.
Cahyadi (2009) menjelaskan bahwa cara
kerja senyawa-senyawa tersebut dengan
bertindak sebagai stomach poisoning atau
racun perut. Oleh sebab itu jika senyawa
tersebut masuk ke dalam tubuh larva, alat
pencernaannya akan terganggu.
Uji toksisitas dengan metode BSLT
ini juga menggunakan dua jenis kontrol
yaitu dengan menggunakan kontrol air laut
dan kontrol DMSO yang merupakan
pelarut yang digunakan untuk melarutkan
bahan ekstrak metanol, etil asetat dan nHeksana dalam penelitian ini. Persentasi
mortalitas yang cukup rendah pada kontrol
air laut dan kontrol DMSO menunjukkan
bahwa air laut
dan DMSO yang
digunakan dalam penelitian ini bukan
merupakan penyebab kematian A. salina.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Ekstrak daun sambiloto (Andrographis
paniculata)
mampu
menghambat
pertumbuhan bakteri A. hydrophila dan
E. tarda. namun tidak menghambat
pertumbuhan jamur Saprolegnia sp.
2. Hasil uji fitokima menunjukkan bahwa
ekstrak daun sambiloto (Andrographis
paniculata) dengan pelarut metanol, etil
asetat dan n-heksana mengandung
senyawa terpen/steroid pada seluruh
ekstrak dan saponin pada ekstrak
metanol.
3. Ekstrak daun sambiloto (Andrographis
paniculata) bersifat toksik pada A.
salina dengan LC50 64,5 ppm untuk
ekstrak metanol, 100 ppm untuk ekstrak
etil asetat, dan 118,6 ppm untuk ekstrak
n-heksana.
Saran
Sebaiknya ekstrak daun sambiloto
terhadap bakteri Aeromonas hidrophila
dan Edwardsiella tarda diujikan langsung
terhadap ikan yang terserang bakteri.

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, S. 1992. Kimia Kayu. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Kordi, G. H. 2004. Penanggulangan Hama


dan Penyakit Ikan. Rineka Cipta,
Jakarta.

Andrews J. M. 2008. BSAC Standardized


Disc
Susceptibility
Testing
Method (version 7). Journal of
Antimicrobial Chemotherapy. 62:
256 278.

Krisnata, B.A., Y. Rizka dan D.


Mulawarmanti.
2014.
Daya
Hambat Ekstrak Daun Mangrove
(Avicennia marina) Terhadap
Pertumbuhan Bakteri
Mixed
periodontopatogen.
Jurnal
Kedokteran Gigi. 8(1) : 22-25.

Cahyadi, R. 2009. Uji Toksisitas Akut


Ekstrak Etanol Buah Pare
(Momordica
charantia
L)
Terhadap larva Artemia salina
Leach Dengan Metode Brine
Shrimp Lethality Test (BST).
Laporan Akhir Penelitian Karya
Tulis
Ilmiah.
Fakultas
Kedokteran.
Universitas
Dipenogoro. Semarang.
Dwijayanti E., A.H. Alimuddin dan M.A.
Wibowo.
2014.
Skrining
Fitokimia Dan Uji Aktivitas
Sitotoksik Pada Kulit Batang
Tampoi (Baccaurea Macrocarpa)
Terhadap Artemia SalinaLeach
Dengan Metode BSLT. JKK. 3(4)
: 6 10.
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia.
Penuntun
Cara
Modern
Menganalisis
Tumbuhan.
Terjemahan K. Padmawinata & I.
Soediro, Penerbit ITB. Bandung.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi
Minyak dan Lemak Pangan. UI
Press, Jakarta.
Kismiyati., S. Surbekti., R.W.N. Yusuf
dan R. Kusdarwati. 2009. Isolasi
Dan Identifikasi Bakteri Gram
Negatif Pada Luka Ikan Maskoki
(Carassius
Auratus)
Akibat
Infestasi Ektoparasit Argulus Sp.
Jurnal Ilmiah Perikanan dan
Kelautan. 1(2) : 3 6.

Lukistyowati I. 2012. Studi Efektifitas


Sambiloto
(Andrographis
paniculata) Untuk Mencegah
Penyakit Edwardsiellosis Pada
Ikan
Patin
(Pangasius
hypopthalmus). Jurnal Berkala
Perikanan Terubuk. 40(2) : 56-74.
Meilani, S. W. 2006. Uji Bioaktivitas Zat
Ekstraktif Kayu Suren (Toona
sureni Merr) dan Ki Bonteng
(Platea
latifolia
BL.)
Menggunakan Brine Shrimp
Lethality
Test
(BSLT).
Departemen
Hasil
Hutan,
Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Meyer, B.N., N.R. Ferrigni., J.E. Putman.,
L.B. Jacobsen., D.E. Nichols dan
J.L. McLauglin. 1982. Brine
Shrimp : A convenient general
bioassay
for
active
plant
constituents. Planta Med. 45 : 34
35.
Ningsih S.R. 2011. Jamur Saprolegnia sp.
Penyebab Penyakit Pada Ikan.
Jurnal Ilmiah Perikanan. 3(2) : 7
9.
Pane E.A. 2013. Uji Aktivitas Senyawa
Antioksidan dari Ekstrak Metanol
Kulit
Pisang
Raja
(Musa
paradisiaca Sapientum). Jurnal
Valensi. 3(2) : 76-81.

Pelczar, M.J dan E.C.S. Chan. 2005.


Dasar-dasar Mikrobiologi 1 dan
2. Penerjemah Ratna. S.H.
Penerbit Universitas Indonesia :
Jakarta.
Pratiwi S.T. 2008. Mikrobiologi Farmasi.
Penerbit Erlangga. Jakarta.
Purba S.P., S.H. Bhuyan., F. Khatun., M.S.
Liza., M. Matin dan Md. F.
Hossain. 2013. Assessment of
Cytotoxic Activity of Two
Medicinal Plants Using Brine
Shrimp (Artemia salina) as an
Experimental Tool. International
Journal
of
Pharmaceutical
Sciences and Research. 4(3) :
1125 1130.
Ratnawati A., U. Purwaningsih dan
Kurniasih. 2013. Histopatologis
Dugaan
Edwardsiella
tarda
sebagai Penyebab Kematian Ikan
Maskoki (Crassius auratus):
Postulat Koch. Jurnal Sain
Veteriner. Balai Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Air
Tawar, Bogor. 31(1) : 25-29.
Sawitti M.Y., H. Mahatmi dan I. N. K.
Besung. 2013. Daya Hambat
Perasan
Daun
Sambiloto

Terhadap Pertumbuhan Bakteri


Escherichia coli. Jurnal Medicus
Veterinus. 2(2) : 142-150.
Suryanto D., N. Irawati dan E. Munir.
2011.
Isolation
and
Characterization of Chitinolytic
Bacteria and Their Potential to
Inhibit Plant Pathogenic Fungi.
Microbiology Indonesia. 5(3):
144 148.

Anda mungkin juga menyukai