Anda di halaman 1dari 6

PENUGASAN BLOK IMUNOPATOLOGI (2.

1)
JOURNAL READING
+
Sel T CD4 Spesifik-Alergen Pada Asma Manusia (Allergen-Specific CD4+ T
Cells in Human Asthma)

Penyusun:
Felix Giovanni Hartono
Natasya Naomi

15711067
15711190

Tutorial 9
Tutorial 9

PRODI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2015

RESUME JURNAL
Sel T CD4+ Pada Subjek Asma Alergi atau Non Alergi
Penyakit asma biasanya disebabakan oleh alergi, maka dari itu tipe asma ini
biasa disebut dengan allergic asthma atau asma alergi. Pada beberapa dekade
belakangan, terdapat peningkatan prevalensi penyakit asma dan alergi. Adanya
kaitan erat serta peningkatan prevalensi pada penyakit ini membuat para peneliti
terdorong untuk mencari tahu bagaimana mekanisme terjadinya penyakit ini.
Sejak adanya pembelahan terhadap CD4+ menjadi Sel T-helper 1(Th1) dan sel
T-Helper 2 (Th2), Para peneliti kemudian menemukan bahwa sel T-Helper 2
memiliki peran penting pada proses terjadinya asma alergi. Prescott dan timnya
menemukan bahwa respon imun sel Th2 spesifik alergen yang dikombinasikan
oleh respon imun sel Th1 yang cacat pada masa anak anak akan memberikan
kecenderungan terhadap alergi.
Studi pada manusia menunjukan adanya peningkatan sitokin Th2 seperti IL-4,
IL-5 dan IL-13 pada jalur pernafasan individu asma yang terpapar alergen. para
penderita asma alergi menunjukan adanya jumlah Respon imun Th2 yang
meningkat dibandingkan dengan orang sehat. Hal ini didasarkan oleh
meningkatnya faktor transkripsi Th2 seperti STAT6 (Signal Transducer and
Activator of transcription-6) dan GATA3 (GATA-Binding Protein) pada pasien
asma alergi.
Bukan hanya Sel Th2, Sel T helper lain seperti Th17 dan Th9 juga berperan
pada proses terjadinya alergi. Sel Th17 mendorong produksi neutrofil pada
saluran pernafasan, sedangkan sel Th9 medorong produksi IL-9 dan memfasilitasi
proliferasi serta aktivasi dari sel mast pada saluran pernafasan. Sel T regulator
juga memiliki peran penting pada reaksi alergi. Sel T-Reg memiliki peran dalam
menekan respon imun melalui TGF-B dan IL-10, maka apabila ada gangguan
pada sel ini, reaksi alergi akan lebih rentan terjadi. Penelitian lain juga
menemukan jika gangguan pada interferon tipe 1 akan mendorong terjadinya

alergi. Hal ini didasari oleh meningkatnya produksi sitokin inate immune tipe 2,
seperti thymic stromal lymphopoietin (TLSP), IL25, dan IL33.
Namun, peningkatan Th2 terjadi pada semua penderita asma dan tidak
terkhusus pada penderita asma alergi saja. mekanisme dasar yang membedakan
antara asma alergi dan alergi biasa adalah hipersensitivitas pada saluran
pernafasan individu tersebut atau disebut AHR (Airway Hyperresponsiveness).
tapi AHR saja juga belum cukup untuk mengidentifikasikan asma alergi. Penderita
alergi rhinitis juga mengalami AHR seperti penderita asma alergi, maka dari itu,
penilaian selanjutnya didasari pada inflamasi yang terjadi pada saluran nafasnya.
Penderita alergi rhinitis tidak mengalami inflamasi saluran nafas yang jelas,
sedangkan penderita asma alergi mengalami inflamasi yang cukup jelas terlihat
pada saluran nafasnya. hal ini menunjukan bahwa Sel Th2 mungkin memiliki
peran penting dalam memediasi terjadinya atopy terhadap asma.
Adanya studi mengenai perbandingan asma alergi dan alergi menghasilkan
beberapa poin penting antara keduanya. studi menunjukan bahwa keduannya
sama-sama mengalami peningkatan Sel T CD4+ spesifik-alergen dan produksi IL4 dari sel mononuklear darah perifer (MDP) jika dibandingkan dengan individu
sehat. bagaimanapun juga, individu dengan alergi asma memiliki IL-5 yang lebih
tinggi dibandingkan individu alergi tanpa asma ataupun individu yang sehat. pada
studi lain, individu yang sehat memiliki jumlah IL-10 yang lebih banyak,
sedangkan individu dengan alergi asma atau non asma memiliki jumlah IL-4 yang
lebih banyak. selain sitokin, hal lain yang membedakan adalah jumlah T-Reg pada
penderita asma alergi, non alergi, dan orang sehat. Akan tetapi, terdapat perbedaan
penemuan terkait dengan jumlah T-Reg ini. Sebuah studi menyebutkan ada jumlah
T-Reg yang sama pada individu asma dibandingkan individu sehat dan antara
individu atopy dan non atopy. Studi lain menemukan bahwa ada penurunan
jumlah T-Reg di jalur pernafasan pada individu asma, diikuti dengan turunya
produksi IL-10 dibandingkan dengan individu yang sehat.
Allergen-MHC kelas II tetramers mengenali Allergen-Sel T CD4+ spesifik

Sebelum adanya MHC kelas II, adanya identifikasi dari sel T spesifik itu
tergantung

respon dari luar atau ex vivo terhadap respon stimulus, seperti

proliferasi sel T dan juga ekspresi sitokin. Untuk stimulasi ex vivo ini dibutuhkan
untuk deteksi CD4+,

ex vivo stimulasi adalah diperlukan untuk mendorong

ekspansi klonal untuk memfasilitasi deteksi sel T CD4 + di darah atau jaringan,
juga tidak memungkinkan untuk fenotipik dan karakterisasi fungsional sel CD4+
T alergen spesifik tanpa ex vivo stimulasi, juga stimulasi ex vivo

tidak

menunujukkan jumlah yang tetap dalam dan jaringan. Ketersediaan alergen


spesifik tetramer bisa lebih meningkatkan pemahaman kita tentang respon imun
spesifik sel T CD4+ dalam darah dan saluran pernapasan penderita asma. Pada
MHC kelas II tetramer terdiri dari 4 MHC molekul kelas II terkait dengan
peptida tertentu dan terikat ke fluorochrome.
Untuk afinitas antara sel-sel T CD4+ lebih rendah terhadap MHC kelas II
dibandingkan antara afinitas sel-sel T CD8+ terhadap MHC kelas I, Salah satu
manfaat dari MHC kelas II spesifik adalah hanya untuk satu peptida dari alergen,
juga selain itu epitop yang diketahui oleh tetramer ini adalah tipe HLA manusia
dimana para peneliti membutuhkannya untuk penelitian.

Untuk penaksiran

terhadap sel T CD4+ spesifik dapat disingkat dengan ; (1) Mengidentifikasi


alergen paling umum yang mempunyai dampak pada asma, contohnya alergan
dari kucing, debu dan lain-lain (2) Merancang tetramer yang menggabungkan
tipe-tipe HLA yang umum.
Pada studi telah mengidentifikasi epitop sel T terhadap kucing, juga telah
membandingkan respon sel T kucing yang sehat dan kucing yang memiliki alergi
terhadap protein dan peptida Fel d 1. Pada peptida kucing yang beralergi, Ig Enya
tidak membentuk crosslink dengan peptida yang bisa menstimulasi proliferasi dari
sel T dan memproduksi IL-5. Dalam hal ini menunujukkan bahwa MHC kelas II
dapat memberikan respon imun terhadap reaksi dari penyakit asma.
Dalam penelitian tersebut, membuktukan jika sel T CD4 + mempunyai peran
sebagai pembaca aktivitas dan kontrol pada penyakit. Selain itu juga terdapat
penilitian lain yang mengidentifikasi epitop dari tungau debu dan mencari tahu
respon imun sel T pada tungau debu yang beralergi. Untuk Th2 dapat meningkat

dalam PNMCs yang berasal dari pasien yang memiliki alergi pada tungau debu.
Pada penderita dermatitis atopik sel T spesifik tungau debu meningkat pada darah
dan kulitnya, juga dermatitis dapat diperburuk dengan bakteri superantigen pada
MHC kelas II. Pada penilitian ini, intinya sel T CD4 + spesifik tungau debu bisa
diidentifikasi dan dapat diklasifikasikan berdasarkan fenotipnya oleh subjek
dengan alergi.
Pada HLA tetramer kelas II telah muncul sebagai alat penting untuk analisis
kuantitatif respon imun sel T alergen spesifik oleh alergi yang memiliki hubungan
dengan paparan hewan seperti; kucing, sapi dan kuda lalu tungau debu dan lainlain. Hanya saja pada penilitian ini untuk lebih lanjutnya diperlukan untuk
menyelidiki penggunaan tetramers untuk menilai secara kuantitatif fungsi dan
fenotip sel T alergen spesifik pada asma.
Pengkajian celah dan arah untuk Penilitian Masa Depan
Untuk sel T CD4+ memiliki peran penting dalam proses patogenesis alergi dan
peradangan saluran napas. Tetapi, adanya kesenjangan dalam pengetahuan kita
tentang bagaimana sel T CD4+ spesifik berinteraksi oleh epitel saluran napas juga
sel truktur lainnya seperti; sel mast, ILC, dan sel B untuk mengkoordinasi
peradangan saluran napas dan asma. Sedangkan untuk studi telah meneliti bahwa
sel T CD4+ spesifik di saluran napas pada manusia dengan asma belum bisa untuk
ditandai dengan menggunakan MHC kelas I.
Wambre et al mengidentifikasi imunoterapi yang bisa menurunkan sel-sel T CD4+
pada rumput beralergi, juga penggunaan immunomodulator contohnya, reseptor
agonis Toll-like,dupilumab (anti-IL-4RA), dan omalizumab (anti-IgE) bisa
menghambat peradangan alergi. Intinya dalam keterlibatan oleh sel T CD4 +
menanggapi rangsangan alergen non spesifik, termasuk udara dingin, virus, dan
iritasi masih belum jelas. Virus dan rangsangan berbahaya lainnya bisa
menimbulkan

cacat pada penghalang epitel saluran napas, juga dapat

menyebabkan pelepasan dari mediator bawaan, termasuk oleh IL-25, IL-33, dan
TSLP, juga semuanya dapat memicu peradangan alergi saluran napas. Tetapi,

kontribusi dari sel T, ILC2s, dan subset ILC lainnya dalam menanggapi
rangsangan dan mediator bawaan dan juga bagaimana sel-sel ini dapat
berinteraksi dengan epitel saluran napas selama eksaserbasi asma masih belum
diketahui. Supaya mencapai pemahaman mekanistik lebih baik tentang alergi
peradangan saluran napas pada asma, strategi pencegahan dan terapi, MHC kelas
II bisa dipakai sebagai ciri adanya sel TCD4+ dan bagaimana mereka bisa
berinteraksi dengan sel asli, sel pengatur, dan struktur jalan napas.

Anda mungkin juga menyukai