Anda di halaman 1dari 10

Inkubasi telur

Inkubasi telur adalah proses penjagaan atau perawatan sesuatu hal dengan kondisi
tertentu agar sesuatu hal tersebut dapat berkembang dengan baik. Inkubasi telur yaitu
menjaga telur dengan temperature tertentu dan ditempat yang jauh dari para pengganggu.
Inkubasi memerlukan tahapan waktu atau yang biasa disebut masa inkubasi. Menentukan
temperature yang tepat pada masa inkubasi penting karena suhu terlalu tinggi sehingga
pada masa inkubasi penetasan terdapat tahapan perkembangan telur yang tidak sempurna
dan prematur sehingga larva tidak mampu bertahan hidup setelah menetas ( Mariska et
al.,2013).

Perlakuan

perbedaan

suhu

inkubasi

memberikan

pengaruh

terhadap

perkembangan embrio, lama waktu penetasan, lama waktu penyerapan kuning telur, namun
tidak berpengaruh nyata terhadap abnormalitas ( Wahyuningtias, 2016).
Di Indonesia banyak pembudidaya secara umum melakukan inkubasi telur dalam air
yang diam atau menggenang. Inkubasi dalam air menggenang (stagnant water) pada
umumnya dilakukan dalam akuarium dan tidak memerlukan peralatan yang mahal.
Teknologi sederhana dan murah ini merupakan sistem inkubasi yang paling banyak
dilakukan di Indonesia. Namun demikian kekurangan cara ini adalah resiko pencemaran air
oleh bahan-bahan organik, terutama terakumulasi dari telurtelur yang mati. Untuk
membatasi masalah ini, kuantitas telur yang diinkubasi harus dibatasi dalam setiap
akuarium (maksimum yang disarankan adalah 100 telur per liter). Karena itu, untuk
produksi benih ikan skala besar, teknik ini memerlukan jumlah akuarium yang banyak,
demikian juga memerlukan areal yang luas untuk tempat penetasan telur (hatchery). Untuk
menghindari suhu yang tidak diinginkan, akuarium harus diisi dengan air sebelum

memasukkan telur-telur guna menyeimbangkan suhu dan meningkatkan konsentrasi


oksigen terlarut (dengan aerasi). Air yang digunakan untuk inkubasi telur harus bersih dan
diberi pembasmi kuman seperti formalin untuk mengontrol perkembangan jamur
(Saprolegnia sp.). Untuk mencegah efek samping dari obat-obatan yang mengandung racun
dan berdampak terhadap telur, pemberian desinfektan ini harus dilakukan 12 jam sebelum
memasukkan telur. Dosis yang dianjurkan 10 sampai 15 mL.m-3 formalin bisa
menghambat pertumbuhan jamur dan membasmi kuman dalam air inkubasi tanpa resiko
bagi telur dan larva ikan ( Slembrouck et al., 2005).
Penyebaran telur yang merata dalam satu lapisan didasar tangki sangat menentukan
keberhasilan inkubasi. Ini memungkinkan setiap telur berada dalam kondisi bagus di dalam
air. Dengan cara ini, telur-telur yang bagus tidak terinfeksi oleh telur yang rusak dan mulai
membusuk. Setelah pembuahan dan pencucian dari kelebihan sperma, aerasi dalam
akuarium dihentikan lalu kemudian telur-telur bisa disebar dengan perlahan menggunakan
bulu ayam pada permukaan air. Disarankan untuk mencampur telur-telur dan air dengan
hati-hati untuk memperoleh penyebaran telur yang merata dalam akuarium. Karena telurtelur P. djambal mudah tenggelam, penyebaran secara merata akan memungkinkan telurtelur mencapai dasar akuarium dalam formasi satu lapisan. Setelah beberapa menit dan
telur-telur telah menempel di bagian dasar kaca, aerasi dapat dibuka lagi tanpa mengganggu
telur-telur yang sedang diinkubasikan ( Slembrouck et al., 2005).
Menurut Wahyuningtias (2016) Dalam proses inkubasi telur dipengaruhi oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah suhu. Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa
suhu berpengaruh terhadap penetasan telur serta presentase kelangsungan hidup.

Peningkatan suhu pada media inkubasi berbanding lurus dengan peningkatan daya tetas
telur hingga mencapai suhu optimal (Andriyanto et al., 2013). Namun suhu yang terlalu
tinggi atau terlalu rendah dapat menghambat proses penetasan, bahkan suhu yang terlalu
ekstrim atau berubah secara mendadak dapat menyebabkan kematian embrio dan kegagalan
penetasan ( Wahyuningtias, 2016).

Inkubasi telur
Metode yang digunakan dalam Inkubasi telur dengan pemijahan semi buatan adalah
sebagai berikut:
1.

Siapkan kolam penetasan, yang sudah di bersihkan, setelah itu isikan air.

2.

Pasang heatter dan atur suhu yang sesuai dan pasang aerator untuk meningkatkan
konsentrasi oksigen terlarut serta masukkan kakaban.

3.

Masukan indukan yang telah disuntik ovaprim dan siap memijah, setelah itu biarkan
indukan.

4.

Amati tingkah laku indukan, dan cek setiap jam untuk melihat apakah telur telah
keluar.

5.

Setelah telur keluar segera pindahkan induk dari kolam penetasan, dan ambil beberapa
telur untuk perhitungan dan pegamatan.

6.

Amati perkembangan telur, setelah telur menetas dan terlepas dari kakaban.

7.

Angkat kakaban yang sudah digunakan lalu dicuci setelah itu simpan kembali.

Kualitas Air

Hasil kisaran yang didapat dari pengamatan kualitas air pada Praktikum Teknologi
Pembenihan Ikan dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Kualitas Air
No

Parameter

1
2
3
4

Suhu
DO
pH
Salinitas

Waktu
07.00
25,4 28
2,94 7,4
7,3 7,9
0

17.00
26,1 28
2.77 3,4
7,5 7,91
0

Data pengukuran kualitas air selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.


Lampiran . Hasil Pengukuran Kualitas Air
Suhu
No Hari/Tanggal
Waktu
(0C)
1
Senin/7-11-2016
07:00
28
17:00
28
2
Selasa/8-11-2016
07:00
27
17:00
27,4
3
Rabu/9-11-2016
07:00
26,4
17:00
26,4
4
Kamis/10-11-2016
07:00
25,4
17:00
26,1
5
Jumat/11-11-2016
07:00
26
17:00
26,1

DO
(mg/l)
3,0
3,4
3,2
2,9
7,40
3,15
2,94
2,95
3,4
2,77

pH

Salinitas

7,4
7,5
7,3
7,7
7,83
7,86
7,77
7,91
7,9
7,75

0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Kualitas Air
Suhu merupakan salah satu variabel terpenting dalam pertumbuhan embrio dalam
telur lele karena akan berpengaruh terhadap laju penyerapan kuning telur. Hal ini didukung
oleh pernyataan Mariska et al (2013) yang menyatakan bahwa suhu merupakan salah satu
parameter kualitas air yang berperan penting dalam kegiatan pembenihan ikan. Suhu

diduga dapat mempengaruhi laju waktu penyerapan kuning telur. Direktorat Jendral
Perikanan (1987) dalam Mariska et al (2013) menyatakan bahwa suhu mempengaruhi
derajat penetasan, waktu penetasan, penyerapan kuning telur dan pertumbuhan awal larva.
Berdasarkan hasil yang didapat setiap pukul 07:00 dan 17:00 saat praktikum, suhu
relatif stabil yaitu antara 25,4 - 28oC. Suhu mempengaruhi perkembangan embrio dalam
telur, dimana metabolisme embrio akan berjalan cepat dan stabil ketika suhu pada wadah
penetasan hangat dan optimal. Hal ini didukung oleh pernyataan Sukendi (2003) dalam
Putri et al (2013), yang menyatakan bahwa penetasan telur akan lebih cepat pada suhu
tinggi karena pada suhu tinggi proses metabolisme akan terjadi lebih cepat sehingga
perkembangan embrio juga akan lebih cepat dan pergerakan embrio dalam cangkang akan
lebih intensif sehingga penetasan lebih cepat. Namun, akan berbanding terbalik jika suhu
pada wadah penetasan tersebut semakin menurun dan dingin, metabolisme embrio akan
berjalan lambat dan menyebabkan perkembangan pertumbuhan embrio terhambat yang
akhirnya penetasan telur juga akan semakin lama. Suhu yang terlalu tinggi juga tidak baik
untuk perkembangan embrio, karena dapat merusak embrio tersebut bahkan dapat
membunuh embrio dalam telur itu sendiri. Nurasni (2011), menyatakan bahwa suhu terlalu
tinggi dapat mengganggu aktivitas enzim penetasan pada telur dan mengakibatkan
pengerasan pada chorion, sehingga menghambat proses penetasan telur dan dapat
mengakibatkan terjadinya keabnormalitasan (cacat) pada larva ikan yang dihasilkan. Hal ini
juga diperkuat oleh pernyataan Andriyanto et al (2013), yang menyatakan bahwa suhu
merupakan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan rata-rata dan
menentukan waktu penetasan serta berpengaruh langsung pada proses perkembangan

embrio dan larva. Perkembangan embrio dan larva merupakan hal yang harus diperhatikan,
hal ini berkaitan dengan kualitas dan kuantitas benih yang dihasilkan. Suhu tinggi atau
rendah pada proses pembuahan ikan akan dapat mengakibatkan telur tidak terbuahi serta
dapat menyebabkan kematian (Olivia et al., 2012)
Suhu pada wadah penetasan telur yang didapat masuk ke dalam kategori suhu yang
baik dan optimum untuk perkembangan embrio dalam telur dan baik pula untuk penetasan
telur. Menurut Lingga et al (2012), bahwa suhu optimal untuk terjadinya penetasan telur
lele sangkuriang adalah 26oC - 28oC. Hal ini juga diperkuat oleh Aer et al (2015) yang
menyatakan bahwa Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa presentase daya tetas telur ikan
lele yang terbaik terdapat pada suhu 25 C dibanding pada suhu 27 C, 29 C, dan 32 C.
Hal ini menunjukkan bahwa suhu pada wadah penetasan dapat dikatakan baik.
Oksigen terlarut merupakan tiga unsur senyawa kimia yang sangat penting untuk
mendukung kehidupan organisme dalam suatu perairan. oksigen terlarut digunakan oleh
organisme perairan dalam proses respirasi. Kehidupan akuatik seperti ikan, mendapatkan
oksigennya dalam bentuk oksigen terlarut tanpa adanya oksigen terlarut pada tingkat
konsentrasi tertentu. Banyak ikan mati dalam perairan tercemar bukan diakibatkan oleh
toksitasi zat pencemar langsung, tetapi karena kekurangan oksigen sebagai akibat dari
digunakannya gas tersebut pada proses penguraian maupun penghancuran zat pencemar.
Hal ini diperkuat oleh pernyataan Simanjuntak (2012) yang menyatakan bahwa oksigen
terlarut dalam laut dimanfaatkan oleh organisme perairan untuk respirasi dan penguraian
zat-zat organik oleh mikro-organisme. Sumber utama oksigen dalam air laut adalah udara
melalui proses difusi dan dari proses fotosintetis fitoplankton. Oksigen terlarut merupakan

salah satu penunjang utama kehidupan di laut dan indikator kesuburan perairan. Kadar
oksigen terlarut semakin menurun seiring dengan semakin meningkatnya limbah organik di
perairan. Hal ini disebabkan oksigen yang ada, dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan
zat organik menjadi zat anorganik.
Berdasarkan hasil yang didapat, nilai kualitas air yang diamati setiap pukul 07:00
dan 17:00 WIB. Data yang didapat, menunjukkan bahwa kualitas air dapat dikatakan baik.
Nilai DO (oksigen terlarut) tertinggi adalah 7,4 mg/l pada pagi hari dan DO(oksigen
terlarut) terendah adalah 2,77 mg/l pada sore hari. Selisih nilai dari DO(oksigen terlarut)
tertinggi ke terendah cukup drastis, namun DO (oksigen terlarut) pada wadah penetasan
tetap dikatakan stabil dan baik untuk pembenihan. Oksigen terlarut menunjukkan nilai yang
berbeda-beda, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi
diantaranya seperti cahaya matahari, kekeruhan, suhu, dan arus. Sifat air yang tenang pada
kolam penetasan walaupun menggunakan aerator menyebabkan tidak adanya difusi
oksigen dari udara maupun atmosfer ke dalam air kolam, padahal telur membutuhkan
oksigen yang masuk secara difusi. Menurut Aer et al (2015), bahwa telur membutuhkan
oksigen untuk kelangsungan hidupnya. Oksigen masuk ke dalam telur secara difusi melalui
lapisan permukaan cangkang telur, oleh karena itu media penetasan telur harus memiliki
kandungan oksigen yang melimpah yaitu > 5 mg/liter. Hal ini diperkuat dengan pendapat
Effendi (2003) dalam Puspitaningrum et al. (2012), bahwa sumber oksigen terlarut dapat
berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer dan aktivitas fotosintesis oleh
tumbuhan air. Difusi oksigen yang terdapat di atmosfer biasa didapatkan dari pergerakan

arus yang memecah lapisan perairan, sehingga oksigen di atmosfer akan masuk pada
perairan.
Derajat keasaman atau pH perairan merupakan parameter kualitas air yang penting
dalam ekosistem perairan. Derajat keasaman air dapat mempengaruhi tingkat kesuburan
suatu perairan karena dapat mempengaruhi kehidupan pada jasad renik. Adanya pH yang
rendah dapat menyebabkan daya racun dan amoniak menjadi lebih tajam, sehingga tiap
organisme akuatik memiliki batasan pH yang bervariasi. Menurut Simanjuntak (2012)
derajat keasaman (pH) dalam suatu perairan merupakan salah satu parameter kimia yang
penting dalam memantau kestabilan perairan. Perubahan nilai pH suatu perairan terhadap
organisme aquatik mempunyai batasan tertentu dengan nilai pH yang bervariasi.
Perubahan pH ditentukan oleh aktivitas fotosintesis dan respirasi dalam ekosistem.
Fotosintesis memerlukan karbondioksida, pada fotosintesis organisme autotrof akan
merubah karbondioksida menjadi monosakarida. Penurunan karbon dioksida dalam
ekosistem akan meningkatkan pH perairan. Sebaliknya, proses respirasi oleh semua
komponen ekosistem akan meningkatkan jumlah karbon dioksida, sehingga pH perairan
menurun, sehingga berkurangnya nilai ph akan berhubungan dengan tingkat senyawa
organik dalam perairan. Hal ini diperkuat oleh pendapat Simanjuntak (2012) yang
menyatakan berkurangnya nilai pH dalam suatu perairan ditandai dengan semakin
meningkatnya senyawa organik di perairan tersebut.
Berdasarkan praktikum yang dilakukan setiap pukul 07:00 dan 17:00 saat
praktikum, didapatkan nilai pH berkisar antara 7,3 7,91. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa nilai pH pada wadah penetasan telur bersifat stabil. Menurut Ratnasari (2011),

bahwa nilai pH yang semakin tinggi menyebabkan pertumbuhan ikan lele terhambat.
Perairan yang asam mempengaruhi terhadap nafsu makan ikan yaitu nafsu makan jadi
berkurang. Berdasarkan hasil yang didapat, nilai pH yang diamati cukup baik untuk
perkembangan larva lele. Nilai pH yang bersifat basa akan memacu embrio untuk terus
melakukan metabolisme untuk berkembang dan menetas menjadi larva. Menurut Lingga et
al., (2012), bahwa selama masa pemeliharaan telur lele, nilai pH air berada pada kondisi
yang mendukung perkembangan embrio telur yaitu berada dalam kisaran 7,9 - 8,61. Nilai
pH di wadah budidaya juga berpengaruh terhadap penetasan telur karena enzim penetasan
akan bekerja secara optimal pada pH tertentu.

DAPUS

Ratnasari, D. 2011. Teknik Penebaran Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Bioyech
Agro, Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur. ADLN Perpustakaan
Universitas Airlangga.
Puspitaningrum, M., Munifatul, I., dan Sri, H. 2012. Produksi dan Konsumsi Oksigen
Terlarut oleh Beberapa Tumbuhan Air. Buletin Anatomi dan Fisiologi. 20(1):
47-55.
Slembrouck, J. Komarudin. Maskur dan Legendre.2005. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan
Patin Indonesia, Pangasius djambal. Institut de Recherchedn Kementrian
Kelautan dan Periknan. Jakarta.
Wahyuningtias, Indah. 2016. Pengaruh Suhu terhadap Perkembangan Telur dan Larva Ikan
Tambakan (Helostoma temminckii). [SKRIPSI]. Fakultas Pertanian. Universitas
Lampung. Bandar Lampung.

Andriyanto, W., B. Slamet dan I. M. D. J. Ariawan. 2013. Perkembangan Embrio dan Rasio
Penetasan Telur Ikan Kerapu Raja Sunu (Plectropoma laevis) pada Suhu Media
Berbeda. Jurnal Ilmu dan Tekonologi Kelautan Tropis. 5 (1) : 192-207.
Olivia, S., G. H. Huwoyon, dan V. A., Prakoso. 2012. Perkembangan Embrio dan Sintasan
Larva Ikan Nilem (Osteochilus hasselti) pada Berbagai Suhu Air. Bulletin
Litbang, 1 (2) :135-144.
Aer , C. V. S., W. M. Mingkid, dan O. J. Kalesaran. 2015. Kejutan suhu pada penetasan
telur dan sintasan hidup larva ikan lele (Clarias gariepinus). Jurnal Budidaya
Perairan. 3(2): 13 18
Putri, D. A., Muslim, dan M. Fitrani. 2013. Persentase Penetasan Telur Ikan Betok (Anabas
Testudineus) dengan Suhu Inkubasi yang Berbeda. Jurnal Akuakultur Rawa
Indonesia. 1(2) :184-191
Lingga, M. N., R. Ike, dan D. B. Ibnu. 2012. Efektivitas Ekstrak Bunga Kecombrang
(Nicolaia Speciosa Horan) untuk Pencegahan Serangan Saprolegnia sp. pada
Lele Sangkuriang. J. Perikanan dan Kelautan., 3(4): 75-80.
Mariska, A., Muslim, dan M. Fitrani. 2013. Laju Penyerapan Kuning Telur Tambakan
(Helostoma temminckii C.V) dengan Suhu Inkubasi Berbeda. Jurnal Akuakultur
Rawa Indonesia, 1(1) :34-45
Nurasni, A. 2012. Pengaruh Suhu dan Lama Kejutan Panas Terhadap Triploidisasi Ikan
Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus). Ijas., 2(1): 22-29.
Simanjuntak, Marojohan. 2012. Kualitas Air Laut Ditinjau dari Aspek Zat Hara, Oksigen
Terlarut dan pH di Perairan Banggai, Sulawesi Tengah. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis. 4(2): 290-303

Anda mungkin juga menyukai