Anda di halaman 1dari 17

KEBOLEHAN WANITA MENJADI PEMIMPIN

AHMAD ABDUL AZIZ (151020200094)

JURUSAN TEKNIK MESIN B2 SEMESTER 1


UNIVERSITAS MUHAMADIYAH SIDOARJO
SIDOARJO
2015/2016

Menjadi seorang pemimpin bukan sebuah hal yang mudah sepertihalnya


mudahnya kita dalam membalikkan telapak tangan, akan tetapi menjadi seorang
pemimpin membutuhkan kejelian, membutuhkan kecerdasan, membutuhkan ilmu,
serta banyak lagi yang dibutuhkan oleh seseorang jika dirinya menginginkan
menjadi seorang pemimpin.
Tidaklah diragunakan lagi bahwa di dalam Islam laki-laki merupakan pemimpin
bagi wanita, sehingga sudahlah sepatutnya di dalam Islam jikalau di dalam
kepemimpinan keluarga saja diberikan kepada seorang laki-laki, bagaimana
dengan kepemimpinan suatu negara?.
Oleh karena itu menjadi sebuah pertanyaan yang kiranya perlu dibahas adalah
bagaimana jika seorang wanita menjadi pemimpin? Bagaimana jika seorang
perempuan menjadi kepala negara? Apakah Islam memperbolehkannya?

Tidak akan berbahagia / berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusan


mereka kepada wanita (mengangkat wanita sebagai pemimpin) .

DERAJAT HADITS
Hadits ini dikeluarkan oleh:
Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya di dua tempat. Kitabul Maghazi bab
Kitab An-Nabi shallallahu alaihi wa sallam ila Kisra wa Qaisar no. 4425 dan
Kitabul Fitan no. 7099.
Imam Abu Isa At-Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Fitan no. 2262 dan beliau
menyatakan: Hadits ini hasan shahih.
Imam An-Nasa`i dalam Sunannya, Kitab Adabil Qudlat bab An-Nahyu an
Istimalin Nisa fi Hukmi no. 2/305 no. 5403.
Al-Hakim dalam Mustadraknya, Kitabul Fitan wal Malahim 4/570 no. 8599 dan
beliau menyatakan: Hadits ini sanadnya shahih dan keduanya (Bukhari dan
Muslim) tidak mengeluarkannya.
Imam Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, bab La Yuwalli Al-Wali Imra`atan
wala Fasiqan wala Jahilan Amral Qadla, Kitab Adabul Qadli, 10/201 no. 20362.
Imam Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, Kitabul Imarah wal Qadla, bab
Karahiyatu Tauliyatin Nisa 6/60 no. 2486. Kata beliau: Hadits shahih.

KEBOLEHAN WANITA MENJADI PEMIMPIN


Page | 1

Al-Khatib At-Tibrizi dalam Misykatul Mashabih, Kitabul Umarah wal Qadla


pasal pertama 2/1091 no. 3693.
Al-Imam As-Suyuthi dalam Jamius Shaghir, lihat Faidlul Qadir karya AlMunawi 5/386 no. 7393 dan beliau (Suyuthi) memberi kode: Shahih.
Dari berbagai jalan dari Al-Hasan dari Abi Bakrah radliyallahu anhu, beliau
menceritakan:


.





:









. .


) :

Sungguh Allah telah memberi aku manfaat dengan satu kalimat yang aku dengar
dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada hari perang Jamal, setelah
hampir saja aku bergabung dengan Ashabul Jamal (Aisyah dan orang-orang yang
bersamanya, pent) dan berperang bersama mereka. Beliau (Abu Bakrah) berkata:
Tatkala sampai (khabar) kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa
penduduk Persia menobatkan putri Kisra sebagai ratu mereka, beliau bersabda:
(lalu beliau menyebutkan hadits di atas).

Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata dalam


kitabnya (Irwaul Ghalil 8/109 no. 2456): Al-Hasan tersebut adalah Al-Bashri. Ia
mudallis (orang yang suka menyamarkan perawi sebuah hadits, pent) dan dia
meriwayatkan hadits ini secara muanan (dengan menggunakan lafadh an yang
artinya dari, pent)[1] pada semua jalan yang tersebut (dalam referensi) di atas.
Namun hadits ini memiliki jalan lain dari Abi Bakrah yang dikeluarkan oleh Imam
Ahmad 5/38 & 47 melalui jalan Uyainah: Telah menceritakan kepadaku dari
ayahku dari Abi Bakrah dengan lafadh:

Tidak akan bahagia / jaya suatu kaum yang menyandarkan urusan mereka kepada
seorang wanita.
Saya (Al-Albani) berkata: Sanadnya jayyid (bagus). Uyainah adalah putra
Abdurrahman bin Jausyan. Dia seorang tsiqah (terpercaya), demikian pula
ayahnya.
Oleh karena itulah beliau menshahihkan hadits ini dalam Al-Irwa` 8/109 no. 2456
dan 8/235 no. 2613, Shahihul Jami no. 5225, Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1847
dan Shahih Sunan An-Nasa`i no. 4981.

KEBOLEHAN WANITA MENJADI PEMIMPIN


Page | 2

Sehingga secara ilmu hadits, riwayat hadits ini derajatnya shahih dan dapat
dijadikan sebagai dalil atau hujjah.
Adapun pernyataan Prof Dr. Nurcholis Majid dalam makalahnya yang dimuat di
Harian Jawa Pos terbitan Minggu Pahing 8 November 1998 halaman 1:
Hukum agama (Islam) tidak secara tegas mengatur boleh tidaknya wanita
menjadi kepala negara atau kepala pemerintahan.
Dia juga menyatakan:
Memang ada hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang
menganjurkan jabatan kepala negara atau kepala pemerintahan semestinya dijabat
oleh pria, meski begitu hadits-hadits tersebut lemah.
Dan insya Allah yang dia maksud adalah hadits yang sedang kita bahas, maka kita
katakan:
Lihatlah pernyataan yang dilontarkan oleh seseorang yang disebut-sebut sebagai
tokoh cendekiawan muslim. Ucapan yang dilontarkan di saat musuh-musuh
rakyat sedang berupaya menghancurkan bangsa Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, dengan mendukung seorang wanita sebagai kepala
negara. Pernyataan di atas tidak keluar dari dua kemungkinan:
1. Pernyataan tersebut dilontarkan oleh seorang yang jahil (bodoh) yang sama
sekali tidak mengerti kaidah ilmu hadits dalam masalah tashhih (menshahihkan)
dan tadlif (melemahkan) sehingga orang tersebut perlu diajari sampai dia
mengerti. Dan sungguh naif orang seperti ini disebut cendekiawan / tokoh
muslim, apalagi ulama.
2. Pernyataan tersebut dilontarkan oleh shahibul hawa (pengekor hawa nafsu)
yang mempunyai misi dan tujuan untuk membikin makar terhadap kaum
muslimin. Maka kita harus memperingatkan umat dari bahaya pemikirannya.
Kalaulah kita mencermati sepak terjangnya dalam dunia keislaman, dengan
pemikiran dan pernyataan-pernyataannya yang menyimpang, maka kedua
kemungkinan di atas ada pada dia, sekalipun yang kedua lebih menonjol. Wallahu
mustaan.
Sangatlah disayangkan pada jaman modern seperti sekarang ini atau yang biasa
disebut era globalisasi, masih banyak kaum muslimin yang tidak menjadikan
hadits tersebut di atas sebaga dasar, dalil / hujjah dengan alasan kuno yang sudah
lama dilontarkan rasionalis sesat yang berkiblat kepada orang kafir dari Yunani
kuno, yaitu alasan bahwa hadits tersebut adalah ahad (diriwayatkan oleh satu
orang), seperti pernyataan seorang Wahyuni Widyaningsih, manajer kajian pada
Elsad, Surabaya dalam tulisannya yang berjudul Presiden Perempuan di mata
KEBOLEHAN WANITA MENJADI PEMIMPIN
Page | 3

Islam, dimuat di Jawa Pos senin legi 2 November 1998 di halaman 4. Atau
orang-orang yang sepaham dengan dia.
Pemikiran tersebut menyimpang karena pemikiran seperti ini pada kenyataannya
menyalahi prinsip Islam itu sendiri. Al-Qur`an dan Al-Hadits dan kesepakatan
para ulama Islam yang diakui keilmuannya telah menunjukkan bahwa semua
hadits shahih yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam baik itu ahad
ataupun mutawatir wajib diterima, baik yang berbicara masalah aqidah maupun
hukum-hukum syariat, dan hadits-hadits tersebut dapat dijadikan dasar hukum.
Apabila ada seseorang yang menyelisihi kesepakatan ini, maka dia telah
mengadakan perkara baru (membuat bidah, ed) dalam masalah agama. Lihat
penjelasan Imam Asy-Syafii tentang masalah ini dalam kitabnya Ar-Risalah
halaman 401 453 dan Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam
kitabnya Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil Aqaid wal Ahkam halaman 51-72.
Ada pula beberapa tokoh yang menyatakan bahwa hadits di atas tidak dapat
dijadikan dasar dengan alasan latar belakang penuturan hadits ini (asbabul wurud,
ed). Hadits ini diucapkan oleh Rasulullah pada saat mendengar kabar bahwa
penduduk Persia menobatkan putri Kisra yaitu Buran sebagai kepala negara
mereka. Melihat latar belakang yang demikian, tampak hadits di atas sangat
kasuistik dan tradisional sekali (menunjukkan pada konteks tertentu). Demikian
dinyatakan oleh Dr. Said Aqil Siradj, Katib Am Syuriah PB NU dalam tulisannya
yang berjudul Pro dan Kontra Presiden Wanita yang dimuat di Jawa Pos terbitan
Sabtu 21 November 1998 dan pernyataan Dr. Alwi Shihab, seorang staf pengajar
lulusan Universitas Harvard USA, dan juga ketua PKB dalam tulisannya yang
berjudul Memperhatikan Prinsip daripada Label. Dimuat di Jawa Pos terbitan
Selasa 17 November 1998.
Kita katakan: Sebab penuturan hadits di atas memang seperti yang telah
dijelaskan. Namun kalau kita lebih mencermati riwayat-riwayat hadits ini dalam
referensi yang telah kita cantumkan di awal, maka kita akan mendapatkan
kejelasan bahwa hadits ini tidak kasuistik atau menunjukkan konteks tertentu,
dalam hal ini adalah penduduk Persia. Buktinya, sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam di atas dijadikan dasar oleh Abu Bakrah radhiyallahu anhu
untuk tidak bergabung dengan pasukan yang dipimpin oleh Aisyah radhiyallahu
anha dalam perang Jamal. Bahkan hadits ini dijadikan pedoman untuk menilai
kedua belah pihak (pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Aisyah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari 13/60 setelah
membawakan hadits di atas menyatakan: Al-Ismaili menambahkan di akhir
hadits dari jalan An-Nadlr bin Syumail dari Auf bahwa Abu Bakrah menyatakan:

Maka saya tahu bahwa ashabul jamal (Aisyah dan tentaranya) tidak akan jaya /
menang. (Lihat Irsyadul Sari 5/49 oleh Al-Qasythalani)
KEBOLEHAN WANITA MENJADI PEMIMPIN
Page | 4

Pernyataan beliau radhiyallahu anhu bukan karena ada tendensi politik seperti
yang dikatakan saudari Wahyuni Widyaningsih, namun murni semata-mata
menyampaikan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kita katakan
demikian karena beliau salah satu shahabat Rasul, sedangkan para ulama telah
sepakat bahwa semua shahabat adalah udul (adil). Ini juga menunjukkan
pemahaman beliau terhadap hadits tersebut.
Pernyataan beliau juga tidak berarti menghina atau meremehkan kemampuan
Aisyah radhiyallahu anha. Ibnu Bathal menukilkan dari Al-Muhallab, beliau
menjelaskan:
Dhahir hadits Abu Bakrah terkesan meremehkan pendapat Aisyah dalam
perbuatan yang ia lakukan, padahal tidaklah demikian. Karena menurut
pendapat yang masyhur, Abu Bakrah pada dasarnya sependapat dengan Aisyah,
yaitu ingin mengadakan perdamaian di kalangan massa dan tidak bermaksud
untuk berperang. Namun tatkala api perang telah menyala, orang-orang yang
bersama Aisyah mau tidak mau harus ikut berperang. Abu Bakrah sendiri tidak
ruju dari pendapat semula. Hanya saja beliau mendapatkan firasat bahwa
mereka akan kalah karena mereka dipimpin oleh Aisyah tatkala beliau ingat
sabda Rasul tentang bangsa Persia
Pernyataan beliau ini justru menunjukkan bahwa faktor penentu utama bagi posisi
kepala negara adalah gender, bukan semata-mata integritas, kemampuan dan
dukungan masyarakat. Karena kita semua sepakat bahwa Aisyah memiliki
kemampuan dan pada waktu itu mendapat dukungan dari sebagian shahabat
Rasul. Wallahu alam.
Dari sinilah kita kembali kepada kaidah masyhur yang telah disepakati oleh para
ulama:

Yang menjadi patokan pengambilan suatu hukum adalah pengertian umum dari
suatu kata, dan bukan pada konteks atau sebabnya yang spesifik.
Juga ada kaidah ushul fiqh:

Apabila isim nakirah terletak setelah teks nafi (peniadaan) atau nahi (larangan)
atau syarat atau istifham (pertanyaan), maka ia menunjukkan makna umum.
(Lihat Al-Qawaidul Lisan li Tafsiril Qur`an [masuk bagian Tafsir As-Sa`di] 5/472
dan Al-Ushul min Ilmil Ushul hal. 23 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin)

KEBOLEHAN WANITA MENJADI PEMIMPIN


Page | 5

Lafadh hadits di atas sesuai dengan kaidah tersebut dimana kata qaumun
sebagai isim nakirah jatuh setelah teks nafi yaitu lan yuflih
hadits tersebut di atas menunjukkan pengertian umum.

, maka

PENJELASAN HADITS
Hadits di atas dijadikan dasar para ulama untuk melarang seorang wanita
memangku jabatan sebagai kepala negara. Berikut ini akan saya nukilkan
keterangan ulama berbagai madzhab tentang hadits di atas:
Ibnu Hazm Adh-Dhahiri dalam kitabnya Al-Fashl 4/110 menyatakan: Seluruh
golongan Ahli kiblat (muslimin), tidak ada seorang pun dari mereka yang
memperbolehkan kepemimpinan seorang wanita. (Lihat Al-Imamatul Udhma
hal. 246).
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam kitab Al-Mughni 10/92 menjelaskan alasan
seorang wanita tidak boleh menjadi hakim atau pemimpin:
karena seorang hakim (qadli) harus menghadiri tempat pengadilan dan
perkumpulan lelaki dan membutuhkan pandangan yang tajam serta kecerdasan
akal yang sempurna. Sementara wanita adalah makhluk yang kurang akalnya,
dangkal pandangan pemikirannya, tidak boleh hadir pada perkumpulan kaum
lelaki dan tidak diterima persaksiannya (dalam pengadilan) sekalipun 1000
(seribu) wanita selama tidak ada laki-laki (yang ikut jadi saksi). Allah telah
mengingatkan sifat pelupa mereka dalam firman-Nya:

supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. (AlBaqarah: 282)
Seorang wanita tidak layak memangku jabatan kepemimpinan tertinggi dan tidak
pula mengatur sebuah negara. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, para khalifahnya dan para ulama yang datang sepeninggal beliau tidak
pernah mengangkat seorang wanita sebagai hakim atau mengatur sebuah
wilayah di suatu negara. Menurut berita yang sampai kepada kami, kalaulah
boleh, maka tidak akan kosong seluruh masa dari kepemimpinan wanita.
Abu Muhammad Al-Husain bin Masud Al-Baghawi dalam kitabnya Syarhus
Sunnah 6/60 menjelaskan:
(Para ulama) sepakat bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi pemimpin dan
hakim (qadli) karena seorang imam (pemimpin) perlu keluar untuk mengurusi
permasalahan jihad (perang) dan urusan kaum muslimin. Sementara seorang
hakim harus keluar untuk memutuskan berbagai permasalahan. Sedangkan
KEBOLEHAN WANITA MENJADI PEMIMPIN
Page | 6

wanita adalah aurat, tidak boleh keluar (dari rumahnya). Wanita sering kali tidak
mampu mengurusi banyak perkara karena kelemahannya dan dikarenakan wanita
itu kurang (agama dan akalnya). Padahal kepemimpinan dan kehakiman itu
adalah jabatan yang sempurna , tidak boleh dijabat kecuali oleh kaum lelaki yang
sempurna.
Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki dalam kitabnya Aridlatul Ahwadzi juz 9/119
setelah membawakan hadits ini menjelaskan:
Hadits ini menunjukkan bahwa kepemimpinan itu adalah hak lelaki. Tidak ada
celah bagi wanita dalam masalah ini menurut kesepakatan (ulama, pent).
Muhammad Abdurrauf Al-Munawi dalam kitabnya Faidhul Qadir 5/386 setelah
menyebutkan hadits ini menyatakan:
yang demikian itu karena kekurangan yang ada pada seorang (wanita) dan
kelemahan pandangannya (rasionya), juga karena seorang pemimpin dituntut
untuk keluar mengurusi problem rakyat. Sedangkan seorang wanit adalah aurat
yang tidak mungkin keluar melakukan tugas seperti itu. Maka ia tidak sah
menjadi seorang pemimpin dan hakim.
At-Thibi menjelaskan:
Hadits ini menyandarkan ketidakbahagiaan, ketidakjayaan bangsa Persia
secara takid (penekanan) dan pada hadits ini ada isyarat bahwa kejayaan milik
bangsa Arab, sehingga berita ini merupakan mujizat.
Imam As-Shanani dalam Subulus Salam Kitabul Qadla 4/229 menjelaskan
hadits ini:
Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tidak bolehnya seorang wanita
memimpin sesuatu pun dari hukum-hukum yang bersifat umum di kalangan
muslimin.
Beliau juga menegaskan:
Hadits ini mengabarkan tentang ketidakjayaan suatu kaum yang mengangkat
wanita sebagai pemimpin. Sedangkan kita dilarang melakukan sesuatu yang
mengakibatkan ketidakjayaan / ketidakbahagiaan pada diri kita dan
diperintahkan untuk berupaya mengerjakan sesuatu yang membawa kepada
kebahagiaan dan kejayaan.
Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar juz 8/272 bab Al-Mu`min
Wilayatil Mar`ati was Shabiyi wa Man La Yuhsinul Qadla menerangkan:

KEBOLEHAN WANITA MENJADI PEMIMPIN


Page | 7

Pada hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seorang wanita
bukanlah orang yang pantas dan berhak menjadi pemimpin. Bahkan tidak halal
bagi suatu kaum mengangkat seorang wanita sebagai pemimpin. Sedangkan
menjauhkan diri dari perkara yang membawa kepada ketidakbahagiaan adalah
wajib.
Dalam kitabnya yang lain yaitu As-Sailul Jarar 4/505 ketika berbicara tentang
syarat seorang pemimpin harus pria, beliau menjabarkan:
Alasannya adalah karena kaum wanita adalah orang yang kurang akal[2]
dan agamanya sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam. Orang yang seperti itu keadaannya, tentu saja sangat tidak pantas
mengurusi problem umat. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda dalam sebuah hadits yang shahih:

Tidak akan jaya suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita.
Al-Allamah Muhammad Amin Asy-Syinqithi dalam Adlwaul Bayan 1/52
menjelaskan:
Termasuk syarat kepala negara adalah dia seorang pria. Tidak ada ikhtilaf
dalam masalah ini di kalangan para ulama. Dalilnya adalah hadits yang terdapat
dalam Shahih Bukhari dan yang lainnya dari hadits Abi Bakrah bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam tatkala sampai pada beliau kabar bahwa penduduk
Persia menobatkan putri Kisra sebagai ratu (kepala negara), beliau bersabda:
(hadits di atas).
Shafiyur Rahman Al-Mubarak Furi dalam Ithaful Kiram hal. 417-418
menerangkan:
Hadits ini umum mencakup semua kepemimpinan dalam suatu pemerintahan
sampai jabatan terkecil sekalipun, walaupun hadits ini disabdakan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tatkala sampai berita bahwa penduduk
Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin (kepala negara) mereka
Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam dalam Taudhihul Ahkam 6/142 juga
menjelaskan:
Hadits ini secara tegas menyatakan tidak sahnya kepemimpinan seorang
wanita, dan suatu masyarakat atau bangsa yang mengangkat seorang wanita
sebagai pemimpin tidak akan bahagia, baik dalam urusan duniawi maupun
urusan ukhrawi. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya adalah tiga
imam madzhab di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah yaitu Malik, Asy-Syafii
dan Ahmad.
KEBOLEHAN WANITA MENJADI PEMIMPIN
Page | 8

Sementara Abu Hanifah berpendapat boleh mengangkat wanita sebagai


pemimpin dalam masalah hukum kecuali hukum-hukum had. Namun pendapat ini
bertentangan dengan nash dalil dan fitrah Rabbani. Sekalipun dia (wanita)
memiliki kekuatan dan mendapat dukungan masyarakat, tetap mereka tidak akan
bahagia / jaya dalam urusan duniawi maupun urusan agama. Wallahul mustaan.
(Lihat kembali ucapan ulama tentang Abu Hanifah pada edisi 29 majalah Salafy)
Demikian penjelasan para ulama jaman dahulu maupun sekarang tentang hadits
ini atau permasalahan yang dibahas dalam hadits ini. Semuanya menjelaskan tidak
bolehnya wanita menjadi pemimpin. Hujjah mereka kita susun sebagai berikut:
1. Firman Allah Subhanahu wa Taala yang tersebut dalam surat An-Nisa 34:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). Dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (AnNisa: 34)
Silakan lihat pembahasan ini dalam rubrik Tafsir edisi kali ini.
2. Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang sedang kita bahas kali ini
berikut penjelasan ulama tentangnya.

3. Ijma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para khalifah beliau dan


generasi setelah mereka sampai sekarang ini tidak pernah mengangkat wanita
sebagai pemimpin. Ini menunjukkan adanya kesepakatan di kalangan mereka
(ijma). Ijma (kesepakatan ulama) merupakan argumentasi yang signifikan karena
Allah tidak akan mengumpulkan umat ini di atas kesalahan.
Kalau ada yang mengatakan bahwa kaum wanita pada waktu itu tidak ada yang
menjabat sebagai pemimpin karena kondisi sosial dan kedudukan wanita yang
sangat terpuruk seperti pernyataan Dr. Alwi Shihab dalam tulisan beliau yang
berjudul Memperhatikan Prinsip daripada Label yang dimuat di Jawa Pos
Selasa 17 November 1998, maka kita dapatkan:
1. Kita semua sepakat bahwa syariat yang Allah tetapkan melalui lisan Rasul-Nya
shallallahu alaihi wa sallam telah sempurna. Dijelaskan Rasul melalui sunahnya
dan telah dipraktekkan beliau bersama para shahabatnya radliyallahu anhum.
Apa yang dikerjakan Rasul dan para shahabatnya adalah yang terbaik dan
membawa kebaikan dunia dan akhirat dan karena itu kita juga ikut
mengerjakannya. Apa yang ditinggalkan Rasul dan para shahabatnya (padahal
beliau mampu dan mungkin mengerjakannya) adalah jelek, tidak membawa
KEBOLEHAN WANITA MENJADI PEMIMPIN
Page | 9

kebaikan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan kita pun harus pula
meninggalkannya.
Apabila Rasul memberitahukan tentang suatu perbuatan / amalan yang membawa
kepada kebahagiaan dan kejayaan, maka kita harus meyakini kebenaran berita
tersebut dan kita berupaya melaksanakan amalan tersebut.
Dan apabila Rasul memberitahukan tentang suatu amalan yang membawa kepada
ketidakbahagiaan atau ketidakjayaan, maka kita harus membenarkannya dan kita
diperintah untuk menjauhi / meninggalkan hal tersebut. Allah Subhanahu wa
Taala berfirman:

Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkannya. (Al-Hasyr: 7)
2. Kita semua meyakini bahwa syariat Allah adalah adil, sesuai dengan fitrah dan
dapat diterapkan di setiap tempat dan masa. Apa yang Allah dan Rasul-Nya
tetapkan, itulah yang terbaik bagi umat ini dan apa yang Allah dan Rasul-Nya
larang, itulah yang akan membawa kesengsaraan dan kebinasaan umat ini.
Ketetapan ini berlaku bagi semua manusia, baik laki-laki maupun wanita, bangsa
Arab maupun non-Arab.
3. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah sabdanya yang masyhur
telah memberitakan:

Sebaik-baik manusia adalah generasiku (shahabat) kemudian yang setelah


mereka (tabiin), kemudian yang setelah mereka (tabiut tabiin). (Muttafaqun
alaihi, lihat Al-Misykah no. 3767)
Kondisi sosial suatu masyarakat tidak bisa dinilai dengan materi semata, karena
kita melihat kenyataan adanya suatu negeri yang baik dari segi materi namun
rusak dari segi moral dan keagamaannya sehingga tindak kriminal dan berbagai
problem masyarakat menjamur di negeri tersebut. Kebahagiaan dan kejayaan
negeri itupun bersifat semu.
Maka sebaik-baik kondisi sosial suatu masyarakat yang pernah ada di dunia ini
adalah generasi Nabi beserta para shahabatnya, tabiin dan tabiut tabiin.
4. Sejarah membuktikan, pada jaman jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, derajat, harkat, dan martabat kaum wanita diinjakinjak. Mereka dihinakan dan dilecehkan. Hak-hak mereka tidak dipenuhi. Bayi
wanita dikubur hidup-hidup dan mereka hanya dijadikan sebagai pemuas hawa
nafsu birahi kaum lelaki. Namun setelah diutusnya Rasulullah shallallahu alaihi
KEBOLEHAN WANITA MENJADI PEMIMPIN
Page | 10

wa sallam, dengan syariatnya Allah Subhanahu wa Taala, mengangkat derajat


kaum wanita, hak-hak mereka dipenuhi, kehormatan mereka dilindungi dan Allah
Taala memberikan kepada mereka suatu jabatan mulia sesuai dengan fitrah
kewanitaan mereka dan yang membesarkan mereka hingga menjadi generasi
Rabbani.
Apabila kaum wanita diberi suatu jabatan yang tidak sesuai dengan fitrah
kewanitaannya, bahkan jabatan itu akan membuat mereka kembali kepada jaman
jahiliyah, maka berarti hak-hak mereka terinjak-injak, tak terpenuhi dan
menentang misi Islam itu sendiri.
Maka pernyataan yang dilontarkan oleh Dr. Alwi Shihab di atas justru mewakili
misi orang-orang kafir yang berupaya merusak kehidupan dunia ini dengan
mengembalikan kaum wanita seperti jaman jahiliyah dahulu, dipoles dengan nama
emansipasi wanita, kebebasan berpikir (tidak jumud) dan berbagai label lainnya.
Pernyataan di atas justru menunjukkan kejumudan cara berpikir Dr. Alwi Shihab
yang notabene meniru pemikiran picik rasionalis sesat baik dahulu maupun
sekarang. Wallahul mustaan.
4. Kaum wanita adalah aurat, mereka diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya
untuk tinggal di rumah demi menjaga kehormatan dan haknya. Mereka tidak
boleh keluar rumah ke tempat perkumpulan lelaki kecuali karena terpaksa dan
harus dengan mahram. Allah Taala memerintahkan dengan firman-Nya:

Dan hendaklah kaum (istri-istri Nabi) tetap di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. (AlAhzab: 33)
5. Kaum wanita adalah makhluk yang kurang dari segi akal dan agamanya,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:


:
:
:

:


:
















Aku tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang mampu
meluluhkan hati seorang laki-laki yang tegas kecuali kalian (kaum wanita).
KEBOLEHAN WANITA MENJADI PEMIMPIN
Page | 11

Mereka (para shahabat wanita) bertanya: Apa yang menyebabkan kurangnya


agama dan akal kami, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Bukankah
persaksian wanita seperti setengah persaksian seorang lelaki? Mereka
menjawab: Ya. Beliau menjawab: Maka itulah yang dimaksud kurang
akalnya. Bukankah apabila wanita haid, ia tidak shalat dan tidak puasa?
Mereka menjawab: Ya. Beliau bersabda: Itulah yang dimaksud kurang
agamanya. (HSR. Bukhari 364 dan Muslim 79)
6. Syarat utama yang menentukan posisi jabatan kepala negara adalah gender dan
para ulama telah sepakat dalam hal ini (yaitu laki-laki), bukan semata-mata
kemampuannya, kesediannya ataupun dukungan masyarakatnya.
Syubhat dan Bantahannya
Muhammad Al-Ghazali dalam kitabnya As-Sunnah An-Nabawiyyah baina Ahlil
Fiqhi wal Hadits hal. 48-50 (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul Studi Kritis terhadap Hadits menyatakan bahwa:
Hadits di atas tidak dimaksudkan sebagai prinsip Islam yang mewajibkan pria
menjadi kepala negara karena akan bertentangan dengan kandungan Al-Qur`an di
surat An-Naml yang memuji kebijakan dan kearifan kerajaan Saba` (Ratu Sheba
yang bernama Balqis). Dengan demikian, hadits di atas tidak dapat dijadikan
sumber hukum.
Pernyataan ini juga dinukil dan dilontarkan oleh Dr. Alwi Shihab dalam tulisannya
yang dimuat di Jawa Pos Selasa 17 November 1998.
Jawaban dari syubhat di atas sebagai berikut:
1. Kita mempunyai prinsip bahwa Kalamullah (Al-Qur`an) selamanya tidak
bertentangan satu sama lain. Demikian pula kita meyakini bahwa sabda
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang shahih, tidak akan bertentangan
dengan Kalamullah, bahkan sebagai penjelas dan penerangnya. Allah Taala
berfirman:

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur`an? Kalau kiranya Al-Qur`an


itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya. (An-Nisa: 82)

Bila kita mendapati adanya pertentangan dalam Al-Qur`an, maka kita harus
membawa masing-masing ayat kepada makna yang sesuai dengannya
(dikompromikan) dan kita tidak boleh membuang atau menolak sebagian ayat dan

KEBOLEHAN WANITA MENJADI PEMIMPIN


Page | 12

menerima sebagian yang lain, karena perbuatan tersebut adalah akhlak musyrikin.
Allah berfirman:

(Yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al-Qur`an itu terbagi-bagi (yakni


menerima sebagian dan menolak sebagian yang lain). (Al-Hijr: 91)
2. Imam Al-Alusi dalam kitabnya Ruhul Maani 10/185 menjelaskan firman Allah
dalam surat An-Naml 23:

Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintahkan mereka, dan


dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.
Beliau menyatakan:
Ayat ini tidak menunjukkan kebolehan seorang wanita sebagai ratu (pemimpin
negara) dan tidak diperbolehkan berhujjah dengan perbuatan kaum kafir dalam
permasalahan (kepemimpinan) ini. Dalam Shahih Bukhari dari Ibnu Abbas[3]
bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tatkala menerima berita bahwa
penduduk Persia mengangkat putri Kisra sebagai ratu, beliau bersabda: (hadits
tersebut di atas).
Imam Al-Baghawi dalam Tafsirnya Maalimut Tanzil 3/414 juga menjelaskan ayat
di atas dengan membawakan riwayat hadits tersebut.
Bahkan kalaupun terjadi pada masa itu orang-orang dijajah/diperintah seorang
wanita maka itu adalah syariat orang sebelum kita contoh seperti ini misalnya;
sujudnya keluarga Yusuf kepada nabi Yusuf alaihissalam. Dengan penjelasan para
ulama yang telah tersebut di atas dan terbantahnya berbagai syubhat sekitar
masalah ini, maka jelas bagi kita bahwa kaum wanita tidak boleh menjadi kepala
negara. Inilah prinsip Islam yang harus diyakini para pemeluknya.
Dan kita menasehatkan kepada kaum muslimin dan muslimat agar mereka
mengetahui (mengilmui) prinsip agama mereka supaya dengan mantap memeluk
dan meyakininya dan jangan sampai mereka terombang-ambing oleh teriakan
orang-orang yang berupaya mati-matian membikin makar untuk menghancurkan
kehidupan bangsa dan negara mereka, sekalipun dipoles dengan label reformasi
dan perjuangan demokrasi.
Mudah-mudahan Allah Taala menyelamatkan bangsa dan masyarakat kita dari
kehancuran dan kebinasaan dan mudah-mudahan Allah Taala mengokohkan hati,
KEBOLEHAN WANITA MENJADI PEMIMPIN
Page | 13

iman dan takwa kita supaya kita tetap di atas al-haq (kebenaran) di dalam
mensikapi kondisi yang terjadi di negara kita.

Ya Allah,
perbaikilah keadaan pemerintah kami.
Berilah taufiq dan hidayah kepada mereka.
Anugerahkan kepada mereka kesehatan dan keadilan dalam memimpin kami
dan jadikanlah teman akrab mereka orang-orang yang shalih yang Engkau
ridhai.
Amin ya mujibas sailin.

DAFTAR REFERENSI:
1. Adlwaul Bayan, Muhammad Amin Asy-Syanqithi, cet. Darul Kutub AlIlmiyyah, takhrij Muhammad Abdul Aziz al-Khalidi.
2. Al-Imamatul Udhma, Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji, cet. Dar Thayyibah.
3. Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, cet. Darul Fikr.
4. Al-Mustadrak, Al-Hakim An-Naisaburi, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyah, Dirasah
wa tahqiq Musthafa Abdul Qadir Atha.
5. Aridlatul Ahwadzi, Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki, cet. Dar Ihyaut Turats.
6. Al-Qur`anul Karim.
7. As-Sailul Jarar, Imam Asy-Syaukani, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tahqiq
Mahmud Ibrahim Zayid.
8. As-Sunanul Kubra, Imam Al-Baihaqi, cet. Darul Kutub Ilmiyyah, tahqiq
Muhammad Abdul Qadir Atha.
9. Fathul Bari, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani, cet. Dar Ad-Dayyan At-Turats.
10. Faidlul Qadir, Al-Allamah Muhammad Abdur Rauf Al-Munawi, cet. Darul
Kutub Al-Ilmiyyah, tashshih Ahmad Abdus Salam.
KEBOLEHAN WANITA MENJADI PEMIMPIN
Page | 14

11. Irwaul Ghalil, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cet. Al-Maktab Al-Islami.


12. Irsyadus Sari, Al-Qasthalani, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tashshih
Muhammad Abdul Aziz Al-Khalidi.
13. Ithaful Kiram, Shafiyur Rahman Al-Mubarak Furi, cet. Darul Faiha dan Dar
As-Salam.
14. Nailul Authar, Asy-Syaukani, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tashshih
Muhammad Salim Hasyim.
15. Maalimut Tanzil, Al-Baghawi, cet. Darul Marifah, tahqiq Khalid
Abdurrahman Al-Ukk dan Marwan Suwar.
16. Misykatul Mashabih, Al-Khatib At-Tibrizi, cet. Al-Maktab Al-Islami, tahqiq
Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
17. Ruhul Maani, Mahmud Al-Alusi, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tashshih Ali
Abdul Bari Athiyah.
18. Shahih Jamius Shaghir, Al-Albani, cet. Maktab Al-Islami.
19. Shahih Sunan At-Tirmidzi, Al-Albani, cet. Maktab Al-Islami.
20. Shahih Sunan An-Nasa`i, Al-Albani, cet. Maktab Al-Islami.
21. Subulus Salam, Ash-Shanani, cet. Darul Fikr, tahqiq Muhammad Abdul Qadir
Atha`.
22. Syarhus Sunnah, Al-Baghawi, cet. Maktabah At-Tijariyah, tahqiq Said AlLahham.
23. Taisirul Karimir Rahman, Nashir As-Sadi, cet. Darul Fikr, murajaah Alaus
Said.
24. Taudlihul Ahkam, Abdullah Al-Bassam.

[1] Orang yang suka menyamarkan perawi hadits, tidak diterima haditsnya kecuali
dia mengatakan dengan jelas bahwa dia mendengar sendiri secara langsung dari
perawinya, misalnya dengan lafadh: Berkata kepadaku, aku mendengar
darinya, atau dia mengabarkan kepadaku. Adapun jika dia mengatakan dengan
tidak jelas seperti: dari fulan, belum tentu ia mendengar darinya secara
KEBOLEHAN WANITA MENJADI PEMIMPIN
Page | 15

langsung. Bisa jadi melalui perawi yang ia sembunyikan karena dia seorang
mudallis. Ed.
[2] Lemah dalam menganalisa suatu persoalan.
[3] Yang terdapat dalam Shahih Bukhari bukan dari Ibnu Abbas radliyallahu
anhu, namun dari Abi Bakrah radliyallahu anhu. Mudah-mudahan Allah
mengampuni kesalahan beliau (Al-Alusi) rahimahullah. (pent).
(Sumber: Majalah Salafy rubrik Hadits edisi XXX/1420 H/1999 M, judul asli
Menolak Kepemimpinan Wanita. Penulis ustadz Muhammad Afifuddin. Dikutip
dari http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=24).
Oleh: Al-Ustadz M. Afifuddin
sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=717
https://abihumaid.wordpress.com/2008/06/10/jika-wanita-jadi-pemimpin/

KEBOLEHAN WANITA MENJADI PEMIMPIN


Page | 16

Anda mungkin juga menyukai